Tampilkan postingan dengan label Profil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Profil. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Agustus 2020

[PROFIL] Profil Ibu Menurut Aktivis Perempuan

Selama ini umumnya Konsep Ibu hanya melekat pada seorang perempuan, dan dikaitkan pada fungsi-fungsi tradisionalnya serta kemampuan mempunyai anaknya. Sharil Thurer dalam bukunya: The Myths of Moherhood (1994) memaparkan bagaimana budaya manusia telah mengintervensi konsep ibu yang baik/ideal ini, serta apa dampaknya bagi perempuan. Ada yang dimaknai dan didefinisikan oleh perempuan sendiri, tapi ada juga yang didefinisikan dan dikonstruksikan oleh mereka yang bukan perempuan untuk perempuan.
Bagaimana Konsep Ibu berdasarkan aktivis perempuan yang jua sekaligus bunda? Bagaimana pada budaya saat ini mak -bunda, para aktivis kita ini mendefinisikan ke-bunda-an mereka? Apa yang mereka idealkan menurut konsep ini? Berikut ini rangkuman wawancara Kail menggunakan tujuh orang aktivis yg jua mak menurut Jaringan Mitra Perempuan.

Pratiwi: Siapa saja bisa dianggap ibu, kalau beliau punya rasa cinta, rasa sayang, open, punya kemampuan memelihara (roh, jiwa, badan), yg dengan sendirinya akan lembut, murah hati. Maka Keibuan dan Pengibuan tidak hanya inheren pada wanita (secara fisik), tapi pula bisa terdapat pada pria. Kemampuan & fungsi buat memelihara & merawat, yang menjadi sifat yang melekat dalam bunda, mampu pula dimiliki oleh pria, dimiliki sang mereka yang tidak menikah dan tidak punya anak, tua juga muda. Ibu yang baik adalah bunda yang memiliki cinta, yg mampu mengekspresikan cintanya dalam kehidupan konkret dengan perbuatan konkret & menularkannya dengan memberi model berbuat baik pada orang lebih kurang (sebagai panutan) dalam membuatkan cinta.


Lim: Yang diklaim bunda tidak harus adalah mak biologis, & tidak wajib mencurahkan kasih sayang hanya ke anaknya sendiri (relasinya nir monopoli ke anaknya saja); & nir wajib hadir pada sebuah "keluarga". Tapi lebih merupakan rekanan afeksi dan saling mengisi. Ini mampu dilakukan sang baik sang wanita maupun laki-laki , melampaui batas usia, dan tidak harus telah pernah menikah. Panggilan "ibudanquot; juga bisa dilekatkan dalam orang kita kita hormati dan karenanya kita rasa layak dipanggil menjadi bunda. Keberhasilan sebagai seseorang bunda merupakan jika berhasil mengantar anak kita buat sebagai orang, yaitu menurut kualitas manusianya.
Yati: seseorang mak bertanggung jawab dalam keluarganya, yang besarnya sama menggunakan suaminya. Yang kedua dia sebagai warga negara, menyumbangkan apa yang dia miliki demi kesejahteraan negara, warga dan lingkungan kurang lebih pada mana dia berada. Konsep ke-bunda-an lebih merupakan sesuatu yang menciptakan suatu keadaan (fisik & non fisik) yang lebih indah, lebih sejahtera, lebih harmonis. Ciri ini tidak hanya inheren pada wanita, akan tetapi juga pada laki-laki . Dalam konteks keluarga, ibu tidak wajib punya anak. Ia sanggup menikmati diri dan mempunyai dirinya sediri, menggunakan permanen memikirikan kepentingan orang lain. Seorang ibu tetap wajib peduli menggunakan lingkungannya, karena dia harus membentuk kesejahteraan, keharmonisan & menciptakan orang lain bahagia dan damai; tanpa menegasi pribadiya sendiri. Tetap harus ada saat buat dirinya sendiri.
Wati: Ibu adalah orang yang mengayomi, seseorang perempuan yang mengasuh. Seseorang juga mampu dipanggil ibu karena punya karisma eksklusif, yang dikagumi lantaran kepakarannya atau lantaran pengetahuannya. Konsep mak pertama-tama dipandang lebih ke arah sifat, yang sangat erat berhubungan dengan biologisnya (wanita), karena beliau sudah melahirkan anak. Tapi dalam perkembangannya, ke-mak -an lebih merupakan sifat -sifat yg menurut segi afektif dan kognitifnya; meskipun Ia tidak menikah dan nir punya anak. Sebagai sebuah sebutan, "ibu" melekat dalam jenis kelamin wanita, walaupun menjadi sebuah sifat dan ciri-ciri, sanggup jua dimiliki dan dipelajari sang pria.
Menurut Yani, istilah mak itu melekat dalam perempuan , yang punya anak (baik anak kandung juga bukan) dan menjalankan fungsinya sebagai mak . Ia mengandung, melahirkan, merawat anak & mendampingi anak. Fungsi keibuan ini sebetulnya bukan hanya dijalankan sang perempuan (ibu), tapi pula oleh pria (bapak). Yang ditekankan di sini adalah funsi nurturing (merawat, mencintai, mencintai, membimbing, dsb) yg dijalankan & ikatan emosianal yang dibangun dengan orang yg pada-nurture itu. Ibu yg ideal adalah bunda yang sayang dan mencintai anaknya sepenuh hati serta mengabdikan dirinya dalam anak & keluarganya. Di sini dituntut pengorbanan, tapi beliau permanen harus punya kesempatan buat menjadi dirinya sendiri dan mengembangkan dirinya sendiri dan mengaktualisasikan diri. Sebisa mungkin beliau proporsional menjalankan fungsinya sebagai ibu menurut anaknya & manfaatnya pada tempat lain. Proporsional pada sini berarti seimbang, pada mana ukurannya sanggup berbeda antara mak yang satu dengan bunda yang lainnya.


Ambar mendefinisikan seseorang mak itu sebagai orang yang melahirkan anak, menyusui, & menjadi efek psikologisnya memiliki kepedulian terhadap anak. Dia menambahkan juga bahwa sifat caring dan kepedulian serta peka terhadap orang lain itu jua mampu dilatih, sebagai akibatnya bisa pula dimiliki sang pria. Si bunda itu sebagai satu-satunya tumpuan seorang (anak) dan sebagai tempat mengadu. Walaupun ibu itu pula memiliki dirinya sendiri (bukan hanya milik anak dan suaminya). Ibu yang ideal adalah yang sanggup bebas mengaktualisasikan diri, dan membuatkan potensinya; sekaligus sanggup menempatkan kiprah-perannya sebagai identitas diri. Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi dia bahwa anak & suaminya nir pernah menghalangi bagian dirinya yg lain, yang nir menjadi ibu & istri, akan tetapi sebagai seseorang individu, buat sanggup memakai kebebasannya. Keberhasilan seorang ibu bagi Ambar adalah jikalau beliau dicintai dan menyayangi anak-anaknya.


Sri: Ibu merupakan seseorang istri yang punya suami, punya pendamping, dan mungkin punya anak atau tidak. Dia melengkapi suaminya, saling memberi & bersama-sama bertanggungjawab buat kehidupan famili. Ibu juga wajib sanggup sebagai teladan bagi anaknya, sebagai panutan, mandiri & pintar mengendalikan ekonomi, serta bisa mengambil sikap. Panggilan "ibudanquot; juga mampu diberikan bagi perempuan yang nir menikah, sebagai penghormatan lantaran dia mempunyai posisi atau jabatan, atau karena usianya. Ibu yg sukses adalah mak yg sanggup menghantarkan anak-anaknya menuntaskan tugasnya, sebagai anak yg punya kepribadian yg baik, antar anak bisa hayati rukun dan cara hidupnya baik.


Ketujuh aktivis wanita ini menginterpretasikan dan mendekonstruksi konsep dan simbol ?Ibu?. Menurut mereka yang kebetulan mempunyai anak, pengalaman keibuan yg paling berkesan dan krusial adalah relasinya menggunakan anak. Tapi pemaknaan terhadap konsep ini dan relasinya dengan suami & anak, dipahami secara lebih luas dan inklusif. Hampir semua berpendapat bahwa sifat-sifat keibuan ini nir hanya & nir otomatis melekat dalam wanita secara biologis, akan tetapi jua bisa dipelajari & melekat dalam laki-laki . Pemaknaan yg paling menonjol menurut fungsi pengibuan ini merupakan Cinta Kasih dalam kehidupan, yg mau nir mau berkaitan dengan pemeliharaan bagi keberlangsungan oleh kehidupan itu sendiri.


Keberhasilan ataupun konsep ideal tetang mak ini memang nir mungkin diukur secara kuantitatif. Bahkan beberapa berdasarkan mereka setuju untuk tidak membuat definisi & kriterianya, karena setiap orang punya ukurannya sendiri-sendiri. Ukuran itu nir sanggup dipaksakan pada orang lain, apalagi dipaksakan menurut luar diri si ibu itu sendiri. Gambaran ibu yang ideal itu sendiri berkembang dan mengalami perubahan berdasarkan masa ke masa.


Tidak terdapat yg dapat menilai keidealan seorang ibu. Semua akan dimaknai ulang sesuai dengan pengalaman tertentu masing-masing.























Minggu, 02 Agustus 2020

[PROFIL] Lusia Ping: Sang Penyambung Generasi Dayung



Menyusuri Sungai Mendalam di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kita akan menemui masyarakat Daya? Subsuku Kayaan yang mendiami kampung-kampung di sepanjang sungai. Secara garis besar , mereka mempunyai 2 budaya besar , yaitu budaya ngayau dan budaya dayung [1] . Rupanya budaya yang lebih berkembang lalu di rakyat Kayaan Mendalam merupakan budaya dayung.
Istilah dayung, pada mulanya memiliki tiga arti. Pertama, sebagai sebuah bentuk doa yg dilantunkan menggunakan irama eksklusif dan berbentuk syair dengan sajak yang berpola. Kedua adalah orang yang melakukan dan memimpin segala ritus keagamaan pada upacara istiadat mereka dengan melantunkan dayung, yaitu mereka yg berperan sebagai imam; disebut dayung juga. Hampir seluruh dayung pada sepanjang sejarah Kayaan, adalah wanita. Ketiga, kata dayung ini dalam jaman dahulu dikenakan juga dalam mereka yg memiliki kemampuan buat mengobati dan menyembuhkan penyakit. Dayung mengobati ini kebanyakan jua perempuan .


Sejarah dayung, baik dalam arti sebuah doa maupun imamnya, berkaitan erat dengan sejarah (upacara) Dange [2].


Begitu sentralnya kiprah dan posisi seseorang dayung, maka fungsi ini nir sanggup dijalankan oleh sembarang orang. Lantaran itulah, posisi seorang dayung pada masyarakat sangat terhormat & krusial. Sekarang, sesudah kepercayaan resmi masuk di bumi Mendalam, peran & kedudukan dayung-pun bergeser. Walaupun kepercayaan sekarang berusaha mengakomodir istiadat & tradisi dulu, akan tetapi kedudukannya sebagai lebih diskriminasi.


Justru akhirnya yang terjadi dalam para dayung kini merupakan multi beban, lantaran mereka tetap wajib menjalankan fungsi domestik, fungsi produksi (berladang, berkebun dan kadang menganyam), fungsi sosial kemasyarakatan, & sekaligus fungsi religiositas (sebagai dayung). Apalagi bila mereka kebetulan juga merupakan pengajar. Tidak sporadis terjadi permasalahan-konflik pula, tapi mereka tetap bertahan.


Dalam konteks inilah, sosok seseorang Lusia Ping, atau yang biasa dikenal dengan Bu Ping hadir & bermakna. Bu Ping, seorang perempuan yang berusia sekitar 40 tahun, sehari-hari berprofesi menjadi guru sekolah dasar sekaligus petani. Bersuamikan seorang pensiunan guru yg beretnis Jawa, mereka kebetulan tidak mempunyai anak. Yang menarik & menonjol menurut sosok wanita Kayaan satu ini adalah perannya menjadi dayung.


Ketika Dange dan segala ritualnya mulai diakomodir oleh kepercayaan resmi, Bu Ping, menjadi wanita belia saat itu, yg bukan seseorang dayung tata cara, sebagai tokoh di garis depan bersama menggunakan nenek Tipung-sang dayung aya? (dayung akbar/senior) buat pulang menghidupkan dan melestarikan adat mereka. Walaupun belum berstatus dayung, Bu Ping merogoh posisi menjadi motivator dan penggerak serta ?Penyambung generasi para dayung?. Ia belajar & menggali balik serta mengumpulkan kebijakan lokal yg sempat hilang, belajar menurut subjek sejarah yg masih hayati waktu itu, yakni nenek Tipung & beberapa tokoh norma yang sudah tua. Kearifan tradisional yg dituangkan dalam dayung & hayati pada dayung itu mulai dicatat & dibukukan.


Para dayung ini melakukan proses kaderisasi & pembelajaran menggunakan cara-cara yg informal, dengan tradisi lisan & dilakukan sambil melakukan pekerjaan-pekerjaan sehari-hari wanita. Bahkan dalam sakitnya yg relatif parah, nenek Tipung masih pula menyediakan dirinya buat belajar beserta Bu Ping, yg akan meneruskan balik pada dayung-dayung belia (dayung uk) lainnya. Sambil berbaring, duduk pada atas tikar, mereka belajar. Nenek Tipung melantunkan dan mempraktekkan dayung, diikuti Bu Ping, sembari dihafalkan dan dicatat. Demikian berulang-ulang hingga benar -betul menguasai. Semua ini dilakukan pada sela-sela waktu mereka yg sangat padat & sibuk, terutama dengan banyaknya peran yang dipikul perempuan .


Proses kaderisasi ini kemudian diteruskan dengan merekrut para wanita muda buat melanjutkan tongkat estafet sejarah dayung. Bu Ping jugalah yg mempunyai kiprah akbar dalam merekrut, memotivasi, bernegosiasi & mendorong para wanita ini buat mau belajar tata cara & sejarah mereka lagi. Pekerjaan ini diakui tidak gampang oleh Bu Ping, lantaran pada mulanya orang takut buat mulai lagi menggali adat, dan lantaran nir sembarang orang bisa sebagai dayung. Mereka takut nenek moyang mereka marah kalau tidak dilakukan sama persis menggunakan istiadat dulu. Mulai dengan 6 orang teman, Bu Ping tidak putus harapan. Belum lagi mereka menemui kesulitan buat belajar apa yang dulu telah ditinggalkan. Ketakutan & rasa memalukan dan tidak percaya diri berdasarkan rekan-rekan mudanya ini disikapi menggunakan sabar sang Bu Ping. Ia tidak pernah memaksa seseorang buat melakukan apa yg dia inginkan. Tapi dengan membiarkan mereka menemukan sendiri, diikuti menggunakan proses perundingan dan diskusi, serta teladan yg tiada henti. Untuk itu beliau perlu memahami karakter rekan-rekannya, sebagai akibatnya proses kaderisasi ini bisa berjalan mulus. Seperti yang dikatakan,? Kita tidak usah menunjukkan marah atau ngomel. Kita mau mendidik orang, nanti orang malah lari.?


Kesabaran & tekatnya terbukti membuahkan output. Tahun ke-dua uji coba proses inkulturasi norma dange pada liturgi resmi agama sudah menerangkan output yang menggembirakan. Makin banyak orang yang berminat buat belajar dan bergabung. Perasaan takut & malu jua mulai bisa diatasi.


Para dayung sekarang telah bisa belajar menggunakan catatan, nir harus menghafal, dan nir wajib dijadikan dayung lewat mimpi atau penyakit. Motivasi menjadi dayung sekarang lebih dari karena minat, hobbi ataupun keharusan buat menjaga tradisi. Tapi poly jua yg mau sebagai dayung, lantaran dayung adalah doa, dan lantaran kehidupan religius mereka masih sangat pekat maka lewat doalah mereka memperoleh kelegaan, kedamaian dan pengharapan. Bu Ping sendiri merasa: ?Lezat cita rasanya jika berdoa dengan berdayung, sambil bernyanyi dan menari. Rasanya meresap...?


Dalam kehidupan religius, yang paling aktif & berperan merupakan para perempuan . Merekalah yg paling setia & yang mengambil tanggungjawab terbesar. Tapi hal ini tidak berarti mereka tidak peka & kritis terhadap perkara-kasus sosial, keagamaan & masalah lingkungan di sekitar mereka.


Adalah beberapa orang yang masih punya kesadaran dan kekritisan, yang mau melihat dan memperjuangkan kembali keberlangsungan hayati pada lingkungan Kayaan Mendalam. Bu Ping, sebagai keliru satunya, ikut serta dalam momen itu. Sebagai contoh, pada tahun 1999, lebih kurang 300 orang Kayaan berdemonstrasi ke DPRD buat menuntut dicabutnya HPH dan HTI, & melarang mereka beroperasi lagi di daerah Mendalam. Para wanita ikut dan berdasarkan awal proses hingga akhir. Mereka menari di depan kantor DRPD menggunakan menggunakan sandang norma.
Bu Ping, nenek Tipung (yg lepas 29 April 2004 lalu tewas), serta para wanita Kayaan ini juga menyadari & mengalami dampak berdasarkan kerusakan lingkungannya, nir hanya hutan, akan tetapi jua air sungai. Kekritisan & kiprah serta mereka yang teramat besar pada sejarah hidup masyarakat Kayaan patut diberi acungan jempol. Kesetiaan dan usaha mereka yg tak kenal lelah buat terus mengembangkan budaya kehidupan selayaknya kita dukung. Bu Ping, beserta wanita-perempuan Kayaan yg terdapat nun jauh di Mendalam sana, sudah memberi kita teladan bagaimana menciptakan sebuah proses belajar beserta yang lebih arif, nir otoriter dan penuh kekerasan, sekaligus kritis & konsisten.


Catatan:
[1] Budaya ngayau adalah budaya yang berkaitan dengan peperangan (yang lebih bersifat fisik) untuk memerangi dan mengalahkan musuh, biasanya menggunakan senjata seperti parang, yang disebut mandau. Secara spesifik, musuh biasanya dikalahkan dengan memolong leher mereka (cara seperti inilah yang dikenal dengan me-ngayau). Sedangkan budaya dayung adalah budaya yang berkaitan dengan segala bentuk kehidupan religiositas mereka.
[2] Dange adalah upacara terpenting dan terbesar bagi masyarakat Kayaan Mendalam. Dange adalah sebuah upacara pesta panen, yang merupakan ungkapan syukur mereka atas hasil panen, dan segala berkat dan rahmat yang telah mereka terima selama satu tahun. Sekaligus, mereka meminta berkat dan perlindungan untuk masa tanam yang akan datang.
(Intan Darmawati)










































Kamis, 30 Juli 2020

[PROFIL] Munawiyah: Sosok Petani Perempuan

Pada pertemuan La Via Campesina (perkumpulan petani) Asia di Padang, 7 Mei 2004, Kail berkesempatan menghadirinya. Dari para tokoh petani se-Asia yang hadir di sana, adalah para mitra dari Indonesia. Satu diantaranya, & satu-satunya perempuan merupakan Munawiyah, seorang wanita petani dari Pidie, Aceh. Ia merupakan seseorang petani wanita yg sekaligus merupakan aktivis. Saat ini beliau dianggap menjadi kepala PERMATA (Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh).

Sosok dari profil kita kali ini menarik buat disimak bagaimana bepergian hidupnya dari seseorang petani yg sebagai korban, lalu malah sebagai aktivis petani & perempuan . Perjuangan ini tidak gampang lantaran wajib berhadapan budaya, kekuasaan negara & modal.
Bahkan nyawa sering kali jadi taruhannya. Bagaimana beliau mampu bertahan pada visi misinya ini? Bagaimana menjadi aktivis beliau bertahan hidup pada kesehariannya? Dalam diri Munawiyah, kita sanggup menemukan sebuah semangat radikalisme yg bergabung menggunakan kesederhanaan.


Berikut adalah cuplikan wawancara kami (H) menggunakan Munawiyah (M).
H : Sekarang profesi Muna apa?
M : Karena saya telah tak jarang pada lapangan mengorganisir warga , turun ke petani-petani yang korban, tidak mesti petani ya, masyarakat yg sebagai korban, yang menjauh di kita, ya?Kita mendampingi mereka sejauh kemampuan aku .


H : Korban yg umumnya ditangani korban apa?
M :Ya, korban kekerasan, baik yg dilakukan oleh famili, atau negara atau lingkungan. Itu yang tak jarang kita dampingi.
H : Ini lewat forum Permata ini ya?
M : Yang saya dampingi lewat lembaga itu khususnya petani. Tapi terdapat yang secara langsung aku tangani, yaitu terdapat yang korban kekerasan famili, terdapat yang negara. Itu yang secara pribadi, atau bekerjasama dengan forum-forum lain. Tapi tak jarang secara pribadi.
H : Kalau sehari-harinya ngapain aja?
M : Ya bila yang hari-hari rutinnya buat sementara karena sesudah konggres dua Permata kita dipercaya menjadi kepala umum di Permata, ya kita tinggal separuh bulannya pada tempat kerja, separuh bulannya pada lapangan. Bagi saat. Kalau contohnya minggu pertama itu kita di tempat kerja, minggu ke 2 di lapangan, minggu ke 3 di kantor, minggu ke empat lapangan.
H : Boleh crita ngak tentang Permata, kegiatannya apa aja? Kalau di lapangan ngapain?
M : Permata itu kan Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh, ya kentara gimana?Sekarang yang kita lihat, bukan hanya pada Aceh saja, semua jikalau kita lihat, kan banyak sekali hak-hak petani yang tidak terpenuhi, terutama kan akses pasar, kemudian berita-informasi nir sampai kepada petani. Kalaupun hingga informasinya merupakan berita yg keliru. Sekarang kita lihat di Indonesia yang sedang moneter (krisis moneter, red) ini, waktu petani-petani ini menggarap lahannya butuh kapital yang banyak. Butuh kapital yang besar . Sementara output produksinya ketika dijual itu sangat murah. Sementara menggarap huma, mengerjakan ladangnya atau sawahnya itu, pupuknya mahal. Serba mahal lah! Harganya (harga jual produk, red) cukup murah. Dan di situ masuknya renternir-rentinir, yg membuat petani-petani itu terlilit oleh hutang. Mau tidak mau beliau wajib ambil modalnya, karena tidak ada yang bantu. Kemudian barangnya pun atau hasil produksinya wajib dijual kepada renternir itu buat bisa membiayai hutangnya. Ternyata saat dijual ke renternir itupun masih pula nir sanggup, tidak mampu membayar hutangnya itu. Jadi pada situ kita mengorganisir mereka bagaimana caranya supaya mereka keluar, paling nir sedikit berkurang bebannya gitu.
H : Jadi konkretnya apa yg dilakukan pada lapang terhadap kasus-perkara petani? Apakah misalnya bentuk-bentuk pendampingan atau apa?
M : Ya konkretnya?Kalau contohnya kini petani, apakah dia tanam cabai, kacang, pokoknya jenis palawijaya, dulu ya yang acapkali palawijaya. Sekarang kan pupuknya, obat-obatannya sangat mahal. Petani kita kesulitan, apalagi Aceh kini wilayah permasalahan, jadi pada sini paling tidak kami sanggup buat membantu, tapi tidak mampu sepenuhnya. Paling tidak kami menaruh pengetahuan atau praktek-praktek buat mampu mengurangi beban mereka. Misalnya pada pertanian tadi, misalnya menggunakan pulang kepada budaya nenek moyang kita dulu, itu kita pakai pupuk organik itu, atau obat-obatan yang tradisional yg buat pertanian. Kemudian terdapat juga yang buat obat-obatan tradisional buat kesehatan. Paling tidak contohnya, karena banyak desa yg jauh berdasarkan kota, atau jauh menggunakan tempat tinggal sakit, misalnya seperti mak -ibu hamil atau yg lain, paling tidak di sekitar rumahnya menanamkan homogen tumbuhan yg buat mampu jadi obat-obatan. Buat sementara, sembari menunggu ke dokter. Lantaran tempatnya jauh dan transportasinya pun terbatas.
H : Mbak Muna sendiri boleh dibilang petani ya? Punya lahan, menanam gitu?
M : Iya.
H : Boleh cerita tentang kehidupannya menjadi petani selain sebagai aktivis?
M : Kalau saya gini, memang dari dulu, memang keluarga kami menurut petani seluruh, yaitu memang kami mengerjakan lahan sendiri. Lahannya nir luas, cuma sedikit. Kalau sementara ya kami nir punya lahan lagi, lahannya cuma tinggal separuh lagi. Separuhnya sudah untuk irigasi & pembangunanlah, tanpa ganti rugi. Dan waktu itu kita tidak tahu hak-hak kita apa, jadi kita nir perdebatkan. Ngak tahu. Orang mampu ambil dengan mudah.
H : Sekitar tahun berapa itu?
M : Kejadiannya sebenarnya telah tahun 80-an ke atas, tapi yang terakhir lahan, sawah kami diambil itu tahun 94. Th 94 itu buat bangunan sekolah, di gerung-gerung. Kalau contohnya profesi saya di petani itu, pengalamannya pada famili itu, eh..Kami paling tidak di pekarangan rumah mampu buat nanam pertaniannya itu buat kebutuhan keluarga. Selain untuk kebutuhan famili, ya kami pasarkan. Yang lebih berdasarkan untuk kebutuhan keluarga kami pasarkan gitu.
H : Tanam apa aja di tempat tinggal ?
M : Tanam apa, ya misalnya ada pisang, terdapat ubi, terdapat palawija misalnya kacang panjang, tomat, cabai. Untuk kebutuhan keluargalah. Kebutuhan dapur gitu.
H : Cukup ya?
M : Cukup. Praktis-mudahan?
H : Tidak perlu lagi beli keluar?
M : Ya, Untuk ad interim begitu.
H : Kalau berasnya?
M : Kalau berasnya kini kami beli, lantaran sawah kami udah ngak terdapat lagi, karena diambil buat irigasi, bangunan jalan raya itu, transportasi dan sekolah, ya sekarang berasnya kami beli.
H : Itu trus gimana ceritanya kok hingga dari yg tadinya belum tahu ya ketika hak-haknya diambil belum ngerti, hingga sekarang sanggup jadi aktivis yg memperjuangkan hak-hak petani, ceritanya gimana?
M : Ya pertama karena masuk sebuah lembaga mendampingi desa kami, kebetulan waktu itu kita sebagai pengurus desa, jadi tamu yg masuk itu apa?Kita kan perlu cari memahami informasinya apa sebenarnya yg mereka lakukan, apakah itu membawa hal-hal yg positif bagi warga atau negatif. Lantaran saat itu siapapun yg masuk waktu diberlakukan DOM di Aceh, yg kena pertama kali kan yang perseteruan Aceh Timur, Aceh Utara & Pidie kan. Jadi wajar jikalau kami curigai, siapapun. Jangankan yang berdasarkan luar, yang sesama keluarga pun saling menyangsikan. Jadi waktu itu masuklah sebuah forum swadaya masyarakat yg mendampingi kami (Flower Aceh). Trus tak jarang dibawa buat ikut-ikut pembinaan. Dari situ ikut pelatihan yang pertama, CO. CO yg diadakan sang Forum LSM Aceh. Ketika situ aku resah, lantaran kita bukan anak sekolahan gitu, memang benar -betul petani gitu kan. Apa yang dibicarakan bingung, ngak nyambung. Akhirnya apapun ceritanya aku terpaksa wajib belajar buat bisa. Lama-kelamaan ya?Lantaran Flower-pun banyak kali kegiatan, diundang ke Medan buat ikut HAM, yg ngadakan PBHI Medan. Di situ belajarlah, belajar, belajar? Kemudian 2 minggu kemudian diundang sang LP3ES ke Jakarta, Flower yg kirim kan. Flower Aceh yang kirim. Dari situ, ini?Kan HAM jua dua minggu, menurut situ saya memahami bahwa ini merupakan Hak hayati, ini adalah hak petani. Dari situ aku tertarik, tertarik untuk belajar. Kalau kita ngak merubah nasib kita sendiri, itu kentara orang lain ngak akan merubah kan. Kan ada niatnya berdasarkan aku , kehidupan aku ini ingin merubah. Kalau kita monoton seperti ini, ya tidak akan berubahlah kehidupan kita. Gimana dengan masa depan kita?
H : Dari situ ya terus ada semangat buat??
M : He-eh. Dan banyak diskusi menggunakan mitra-mitra. Ketika pada training itu aku diskusi menggunakan mitra-kawan yg banyak sekali wilayah kan. Tertarik menggunakan masalah-perkara yg diceritakan oleh-sang kawan. Dari situ aku tertarik. Sebenarnya saya alami, saya sendiri mengalami hal misalnya itu, kenapa saya wajib tinggal membisu. Kenapa aku harus berjuang. Ternyata saya pikir-pikir lagi, kalau aku berjuang sendiri, itu tidak berhasil. Saya akan membangun grup & membentuk aliansi atau jaringan, paling nir kita ya?Biarpun nir semua perkara terselesaikan, paling nir sedikitnya akan ringan bagi saya.
H : Trus, sebelumnya tuch, pengurus desanya itu apa maksudnya? Jadi ketua desa atau ..?
M : Sekretaris desa.
H : O, sekdesnya ya. Tapi memang semua harus lewat sekdes kalau masuk?
M : Tidak mesti lewat sekdes. Karena waktu itu kan kita?Gimana ya, bukan?Kita pulang dalam sejarah. Kalau wanita saja yg kerja nir berhasil, kalau pria saja nir berhasil. Maksudnya wajib kerjasama. Jadi seluruh kabar itu?Memang ketika itu biar ketua desa pria, tapi yg menguasai desa kami. Yang menguasai desa, seluruh peraturan desa, kami yang aturkan, kami yang wanita, bergabung dengan organisasi PKK.
H : Itu memang kulturnya pada sana seperti itu memang? Perempuan yang punya poly kekuasaan, kekuatan buat mengatur?
M : O tidak, sebenarnya wanita tidak diberikan peluang sedikitpun buat menguasai jabatan. Jangankan untuk menguasai jabatan, buat musyawarah saja ngak bisa. Saya berjuang. Waktu itu, pada situ memang di desa, spesifik desa saya & banyak desa-desa yg lain, wanita kelas 6 SD telah dikawinkan. A, aku berjuang pada situ. Memang aku tamat PGA kan. Tamat PGA berjuang. Saya berjuang wajib mampu kuliah gitu, wajib sekolah. Waktu saya berjuang, macam-macam simbol (cacat, red) yang diberikan oleh masyarakat, tapi saya ngak open, yg penting saya wajib sekolah, harus memperbaharui desa saya. Akhirnya sesudah saya mensugesti orang-orang tua di situ, pada desa itu, kini udah poly wanita yg sekolah. Malah terdapat yg udah kuliah, kerja. Biarpun aku ngak sempat kuliah, tapi saya mensugesti mitra-kawan buat kuliah.
H : Sampai berapa usang usaha itu akhirnya baru sanggup berhasil?
M : Saya SMP, itu tergantung gimana ya, strategi apa yang kita gunakan. Saya masuk Sekolah Menengah pertama, kelas 1 SMP, itu yang lain udah..Kelas dua SMP udah ada yg ikutan saya buat masuk SMP, yang sekolah. Sampai kini .
H : Jadi sekarang boleh dibilang posisi perempuan pada desa situ sudah cukup lumayan setara ya?
M : he-eh.
H : Kenapa sich motivasinya mbak Muna, kok bisa sampai jadi aktivis, berjuang misalnya itu?
M : Lantaran kita merasa diri kita, hak-hak kita tidak diinikan..Jadi kita berjuanglah buat mendapat hak-hak kita, gitu.
H : Ada hambatan atau apa sich, sebagai aktivis selama ini hambatan terbesarnya apa?
M : Ya hambatan terbesarnya, karena kita bekerja di wilayah perseteruan, malah nyawa aku terancam. Ada desa, ada berapa kecamatan yang aku tinggalkan, saya nir mampu masuk lagi, lantaran aku memang orangnya keras gitu. Saya ngak mau? Keras kan kita lihat situasinya. Karena kita kan minta ini itulah sang pihak-pihak eksklusif. Kita ngak mau memenuhinya. Kalau kita udah penuhi sekali, niscaya orang itu akan minta lagi. Jadi aku dari pertama ngak akan memberikannya. Sampai sekarang ya?
H : Ngak menyerah gitu ya?
M : Ya.
H : Takut ngak sich waktu nyawa jadi taruhan, pada daerah perseteruan seperti itu?
M : O, bila bagi saya itu ngak. Hidup sekali, mangkat sekali. Itu, ngak terdapat istilah kata takut ini itu ngak terdapat bagi saya ya.























































Senin, 27 Juli 2020

[Profil] Cinta Ku dari Seberang Lautan

Sosok hitam cantik yg berpenampilan cuek ini buat ke 2 kalinya dipercaya sebagai SekJen JPL (Jaringan Pendidikan Lingkungan). Ninil R Miftahul Jannah yang lahir & dibesarkan di Surabaya ini telah menggeluti berita lingkungan sejak duduk pada bangku SMA. Kecintaannya terhadap lingkungan & rasa senang apabila bisa membantu orang lain telah mendorongnya buat melakukan aneka macam aksi atau aktivitas yang tentunya berkaitan dengan lingkungan.

Pengetahuan yg dimilikinya mengenai perlindungan, pendidikan lingkungan, advokasi untuk lingkungan & sebagainya, membuatnya merasa lebih logis buat tetap konsisten pada jalur yg dipilihnya. Pilihan buat menjadi aktivis ternyata memberikan peluang untuk bertemu banyak orang, termasuk Sang Belahan Hati.


Bekerja di LSM berarti bekerja dengan banyak orang, baik menurut dalam maupun luar negeri. Maka tidaklah aneh bila kemudian seseorang aktivis menemukan pasangan hidupnya berdasarkan global yg sama. Karena di mana ada kesempatan orang bertemu, di situ terdapat kesempatan buat menjalin rekanan, interaksi asmara, atau apa pun namanya.


Apabila seorang Ninil menemukan Belahan Jiwanya yang dari menurut belahan bumi yg lain, itu tidaklah semata-mata mengikuti tren para artis yang mencari ekspatriat buat menjadi pasangan hidupnya. Menurutnya, menjadi krusial bagi seorang aktivis untuk mempunyai pasangan yang sanggup menaruh dukungan. Biasanya aktivis itu mempunyai ?Hero? Yang bisa didefinisikan menjadi orang yg punya pemikiran yg bagus, punya idealisme, atau kapasitas yg bisa bersinergi. Pengalaman pribadinya mengungkapkan bahwa pasangan yg sanggup mengimbangi kekurangannya pula menjadi faktor pertimbangan yg penting.


Proses menilai calon pasangan lebih terbantu waktu ada forum pertemuan antara aktivis. Dalam lembaga-lembaga misalnya itu kita mampu memperoleh citra dan menganalisis seorang dari bagaimana beliau bicara, bagaimana cara berpikirnya, apa isi pembicaraannya & sebagainya.
Dengan begitu kita mampu memahami isi otaknya duluan, sedikit performancenya, kemudian kita tinggal mencari memahami norma-kebiasaannya yg lain. Lain halnya kalau kita ketemu menggunakan seorang pada mall, misalnya. Kita cuma sanggup melihat penampilannya saja.


Dari aneka macam kualifikasi, pilihannya lalu jatuh dalam Neville J. Kemp, pria bule yg sekarang menjadi ayah dari putrinya yang berusia hampir 3 tahun. Pilihan aktivitasnya sebagai aktivis menciptakan pasangan ini wajib pintar-pintar membagi saat antara kegiatan dan putri mereka. Pekerjaan-pekerjaan kontrak yang sifatnya berpindah-pindah tak jarang membuat keluarga mini ini berpisah buat jangka waktu yang cukup lama .


Keluarga kecil ini pun nir lepas dari kerumitan perkara keimigrasian. Indonesia menganut kewarganegaraan berdasarkan garis ayah sehingga Alissa, putri mereka, yg lahir di Indonesia pun secara otomatis sebagai warga negara asing. Lalu lantaran kebetulan suaminya tidak pernah mendapat ijin tinggal ad interim (hanya visa kunjungan biasa yg waktunya maksimal hanya 60 hari dan sanggup diperpanjang sampai beberapa kali), maka setiap 6 bulan sekali suaminya wajib ke luar negeri dengan putrinya. Untuk mengurus ijin tinggal ad interim diharapkan KTP buat wilayah di mana kantor imigrasi yg bersangkutan berada. Selama ini, hal itu belum sanggup diurus karena loka tinggal yang berpindah-pindah. Mungkin itu bukan kasus bagi yg mempunyai banyak uang. Namun bagi para aktivis yg nir bekerja pada suatu lembaga besar atau yang sudah establish (mapan), itu sanggup mejadi perkara.


Berbagai hal yg sebagai konsekuensi menurut apa yang sebagai pilihan kita, baik kegiatan, pasangan hidup, lokasi tempat tinggal, & sebagainya ternyata bisa dilalui secara bersama. Perbedaan cara pandang & latar belakang pasangan nir lagi menjadi masalah ketika keduanya telah saling mengetahui & menghargai ideologi dan nilai-nilai yang dibangun sang pasangannya. Setidaknya itulah yang diceritakan sang Ninil buat kita.




















Jumat, 24 Juli 2020

[Profil] Budhis Utami : Pluralisme Bagi Seorang Feminis

Kota besar yg penuh sesak misalnya Jakarta sesungguhnya adalah pilihan terakhir bagi gadis kelahiran Jember ini. Keterlibatan pada kegiatan kemasyarakatan seperti GMNI dan Organisasi Perempuan sudah dijalani sang seseorang Budhis Utami semenjak di bangku kuliah.
Merasa tertantang sang tawaran seseorang teman buat bekerja di Komisi Migran KWI, dia akhirnya memutuskan buat tiba ke Jakarta.

Ketertarikannya yg besar terhadap duduk perkara-problem yg dihadapi perempuan , membuatnya tidak bisa tanggal menurut rekan-rekannya yg berkecimpung di Organisasi Perempuan.

Setelah bekerja kurang lebih satu tahun di KWI, dalam bulan April 2001 beliau memilih buat bergabung menggunakan Organisasi Perempuan yaitu Kapal Perempuan yg kebetulan waktu itu masih baru. Di loka itulah beliau merasa aktivitasnya lebih menarik, aktif, & bergerak maju. Di sana juga lah dia menemukan bidang garap yg menjadi ketertarikannya, yakni wanita dan pendidikan. Kini ia bertanggung jawab menjadi Koordinator Program Orientasi Pendidikan Alternatif pada Kapal Perempuan.

Sejak awal didirikan, Kapal Perempuan mempunyai concern terhadap gosip wanita, pendidikan cara lain atau pendidikan kritis & pluralisme. Ketiganya itu bukan hal yg terpisah. Dalam aktivitas yg dilaksanakannya, Kapal Perempuan mencoba mengcover ketiga hal tersebut.
Dasar pendirian Kapal Perempuan itu sendiri berangkat menurut keprihatinan terhadap persoalan-duduk perkara yang terjadi di Indonesia, terutama selesainya runtuhnya Soeharto, kemudian adanya penerapan swatantra daerah, dan semakin banyaknya pertarungan yg diakibatkan oleh menguatnya primordialisme agama & suku.


Dalam kondisi-syarat itu sering posisi perempuan semakin terpuruk. Dalam konteks pluralisme, entah itu isunya kepercayaan ataupun suku sering wanita dijadikan sekedar simbol buat mencapai tujuan. Kalau suatu wilayah ingin menguatkan grup keagamaannya, maka kaum wanita lah yg pertama kali harus diatur., misalkan pada penerapan Syariah Islam. Kemudian dalam konflik-konflik itu, wanita juga seringkali dipakai menjadi simbol buat menghancurkan atau menjatuhkan kelompok versus, misalnya dengan perkosaan-perkosaan.


Menanggapi hal itu, Kapal Perempuan membuat Pendidikan Pluralisme buat pencegahan perseteruan & upaya perdamaian. Kapal Perempuan melihat bahwa wanita jua mempunyai potensi buat sebagai juru hening atau rekonsiliator pada pertarungan-perseteruan yg terjadi.


Sebagai langsung, pluralisme bukanlah hal yg asing bagi Budhis. Perjalanan pada mencari keyakinannya adalah suatu pengalaman tersendiri tentang suatu pluralitas. Demikian juga dalam menentukan organisasi & kegiatan yang dijalani, Ia pun mempertimbangkan pluralitas menjadi suatu hal yang wajib diterima bahkan menjadi suatu seruan buat mau terbuka pada orang atau kelompok yang tidak sinkron.


Ia memaknai pluralisme menjadi keterbukaan diri bagi orang-orang yg tidak sinkron atau suatu penghargaan terhadap disparitas yg dimiliki sang orang lain. Baginya pluralisme itu sendiri bukan hanya disparitas agama, tetapi jua cara pandang, jenis kelamin, ideologi, bahkan orientasi seksual yang tidak sinkron.


Dalam proses hubungan yang yg plural, memang perlu adanya penghargaan terhadap perbedaan nilai yang terdapat. Namun berdasarkan Budhis, itu tidak berarti bahwa kita berhenti buat mengkritisi persoalan yang ada di dalamnya. Penghargaan yg diberikan terhadap perbedaan itu harus mempunyai dasar nilai eksklusif. Apabila pada dalamnya ada nilai-nilai kekerasan atau ketidakadilan, maka kita perlu mempertanyakan itu.


Untuk mencapai suatu rakyat yang penuh penghargaan tetapi tetap kritis, dibutuhkan suatu ruang obrolan. Bisa jadi disparitas pandangan tentang suatu hal itu terjadi lantaran suatu asumsi tertentu. Memang dialog itu nir harus dalam bentuk yg formal.
Berbagai hambatan dalam upayanya memperjuangkan pluralisme, dianggapnya menjadi tantangan. Pandangan bahwa keberagaman menjadi sesuatu yang latif membuatnya terus memperjuangkan pluralisme. Kenangan akan perjuangan & pengorbanan Sang Ibu dan keluarganya selalu sebagai spirit baginya buat melakukan sesuatu bagi orang lain.


























Rabu, 22 Juli 2020

[Profil] La Via Campesina, gerakan global untuk kedaulatan pangan petani kecil

?Beli gula sih gula import aja, harganya lebih murah loh daripada harga gula lokal... Tidak mengecewakan kan ngirit!?
?Bukannya ngga cinta produk pada negeri, akan tetapi beras Thailand sudah lebih lezat harganya jua ngga jauh beda sama beras kita...?
?Mana sanggup menanam pada animo tanam sekarang? Harga pupuk dan bibit makin mahal! Harga panen makin murah saja!?

Begitulah komentar yang seringkali kita dengar terlontar menurut masyarakat kita. Keadaan menggunakan berlimpahnya produk luar negeri di pasaran lokal, kalah bersaingnya produk lokal hingga ketidakberdayaan petani pada suatu negara yg pungkasnya negara agraris.


Masalah ini muncul tak lepas berdasarkan perubahan sistem pertanian menurut pertanian organik yang memakai wahana produksi yang dibuat petani sendiri ke sistem pertanian kimia, yang menggantungkan pada wahana produksi protesis pabrik. Petani mulai tergantung dalam Negara menurut mulai pengadaan & harga bibit, pupuk, insektisida dan infrastruktur lainnya. Padahal, menggunakan sistem pertanian kimia ini, poly sekali kerugian yg dialami oleh para petani. Beberapa antara lain merupakan rusaknya kesuburan dan struktur tanah, hilangnya keseimbangan alam, rusaknya lingkungan serta rusaknya suatu sistem pertanian yang berkelanjutan.


La Via Campesina
Berangkat menurut keprihatinan akan nasib yang dialami sang petani hampir pada semua belahan global, maka terbentuklah La Via Campesina. La Via Campesina merupakan suatu gerakan yang mengorganisir para petani kecil hingga menengah, para pekerja tani, wanita desa & penduduk orisinil pada Asia, Afrika, Amerika & Eropa. Gerakan ini merupakan gerakan yang bersifat swatantra & pluralis, nir terikat sang kepentingan politik, ekonomi atau kepentingan lain. Sampai ketika ini, La Via Campesina beranjak pada delapan wilayah,- Eropa, Asia Tenggara, Asia Utara, Asia Timur Laut, Amerika Utara, Wilayah Karibia, Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Afrika.


Kedaulatan Pangan
Konferensi La Via Campesina Internasional yg ke-4 diadakan di Sao Paulo, Brazil, tahun .... Tujuan generik dari konferensi ini adalah buat membuatkan interaksi antara organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan para petani sebagai akibatnya mereka memiliki kecenderungan visi tentang bentuk perjuangan & siapa versus mereka; buat menciptakan suatu lompatan dalam hubungan internal dan eksternal mereka sendiri dalam melawan situasi internasional.


Dalam konteks ini, gosip kedaulatan pangan sebagai berita yg paling penting buat mengerti proses-proses pengorganisasian dunia petani. Kedaulatan pangan adalah hak yang menyatakan bahwa semua orang berhak buat mendefinisikan kebijakan sistem pertanian dan kebijakan pangan mereka tanpa adanya pengaruh dari negara lain. Definisi ini merupakan definisi politis krusial yg oleh La Via Campesina telah disetujui pada pertemuan World Food Summit pada tahun 1996,- yang berseberangan dengan konsep ?Keamanan Pangan? FAO.


Saat ini para petani dunia menghadapi contoh ekonomi yg dari pada konsentrasi kekayaan & kekuasaan yang membuat berakhirnya kemerdekaan & keamanan pangan secara terkenal diseluruh dunia; matinya keanekaragaman budaya dan ekosistem-ekosistem yang sudah menyangga kehidupan di planet kita ini. Karena alasan ini, La Via Campesina nir melupakan bahwa prioritas petani baik pria juga wanita merupakan buat membentuk kuliner yg sehat, bebas menurut organisme yang sudah dimodifikasi secara genetic (GMOs) dan tidak terlibat dari kepentingan perdagangan yang merusak yg diberikan sang WTO.


Oleh karenanya, kedaulatan pangan mengindikasikan partisipasi aktif berdasarkan gerakan-gerakan petani pada proses mendefinisikan sistem pertanian mereka dan kebijakan-kebijakan pangan yg mana kapasitas produksi pangan berdasarkan dari sistem produksi yang majemuk yg akan mengklaim kedaulatan & kemandirian pangan penduduk dunia. Pada kenyataannya, perkara pelik ini semakin hari semakin problematik. Terlebih menggunakan adanya pertentangan yg semakin meruncing misalnya adanya konvensi perdagangan bebas.


Dengan nir adanya pajak & ketiadaan kebijakan kuota dari pemerintah, produksi petani lokal kita harus bersaing harga menghadapi gempuran produk petani luar yang tiba. Sulit buat memenangkan persaingan ini karena modal mereka lebih akbar sehingga produk mereka bisa dijual menggunakan harga nisbi lebih murah. Ditambah lagi dengan perdagangan berlandaskan politik dumping, harga produk pertanian pada global sekarang dijual dengan harga lebih rendah daripada harga produksinya. Hal ini adalah salah satu penyebab kesulitan buat pertanian famili di seluruh dunia.


Sebagai manusia, menjadi organisasi & menjadi petani, terdapat senjata-senjata yang dapat digunakan buat melawan setan kapitalisme. Kemampuan buat memegang kendali atas benih, bebas dari pestisida dan pupuk kimia menjadi galat satu kunci krusial menuju ke arah kedaulatan pangan. Untuk meraih sukses pada seluruh hal-hal ini, para petani yang bergabung dalam La Via Campesina merasa amatlah perlu untuk mengorganisir diri dan menciptakan gerakan dunia. Kemampuan buat mengorganisasir diri tidak dapat diprivatisasi dan akan terus sebagai hak yang dimiliki sang setiap orang di dunia.
(Sumber: www.Viacampesina.Org, ditulis sang Oda)






























Senin, 20 Juli 2020

[Profil] Aviva Nababan

Berbeda menggunakan Yati, Aviva Nababan (biasa dipanggil Avi atau Iva oleh orang-orang terdekatnya) adalah seseorang jebolan Fakultas Pendidikan Sastra Inggris menurut Universitas Atmajaya. Sedari kuliah Avi acapkali terlibat dalam kehidupan aktivis. Menapaki trotoar panas & mengeluarkan aspirasi mahasiswa di era Reformasi ikut digelutinya. Setelah lulus, sedikit melenceng dari jurusan yang diambilnya ketika kuliah, Avi sempat terlibat relatif pada pada ELSAM, sebuah LSM yg menyoroti duduk perkara Hak Asasi Manusia. Tak relatif di ELSAM, Avi pun turut membidani kelahiran suatu Yayasan baru yang keprihatinannya adalah pendidikan kritis bagi kaum belia. Di yayasan yang diberi nama Association for Critical Thinking ini, Avi mendedikasikan ketika dan energinya secara cuma-cuma.

Menunggu dua tahun selepas lulus kuliah S1, Avie berhasil menggondol beasiswa ke London buat mengusut International Relationship melalui Chevening Scholarship. Minatnya pada transitional justice mulai terwadahi. "Gue selalu merasa transitional justice itu penting dalam mensukseskan transisi suatu negara menurut dictatorship ke demokrasi," tuturnya lugas. Minat pada hal inipun sudah dipendamnya sejak beliau masih belajar untuk menjadi guru.


Entah karena minat yg beliau miliki semenjak kuliah, sejak lulus, Avie belum pernah terjun ke dunia 'coorporate'. Sampai sekarang dia masih bergabung pada ACT. Namun satu organisasi belum cukup memuaskan sosok Avie yang tak sanggup membisu. Dia pun bergabung di ICTJ dan Human Rights Centre Berkeley. Meskipun sejarah hidupnya diwarnai menggunakan kehidupannya berdasarkan satu LSM ke LSM lain, Avie mengakui bahwa dia hanya ingin bekerja part time pada banyak sekali organ??Organisasi?? Yang beliau geluti sekarang. "Agar nir bosan dan punya keleluasaan menentukan pada proyek," alihnya. Dengan statusnya kini , Avie bebas memilih jam kerja dan berapa usang dia bekerja sehari. Terkadang saat jiwa workaholicnya kumat, beliau sanggup bekerja lebih menurut 12 jam sehari. Tetapi, disaat tertentu, dia sanggup berdiam seharian di rumah buat menikmati dirinya sendiri.
Dari kedua loka dimana Avie berafiliasi, beliau berhasil menerima keamanan finansial. "Cukup, relatif.." tuturnya. Tanpa perlu mendapatkan subsidi malahan justru menaruh subsidi dalam keluarganya, seseorang Avie membeberkan manajemen keuangannya. Dari jumlah dua-lima juta/bulan yg niscaya dia dapatkan (belum termasuk pekerjaan lepasan yg bersifat per proyek yg tidak tentu nominalnya), 30% dia berikan untuk famili, 30% buat tabungannya dan sisanya buat keperluan sehari-hari.


Salah satu saluran pembuangan keuangannya merupakan kitab . Beberapa juta niscaya beliau habiskan pertahun buat membeli buku. "Tak pernah terdapat budget pasti, tetapi ada beberapa juta." urainya. Beredar pada TIM, ISAI dan Q-B buat mencari kitab -kitab bagus acapkali dilakoninya. Dia sendiri mengatur buku-bukunya di rumah, terdapat buku-buku aturan (tentunya), sastra, novel suspense & banyak sekali jenis buku lain yang beliau beli tergantung moodnya waktu itu.


Waktu pada luar pekerjaannya sering di habiskan buat menjaga kesehatannya di fitness center. Selain itu beliau masih acapkali berkunjung ke tempat kuliahnya dulu. Avi pula bisa ditemukan di warung-warung indomie tempat temannya nongkrong atau pada caf?-caf? Karena dia adalah sesosok penggemar kafein.


Orang tuanya tidak berkeberatan melihat anaknya bergerak pada dunianya kini ini. Begitupun seorang lelaki yang dekat dengannya beberapa tahun ini. Malahan ungkapnya, "kekasihnya yang beranjak pada bidang BUMN terlihat ingin bekerja tampaknya." Itulah sosok seorang Avie, yg sampai ketika ini masih tetap konsisten menjalani minatnya, menuju negara yg demokratis.














[Profil] Yati (CL UPC): “Kita tidak perlu takut pada pemerintah”

Bicaranya ceplas-ceplos dengan logat Tegal yang masih kental, serta selalu berusaha membuat suasana gembira. Dialah Yati, perempuan kelahiran Tegal pada 20 Juli 1973. Walaupun cuma jebolan sekolah dasar, tapi Yati tidak berhenti untuk selalu belajar. Umur tiga tahun dibawa orang tuanya ke Jakarta, tapi kembali ke Tegal ketika umurnya tujuh tahun untuk disekolahkan di desa. Dia dititipkan dengan neneknya di desa untuk sekolah, karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah di Jakarta. Tapi pengalaman hidup di desa itu juga yang mengajari dia untuk bekerja keras. Umur tujuh tahun sudah membantu neneknya mengumpulkan padi yang tercecer di sawah dari hasil panenan para petani. Kemudian padi itu ditumbuk dan jadi beras, untuk akhirnya dijual atau digunakan sendiri.

Yati memang berasal dari keluarga miskin. Almarhum bapaknya dulunya pedagang kerupuk keliling, sedangkan emaknya sebelum jualan sayur di pasar adalah kuli penumbuk beras yang dijadikan tepung. Tapi emaknya rajin menabung sehingga dari kerja menumbuk beras uangnya bisa digunakan sebagai modal jualan sayur di pasar dan membeli sepetak kamar di Kebun Jeruk Timur, Jakarta Timur.


Tahun 1984 Yati kembali ke Jakarta dan bekerja membantu emaknya jualan di pasar jalan Kebun Jeruk Timur, Cipinang Besar Utara. Ketika hari-harinya sibuk dengan jualan itu, dia ketemu dengan seorang pemuda yang memikat hatinya. Yati menikah pada usia 15 tahun dengan pemuda dari Brebes bernama Rebon Rio pada tahun 1988. Dengan Rebon Rio, Yati dikaruniai tiga orang anak. Anak pertama bernama Qori Fitrian, kelas dua SMA. Yang kedua bernama Wawan Rianto, kelas tiga SMP, dan yang bungsu bernama Dewi Nurwinda, kelas 1 SMP.


Karena tidak ingin tergantung dengan orangtuanya, Yati mencoba berdagang sendiri, sedangkan suaminya mencoba jualan bubur ayam. Awalnya dia berdagang buah pisang, tapi usaha dagang pisangnya tidak bertahan lama karena suami sering sakit dan modal dagang dipakai untuk bayar biaya berobat. Untuk membiayai hidup keluarga, dia akhirnya menjadi buruh cuci pakaian sampai sekarang. Pendapatan suaminya waktu jualan bubur sekitar 60 ribu/hari. Tapi dari penghasilan tersebut digunakan untuk modal dagang lagi, dan sisanya baru dipakai untuk makan atau kebutuhan sehari-hari. Jika memang tidak ada sisa, maka keluarga Yati mengandalkan pemenuhan kebutuhan dari hasil jasa mencuci pakaian. Kalau pun masih kurang, biasanya dia hutang dulu ke tetangga dan membayarnya menunggu hasil jasa cucian berikutnya.


Kehidupan kelurganya memang susah, tapi tidak menyurutkan semangat Yati untuk memperbaiki kehidupan dirinya dan masyarakat sekitar. Dia menjadi tokoh di kampungnya, karena berusaha memperjuangkan hak-hak rakyat miskin. Apalagi setelah dia ikut dalam aktifitas Jaringan Rakyat Miskin Kota Jakarta. Beragam demonstrasi sudah diikuti, dan seringkali dia didaulat untuk berorasi karena cara bicaranya yang menarik dan tuturkatanya yang runtut. Apalagi Yati sendiri merasa senang berorasi karena bisa mengutarkan unek-uneknya yang selama ini cuma terpendam dalam hati.


Kemampuannnya berbicara di depan umum, membuat dia sering ditunjuk untuk menjadi wakil dari Jaringan Rakyat Miskin Kota ketika berhadapan dengan pemerintah atau pihak luar. Misalnya ketika ketemu dengan Komisi VII DPR RI untuk membahas RUU Pelayanan Publik, dia menjelaskan keberadaan rakyat miskin kota yang sering tidak bisa mengakses fasilitas publik. Dan seringkali hal tersebut cuma disebabkan karena tidak punya KTP. Ketiadaan KTP seperti meruntuhkan segala hak yang seharusnya diterima oleh rakyat miskin kota. Pernah pada tahun 2005 lalu dia diwawancarai oleh salah satu stasiun TV-ANTV soal dana kompensasi BBM yang ternyata tidak menyentuh rakyat miskin kota. Menurutnya rakyat miskin kota banyak yang tidak tersentuh kebijakan kompensasi kenaikan BBM karena peroslan mereka tidak punya KTP. “ Kalau pemerintah salah ya harus diprotes. Kita tidak perlu takut pada pemerintah”. Ucapnya suatu kali ketika diwawancarai.


Kegiatan sehari-hari yang dilakukan adalah menjadi kolektor tabungan yang anggotanya mencapai 125 orang. Tabungan ini berbeda dengan tabungan biasanya, karena kolektor tidak hanya mengumpulkan uang tapi juga mengumpulkan informasi. Dengan begitu, seorang kolektor pasti akan banyak mengetahui informasi tentang kampungnya, khusunya persoalan yang sedang dihadapi. Dalam kelompok tabungan di kelompoknya ini, setiap hari Jum’at ada uang kas untuk kesehatan dan pendidikan sebesar Rp.500,-. Peran menjadi kolektor akhirnya membuat Yati dekat dengan warga sekitar, sehingga kerap kali dimintai tolong oleh tetangga yang mengalami kesusahan. Biasanya kesusahan tetangganya berkaitan dengan anggota keluarga yang sakit tapi tidak punya biaya berobat. Kalau menghadapi seperti itu, yang dilakukan Yati adalah mengurus untuk pengobatan tetangganya itu dengan mengundang Tim Kesehatan Alternatif Jaringan Rakyat Miskin Kota, atau jika kesehatan alternatif tidak mampu, dia mengurusi surat-surat tidak mampu agar bisa berobat di Rumah Sakit secara gratis. Pernah pula bersama dengan kelompok tabungan dan warga sekitar, Yati datang ke kantor Kelurahan untuk memprotes lurah yang tidak mengurus administrasi warga miskin dengan baik. Akhirnya lurah tersebut berjanji akan mengurus kebutuhan administrasi warga dengan baik. Dengan semua yang dilakukannya itu, bukan imbalan materi yang diharapkan Yati. Dia sudah merasa bahagia jika bisa menolong orang lain.
















Sabtu, 18 Juli 2020

[Profil] Putu Oka Sukanta Progresif dengan Kesehatan Alternatif

Profil Proaktif kali ini mengangkat tokoh yang nir asing lagi. Putu Oka Sukanta, sosok yg lebih populer di luar negeri lantaran karya sastranya daripada pada dalam negeri. Terkait menggunakan kesehatan alternatif, ketika ini dia sedang menuntaskan buku ?Akupresur Tangan yang Aman dan Bermanfaat.?
Sejak kecil beliau terbiasa hidup di antara masyarakat miskin, petani, nelayan dan perempuan pekerja. Ayah dan ibunya, petani yang buta huruf beserta Bude-nya, memberikan contoh keseharian bagaimana menghormati manusia lain, terutama yang lebih miskin. Salah satu hasil dari nilai yang ditanamkan oleh ketiga sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupannya adalah Taman Sringanis. Lelaki kelahiran Singaraja, 29 Juli 1939 ini merupakan penggagas Taman Sringanis yang terletak di Bogor. Dari sebidang tanah yang dibeli berkat uang warisan orang tua, dibentuklah tempat yang dibuka untuk umum. Di sini publik dapat belajar berbagai jenis penguatan diri di berbagai bidang kehidupan yang tidak menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk menghormati orang tua beliau yang berasal dari Bali maka diberilah nama kegiatan dan tempat tersebut Taman (nama ibu Ni Ketut Taman) dan Sringanis (nama kakak perempuan ibu yang tidak menikah, Ni Ketut Sringanis).

Asam garam telah mewarnai bepergian hidupnya. Pada tahun 1968, beliau pada penjara terkait dengan gosip G30SPKI. Di penjara Salemba, dia ditempatkan satu sel menggunakan seseorang dokter bernama Lie Tjwan Sen yang mengusut akupunktur di Korea Utara. Dokter inilah yang pertama kali mengenalkan dunia akupunktur kepadanya. Dengan segala keterbatasan yg ada di penjara, keduanya berusaha menaruh & mendapat ilmu sebaik-baiknya. Tidak ada catatan karena tidak terdapat buku ataupun indera tulis. Semua falsafah, teori dasar dan cerita mengenai akunpunktur berpindah berdasarkan otak oleh pengajar ke otak sang anak didik. Keterbatasan jarum diganti menggunakan bisnis membuat jarum menurut senar gitar no. 5. Praktek langsung dilakukan sembunyi-sembunyi agar nir ketahuan petugas. Para tahanan yg sakit menjadi pasiennya & jumlahnya poly.
Setelah keluar menurut penjara Salemba ke penjara seluas tanah air pada tahun 1976, Pak Putu memperdalam akupunktur dan mengikuti ujian pembakuan yg diselenggarakan Dinas Kesehatan dalam tahun 1978. Pada tahun yang sama, Pak Putu meminta izin praktek dan berakibat akupunktur sebagai asal kehidupan. Dua tahun lalu, Pak Putu menggandeng beberapa akupunkturis Tionghoa buat membuka klinik dan menampung poly bekas tahanan yang sudah lulus ujian negara akupunktur & memperoleh izin praktek.
Di awal tahun 80-an, Pak Putu telah dikenal oleh warga internasional. Beliau dipanggil ke Bangladesh & Srilanka buat mengajari akupresur dalam peserta training. Tak hanya pada peserta pelatihan, Pak Putu juga masuk ke desa-desa buat mengajari akupresur buat para petani di sana. Kegiatan misalnya ini berlanjut sepulangnya ke Indonesia. Tahun 1984, Pak Putu menyebarkan training akupresur buat kader-kader kesehatan (PKK) menggunakan sepengetahuan Dinas Kesehatan. Namun di tahun 1989, Orde Baru yg dimotori sang Golkar & militer menggulung yayasan Pak Putu menggunakan alasan menampung terlalu banyak bekas tahanan.
Pak Putu mengalami tahanan lagi, digebuki & disetrum lantaran seringkali ke luar negeri tanpa izin dan dianggap mengembangkan metode komunis. Beliau dituduh dibiayai oleh gerakan komunis bawah tanah buat melakukan bepergian. Pada awalnya beliau menempatkan praktik akupunktur sebagai mata pencaharian, namun peristiwa penahanan kedua mengubahnya. Sejak itu dia secara konsisten menghadapi & melawan apa yg dianggap subordinat & stigmatisasi. Akupunktur dijadikannya media perjuangan untuk menandakan bahwa terdapat ilmu kesehatan lain selain ilmu kesehatan modern. Dan ilmu non kedokteran modern ini bisa menjadi media pemberdayaan bagi setiap orang. Dalam teori akupresur, setiap orang tidak cepat-cepat menyerahkan dirinya ke pelayanan pengobatan, melainkan mencoba kemampuan dirinya terlebih dahulu, dengan mengaktifkan potensi yg ada di dalam tubuhnya.
Beliau ingin mengubah stigma bahwa tidak ada ilmu kesehatan lain selain ilmu kedokteran. Pak Putu ingin menghentikan pemberangusan budaya & tradisi berkesehatan rakyat yg menuduh pengobatan tradisonal itu tidak ilmiah & tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Yang Pak Putu inginkan merupakan pengobatan tradional bisa berkembang secara wajar sehingga dapat membuktikan dirinya menjadi ilmu kesehatan yang mempunyai cara berpikir sendiri (baik itu terminologi, falsafah juga paradigmanya). Dengan demikian, pengobatan tradional bisa terintegrasikan pada pelayanan kesehatan, tidak diposisikan sebagai pengobatan komplementer semata. Biarlah semua obat kimia kedokteran & tradional terintegrasi dalam sebuah atap pelayanan, berjalan harmonis dengan mengetahui keterbatasan masing-masing. Untuk mewujudkan keinginannya, Pak Putu masih tak jarang memperbanyak kajian, menciptakan pendidikan secara teratur & bersiklus dan mempraktekkannya, termasuk pada Taman Sringanis.
Beliau membuka pelayanan akupunktur dan herbal di klinik pribadi selama 3 hari per minggu. Namun, akupunktur adalah profesi yang beliau kembangkan ke masyarakat. Tidak hanya mengobati, beliau juga mengajarkan cara-cara akunpunktur kepada publik. Berbekal pengalaman (tradisi) dan ilmu yang diperoleh secara otodidak dan learning by doing, beliau bersama istri yang tadinya penari kemudian beralih profesi menjadi akupunkturis dan herbalis.
Sejak tahun lalu, Pak Putu Oka Sukanta menjadi Direktur Program Komplementer untuk HIV/AIDS, sebagai bagian dari program Care, Support and Treatment, yang didukung oleh IHPCP/Aus AID. Kegiatannya adalah memberikan informasi, latihan dan terapi dengan cara akupresur, olah napas dan meditasi serta minuman sehat (jamu enak) kepada orang-orang yang terinfeksi HIV di Rumah Sakit Sulianti Saroso Jakarta, Penjara Bulak Kapal Bekasi, Penjara Paledang Bogor, dan Puskesmas Balimester Jakarta, serta menerbitkan buletin KOMPLEMENTER.
Sehat menurutnya adalah sebuah manifestasi terbentuknya ekuilibrium (harmoni) nisbi antara semua nilai kehidupan, baik itu fisik, mental, spiritual dan lingkungan.
Menurut Pak Putu, kendala yang sering dihadapi para aktivis adalah susahnya berkata tidak terhadap pekerjaan dan tantangan yang ada. Akibatnya, banyak aktivis sering mengalami kenaikan tekanan darah sering, nafas pendek dan emosional.
Menurut beliau, hambatan tersebut bisa diatasi dengan berdamai dengan diri sendiri, serta menyadari keterbatasan kemampuan, ruang dan saat. Selain itu, mengatur pola makan & minum yang lebih sehat, berolah raga, beristirahat lebih banyak dan berani mengatakan TIDAK menggunakan santun & hormat terhadap hal-hal yg diperkirakan akan membuat kondisi kesehatan terganggu.
Beliau melihat bahwa banyak sekali aktivis yang berpikiran maju, bersemangat tinggi, dan punya wawasan politik luas; tetapi sayang, dalam bidang kesehatan mereka masih lebih banyak berorientasi (bahkan ada yang bergantung total) kepada pelayanan kesehatan modern (industri kedokteran dan industri farmasi). Kesehatan tidak dirawat sebagaimana merawat organisasi dan programnya. Para aktivis sering lupa bahwa mereka mempunyai potensi diri dan alam yang dapat dijadikan pendukung,- alternatif perawatan kesehatan. Lupa punya sinar matahari pagi, lupa punya udara segar (oksigen), lupa punya bumbu dapur, lupa punya berbagai jenis buah dan sayuran dalam negeri, lupa punya jari tangan yang dapat difungsikan untuk kesehatan. Komentar guyonan beliau tentang para aktivis itu adalah; “Politik progresif, tapi kesehatan konservatif bahkan reaksioner”.
Tetapi Pak Putu tidak hanya berseloroh. Beliau beropini bahwa hal tersebut memang terjadi karena selama ini kita terkooptasi pada asumsi bahwa hanya ada satu ilmu kesehatan yaitu ilmu kedokteran terbaru. Pandangan seperti ini merupakan pengaruh dari agresi industrialisme dalam bidang kesehatan yang sudah berlangsung semenjak zaman penjajahan Belanda. ?Ilmu kedokteran terbaru memiliki keunggulan yang harus dibayar dengan uang poly, tetapi terdapat ilmu kesehatan non kedokteran terbaru (non konvensional) yg belum diaktualisasikan & dioptimalkan pemanfaatannya?, ungkapnya.
Beliau mengajar kita semua untuk menyadari hak dan kewajiban kita dalam membina kesehatan diri sendiri dan masyarakat. Caranya yaitu dengan mempelajari ilmu-ilmu kesehatan non konvensional dan memilih mana yang paling mungkin dilakukan, artinya aman, bermanfaat, rasional, mudah dilakukan, tersedia cukup banyak dan harganya terjangkau.
Beliau juga membagikan tips-tips bagi para aktivis agar tetap sehat dan prima untuk membuat perubahan, di antaranya:

Olah napas: Tarik napas dalam-dalam, simpan di dalam tubuh (bisa di paru-paru, di perut atau bagian tubuh lainnya) sekuatnya (sampai setengah menit), kemudian keluarkan perlahan-lahan lewat mulut. Lakukan di mana saja, kapan saja dan berulangkali. Maknanya: penyerapan oksigen lebih banyak bisa sampai 80% untuk memperkuat Natural Killer di dalam tubuh.


Makanan dan minuman sehat: hindarkan zat penyedap, zat pengawet dan zat pewarna, nikotin. Jadikan makanan dan minuman sebagai obat, dan obat sebagai makanan dan minuman.
Jari-jari tangan: gunakan untuk memijat titik-titik penting di permukaan tubuh sesuai dengan teori akupresur.
Berpikir positif: perbedaan adalah kekuatan, dan kesetaraan adalah dasar hidup bermitra.
***
(Ditulis menurut wawancara via email oleh Hilda Lionata)























Kamis, 16 Juli 2020

[Profil] Nenek Della; Tak Tunduk Pada Usia Tak Takluk Pada Hidup

Dalam satu masa kehidupan seseorang, ada kalanya seseorang ’terduduk kalah atas hidupnya sendiri’. Ada yang tetap ’duduk’, meratap, menangis meraung tanpa berusaha untuk bangkit melupakan penderitaan dan menatap masa depan. Namun, sosok lembek seperti itu tidak akan kita temui pada profil Proaktif kali ini, Nenek Della, seorang pemimpin kampung (community leader, CL) UPC Jakarta.
Penderitaan & murung bertubi-tubi sempat menghampiri Nenek Dellayang dilahirkan dalam hari terakhir (31 Desember) tahun 1950 pada Palembang ini. Ia pernah merasa hidupnya hancur & sudah nir ada masa depan lagi buatnya. Beberapa teman, Rasdullah & istrinya, selalu menyemangati Nenek Della buat bangkit, buat tidak selalu bersedih. Caranya yaitu menggunakan berorganisasi. Harapannya, menggunakan bertambahnya sahabat & kesibukan, tentunya kesedihan usang kelamaan akan hilang. Nenek Della diajak bergabung pada aktivitas-aktivitas UPC.

Akhirnya Nenek Della mulai ikut pada aktivitas-aktivitas UPC. Pada awalnya ia susah menyesuaikan diri. Tapi lama kelamaan dia makin tertarik dengan aktivitas-aktivitas di UPC & sedikit demi sedikit mulai melupakan kesedihannya. Kegiatan pertama yg diikutinya merupakan gerombolan tabungan. Sekarang beliau masuk ke bagian advokasi.
Pekerjaan sehari-hari Nenek Della selain aktif di UPC adalah, mengerik dan mencuci kemasan gelas air mineral. Untuk 2000 kemasan (1000 ngerik ditambah 1000 nyuci) ia dibayar sebesar Rp. 10 000,-. Uang ini tidak hanya untuknya, tetapi juga untuk menghidupi satu anak, satu menantu dan tujuh orang cucu. (Satu orang menikmati Rp. 1000,-/harinya).
Nenek Della, sangat bangga kepada cucu-cucunya. Cucu-cucunya yang tidak hanya berpangku tangan melihat keadaan hidup mereka. Seperti cucunya yang tertua, Peggi, kelas 2 SMU, dibebaskan dari membayar uang sekolah karena tidak segan membantu pihak sekolah membersihkan kelas-kelas di sore hari. Bukan hanya Peggi yang tidak perlu membayar uang sekolah, seorang adiknya yang bersekolah di sana pun kecipratan.
Cucu Nenek Della yang lain, Angga, kelas lima Sekolah Dasar, nir segan mencari ikan ke pelelangan di dekat rumah mereka yg berada pada Kebon Tebu, Muara Baru, Jakarta Utara. Ikan-ikan tadi lalu dijual & umumnya Angga berhasil membawa uang Rp.6 000,- sampai Rp.7 000. Uang tersebut tidak digunakan buat jajan, tetapi buat membayar uang sekolah.
Kebanggaan & sayang yang teramat buat cucu-cucunya ini yang menciptakan Nenek Della tetap semangat buat terus berjuang buat melawan ketidakadilan ataupun perlakuan semena-mena menurut penguasa terhadap masyarakat miskin kota.
?Situasi yg membuatku tetap semangat buat berjuang pada UPC... Karena bukan hanya untukku, tetapi jua untuk anak cucuku. ?
Meskipun, indikasi-indikasi tak belia lagi telah sangat terlihat dalam sosoknya. Rambut yang telah nir hitam lagi, kulit yang telah poly keriput atau pun gigi yang telah tak lengkap lagi. Usia yg sudah senja dan fisik yang tidak kokoh lagi itu, tidak mensugesti semangatnya, tidak mengurangi lantang suaranya waktu berorasi mendemo penguasa & tidak mengurangi kegesitannya mengunjungi warga miskin kota lain yg sebagai korban kesewenang-wenangan penguasa.
Tekad sudah bulat, ”selama masih bernafas, tidak akan berhenti berjuang”.
Nenek Della, sosok aktivis perempuan yang tak tunduk dalam usia, pun tidak takluk dalam hayati. (Lola)










Senin, 13 Juli 2020

[Profil] Nirmala Nair : Walk The Talk and Live Your Truth



Namanya Nirmala Nair. Dia biasa dipanggil Nirmala. Perjalanan Nirmala sebagai seorang aktivis cukup panjang. Kegiatan Nirmala bervariasi,  mulai dari menjadi fasilitator, peneliti, trainer, dan konsultan.  Pada tahun 70-an Nirmala bekerja di Barefoot College, Rajastan, India. Dia juga sempat menjadi konsultan di berbagai LSM. Kini, Nirmala merupakan aktivis di Zero Emmisions Research and Initiatives (ZERI), sebuah jaringan global yang memanfaatkan sains untuk menemukan solusi-solusi untuk berbagai masalah lingkungan. Selama 18 tahun terakhir,
Nirmala tinggal pada Cape Town, Afrika Selatan.


Desember 2011 yang lalu, Nirmala datang ke Bandung untuk berbagi pengetahuannya mengenai yoga, gaya hidup yang sehat, dan keterkaitannya dengan pembangunan berkelanjutan. Selama di Bandung, Nirmala memberikan kuliah umum mengenai pembangunan berkelanjutan dan juga menjadi fasilitator pelatihan yoga yang  diselenggarakan oleh KAIL. Sejumlah aktivis ikut serta dalam kegiatan tersebut.


Saat memfasilitasi pelatihan yoga, Nirmala bukan hanya mengajarkan gerakan-gerakan yoga dan  gaya hidup sehat. Dia juga menjelaskan mengenai industri makanan, obat-obatan, dan supermarket yang senantiasa berhasil menciptakan konsumen-konsumen yang tidak sadar terhadap apa yang dimakannya. Mereka tidak paham dari mana makanan tersebut berasal. Mereka juga tidak paham apakah makanan tersebut dibutuhkan oleh tubuhnya atau tidak.


Mbak Susan, seorang aktivis KAIL, datang ke tempat pelatihan yoga dengan membawa  berbagai bumbu dapur, daun-daunan, akar-akaran dan buah-buahan khas Indonesia. Ada kunyit, jahe, gula merah, singkong, daun singkong, daun pandan, daun jeruk jambu, markisa, dan jeruk bali. Semuanya digelar di atas tikar untuk ditunjukkan kepada Nirmala. Nirmala menciumi baunya satu per satu dan mencicipinya dengan khidmat. Selama di Bandung, Nirmala juga mencicipi berbagai jamu-jamuan khas Indonesia seperti minuman kunyit asem, beras kencur, kunyit putih.   “Betapa kayanya Indonesia dengan segala bumbu, dedaunan, buah-buahan ini,” ujarnya. Bagi Nirmala, berbagai bumbu dan makanan lokal harus senantiasa dipelihara. Ilmu mengenainya harus diturunkan dari generasi ke generasi mulai dari bagaimana menanam sampai mengolahnya. Melakukan itu merupakan salah satu cara umat manusia menjaga kehidupan (sustain life).


Bagi Nirmala, percuma saja bila ada seseorang yang membicarakan pembangunan berkelanjutan (sustainability development) ketika dia tidak tahu caranya menjaga kehidupan. Nirmala berpegang teguh pada prinsip, walk the talk and live your truth yang artinya kita harus menjalankan apa yang kita bicarakan, dan hidup sesuai apa yang kita anggap benar.


?Saya merasa sangat murka ketika seseorang berbicara tentang pembangunan berkelanjutan tetapi tidak hidup berkelanjutan. Orang-orang ini tiba ke konferensi mengenai pembangunan berkelanjutan. Mereka tiba menggunakan kendaraan beroda empat, lalu memberikan pidato tentang hayati yang berkelanjutan. Ketika mereka balik ke kehidupan langsung mereka, mereka nir tahu caranya mempraktekkan apa yg mereka ucapkan.?


Buat Nirmala, pembangunan berkelanjutan kini menjadi semacam sebuah industri besar. Baik industri dan koorporasi seakan-akan punya sebuah check list mengenai apa-apa yang harus dilakukan terkait pembangunan berkelanjutan. Mereka menjalankan CSR mengenai pembangunan berkelanjutan, membuat sebuah gerakan berlabel ‘industri hijau’ tetapi di sisi lain mereka tetap mengeksploitasi lingkungan.


?Sulit bagi aku menerima kontradiksi ini. Setidaknya kalau anda tidak percaya bahwa anda sanggup hidup berkelanjutan, jangan berbicara tentang hayati berkelanjutan layaknya seseorang ahli. Setidaknya bersikaplah jujur!?


Nirmala jauh lebih menghargai orang yang mengatakan bahwa mereka tidak percaya dengan  pembangunan berkelanjutan dibandingkan dengan orang yang bercuap-cuap mengenai pembangunan berkelanjutan tetapi tidak menjalankan apa yang dikatakannya. Kegelisahan Nirmala terkait hal ini disampaikannya dalam sebuah puisi The Myth of Sustainable Development.
(Dhitta Puti Sarasvati)



























Jumat, 10 Juli 2020

[Profil] Perempuan Pejuang Lingkungan







Anilawati Nurwakhidin (Koordinator Tim Kampanye Zero Waste YPBB)


Sosoknya begitu sederhana & wajahnya tanpa polesan make up. Dengan kerudung & sandang kalem yg biasa dikenakan, senyumnya yang ramah nir pernah lepas saat kita menyapa. Perempuan kelahiran 3 Juni ini poly menghabiskan hari-harinya di Bandung meski berdomisili menggunakan nenek dan kakeknya pada Cimahi.


Tidak pernah terpikir sebelumnya Anil akan menjadi seperti sekarang ini, sebagai aktivis lingkungan. Mengenang masa kecilnya, Anil mengaku tidak punya cita-cita, ingin jadi seperti apa. Hari-harinya dihabiskan dengan sekolah. Orang tuanya tidak terbiasa berdiskusi tentang visi hidup dengan anak-anaknya. Di sekolah, katanya, Anil tidak ikut kegiatan berorganisasi. Baru di dunia kampus, dia mengenal kegiatan berorganisasi walaupun sifatnya lebih ke sebagai kegiatan pengisi waktu. Yang terpikir saat itu adalah menjalani sekolah sesuai jenjangnya. Kemudian, setelah lulus kuliah, ya kerja. Kerja itu harus yang menjanjikan di masa tua (baca: pensiun), begitu ucapan orang tuanya saat itu. Meski kuliah di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia, dulu namanya IKIP) yang lulusannya identik dengan menjadi guru, tapi Anil tidak berminat menjadi guru di pendidikan formal atau menjadi PNS sesuai keinginan orang tuanya.


Sampai akhirnya pada tahun 2004, hati Anil terusik ketika mendengarkan siaran salah satu radio swasta di Bandung yang secara rutin menayangkan topik lingkungan. Ia pun menyadari, selama ini ia selalu mencari keterkaitan antara kondisi lingkungan yang ada dengan aktivitas kesehariannya. Di kesempatan lain, Anil menemukan informasi tentang kegiatan kereta kota dari YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi, salah satu organisasi lingkungan yang fokus pada isu gaya hidup organis)  di mading kampus. Tidak menunggu lama, Anil langsung mendaftar dan terlibat dalam kegiatan relawan. Di sana, Anil mendapat suasana yang berbeda. Hal ini membuat Anil termotivasi untuk belajar dan bisa berperan sesuai dengan minatnya.


Seiring dengan berjalannya waktu, Anil mengajukan diri menjadi staf YPBB. Anil menemukan sosok yang menginspirasi dan mengubah jalan hidupnya. David Sutasurya (Direktur YPBB) meyakinkan dirinya bahwa kalau kita mau serius di dunia ini pasti ada jalan. Saat itu kondisi YPBB sedang kesulitan pendanaan, tapi hal itu tidak menyurutkan Anil untuk tetap bergabung. Proses pembelajaran di YPBB dijalankan Anil secara bertahap dengan mengkoordinir teman-teman relawan. Untuk peningkatan kapasitas diri, Anil magang di lembaga lain dengan menjalankan peran yang berbeda seperti menjadi notulen, maupun memfasilitasi pelatihan. Sampai akhirnya Anil mendapat tanggung jawab yang lebih besar sebagai Koordinator Program Kampanye Zero Waste.



Anil, duduk di depan, menggunakan kaus hijau, pada pembinaan Cara Berpikir Sistem


yg diselenggarakan sang KAIL

Menjalankan peran sebagai Koordinator Program Kampanye Zero Waste, Anil belajar mengenal jenis-jenis orang yang “berbeda” dan sekaligus melihat bahwa di dunia ini, ada pilihan lain dalam beraktivitas. Adanya dukungan sesama koordinator menjadi penyemangat Anil dalam mengemban tugasnya. Suasana kerja, nilai-nilai di dalamnya dan adanya teman yang saling mendukung menjadi faktor penguat mengapa Anil bisa bertahan sampai enam tahun di YPBB.


Ketika ditanya soal visi hidup, “Ini selalu menjadi bagian yang sulit dijawab”, kata Anil. “Secara gampangnya, saya cukup bahagia bila bisa kumpul dan senang-senang bersama. Saat ada masalah, ada teman untuk tempat bercerita, tukar pikiran dan menyebarkan semangat ber-zero waste. Juga bila hidup ini bermanfaat untuk orang lain”, lanjut Anil. Biasanya Anil sangat membutuhkan teman-teman yang bisa diajak ngobrolsebelum membuat keputusan apapun. Mungkin itu juga sebabnya Anil tidak bisa diam dan merasa efektif berpikir kalau sambil berbicara. Sampai ada salah satu teman yang memberi saran kepada Anil untuk mencoba mencatat apa yang Anil bicarakan, sebagai bentuk apresiasi tidak bisa diamnya Anil.


Yang paling menarik dari Anil adalah, ke mana pun dia pergi baik urusan kerja atau pun pribadi, Anil selalu mengkampanyekan gaya hidup organis. Di dalam tasnya tidak pernah ketinggalan satu paket botol minuman (tumbler), wadah makanan, sapu tangan kain dan tas kain bila sewaktu-waktu diperlukan. Jadi dalam membeli sesuatu diusahakan untuk tidak menghasilkan sampah (zero waste) atau paling tidak mengurangi sampah dari awal.

Kekonsistenan dan komitmen untuk menjalankan hidup yang tidak menghasilkan sampah atau tidak berdampak besar pada lingkungan ia coba untuk terapkan dalam kesehariannya. Misalnya kebiasaan menggunakan kendaraan umum, menolak menggunakan sedotan untuk minum, dan lain sebagainya. Kebiasaan ini juga ditularkan Anil ke beberapa teman kuliah yang sering kumpul bersama dan  awalnya tidak mengenal isu zero waste sama sekali. Sampai-sampai ada istilah yang cukup trend di kalangan aktivis lingkungan yaitu ‘dosa ekologis’. Lewat sikapnya ini Anil ingin menunjukan pada orang lain bahwa kita bisa hidup selaras dengan alam dan mengingatkan kepada kita bahwa daya dukung alam itu ada batasnya. Hidup nyaman dan bahagia pun bisa dicapai kalau kita bisa hidup zero waste.
Contoh lainnya, dia pernah mengirim liputan di media sosial tentang sepatunya yang bolong & terpaksa harus membeli sepatu baru. Usia sepatu tersebut sudah relatif usang dan seringkali tembus air apabila hujan. Itu satu-satunya sepatu yg Anil punya. Ternyata, yang menanggapi kiriman keterangan tersebut sampai 32 orang. Juga hal lainnya seperti baju. Orang akan melihat baju yang dipakai Anil itu-itu saja. Padahal dibalik itu semua, Anil mencoba berkampanye buat menggunakan atau memakai barang apapun selama mungkin, termasuk baju yang dikenakannya.
Maria Hardayanto (Penggagas Komunitas Engkang-Engkang dan Komunitas  Sukamulya)

Adakah yg pernah mendengar kudapan manis brownies ganyong dan tumpeng menurut singkong? Ganyong sendiri merupakan nama jenis tumbuhan lokal orisinil Jawa Barat dan disulap sebagai kue oleh bunda Maria. Biasanya pada setiap kegiatan yg diikuti oleh komunitas binaan ibu Maria selalu terdapat kudapan manis tersebut, sebagai alternatif penganan lain pada hal ketahanan pangan.


Komunitas Engkang-engkang dan Komunitas Sukamulya adalah kumpulan ibu-ibu yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan sekitar rumah, baik dalam pengelolaan sampah, pemanfaatan pekarangan rumah (urban farming) dan pembuatan jenis makanan dari bahan-bahan lokal. Walau komunitas ini belum genap dua tahun tapi secara perlahan melangkah maju dengan caranya sendiri. Siapakah yang menjadi penggagas komunitas ini?


“Bunda”, begitu sapaan akrab bu Maria diantara para aktivis lingkungan di Bandung. Meskipun sudah berusia 51 tahun tapi ibu empat orang anak ini selalu terlihat ceria dan penuh semangat. Kegiatan sebagai ibu rumah tangga mulai berkurang karena anak-anak sudah semakin besar dan kebanyakan mengambil pendidikan di luar kota, membangkitkan kembali gairah bunda untuk beraktivitas. Kalau kata orang, bunda itu seorang ibu yang sangat aktif dan tidak bisa diam. Seperti kebanyakan ibu-ibu yang lain, bunda ikut arisan, pengajian dan terlibat dalam program PKK . Tapi bunda merasa masih ada yang kurang. Akhirnya ia mencari aktivitas lain, seperti menghadiri pertemuan zero waste community  dan kegiatan BILIC (Bandung Independent Living Center), dimana bunda bertemu dengan teman-teman difabel (istilah lain dari penyandang cacat). Dari situlah awal kebangkitan bunda menjalankan aktivitasnya. Untuk mendukung gerakannya, bunda banyak membaca literatur dari buku dan menjelajah dunia maya . Termasuk juga ide membuat brownies ganyong, ia dapatkan dari penjelajahannya tersebut.


Dalam membangun komunitas dampingannya, bunda mengalami pasang surut. Tapi itu semua tidak membuat bunda mundur. Mendukung lingkungan hidup secara nyata melalui pembuatan kompos skala rumah tangga, menanam sayuran segar dan membuat penganan non beras. Biasanya kalau ada program membuat kue, kue tersebut adalah hasil patungan anggota komunitas. Ada yang membawa telur, terigu, mentega, dsb. Jadi, program tersebut berbasis prinsip dari anggota, untuk anggota dan dinikmati oleh anggota pula. Juga mengolah hasil kebun yang hasilnya dikumpulkan untuk kepentingan komunitas.  Kesibukannya mendampingi komunitas Engkang-Engkang dan komunitas Sukamulya cukup menyita sebagian waktu bunda.


Kesenangannya mengulik dan mengupas suatu masalah ternyata sudah ada sejak duduk di bangku SMA. Termasuk keprihatinan bunda terhadap kondisi lingkungan kota Bandung. Misalnya masalah air PAM yang hanya keluar di malam hari dan orang-orang menunggui air tampungan sampai penuh. Juga adanya peristiwa Bandung lautan sampah di tahun 2005. Banyak orang yang memberi tanggapan, bahkan kritik pedas terhadap aparat pemerintah. Tapi agak berbeda yang ada dalam benak bunda. Beliau malah berpikir jangan-jangan sampah yang ada di TPA Leuwigajah dan menjadi bencana longsor itu salah satunya adalah sampah saya? Hal ini menjadi kegelisahan bunda. Sampai-sampai ia berlangganan salah satu media lokal Bandung karena ada tulisan dari (alm) bapak Otto Soemarwoto yang mengulas tentang gaya hidup. Bunda sangat termotivasi oleh tabloid yang mengulas tentang isu lingkungan dan event-event pameran lingkungan. Sampai akhirnya bunda mencari data lewat internet dan mendatangi satu persatu LSM lingkungan dengan melakukan diskusi dengan orang-orang yang dianggap bunda bisa menjawab kegelisahannya.


Orang-orang pada lebih kurang komunitasnya banyak yang memberikan apresiasi beragam tehadap apa yang dilakukan bunda, tapi bunda tidak terlalu peduli dengan pandangan orang lain. Yang penting bunda sanggup mengukur diri. Pada prinsipnya bunda ingin melakukan sesuatu sampai tuntas. ?Makin saya menahan, maka lingkungan akan makin hancur?, begitu kata beliau.

Bunda mempunyai kesenangan tersendiri kalau bertemu dengan banyak orang. Dia merasa menemukan energi yang berbeda. Setelah diusut lebih jauh, ternyata dahulu bunda sempat demam panggung kalau berbicara di depan umum dan tidak tahu bagaimana cara membuat bahan presentasi, misalnya dalam bentuk power point. Akhirnya bunda minta diajarkan oleh  anak-anaknya dalam menuangkan semua ide yang ada ke dalam tulisan melalui blog. Sebelumnya bunda belum pernah membuat blog. Jadi, ia benar-benar belajar secara otodidak. Sampai sekarang ada enam blog yang dikelola bunda dengan genre yang berbeda, termasuk secara rutin menulis di blog bersama, Kompasiana. Tulisannya pun sering menempati posisi teratas karena temanya menarik dan mudah dipahami orang. Dari cerita bunda banyak pembelajaran untuk kita semua, bahwa kalau ada kemauan dan usaha keras, maka semua yang kita impikan akan tercapai.

(Melly Amalia)






















































Rabu, 08 Juli 2020

[PROFIL] Usia Bukan Penghalang Untuk Menjadi Relawan



Meski usia telah kepala empat, tepatnya 43 tahun, bukan sebagai penghalang buat seseorang Tini MF menjadi relawan di mana-mana.


Kenapa pada mana-mana?


Ya, karena setiap kali kegiatan komunitas-komunitas di Bandung yang mengusung isu lingkungan, anak, pendidikan dan sosial hampir dapat dipastikan, akan bertemu dengan beliau. Beliau adalah relawan di YPBB (Yayasan Pengembangan Bioteknologi dan Biosains), KSK (Komunitas Sahabat Kota), Kail (Kuncup Padang Ilalang), Bandung Berkebun,  GSSI (Garage Sale Sekolah Ibu), Madrasah Nurul Iman dan kegiatan PKK di sekitar rumah. Belum lagi aktivitas rutinnya mengajar di salah satu bimbingan belajar.


Layaklah Tini disebut seseorang aktivis. Menurut beliau, aktivis adalah seorang yang merelakan sebagian waktunya buat orang lain, tanpa berharap buat dibayar. Aktivis adalah seorang dengan visi yg jelas. Hal itu terbukti menggunakan kegiatan Tini yg menekuni global relawan selama empat tahun belakangan ini. Sampai-sampai anak sulungnya, Aghnie Hasya Rif sudah turut dan sebagai agen perubahan mulai dari taraf Sekolah Menengah pertama hingga sekarang.


Kenapa mak dua anak ini mau meluangkan saat & tenaganya, bahkan tak jarang juga mengambil kocek sendiri buat sebagai relawan? Apa yang melatarbelakanginya ? Mari kita telusuri perjalanan Tini menjadi relawan di beberapa komunitas & lembaga berikut.


Sejak dahulu, Tini suka dengan dunia anak-anak. Bungsu berdasarkan tujuh bersaudara ini memiliki pengalaman masa kecil yg kurang mengasyikkan. Masih membekas pada ingatannya, waktu nir boleh keluar tempat tinggal buat bermain menggunakan teman sebaya. Tini kecil hanya melihat aktivitas anak-anak pada sekitarnya menurut pada tempat tinggal yg dibatasi sang pagar. Alasan orang tuanya menahan Tini pada rumah merupakan, lingkungan sekitar tempat tinggal nir terlalu baik buat mendukung perkembangannya sebagai seseorang anak mini . Akhirnya Tini terpaksa berdiam pada pada tempat tinggal dengan kegiatan seadanya.


Lantaran nir punya saudara termuda, masa remaja Tini dilewatinya menggunakan bermain beserta keponakan-keponakan, sambil mengasuh mereka. Sebagai seorang remaja, Tini mulai berinteraksi menggunakan anak-anak lain ketika Tini mengajar privat. Padahal saat itu Tini masih duduk pada bangku SMA kelas 1.


Berkaca berdasarkan pengalaman masa kecil tadi, akhirnya waktu kuliah Tini bergabung menggunakan komunitas masjid Salman yang mengadakan aktivitas dampingan anak-anak. Kesukaannya menggunakan dunia anak terus diasah & disalurkan dengan sebagai relawan di KSK (Komunitas Sahabat Kota). Tini nir pernah bosan buat mencari & belajar mengenai apa saja yg sebagai kebutuhan global anak.


Untuk menambah wawasan diri, Tini sering ikut pelatihan yang diadakan oleh komunitas atau lembaga lain. Tak jarang akhirnya menjadi relawan di komunitas atau lembaga tersebut. Salah satu contohnya saat mengikuti Pelatihan Pengembangan Diri yang diselenggarakan oleh Tim Kail pada bulan Juni 2011. Setelah itu Tini merasakan jadi relawan di beberapa kegiatan Kail. Sempat pula menjadi bagian dari tim trainer pelatihan zero waste lifestyle YPBB, meski akhirnya tidak dilanjutkan.


Panggilan hayati Tini merupakan dunia anak-anak & pendidikan. Sampai ketika ini Tini dan suami membuka bimbingan belajar buat siswa Sekolah Dasar, SMP & Sekolah Menengah Atas. Di sela-sela kesibukannya, dia permanen mendampingi mak -bunda PKK pada membina pendidikan dasar bagi usia dini, menjadi ketua sekolah di Madrasah Nurul Iman tanpa dibayar & memanfaatkan huma hijau yg terdapat pada kurang lebih rumah buat menanam.


Ada hal menarik menurut kehidupan sehari-hari seorang Tini. Meskipun orang tua Tini telah tewas dunia sejak ia remaja, akan tetapi pengalaman manisnya bersama mereka, termasuk tidur beserta orang tuanya nir pernah lepas menurut ingatan Tini. Sampai waktu ini pun, Tini nir pernah & tidak sanggup tidur sendirian. Selalu ada suami & anak-anak yg senantiasa menemaninya tidur, termasuk mendukung Tini pada setiap aktivitasnya.


(Melly Amalia)


































Jumat, 03 Juli 2020

[PROFIL] Komunitas Sahabat Kota




Apa yang akan terjadi puluhan tahun ke depan jika nir terdapat orang yg peduli akan lingkungan hidupnya? Hal ini patut kita pikirkan bersama. Tidak hanya kita saja yg akan merasakan manfaat lingkungan & hayati pada dalamnya, namun anak cucu kita pula akan merasakan hal yg sama. Tapi bagaimana apabila kondisi lingkungan yang kita rasakan sekarang tidak sinkron menggunakan apa yang akan anak cucu kita rasakan nanti?
Maka,  kita sebagai manusia yang hidup di dalamnya harus menjaga kondisi lingkungan dan berusaha untuk melestarikannya. Atas dasar tersebut didirikanlah sebuah organisasi sosial yang begerak dalam bidang pendidikan informal mengenai lingkungan kota yang dikemas secara menarik bagi anak-anak. Mengapa anak-anak? Pendidikan mengenai lingkungan kota harus diterapkan sejak dini, mereka harus mengetahui kondisi dan memiliki rasa cinta terhadap lingkungannya. Maka saat mereka beranjak dewasa

dan memegang kiprah krusial pada lingkungannya, mereka tahu apa yg harus mereka lakukan buat menjaga dan melestarikan lingkungannya.
Komunitas Sahabat Kota (KSK) dibuat sejak tahun 2007 sang 6 pemuda berdasarkan Bandung. Pada awalnya acara KSK dibentuk buat mengisi libur panjang anak-anak sebagai Petualangan Jelajah Kota yang menyenangkan. Anak-anak diajak berjalan-jalan mengelilingi kota buat mengamati bagaimana syarat lingkungan kota. Mereka diajak buat berpikir secara kritis dalam merogoh peran aktif buat membentuk lingkungan yang ramah bagi mereka.





Kini, KSK dengan gerakan Come Out and Play-nya aktif mengajak anak-anak untuk belajar dan bermain di ruang kota dengan program-program utama, yaitu Kidsventure Club, Alun Ulin dan Sahabat Kota Summer Camp. Kidsventure Club merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap bulan, di sini anak-anak diajak belajar dan bermain untuk mengeksplorasi kota dengan tema yang berbeda setiap bulannya.
Program lainnya ialah Alun Ulin. Alun Ulin berasal dari bahasa Sunda 'Alun-alun Keur Ulin' yang berarti pusat kumpul dan bermain. Pada program ini anak-anak diarahkan sebagai co-designer ruang bermain mereka, di sini mereka akan menjadi user, tester, informant, dan partner design. Anak-anak akan diberi workshop co-design dengan metode design thinking, storytelling dan pendekatan ESD (Education for Sustainable Development) yang merupakan dasar dari aktivitas Sahabat Kota.
Sahabat Kota Summer Camp ialah program yang dirancang sekali dalam setahun untuk mengisi liburan anak-anak dengan kegiatan yang menyenangkan dan edukatif. Mereka akan menjelajahi dan mengeksplorasi kota dalam beberapa hari untuk memacu mereka agar memiliki critical thinking dan kepedulian terhadap lingkungan kotanya.





Selain aktivitas di atas, KSK jua memperluas kerjasamanya menggunakan pihak luar pada upaya membentuk kota ramah anak. Beberapa proyek kerjasama menggunakan pihak luar tersebut antara lain Baraya Sakola, Petualangan Banyu dan Visual Artist for City Movement.
Baraya Sakola adalah proyek kerjasama menggunakan beberapa sekolah dasar dan komunitas anak pada Kota Bandung. KSK berhubungan menggunakan organisasi-organisasi tadi agar program-acara KSK dikenalkan sebagai pengisi mata pelajaran atau ekstra kurikuler.
Petualangan Banyu merupakan proyek kerjasama dengan salah satu komunitas yang bergerak di bidang lingkungan, yaitu Greeneration Indonesia. Proyek Petualangan Banyu merupakan proses pembuatan serial film animasi edukatif dengan basis ESD untuk anak-anak usia 6-12 tahun yang mengambil tema lingkungan, seperti energi, sampah dan air. Film animasi ini pertama kali dibuat pada tahun 2009.
Proyek ketiga adalah Visual Arts for City Movement. Dalam proyek ini KSK bekerjasama dengan seorang seniman, yaitu Oma Anna, untuk menciptakan karya seni visual yg merepresentasikan sebuah kota yg ideal. Karya seni visual ini berupa notebook hasil buatan tangan Oma Anna. Keuntungan yang dihasilkan berdasarkan penjualan notebook tersebut akan diberikan pada anak-anak yang mempunyai latar belakang ekonomi menengah ke bawah dalam program-acara KSK.
Akhir istilah, bagi Anda yang tertarik buat bergabung dalam kegiatan beserta Komunitas Sahabat Kota, dapat langsung menghubungi Wilma Zulianti, Public Relations Sahabat Kota di angka 0821 3016 3053 atau bisa mendatangi alamat kantor mereka pada Jl. Cisaga no. 6, Bandung.


(Tim Komunitas Sahabat Kota)





























Selasa, 30 Juni 2020

[Profil] Pelukis Hardi : Wangsit Perubahan Melalui Seni


Seneca menulis, semua seni adalah tiruan alam. Tiruan dari alam, yang dikenali semua manusia melalui proses berkesadarannya menjadi mahluk berbudaya. Selain alam raya di kekinian kita, juga boleh‘alam-alam’ lain yang dikenal oleh sang seniman.


?Seni sebagai peniruan? Menjadi indera penggambaran alam oleh para manusia berkesadaran, yg kita sebut artis. Ada kalanya menampilkan fenomen-fenomen proses alam semata, tetapi lebih poly yg membuahkan bumi & langit menjadi ruang buat menyorot jejak-jejak eksistensi manusia. Lewat para seniman, perubahan makin konkret tergambar dan terabadikan di bumi.


Seni lukis gua jaman purba melaporkan musim-musim perburuan hewan. Arsitektur Borobudur

menatahkan jalan hidup menujunir-vana. Tugu Selamat Datang diciptakan Henk Ngantung untuk menyambut masa depan sebuah bangsa muda. Tak boleh lupa, hidup berkesenian para ‘peniru alam’ itu sendiri dapat dibaca sebagai bukti eksistensi seniman untuk perubahan.

Saya beruntung bisa berkenalan secara langsung dengan keliru satu ?Peniru alam? Itu. Pelukis senior yang amat kreatif & energetik, Hardi. Baru saja, semenjak September 2013 lalu.


Sama seperti banyak orang, yang merasai Orde Baru, saya hampir selalu mengkaitkan nama Hardi dengan lukisan potretnya yang menghebohkan, sang pelukis berbusana Presiden RI. Belakangan baru saya tahu, lukisan yang dibuat pada masa jaya Pak Harto itu sengaja ia beri judul Presiden RI Tahun 2001, Suhardi.





Perkenalan memberi kesempatan, juga kemudahan, memahami sosok yang hampir tiap dasawarsa meninggalkan catatan perubahan yang bermakna untuk dunianya. Di era 1970-an ia menolak ‘wajib’ Realisme-Sosial dalam praktek pendidikan seni rupa yang sedang ia jalani. Di era 1980-an menolakstatus-quo kepemimpinan nasional, berakibat dirinya ditindak penguasa.


Hardi kembali dengan semangat perubahan di era 1990-an, lewat pemunculan organisasi Himpunan Pelukis Jakarta. Kemudian di era  2000-an mendeklarasikan pembaruan pada aliran seni lukis yang ditekuninya melalui gagasanNeo Pop-Art.


Di puncak kematangannya, Hardi yang telah berusia kepala enam, kembali lagi dengan beberapa gebrakan beruntun. Tahun 2010 ia mengingatkan bangsa dan penguasa akan pusaka budaya yang makin asing, melalui pameran‘Keris for the World’. Tahun 2011 di muka para wakil rakyat yang berlalu-lalang, Hardi melukiskan gedung DPR sebagai sebuah WC umum, sebagai tanda protes atas parlemen yang bermewah-mewah.



Pelukis Hardi & keris rancangannya. Sumber: www.Antarafoto.Com



Tahun 2013 ia menggebrak dengan buku berwarna ‘Wayang for the World’ karya pertama putera bangsa. Masih belum cukup, pada Oktober 2013 dalam Masamoan Budaya Pusaka Pakuan di Bogor, Hardi mempresentasikan karya seniJangker (Kujang-Keris). Sebuah wangsit dari seorang empu Majapahit mendorongnya menggagas rekonsiliasi retak budaya antara Sunda dan Jawa pasca Perang Bubat .


Pada Hardi, berkesenian tampak sebagai proses yang berkelanjutan pada menanggapi situasi sosial kemasyarakatan dan proses bernegara. Seringkali cukup menggunakan menggambarkannya pada kanvas dua dimensi. Tetapi dalam ketika yang sempurna beliau segera tahu posisi kepemimpinan strategis yang harus diisinya demi sebuah perubahan.


Tidaklah cukup menggunakan mengekor tren atau patuh doktrin anti kemapanan untuk mampu menyuarakan perubahan dalam kurun 40 tahun di tengah menjamurnya kelas menengah yang kurang peka sosial. Diperlukan intuisi murni artis pemberani dan jiwa merdeka seseorang yg berkesadaran dewasa buat bisa melakukan hal tersebut.


Hardi telah dan masih melakukannya. Ia tak ragu mengucapkan dan menuliskan ungkapan lugas di ruang publik, semisal:tidak terjadi sinkronisasi antara yang memimpin dan yang dipimpin;sekelompok orang merasa paling benar;partai politik memproduksi koruptor;televisi kerjanya mengadu domba para tokoh palsu; dan sebagainya. Ungkapan yang menyegarkan para pencinta perubahan.


“Maka setiap hari terjadilah ‘goro-goro’, yaitu instabilitas makro dan mikrokosmos,” demikian Hardi menyimpulkan hari-hari kekinian kita bersama. Sang pelukis senior tetap sadar panggilannya ‘meniru alam semesta’. Bila perlu, dengan disemangati oleh wangsit dari leluhur yang berada di alam lain. (Bogor, Enam Desember 2013)


Dayan D. Layuk Allo:
Pelaksana Petisi Raden Saleh 2005. Sempat belajar pada ITB & STF Driyarkara.
Menjadi LEAD International Fellow semenjak 2000.
Kini turut pada Sustainable Bogor Initiatives (SuBI) yg dirintis sejak 2013 sang YPB/LEAD Indonesia.
















































Minggu, 28 Juni 2020

[PROFIL] Ridwan Kamil dan Visi Sehat Untuk Kota Bandung

Setiap insan ingin dikaruniai tubuh & jiwa yg sehat. Karena dalam syarat sehat, manusia mampu membuat karya, menjadi produktif. Tetapi,insan nir tinggal sendiri. Kesehatan seorang jua ditentukan sang lingkungan juga kota tempat tinggalnya.
Sebuah kota yang sehat perlu didukung sang ekuilibrium sosial, budaya, lingkungan hidup dan regulasi yang mendukung gaya hayati sehat warganya. Mewujudkan kota yang sehat, tak tanggal berdasarkan partisipasi setiap rakyat kota, dan itikad baik berdasarkan pejabat pemerintah yg berwenang. Keduanya akan sebagai klop bila dijalankan menggunakan kepemimpinan yg memiliki visi bertenaga buat sebuah kota yang bersih, sehat & teratur.
Kita dapat ambil model kepemimpinan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew pada memberlakukan peraturan tentang kebersihan & ketertiban pada Singapura. Berkat kepemimpinan beliau, Singapura dijuluki sebagai kota terbersih pada dunia.
Bagaimana dengan kota kita sendiri, Kota Bandung?

Kota Bandung yang terkenal menggunakan hawa sejuknya, dan digemari oleh wisatawan lokal juga internasional berkat daya tarik wisata budaya, sejarah juga kulinernya, kini memasuki periode baru. Di penghujung 2013 yg kemudian, seseorang pemimpin Kota Bandung telah dilantik. Ia dianggap sang warga Kota Bandung berkat visi & misi menjadikanBandung Juara, yaitu kota Bandung menjadi kota yg baik, sehat & berkelanjutan.
Sang Walikota itu adalah Ridwan Kamil. Seorang yg sederhana dan bersahaja, tetapi mempunyai mimpi akbar buat mengakibatkan Bandung menjadi kota kelas global & sinkron dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.


Ridwan Kamil
Kang Emil, begitu beliau biasa dipanggil, merupakan seorang arsitek yang sangat peduli pada konsep pembangunan kota yang berkelanjutan. Sebelum terpilih menjadi  WalikotaBandung periode 2013-2018, ia telah memiliki prinsip-prinsip pembangunan kota yang memperhatikan aspek-aspek sosial, budaya dan lingkungan hidup.Menurutnya, sebuah kota yang sehat adalah kota yang merangsang warganya untuk keluar dari petak-petak rumah pribadi mereka dan menghabiskan waktu di ruang-ruang terbuka yang tersedia.



Sumber foto: www.Bandung.Usaha.Com



Berdasarkan keberpihakan itu, sepak terjang telah dilakukannya di beberapa titik pada pelosok Indonesia. Salah satunya, Kang Emil pernah berperan sebagai konsultan dalam penataan Kota Surabaya, pada masa kepemimpinan walikota Bambang Dwi Hartono (tahun 2002-2010).
Prinsip-prinsip yang dipegangnya dalam pembenahan kota Surabaya, pertama, proporsi ruang terbuka hijau (RTH) dan bangunan wajib berbanding 30 : 70. Menurut Kang Emil, daya dukung sebuah kota terhadap kesehatan warganya akan menjadi maksimal pada perbandingan tadi.


Skema Pembangunan Berkelanjutan. Sumber: www.Beranda.Miti.Or.Id




Kedua, sebuah kota dibangun seiring menggunakan membentuk gaya hidup. Regulasi yang lemah dalam ketidaktertiban akan melahirkan gaya hidup rakyat yang seenaknya jua. Oleh karenanya, apabila ingin rakyat sebuah kota menjalani konduite hayati sehat, maka perlu diciptakan regulasi-regulasi yg memaksa warganya mengarah ke konduite yg diinginkan. Misalnya dengan melakukan pemberlakuan tarif parkir maupun pajak kendaraan bermotor yang relatif tinggi. Karena dengan demikian, orang-orang akan lebih suka berjalan kaki maupun menggunakan angkutan generik.

Ketiga, sebuah kota hendaknya mampu menginformasikan visi yang jelas kepada warganya. Kelima, kota yang sehat adalah kota yang memiliki political willyang baik dari para pemimpinnya. Berdasarkan prinsip yang dipegangnya itu, Kang Emil sukses membantu pemerintah Kota Surabaya mengatasi keruwetan masalah di kota tersebut.
Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan tampaknya telah menyatu sedemikian rupa pada kehidupan Kang Emil, yg tercermin pada refleksi yg beliau tuliskan pada blog pribadinya, jua dalam setiap kiprahnya pada keluarga & warga .

Contoh peran Kang Emil dalam mewujudkan kota atau pemukiman yang sehat bisa kita lihat di daerah Kelurahan Babakan Asih, Kecamatan Bojongloa Kaler. Orang-orang mengenal daerah itu, Blok Tempe. Di wilayah itu, ia berafiliasi menggunakan rakyat mengatasi masalah banjir, dengan bersama-sama membangun sumur resapan di beberapa titik. Ia pula menggalang dana buat lalu dibelikan tanah yg digunakan sebagai huma bermain anak-anak. Anak-anak yang sehat merupakan anak-anak yang mempunyai ruang relatif untuk bermain di alam terbuka.



Sumber: www.Ridwankamil.Net



Kita jua dapat melihat model gaya hayati sehat yang berprinsip nol sampah, melalui desain tempat tinggal tinggal pribadinya di daerah Cigadung, yg terbuat berdasarkan ribuan botol bekas.
Kini, sesudah dilantik, Kang Emil pun memutuskan acara-program harian, seperti menetapkan hari Selasa Tanpa Rokok dan hari Jumat Bersepeda. Dan ini bukan sekedar acara pada atas kertas. Dalam kesehariannya sebagai walikota Bandung, ia nir berkendara menggunakan mobil dinas menuju tempat kerjanya, melainkan memakai sepeda. Ia benar-benar-sungguh ingin meneladani gaya hayati sehat menggunakan bersepeda.



Sumber foto: www.Republika.Co.Id

Sebagai warga Bandung, kita juga telah menyaksikan bagaimana taman-taman kota mulai di-revitalisasi. Hal ini adalah gebrakan Kang Emil pada mewujudkan kota yang sehat melalui perbanyakan ruang terbuka hijau di kota Bandung.

Sejumlah planning pembangunan kota Bandung telah digeber sang Sang Walikota Ridwan Kamil. Pembangunan Gedebage Teknopolis adalah bagian berdasarkan rencananya untuk membagi beban derita Kota Bandung, karena selama ini baik pusat pemerintahan, wisata juga perekonomian terletak pada bagian tengah kota. Ia merencanakan buat memindahkan sentra pemerintahan kota Bandung ke Gedebage. Dengan demikian, arah pembangunan kota sebagai lebih seimbang.
Bandung Skywalk jua adalah rencana Kang Emil yg akan direalisasikan pada tahun 2014 ini. Ia merupakan jembatan bagi para pejalan kaki, yang menghubungkan jalan Cihampelas dengan jalan Taman Sari. Dengan dibangunnya jembatan ini, orang yg hendak berjalan-jalan ke Cihampelas tidak perlu mengendarai motor & mobil, relatif memarkir tunggangan mereka di jalan Taman Sari, kemudian berjalan kaki melalui jembatan Bandung Skywalk ini.
Jika memang sahih jembatan ini terlaksana, maka masyarakat kota Bandung bisa berhemat bahan bakar, sebagai akibatnya mengurangi polusi asap tunggangan bermotor. Selain itu, warga kota Bandung menerima wahana hiburan & olahraga yg gratis dan menyehatkan, yaitu berjalan kaki melalui jembatan Bandung Skywalk ini.


Jalan panjang pembangunan kota Bandung yg sehat & berkelanjutan membentang di depan sana, bagi Sang Walikota Bandung, Ridwan Kamil. Akankah seluruh rencana dia dapat terealisasi? Mari kita dukung sepak terjang dia dalam mewujudkan kota Bandung yg bersih, sehat dan teratur!


(Ditulis berdasar kajian media)









































Cloud Hosting Indonesia