Tampilkan postingan dengan label Umbu Justin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Umbu Justin. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Juni 2020

[OPINI] Membaca dan Berpikir Kritis

Penulis : Umbu Justin

Membaca demi memanusia

Segala sesuatu membaca. Membaca merupakan pusat eksistensi segala sesuatu, masing-masingnya dan totalitasnya. Berhenti membaca, berhenti sebagai sesuatu; berhenti mengada, hilang begitu saja ?

Salah satu syair kuno Yunani tentang penciptaan bertutur bahwa Sang Pencipta itu, yakni Dia yg mula-mula adalah Kata. Kata merupakan bacaan.

Semesta adalah peristiwa membaca yang tak pernah usai. Berhenti membaca, semesta pun berakhir. Daya-daya purba semesta membaca kepadatan gravitasi tak berhingga, membaca menggunakan bunyi ledakan keras, dentuman purba, big-bang, tanggal memancar, meluas menciptakan ruang tak bertepi sampai sekarang. Semesta, cerita mengenai pembaca setia, membaca pesan intrinsik dalam dirinya dan membacakan lahirnya kejadian-peristiwa baru, semesta-semesta baru, daya-daya baru, pusaran-pusaran cakram galaksi baru; berada, melenyap dan berpendar mengada lagi, semesta yang terus lahir, menjadi remaja, dewasa, menua & tewas menggunakan letusan brilian sebagai hembusan kabut gas warna-warni & kepingan-kepingan mineral, emas, perak, besi, tembaga dan air raksa sebelum melapuk hanyut pada lautan luas ruang tak berbatas atau berlanjut ditarik ke dalam pusaran-pusaran galaksi baru.

Terjadinya semesta tidak seperti narasi penciptaan biasa di mana sang pencipta sanggup kemudian memberikan karyanya pada etalase, memajang pada dinding atau menjualnya lalu melupakannya begitu saja. Semesta bertumbuh bagai pohon besar , meruang-luas, & akarnya menjangkau jauh ke pada hakekatnya sendiri, menimba pesan untuk terus berada menggunakan berevolusi memperbaharui diri.

Evolusi berarti mengatasi krisis, karena interaksi antar bentuk-bentuk usang nir lagi aktual, perlu adaptasi dan antisipasi buat menghadirkan bentuk-bentuk interaksi baru. Membaca bagi semesta berarti tindakan menjawab krisis, berubah menuju dinamika relasional baru.

Lahirnya kehidupan, dalam konteks kita, adalah narasi beragam. Bumi memiliki kemiringan sumbu dan jeda yg pas terhadap mentari , sehingga air padanya senantiasa cair, sebagai akibatnya bisa tercipta arus & pasang-surut akibat gravitasi bulan. Pembacaan berulang kali berjuta tahun, pasang-surut, arus samudera , rotasi, revolusi, siang-malam, pergantian demam isu, membacakan narasi baru: pemunculan kehidupan, sebuah narasi dengan intrikasi tenunan sebab dampak yg sangat kompleks; menurut situ tak ada yang bisa diurai, dilepaskan sebagai kalimat tunggal buat berdiri sendiri.

Dinamika semesta raya terus berubah menuju pembacaan yang semakin kompleks, berevolusi menuju kesadaran, conscientia, kehidupan berbudaya, sebuah pencapaian kesetimbangan baru dengan hadirnya mahluk berbudi bahasa…

Manusia, pengeja kesadaran, muncul menurut jalan panjang evolusi, berkutat membaca pesan semesta pada dirinya: mempertahankan hidup, bersosialisasi, bermigrasi, merespon bahaya, mengatasi permasalahan & seterusnya melalui kecakapan membaca intrinsik. Pada jutaan tahun pertama, setiap pengalaman insan merupakan reaksi pribadi, pada mana pengalaman nyata melekat erat dalam seluruh penginderaannya & dengan tubuhnya insan mengambil respon yg sinkron buat mempertahankan hidup.

Ia hadir dengan canggung sebab tubuhnya tidak 'selengkap' mahluk lain yang leluasa berhadapan dengan tantangan alam liar, tak berbisa, tidak ber-mimicri, tidak bertanduk atau memiliki cakar, tidak secepat , selincah yang lain. Manusia membutuhkan kecakapan sosial, kemampuan berinteraksi dalam keluarga, suku dan jaringan kebersamaan yang lebih kompleks. Manusia awal membutuhkan jenis pembacaan yang mendampingi pembacaan intrinsiknya, yakni daya baca abstrak, ekspresi dari conscientia, berupa tutur bahasa.

Beruntung insan awal berlindung pada gua-gua alam yg menjorok ke dalam perut tebing-tebing batu. Kegelapan gua sanggup 'mematikan' indera, melepaskan insan dari global luar yg sangat menyita perhatian. Manusia 'melihat' kegelapan, meraba kekosongan & mendengarkan keheningan. Kegelapan, loka berhenti bereaksi, tempat tetirah & merasakan global lain yang lebih luas, alam batiniah, tempat roh merogoh alih daya-daya jasmani menggunakan dinamika yang jauh lebih beraneka rona: refleksi, imajinasi & abstraksi.

Dalam kegelapan, mimpi dan imajinasi mendapatkan tempat, merasuk jauh ke pada dasar batin. Pengalaman luar gua, penginderaan total yg serba nyata, ada pulang menjadi gambar-gambar reflektif, tidak konkret, imajiner. Kegelapan gua menjadi jelas paling brilian bagi insan: ruang kesadaran baru, abstraksi, imajinasi, pelepasan diri dari kejasmanian menuju yang spiritual. Manusia mulai membaca dengan bahasa, reflektif, tanpa terikat pengalaman nyata global luar.

Gambar-gambar hewan dan grafis perburuan pada dinding gua-gua purba misalnya pada Altamira, adalah aktualisasi diri reflektif itu, lompatan akbar pada sejarah membaca. Kita melihat bison-bison di dinding gua berderap di padang-padang terbuka di batin kita. Imajinasi menjadi yg aktual.

Dalam gua gelap kita butuh konkretisasi pengalaman batin. Maka lahirlah gambar, simbolisasi yg melepaskan kita menurut persentuhan langsung dengan global luar dan sekaligus mengkonkretkan global batin. Simbol tidak terikat pada fenomena namun simbol sanggup mengarahkan respon manusia buat mengatasi krisis pada situasi nyata dengan lebih terjadwal. Simbol menyimpan fenomena dengan lebih aktual dibandingkan dengan peristiwanya sendiri. Simbol bison pada dinding gua menyimpan dan menghadirkan kesan tentang semua bison pada padang mana pun, yang sudah terdapat atau pun yg belum ada. Bagi para pemburu purba, gambar bison itu adalah seruan panggilan buat menghadirkan balik perburuan kawanan bison itu dalam saatnya, sebuah ujud pengharapan, doa atau mantra.

Sebelumnya kecerdasan membaca hanya berlangsung secara intrinsik, genealogis, dalam riwayat biologis badan kita, contohnya dalam tubuh yang berjalan tegak, penglihatan panoramik, tangan yang bebas untuk bisa menciptakan peralatan. Sementara abstraksi merupakan daya membaca yg baru, kita dapat berbahasa, menciptakan simbol-simbol & pertanda-pertanda, memberi nama dalam sesuatu, generalisasi, menghitung, menyimpulkan dan menciptakan prediksi. Yang terpenting, kita mampu membahasakan pengalaman supaya pengalaman itu bisa direka-ulang, diceritakan pulang.

Kemampuan menceritakan kembali, menghadirkan pengalaman konkret atau imajiner, merupakan perayaan sosial yg dulu sangat dihargai. Di kurang lebih barah unggun, pada bawah fresko bison & kuda-kuda purba rona-warni ataupun di verbal gua, pada bawah selimut bintang-bintang abadi, nenek moyang kita mendengarkan shaman atau tetua bercerita tentang riwayat kehidupan. Saat inilah daya membaca kita merumuskan arah & orientasi baru, yakni kebebasan dan kreativitas yang sungguh hidup menurut global batin kita. Membaca dengan bahasa membuat hayati tidak terikat pada urusan respon demi keamanan fisik, nafsu, makan atau kelaparan. Membaca menjadi perayaan, menjadi representasi kemanusiaan yang berbudi bahasa. Hidup datang-tiba sebagai lebih luas dari sekedar keberlangsungannya.

Kita mungkin lupa dalam daya baca intrinsik yang tersimpan pada memori jasmani kita, namun kita sudah mengangkat memori itu ke dalam daya ungkap bahasa & melahirkannya sebagai budaya. Beribu-ribu tahun sesudah api unggun di bawah fresko kawanan bison dan ringkik kuda purba, bahasa sudah sebagai semakin kompleks. Semesta tetap membaca secara dinamis, bintang-bintang dan galaksi akbar-mini masih mengalir deras, meruang dalam arus sungai penciptaan yg abadi, dan pilihan terhadap manusia menjadi mahluk simbolik atau mahluk berakal budi sebagai narasi yang paling menakjubkan.

Membaca Kritis : Antara Alice dan Pinocchio

Kita tidak pernah bisa membaca hal yang sama dua kali tetapi kita selalu membaca buat mencari memahami tentang satu hal saja, yakni kebenaran eksistensi kita.

"Segala sesuatu mengalir, semua berlaludanquot;, istilah Heraclitus, filsuf dari kota Efesus, Yunani kuno, "kita tidak pernah sanggup menginjakkan kaki di sungai yg sama."

Yang tak berubah adalah perubahan itu sendiri...

Parmenides, filsuf Yunani antik menurut Elea membaca bahwa semesta tidak bisa berubah, hanya kesan pada kita saja yang berubah, seluruh hal sama saja, pada kembali tampilan yg bervariasi dan berubah-ubah, terdapat hanya yg sama senantiasa.

Kita hidup saat ini, lebih dari 2500 tahun setelah Heraclitus dan Parmenides, di antara kedua kutub tersebut, antara mengejar perubahan yang sedemikian cepat dan kecenderungan untuk mempertahankan kenyamanan, keyakinan, nilai, kebenaran, dogma dan seluruh kehidupan. Dan dengan terjebak di antara kedua kutub tersebut kita sama sekali tidak sempat membaca dengan benar. Pada kutub Heraclitus, pembela perubahan, kita dikepung oleh tuntutan untuk meng-update pengetahuan dan cara hidup. Pengetahuan kita menjadi sangat ephemeral, berumur pendek, gampang kadaluarsa. Kita mengejar percepatan dengan bekerja lebih efisien, lebih mudah, lebih singkat namun tetap tak terpuaskan. Meski akses pada pengetahuan menjadi sangat mudah,semua menjadi tidak bernilai, tak sempat berakar, hati kita terganggu untuk mengejar percepatan.

Di kutub Parmenides, pembela kemapanan, lantaran hati kita goyah dan was-was, takut pada arus perubahan yang menyapu semua milik kita, maka kita menegaskan kemurnian iman, keyakinan, adat norma, nilai-nilai & dogma-dogma menantang semua percepatan perubahan.

Mari kita kembali ke gua-gua purba kita, ketika kegelapan membutakan mata kita dan membuka mata batin kita, memandang gambar-gambar polychromos: bison-bison dan kuda-kuda yang berlarian di savana hati kita, mencari keniscayaan jadinya suatu lingkupan dunia yang sungguh bisa dilepaskan dari gejala badaniah kita kita melalui proses kebahasaan. Bison di dinding gua, apakah ia sungguh mewakili semua bison yang pernah ada, yang akan ada, bison dari tanah liat, atau awan berbentuk bison di mata kanak-kanak dan semua yang kita anggap bison? Sebuah gambar, sebuah simbol, sebuah kata, sebuah nama, apakah sungguh menunjuk pada realitasnya?

Filsuf Plato dalam dialognya yang terkenal 'Cratylus' mengungkapkan: "Dalam kata Mawar, terkandung seluruh mawar?" Dalam kata Nil, membentang seluruh alur-genre sungai besar tersebut, semua keloknya yang mengukir tanah tandus afrika utara, seluruh bangsa yg mengikatkan sejarah mereka pada kesuburannya & timbul tenggelamnya dinasti-dinasti perkasa pembangun piramida. Sebuah istilah, benar-benar penuh daya cipta menakjubkan. Maka bahasa adalah mantra pemanggil global & setiap buku adalah semesta yang siap dilahirkan.

Tetapi pada pulang keajaiban kata, nama, gambar, simbol, masih ada sebuah dinamika kontras, meski mengikat & menghadirkan realitas, bahasa pun ternyata segera memisahkan insan dari semesta. Di luar gua manusia berhadapan menggunakan kesamaan pragmatis, buat menjamin keberlangsungannya, insan membutuhkan jarak yang memadai terhadap semesta, untuk bisa menghindari ketak-terdugaan peristiwa, & mengendalikan peristiwa-peristiwa, menciptakan prediksi, menciptakan perencanaan agar hanya yg diinginkan yg sanggup bermetamorfosis sebagai insiden. Manusia memisahkan diri berdasarkan totalitas semesta, menjadi individu dengan membentuk lingkungan yang bisa dikendalikan. Caranya merupakan menggunakan menciptakan bahasa menjadi sebuah instrumen. Gambar & simbol disederhanakan sebagai tulisan & pertanda. Lambang-lambang fragmental segera menjadi pengubah cara hidup. Manusia berani keluar gua, membangun kota dan peradaban, membarui semesta menjadi landskap tekstual yg mampu dibaca, dikendalikan & ditata.

Manusia berkebudayaan sudah membarui pengalaman membaca yang intuitif pada gua-gua sebagai instrumen komunikasi. Membaca lalu kehilangan spontanitasnya, juga kehilangan kekuatan intuitifnya yg sanggup memanggil semesta. Masyarakat bukanlah kelompok pemburu gua yang berkumpul pada sekeliling api unggun. Masyarakat dibangun sang daya-daya artifisial, kepercayaan , politik, kebudayaan, kenangan-kenangan akan peperangan, batas-batas geografis, kepentingan-kepentingan ideologis, ekonomi, konstitusi, menggunakan konsekuensi yg efektif menafikan nilai individu. Konstituen rakyat bukanlah individu melainkan daya-daya artifisial tersebut. Individu wajib bisa membaca, menginternalisasi daya-daya artifisal tadi untuk mampu terhindar berdasarkan ketiadaan; suatu ketiadaan artifisial, non person, kehilangan pengakuan apabila individu nir mampu membaca teks konstituen masyarakat: kepercayaan , politik, ideologi dan seterusnya.

Membaca yang sebenarnya

Alberto Manguel yang memperkenalkan dirinya sebagai pembaca, menulis tentang perbedaan antara Pinocchio (Collodi 1883) dan Alice (Lewis Carroll, 1865) dalam membaca. Pinocchio boneka kayu miskin namun bercita-cita tinggi dengan segala nasib buruknya ia berusaha bersekolah supaya bisa membaca dan pada gilirannya bisa hidup layak dan diakui resmi dalam masyarakat. Alice di lain pihak adalah gadis kecil yang bertualang karena rasa penasaran yang kuat terhadap kelinci sedang bergegas. Petualangan Pinocchio tidak menyuguhkan cerita tentang pengalaman membaca selain prestasi belajarnya yang baik dan membuat teman-temannya iri hati. Alice sebaliknya berkutat dengan pengalaman eksistensial tentang kebenaran dan realitas dirinya akibat permainan makna kata dan tutur bahasa yang begitu majemuk, non-singular dan tidak stabil.

Pinocchio mewakili hampir seluruh anak korban metodologi pembelajaran saat ini, yakni sekadar buat melaksanakan transfer ilmu pengetahuan. Kita bersekolah & mengambil spesialisasi buat mampu membaca dengan keterampilan tertentu & menerima kiprah yg sesuai pada masyarakat. Menjadi juara, memenangkan medali olimpiade matematika atau fisika adalah kemewahan yg sangat diharapkan orang tua dalam anaknya. Pinocchio yg sebagai brutal & nakal kemudian mengalami banyak sekali nasib tidak baik lantaran menghindari sekolah yang memberi pesan moral buat beretika terpelajar pada anak-anak.

Kisah Alice pada lain pihak menggemakan kembali pengalaman kebahasaan yang sangat imajinatif pada dalam gua-gua purba nenek moyang kita. Berbahasa merupakan berdaya cipta, berkreasi, bermain menggunakan pengalaman, mengembangkan kekayaan batin & memperkaya ruang-ruang simbolik pada pada kehidupan.

Bagi Pinochio, membaca adalah mengeja pertanda, lambang-lambang yang diturunkan masyarakat ke kitab -kitab sekolah agar ia mampu sebagai seperti yang diperlukan, sebagai person, eksklusif yg diterima pada rakyat.

Bagi Alice, membaca itu intuitif, menebak, mencari pada kegelapan gua loka bahasa dilahirkan. Membaca bukanlah buat menjadi individu pandai , berkepribadian dan terpelajar, melainkan buat bermain menggunakan semesta, menemukan kembali khayalan, mencari makna-makna yg tak terhingga pada balik kata-istilah berdaya cipta. Alice nir memperoleh tugas apapun untuk sebagai anak insan, nir misalnya Pinocchio. Membaca berarti berada secara spontan pada hadapan rahasia semesta.

Ketegangan antara dunia Parmenides dan global Heraclitus, kecemasan akan runtuhnya nilai-nilai dampak perubahan pesat, merupakan kecemasan masyarakat. Membaca ala Pinocchio akan menenangkan masyarakat namun merugikan humanitas yang bebas. Membaca seperti Alice, adalah menelusuri daya naratif humanitas kita. Manusia bukanlah elemen ideologis, pion kepercayaan , unsur kebudayaan atau obyek ekonomi yang membangun warga . Manusia itu, tiap-tiap kita adalah sebuah buku, narasi, dinamis & berharga sebagai bacaan yang senantiasa baru. Individu naratif inilah yang mengatasi polemik Heraclitus & Parmenides. Narasi senantiasa berubah & senantiasa mengenai kebenaran keberadaan kita dalam semesta.

Caption :

Siapa engkau..

realitas diri dan semesta yang senantiasa berubah..

metamorphing

Minggu, 31 Mei 2020

[PIKIR] MENEMUKAN DIRI DI PUSAT KEBERADAAN

Oleh: Umbu Justin

?To be or not to be, that is the question..?

Hamlet, Act III, Scene 1, William Shakespeare

Pangeran Hamlet dari Denmark pada cerita drama Shakespeare berbicara pada dirinya sendiri, sebuah soliloqui, atas rasa tak berdaya menjalani kehidupan & mempertimbangkan apakah sebaiknya ia mengakhiri hidupnya. Ia merasa putus harapan terjebak dalam tekanan hidup akibat terbunuhnya sang ayah oleh pamannya & cita-cita buat membalas dendam. Sekali pun terujar pada sebuah frame yg sangat melankolis, kalimat tersebut menginspirasi begitu poly karya sastra global sesudahnya dan sebagai sebuah warisan literer yg tak jarang diungkap pulang justru menjadi afirmasi eksistensial buat memberi semangat dalam perjuangan memenangkan kehidupan.

Di Indonesia kita mengenal penggalan puisi Chairil Anwar: ?Sekali berarti, sudah itu mangkat ?, Sajak Diponegoro, 1943, ? Menjadi sebuah pernyataan semangat buat mengakibatkan hidup yg cuma sekelebat ini nir berlalu begitu saja. Hidup yang meski cuma secuil pada pergolakan global yg serba absurd, pantas jadi cara buat memperjuangkan makna.

Dalam soliloqui Hamlet dan sajak Diponegoro kita melihat ciri kehidupan yang paling krusial, waktu dihadapkan dalam problem bereksistensi manusia selalu berhadapan menggunakan empiris krisis hayati & meninggal, bukan sekedar bernyawa atau tidak bernyawa, namun soal makna yg pantas mengisi jalannya hidup. Begitu individu menyadari eksistensinya, ia sekaligus menangkap makna, bukan dalam konsep atau pengertian, melainkan dalam rasa, pada semua atmosfer keberadaan yg melingkupinya. Rasa berada yg intens, yang hanya mampu tertangkap sepenuhnya saat seorang menghadapi syarat ekstrim, entah sesuatu yg sangat menakjubkan atau pun menyeramkan. Di hadapan empiris yg mengancam kehidupan, seseorang merasa berada pada batas hidup & mati, entah dia akan putus asa atau melakukan tindakan ekstrim buat menyelamatkan hidupnya. Di hadapan sesuatu yg sangat menakjubkan, sesuatu yang melampaui daya tangkapnya, seseorang akan merasa kecil, hilang, & tidak berarti. Hamlet merasa putus harapan dan cenderung menentukan tidur pada kematian agar empiris berlalu tanpa tanggung jawabnya, sedangkan penyair sajak Diponegoro yang sudah melalui semua penindasan bisa melihat celah sempit bagi masa depan bangsanya yang wajib dia perjuangkan menggunakan menghimpun roh sang pahlawan.

****

Enigma eksistensi, teka-teki keberadaan adalah tugas terpenting kita: ?To be or not to be, that is the question..?. Di tengah dunia kita bertanya tentang hakekat keberadaan kita dan mempersoalkan kemampuan pembebanan yang bisa kita pikul untuk melayani hidup. Pertanyaan dasar inilah yang sejak dulu telah coba dijawab oleh mitologi, agama-agama, filsafat, ilmu pengetahuan dan bahkan politik.

Agama dan mitologi terbangun berdasarkan pengalaman krisis eksistensial dan rasa tak berdaya insan pada hadapan syarat ekstrim, di hadapan yg maha seram dan maha menakjubkan. Agama memerintahkan manusia buat menyembah, mitologi mengharuskan kita untuk melayani kekuatan kosmik pada banyak sekali ritual. Politik, dalam hal ini negara atau kekuasaan, berusaha menghadirkan krisis ekstrim tadi dengan sebagai sangat menyeramkan atau rupawan dan meniru kepercayaan dan mitologi buat menundukkan manusia menjadi individu-individu yang taat demi ?Kebaikan beserta?.

Filsafat mampu sebagai jalan keluar berdasarkan tekanan kepercayaan dan mitologi dan politik yg menekan eksistensi namun filsafat nir dapat memakai doktrin apa pun buat mengajarkan pendapatnya. Filsafat sesungguhnya memang bukan pengajaran, filsafat lebih merupakan sebuah tindakan, sebuah ciri insan berkesadaran buat terus memandang ke pada eksistensinya secara rasional. Pernyataan filsafat terpenting tentang keberadaan tiba berdasarkan Filsuf Immanuel Kant (?) berdasarkan masa renaisans yang menegaskan eksistensi insan sebagai syarat terakhir dari seluruh pelaksanaan tugas insan di global. Makna manusia nir didasarkan dalam ajaran apa pun, baik dari kepercayaan maupun mitologi dan ideologi. Keberadaan insan itu sendiri sudah cukup buat sebagai alasan bertindak benar dalam hayati.

****

Belajar menurut Dua Pangeran

Soliloqui Hamlet merupakan krisis eksistensial, apa adalah terus bernyawa, ad interim hidup menjadi beban tak tertahankan, sedangkan roh Diponegoro yang dipanggil penyair merupakan barah semangat buat mengatasi krisis kehidupan yang direndahkan kekuasaan kolonial. Chairil Anwar dalam sajak Diponegoro berbicara mengenai pencerahan bereksistensi: ?Sekali berarti, sudah itu mati?. Makna, keberartian merupakan soal terpenting menurut persolalan eksistensi. Makna bukan pada frame mitologis yang menjanjikan kekekalan heroik menggunakan senang pada kahyangan, atau agama-agama doktrinal yg memperlihatkan upah surga bagi yang berbuat baik. Makna pada gagasan eksistensial penyair ini merupakan makna otentik ala Kant, yang tidak meminta surat keterangan supranatural, ?? Sudah itu tewas? Terselesaikan tanpa embel-embel janji apa pun.

Humanisme Kant yang tidak menggantungkan eksistensi manusia pada kebenaran pada luar kebenaran faktual, adanya kemanusiaan tidak bisa kita lihat menjadi doktrin atau ideologi dogmatik yang biasa kita lihat pada asas paham-paham agama atau politik. Kebenaran Eksistensi insan adalah daya, tenaga, tenaga yg menggerakkan seluruh kebenaran. Kita hanya bisa menerimanya dalam tataran bergerak maju, melalui kegelisahan yg sungguh kita rasakan. Kebenaran ini bukanlah dogmatis atau ideologis, dia merupakan kita yg hayati dan gelisah mencari makna kehidupan.

Eksistensi nir dapat dibuktikan sang sains atau ideologi. Ia bukanlah slogan yang sanggup ditinjau di pamflet-pamflet politik atau ulasan filsafat. Eksistensi dalah kebenaran yg dirasakan masing-masing individu, dia adalah hayati itu sendiri. Eksistensi merupakan ruang otentik dimana kita menyadari bahwa kita hidup, menyatakan dalam diri kita, ?Kita terdapat?.

Pada kebenaran ini kita menemukan diri, bahwa kita berada dan mencicipi seluruh indera kita terbuka mencerap dunia yang meliputi kita, dunia yg dekat dalam detak jantung kita, ruang-ruang mini di rumah kita, pada lorong-lorong kota di antara seliweran kehidupan, insan sesama yang memerlukan kehadiran kita di dalam global maha luas yang tak mampu lagi diukur menggunakan daya tempuh cahaya? Kita tetap di pusat seluruh kebenaran, kita yg berada pada antara krisis Hamlet & teguh berjuangnya sang Diponegoro. Kitalah oleh penyair, eksislah!!

Sabtu, 30 Mei 2020

[PIKIR] MENJALANKAN PERIKEMANUSIAAN

Oleh: Umbu Justin

? Ia menyewa taksi ke Bandung & minta diturunkan di jalan Braga. Hari telah malam. Ia meninjau-ninjau & mengintip-ngintip ke dalam tempat kerja redaksi Medan. Tak seorang pun dikenalnya. Ia ragu-ragu buat masuk, juga tidak berusaha buat bertanya. Kemudian ia pulang berjalan kaki?.

Seperti burung patah sayap dia berjalan merasuk, memasuki sebuah dangau kosong di pinggir jalan ? Dia mengenangkan segala-galanya yang sudah lewat. Betapa kedekut Tanah Air & bangsanya pada dirinya. Di Hindia ini betapa orang gampang melupakan, seperti tulang- belulang paling keras pun, ringkih melenyap oleh kelembapan tanah tropis?

(Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer)

——Menjalankan Peri-kemanusiaan

Sebuah perspektif bagi para relawan

Kemanusiaan kita terikat dalam banyak sekali narasi, bukan saja dalam kisah-kisah akbar alam semesta, kisah penciptaan baik pada mitologi, kepercayaan , dalam cerita ilmiah mengenai jadinya galaksi & bintang-bintang, evolusi, dan terbangunnya spesies insan, sejarah, kebangsaan, suku golongan & sebagainya?Tetapi juga pada kisah-kisah mini yg khusus seperti sejarah keluarga, kisah pribadi, lebih jelasnya keseharian, pada cerita mengenai insiden-peristiwa personal, karakter, sifat-sifat & bahkan pandangan hidup langsung. Tentang setiap kita, selalu bergantung pertanyaan tentang siapakah kita, berdasarkan berasal-usul, suku, dari tanah air, ikatan famili, sejarah pendidikan & seterusnya. Bahkan secara eksklusif, setiap orang menginginkan hidupnya terbangun menurut sebuah narasi yang bermakna ? Kita seakan selalu ingin menuliskan otobiografi yang benar-benar memberi nilai dalam humanisme, kita ingin bercerita mengenai kisah kita dan ingin menjawab pertanyaan besar mengenai siapakah kita dalam narasi yang bermakna.

Inilah energi terpenting kita, bangkit ke dalam narasi, bereksistensi berarti berada pada paparan cerita, entah pada cerita riwayat keluarga, kita terlahir menjadi anak pada famili menggunakan runutan kisah yg sangat tua, kisah yg pasti terekam dalam warna kulit, DNA, tempat lahir, nama famili, kebangsaan, impian-impian & stress berat-syok yang teronggok dalam lapisan kolektif yg dalam. Namun kita pasti bangkit dalam narasi, ke pada cerita yg wajib kita tulis sendiri, yg kita rangkai sebagai cara kita masuk ke dalam kehidupan, mungkin nir lewat pintu yg tersedia, lewat kesempatan-kesempatan yang senantiasa ditawarkan, melainkan melalui celah-celah tidak terduga yg kita buat sendiri atau yang terjadi begitu saja dampak peristiwa-insiden atau narasi-narasi tersembunyi yg luar biasa.

*******

Penggalan kisah jalan Braga di atas, yang dinarasikan sang Pramoedya adalah tentang Raden Mas Minke (R.M. Tirto Adhi Soerjo, 1880 - 1918) yg kehilangan segalanya sehabis kembali dari pembuangan. Ia pergi ke Bandung menggunakan kopor kaleng tua tak berisi buat menengok tempat kerja surat liputan yg beliau dirikan semasa usaha, dan tidak terdapat yang dapat dia temukan lagi.

Raden Mas Minke yang jadi tokoh primer tetralogi pulau Buru, bangun menurut narasi feodal yang diwarisinya, membaca dengan cermat narasi tersembunyi yang diderita bangsa pribumi Hindia Belanda, misalnya Multatuli, ia tersadarkan sang suatu semangat buat memberi diri ke dalam sebuah narasi baru, narasi perlawanan terhadap sistem penindasan sang para intelektual dan birokrat Belanda. Ia adalah sang pemula pada semua sejarah perlawanan intelektual pribumi terhadap kolonisasi atas tanah Hindia Belanda. Ia memperkenalkan narasi tersembunyi yg selama ini hanya sanggup dirasakan warga jelata, Minke menulis, menuturkan narasi sedih ketertindasan dalam seluruh tulisannya dalam koran yang beliau terbitkan bersama mitra-kawannya, Medan Prijaji (1903). Ia lantas ditindas dan dibuang jauh agar tak bisa didengar lagi.

*****

Minke sebagai sadar akan narasi tersembunyi, yg hanya mampu dibaca dengan membangun kepekaan humanisme yang penuh penyerahan diri. Narasi yang tertimbun sang kebisuan penderitaan masyarakat jelata hanya mampu dibaca & didengar sang jiwa yg membuka mata, dan menyendengkan telinga, yg terbangun berdasarkan tidur panjang kebodohan.

Minke priyayi menjalankan diri sebagai kelas menengah yg aktif, merelakan hidup, sebagai aktivis, sebagai relawan, bukan dengan menjadi peneriak dilema, melainkan menggunakan membangunkan semua orang, yang ditindas, yang menindas, dan terutama kaum kelas menengah, yg menikmati privilese priyayi dengan menekan & menjilat. Ia menuliskan opininya yang tajam, membangun pencerahan & menyerahkan seluruh hidupnya dalam perjuangan di antara bangsa yang belum terjaga.

*****

Ketika sesosok jiwa terbangun, menyadari pentingnya menuliskan hidupnya pada narasi yang bermakna, dia pasti akan melekatkan narasi hidupnya pada konteks narasi terpenting yang beliau yakini dengan segenap jiwanya. Jiwa yang demikian akan merelakan kehadirannya pada hasrat perubahan, semangat untuk membarui global, memperbaiki dan menggembalakan kehidupan. Satu-satunya bahaya pada penuturan narasi kehidupan merupakan kesamaan narsisistik yg terjadi dampak keengganan merelakan hayati. Kaum perambah kehidupan yg ingin menuliskan namanya menggunakan ujaran kemegahan, kaum cinta-diri yg mengakibatkan dilema masyarakat sebagai tangga mencapai impian eksklusif, tentu nir memiliki kerelaan dalam hayati.

Tentang hal ini pun dituliskan Pramoedya pada lelakon Minke yang mengeluh: Di Eropa, terutama pada Perancis, setiap orang yang melakukan sesuatu yg krusial dan bermanfaat bagi masyarakatnya, menggunakan sendirinya menerima tempat pada masyarakatnya. Lain halnya pada Hindia, pada sini orang berebut tempat menggunakan cemas, seperti takut tak kebagian, tanpa mau melakukan hal yang bermanfaat? Karakter kaum priyayi yg tidak bisa merelakan diri dalam narasi kehidupan, yang hanya cemas dalam tempatnya pada narasi tua penindasan merupakan bahaya yg membisukan bangsa. Kaum intelektual yg berdiam diri, yg hanya asyik mencari posisi, & membiarkan hayati terperosok pada kesalahan merupakan bala bagi warga . Kaum intelektual semestinya merupakan tenaga pencerahan masyarakat, daya penggerak dalam komunitas yg beradab. Kaum inilah yang seharusnya memperdengarkan narasi-narasi tersembunyi pada sistem kemasyarakatan yg nir adil, dan sekaligus menciptakan narasi baru menuju kehidupan yang bermartabat.

Merelakan kehidupan adalah menjalankan peri-humanisme, yakni daya empati dalam nasib manusia, nasib bangsa, yg tidak mampu membaca sendiri narasi tersembunyi yang melumpuhkan martabatnya. Daya empati yang menggerakkan jiwa para aktivis di mana pun di semua dunia, merelakan hidupnya buat pengharapan dalam keharusan kehidupan yang mudun. Inilah tenaga yg membebaskan kita menurut narasi bawaan kita: rona kulit, nasib kolektif, keturunan, dari-usul, DNA dan catatan biologis pada badan kita, virtual-impian & trauma-trauma bawah sadar, perangkap golongan & gerombolan , riwayat politik, cacat-stigma kronis yang sengaja direkatkan? Supaya kita bangkit menuliskan narasi kemanusiaan baru yang mudun bagi semua orang.

Seorang aktivis merupakan dia yang dilahirkan pulang oleh ibu kehidupan. Warisannya adalah kesadaran akan banyak sekali narasi baru yang beliau temukan sendiri pada empiris kepahitan di global, dan beliau akan meninggalkan tanah lama tempat seharusnya beliau sanggup nyaman berakar, masuk merasuk pada tantangan hayati yg mesti berarti. Ia akan merelakan jiwanya, menjalankan peri-kemanusiaannya, melawan arus yang menidurkan orang, mengekalkan kekuasaan dan mematri penderitaan.

*****

Lantas adakah ganjaran yang pantas bagi seseorang relawan kehidupan, bagi dia yang terbangun & sebagai aktif buat membangunkan komunitasnya? Ganjaran bukanlah ukuran keberhasilan, apalagi berukuran nilai hayati, seperti sebuah cerita yang baik umumnya masih meninggalkan tanya & keraguan tetapi menyiratkan keteguhan hati pada sang pelakon utama buat menghadapi hidup dengan berani. Narasi nir harus berakhir latif senang . Lagi pula, apa itu akhir cerita? Seperti cerita Raden Mas Minke pada malam hari di dangau kecil setelah melepas harap di jalan Braga, beliau tidak menerima apa-apa. Kesenduan di ujung kitab Rumah Kaca tersebut adalah tembang sedih Pramoedya mengenai hidup yg terlupakan. Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, oleh pemula kebangkitan pencerahan humanisme kita yg dilupakan oleh penulisan sejarah Indonesia, beliau yang mendahului Boedhi Oetomo?.

*****

Kamis, 28 Mei 2020

[OPINI] KE-BHINNEKA-AN DI DALAM BINGKAI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

Oleh: Umbu Justin

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu merupakan hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan pada atas global harus dihapuskan karena nir sesuai dengan peri kemanusiaan & peri keadilan."

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan kemerdekaan sebagai dasar terpenting bagi terbangunnya Bangsa Indonesia. Kata 'kemerdekaan' merupakan titik berat dalam setiap paragraf, terus menerus diingatkan dan ditulis berulang supaya menjadi catatan bagi seluruh konvoi kita menuju sebuah negara yang manunggal, berdaulat, adil & makmur. Gagasan kemerdekaan ini lalu dimeterai dengan dasar negara, Pancasila, yang dalam dasarnya mengandung kedalaman filosofi tentang humanisme universal suatu bangsa Indonesia yg merdeka.

Kemanusiaan yang universal. Sumber foto : KAIL

Menggali Makna Kemanusiaan Universal di Dalam Indonesia Merdeka

Lantas apakah itu suatu kemanusiaan universal yang akan ditumbuhkan pada Indonesia yg merdeka?

Para Bapak Bangsa, pejuang kemerdekaan dan kaum konvoi sejak RM Tirto Adhi Soerjo, dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Soetomo & mitra-kawan dari Boedi Oetomo, hingga kepada para penyusun Pembukaan UUD 1945 merupakan para perenung humanisme universal tersebut. Sebelum negara Indonesia lahir melalui proklamasi, sejarah negeri kepulauan ini senantiasa menghujani benak para pioner tadi menggunakan riwayat kemanusiaan yang tertindas sang kolonialisme, intimidasi, intrik kekuasaan, politik kotor adu domba, kerja paksa, dan banyak sekali cerita yang memberi beban berat bagi bangsa kita. Dari situ tumbuh hasrat buat mengganti arah oleh sejarah, dari perbudakan menuju kemerdekaan; Para Bapak Bangsa mulai menuliskan masa depan, suatu doa dan pengharapan akan humanisme universal Indonesia yg merdeka.

Kemanusiaan universal Indonesia bukan sekedar definisi atau ketetapan misalnya sebuah nama yang tercantum pada KTP maupun akta kelahiran, melainkan adalah pengalaman konkret insan-insan yang hayati, bernapas dan berjuang pada bumi Indonesia. Kemanusiaan yg demikian lahir menurut sejarah yang kaya akan pengalaman & perenungan, otentik & berdenyut beserta jatuh bangunnya para pelakon. Itulah warga yg sebenarnya, Marhaen, kata Bung Karno, menunjuk dalam seorang petani belia berpeluh di tanah Jawa, ?Saidjah dan Adinda?, karya Multatuli, ?Minke? Atau ?Kartini? Dalam karya Pramoedya, semua yang ditindas sang permainan politik kaum oportunis, satu rakyat yg disatukan bukan atas dasar apa pun selain penderitaan.

Pesan kemerdekaan bagi warga Indonesia. Sumber foto : www.Gmniunp.Blogspot.Co.Id

Itulah rakyat satu bangsa yang ditindas, dari satu tanah air yang dijajah, suatu daya bahasa yang dibungkam. Bagi para pemuda yang bersatu menyatakan Soempah Pemoeda 1928, Indonesia adalah pengalaman konkrit, adjective realistis, berupa harapan kemerdekaan bagi warga , tanah air dan bahasa yg dibungkam. Indonesia adalah situasi murung yg disatukan dalam penderitaan & pembisuan. Indonesia pun merupakan tenaga yg berangkat bangun untuk menempuh jalannya, membarui takdir dan merancang peluangnya sendiri. Inilah Indonesia yg darinya semua titik berat makna kemerdekaan dikontemplasikan ke dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Suatu humanitas yg berbagi penderitaan, yang harus dipulihkan ke dalam prestise asali yg universal, bebas dan merdeka, setara menggunakan segenap bangsa di dunia.

Lebih menurut 70 tahun Indonesia merdeka, integritas kebangsaan ternyata perlu dinyatakan pulang pada konkretisasi yang cukup tidak sama: pertanyaan mengenai humanitas universal kita datang menurut tantangan terpenting, apa itu bukti diri Indonesia? Sejarah kemerdekaan dicatat dengan berbagai kesedihan kendati begitu poly kemajuan sudah dicapai. Kita telah menyaksikan begitu banyak penyalahgunaan kekuasaan, penganiayaan oleh penguasa pada masyarakat atas nama negara, korupsi yg begitu merajalela, impian berkuasa yg vulgar & degradasi karakter politik mencapai tingkat paling rendah: hilangnya pola pikir kritis negarawan. Tetapi sebuah gejala pula sudah ada seakan tanpa preseden, pengingkaran kebhinnekaan, fragmentasi identitas kebangsaan ke pada pecahan-pecahan egoisme narsistik yg akut. Pertanyaan yg konyol & menguras nalar sehat sekarang berkumandang: siapa-siapa saja, ras mana saja, kepercayaan mana saja, gerombolan mana saja, & seterusnya, yg pantas menyandang atribut Indonesia?

Indonesia yg diproklamasikan dulu, merupakan masyarakat tertindas yang berkecimpung merdeka dan berdaya independen merintis harkat & martabat kemanusiaannya sebagai komunitas bangsa - negara yg mengembangkan ruang humanitas di antara segenap bangsa di dunia mudun. Kita dibangun sang penderitaan dan perjuangan yang sama, bukan sang perkumpulan sesama jenis manusia, sesama ras, sesama kepercayaan atau sesama suku dalam suatu keadaan normal yang relaks buat membuat kategorisasi. Humanitas para pendiri bangsa, & para pejuang, adalah kemanusiaan yang menolak ditindas, sejarah yang berkiprah mengubah nasib pelakonnya. Mengingkari kebhinnekaan kita adalah sama absurdnya menggunakan mengingkari riwayat humanisme Indonesia.

Ketika para bapak bangsa merumuskan haluan bangsa ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, mereka memahami humanisme Indonesia merdeka dalam perspektif humanitas universal yg memberi loka dalam harkat martabat manusia di atas golongan, pandangan politik, dari-usul geografis, kepercayaan , ras, suku-bangsa dan sebagainya. Hanya dengan begitu bangsa Indonesia mampu sejajar dan merogoh kiprah pada persaudaraan bangsa-bangsa buat menciptakan tatanan dunia yg berperikemanusiaan dan berkeadilan.

Indonesia yang Merdeka, Indonesia yg Bhinneka

Kebhinnekaan atau pluralitas adalah fakta inheren dalam keseluruhan semesta. Setiap unit utuh kehidupan, setiap anasir keberadaan, pasti saling berbeda, Pluralisme adalah pergerakan menuju unitas yang dinamis, paham untuk menghargai pluralitas dan memberi tempat bagi kebersamaan. Bhinneka Tunggal Ika yang dikutip dari kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular (Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa = Berbeda-beda manunggal, menyatu, sebab kebenaran tiada mendua) yang dijadikan metafor keutuhan bangsa pada lambang negara mengisyaratkan pemahaman yang jauh lebih mendalam dari sekadar memberi ruang bagi pluralitas.

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan untuk melakukan satu perjalanan beserta, menjadi manusia bersaudara menuju kebaikan beserta. Semboyan ini melampaui isi istilah toleransi yg selama ini kita andalkan sebagai medium kebersamaan. Toleransi hanya memberi ruang secukupnya buat sekadar ada beserta, saling menghormati & nir saling menggangu. Sekadar demikian nir kan cukup buat meniupkan tenaga kebangsaan, lantaran kebersamaan sebagai bangsa meminta kerelaan untuk saling membantu, bekerjasama bahu-membahu demi asa bersama. Bhinneka Tunggal Ika merupakan slogan dengan energi yang bertenaga, dengan perbedaan kita manunggal menjadi pernyataan humanisme yang bersaudara, sebangsa, setanah air & seia-sekata sebahasa.

Lantas apa yg perlu kita lakukan dengan disparitas? Bukankah pada masa ini perbedaan, pluralitas, diversitas sebagai senjata, dan sekaligus duri dalam daging?

Perbedaan adalah alamiah, aturan dasar keberlangsungan hayati. Setiap organisme, setiap spesies, setiap individu melakukan diferensiasi, diverting, mengganti jalannya supaya bisa menjawab tantangan perubahan dalam hidup. Dinamika adaptasi yg menggerakkan daya kreatif semesta adalah bentuk kehidupan itu sendiri. Kehidupan berjalan menuju diversifikasi, sebagai kaya dan bervariasi, majemuk. Diversitas, keberagaman melalui diferensiasi cara hayati, itulah yang memperluas horison kehidupan pada semesta raya.

Diversitas dalam bahan pembuatan jamu. Sumber foto : KAIL

Melawan keberagaman merupakan melawan daya hayati. Kelompok insan zombie yg berusaha melakukan radikalisasi diri menggunakan melawan diversitas sebetulnya sedang melakukan regresi menuju kehampaan. Perbedaan begitu gampang dihadirkan, itulah warta kehidupan yg memenuhi segenap semesta. Melawan adanya perbedaan adalah mereduksi kabar hayati terus menerus hingga dalam absurditas.

Indonesia adalah atribut penuh kenangan sejarah, bertabur mimpi & harapan, sebuah kata yg menampakan jati diri yg kaya menurut komunitas manusia merdeka menurut Sabang sampai Merauke. Itulah untaian kepulauan pada tenggara semenanjung Asia, Nusantara, Insulinde, Indische Archipel, Zamrud Khatulistiwa, Ibu Pertiwi, Indonesia (sebutan sang James Richardson Logan, 1847), begitu poly nama buat sebuah kebenaran humanisme yg menderita di tanah air yg sedemikian latif & kaya -- nama yg lalu menggerakkan para pemuda, para perintis kemerdekaan dan para proklamator buat menegaskan kemerdekaan. Kita sekarang, pelanjut semangat mereka, harusnya berjuang jua. Membangun, memajukan kehidupan, meluaskan wawasan, merayakan humanisme dan merencanakan hari esok.

Kita memang direpotkan oleh para koruptor, politisi rendah kualitas, & kaum oportunis yang tidak pernah surut. Tetapi melawan arus radikalisasi narsistik yg meneror diversitas merupakan tantangan yg melelahkan lantaran sangat mengikis moril dan nalar sehat. Kita harus berangkat terus menerus, berdasarkan pluralitas menuju pluralisme, menegaskan pulang slogan kakawin Sutasoma: Bhinneka Tunggal Ika sebagai kebenaran kehidupan. Kita seyogianya terus menerus menjadi Indonesia; mengenakan nama itu sebagai atribut yg inheren dalam energi kebangsaan kita yg bersatu berdasarkan beribu suku, majemuk kepercayaan & agama, poly ras, banyak cerita, legenda geografis & dongeng berasal-usul; dalam pencerahan bertanah air satu yg terdiri menurut mosaik beribu pulau, beratus gunung, jutaan tanjung - teluk, yg menyimpan limpahan kekayaan ratna mutu manikam; satu ungkap kata, satu budi bahasa dari bermacam langgam bahasa budaya yang tak mungkin lagi dibungkam: Indonesia.

***

Jumat, 22 Mei 2020

[PIKIR] ALAM : ANTARA SAINS DAN AGAMA

Oleh : Umbu Justin

Kita Memang Tak Mempedulikan Alam

Ketika kita diminta menggambarkan Alam, biasanya kita akan memilih obyek representatif seperti burung, pohon, hutan, samudra, bumi, rembulan,matahari, dan sebagainya. Bagi kita sekarang ini, Alam adalah lingkungan hidup, seluruh bentangan keberadaan benda-benda yang melingkupi kita, yang menopang kehidupan kita. Alam merupakan suatu semesta sistemik, sebuah dunia jejaring benda-benda yang menopang kehidupan kita.

Kita sendiri, manusia, senantiasa menganggap Alam berada di luar kita sebagai tempat kita hidup. Gagasan bahwa kita manusia bukan bagian dari Alam, bisa dilihat pada akar gagasan ajaran agama-agama terwahyukan bahwa Alam Semesta hanyalah sebagai wadah perilaku hidup manusia yang pada saatnya akan dilenyapkan dan manusia akan diadili.

Alam yang nilainya diletakkan pada tataran kesementaraan, dianggap tidak sebanding dengan hakekat rohani manusia yang berada pada tataran keabadian. Benak manusia pasti terganggu oleh kenyataan perubahan yang dialami tubuhnya, betapa mudah melenyap.

Agama-agama bergantung pada kegelisahan manusia atas tubuhnya dan menghibur manusia dengan janji kehidupan di surga. Tubuh yang mudah berubah disejajarkan dengan Alam yang mengalami dinamika yang sama. Tubuh akan hancur dan pasti Alam pun akan menerima nasib kehancurannya, dalam doktrin hari kiamat. Roh, di lain pihak, sebagai sebuah konsep yang kontras terhadap tubuh, yang bersifat abadi, sama sekali terlepas dari proses dinamika dalam Alam. Roh inilah yang kemudian mendefinisikan hakekat kemanusiaan kita dalam perspektif

agama-agama terwahyukan. Tuntunan bagi manusia sebagai mahluk rohani lantas dijabarkan ke dalam berbagai dogma agama dan teologi. Alam semesta, dunia kehidupan ragawi, hanyalah sebuah bingkai sekunder yang mewadahi pelaksanaan tata kehidupan manusia yang dituntun oleh dogma dan teologi.

Sains memiliki disiplinnya sendiri, jauh dari teologi-teologi. Sains memandang ke dalam Alam, memperhatikan fakta ragawi manusia dan membuktikan bahwa manusia berada dalam Alam. Sains berusaha menerjemahkan dinamika alam ke dalam rumusan-rumusan sistemik, dan

memprediksi perilaku Alam secara akurat. Namun sekalipun Sains menjadikan Alam sebagai lahannya, Alam Semesta tidak pernah menjadi subyek dalam dirinya sendiri. Semesta

bagi Sains adalah pelaksanaan formulasi sistematik, boneka yang dikendalikan oleh rumus - rumus matematis murni. Semesta maha luas ini tak lain adalah repetisi tak berhingga dari perilaku sistemik. Kehidupan tidak memiliki keistimewaan apapun, 'hanyalah' suatu kompleksitas

pelaksanaan fungsi-fungsi matematis yang menggerakkan gejala-gejala fisik dan kimiawi.

Hubungan antara manusia dengan Alam kemudian sangat bergantung dari kombinasi kontradiktoris antara gagasan sains dan agama, yakni peranan teknologi dalam rangka

eksploitasi atas Alam demi kesejahteraan hidup manusia. Sains memang pembangun utama teknologi, namun gagasan dari agama-agama terwahyukan bahwa Alam ini hanyalah wadah bagi kesementaraan manusia, wadah yang pada akhirnya pun akan dihancurkan untuk mengantar manusia pada pengadilan akhir, adalah perangsang utama tata laksana kehidupan yang hanya menjunjung moral kerohanian, hanya mengatur hubungan antar yang rohani, sebuah etika yang tidak memberi tempat pada Alam Semesta yang bersifat, 'fisik semata'.

Dengan teknologi sebagai alat dalam tangannya, manusia menguasai alam, pergi melampaui daya-daya gravitasi, melawan siklus gelap dan terang serta mengakali musim-musim. Teknologi memungkinkan manusia merelatifkan jarak, melunakkan kerasnya bebatuan serta membendung lautan dan sungai.

Alam lantas hanya menjadi sekadar properti, milik manusia untuk dikuasai dan objek yang dimanfaatkan. Manusia membuat garis-garis batas dan titik-titik eksploratif di muka bumi, politis dan saintifik. Politik membuat manusia mengklaim bentangan-bentangan geografis. Semua itu berdasarkan keinginan pragmatis untuk mengelola, mengeruk dan memakai alam milik sendiri sebebas-bebasnya tanpa diganggu. Alam dilihat sebagai fasilitas yang sudah tersedia, dipakai dan

dimanipulasi sejauh mungkin untuk keleluasaan hidup manusia.

Sosietas Semesta , Alam sebagai masyarakat kehidupan

Jika hati dan benak manusia mampu melihat kehidupan sebagai daya yang universal, maka segala sesuatu yang hadir di dunia bisa terlihat sebagai jejaring fungsional yang sangat kompleks.

Pengertian fungsional di sini bukan dalam rangka kegunaan pragmatis yang berakhir bagi kepentingan manusia, tetapi juga bukan suatu sistem saintifik di mana semesta bergerak berdasarkan formulasi matematis. Jika manusia melihat alam hanya sebagai objek fungsional bagi kesejahteraannya, maka manusia dengan teknologi pada tangannya adalah jalan buntu bagi alam.

Manusia hanya pemakai, pelahap, bukan pemelihara yang sejati, apalagi pencipta dalam suatu konsep yang transenden dan abstrak. Jika alam hanya berupa deskripsi saintifik, sebagai suatu sistem fisik-kimiawi yang bergerak sendiri berdasarkan formulasi matematis maka alam hanyalah figur tak berwajah, juga tanpa esensi, hanyalah repetisi yang bisa ditebak, impuls-impuls yang sama yang berulang, baik dalam skala yang amat kecil, kuantum, atau yang tercermati oleh manusia seperti pembelahan sel, kelahiran, kebernyawaan, kematian, letusan gunung atau pun pergerakan galaksi, atau skala-skala maha besar dan tak terkontemplasikan seperti denyut ada dan tiadanya alam semesta.

Benak pragmatis dan tangan teknologi manusia selamanya hanya bersifat narsistik sekaligus sebuah penjara repetisional, yang selalu berlangsung di dalam hidup manusia. Kita hidup hanya memikirkan diri sendiri, berulangkali mematut-matut wajah fisik dan keagamaan kita di depan cermin eksistensi kita. Dan betapa kita tak mau lepas dari kegiatan berdandan itu, melayani 'hidup' dengan terus memantaskan kehadiran kita di depan cermin tersebut.

Karena kita hidup dalam lingkaran setan tersebut, perulangan yang terus menerus itu, kita pasti tidak sadar kalau keyakinan kita, filsafat kita, keber-agama-an kita sesungguhnya sudah kadaluwarsa dan beracun. Tetapi karena kita melayani repetisi itu maka kita tetap 'survive' dan tidak menyadari kalau kita hadir sebagai virus, kanker di muka bumi. Martin Heidegger, filsuf, berbicara tentang keberadaan manusia sebagai 'Dasein', di mana manusia bisa berada sejauh ia melaksanakan relasinya dengan semua yang lain, bukan sebagai subjek terhadap objek, tetapi sebagai sebuah kehadiran yang sekaligus menghadirkan semua yang lain.

Kesadaran akan keberadaan yang berelasi, yang majemuk, plural karena berkaitan dengan semuanya sekaligus. Jika kita memanfaatkan pemikiran sederhana dari filsuf tersebut pada cara pandang terhadap alam, mungkin kita bisa keluar dari lingkaran setan narsistik di atas. Melihat kehidupan sebagai suatu fakta yang lebih luas dari sekadar kebernyawaan, melihat semuanya : atom, plankton, bakteri, ikan, banteng, pohon, sungai, samudra, rembulan, matahari, bunyi seruling, suara truk di kejauhan, dentuman quasar yang tak terdengar, suara ibu yang memanggil anaknya untuk makan, uap yang naik perlahan di atas aspal sehabis hujan, genangan air di dedaunan bromeliad, bau buku-buku tua di perpustakaan, keheningan biji-biji kopi dalam toples yang menanti untuk digiling, kelebat kucing di balik pintu, denting notifikasi dismartphone, semuanya lah dan denyut jantung kita serta seliweran pikiran yang bergantian...

Kehidupan itu adalah kehadiran semuanya. Hanya dengan menyadari semua itu sekaligus, kita bisa bahagia melihat kehidupan, berjalan lebih perlahan, menyadari musim-musim dan mampu berteduh dengan damai tatkala hujan atau melangkah terus dan menyadari sentuhan dari langit yang basah dan dingin.

Pada gilirannya Alam akan berada di depan kita dengan kisahnya yang menakjubkan, kehadiran total dari yang tersembunyi. Sains dan semua pengetahuan eksploratif tak dapat menjangkau pengalaman 'Dasein' tersebut. Agama, apalagi itu, juga tak mampu atau mungkin tak melihat ke sana. Immanuel Kant, yang memetakan dasar filsafat sains menunjukkan pada kita bahwa metodologi berpengetahuan kita hanya mampu melihat apa yang tampil mewakili ojyek pengetahuan itu; bukan objek itu sendiri.

Kita melihat hanya apa yang terlihat, menjangkau hanya sampai pada fenomena keterlihatan, bukan keberadaan. Albert Einstein, fisikawan, mengumpamakan alam semesta sebagai sebuah jam dinding berbandul; sains berusaha mencermati ayunan bandul dan lintasan jarum penunjuk waktu, kemudian merumuskan teori yang paling logis tentang mekanisme kerja jam dinding tersebut, tanpa membuka dan membongkar jam tersebut.

Agama mungkin akan berkata ada Immanuel Kant bahwa terlihat atau tidak terlihat, objek pengetahuan itu sia-sia sebab apa pun yang benar sudah termaktub dalam kitab suci. Atau kepada Einstein, bahwa jam dinding itu beserta waktu yang ditunjukkannya akan berlalu dan dibuang ke dalam api.

Sains dan agama tidak menghadirkan etika bereksistensi yang sungguh berkesadaran semesta.

Berkesadaran semesta, hadir sebagai anggota dalam masyarakat jagat raya, menjalankan etika kehidupan tanpa tujuan pragmatis, tanpa janji surga, hanya demi kehidupan yang total itu sendiri (Immanuel Kant: berbuat baik karena perbuatan itu baik). Menjadi manusia hanya bisa dipahami lewat hadirnya lelautan, binatang lain, angin, gunung, matahari. Tak ada keberadaan

tunggal yang bisa diisolasi dan dibakukan. Kehadiran kita beresonansi dengan semuanya. Lantas apa yang perlu dilakukan dalam rangka beretika 'Dasein'?

Heidegger menganalogikan keberadaan manusia sebagai gembala. Menjaga dan memelihara, bukan Tuan atas properti atau pemilik. Gembala hadir bersama yang dirawat, memperhatikan dan bertindak seperlunya saja, dan menghabiskan waktunya dengan merenung atau meniup suling. Kita tak perlu berlebihan menangisi pohon yang ditebang, atau bersukacita karena sains menemukan sebuah planet yang bisa dihuni manusia. Kita hanya perlu berhenti sejenak dan menyadari 'Dasein' kita. Alam pasti tetap tumbuh, jauh lebih kuat dari apa pun, melampaui

semua hari kiamat.

Selasa, 19 Mei 2020

[PIKIR] PUJAAN KEPADA ROTI

Oleh : Umbu Justin

Ode to bread

Bread, you rise from flour, water and fire.

Dense or light, flattened or round, you duplicate the mother's rounded womb,

and earth's twice-yearly swelling.

How simple you are, bread, and how profound!

You line up on the baker's powdered trays

like silverware or plates or pieces of paper

and suddenly

life washes over you,

there's the joining of seed and fire,

and you're growing, growing

all at once

like

hips, mouths, breasts,mounds of earth, or people's lives.

The temperature rises, you're overwhelmed by fullness, the roar

of fertility, and suddenly your golden color is fixed.

And when your little wombs were seeded, a brown scar

laid its burn the length of your two halves'

toasted juncture.

Now,

whole,

you are mankind's energy,

a miracle often admired,

the will to live itself.

Lantas

kehidupan itu sendiri

akan mewujud sebagai roti

mendalam dan bersahaja

tak berbatas & murni.

Semua mahluk hayati

akan mendapatkan bagiannya

atas bumi dan kehidupan

dan roti yg kita santap setiap pagi

rejeki harian setiap orang

akan diagungkan

& dilihat kudus

karena beliau didapat

dari jerih payah paling berharga

dari umat manusia?

(Pablo Neruda)

Antara Makan dan Makna

Makan itu sangat memilih keberadaan. Setidaknya itulah kesan yg mula-mula kita rasakan apabila kita memaparkan aneka macam kebutuhan hayati. Dalam Piramida Kebutuhan Manusia yg digagas sang Abraham Maslow (1954), makan adalah kebutuhan paling mendasar; dia ada dalam kaki piramida sebagai bagian utama dari ketahanan fisikal-biologis. Baru sehabis ada relatif makan, manusia bisa berkecimpung memikirkan pemenuhan kebutuhan yg lebih tinggi nilai rohaninya dari sekedar fisik-biologis. Piramida Maslow tersusun mulai berdasarkan yg sangat jasmani, pemenuhan kebutuhan fisik & biologis, dan berangsur menuju yg bersifat rohani buat pemenuhan kebutuhan batin. Pada zenit piramida terletak kebutuhan yg paling tinggi. Sifatnya sangat rohani, yang berdasarkan Maslow, merupakan aktualisasi diri, yakni waktu insan mulai berkontemplasi dalam makna & nilai kehidupan. Singkatnya, makan berada pada dasar piramida sedangkan makna atau nilai berada di zenit piramida.

Piramida Kebutuhan menurut Abraham Maslow

Sumber foto : www.simplypsychology.org

Pablo Neruda, pegiat humanisme, untuk berjuang bersama rakyat Chile, menulis larik-larik sajak untuk menghormati roti, makanan yang universal, makanan keseharian manusia: Oda al Pan (Ode to Bread). Sepertinya sajak untuk roti ini sejajar dengan gagasan umum piramida Maslow.

Neruda bersyair tentang roti, yang merupakan wujud dari tujuan perjuangan menempuh kehidupan kaum miskin Chile. Adonan yang dibakar hari demi hari adalah roti bagi seluruh kehidupan dari rumah-rumah rakyat jelata. Rakyat tidak meminta kemerdekaan atau kebebasan berpendapat. Mereka tidak menuntut hak-hak politik, kebebasan beribadah, atau bahkan martabat kemanusiaan mereka. Rakyat hanya butuh makan. Mereka hanya perlu roti untuk sekedar hidup. Jika dilihat dalam perspektif motivasi pemenuhan kebutuhan oleh Maslow, rakyat jelata dalam sajak “Pujaan Kepada Roti” tersebut benar-benar hidup dan berjuang di wilayah paling dasar piramida.

Apakah sahih demikian?

Manusia mahluk Pemakan. Jika kita melihat makan menjadi sebuah tindakan dasariah, kemudian diperluas secara analogis buat menjangkau semua aspek tindakan kita di global, dengannya kata ?Makan? Mampu diartikan dengan mengonsumsi, memakan, menghabiskan, menelan, memangsa, mengambil, mempunyai, mencaplok, menguasai & seterusnya, maka kita memiliki lanskap problem yang lebih baik buat mencerna sajak ?Pujaan kepada Roti?.

Pablo Neruda bersyair mengenai perilaku kekuasaan yg begitu menekan warga miskin di negaranya. Kekuasaan politis memakan semua asal-asal kekayaan tanah air, mengubah segala sesuatu menjadi sanggup dimakan, dilahap dan dihabiskan, termasuk martabat & hak-hak politik rakyat jelata. Dengan kehilangan segala-galanya, tergerus sampai dasar penghidupannya, maka masyarakat jelata hanya berharap dalam roti menjadi syarat eksistensi. Hidup yang nir memiliki wangsit pembelaan, tanpa asa, tanpa keinginan, tanpa nilai & tanpa pemikiran apa pun. Hidup yang hanya perlu dipertahankan, dijalani & diteruskan dengan makan roti sehari-hari.

Di sini sajak “Pujaan Kepada Roti” memiliki nilai kritisnya. Roti itu politis, makan itu politis. Mereka yang menaiki piramida lebih tinggi, yang mulai 'sadar' akan nilai, menyadari bahwa manusia itu sungguh mahluk pemakan, konsumen sejati.

Manusia senantiasa bergegas menuju tempat dia mampu makan, karena itu bila ada yg menguasai roti, dia mampu mendikte bagaimana makan berlangsung. Mereka yg bisa mendikte, baik secara politik, kekuatan ekonomi, kekuatan kekuasaan, kebudayaan, kepercayaan , akan menghasilkan jenis roti yg melanggengkan permainan konsumerisme mereka. Begitulah bagaimana kekuasan berjalan.

Di puncak-puncak pencapaian kehidupan yang berkelimpahan, para penguasa, politisi, kaum intelektual, kaum agamawan, para pemilik modal dan penggerak perekonomian merayakan kehidupan bukan dari roti saja. Mereka memangsa, melahap kehidupan dengan mendikte. Dari mimbar-mimbar suci, media massa, kata-kata dan ide-ide mereka mengubah dunia menjadi roti kepuasan yang dilahap sampai tak bersisa. Manusia umum, masyarakat biasa yang mampu berpikir, yang bersentuhan dengan ide-ide politik, nilai-nilai, makna, dengan mudah terjebak pada dogma konsumerisme. Piramida kehidupan adalah piramida konsumerisme. Isi pikiran masyarakat bermartabat, yang mengandalkan kontemplasi intelektual ternyata tidak lagi orisinil. Mereka sudah tersihir oleh cerita bahwa hidup harus berhasil mencapai puncak piramida: the pursuit of happiness, mencapai kesejahteraan dengan kesempatan terbaik mengonsumsi isi kehidupan.

Sumber foto : https://mronline.org/2018/01/12/radical-food-politics-hunger-is-political/

Sedangkan di dasar kehidupan, di mana tak ada lagi ide, pemikiran, atau gagasan yang bisa dilahirkan, hiduplah rakyat jelata yang sering tak bisa lagi ditipu oleh mimbar dan media massa karena tidak punya lagi kepedulian pada berlangsungnya dunia, mereka yang hanya butuh roti biasa yang otentik. Roti sebenarnya yang terbuat dari gandum, dari tanaman yang tumbuh di tanah asli, adonan yang dibentuk dan yang dibakar oleh pembuat roti. Rakyat yang berelasi langsung dengan kehidupan, rakyat yang mampu memuja roti yang datang dari sepetak tanah dan api pembakaran.

*******

Seluruh lapisan piramida Maslow hanyalah merupakan kerangka pragmatis untuk membedakan apa yang kita makan. Pada setiap tingkat piramida tersebut tersedia bentuk-bentuk konsumerisme, entah itu rasa aman, relasi, cinta, aktualisasi diri, prestise dan bahkan rasa keberagamaan. Piramida motivasi Maslow tidak berlangsung sebagai sebuah gambaran motivasi yang menggerakkan kita. Kita berada pada jaman dimana motivasi otentik yang seharusnya kita miliki telah digantikan oleh model-model pemenuhan kebutuhan yang didiktekan pada benak kita. Cara pandang kita pada hidup telah diracuni oleh media massa yang membangun suatu jagat raya konsumerisme yang pada akhirnya membahayakan kehidupan. Ada semacam naluri untuk menguasai benak semua manusia dan mematikan motivasi dan kreativitas otentik di dalamnya, dan sebaliknya ada naluri kawanan untuk tunduk dan patuh, kecenderungan untuk tenggelam dalam hipnotis, tersihir, pada kita. Kata kuncinya adalah makan, konsumerisme tak berujung.

Kembali pada piramida Maslow, antara Makan dan Makna, bentuk konsumerisme yang akut ini telah menihilkan nilai Makna pada mekanisme buta konsumerisme. Manusia tidak lagi berpikir atau berkontemplasi secara sadar. Yang ada hanya pola-pola konsumerisme yang sesuai dengan lapisan-lapisan piramida. Ketidakmampuan berkontemplasi pada kehidupan, hilangnya daya mencari makna membuat konsumerisme menjadi tak terukur, tak terpikirkan dan tidak bisa dievaluasi.

Kita memiliki semuanya secara palsu, teknologi dan berbagai kemajuan, budaya, agama, politik, kekayaan, makanan, harga diri, aktualisasi diri, citra diri, rasa aman. Semuanya palsu karena kita memakan makna yang didiktekan oleh sejumlah kekuatan yang efektif memanipulasi kesadaran kita. Tongkat sihir media massa membelokkan perhatian kita dari ancaman nyata kehidupan. Dari pewaris kehidupan kita dicuci otak menjadi pemangsa yang memakan habis kehidupan dengan membayar dan memperkaya kekuasaan: c orrupted to corrupting  -dirusak untuk menjadi perusak.

Tetapi korban konsumerisme bukan hanya kita yang berpikir dan para pemakan jelata. Bumi yang dikuras, dimakan oleh mesin konsumerisme ini tidak pulih lagi. Ia kehilangan begitu banyak kualitas untuk mendukung kehidupan yang adalah cirinya yang sangat unik di jagat raya ini. Polusi, berkurangnya keragaman hayati, dan hilangnya relasi otentik antara manusia dengannya adalah ancaman keberlangsungan yang nyata.

Ada sebuah kata yang mengandung bertentangan dengan harapan mengenai kehadiran manusia di bumi,

anthropocene, sebuah epos yang dimulai dari revolusi pertanian 15.000 tahun yang lalu sampai sekarang dan masih berlanjut, di mana kita berlaku sebagai pemangsa kehidupan. Manusia mempengaruhi kondisi geologis bumi secara signifikan, menginisiasi kemusnahan keberagaman hayati dan memperlakukan bumi sebagai properti, obyek konsumerisme, yang tak terbarukan.

Sumber foto : www.anthropocene.info

Anthropocene adalah kisah epik hilangnya relasi otentik antara manusia dengan bumi, dengan segenap jagat kehidupan. Tetapi katakanlah bumi memiliki daya hidup yang hebat, ia melewati berbagai kemusnahan dan terus berlanjut, terus memulai baru! Mungkin daya hidup bumi mampu mengatasi polusi atau musim dingin nuklir akibat ulah manusia, tetapi manusia tidak bisa berlanjut.

Makan dan menjadi makanan. Manusia harus mengembalikan relasi otentik tersebut. Relasi otentik itu adalah makan, ia ada dalam budaya makan kita. Caranya adalah berhenti menilai makan sebagai sebuah tindakan konsumerisme, melahap tanpa akhir yang membahayakan seluruh kehidupan. Kita harus berhenti menjadi pemangsa buta yang tersihir oleh dikte politik penguasa dan perusahaan-perusahaan kaya. Kita berhenti menghapal pola-pola konsumsi yang menghabiskan sumber daya dan membangun kesadaran makan yang otentik, yang berbasis relasi dengan totalitas kehidupan.

Bumi yang memberi kita makan,

bumi yang akan diwariskan kepada anak cucu kita.

Sumber foto : www.cocreateyourlife.wordpress.com

Bumi memberi kita makan, semua mahluk diberi makan. Kita pun memberi makan bumi dan segenap kehidupan. kita berbagi, menjadi roti, menjadi makanan bagi sesama penghuni kehidupan. Di sini makan menjadi makna. Makna dari hidup adalah seni menjadi makanan, menjadi roti, seni berbagi, menjadi bermanfaat. Bumi menjadi roti bagi kita, dan atas cara yang sama kita pun menjadi roti sebab kita pun adalah bumi. Bumi adalah kehidupan, begitu juga kita sebab kita ini pun bumi. Menjadi bumi itu inklusif, kita semua adalah satu bumi yang sama yang unik di jagat raya. Di sini makan menjadi tindakan sakral. Makan itu berbagi, daya dinamis yang saling menghidupkan. Makan itu seperti cinta yang sebenarnya: saling berbagi, saling mendukung, menerima dan juga memberi dan semakin berlipat ganda.

Jumat, 15 Mei 2020

[PIKIR] BELAJAR DARI WEELEWO, SUMBA

Oleh: Umbu Justin

A querencia is a place the bull naturally wants to go to in the ring, a preferred locality... It is a place which develops in the course of the fight where the bull makes his home. It does not usually show at once, but develops in his brain as the fight goes on. In this place he feels that he has his back against the wall and in his querencia he is inestimably more dangerous and almost impossible to kill."

-Ernest Hemingway, Death in the Afternoon

Umbu Robaka

Ketika para arsitek muda dari Construye Identidad Peru, melakukan survei arsitektur di kampung adat Weelewo, Sumba, mereka mengajukan pertanyaan biasa kepada wali adat Marapu,  Rato Umbu Robaka: “Apakah dianggap penting anak-anak diajarkan kecakapan membangun rumah?” Rato tersebut menujuk ke langit, pada bintang-bintang yang menaungi Weelewo, "Jalan terdekat!"serunya.

Construye Identidad adalah kelompok aktivis-arsitektur yang pergi ke sejumlah negara sepanjang lintasan lintang khatulistiwa untuk membawa pesan keberlanjutan kepada dunia. Mereka belajar kebijaksanaan berkelanjutan yang dijalankan oleh masyarakat lokal tradisional.  Di Weelewo mereka tinggal dan belajar hidup bersama warga kampung tersebut sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang kebiasaan hidup dan seni membangun rumah.

Para arsitek tadi menangkap beberapa hal yg sukar dipahami terutama perkara gender, porto pernikahan yang sangat mahal, paham ketuhanan yang nir mengarah pada entitas personal dan jua hubungan kekerabatan dalam kampung yang ternyata bersumber pada satu garis keturunan beserta. Namun yang paling sulit dipahami pada waktu pertama kali diungkapkan merupakan jawaban Rato Umbu Robaka tentang pewarisan keahlian membangun kepada generasi belia.

Membangun Rumah menjadi Jalan Terdekat

Umbu Robaka adalah penjaga warisan Marapu, keyakinan suci setiap orang Sumba tentang alam semesta, hayati, dan pelaksanaan diri manusia dan 'Tuhan' pemilik segala sesuatu. Marapu bukan agama. Itu lebih mirip sebuah visi kosmologis yang bersifat mistis, dimana ilham ketuhanan bukan merupakan faktor sentral meskipun pada sana-sini terdapat relatif tanda spiritual mengenai pengakuan adanya rekanan transenden antara manusia dan roh yg sangat suci darinya segala sesuatu memancar sebagai kehidupan.

Jawaban Umbu Robaka pada Construye Identidad tentang kecakapan membangun berasal dari visi kosmologis Marapu tersebut. Umbu itu 'master builder' ahli membangun rumah sumba.

Membangun rumah Sumba dimulai dengan menemukan empat tiang utama. Para Rato, pemuka adat,  masuk ke dalam hutan larangan dan meminta kesediaan pohon-pohon tua untuk menginisiasi kehidupan di kampung. Pohon-pohon tua yang telah memikul tugas mengikat air dari langit, memberi rumah pada burung-burung, binatang-binatang kecil, keteduhan bagi tetumbuhan muda di dasar hutan. Dengan tarian dan lantunan syair, batang pohon ditarik menuju kampung untuk menjadi peneduh kehidupan baru. Master builder,  Umbu Robaka akan memilih sejumlah tukang untuk mengukir keempat tiang utama tersebut dan sesudah itu dengan upacara meriah seisi kampung dan anggota suku dari rumah tersebut akan mendirikanmya dan melanjutkan penyelesaian rumah tersebut.

Rumah Sumba melambangkan roh Marapu, berupa orangtua penuh kebaikan yang memangku anak-anaknya. Figur anthropomorphicdari rumah Sumba tergambar dari kesepadanan antara bagian-bagian bangunan dengan wujud tubuh manusia. Atap teduh dengan menara menjulang mengambarkan tubuh yang dihiasi dengan kepala berikat kain destar yang sekaligus mewakili daya feminin dan maskulin. Rangka atap melambangkan rusuk dan tali-tali hutan yang mengikatnya melambangkan otot. Tiang-tiang utama melambangkan tumpuan ke atas tanah, kaki yang kokoh, sekaligus membawakan pesan kehadiran penghuni rumah, anak lelaki dan menantu perempuan di depan, serta ayah dan ibu di belakang mereka. Di ruang tengah antara keempat tiang utama terdapat perapian yang senantiasa bernyala, menyebarkan kehangatan dan membumbungkan asap untuk memuliakan peti suci di atasnya. Peti suci itu berisi hasil panenan serta ari-ari dari setiap keturunan keluarga suku tersebut.

Daya simbolik yang dinyatakan sang rumah Sumba sebagai lengkap saat keluarga berkumpul di kurang lebih perapian dan makan beserta. Di sinilah Marapu, yakni daya kehidupan berlangsung pada keseharian yg sahaja.

Membangun rumah dengan demikian merupakan tindakan hakiki manusia yang melekat pada semesta raya. Manusia tidak berdiri mengambang pada lanskap lingkungannya melainkan melekat dan hidup darinya. Marapu adalah ikatan yang dihayati sedemikian itu. Rumah adalah pernyataan paling kuat dari hakikat manusia, berdiri ditopang oleh alam, oleh kehidupan yang maha luas yang melingkupi sebuah keluarga dan setiap individu. Dengan membangun rumah, manusia percaya pada daya topang kehidupan dari lanskap tersebut, bahwa di tanah tersebut ia akan hidup dan bertahan dan tidak terkalahkan. Membangun rumah adalah tindakan penuh keyakinan, menjadi penerus daya hidup, energi manusia, daya tumbuh batang-batang pohon di hutan, api upacara dan api rejeki makanan sehari-hari, peti suci yang bergantung di tengah di antara keempat tiang utama. Semuanya adalah satu kehidupan yang disebut Marapu. Itulah pernyataan kepercayaan pada sebidang tanah, ketika manusia yang berjuang keras mau menaruh hidupnya serta keberlanjutannya pada sebidang tanah pilihan. Persis seperti seekor banteng di tengah arena menemukan querencia-nya dan di situ ia akan bertahan dan tak terkalahkan.

Rumah Sumba dengan demikian adalah sebuah cerita tentang manusia yang mempercayakan hidupnya pada Marapu, daya hidup semesta. Kecakapan membangun, pengetahuan, penghayatan relasi eksistensial antara manusia dengan lanskapnya, dengan alam mahaluas, tindakan berumah itu sendiri, semuanya  menjawab pertanyaan kita tentang Jalan Terdekat dari Umbu Robaka.

[PIKIR] WASTU CITRA: INSPIRASI SENI MEMBANGUN DARI ROMO MANGUNWIJAYA

Oleh: Umbu Justin

Pulcrhum Splendor est Veritatis

Keindahan adalah pancaran kebenaran

Thomas Aquinas

Buku Romo Mangun

Wastu Citra, tulisan Romo Mangun, sepertinya merupakan buku arsitektur terbaik yang pernah ada. Berbeda dari pandangan hampir semua pemikir teori dan pengulas karya arsitektur,  Wastu Citra justru menghindarkan seni membangun dari konsep kata arsitektur.

Kata ‘arsitektur’, ‘arsitek’, ‘karya arsitektur’,  mengandung pengertian yang mendahulukan  kreativitas desain, kemampuan teknik, kemampuan mengatasi tantangan elemen-elemen alam seperti iklim dan topografi serta inovasi di bidang  desain penemuan material baru yang efektif atau memukau. Para arsitek berkompetisi menjadi selebriti, genit dan mencari sensasi dengan merancang karya yang serba memukau demi pujian dari para pengulas. Dunia industri pun berlomba menghasilkan material yang paling inovatif dalam mengatasi tantangan desain sekaligus paling indah ditangkap indera.

Dunia arsitektur merupakan wajah semesta insan yang sangat sensasional & penuh otoritas. Sebuah wujud karya arsitektur secara pribadi menggerakkan rasa sekaligus dapat memerintah insan buat tiba atau menjauh. Sebuah bangunan dapat sengaja memancing insan buat tiba atau memberitahunya buat bertindak sesuai harkatnya. Setiap karya arsitektur merupakan cermin di hadapan masing-masing manusia. Seseorang bisa melihat kelayakannya pada ruang melalui tampilan desain arsitektur yg dirasakannya.

Karya arsitektur dengan demikian adalah bagian dari cara manusia menempatkan semua insan dalam berbagai kategori, berbagai nilai atau kelas. Buku Wastu Citra memperlihatkan hal yang sebaliknya. Alih-alih memanfaatkan istilah arsitektur yg begitu lumrah & berwibawa, Romo Mangun menunjukkan sebuah pendekatan total dalam seni membentuk menggunakan memasukkan budi bahasa ke antara banyak sekali perkakas desain. Budi bahasa adalah unsur terpenting definisi manusia menurut Aristoteles: insan merupakan makhluk yg berbudi bahasa.

Wastu Citra mengetengahkan kerumitan nasib manusia di global sekaligus keagungan perenungan budi bahasa yg dicapai selama beribu tahun pada mencerap pengalaman seluruh sejarah. Manusia itu rumit, ia senantiasa mencari tempat yang sesuai baginya dalam semesta & dengannya ia meratap & bertarung melawan beratnya situasi hayati, namun sekaligus dia merayakan keindahan hidup pada budi bahasa yg bisa beliau wariskan.

Seni membangun adalah perayaan dan warisan tersebut. Manusia membangun untuk menciptakan ulang semesta. Ia belajar dari warisan pengetahuan dan kebijaksanaan tradisi budi bahasa. Kata 'Wastu' atau 'Vastu' datang dari  bahasa India kuno yang berarti sebuah sastra seni membangun yang dirumuskan dari rangkaian kedalaman pemahaman tentang semesta, tentang hierarki alam, pergerakan roda waktu, tempat dan tugas manusia dalam semesta. Citra berarti pancaran, wajah, perwujudan dari kedalaman pemahaman tersebut.

Buku Wastu Citra nir mengarahkan kita untuk mematuhi paham klasik India tadi. Romo Mangun menggagas budi bahasa menjadi gambaran insan. Kata Wastu dimaksudkan untuk membuat para pembelajar arsitektur buat berhenti sejenak dalam proses desain buat menjelajah sejarah budi bahasa lokal di tempat dimana dia melaksanakan tugasnya. Wastu Citra adalah undangan buat memperlakukan seni membentuk menjadi daya celoteh kemanusiaan yang luhur. Untuk itulah Romo Mangun membahasakan seni membangun dengan istilah Wastu Citra, dan menghindari istilah 'arsitektur'.

Romo Mangun Membangun

Lebih berdasarkan 70 karya dia menunjukkan drama insan yg mencari loka pada dunia. Berbeda berdasarkan karya arsitektur umumnya yg mengklasifikasikan manusia, dalam ruang-ruang ?Wastu?, Romo Mangun membahasakan kegelisahan & sekaligus keyakinan manusia dalam melakukan perjalanan. Rumah tinggal, gereja, masjid, sekolah, kantor atau ruang-ruang publik yg dibangun Romo Mangun mewujud dalam skala yg sederhana, ruang-ruang yg terbuka, menerus, saling terhubung, tidak berhenti mendadak, penuh dengan permainan cahaya yang menerobos antar ruang.

‘Citra’ yang bisa kita tangkap bila memandang ke dalam karya Romo Mangun adalah wajah manusia yang kuat, yang mampu mengatasi nasibnya dengan leluasa dan berani, wajah yang ditempa nasib sejarah namun sekaligus bertahan dengan keyakinan akan harkat dan tujuannya. Lihatlah Kali Code Yogyakarta, peziarahan Sendangsono, Sekolah Dasar Mangunan,  Gereja Maria Asumpta Klaten serta Bentara Budaya Jakarta!  Semuanya mencitrakan budi bahasa dari seorang perancang yang memihak nasib manusia.

Bangunan Gereja Maria Assumpta karya Romo Mangun

Romo Mangun bukan arsitek, ia menolak bergerak pada arus global arsitektur yg keletah dan penuh gelagat narsistik yang akut. Ia melakukan budi bahasa dengan penuh semangat dan lantaran dia percaya bahwa seni membentuk adalah cara insan membentuk ulang semesta, ia pun membangun citra semesta manusia.

Pesan Romo Mangun pada para pembelajar

Wastu Citra melekatkan bangunan, ruang, lingkungan terbangun pada konduite kita sehari-hari. Ketika ia dikritik lantaran desainnya perlu perawatan sangat rutin, dia menjawab bahwa bangunan merupakan perwujudan tubuh manusia yg meluas, karena itu perlu diperhatikan setiap hari, dirawat dan dibersihkan rutin.

Ia juga dikritik lantaran penggunaan material bambu serta kayu yang tidak akan bertahan lama dan karenanya turut berperan memusnahkan hutan. Ia mempersoalkan mengapa kayu menjadi langka: karena lahan hutan beralih fungsi. Desainnya dianggap tidak baku, melawan ketersediaan bahan bangunan sebagai akibatnya membuat para tukang harus menciptakan sendiri material atap, dinding & ubin lantai. Bangunan Romo Mangun mahal justru dalam ongkos kerja. Ia memang senang bermain menggunakan bahan dasar beton, tanah lempung dan kelenturan batang besi. Beliau menjawab bahwa para tukang memang wajib dibayar tinggi buat kerja menciptakan. Kreativitas yang tidak didikte oleh industri adalah penghargaan pada budi bahasa yang unik pada masing-masing insan dalam membangun ulang semesta.

Semua jawaban sederhana ini memberitahuakn kedalaman kontemplasi yg tidak dimiliki para arsitek umumnya. Arsitek selalu mencari peluang buat menegaskan kariernya & berusaha tampil secara meteoristik pada antara etalase kreativitas global desain. Tetapi bahkan menggunakan ego sedemikian tinggi, arsitek sebetulnya diperintah oleh industri & kesukaan rendah konsumen yg nir mengenal budi bahasa otentik insan.

Gatra-gatra dalam peziarahan Sendangsono, karya Romo Mangun

Warisan Romo Mangun

Pulcrhum Splendor est Veritatis, Keindahan adalah Pancaran Kebenaran. Kutipan dari budi bahasa Thomas Aquinas yang berakar pada Socrates, Plato dan Aristoteles, bisa kita terima sebagai tantangan yang Romo wariskan pada para pembelajar arsitektur atau pencari Wastu Citra. Keindahan bukan sebuah kategori yang bisa didikte oleh industri atau tataran selera. Keindahan itu memancar dari keberanian untuk mengangkat perjuangan manusia mencipta ulang realitas semesta. Sebuah kemerdekaan hakiki yang bisa di narasikan dalam desain ruang-ruang yang menampung dan mewadahi kegiatan manusia. Kerja desain, kerja membangun adalah Citra dasar kemanusiaan kita. Kita merancang ulang nasib kita, membangun realitas semesta yang sejajar dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Kita menuturkan budi bahasa membangun sebagai cara kita berada, cara kita mewarisi kehidupan.

Selasa, 12 Mei 2020

[PIKIR] SANDANG YANG MENELANJANGI

Oleh: Umbu Justin

Duhsasana had to subdue Draupadi by force. He dragged her out of the women?S quarters and into the assembly hall by her hair. And there, in front of all the kings and the defeated Pandavas, he mocked her, called her whore for having five husbands, and vowed to have his way with her. Then, as Draupadi stood helpless, clad only in a nightgown, weeping with shame and rage, Duhsasana ripped her gown from her to expose her nakedness.

But she was not naked. She was still clad in her simple shift. Cursing, Duhsasana reached out again and ripped it off.

And Draupadi was still not naked.

Again and again Duhsasana ripped Draupadi?S clothes away, until the floor of the assembly hall was littered in a rainbow of gowns. And she was still not naked.

Absolute silence descended on the assembly hall. There were only two people in the whole world. There was Draupadi, clothed in the lawfulness of her rage. There was Duhsasana, exhausted and suddenly afraid.

Sabha Parva LXVII, Mahabharata

Di antara aneka macam atribut yg menaruh kita predikat menjadi mahluk berkebudayaan, pakaian-lah yang paling mudah ditanggalkan. Berbagai atribut lain yang memberi kita karakteristik kebudayaan seperti celoteh bahasa, dialek, rapikan cara makan, ritual tata cara, hubungan korelasi, pemahaman akan nilai-nilai, jauh lebih melekat erat pada kita dibanding pakaian. Kita dengan gampang berganti sandang dan mengubah peran atau identitas, misalnya seseorang anak didik yang mencopot seragamnya begitu hingga ke rumah; tetapi betapa sulitnya murid tersebut membarui dialeknya, apalagi mengganti interaksi kekerabatannya.

Terhadap identitas kita sandang itu memang rapuh, tetapi di situ juga terletak kekuatannya. Sandang menyandang daya terpenting dalam kemanusiaan kita, yakni  kecenderungan beradaptasi. Dengan sandang manusia dapat mengatasi keterbatasannya, memasuki laut dalam, menjelajah antariksa, atau pun melindungi diri pada kondisi ekstrim. Sandang itu membungkus tubuh untuk memperluas horizon keberadaannya, mendukung manusia untuk bereksplorasi dan melakukan kolonisasi atas dunia.

Sandang berdaya mengubah manusia karena itu dia kemudian dikapitalisasi menjadi sarana pembagian terstruktur mengenai insan baik berdasarkan segi strata kultural mau pun sosial, penanda kiprah pada sistem kemasyarakatan, atau pun menjadi tanda pengkhususan kultural mau pun religi. Pakaian yang disandang menentukan derajad dan kasta, mengenalkan kiprah pada sistem fungsional kemasyarakatan seperti dokter, tentara, polisi, pengajar atau anak sekolah. Para penganut agama menandai kaumnya lewat pakaian yg khas,misalnya pada biarawan, kiai, pandita, dan seterusnya. Bahkan pakaian pun bisa menaruh karakteristik dalam momentum tertentu seperti gaun pengantin, pakaian upacara kepercayaan atau pun sandang norma pada banyak sekali ritual.

Sandang menggunakan demikian secara paradoksal melampaui manusia penyandangnya. Tanpa pakaian, insan sebagai telanjang & terbatas. Ia kehilangan atributnya, ketiadaan predikat & lumpuh pada sistem sosialnya. Sandang menggunakan demikian menelanjangi manusia. Nilai-nilai sosial kemasyarakatan insan jadi melekat dalam pakaian yg dikenakan, bukan tertanam dalam manusia itu sendiri.

Di satu pihak manusia itu takut dalam ketelanjangannya. Maka ia berusaha menegaskan keberadaannya secara spesifik di tengah global menggunakan menyandang sandang yang mampu mengusung bukti diri kiprah yang beliau anggap sinkron. Tetapi tak jarang ketelanjangan itu sebagai paranoia yang mengubah insan menjadi konsumen terus menerus. Sandang menjanjikan pemenuhan identitas yang tidak pernah tuntas. Manusia berusaha memperkaya atribut, mempertahankan dan menaikkan predikatnya, mengejar pakaian yang semakin menaikkan nilainya pada warga .

Di lain pihak, lantaran pakaian sebagai penyandang martabat, nafsu kolonisasi, kecenderungan menguasai & menindas insan menyasar pada penelanjangan insan lain. Dalam epos Mahabharata, Kurawa berusaha mempermalukan Pandawa yang kalah bermain dadu menggunakan merenggut sandang Drupadi. Dalam aula raja-raja di Hastinapura keserakahan akan kekuasaan politik mengarahkan kekuatannya dalam kain sari seseorang perempuan .

Epos Mahabharata menjanjikan optimisme yang mendasar bagi kemanusiaan yang tidak dapat ditelanjangi. Sandang itu memang bernilai, meskipun ia tipis dan bersahaja seperti selembar sari atau kain batik, ia memuat keyakinan manusia bahwa dirinya bermartabat. Sandang bukanlah pemilik nilai tersebut, ia adalah penanda citra kultural manusia, pembawa pesan tentang harkat manusia, dan bukan harkat itu sendiri.  Seperti keajaiban dalam cerita Mahabharata di ruang permainan dadu, martabat manusia tak bisa digerus meski keserakahan berusaha menanggalkan semua atribut kemanusiaan.

Drupadi yang bersimpuh pada lantai aula para raja, tetap terjaga dalam keutuhan kemanusiaannya dan pada gilirannya keserakahan & nafsu menguasai politik Sengkuni & Kurawa akan tergerus oleh ketakutannya sendiri karena humanisme tak bisa ditelanjangi.

Minggu, 03 Mei 2020

[PIKIR] MENJADI MANUSIA

Oleh : Umbu Justin

Homo Sapiens atau Homo Appendictis

"I can't go back to yesterday because I was a different person then"

Alice in the Wonderland

Pertanyaan tentang makna manusia belum lama ada, dibandingkan dengan 2 juta tahun kehadiran spesies kita Homo Sapiens, pertanyaan itu baru muncul sekitar 2500 tahun lampau di Yunani, kemudian menghilang dan munculkembali pada masa renaisans (tahun 1300-1600 masehi).

Pada permulaan lahirnya bahasa, saat alam masih sedemikian lekat dengan kita, nir ada jarak yg cukup untuk menyadari eksistensi kita di tengah global. Bahasa belum terbangun buat mengajukan pertanyaan, yg ada hanya bunyi penanda kehadiran, yang kita suarakan secara spontan buat menjadi awas atau sekadar memberitahu peristiwa-peristiwa yg wajib kita waspadai demi kelangsungan hayati. Relasi kita dengan alam, dengan persekitaran kita, dengan sesama, selalu bilateral, saya dan engkau [1], relasi komplementer, langsung, mengikat dan saling menjamin keberadaan.

Kesadaran kita mengenai hayati belum terbangun sebagai sebuah pengetahuan abstrak, segala sesuatu mengikat kita secara sangat kongkrit dan sensasionik, kita merasa dengan peka, meraba & menyentuh semuanya secara eksklusif. Kita terapung pada sebuah keserbaadaan yang magis, sebuah dunia gaib yg dengannya kita melebur & mengalir dan hidup sedemikian lekat.

1. Manusia magis, para shaman pemandu kehidupan, penutur kejadian:

Ketika kita semakin berkembang, menyadari ikatan-ikatan vital antara sesama, membentuk hayati berkelompok, muncullah representasi pengalaman hayati sehari-hari pada diri para shaman, dukun, para penutur cerita. Mereka merupakan penyentara gaib yang sanggup menafsir dan mengikat seluruh ingatan dan memberitahu bagaimana harusnya kita hayati. Mereka memberitahu asal usul segala sesuatu, menafsir insiden-insiden, dan meramal masa depan. Mereka adalah para penafsir, penyimpan misteri, penyembuh pelihat, visionaris handal & penjamin kelangsungan hidup.

Perlahan-lahan dengan peran para shaman ini bahasa menjadi abstrak, mereka mampu menyimpan pengalaman dalam kata-kata, memberi nama dan memanggil subyek atau bahkan peristiwa-peristiwa yang kita inginkan terjadi. Kita mulai membangun kesadaran bahwa kita berada secara khas, mampu membuat jarak dengan alam, menyadari pelintasan waktu, menamai musim-musim, membuat peta tempat-tempat yang kita kenal, dan membangun ritual-ritual, membahasakan mantra-mantra penjinak hidup untuk mengelola dan mempengaruhi berlangsungnya alam dan kehidupan. Dunia tidak lagi terlebur bersama kita, tidak lagi mistik, ia sudah punya nama yang bisa dipanggil dan dimantrai. Kita percaya pada daya-daya magis yang dimiliki para shaman, mereka mewakili hubungan kita dengan alam, dengan kejadian-kejadian. Melalui mereka kita memandang hidup, menggunakan kata-kata magis dengan cermat dan penuh rahasia, dan menuturkan hadirnya bentuk kehidupan yang kita inginkan.

2. Manusia Mitos, kepercayaan pelantun mantra-mantra penakluk semesta

Kebiasaan buat menuturkan hadirnya kehidupan yg diinginkan, memanipulasi insiden dengan mantra dan bahasa rahasia, 'melembaga' secara sporadik, melahirkan mitologi-mitologi lokal yg dituturkan sang para shaman. Kekuasaan memanipulasi peristiwa alam, menghadirkan peristiwa, sebagai kultus, memisahkan daya tafsir, daya magis sebagai kekuasaan istimewa yang terpisah menurut keseharian. Bahasa terbagi 2 menjadi kata lokal yg pragmatik buat komunikasi sehari-hari pada satu pihak, & di lain pihak terdapat bahasa misteri yg hanya dipakai oleh para shaman pada doa-doa pengelolaan kehidupan. Bahasa sehari-hari berkembang menggunakan pengayaan yang impulsif dan ringan sedang bahasa-bahasa mantra sebagai langka dan semakin tersembunyi, nir sembarang dituturkan, dikhususkan pada insiden tertentu dengan tata upacara yg pantas.

Inilah suatu situasi baru pada mana manusia sudah melepas diri dari alam, namun terikat pada rapikan upacara yang dibangun oleh para kelembagaan shamanik. Manusia diikat oleh mitos-mitos lokal tentang berasal-usul & masa depan nasib insan. Di mana-mana secara sporadik gerombolan -grup warga melembagakan istiadat kepercayaan , agama-agama asli yg menyimpan khazanah bahasa kudus, mantra-mantra, doa-doa spesial buat memanipulasi alam & peristiwa kehidupan.

Mantra-mantra lokal lalu melembaga ke pada nama-nama spesial yang misteri, nama-nama figuratif, lalu mewujud pada yang kuasa-dewi lokal, tuhan akbar dan mini , penguasa daya-daya alam khas, pengendali laut, panen, pohon besar , binatang, animo, mentari , rembulan, penghalau bahaya, penyembuh, nama-nama terlarang, hanya mampu dituturkan & dipanggil melalui tata ritual yg sepantasnya. Pada para shaman dan bahasa ilahiah inilah manusia bergantung & bercermin untuk menerima makna serta tugas hidupnya. Dunia segera sebagai jelas bagi benak insan, terstruktur & berkaidah lewat tatanan bahasa. Bahasa suci lewat orakel dan rapikan upacara para shaman, para tetua kepercayaan , menafsir & mendoktrin jalannya bintang-bintang & letusan gunung barah, mengatur makna kelahiran dan kematian, tetapkan & merestui pemimpin-pemimpin, dan meramal keberuntungan dan memetakan jalan hidup setiap orang.

Nasib manusia lantas diikat sang bahasa kudus, bahasa mantra dan bahasa kekuasaan. Bahasa suci ini menata alam semesta & menjajah hati manusia, mengikat insan ke dalam mantra penaklukan yang menghentikan kemampuannya bertanya dari dalam relung kegelisahannya sendiri. Dan selama beratus ribu tahun manusia nir mampu bertanya, nir bisa merespon kekuatiran hatinya, menjadi gagu dalam rasa takut yg dibangun oleh ancaman shamanik, sebab merekalah yg empunya bahasa kudus penjinak semesta.

Rasa takut dan penaklukan sang bahasa suci ini ini menjadi pola-pola yang efekif buat mengelola publik. Lantas parallel menggunakan kekuasaan kaum kepercayaan , para penguasa memanfaatkan bahasa kudus sebagai bahasa mereka buat mengesahkan ideologi kekuasaan politik. Mereka bahkan dengan restu shamanik menyatakan diri dewa, putra-putri dewata, pemangku & pengendali aksis semesta & penguasa dunia nan terberkati melalui bahasa kudus bertuah, penakluk segala sesuatu. Bahasa suci lantas sebagai ideologi yang berbanding lurus dengan ketakutan publik manusia biasa penutur bahasa-bahasa pragmatis, bahasa-bahasa pergaulan yg nir punya tuah apa pun.

Tiga. Fajar Manusia Filsuf, perenung permata eksistensi, masa Yunani klasik

Rupanya insan biasa nir sedemikian takluk, sebab bahasa keseharian yg tidak bertuah, ternyata menjadi stimulan perasaan. Bahasa biasa menggali jauh ke pada kalbu manusia, menemukan 'permata' pada pusat keberadaan, & terutarakan pada alun syair, puisi, sajak-sajak kegelisahan yang bertanya dari dalam hati manusia. Socrates, pionir filsafat, lebih berdasarkan 2 milenia yg lampau di pelataran kuil Athena Yunani, mulai mempertanyakan semuanya. Ia membangun metode berpengetahuan dengan bertanya, terutama dalam kebenaran-kebenaran ideologis yg mapan selama ribuan tahun. Untuk pertama kalinya, bahasa jalanan, bahasa urban, mengusik tatanan bahasa keramat, & mengurai tali ikatan penakluk manusia. Socrates-lah yang menyatakan bahwa dengan mengurai segala sesuatu melalui bertanya, melakukan dialektika, kita dapat menemukan kebenaran eksistensi kita, permata di sentra kehadiran kita. Kebenaran bukanlah doktrin, ketetapan, dogma atau orakel, bukan juga kesepakatan atau kontrak perjanjian perbudakan manusia pada altar para agamawan atau di kaki para tuhan. Manusia mampu melepas kungkungan rasa takut dalam kekuasaan semu bahasa keramat & menyadari balik keberadaannya.

Tentu saja Socrates dihukum mati menjadi penanda berfokus atas kecerobohan berbahasa. Efektivitas hukuman ada pada sugesti yg diciptakannya, mengingatkan insan dalam ketakutannya, pada tali perbudakan absolut yg melilit kehadirannya. Murid-anak didik Socrates terutama Plato dan lalu Aristoteles melanjutkan ikhtiar filsafat untuk menemukan esensi dari permata eksistensi tersebut. Plato memakai bahasa kudus, menunjuk pada dunia ilham, sedangkan Aristoteles mencarinya dengan bahasa praksis, memilih dalam global empirik. Metode Socrates, mempertanyakan kemapanan secara dialektik, sama-sama berlaku pada cara berbahasa filosofis pada Plato & Aristoteles. Plato berbicara mengenai idealism tatanan insan, mengenai politik dan kepentingan bersama, merintis humaniora, & Aristoteles berbicara mengenai realism pencarian hakekat, tentang alam & merintis ilmu pengetahuan empirik; keduanya mengurai ikatan perbudakan intelek manusia berdasarkan mitos & dogma agama.

****

Tetapi agama nir tidur, bahkan menggunakan filsafat untuk melayani tatanan dunia baru, pada mana Tuhan diletakkan pada hierarki tertinggi, insan luhur antara Tuhan & malaikat kemudian pada tengah, pada bumi sedangkan manusia pendosa pada bawah bumi, di neraka. Melalui institusi pengikat kosmik (Gereja Katolik Roma), dibangunlah tatanan semesta (Great Chain of Being), pada mana Tuhan sebagai ilham tertinggi & alam semesta menjadi manifestasinya dari taraf keluhurannya sendiri-sendiri. Manusia sekali lagi nir memiliki independensi eksistensial, terikat pada aturan kosmik yg tertulis pada doktrin Gereja.

4. Thomas Aquinas dan prestise insan melalui intelek

Setelah lebih berdasarkan 1300 tahun kekuasaan dogmatik Gereja, menurut pemikir dan teolog terbesar abad pertengahan, kesadaran filsafat Yunani klasik lahir pulang. Thomas Aquinas menyakini intelek manusia pada kemandiriannya mampu menjangkau Tuhan. Bukan Tuhan perwahyuan yang dikumandangkan kepercayaan -kepercayaan , melainkan Tuhan absolut, yakni kebajikankebajikan

luhur kehidupan: Kebenaran, Keindahan, Kebaikan & Keutuhan. Thomas Aquinas lah yg menafsirkan ulang defenisi esensi manusia oleh Aristoteles menjadi Homo Sapiens, mahluk

intelektual. Penghargaan dalam kontemplasi intelektual ini membuka jalan dalam sebuah pemerdekaan yg mengganti paras dunia selama-lamanya: Renaisans; suatu pancaran prestise kemandirian humanitas yg merdeka, yg mengubah tatanan kosmikal Gereja sebagai medan kesadaran baru terhadap dunia yang mesti dieksplorasi.

Lima. Manusia Renaisans, terapung dan tanpa tujuan tetapi konfiden

Masa Renaisans menandai pembalikan kesadaran dari yang serba ilahi menjadi serba menggairahkan. Ketika Gereja klasik sebelumnya membekukan kesadaran manusia, Filsafat Yunani klasik lahir kembali, membuat dunia menjadi tak bernama dan menunggu untuk ditandai oleh ilmu pengetahuan yang bebas dari dogma. Filsafat Plato memberi jalan pada para pemikir seperti Descartes yang menentukan keberadaan manusia sejauh aktifitas inteleknya (cogito ergo sum: saya berpikir maka saya ada) dan Immanuel Kant yang meletakkan kebenaran etis pada adanya manusia itu sendiri, bukannya pada hukum Tuhan.

Pada masa ini ilmu pengetahuan berkembang dan manusia menjadi sedemikian realistis, terikat dan terpesona pada hal-hal yang teraba oleh indera. Bumi kehilangan tempatnya sebagai poros dunia, dan di antara hal-hal yang terlihat tersembunyi penglihatan-penglihatan baru (penemuan mikroskop dan teropong) dan berkembangnya fenomenologi yang menyadari kekhasan cara memahami pengalaman serta psikologi sebagai jalan melihat ke dalam psyche manusia.

Alam semesta terurai ulang dan kemudian tertata & terikat pada hukum-aturan keniscayaan intelek (gravitasi dan mekanika konvoi benda-benda langit) & kehilangan kualitas mistisnya yg pernah diyakini berpuluh ribu tahun.

Hubungan komplementer (saya dan engkau ) berubah sebagai subyek & obyek. Kita menjadi eksplorer menjelajar dunia tidak bernama dengan rasa ingin memahami yang melampaui daya jawab keilmuan itu sendiri.

Pertanyaan tentang makna & tugas insan nir lagi relevan, meski terdapat optimisme terhadap daya eksplorasi manusia dan kecakapan inteleknya, loka insan sendiri tidak lagi terpijak pada global, insan terapung dan tersihir oleh penemuan-penemuannya sendiri. Humanisme renaisans memang benar-benar memerdekakan manusia namun sekaligus menghanyutkannya dalam keasyikannya menjalankan daya inteleknya sejauh mungkin.

6. Manusia Post Intelectual, terintegrasi ke pada sistem data, tanpa keyakinan & tidak bernama:

Kita sekarang tidak memiliki apa pun untuk diperjuangkan. Intelek kita telah sanggup diserahkan dalam mekanisasi robotic (Artificial Intelligence). Kita merupakan konsumen berdasarkan sebuah sistem provider yang mendunia yg menyediakan seluruh kemudahan hayati. Kita adalah mahluk penjalan kehidupan, melakukan pola-pola rutin yg semakin hari semakin terpetakan & terdata secara lebih jelasnya. Dan jikalau sistem ini sempurna, kita telah bukan manusia lagi namun semacam 'usus buntu' menurut sebuah organisme algoritmik pengolah data yg mendikte segala sesuatu. Kita adalah relik, sisa-sisa pemeran kehidupan yang kehilangan tugas vitalnya. Hidup yang kita kenal membuntu dan terselesaikan pada sini, sekarang. Kita puas duduk pada cafe-cafe menjalankan pola-pola rutin, menunggu para provider menyempurnakan data dan mempertajam algoritme mereka dengan personal komputer quantum. Kita menonton, berbagi tontonan pada antara kita, menggairahkan gambar-gambar yang itu-itu pula & pandangan baru-pandangan baru statik agar selalu tersaji dengan topeng baru yg mengejutkan.

Dunia algoritmik masa kini adalah pembakuan universal & absolut dari rekaman data kehadiran kita pada bumi. Para provider atau pengelola industri 4.0 memetakan ke-siapa-an kita. Kita adalah rekap data tertentu menurut pola penghayatan empiris yang terbaca setiap ketika. Kita adalah kabar, & dalam kelumpuhan kita mencari makna, para provider menggunakan artificial intelligence buat memelihara kita bagai ternak, menggembalakan kita ke padang rumput, memberi makan & menyatakan dogma ketidak-bergunaan daya pikir kita. Esensi intelektualitas kita dalam defenisi Homo sapiens, sebagai hampa & kehilangan fungsi, kita menjadi Homo appendictis (serupa usus buntu, ada akan tetapi menggelantung tak bermanfaat lagi)

Pesan dari Wonderland:

Lewis Carroll (1832-1889) novelist, lewat tokoh kanak-kanak Alice, bertanya tentang makna diri & identitas: 'Who in the world am I? Ah, that's the great puzzle! Lalu beliau menggumamkan kebingungannya: "How puzzling these changes are! I'm never sure who I am going to be from one minute to another."

Ini merupakan sebuah kisah mengenai Alice yang terperosok ke dalam lubang kelinci, sebuah dunia menggunakan tatanan absurd di mana semua pemahamannya tentang global nyata dijungkirbalikkan. Sama misalnya para filsuf Yunani Klasik, dia merenungkan arti dirinya, namun pada sebuah global yang serba jungkirbalik itu, esensi & defenisi tidak sanggup jadi pegangan.

Alice memberi wangsit bahwa defenisi apa pun itu tidak bermanfaat bagi kita. Jika kita sekali lagi mau tergoda pada misteri kehidupan, menyadari kesementaraan kita, & meninggalkan ketergantungan kita dalam kekakuan esensi, melepas mantra-mantra algoritmik, menjadi merdeka, menjalin pulang interaksi bilateral dengan kehidupan, rekanan aku -kamu, komplementer dan interdependen, maka sebuah global imajinatif akan membuat kita memandang empiris dengan empati, yakni dengan rasa terlibat yang menyambung kita dalam kehidupan. Dunia membarui kita. Kita bukan tuan atas semesta, kita adalah denyutan semesta, perenung, artisan, penyair, pelakon hayati dan filsufnya.

Di salah satu bagian lain Alice merasa yakin: "Imagination is the only weapon in the war against reality". Realitas adalah kesimpulan, data, rekap algoritmik, tak terubahkan, baku dan terbukti. Realitas sepanjang sejarah manusia telah menjadi mata uang pembeli kesadaran manusia. Realitas adalah tenung kekuasaan baik oleh agama, mitos, sains mau pun algoritmic intelligence. Realitas selalu ada sebagai topeng kekuasaan, seakan sebuah tembok tak tertembus. Realitas mewujud setiap kali imajinasi berhenti berlangsung. Imajinasi adalah peruntuh realitas, pencair dogma dan pelantun kata-kata penciptaan baru setiap kali dunia membeku pada nasibnya.

Imajinasi adalah senjata, sebab dengannya kita sanggup mengubah empiris, menguraikannya dalam relasi yg otentik menggunakan kehidupan. Menjadi insan merupakan tugas, namun bukan aplikasi doktrin, bukan pesan Tuhan para agamawan yang menggantung kita dalam ayunan bandul nasib antara kesucian dan dosa, mengayun ke nirwana atau neraka, juga bukan data-data algoritmik dunia digital yg tercirikan lewat pola-pola & data-data akurat.

Manusia adalah pesan tentang hayati, nafas rohani semesta, kata kerja, gairah menurut pada dunia. Kita bukan elemen mekanis pada semesta, kita merupakan jiwa & roh, tenaga & ilham yang mengubah empiris, kita senantiasa merupakan gerakan, daya empati yg menyeberangi kutukan nasib sedemikian sebagai akibatnya kehidupanlah yang menang.

[1] Before Philosophy: The Intellectual Adventure of Ancient Man, Henri and H. A. Groenewegen Frankfort, John Wilson, and Thorkild Jacobsen

Cloud Hosting Indonesia