Tampilkan postingan dengan label Proaktif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 Juni 2020

[OPINI] Visi Keluarga Transformatif - Visi yang Berpihak Pada Masyarakat

Oleh: Navita K. Astuti



Diskusi Keluarga
Sebuah keluarga terbentuk atas dasar ikatan dan komitmen bersama antara suami dan istri. Ikatan tersebut dilandasi oleh perasaan saling mengasihi, komitmen bersama untuk membentuk sebuah keluarga, serta memiliki tujuan bersama yang hendak dicapai oleh pasangan tersebut. Seringkali, komponen yang terakhir disebutkan jarang dibahas oleh pasangan suami istri yang saling mengikat diri dalam ikatan pernikahan. Kebanyakan, pernikahan  diartikan semata-mata sebagai takdir hidup semata, hanya agar masyarakat menilai bahwa dirinya berada pada status aman dan dapat diterima oleh masyarakat.



Sebagaimana layaknya sebuah pesawat yg hendak tanggal landas, pada sebuah pernikahan diperlukan arah yang hendak dituju beserta oleh pasangan suami istri. Mau ke mana arah keluarga kami? Akan menjadi seperti apa keluarga yg akan kami bentuk? Begitulah kira-kira pertanyaan yg perlu dijawab sebelum pasangan suami istri menciptakan keluarga.


Keluarga & Tantangan Jaman
Akhir-akhir ini, begitu sering kita menemui famili yg retak oleh beberapa karena. Pertengkaran yang berlarut-larut, sulitnya menemukan istilah rujuk, ketidakcocokan pada antara suami dan istri. Saling nir tahu asa satu sama lain. Merasa paling sahih sendiri. Semua itu berujung pada perpisahan dan perceraian.


Tuntutan hayati tinggi menciptakan setiap anggota keluarga mengejar materi. Anak-anak lebih tak jarang diasuh sang asisten tempat tinggal tangga, lantaran orang tua sibuk memenuhi kebutuhan materiil. Kedua orang tua sporadis berkumpul beserta dengan anak-anak mereka . Tujuan awal pembentukan famili menjadi terlupakan karena kesibukan masing-masing anggotanya.


Perkembangan teknologi menyebabkan kurangnya sentuhan fisik yg sesungguhnya diperlukan oleh seseorang anak atau anggota famili. Teknologi internet, personal komputer kecil & ringan yg mudah dibawa ke mana-mana, sampai tablet yang hanya segenggaman tangan, menciptakan orang-orang terlena menggunakan hiburan juga pelaksanaan online yang disajikan. Dengan fasilitas tadi, orang-orang mengabaikan pentingnya kebersamaan secara fisik. Dengan kecanggihan teknologi seperti itu, orang jua dapat semakin larut pada pekerjaan. Mereka lupa dalam orang-orang pada sekitarnya. Esensi penting dalam keluarga buat saling mengisi, mendukung dan membicarakan visi bersama menjadi terkesampingkan.



Membaca Bersama Keluarga
Ketika visi dan tujuan bersama yang menjadi pengikat kebersamaan dalam keluarga pudar, maka lahirlah ketidakcocokan, pertentangan, perselisihan antar anggota keluarga. Ada beberapa keluarga berujung pada perpisahan. Namun, keluarga lainnya ada pula yang mampu bertahan, memperbaiki diri, membina visi mereka kembali.


Sebuah Visi yg Transformatif bagi Keluarga dan Masyarakat
Visi bersama merupakan kondisi krusial keutuhan tempat tinggal tangga. Tak hanya itu, waktu sebuah visi beserta pada sebuah famili bisa dipelihara & dikomunikasikan pada antara setiap anggotanya, maka keluarga tersebut bisa memaknai maksud dan tujuan kebersamaan mereka dan dengan demikian, membuat hidup setiapanggota keluarga sebagai lebih berarti.


Sebagai bagian menurut warga , sebuah famili yg bisa menempatkan visi beserta mereka bagi kemajuan & kesejahteraan warga pada sekitar mereka adalah famili yang memiliki visi transformatif.


Visi bersama yg transformatif memampukan sebuah keluarga melihat posisi mereka pada tengah masyarakat. Visi tersebut menciptakan famili sanggup mendorong setiap anggotanya buat turut merogoh peran pada dalam masyarakat secara nyata sesuai bakat dan panggilan hayati mereka masing-masing.


Sepasang suami istri, Febry & Nat, keduanya mantan aktivis GMKI, menghidupi visi famili mereka : menyebarkan karunia dan bakat hadiah Sang Pencipta buat memuliakan Sang Pencipta menggunakan melayani sesama insan, tanpa membedakan latar belakang suku, kepercayaan , maupun ras.


Dalam keseharian, & pada disparitas karakter antara Febry yg cenderung cepat dalam merogoh keputusan & Nat yang penuh pertimbangan dan sangat hati-hati dalam menetapkan, mereka menjalani visi bersama tadi.


Visi tersebut mereka tanamkan pula pada buah hati mereka, Putra. Kepedulian Febry dan Nat terhadap masyarakat tercermin pada cara mereka mendidik Putra. Febry sebagai ayah berperan menumbuhkan karakter kepemimpinan pada diri Putra, sedangkan Nat sebagai ibu mendidik Putra dengan kelemahlembutan dan kepedulian kepada sesama dan lingkungan hidup. Visi yang mereka hidupi sederhana, namun transformatif sifatnya. Visi tersebut mampu keluar dari ruang kenyamanan pribadi dan mau peduli pada masyarakat maupun lingkungan hidup di sekitarnya.


Sepasang suami istri lainnya, Dien Fakhri Iqbal dan Permata Andhika adalah contoh keluarga yang memiliki visi transformatif. Mereka dipertemukan dalam visi keberpihakan bagi masyarakat korban bencana serta memiliki minat yang sama tentang terapi trauma dengan body movement. Atas dasar kesamaan visi tersebut, mereka bersepakat untuk menjalani hidup sebagai sebuah keluarga. Setelah keluarga mereka terbentuk, keberpihakan mereka bagi masyarakat korban bencana tetap terpelihara. Iqbal dan Mata (panggilan akrab mereka) saling dukung dalam aktualisasi diri masing-masing.


Tidak banyak keluarga memiliki visi transformatif misalnya yg dipegang oleh keluarga Febry-Nat juga Iqbal-Mata. Beberapa keluarga lain, mungkin terdiri menurut pasangan yg visinya bertolak belakang sebelum akhirnya mereka dipersatukan pada dalam mahligai perkawinan. Apakah yg terjadi pada visi mereka sebelumnya? Bisa jadi visi eksklusif berubah seiring perkembangan yg dialami dalam keluarga mereka. Namun, sejauh itu disepakati, dinikmati & mendukung aktualisasi diri setiap anggota famili, tetaplah merupakan visi beserta yg menguatkan sebuah famili.


Tantangan & Solusi
Visi transformatif lahir dari proses keberpihakan & keprihatinan keluarga akan rakyat pada lebih kurang mereka. Visi seperti ini tidak sporadis menerima tantangan berdasarkan aneka macam pihak, terutama pada jaman yg semakin menjunjung individualisme misalnya ketika ini. Visi transformatif cenderung menerima cemoohan, ejekan & pertentangan. Tak jarang jua timbul perilaku skeptis akan upaya yang diperjuangkan dalam visi transformatif tadi.


Hal ini dialami sang pasangan Iqbal dan Mata, yang mendapat ujian justru berdasarkan famili akbar mereka berdua. Namun, karena visi tadi lahir berdasarkan bunyi hati mereka yang terdalam, semua tantangan itu mereka hadapi dengan ketua dingin. Iqbal & Mata berupaya memberitahuakn pada famili besar bahwa mereka konsisten pada perjuangan yg mereka lakukan.Perlahan tetapi niscaya, famili besar menerima apa yang mereka perjuangkan.


Tantangan lainnya dapat muncul dari anggota keluarga inti itu sendiri, seperti yang dialami oleh Febry dan Nat.  Banyak faktor yang menjadi penyebab, antara lain latar belakang keluarga, perbedaan sifat hingga ego pribadi yang cukup kuat terbentuk sejak kecil. Juga, karena sudah membuka diri terhadap masyarakat sekitar, keluarga Nat dan Febry dituntut pula untuk banyak mendengar dan memahami permasalahan orang lain maupun masyarakat di sekitar. Dalam hal ini, dibutuhkan kesabaran dan pemahaman yang lebih terhadap orang lain, agar tidak tergesa-gesa menilai situasi maupun mengambil tindakan.


Oleh karenanya, visi transformatif perlu buat direfleksikan secara beserta-sama. Kualitas komunikasi perlu ditingkatkan buat merefleksikan capaian apa saja yang telah dihasilkan sang famili tadi. Penting jua buat melakukan apreasiasi satu sama lain atas apa yang telah dilakukan. Segenap anggota famili perlu mempunyai rasa syukur atas setiap langkah kecil yang sudah dicapai.


Merupakan tantangan bagi setiap pasangan buat mewujudkan sebuah famili yang dapat saling mengisi satu sama lain. Lantaran dalam dasarnya suami dan istri adalah sepasang pribadi menggunakan perbedaan sifat & karakter serta memiliki ego pribadi. Tetapi, diperlukan keyakinan kuat bahwa tenaga positif akan terbentuk dari peleburan ke 2 sifat & visi yg berbeda. Ini adalah kapital utama berdasarkan sebuah famili buat maju mewujudkan visi transformatif. Pada titik ini, setiap anggota keluarga akan saling mendukung ekspresi setiap anggotanya. Tentunya, aktualisasi diri yg dimaksud merupakan aktualisasi yang tidak hanya mementingkan diri sendiri. Aktualisasi diri yg dimaksud adalah ekspresi yang bermanfaat bagi masyarakat. Itulah visi transformatif di dalam famili.


 ***





























































Selasa, 16 Juni 2020

[MASALAH KITA] Keluarga Aktivis, Aktivisme, dan Kasih Sayang

Oleh: Kontributor Pro:aktif Online


Sumber gambar:
http://moeslema.com/kontes-my-familiy-my-inspiration/
Buat saya seorang aktivis adalah sesorang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadikan dunia ini lebih baik. Apa yang menjadi concern  seorang aktivis bisa bervariasi baik dari isu lingkungan, masalah keadilan sosial, isu pendidikan, dan sebagainya. Cara memperjuangkannya juga bisa berbeda-beda. Ada yang aktif di LSM, ada yang merancang gerakan politik, ada yang menjadi relawan di berbagai tempat, ada yang menulis melalui media, dan sebagainya.  Yang jelas, bagi seorang aktivis, apa yang diperjuangkannya  lebih dari sekedar untuk kebaikan diri sendiri dan keluarga, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas.


Saya sendiri nir tahu apakah mampu mendefinisikan famili saya sebagai keluarga aktivis atau bukan. Yang jelas, tidak semua anggota keluarga saya merupakan aktivis. Kedua saudara termuda saya merupakan profesional di bidang masing-masing. Yang satu jadi wiraswasta & yang lain bekerja menjadi seseorang arsitektur pada sebuah perusahaan. Namun, kentara kedua orang tua saya adalah seseorang aktivis. Tetapi aktivitas Bapak juga Ibu (Almh) sedikit tidak sinkron.


Ibu saya sebenarnya dulu seorang arsitektur profesional. Namun, sejak muda beliau punya ketertarikan terhadap bidang-bidang sosial. Ketika masih mahasiswa beliau menghabiskan waktu luang menjadi reader tuna netra, mengurus anak-anak di panti asuhan, mengumpulkan darah untuk donor darah, dan sebagainya. Ketika beliau sudah berkeluarga dan berkarir, beliau tetap menyempatkan waktu untuk berkegiatan sosial, baik dengan mengedarkan dan merancang sistem pendistribusian buku bacaan untuk anak jalanan, membantu mendirikan taman bacaan, menyumbang pemikiran untuk mengurus pengungsi di Poso, dan ikut terbang ke daerah konflik untuk menghibur anak-anak yang ada di sana.
Lalu, suatu hari beliau terkena kanker. Beliau kemudian  mendirikan Cancer support group untuk saling mendukung sesama penderita kanker baik dengan memberikan informasi mengenai kanker, saling menyemangati, ataupun menemani mereka saat akan melakukan kemoterapi. Meskipun bekerja sebagai seorang profesional, saya bisa mengatakan bahwa ibu saya adalah seorang aktivis karena dengan sengaja berpartisipasi aktif untuk menjadikan dunia lebih baik.

Bapak saya, jelas adalah seorang aktivis. Saat masih menjadi mahasiswa beliau sudah aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, mulai dari merancang balai pengobatan untuk mahasiswa, mengkampanyekan gerakan anti kebodohan, menuliskan buku putih untuk menentang pemerintahan Soeharto sampai akhirnya beliau dipenjara. Selama beliau dipenjara, ibu saya mengunjunginya setiap hari sambil membawa makanan dan kliping berisi tulisan dan gambar terkait isu-isu kemanusiaan dari koran untuk menghibur Bapak selama di penjara.  Setelah keluar dari penjara, beliau memilih menjadi akademisi dan peneliti. Namun, jiwa aktivismenya tidak pernah pudar. Sampai kini pun, beliau masih terus bergerak dengan berbagai cara (demonstrasi, menulis, mengorganisir gerakan, dsb) untuk menjadikan Indonesia lebih baik.


Seperti apa rasanya tinggal pada keluarga pada mana kedua orang tua merupakan aktivis? Menurut aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mungkin ada beberapa hal yg nir lazim terjadi pada keluarga lain, pada antaranya tamu yang terus menerus tiba ke rumah, adanya ancaman menurut pihak luar, dan ketika bersama famili yang terbatas.


 Teman aku menikahi seorang aktivis & pernah bercerita bahwa poly tamu di rumahnya. Saking seringnya terdapat orang yang menginap, anaknya yang berusia dua tahun sangat terbiasa tinggal beserta orang selain keluarga. Hal yg sama juga terjadi di keluarga saya. Ibu saya pernah bercerita, bahwa ketika aku bayi, tamu yg datang ke rumah nir habis-habisnya. Kopi, teh, & gula wajib selalu tersedia. Piring & gelas pun terus menerus harus dicucui. Tamu bukan hanya banyak, tetapi pula mampu berkunjung dari pagi sampai malam hingga pagi lagi, umumnya mereka tiba buat mendiskusikan aneka macam hal.


Ketika saya mulai remaja, bapak saya sudah punya kantor sendiri sehingga sebagian tamu beralih bertamu ke kantor tersebut. Sebagian lagi bertamu ke rumah.  Sebenarnya, kedatangan tamu-tamu tersebut sangat menyenangkan. Sejak kecil, saya terbiasa berhubungan dengan berbagai jenis orang dari berbagai latar belakang. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan politisi, wartawan, pemimpin organisasi (buruh, keagamaan, lingkungan, dsb), penulis, mahasiswa, dan sebagainya. Biasanya tamu-tamu tersebut diajak makan bersama keluarga saya. Di meja makan itulah mereka mendiskusikan berbagai hal dari isu kemanusaiaan, politik, ekonomi, sampai isu kenegaraan. Biasanya saya hanya jadi pendengar saja tapi itu saja menyenangkan. Tanpa disadari wawasan bertambah.


Tentu saja, meskipun banyak teman, seorang aktivis tidak selalu disukai orang lain. Kegiatan aktivisme seringkali dianggap mengancam penguasa. Waktu kecil dulu, beberapa kali saya mendapat telepon berisi ancaman pembunuhan. Usia saya masih 7 atau 8 tahun saat itu. Waktu itu tentu saja ada rasa takut pada pada hati. Tapi lama -lama aku cuek saja. Tetapi, secara umum, saya merasa ancaman yang terjadi pada keluarga saya tidak separah famili-keluarga aktivis lain. Saya pernah mendengar berdasarkan bapak, seorang temannya, perempuan beranak 2, rumahnya dilempari bangkai anjing. Itu masih belum parah, ada beberapa anak berdasarkan keluarga aktivis yang harus kehilangan orang tuanya karena diculik ataupun dibunuh penguasa. Karena memahami resiko-resiko semacam ini, ke 2 orang tua selalu meminta aku hati-hati, nir asal-asalan bicara. Mereka mengajari saya bahwa kadang insan sanggup menjadi kejam, tapi itu nir berarti kita harus kehilangan kemanusiaan.


Karena kedua orang tua bekerja sambil menjadi aktivis, sebenarnya mereka banyak berpergian dan kadang pulang larut malam. Hal itu wajar karena selain mencari nafkah, mereka juga banyak sekali kegiatan baik berdiskusi, berkegiatan bersama masyarakat, mengorganisir massa, melakukan aksi, berkeliling Indonesia, dan sebagainya. Mungkin bagi sebagian keluarga, hal seperti ini tidak wajar. Penting sekali untuk menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama keluarga. Namun, saya tidak melihatnya begitu. Meskipun ibu dan bapak tidak selalu di rumah, saya tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang mereka. Sejak saya kecil saya tahu bahwa mereka di luar rumah untuk melakukan kebaikan.  Saya selalu tahu, bahwa setiap langkah dalam hidup mereka selalu digerakkan oleh kasih sayang.



Sumber gambar: http://www.believeoutloud.com/latest/love-based-activism
Aktivisme selalu digerakkan oleh kasih sayang. Ketika kita melakukan kebaikan bagi sesama manusia, hati kita akan semakin dilimpahi dengan kasih sayang. Kasih sayang ini akan dirasakan oleh siapapun yang ada di sekitar kita, termasuk keluarga. Kedua orang tua saya adalah orang yang mendedikasikan hidup mereka untuk orang lain. Untuk orang lain saja, kasih sayang mereka melimpah, apalagi untuk anak-anaknya. Meskipun tak selalu di rumah, kasih sayang ini selalu terasa. Tidak habis-habisnya.


Rasanya akan sangat sulit menjadi aktivis kalau tidak punya rasa kasih sayang yang melimpah. Karena menyayangi alam, seorang aktivis lingkungan tidak akan lelah berjuang agar alam ini bisa terjaga keberlangsungannya. Karena menyayangi setiap manusia, seorang aktivis kemanusiaan rela berkorban agar keadilan dan kemanusiaan bisa ditegakkan.  Seorang aktivis bisa saja menjalani hidup yang ‘tidak selalu lazim’. Namun apa yang membuat bertahan adalah sesuatu yang sangat mendasar, kasih sayang.




























[PIKIR] Menjadi Keluarga di Indonesia

Oleh : David A. Setiady


Sumber:pelajaranilmu.Blogspot.Com

Sebagai insan, kita semua terlahir berdasarkan sebuah famili, dalam bentuk yg paling sederhana yakni ayah & mak .


Keluarga?
Kita mengenal famili tertua di dunia ini merupakan keluarga Adam & Hawa, dari cerita yg ada pada pada kitab suci kepercayaan samawi (Kristiani, Islam, Yahudi), di mana diyakini bahwa mereka adalah insan pertama yang terdapat pada muka bumi ini. Adam & Hawa membangun keluarga menggunakan ke 2 anak mereka yg bernama Kain dan Habel, jadilah mereka famili pertama pada global. Tentunya menurut kisah buku suci tersebut.


Terlepas apa pun keyakinan Anda, kita tahu bahwa dengan komposisi yang membangun sebuah famili, tidak mempunyai poly perubahan berdasarkan jaman dahulu sampai sekarang. Sebuah famili pada umumnya terdiri berdasarkan seseorang ayah dan seseorang bunda, serta anak-anak, inilah yang dianggap sebagai famili inti.
Kemudian ada juga yang disebut keluarga Konjugal, di mana keluarga inti berinteraksi dengan kerabat lainnya dari salah satu atau kedua pihak orang tua, misalnya paman, bibi, kakek, nenek, dan seterusnya. Selanjutnya ada yang disebut sebagai keluarga luas yang ditarik berdasarkan garis keturunan yang ada di atas keluarga inti, artinya mencakup seluruh rantai keluarga dari ayah dan ibu.

Bentuk-bentuk famili demikian dihubungkan sang pertalian darah ataupun perkawinan.


Perubahan Bentuk Keluarga
Namun lalu seiring menggunakan perkembangan jaman ataupun pada praktek di masa kemudian, kita jua mengenal famili yang tidak melulu dikaitkan dengan pertalian darah ataupun perkawinan. Misalnya pengangkatan anggota keluarga, yang mungkin relatif lazim kita temukan adalah anak angkat-orang tua angkat. Pengangkatan di sini berbeda dengan adopsi, di mana proses adopsi melibatkan proses aturan sehingga terdapat persyaratan administratif yg wajib dipenuhi oleh calon orang tua. Sementara pengangkatan keluarga umumnya bersifat informal hanya berdasarkan pada kesepakatan lisan antara kedua belah pihak, yg (galat satunya) tercermin melalui panggilan.


Di sisi lain, faktor ekonomi sudah menggerakkan rakyat buat berubah, baik gaya hayati juga syarat keluarga yg membangun rakyat itu sendiri. Dulu, menggunakan pola pembangunan yg cenderung berpusat di pulau Jawa, maka banyak pemuda-pemuda menurut berbagai kampung merantau ke perkotaan yang ada pada pulau Jawa. Tidak sedikit juga, para ayah ada di dalam rombongan perantauan yg terpaksa meninggalkan keluarga mereka pada kampung demi mencari sesuap nasi ataupun merogoh peluang buat mengganti peruntungan keluarga. Bahkan mereka yang tinggal di kota-kota pun kadang merasa harus merantau ke kota yg lain karena nir menemukan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan diri mereka. Kondisi tersebut mensugesti bentuk keluarga yang terdapat, di mana anak-anak tidak merasakan kehadiran ?Ayah? Mereka pada galat satu episode hidup mereka. Di sini, syarat keluarga tanpa ayah sebagai hal yang relatif lumrah ditemukan.


Sementara di beberapa wilayah tertentu, famili-keluarga malah harus kehilangan sosok bunda yg merantau ke negeri jiran sebagai asisten tempat tinggal tangga yang kita kenal sebagai TKI. Ketiadaan sosok mak pada keluarga, terutama dalam proses tumbuh kembang oleh anak, tentu sangatlah berat pada mana mereka masih sangat membutuhkan kasih sayang dari oleh mak . Tetapi situasi yang sangat nir ideal ini dijalani pula sang sebagian keluarga pada Indonesia.


Komunitas, Sebuah Keluarga Baru
Satu bentuk keluarga yang lain adalah keluarga yg sebetulnya merupakan komunitas atas dasar kesamaan pada satu atribut eksklusif, contohnya daerah berasal, suku, hobi, pekerjaan, pendidikan, & sebagainya. Komunitas ini adalah bentuk famili yang ?Baru?, namun tidak sahih-benar baru, pada artian bahwa bentuk ini telah terdapat sebelumnya, tetapi semakin banyak pada hari-hari ini. Komunitas ini dianggap dengan keluarga karena dibuat atas dasar kekeluargaan, ataupun rasa kekeluargaan yg melingkupi para anggotanya. Di kota-kota tertentu, komunitas atas dasar suku ataupun wilayah asal merupakan gerombolan yang relatif jamak terbentuk. Contohnya pada kota-kota Sumatera mempunyai perkumpulan PUJAKESUMA yg merupakan singkatan berdasarkan Putra-putri Jawa Kelahiran Sumatera. Anggota-anggota menurut perkumpulan tersebut tampak sangat hangat jika berjumpa, laksana keluarga yang sudah usang tidak berjumpa. Yang mengikat mereka merupakan kecenderungan identitas suku Jawa yang hidup pada pulau Sumatera. Kelompok ini terbentuk, melalui sejarah panjang negeri ini, di mana dalam jaman penjajahan Belanda, orang-orang Jawa yg didatangkan ke Pulau Sumatera buat ?Dipekerjakan? Di perkebunan-perkebunan yg dibuka oleh Belanda.


Sementara kelompok-grup yang saat ini mulai banyak terbentuk adalah atas dasar kesamaan hobi atau selera akan sesuatu. Ada kelompok gamer, yakni orang-orang yg mempunyai selera akan game berbasis komputer. Ada juga grup pecinta anak-anak, yakni orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap nasib anak-anak. Ada pula grup pecinta lingkungan, yang herbi informasi pelestarian lingkungan. Dan masih banyak lagi grup-kelompok yg didasarkan pada kecenderungan hal yang disukai.



Sumber:djepok.Blogspot.Com

Kelompok seperti ini dapat dikategorikan menjadi sebuah famili pula di mana anggota-anggota di dalamnya merasakan ketenangan pada interaksi.
Keluarga di masa sekarang, di satu sisi masih sama dalam bentuk yang terdapat, namun di sisi lain jua memunculkan bentuk yg tidak selaras, yg tidak terkait menggunakan pertalian darah & perkawinan. Bentuk-bentuk keluarga tersebut berusaha menyediakan hubungan yg nyaman bagi para anggota yg tergabung di dalamnya. Seperti halnya keluarga pada umumnya, interaksi antar anggotanya belum tentu berfungsi sebagaimana mestinya. Pada syarat eksklusif, interaksi pada dalam famili bisa berjalan menggunakan dingin, sehingga menyebabkan pertarungan terselubung di antara anggotanya. Setiap keluarga pada umumnya berusaha memberikan kenyamanan bagi para anggotanya.


Dengan kenyamanan tersebut, anggotanya dapat bertumbuh dan berkembang sebagai langsung yang aporisma, terutama buat memenuhi panggilan hidupnya. Kenyamanan tadi terwujud pada dukungan yg dihasilkan oleh para anggotanya. Begitulah yg terjadi dalam orang yang sukses menjawab panggilan hidupnya, galat satu faktor yg memampukannya merupakan adanya dukungan yg diberikan sang keluarga kepadanya. Dukungan ini bisa didapatkan, baik dari famili biologis maupun berdasarkan famili komunitas.


Peran Keluarga Dalam Panggilan Hidup



Sumber:www.Kaskus.Co.Id

Setiap orang sangat membutuhkan dukungan dari keluarganya pada menghadapi apapun persoalan hidupnya. Walaupun keluarga belum tentu bisa menjamin tuntasnya duduk perkara yang kita hadapi, akan tetapi dukungan tadi akan menguatkan kita buat bertahan pada merampungkan problem yg dihadapi.


Seorang aktivis tentu pula memiliki famili, paling tidak, dari dari sebuah keluarga jua. Dalam menjalankan aktivismenya tentu menghadapi berbagai duduk perkara terkait menggunakan isu yg digeluti sehari-hari. Kadang info tersebut menjadi begitu pelik dan menguras begitu banyak energi sehingga seseorang aktivis sanggup merasa begitu lelah luar biasa. Belum lagi perkara hayati lain yang nir berkaitan pribadi menggunakan berita aktivismenya, misalnya saja buat memenuhi kebutuhan sehari-hari, belum lagi jika menjadi aktivis yg menikah & mempunyai anak, maka masalah tadi menjadi kian kompleks.


Dukungan keluarga bagi seseorang aktivis tentu laksana oase yg menyegarkan dan selalu bisa memulihkan semangat yang luntur karena kegiatan seharian. Percakapan yang intim menggunakan pasangan, bermain menggunakan anak, ataupun rendezvous dengan saudara/orang tua, tentu sebagai penghiburan tersendiri. Seorang aktivis akan semakin dikuatkan dengan dukungan dari famili, apa pun bentuknya.


Namun, kadangkala dukungan tersebut tidak selalu tersedia. Tidak seluruh keluarga berkenan menaruh dukungannya pada pilihan hidup sebagai seorang aktivis, terlebih apabila berita yg dikerjakan penuh menggunakan tekanan berdasarkan rakyat ketimbang dukungan. Belum lagi bila dihadapkan dalam kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, aktivisme mengalami tantangan terberatnya. Bayangkan, bilamana seorang aktivis terpaksa banting setir lantaran sang anak meminta buat dibelikan seragam sekolah ataupun famili masih wajib berpikir apa yg bisa dimakan besok. Atau saat aktivis sakit, tetapi nir memiliki porto buat berobat. Belum lagi hal-hal lain yang disebut menggunakan cermin sosial yg terpampang pada mana pun mata memandang. Keteguhan buat menjalankan aktivisme pun seolah menipis tanpa adanya dukungan famili.


Dukungan berdasarkan famili, baik orang tua maupun pasangan, akan membantu meringankan masalah yg dihadapi. Tetapi bagaimana apabila itu memang nir tersedia sama sekali?


Ada keluarga lain yg siap ditemukan dan mampu ?Menggantikan? Peran pendukung. Ya, komunitas. Komunitas adalah famili baru yang sanggup kita temukan dan akan mendukung kita lantaran kesamaan visi/misi dalam hayati. Menemukannya memang problem lain, tergantung bagaimana kita memilih jalan & pergaulan dalam hidup ini. Sederhananya, keliru pergaulan hanya akan menambah masalah yg nir bermanfaat pada kehidupan kita. Bahkan tidak jarang, komunitas sebagai famili yang sangat suportif terhadap pilihan hidup kita, maka tak heran bila komunitas berbasis gosip aktivisme sanggup sebagai penopang bagi keteguhan hati seseorang aktivis. Misalnya Walhi, yg menjadi galat satu corong pembela lingkungan Indonesia, bagaikan sebuah wadah bernaung bagi para pejuang lingkungan untuk permanen setia dalam panggilan aktivismenya. Keberadaan komunitas demikian sangatlah membantu menjaga aktivis buat tetap hayati pada tengah kondisi yang berat.


Lalu, bilamana kita adalah keluarga, apakah kita siap buat memberikan dukungan yg diperlukan bagi aktivis selanjutnya?


***

































































Cloud Hosting Indonesia