Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online April 2019. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online April 2019. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Mei 2020

[RUMAH KAIL] BELAJAR MANDIRI DI RUMAH DAN KEBUN KAIL

Oleh: Any Sulistyowati

Sejak tahun 2014, KAIL telah menyelenggarakan aktivitas anak pada Rumah KAIL. Kegiatan ini antara lain bertujuan buat menciptakan kemandirian anak. Setiap bulannya, tepatnya setiap hari Minggu ketiga, kurang lebih 15-30 anak-anak berkumpul di Rumah KAIL. Mereka asal menurut kampung-kampung pada lebih kurang Rumah KAIL. Kegiatan ini dikenal menggunakan nama Hari Belajar Anak (HBA).

Biasanya aktivitas-aktivitas HBA dimulai pada pagi hari kurang lebih pukul 9 dan berakhir sebelum pukul 12 siang. Selama lebih kurang 3 jam mereka berkegiatan beserta. Kegiatan HBA umumnya terdiri dari beberapa jenis aktivitas yang menarik untuk anak-anak. Biasanya sesi dibuka dengan berolahraga beserta di labirin Kebun KAIL. Kegiatan ini adalah salah satu aktivitas favorit anak-anak. Setelah itu barulah masuk ke materi. Seusai sesi materi, umumnya ada proses kerja berdikari buat memasak materi tersebut secara eksklusif. Bagian ini dapat berupa kegiatan menggambar, membuat karya, mengisi jurnal atau banyak sekali kegiatan lainnya yang disukai anak-anak. Setelah itu dilanjutkan menggunakan menyantap makanan sehat yang disiapkan sang Rumah KAIL.

Olahraga pagi di labirin kebun KAIL

Materi ini umumnya disampaikan dengan aneka macam metode penyampaian sebagai akibatnya anak tertarik dan memahami materi menggunakan lebih baik & mudah. Metode pembelajaran yang dipakai pada HBA sangat beragam. Ada yang melatih kemampuan motorik anak, ada yg buat menyebarkan kepekaan rasa, ada pula yang membuatkan kemampuan kognitif. Dengan variasi metode ini, diperlukan keseluruhan aspek kehidupan anak bisa tumbuh dan berkembang. Mereka jua belajar lewat permainan. Lewat permainan-permainan ini, anak-anak belajar aneka macam hal dengan senang hati.

Kegiatan-kegiatan selama HBA

Keseluruhan kegiatan tersebut disampaikan oleh para pendamping yang berasal dari para staf dan relawan KAIL. Mereka berasal dari berbagai latar belakang pendidikan. Beberapa dari mereka masih duduk di bangku kuliah dan di waktu luangnya menyempatkan diri untuk mendukung kegiatan HBA.  Para relawan ini adalah tulang punggung dari keberlanjutan kegiatan HBA. Merekalah yang secara rutin bergantian menyelenggarakan HBA dari masa ke masa.

Salah satu materi yg kerap disampaikan adalah seputar kebun KAIL. Lewat kebun KAIL, anak-anak berkesempatan belajar mengenai aneka macam aspek pertanian berkelanjutan, gaya hayati sehat, pangan yang sehat & proses pengolahannya. Lewat kegiatan ini, mereka belajar mengenal aneka macam jenis tumbuhan yg ada pada Kebun KAIL berikut manfaatnya bagi kehidupan. Mereka jua belajar menanam, memelihara dan mengolah output panen tadi.

Penanaman di kebun Kail oleh para peserta

Menyiapkan lubang untuk menanam di kebun KAIL
Selain mendapatkan teori, mereka juga praktek langsung di Kebun KAIL. Praktek-praktek yang sempat dilaksanakan di antaranya adalah praktek menanam jahe, talas, lengkuas dan berbagai tanaman yang bermanfaat lainnya. Mereka juga belajar mengolah berbagai jenis tanaman tersebut, seperti membuat aneka hidangan dari hasil panen kebun, misalnya manisan papaya, perkedel talas, keripik bayam dan lain-lain. Mereka juga belajar membuat pewarna dari berbagai hasil kebun untuk mewarnai makanan.  Selain itu, mereka juga praktek membuat minuman sehat dan segar dari panen kebun, seperti wedang sereh dan sirup markisa.

Hasil karya para peserta HBA

Praktek-praktek semacam ini diharapkan dapat membantu anak memperoleh wawasan dan ket erampilan yang mereka butuhkan untuk hidup mandiri di masa yang akan datang. Salah satu aspek kemandirian yang dikembangkan adalah seputar pangan. Topik ini dipilih karena pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Lewat pangan yang sehat, kualitas hidup kita akan meningkat. Di sisi lain, pangan yang sehat tidak selalu tersedia dan mudah diakses. Anak-anak merupakan salah satu kelompok sosial yang rentan menjadi korban budaya pangan yang tidak sehat yang membentuk kebiasaan dan preferensi pangan mereka. Kebiasaan mengonsumsi makanan tidak sehat ini dipromosikan di sekitar mereka, mulai dari para penjual makanan di sekolah, warung-warung sekitar rumah serta para orang tua yang ingin praktis. Ketimbang masak makanan sendiri lebih baik membeli yang tampaknya enak dan menarik. Apalagi kalau harganya murah.

Sayangnya, yang ditawarkan warung & kantin sekolah belum tentu jenis-jenis makanan yang berdasarkan sisi nilai gizi merupakan nutrisi yang diharapkan tubuh. Kebanyakan makanan yang dijajakan umumnya banyak mengandung gula dan gandum, yg apabila dikonsumsi terlalu banyak akan menanamkan aneka macam potensi penyakit dampak pola makan misalnya diabetes, kolesterol dan berbagai jenis penyakit lainnya dalam jangka panjang. Kelebihan gula pula akan menyebabkan anak merasa kenyang padahal asupan nutrisi yang diperlukan tubuh belum tentu sudah mencukupi. Belum lagi banyak sekali zat aditif yg ditambahkan dalam makanan buat menciptakan rona dan cita rasanya lebih menarik & tahan lama . Bahan-bahan tersebut belum tentu merupakan bahan-bahan yang sehat buat dikonsumsi.

Add caption
Snack HBA - enak!

Di tengah situasi semacam itulah, snack HBA hadir untuk memperkenalkan kepada anak rasa asli dari makanan. Snack-snackyang disajikan di HBA bukanlah makanan yang mahal. Makanan-makanan itu berasal dari yang ada di sekitar Rumah KAIl, khususnya Kebun KAIL. Diolah dengan proses minimal untuk mempertahankan sebanyak mungkin nilai gizinya. Di HBA anak-anak makan beraneka buah sesuai dengan musimnya, mencicipi aneka resep olahan kue sesuai dengan apa yang ada di Kebun KAIL atau yang bisa disediakan oleh warga sekitar. Untuk menjaga kualitas kesehatan makanan, KAIL mensyaratkan semua makanan yag disajikan diproses tanpa pengawet, pewarna dan perasa kimia. Para penyedia makanan tampaknya tidak keberatan dengan aturan ini dan sejauh ini makanan yang mereka sediakan tetap enak meskipun tanpa MSG.

Mungkin karena itulah beberapa anak peserta HBA kemudian datang setiap Sabtu ke Rumah KAIL untuk belajar lebih lanjut tentang kebun. Mereka melakukan berbagai aktivitas berbasis Kebun KAIL, mulai dari mendata jenis tanaman di Kebun KAIL dan menggambarkannya di dalam buku catatan mereka. Mereka menjiplak daun, melukis bunga dan membuat herbarium dari bagian tanaman yang bentuknya mereka sukai.  Mereka turut melakukan proses pemeliharaan seperti pemangkasan, pemupukan dan penyiraman. Dan salah satu yang paling mereka sukai adalah memanen aneka jenis tanaman dan mengolahnya menjadi berbagai produk pangan yang mereka sukai.

Pengalaman mencecap nikmatnya rasa makanan alami akan membekas pada benak anak-anak. Begitu pula riuh rendahnya kegembiraan mereka selama proses memasak bersama akan diingat beserta kenangan akan rasa makanan yg akhirnya mereka santap. ?Enak?, begitu kata keliru satu anak. ?Senang sanggup membuatnya,? Dari anak yang lain. ?Saya senang,? Berdasarkan anak yang lain lagi. Itulah yang diperlukan menurut mereka ketika mengonsumsi kuliner sehat ala HBA. Apalagi kuliner-kuliner yg mereka olah sendiri, & bahkan mereka tanam sendiri pohonnya.

Semoga norma ini bisa mereka terapkan di pada keluarga mereka. Kalaupun sulit pada keluarga mereka saat ini, semoga sanggup terjadi pada keluarga mereka kelak saat mereka menjadi orang tua. Semoga proses sederhana yang mereka alami di Rumah dan Kebun KAIL dapat sebagai bekal kemandirian mereka di masa mendatang. Dengan kemandirian tersebut, diperlukan mereka memiliki lebih poly peluang buat mengembangkan kualitas kehidupan yang mereka cita-citakan. Dengan ketrampilan menanam dan memasak kuliner sendiri, diharapkan mereka sanggup lebih mandiri pada penyediaan pangan famili mereka. Selain menerima kuliner sehat, pengeluaran untuk pangan keluarga pun bisa berkurang. Uang yang semula dialokasikan buat membeli kebutuhan pangan bisa dihemat buat keperluan lain. Syukur-syukur bila lalu mereka bisa menciptakan usaha ekonomi berbasis keterampilan tersebut atau bahkan mampu menularkannya kepada kerabat, teman, tetangga dan rakyat sekitarnya. Jika hal ini terjadi, maka diharapkan akan terbangun warga yg mandiri, baik dari sisi pangan, ekonomi, kesehatan juga kualitas hidup mereka secara holistik.

[PROFIL] PEJUANG DEMOKRASI EKONOMI ERA 4.0

Oleh: Jeremia Bonifasius Manurung

Selepas runtuhnya Uni Soviet, mudah hampir seluruh negara pada dunia memakai sistem kapitalisme sebagai metode pengelolaan ekonomi. Prinsip-prinsip seperti akumulasi kapital, pengambilan keputusan sepihak oleh jajaran direksi dan pemilik saham, serta maksimalisasi keuntungan sembari meminimalisasi porto meski harus mengorbankan lingkungan dan pekerja sebagai jamak.

Di tengah hiruk pikuk kapitalisme, tetap ada orang yang percaya bahwa ekonomi dan segala tetek bengeknya bisa dikelola dengan cara alternatif. Metode alternatif dari kapitalisme tersebut masyhur disebut co-operative atau dalam Bahasa Indonesia kita menyebutnya koperasi.

Sebagai model merupakan Mondragon Cooperatives pada Basque, Spanyol. Mereka merupakan perusahaan menggunakan nilai sekitar 3 ratus triliun rupiah yg dikelola menggunakan metode koperasi. Di sana, nir terdapat eksploitasi pekerja, pendapatan yg setara antara direksi & karyawan paling rendah, dan nir terdapat pengumpulan kekayaan yg hanya dinikmati segelintir direksi & pemegang saham. Di Mondragon, seluruh pekerjanya merupakan pemilik perusahaan. Perbandingan honor pekerja paling rendah dan paling tinggi diatur tidak boleh lebih berdasarkan 1:8. Puncaknya, sistem koperasi yg acapkali dipandang sebelah mata itu sanggup membuat Mondragon menjadi perusahaan konglomerasi ke 4 paling bernilai pada Spanyol.

Lain di Spanyol lain pula pada Indonesia. Di sini koperasi telah tereduksi sebagai sekedar koperasi serikat karyawan atau koperasi simpan pinjam. Tetapi ternyata terdapat orang atau sekelompok orang yg meyakini bahwa koperasi bisa jadi metode pengelolaan ekonomi yang berhasil & jua berjuang mewujudkan visi tadi. Salah satu orang tersebut adalah Muhamad Sena Luphdika.

M. Sena Luphdika
Muhamad Sena Luphdika atau akrab dipanggil Sena adalah CEO dari Meridian.id. Meridian.id adalah sebuah software house yang berlokasi di Bandung. Sena memang akrab dengan dunia teknologi informasi dan startup. Sena menjadi mentor di Bekup, salah satu program dari Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) untuk dunia startup. Di Meridian.id Sena juga pernah mengadakan acara Built What You Love untuk membantu startup-startup di sekitar Bandung membangun perusahaan mereka.

Sena juga aktivis platform co-operative. Platform co-operative atau biasa disebut platform co-ops adalah metode pengelolaan startup dengan prinsip co-operativisme atau koperasi.  Dia pernah mengikuti konferensi startup platform co-ops di Hongkong pada 2018 silam.

Ketertarikan Kepada Koperasi

Sena bercerita bahwa ada beberapa hal yang membuat ia tertarik kemudian tergerak menggeluti dunia koperasi. Sebagai orang yang pernah belajar formal tentang teknologi informasi dan berkecimpung di dunia tersebut setelah lulus, Sena pernah mengalami kegalauan. Dia pernah bertanya-tanya,”Apa sih IT?”.  Sena juga mepertanyakan tentang hype valuasi atau nilai perusahaan startup yang menurutnya bersifat gorengan. Muncul ketidakpuasan terhadap dunia IT dan per-startup-an. “Merasa ga puas aja”, begitu katanya.  Puncak ketidakpuasannya adalah fakta-fakta mengenai ketidakadilan perusahaan-perusahaan startup terhadap orang-orang yang dipangggil partner seperti pada Gojek atau Uber. Menurutnya, mitra adalah istilah yang tidak tepat karena yang terjadi adalah hubungan tidak seimbang yang menjurus eksploitasi terhadap “mitra”.

Hal ke 2 yang membuatnya tersadar merupakan tentang kesenjangan & lapangan pekerjaan. Dulu Sena ingin mendirikan perusahaan buat mengatasi kesenjangan ekonomi. Baginya, kesenjangan adalah masalah paling pelik yg menjadi pemicu buat poly kasus sosial lain.

“Kepikiran untuk bikin holding”, tuturnya mengingat masa lalu. Menurutnya dulu, perusahaan holdingakan memberikan pekerjaan kepada orang-orang dan itu cukup untuk mengentaskan kesenjangan ekonomi. Tapi  Sena tersadar, ketika  fakta di lapangan menunjukkan meskipun perusahaan holding sudah banyak, namun kesenjangan tetap ada bahkan semakin menjadi-jadi. Di situ dia berkesimpulan, bukan banyaknya perusahaan yang menjadi poin penting namun bagaimana perusahaan tersebut dikelola.

Perusahaan holding atau startupsekalipun jika dikelola dengan gaya lama tidak akan mengentaskan kesenjangan.  Sena percaya bahwa yang harus dilakukan adalah mengubah pola pengelolaan perusahaan.  “Sistem dan strukturnya yang harus diganti”, begitulah kesimpulan dia.

Menurutnya, untuk mengentaskan kesenjangan perusahaan haruslah dikelola secara demokratis. Artinya, tiap orang yang terlibat pada proses produksi perusahaan wajib terlibat dalam pengambilan keputusan, kesimpulan, dan penentuan arah perusahaan. Apabila keputusan perusahaan berdampak bagi pekerja maka pekerja berhak buat turut menyuarakan pendapat & berperan dalam proses pengambilan keputusan.

Saat ini, dalam perusahaan umumnya, pengambilan keputusan ditempatkan dalam segelintir pemegang saham dan direksi. Apa barang yang harus diproduksi, kapan/pada mana barang tersebut diproduksi, bagaimana cara memproduksinya dan apa yg akan dilakukan dalam laba yang didapatkan dipengaruhi oleh segelintir orang tersebut. Semuanya tergantung pada benevolentleader. Jika pemimpinnya baik, seluruh proses pada atas akan baik.

Namun bagaimana apabila pemimpinya tidak baik? Tentu yg didapatkan adalah hal yg buruk. Apalagi jikalau pemimpin hanya punya satu tujuan. Pemimpin perusahaan hanya peduli pada bagaimana membuat keuntungan sebanyak-banyaknya menggunakan porto ekonomi yg sekecil-kecilnya. Biaya yang sekecil-kecilnya sering mengorbankan lingkungan & mengeksploitasi pekerja

Pekerja berada pada posisi yg amat lemah. Mereka tidak sanggup melawan atau sekadar memperlihatkan ketidaksetujuan. Dalam sistem yang generik ketika ini, secara struktural melawan merupakan siap buat dipecat. Hal inilah yg dilihat Sena membuat pekerja tidak punya kekuatan dan terus dieksploitasi

Ketidakberdayaan pekerja pula termasuk dalam urusan mendistribusi laba perusahaan. Pekerja praktis ?Nrimo? Saja gaji yg disodorkan pada mereka. Pilihan mereka adalah ambil honor mini itu atau tidak makan. Ujung dari perbedaan pendapatan yang mencolok merupakan kesenjangan ekonomi. Kesenjangan ekomi akan memicu terciptanya kesenjangan-kesenjangan lain misalnya sosial, pendidikan, kualitas hidup, kesempatan kerja & masih poly lagi.

Melihat empiris seperti pada atas, Sena berkesimpulan bahwa apabila kita ingin membarui keadaan secara lebih fundamental kita perlu mengubah sistem & struktur pengelolaan perusahaan. Dari yg awalnya otoritarian menjadi demokrasi. Dari yang awalnya keputusan diambil oleh segelintir orang sebagai seluruh orang berhak menentukan arah/keputusan. Keputusan tertinggi ada di anggota bukan dalam segelintir direksi & pemegang saham .

Ekonomi Baru: Mulai Dari Lingkungan Sendiri

Bagi Sena, tema ekonomi baru adalah tema yang menarik. Dia berpendapat bahwa menyadari bahwa kita membutuhkan sistem ekonomi baru,merupakan awal yang cantik. ?Apabila kita tetapkan untuk memakai sistem yang baru, kita wajib sadar bahwa yg lama itu buruk, lama , punya kekurangan?, jelasnya. ?Kalo ngga kenapa harus buat yg baru??, beliau menambahkan.

Sadar bahwa sistemnya wajib diganti merupakan suatu kemajuan. Tetapi tentu akan lebih baik jika dilanjutkan dengan mengetahui wangsit penggantinya. Menurut Sena inilah yang menciptakan memperjuangkan koperasi telah sulit menurut awalnya.

Sena menyadari bahwa bagi orang kebanyakan koperasi itu merupakan tiga hal yang berkonotasi negatif. Pertama, koperasi adalah pandangan baru jadul atau usang. Kedua, koperasi juga ditinjau sempit hanya koperasi simpan pinjam atau koperasi karyawan saja. Ketiga, koperasi dipercaya jelek sesudah maraknya insiden koperasi bodong yg akhirnya malah menggelapkan uang anggota seperti Koperasi Cipaganti dan Koperasi Pandawa.

Bagi Sena, membuat koperasi menjadi hal yang umum & dimengerti banyak orang adalah tantangan dan poin awal yg krusial. Mengubah pola pikir orang tentang koperasi akan membuat bisnis mengkoperasikan sekitar kita sebagai lebih mudah.

Lantaran koperasi telah mendapat predikat tidak baik, Sena mengungkapkan bahwa beliau sering memakai kata lain buat menjelaskan koperasi. Menurutnya koperasi wajib pada-rebranding. Kita masih sanggup mengungkapkan nilai-nilai koperasi tanpa menggunakan kata-kata koperasi.? Pake aja kolektif, kerjasama, gotong royong, demokrasi ekonomi, atau yang lain?, begitu beliau mencontohkan. Baginya yang lebih penting merupakan nilai dibanding kata-katanya saja. Di masa depan, harapannya orang-orang melihat & tersadar bahwa ternyata selama ini nilai-nilai yang mereka lihat sebenarnya nilai-nilai koperasi.

Selain itu, bagi Sena kita sanggup mulai berdasarkan diri sendiri dahulu saja sebagaimana Sena memulainya pada kantor. Hal yang paling sanggup kita ubah merupakan diri kita sendiri. Tetapi tentu prinsip koperasi bukanlah tentang individu namun mengenai kolektivitas. Kumpulan orang yg paling sanggup dan sanggup kita yakinkan merupakan sahabat-teman kita sendiri & famili.

Rapat Koperasi Ardhini

Sena mendirikan Koperasi Ardhini di lokasi kantor Meridian.Id. Kebetulan, pada lokasi tersebut terdapat startup & usaha lainya berkantor sebagai akibatnya koperasi yang dinamakan Koperasi Ardhini tadi tidak mini -kecil amat. Dia memulainya menggunakan mendirikan koperasi konsumsi dimana setiap orang pada tempat kerja sebagai pemilik suatu bisnis catering dan tempat tinggal kopi di kantor tadi.

Prinsip bahwa pengambil keputusan tertinggi adalah musyawarah menggunakan setiap anggota adalah pemilik koperasi inilah yg coba Sena jalankan. Koperasi Ardhini rutin bermusyawarah buat menetukan arah koperasi. Penulis pernah mengikuti sendiri kedap koperasi dan menyaksikan anggota-anggota koperasi berdiskusi untuk memilih hidangan harian serta taktik ekspansi ke tempat kerja atau co-working space sekitar tempat kerja Meridian.Id.

Petikan krusial

Memiliki visi akbar dan mulia dalam hayati tentu krusial. Mewujudkan visi tadi tentu lebih penting lagi. Disinilah kita tak jarang gagal. Mengubah sesuatu yang ada pada kepala kita dan mengguratkannya pada masyarakat adalah tantangan yg maha berat. Namun menurut Sena, saya belajar bahwa memulai berdasarkan yg sederhana dan dari sekitar kita merupakan langkah awal yg paling mungkin. Kita sering ?Grasa grusu? Ingin mewujudkan visi tetapi kurang peka terhadap tantangan lapangan dan kemampuan diri sendiri. Hal ini harus dihindari bila kita ingin mewujudkan visi kita & berusaha secara berkelanjutan.

Hal kedua yg juga penting merupakan adaptasi. Kita wajib mampu mengukur bagaimana persepsi lebih kurang kita terhadap visi yang ingin kita tuju. Berkelit mencari jalan lain merupakan salah satu cara jitu. Kompromi terhadap ketidakidealan jua penting asal tujuanya merupakan adaptasi dan permanen mendekatkan kita dalam visi.

Tentu masih banyak rahasia sukses dalam memperjuangkan visi ekonomi baru. Apa yang Sena pancarkan adalah teladan bagaimana  di awal kita harus bertindak. Dengan demikian kita dapat menjalankan perjuangan dengan lebih berkelanjutan dan bisa mewujudkan visi sistem ekonomi baru di masa depan.

Minggu, 10 Mei 2020

[MEDIA] FILM THE BIG SHORT: BERTARUH MELAWAN SISTEM

Oleh: Fransiska M. Damarratri

Poster The Big Short

Judul: The Big Short

Tahun: 2015

Sutradara: Adam McKay

Pemeran: Christian Bale, Steve Carell, Ryan Gosling, dll

Genre: Biografi, drama, komedi

Rating: Dewasa

Skor IMDB: 7.8

Skor Metacritic: 81%

Skor Rotten Tomatoes: 88%

*Review ini mengandung cerita-cerita yg adalah bagian plot krusial dalam film

Walaupun dikemas dalam genre drama dan komedi, isu yang diusung film The Big Short tidaklah main-main. Kehancuran ekonomi Amerika Serikat di tahun 2008, yang efeknya berantai ke seluruh dunia menjadi narasi  utama. Hollywood seakan mencoba menceritakan ‘borok’ negaranya sendiri dengan krisis ekonomi yang dianggap paling fatal di sepanjang sejarah modern.

Walau begitu, penyampaian cerita film ini dibuat upbeat, lucu dan tidak membosankan. Bahkan, pemirsa bisa terdorong mendukung tokoh-tokoh utama sebagai semacam protagonis yang bertaruh melawan sistem. Seakan mereka sedang berupaya menyelamatkan dunia. Aktor Ryan Gosling memainkan salah satunya sebagai Jared Venett---seorang bankir dari bank investasi multinasional, Goldman Sachs. Gosling sekaligus berperan menjadi narator film yang serba tahu.

Sesekali, alur film akan berhenti buat mempermudah pemirsa tahu apa yang sedang terjadi. Tidak gampang mencerna film yg memuat adegan-adegan menggunakan begitu poly kata investasi dan ekonomi. Kritik tentang penggunaan kata-kata memusingkan ini pun dimuat di pada film, saat karakter narator berujar:

[Istilah-istilah ini] cukup membingungkan bukan? Apakah Anda merasa bosan? Atau merasa kurang pandai? Ya, memang sudah seharusnya begitu. Wall Street senang menggunakan istilah-istilah membingungkan agar Anda menduga hanya mereka yg mampu mengerjakan apa yg mereka kerjakan. Atau, bahkan, agar Anda membiarkan saja mereka mengerjakan apapun.

Chef Anthony Bourdain menjelaskan definisi sebuah istilah di dapur restorannya. Sedangkan di adegan lain, Selena Gomez dan Dr. Richard H. Thaler, Phd. menjelaskan konsep lanjutan dengan permainan Blackjack . Sumber: ew.com, dailymail.com

Di setiap jarak tersebut, pemirsa disuguhi sketsa bintang-bintang populer yang mencoba menyebutkan dengan peragaan-peragaan yg lebih dekat menggunakan dunia nyata. Chef Anthony Bourdain, penyanyi Selena Gomez, hingga aktris Margot Robbie pun menjadi cameo.

Tetapi, pemirsa akan tetap membutuhkan sedikit ketertarikan atau mungkin pengetahuan mengenai dunia finansial buat sanggup menggunakan mulus mengikuti jalan cerita film ini.

Tiga kisah berbeda membawa pemirsa memahami bagaimana ekonomi Amerika Serikat  runtuh. Di balik itu, terkuak juga bagaimana sistem yang fraud atau penuh tipu daya mendorong peristiwa-peristiwa itu terjadi. Cerita dimulai saat seorang manajer dana investasi bernama Dr. Michael Burry menyadari bahwa pasar perumahan Amerika akan jatuh mulai dari tahun 2007.

Kisah terbentuknya pasar perumahan Amerika diawali sejak 3 dekade sebelumnya. Pada tahun 1970-an, seorang pedagang obligasi bernama Lewis Ranieri menciptakan “mortgage bonds” atau singkatnya semacam surat hutang yang terdiri dari ribuan cicilan rumah (KPR). Surat hutang tersebut kemudian diperjualbelikan. Keuntungan memiliki surat hutang tersebut diasumsikan tinggi, karena terdiri dari banyak sekali hutang yang mencakup cicilan pokok serta bunganya.

Ryan Gosling, sang bankir sekaligus tokoh narator, menggunakan permainan Jenga untuk menjelaskan mortgage bonds.Sumber: boothbayregister.com

Pasar perumahan selalu diasumsikan menjadi pasar yang stabil dan berisiko rendah. ?Semua orang pasti akan membayar cicilan rumahnya!? ?Orang macam apa yang nir menyicil untuk rumahnya?? Lantaran anggapan itu, surat-surat tersebut diberi ratingatau nilai tinggi oleh forum-forum penilai kredit.

Begitulah kepercayaan sistem yang secara umum berjalan.  Seiring cerita, kepercayaan tersebut ternyata berdasarkan asumsi yang terlalu besar. Kepercayaan tersebut mengakar dan mendorong praktek-praktek yang mendukungnya untuk terus mengikuti. Selama 3 dekade lebih praktek tersebut bergulir dan meraup keuntungan.

Dr. Burry melihat bahwa surat hutang tersebut sebenarnya berisiko. Terutama, karena di dalamnya terkandung tidak hanya KPR bernilai prima, namun juga KPR kelas bawah. Ternyata muncul praktek di mana banyak KPR bernilai kurang baik, yang memiliki risiko tinggi tidak dicicil, dipadukan ke dalam mortgage bonds. Dan anehnya lembaga penilai kredit tetap menilai banyak mortage bonds yang ada dengan rating tinggi.

Dr. Burry diperankan oleh Christian Bale.Sumber: thestranger.com

Dr. Burry pun merogoh sebuah langkah investasi yg kurang lebih serupa dengan mengasuransikan surat-surat hutang tadi. Apabila terjadi wanprestasi cicilan sinkron prediksinya, maka beliau akan menerima laba yang sangat akbar menurut asuransi tadi. Akan namun, tentu dia pun harus membayar asuransi yg jumlahnya sangat poly pada bank.

Pada awalnya, tidak ada produk asuransi misalnya itu. Dr. Burry berkeliling menurut satu bank ke bank lainnya pada New York & mendapatkan tatapan ketidakpercayaan. Tentu saja, Dr. Burry ingin membeli asuransi yg nilainya sangat besar buat hal yang dipercayai secara umum tidak akan pernah terjadi. Tetapi, para bank tadi menyetujui buat menyediakannya lantaran melihat banyaknya uang yg akan Dr Burry bayar. Setelah Dr. Burry pulang menurut ruangan kedap, para bankir tadi menertawakannya.

Sampai akhir cerita, Dr. Burry menggelontorkan 1.3 milyar USD berdasarkan dana investasi yg dia kelola buat mengasuransikan surat-surat hutang tadi.

Langkah awal Dr. Burry nir dipercayai oleh orang kebanyakan. Akan tetapi, beberapa orang mengikuti langkahnya. Salah satunya adalah 2 pemain muda bernama Jamie Shipley dan Charlie Geller. Keduanya dibantu oleh Ben Rickert, seorang mantan bankir yang percaya bahwa global akan jatuh ke pada krisis. Ben digambarkan menjadi orang yang nir mempercayai sistem finansial & kini menanam sayuran di halaman rumahnya.

Jamie dan Charlie sangatlah bersemangat waktu mereka mengambil keputusan-keputusan gila serupa menggunakan apa yg Dr. Burry lakukan. Pada suatu ketika, Ben datang-tiba menghardik mereka dan mengatakan:

“Kita baru saja bertaruh melawan ekonomi Amerika. Yang berarti jika kita benar, orang akan kehilangan rumah. Orang akan kehilangan pekerjaan. Orang akan kehilangan tabungan dan dana pensiun. [Bank] menganggap manusia sebagai angka saja. Saya beri tahu sebuah angka untuk Anda: setiap 1% angka pengangguran naik, 40.000 orang meninggal dunia. Tahukah Anda tentang itu?"

Ketika di realita akhirnya banyak cicilan yang wanprestasi, mereka semua bersiap-siap meraup keuntungan.  Namun, sistem berkata lain. Rating surat hutang-surat hutang tersebut tetap tinggi. Mulailah terkuak sistem yang penuh ketidakjujuran.

Pada tahun 2008, akhirnya krisis pun terjadi. Harga tempat tinggal di Amerika stagnan dan akhirnya turun. Jutaan rumah tidak terjual. Para protagonis film pun menerima laba mereka. Namun pada sekeliling mereka, dunia digambarkan luluh lantak.

Salah satu dampak terbesarnya Lehman Brothers, bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat yang sudah berdiri selama 158 tahun pun bubar. Para karyawannya digambarkan berjalan keluar berdasarkan gedung tempat kerja membawa kardus-kardus berisi barang mereka. Mereka menangis dan bersumpah serapah. Keluarga-keluarga pun kehilangan rumah mereka & tinggal di tenda atau kendaraan beroda empat.

Seorang karakter bernama Mark Baum (Steve Carell), yang turut meraup laba menurut krisis ini, menutup film menggunakan dialog yang terdengar ironis. Dia menyatakan bahwa pemerintah niscaya akan melakukan bail out dengan uang pajak menurut warga negara. Menurutnya, selama ini sistem mengetahui krisis ini akan terjadi. Mereka tidaklah bodoh, menurutnya, mereka hanya nir peduli.

Rekannya pun menimpali bahwa setidaknya, beberapa orang niscaya akan dipenjara lantaran tindakan mereka. Mark pun menjawabnya, ?Aku tidak tahu, saya tidak tahu, Vinnie. Aku mempunyai perasaan bahwa sepertinya dalam beberapa tahun ke depan orang-orang akan melakukan apa yang selalu mereka lakukan ketika ekonomi jatuh. Mereka akan menyalahkan imigran dan rakyat miskin.?

Sang narator pun mengamini prediksi Mark dan menceritakan apa yg terjadi selesainya krisis tadi. Film pun berakhir. Sebelum credit title, beberapa catatan muncul menjelaskan bahwa imbas krisis di Amerika Serikat saja mencapai: sejumlah 5 trilyun USD dana lenyap, 8 juta orang kehilangan pekerjaan, & 6 juta orang kehilangan rumah.

Charlie & Jamie berupaya menuntut forum rating kredit, namun biro-biro aturan menertawakan mereka. Dr. Burry mencoba memberitahu pemerintah bagaimana beliau bisa memprediksi krisis, tetapi tidak terdapat yang pernah menghubunginya. Dr. Burry sudah menutup perusahan pengelolaan investasinya. Dia kini masih berinvestasi secara mini -kecilan dalam satu komoditas saja: air.

Film The Big Short sungguh menghibur berdasarkan segi alur cerita. Hollywood kali ini berhasil menggabungkan komedi & alur cerita yang memuaskan pemirsa dengan kritik-kritiknya. Dari film ini, kita bisa melihat kesenjangan yang sangat besar antara realita dengan bagaimana sistem finansial yg memuat realita kita sehari-hari bekerja. Bagaimana aksi 30 tahun yg lalu memperkuat perkiraan-asumsi sampai mendorong krisis ekonomi dunia.

Film ini bisa memberikan catatan atau peringatan bagi kita, atau bahkan ilham, tentang tantangan kita pada memenuhi kebutuhan hayati. Tidak sanggup dipungkiri bahwa hampir di seluruh sektor, hutang merupakan roda yg menggerakan ekonomi waktu ini. Apakah kita mampu mencoba bentuk pilihan-pilihan lain? Baik secara individu juga secara kolektif? Pertanyaan-pertanyaan ini sungguh sulit & bahkan bisa mengundang keheranan jika bukan cemoohan. Seperti ketika Dr. Burry menanyakan hal yg menurut para bankir sangat nir sesuai dengan norma yg mereka percayai.

Namun, setiap langkah kebaruan hampir pasti membutuhkan pertanyaan di awal. ?Apakah ini mungkin??

[JALAN-JALAN] PIKNIK SEMALAM KE BADUY DALAM

Oleh: Sally Anom Sari

Saya merupakan galat satu orang yg tidak tahu bagaimana caranya hayati tanpa uang. Sehari-hari aku bekerja mencari uang, lalu menghabiskannya buat memenuhi semua kebutuhan hidup saya. Di luar kebutuhan utama, aku juga perlu uang buat aneka macam hiburan yang mampu menciptakan saya bahagia, seperti makan pada luar, belanja, jalan-jalan, dan banyak lagi. Semakin banyak hiburan yang aku perlukan, tentu semakin poly uang yg perlu aku cari. Untuk menerima uang itu, tentu saya harus bekerja lebih keras lagi. Masalahnya, bekerja lebih keras ternyata menciptakan saya kurang senang & perlu mencari hiburan lebih poly lagi. Artinya saya perlu uang lebih poly lagi. Begitu terus berputar-putar.

Beberapa tahun yang lalu setelah suntuk bekerja demi uang, saya merasa perlu hiburan dan memutuskan untuk jalan-jalan. Kali ini saya memilih jalan-jalan ke desa Kanekes yang lebih saya kenal dengan nama Baduy. Kenapa Baduy? Ya sebenarnya karena kebetulan di internet saya menemukan ada open trip [1]ke Baduy Dalam. Maka pergilah saya jalan-jalan ke Baduy Dalam.

Setelah melalui perjalanan dengan kereta dan kendaraan beroda empat elf, rombongan wisata hingga di desa Ciboleger, galat satu pintu masuk menuju desa Baduy. Dari sana kami akan berjalan menuju desa Cibeo, desa terluar Baduy Dalam, melewati beberapa desa Baduy Luar. Di Cibeo kami rencananya akan menginap semalam, sebelum pulang lagi keesokan harinya.

Begitu kendaraan beroda empat elf sampai pada depan gerbang, beberapa rakyat Baduy Dalam pribadi menyambut kami. Merekalah yang akan menemani bepergian kami kali itu. Sekilas saya pribadi melihat penampilan orang Baduy Dalam yang tidak selaras menggunakan orang Baduy Luar & rakyat desa lain. Selain rona sandang dan ikat ketua mereka yg hitam-putih, mereka jua nir mengenakan alas kaki dan hanya membawa tas berupa gembolan kain. Sederhana sekali.

Perjalanan menuju desa Baduy Luar dan Baduy Dalam. Foto oleh: Bimasakti Aryo Bandung

Setelah tanya sana-sini aku mengetahui bahwa orang Baduy Dalam sangat patuh pada anggaran norma yang mengutamakan kesederhanaan. Mereka tidak menggunakan alas kaki, tidak memakai indera elektronika, nir boleh menaiki kendaraan bermotor, tidak mampu menggunakan sabun, pasta gigi atau detergen apapun, & hanya memakai pakaian yang ditenun & dijahit sendiri menggunakan rona hitam & putih. Sementara orang Baduy Luar punya aturan yg lebih longgar: mereka mampu memakai sandang warna lain, sanggup memakai alas kaki, indera elektro, & sanggup menaiki tunggangan bermotor. Meskipun begitu, cara hayati orang Baduy Luar pun masih permanen sederhana.

Setelah berjalan cukup jauh barulah aku melewati beberapa desa Baduy Luar. Rumah pada sana berbahan secara umum dikuasai kayu dan bambu. Pondasinya batu, atapnya daun. Di dalam tempat tinggal pun nir banyak diisi perabotan dan mebel, semua orang duduk & tidur beralaskan tikar. Sederhana sekali.

Beristirahat sejenak setelah bepergian yg melelahkan. Foto sang: Bimasakti Aryo Bandung.

Melewati galat satu desa pada Baduy Luar. Foto sang: Bimasakti Aryo Bandung.

Pemandangan salah satu desa pada Baduy Luar. Foto sang: Bimasakti Aryo Bandung

Meskipun hidup sederhana, orang Baduy ternyata nir merasa kekurangan. Sebagian akbar kebutuhan utama mampu mereka dapatkan pada kampung sendiri termasuk hutannya. Kalau di kota, untuk makan saja saya perlu uang, namun orang Baduy tinggal memasak simpanan output ladang atau mencari pada hutan. Saya baru tahu jikalau hutan dan output ladang pun ternyata mampu menjadi harta yang sangat berharga.

Lantaran dipercaya menjadi harta berharga, tentu saja orang Baduy memperlakukan hutan dan ladang dengan sangat baik. Mereka memiliki poly upacara dan tata anggaran yg berkaitan menggunakan kelestarian alam & pengelolaan huma. Mereka merogoh menurut alam, namun permanen berusaha selaras dengannya. Hal ini galat satunya bisa dicermati dari bagaimana cara orang Baduy berladang buat memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Sebagian besar kebutuhan pangan Orang Baduy termasuk beras didapatkan dari ladang yang dalam bahasa setempat biasa disebut huma. Seluruh huma dijaga kesuburannya sesuai dengan ketentuan adat. Kemiringan humadibiarkan apa adanya sesuai bentuk tanah aslinya, tidak dipapas menjadi rata. Waktu tanam dan panen dilakukan secara bersamaan untuk mencegah hama tanaman. Pestisida dan pupuk kimia dilarang untuk digunakan. Selain itu hewan berkaki empat selain anjing tidak boleh masuk ke area Kanekes karena dikhawatirkan bisa merusak lahan. Orang Baduy Dalam dan Baduy Luar memiliki cara berladang yang mirip, meskipun Baduy Dalam memiliki aturan yang sedikit lebih ketat, seperti tidak boleh memperjualbelikan lahan dan tidak bisa menanam tanaman tertentu seperti singkong, kelapa, kopi dan cengkeh karena dipercaya bisa mengurangi kualitas tanah. Cara berladang yang sudah dilakukan selama puluhan tahun ini terbukti bisa menghasilkan bahan pangan yang berlimpah, dengan tetap menjaga kualitas tanah.

Seluruh hasil panen dari huma nantinya disimpan di dalam lumbung yang biasa disebut leuit. Bentuknya dibuat panggung untuk menghindari hama tikus dan serangga. Tiangnya menggunakan kayu keras yang sebelumnya sudah direndam dalam air dan lumpur untuk mencegah rayap. Dindingnya terbuat dari bilik bambu yang rapat. Atapnya menggunakan ijuk dan beberapa jenis daun seperti daun Patat, Nipah dan Teureup. Pencahayaan dan sirkulasi udara di dalam leuit cukup stabil dalam musim apapun karena leuitdibuat dengan teknik khusus yang ilmunya diajarkan secara turun temurun. Untuk menjaga leuit, orang Baduy menyiramkan ramuan tradisional dan membakar daun tertentu yang bisa mengusir hama. Hal itulah yang membuat bahan pangan tetap awet meskipun disimpan selama bertahun-tahun.

Salah satu leuit tempat menyimpan hasil pangan dari huma. Sumber foto: https://su.wikipedia.org/wiki/Huma#/media/File:Leuit_080814_2162_srna.JPG

Sepanjang perjalanan naik turun bukit saya sesekali melihat humadan hutan yang berisi tanaman yang sangat beragam. Saya berpikir apakah hutan bagi masyarakat Baduy tidak beda dengan toko atau supermarket bagi saya? Bukan hanya bahan pangan, namun banyak bahan lain seperti obat-obatan, kayu bakar, sampai bahan pembuat rumah pun bisa didapatkan di hutan. Tidak perlu membeli. Kalau ada bahan yang tidak ada di hutan, barulah orang Baduy mencari alternatif lain seperti melakukan barter. Kalau tidak bisa barter, baru mereka membeli. Transaksi dengan uang memang masih ada, namun tidak banyak. Tidak perlu pusing mencari banyak uang. Mungkin karena itulah orang Baduy tidak terlihat hidup susah. Andaikan saya bisa seperti itu.

Setelah melalui bepergian melelahkan selama lima jam, akhirnya rombongan sampai pada desa Cibeo, Baduy Dalam. Rumah di desa Cibeo bentuknya lebih sederhana daripada tempat tinggal pada Baduy Luar lantaran orang Baduy Dalam tidak boleh menggunakan alat bantu gergaji, palu & paku dalam membentuk tempat tinggal mereka. Suasana desanya terlihat lebih antik. Ketika malam tiba suasana begitu sunyi & gelap tanpa penerangan, tidak terdapat kemewahan, namun cita rasanya relatif.

Keesokan harinya saya dan beberapa teman menyempatkan berkeliling desa, lalu menjelang siang seluruh rombongan bersiap untuk kembali. Kami berjalan pulang menyusuri jalur yang berbeda, namun sama-sama melelahkan bagi saya yang jarang olah raga. Sambil berjalan ngos-ngosan saya berpikir kalau hidup saya ternyata hanya berputar-putar antara mencari uang dan buang-buang uang. Niatnya ingin bahagia, tapi sejujurnya saya malah merasa kurang bahagia. Selama ini fokus saya adalah terus bekerja supaya dapat banyak uang, namun kenyataannya saya malah banyak buang uang karena perlu hiburan untuk mengimbangi stress pekerjaan. Saya harus belajar mengurangi ketergantungan saya terhadap uang. Mungkin saya bisa mengurangi membeli barang yang tidak benar-benar saya perlukan; menanam sendiri beberapa tanaman yang saya perlukan di pot; barter barang dengan teman; atau mungkin menawarkan keahlian saya ketika ada hal yang saya perlukan, seperti menulis rubrik di majalah untuk mendapatkan buku yang saya idamkan. Mungkin.

Beberapa jam lalu rombongan sampai pada lokasi penjemputan. Saya sudah sampai di akhir bepergian ini. Pada perjalanan pergi saya berpikir jikalau hidup orang Baduy yg sederhana meninggalkan kesan mendalam di diri saya. Saya sadar bila hidup nir melulu soal uang, apalagi kebahagiaan. Tiba-datang saya merasa pilihan hidup saya semakin luas.

Rujukan:

Informasi mengenai leuit didapatkan dari Jurnal Biodjati Vol 2, no. 1 (2017) http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/biodjati/issue/view/188 dengan judul Kearifan Ekologi Orang Baduy pada Konservasi Padi dengan ?Sistem Leuit" oleh Johan Iskandar dan Budiawati Supangkat Iskandar.

[1] Open trip adalah adalah wisata gabungan yang diikuti oleh beberapa orang yang sanggup jadi tidak saling kenal. Penyelenggara open trip akan menentukan saat dan lokasi wisata yg akan dikunjungi, lalu siapapun mampu mengikutinya secara individu juga grup.

[OPINI] EKONOMI ITU DARI, OLEH, DAN UNTUK SEGELINTIR SAJA, ATAU UNTUK SEMUA?

Oleh: M. Sena Luphdika

-Demokrasi ekonomi sebagai prasyarat kesejahteraan yang lebih adil dan merata-

Menurut Anda, ekonomi yang terdapat waktu ini berpihak dalam siapa? Hanya segelintir orang atau seluruh warga Indonesia?

Untuk membantu Anda menjawab pertanyaan di atas, mangga cek film dokumenter SEXY KILLERS dari WatchDoc berikut ini:

Kira-kira apa jawabannya? Coba renungkan jawaban Anda sambil iseng mengetik kata-kata berikut di mbah Google:

  • Kesenjangan ekonomi, rasio Gini
  • Konflik agraria, konflik tambang, konflik sawit
  • Kesejahteraan petani, regenerasi petani
  • Sosialita mewah, garis kemiskinan

Rasa-rasanya condong ke segelintir ya.

Kenapa seperti itu? Apa penyebabnya? Mari kita coba telaah dengan sudut pandang kata-kata pamungkas, Demokrasi.

Segelintir vs Seluruh

Sistem ekonomi Indonesia seharusnya bukan kapitalisme seperti yang ada saat ini. Kalau tidak percaya, mangga cek saja UUD 1945 Pasal 33 ayat yang mana pun.

Sesuai namanya, kapitalisme, modal menjadi hal yang primer & pertama. Manusia tunduk dalam kepentingan dan kemauan menurut insan lain yg punya modal (terutama uang) lebih akbar.

Dengan begitu tingginya posisi uang pada kapitalisme, maka tak heran bahwa pihak yg menikmati laba & manfaat terbesar dari sistem ini adalah segelintir orang. Mereka merupakan orang-orang yang ?Terlanjur? Punya uang, kemudian melahirkan uang baru lagi menggunakan cara-cara yang didukung penuh sang sistem yang terdapat.

sumber: OXFAM America

Salah satu dasar utama kapitalisme adalah 1 saham = 1 suara. Siapa yang punya kapital akbar maka beliau yg paling bertenaga. Kalau tidak punya modal bagaimana? Ya maaf-maaf saja, cuma mampu jadi pekerja yg digaji rutin, dengan nilai yang pas-pasan sekadar untuk bertahan hayati.

Dengan 1 saham = 1 bunyi tersebut, segelintir orang memiliki hak dan kuasa yang lebih akbar dari secara umum dikuasai orang. Kekayaan dan keuntungan berkumpul pada mereka-mereka saja, terpusat & semakin menggunung.

Tidakkah kita merasa aneh kenapa segelintir orang mempunyai kekuatan & kekuasaan yg begitu akbar untuk menentukan hayati orang banyak?

Padahal yg mempunyai kepentingan dalam suatu perusahaan bukan hanya pemegang sahamnya saja. Para pegawainya tentu jua punya kepentingan. Tanpa para pegawai sang pemegang saham pula tidak akan dapat apa-apa.

?Lucunya, pegawai baru dipercaya krusial waktu mereka mogok kerja.?

Tentu nir mengherankan kalau sistem semacam ini melahirkan perilaku insan yang individualis, serakah, kompetitif ekstrim, dan egois. Demi profit & laba segalanya sebagai halal.

Lingkungan? Peduli amat.

Kesejahteraan pegawai? Seminimal mungkin yang penting bisa hidup. Kepentingan bersama? Di bawah kepentingan pribadiku dong.

?Tidak percaya? Coba cek lagi film SEXY KILLERS yang sudah ditonton sebelumnya. Tonton pula ASIMETRIS, mengenai kelapa sawit.?

Inikah sistem ekonomi terbaik yang manusia mampu lahirkan?

Demokrasi Politik vs Demokrasi Ekonomi

Bulan April ini kita melaksanakan “pesta demokrasi”. Kita memilih pemimpin tertinggi Indonesia dan anggota-anggota legislatifnya. Tapi perlu diingat bahwa “pesta” ini baru demokrasi dalam ranah politik.

TahukahAnda bahwa demokrasi tidak hanya berlaku dalam politik, tetapi juga ekonomi? Tahukah Anda bahwa kata-kata demokrasi ekonomi tersebut ada di konstitusi kita secara gamblang?

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional — UUD 1945 Pasal 33 Ayat 4”

Demokrasi politik yang kita miliki menurut saya sangat kurang, karena heboh hanya lima tahun sekali dan waktu demo-demo ke jalanan. Seakan-akan pada kehidupan kita sehari-hari nir ada urusannya dengan demokrasi.

Sehari-hari kita mengonsumsi bermacam barang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ekonomi lebih dekat menggunakan hidup kita, kenapa nir kita coba implementasi demokrasi di dalamnya?

Demokrasi Politik sudah berjalan, kalau Demokrasi Ekonomi kapan?

Https://medium.Com/@msenaluphdika/demokrasi-politik-telah-berjalan-jikalau-demokrasi-ekonomi-kapan-22cdeb473fb

Apalagi pada dasarnya demokrasi politik tidak akan berpengaruh banyak bila ekonominya nir demokratis. Ia hanya akan melahirkan oligarki (sekelompok penguasa) yg rakus & egois. Mengedepankan hasrat dan kepentingan grup mereka tanpa memikirkan kepentingan orang banyak.

Adakah contoh jahatnya? Banyak sebenarnya, tapi kita coba saja dari hal yang paling mendasar bagi kehidupan kita sehari-hari, sembako. Sembako itu banyak lintah-nya.

Merekalah yg mengakibatkan sebuah realita yang kontradiktif, yaitu:

Harga di rakyat begitu tinggi, sedangkan harga pada petani sangat murah.

?Masyarakat ingin harga murah, akan tetapi petani tentu ingin harga tinggi supaya mereka sejahtera. Apa solusinya??

Sembako dalam Demokrasi Ekonomi

Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, maka hal ini diurus oleh negara melalui Bulog. Tetapi kalau boleh jujur, Bulog ini dampaknya tidak besar. Malah internal Bulog-nya sendiri seringkali korup.

Hasil search Google dengan kata kunci “Korupsi Bulog”

Tapi apakah kita hanya bisa berpangkutangan atas ketidakbecusan Bulog? Kenapa tidak kita coba koordinir kebutuhan kita secara bersama-sama? Demi kepentingan kita bersama kok, urusan sembako,gitu.

Kembali pada kontradiksi dagelandi atas, bagaimana supaya harga sembako murah tapi petani juga sejahtera? Jawabannya ada pada rantai pasok. Di petani harga mungkin murah, tapi di pembeli harga sudah naik dengan margin yang tidak sedikit.

Tak heran jikalau petani tidak sejahtera & orang pada malas jadi petani, karena orang yang mendapatkan laba utama dalam rantai pasok sembako merupakan distributornya. Tengkulak & mitra-mitra yang terdapat di tengah-tengah justru kaya raya, sedangkan petaninya miskin.

Solusi paling sederhana ya potong rantai pasok. Hubungkan langsung antara pembeli dengan petani. Tetapi ini sulit kalau dilakukan sendiri-sendiri, karena yang namanya panen itu jumlahnya besar. Kalau kita beli secara individu, ya ga bakal mau petaninya. Panen 500 kg masak dibeli cuma 5 ons per orang kan ya capek.

Tetap perlu terdapat pihak penengah yg mengoordinir hubungan antara pembeli dengan petani, supaya kebutuhan pembeli mampu diagregat sebagai akibatnya jumlahnya akbar dan harganya mampu lebih murah per kilonya. Sedangkan pada sisi petani mereka nir sibuk mencari & melayani ratusan pembeli, relatif satu saja.

?Apa bedanya penengah ini menggunakan tengkulak yg ada??

Sederhana, penengah ini harus dimiliki bersama oleh pembeli dan petaninya, sehingga penengah ini tidak akan mengambil margin yang terlalu besar. Kalau pembeli dan petani adalah pemilik, artinya si penengah bertanggungjawab kepada mereka, bukan pada investor atau pemilik individu dari usaha penengah/distributor ini.

Karena pembeli dan petani adalah pemilik yg setara, mereka bisa duduk bersama & buka-bukaan data.

Petani: ?Segini lho hargaku, lantaran poin a, b, c.?

Pembeli: “Ah tapi segitu kemahalan, kan ada poin x, y, z.”

Dengan obrolan, sanggup didapatkan konvensi yg memberikan hasil terbaik bagi pihak-pihak yg terlibat, tanpa perlu campur tangan pihak luar.

Apa bentuk yang tepat dari penengah ini? Tidak lain dan tidak bukan ya koperasi. Kalau bentuknya selain koperasi, bisa terjadi tarik-ulur kepentingan dari pemilik usaha distribusi yang nilai suaranya berbeda-beda sesuai besaran saham. Dalam koperasi, satu anggota satu suara, sehingga tidak akan ada orang yang menguasai usaha distribusi ini melalui saham yang paling besar.

Dengan format koperasi, kepentingan setiap individu insan memiliki bobot yang sama, sehingga mau nir mau seluruh anggota tentu memikirkan kepentingan beserta. Pada dasarnya sulit buat egois dalam bentuk koperasi, kecuali kita bisa meyakinkan kawan kita yg lain.

Hajat Hidup orang Banyak

Utopis sekali ya, apakah hal ini sanggup dilakukan? Sudah terdapat misalnya kok pada Jepang, namanya Seikatsu Club. Di Korea juga terdapat, namanya ICOOP.

Apakah hanya sembako yang bisa diatur dalam format koperasi multipihak milik bersama ini? Oh tidak, tentu semuanya bisa. Sebaiknya, ketika suatu hal terkait dengan hajat hidup orang banyak, dia dikelola dalam format koperasi multipihak (Multi-Stakeholder Cooperative).

(Tautan artikel https://ccednet-rcdec.Ca/en/toolbox/solidarity-business-contoh-multi-stakeholder-cooperatives )

Hajat hayati orang poly itu misalnya air, kesehatan, pendidikan, perumahan, & lain-lain. Kita bisa bangun koperasi buat masing-masing bidang tadi yg isinya lengkap secara rantai nilai menurut awal hingga akhir. Dengan begitu, semua pihak yang terlibat di dalamnya mampu menentukan keputusan dan kebijakan ekonomi secara bersama-sama.

Kesehatan

Kita perlu menciptakan jaringan fasilitas kesehatan (faskes) yang akan menaruh pelayanan terbaik meski pasien menggunakan iuran pertanggungan BPJS. Jaringan ini pula wajib menaruh penghidupan yang layak pada para dokter, perawat, dan tenaga medis yang bekerja di dalamnya. Apabila perlu jua kita buat iuran pertanggungan kesehatan milik kita beserta.

Pendidikan

Kita tentu paham seberapa bobroknya pendidikan di Indonesia. Rendahnya honor guru, rendahnya tingkat kelulusan, buruknya kualitas lulusan, tingginya nomor pengangguran, mereka merupakan segelintir menurut penanda bahwa sistem pendidikan kita remuk-redam.

Kalau memang kita sepakat bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan kepentingan beserta, yuk kita buat koperasi terkait pendidikan yang dimiliki bersama-sama. Murid, orang tua, guru, & profesi pendukung lain yang terkait erat dengan sekolah dan universitas adalah pemiliknya. Kita duduk bersama dan untuk sedemikian rupa sebagai akibatnya pendidikan yang terbaik bisa dinikmati oleh semua kalangan rakyat sebagai hak asasi.

Lantaran sekali lagi, ekonomi itu buat segelintir saja atau buat seluruh? Kalau kita seluruh ingin maju menjadi sebuah bangsa, ya kita bergerak beserta untuk itu. Jangan menunggu & menyerahkan takdir kita dalam sekelompok orang yang terlanjur menguasai kehidupan kita.

Ambil dan kelola beserta-sama.

Kesenjangan ekonomi merupakan perkara yang untuk aku paling pelik waktu ini. Kemiskinan saja itu telah kasus, apalagi kemiskinan yg bersamaan dengan kekayaan yang begitu jauhnya. Kemiskinan tadi akan menekan mental, tidak hanya masalah material.

?Bayangkan saja bagaimana cita rasanya saat makan sehari-hari saja susah, tetapi pada sisi lain kita memahami terdapat orang yg sanggup & mau membeli baju mewah seharga biaya hidup kita selama 5 tahun??

Solusinya jelas bukan donasi-bantuan eksklusif yang nir bermartabat dan membuat rakyat ketergantungan itu.

Ekonomi seluruh lapisan warga wajib berdikari. Mandiri bukan berarti sendiri-sendiri, akan tetapi nir bergantung pada pihak-pihak lain yg tidak mampu dikendalikan dan hanya memikirkan keuntungan mereka sendiri.

Koperasi telah diletakkan menjadi dasar demokrasi ekonomi pada Indonesia menurut zaman dahulu kala. Mari kita bangkitkan kodratnya sebagai sistem ekonomi primer pada tanah air kita ini.

Sudah saatnya kita berkiprah secara gotong-royong, kolektif, bersama-sama. Supaya kemajuan & laba ekonomi bisa dinikmati sang semua, nir hanya mereka yang pada atas sana.

Sabtu, 09 Mei 2020

[TIPS] TSUNDOKU VS KONMARI: MEMBUDAYAKAN BERBELANJA SECARA BERKESADARAN

Oleh: Aristogama

Pernahkah engkau membeli buku kemudian akhirnya buku itu nir dibaca & menumpuk di sudut ruangan atau rak? Jika pernah, kamu nir sendiri. Saya jua keliru satu berdasarkan orang yg melakukan tsundoku. Menurut Wikipedia, tsundoku (Bahasa Jepang: ???) adalah memperoleh bahan bacaan namun membiarkannya menumpuk pada tempat tinggal tanpa membacanya.

Tsundoku

Ada beberapa alasan kenapa aku memiliki norma ini. Sewaktu kecil aku merupakan anak yang penyendiri. Saya lebih suka di rumah dari pada bermain di luar lantaran anak-anak lain mampu kejam. Mereka kerap mengolok-olok aku sebagai akibatnya aku malas berteman menggunakan mereka. Saya menemukan kenyamanan & kedamaian menggunakan membaca buku. Buku adalah sahabat terbaik aku yang mengerti diri saya dan nir mengejek aku . Jadi, aku selalu mengasosiasikan kitab menggunakan kenyamanan, ketenangan, loka yang kondusif, dan hal-hal positif lain.

Alasan lain adalah, walaupun saya suka buku dan bahagia membaca, dalam ketika saya sekolah & kuliah, saya nir punya poly uang buat membeli buku sehingga aku kerap meminjam atau bertukar kitab menggunakan teman-sahabat pada sekolah atau kampus. Setiap kali aku pergi ke toko kitab , saya hanya sanggup memandangi kitab -kitab yg berjajar di rak & berandai-andai saya punya relatif uang untuk membelinya. Wajar saat aku punya penghasilan sendiri, sebagian akbar saya habiskan buat membeli buku.

Sebenarnya nir terdapat yang keliru menggunakan kebiasaan ini sendiri. Masalah ada saat terdapat keterbatasan ruang penyimpanan atau dana. Saya pun mengalami kasus-masalah itu. Dahulu saya tinggal pada Bogor. Di rumah orang tua saya, kamar saya relatif luas & aku bisa menyimpan relatif banyak buku di sana. Namun, kamar aku tidak dipasangi AC & cuaca pada Bogor sangat lembab sehingga kertas kitab -buku saya terkadang menguning. Debu jua dengan cepat menebal apabila tidak acapkali dibersihkan.

Saya jua bermasalah dengan pengaturan keuangan yang berkenaan menggunakan kitab . Sering saya membeli kitab secara impulsif. Tentu saja saya punya alasan tetapi alasan tersebut kerap kali merupakan rasionalisasi yg dibentuk-buat. Misalnya, nir apa membeli kitab ini, karena kitab merupakan investasi, kitab adalah jendela global, buku bermanfaat lantaran banyak warta bermanfaat di dalamnya & kamu bisa belajar poly darinya. Terkadang saya pula menyampaikan kepada diri sendiri, kapan lagi bisa menemukan buku ini, beli saja, lebih baik menyesal membeli daripada menyesal tidak membeli. Singkat cerita uang aku selalu habis buat membeli buku.

Para pembeli buku: Sudahkah mereka membeli sinkron kebutuhan?

Tsundoku tentunya nir akan menjadi kasus jika kamu punya ruang & dana yg nir terbatas. Berhubung saya adalah, menggunakan kata zaman now, sobat miskin, saya mempunyai keterbatasan sumber daya. Lalu bagaimana cara saya mengatasi perkara-kasus tadi?

Beberapa tahun yang lalu, sebelum Marie Kondo menjadi terkenal seperti sekarang, teman saya meminjami saya buku The Life Changing Magic of Tidying Up. Buku itu membuat saya memikirkan kembali tentang hubungan saya dengan barang, terutama buku. Marie Kondo, penulis buku itu, mengajukan metode KonMari untuk berbenah. Di dalam metode ini, untuk setiap barang yang kita miliki, kita harus memegangnya dan bertanya, “Apakah barang ini memercikkan sukacita atau kebahagiaan?” atau tokimekidalam bahasa Jepangnya, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai spark joy.

Praktek metode KonMari yang dilakukan oleh penulis (asal: dokumen pribadi)

Saya pun mencoba metode ini & ternyata saya sadar bahwa sebagian kitab -kitab yang aku punya tidak lagi memercikkan sukacita. Saya memisahkan buku-kitab tadi ke dalam dua tumpukan, simpan dan tanggal. Buku-buku yg aku tanggal saya berikan pada sahabat-sahabat aku atau saya sumbangkan ke loka-tempat misalnya kafe baca.

Menurut Marie Kondo, seiring kita menyortir barang-barang kita, kemampuan kita untuk membedakan antara barang yang memercikkan sukacita dan yang  tidak akan terasah, bukan saja untuk barang-barang yang sudah kita miliki, tapi juga untuk barang-barang yang akan kita bawa ke tempat tinggal kita sehingga jumlah barang-barang yang menumpuk dan tidak terpakai berkurang. Misalnya, kini saat saya ke toko buku, saya bisa menyadari dorongan saya untuk membeli buku. Saya tidak menekan, melawan atau meredam dorongan itu, hanya mengamatinya dan seringkali dorongan itu berlalu dengan sendirinya. Dengan begitu saya menjadi tidak terlalu impulsif dan tidak mengikuti dorongan untuk membeli buku begitu saja. Keinginan atau dorongan itu tidak sama sekali hilang, saya masih membeli buku tetapi jumlahnya berkurang. Misalnya jika dahulu saya bisa keluar dari toko buku dengan tiga buku dalam satu waktu, kini saya hanya satu.

Metode KonMari pula menciptakan aku lebih gampang merelakan buku-kitab saya. Jika aku telah terselesaikan membacanya & saya tidak ingin membacanya ulang pada lain waktu, saya nir terlalu ambil pusing dan memberikannya ke orang lain. Saya tetap menyimpan buku-kitab yang saya suka atau ingin baca lagi pada lalu hari. Hal lain yg aku perhatikan setelah mempraktekkan metode KonMari merupakan aku menyadari bahwa aku memiliki kemelekatan menggunakan benda-benda & hal itu berhubungan dengan bukti diri dan konsep diri saya. Mungkin hal yang ingin saya tampilkan kepada global adalah aku menjadi orang yg pandai , intelek, berpendidikan & terpelajar & dorongan itu ada menjadi harapan buat membeli kitab .

Pengaturan buku menggunakan metode KonMari

Metode Konmari memungkinkan aku menyelidiki keadaan batin saya. Saya menyadari ternyata bukan hanya terhadap kitab saja saya mempunyai kemelekatan. Seringkali kita melekatkan harga diri kita terhadap benda fisik, seperti misalnya kendaraan beroda empat, tempat tinggal , sandang, telepon seluler, barang-barang glamor. Tidak ada salahnya memiliki barang-barang tersebut. Tetapi kita wajib mempunyai jarak yg sehat terhadap benda-benda itu. Jangan sampai kita dikuasai sang benda-benda tersebut.

Jadi, apakah nir ada yang salah menggunakan tsundoku? Metode KonMari membuat aku memikirkan kembali pernyataan aku sebelumnya. Tsundoku sanggup saja merupakan tanda-tanda berdasarkan suatu keadaan. Manifestasi fisik menurut suatu keadaan psikologis. Di permukaan tampak sebagai perilaku membeli kitab yang berlebihan namun hanya ditumpuk & tidak dibaca. Di bawahnya mungkin terdapat kemelekatan yg nir sehat terhadap objek-objek fisik. Kita mampu melepaskan diri menurut kemelekatan terhadap objek-objek fisik tersebut dengan menyadari dorongan-dorongan di kembali konduite kita untuk memberikan jarak yg sehat antara kita dengan objek-objek fisik tersebut.

Lepas dari kelekatan terhadap suatu barang membawa kita dalam pencerahan yg lebih tinggi pada mengelola uang. Berkesadaran pada pengelolaan keuangan memampukan kita untuk memilah mana pembelanjaan yang sesuai menggunakan kebutuhan & mana yg tidak. Dengan demikian, kita membangun kebiasaan baik & nir berperilaku secara konsumtif. Kita merdeka berdasarkan ketergantungan uang yg memungkinkan buat membeli barang-barang yg melekat dalam diri kita.

[MASALAH KITA] FENOMENA GIG ECONOMY DAN DAMPAKNYA PADA KAUM PEKERJA: KERJA BEBAS ATAU KERJA (DI)TEBAS?

Oleh: Achmad Assifa Januar

Pada dasarnya kerja terbatas pada batas geografis karena terikat dengan letak tempat usaha atau kerja. Seperti yang dikemukakan oleh Harvey (1989;19) kaum pekerja sulit sekali untuk menghindari kerja berbasis lokasi, karena tenaga pekerja musti diistirahatkan di rumah setiap malam.  Namun, semenjak teknologi internet muncul, kerja yang tadinya terbentur pada batas geografis mulai runtuh perlahan. Klien, bos, pekerja, dan konsumen produk akhir dapat saling terkoneksi dalam satu teknologi walau terpencar di lokasi berbeda di muka bumi. Dengan dunia yang semakin terkoneksi, maka permintaan pekerja digital yang dapat mengerjakan kerja-kerja remot (seperti penerjemahan, desain visual, marketing, dll) semakin tinggi. Kenaikan angka pekerja digital ini dipicu oleh dua tren. Yang pertama, rendahnya serapan tenaga kerja pada sektor riil di beberapa negara, hal ini kini menjadi perhatian bagi pemangku kebijakan, orang yang memiliki pekerjaan, dan orang yang mencari pekerjaan. Yang kedua, dunia semakin terkoneksi dengan adanya internet. Kita beranjak dari dunia yang 10 tahun lalu, di mana 15 persen penduduk bumi terkoneksi dengan internet, ke titik di mana 40 persen penduduk bumi saling terkoneksi dengan internet.

Jika kita lihat dalam laporan Statista, pengguna internet di Indonesia pada bulan Januari 2019 telah mencapai 150 juta orang, atau lebih dari separuh penduduk di Indonesia telah terkoneksi dengan internet[1]. Semakin terkoneksinya penduduk Indonesia ke teknologi internet, juga memberikan peluang kepada kerja-kerja freelancesemakin berkembang. Tercatat, dari 127 juta penduduk Indonesia yang bekerja, sekitar 30 juta penduduk Indonesia bekerja kurang dari 35 jam per minggunya[2]. Anggap saja 30 juta penduduk tersebut diasumsikan bekerja secara freelance, jika dikaitkan dengan laporan Boston Consulting Group (BCG) menunjukkan 33% pekerja freelance menggantungkan gig platform sebagai salah satu sumber pendapatan dan 12% pekerja freelancemenggantungkan gig platform sebagi satu-satunya sumber pendapatan[3]. Angka tersebut dapat terus bertambah seiring naiknya angkatan kerja di Indonesia.

Namun dibalik kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi tersebut, terdapat retakan eksploitasi yang tak terlihat dan dianggap ‘normal’ oleh kita sebagai kaum pekerja. Sebelum saya memaparkan apa saja ‘eksploitasi yang (dianggap) normal’, saya akan membatasi penulisan ini pada koridor gig economy dan dampaknya pada kerentanan hidup kaum pekerja.

Ekonomi digital & permutasiannya

Sebelum kita membahas lebih jauh apa itu gig economy, baiknya kita menelisik secara singkat awal mula kelahirannya dari wacana besar yaitu ekonomi digital. Istilah ekonomi digital (digital economy) pertama kali dipopulerkan oleh Don Tapscoott dalam bukunya yang berjudul The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence pada tahun 1995. Singkatnya, Don Tapscoott meramalkan bahwa di era mendatang, teknologi internet akan mengubah wajah ekonomi yang semula penyebaran arus informasi terbatas pada bentuk fisik menjadi pada bentuk digital. Dengan hadirnya era kecerdasan jaringan, nilai tambah ekonomi akan dibentuk oleh kerja-kerja kognisi bukan lagi kerja-kerja otot[4].

Cukup dengan bahasan singkat mengenai ekonomi digital, kita beralih untuk membahas gig economy. Sebenarnya, cukup sulit untuk menemukan awal mula bentuk ekonomi ini. Makna ‘gig’ sendiri merujuk pada ungkapan musisi jazz di Amerika Serikat ketika melakukan konser pada tahun 1920-an. Namun sumber dari Business Insider mengungkapkan bahwa kerja seperti gig economy merupakan hal yang sudah lama terjadi bahkan sebelum era kecerdasan jaringan (internet) datang[5]. Dalam artikel tersebut menjelaskan kerja-kerja lepasan merupakan hal umum yang terjadi pada abad ke 19 sebagai cara untuk bertahan hidup dan mendapatkan status sosial[6].

Pada era internet seperti yang terjadi hari-hari ini, gig economy menjelma pada gig platform seperti Grab, Gojek, Mbakmu, AirBnB, dan lain-lain. Gig platform sendiri tidak dibuat sama. Terdapat struktur yang berbeda dan cara-cara yang ditawarkan seperti jenis pekerjaan yang ditawarkan, jenis freelancer yang mencari pekerjaan, dan sifat kontrak kerja. Platform tersebut cenderung memberikan garis batas yang jelas, sehingga dapat memberikan kepastian posisi hubungan majikan dan tenaga kerja. Terdapat dua cara yang biasa dilakukan platform gig tersebut, yang pertama si platform memberikan listpekerjaan dengan kontrak kerja yang saklekkepada freelancer sebagai upaya mendukung berjalannya platform secara operasional. Yang kedua, si platformmelakukan negosiasi mengenai listpekerjaan kepada freelancer. Lebih jelasnya bisa melihat gambar dibawah ini

Sumber: Boston Consulting Group

Jadi, anggapan bahwa kerja-kerja lepasan yang selama ini dilekatkan pada kerja-kerja otot (sebenarnya juga mikir) yang tidak perlu berpendidikan tinggi  seperti pengendara gojek, buzzer politik, bakul survei, dan lain-lain harus kita ubah. Kerja-kerja lepasan yang intensif pengetahuan seperti desainer web, analis data, pekerja rupa lepasan, penerjemah, dan lain-lain juga mulai mendapatkan tempat. Walaupun seakan-akan terdapat jurang pemisah antara kerja-kerja kognitif dan non-kognitif, namun dalam naungan kerja lepasan yang sama, kita musti memikirkan kembali upaya kemenyatuan pekerja menghadapi permasalahan kerja-kerja lepasan dalam gig economy ini.

Poin-poin Eksploitasi Gig Economy

Apa yang membuat kerja-kerja lepasan dalam gig economy ini bermasalah? Yang pertama, platform ini tidak memiliki regulasi yang jelas dan ketat dalam melindungi hak pekerja. Seperti yang telah kita ketahui pekerja yang menceburkan dirinya kedalam pusaran pasar tenaga kerja lepasan tidak mendapatkan akses informasi kontrak kerja, tunjangan kesehatan, dan operasional (biaya perawatan alat produksi, ongkos internet, dsb). Dengan demikian, segalanya ditanggung oleh pekerja dengan imbalan upah berdasarkan jam kerja yang juga sudah ditawar habis-habisan oleh platform. Lebih parahnya lagi, upah yang disepakati tidak dibayar sepenuhnya oleh penyedia kerja.  Pada intinya, fitur dari gig economy ini berupaya untuk meminimalisir regulasi dari luar yang menyangkut hubungan antara penyedia kerja dan pencari kerja. Pencari kerja ini dianggap sebagai kontraktor independentyang seolah-olah mempunyai posisi dan daya tawar yang setara (walaupun jika dilihat secara kritis, tetap saja berposisi sebagai buruh).

Penelitian Graham, Hjorth, & Lehdonvirta (2017) menunjukkan terdapat 4 permasalahan gig economy terhadap pekerja digital lepasan yaitu posisi daya tawar, intermediasi, pengembangan skill dan kapabilitas, serta eksklusi ekonomi. Pada poin yang pertama, posisi daya tawar erat kaitannya dengan tidak adanya regulasi yang mendukung pekerja digital lepasan. Dengan tidak adanya regulasi tersebut, para pekerja digital lepasan ini dengan suka rela membanting rate kerja mereka demi mendapatkan perhatian dari penyedia kerja. Akhirnya, akibat mengganasnya adu banting harga antar pekerja ini merembet hingga ketidak mampuan mereka dalam membayar kebutuhan pokok mereka seperti membayar tempat tinggal, membayar tanggungan keluarga, biaya operasional, biaya kesehatan, dan seterusnya. Tentunya ini tidak berdampak pada pekerja yang memiliki kualifikasi mentereng yang dapat melakukan negosiasi kepada penyedia kerja, namun bagi pekerja lepasan yang berkemampuan biasa saja permainan banting harga tentu saja berimbas besar dalam hidup mereka.

Poin kedua adalah intermediasi. Intermediasi dibagi pada dua cara, disintermediasi dan reintermediasi. Disintermediasi sendiri merupakan sebuah metode pemangkasan pada rantai pasok dari produsen ke konsumen tanpa melalui beberapa perantara. Sehingga peran-peran perantara yang sebelumnya dianggap penting untuk ikut memasarkan produk dari produsen, lambat laun tergantikan dengan platforminternet yang dapat memperamping jalur hubungan antara produsen dan konsumen. Sedangkan pada reintermediasi, merupakan metode rantai pasok yang tetap memasukkan perantara sebagai peran penting yang menjembatani produsen dengan konsumen.

Pada kasus pekerja digital lepasan, proses intermediasi ini membawa keuntungan dan kerugian. Yang pertama, disintermediasi memungkinkan pekerja digital lepasan ini untuk berhubungan langsung dengan perusahaan tertentu tanpa melalui websitepenyedia kerjaan lepasan seperti Sribulancer, Projects.co.id, 99Design, dsb. Dengan demikian, pada kasus disintermediasi sebenarnya terbuka bagi pekerja digital yang memiliki reputasi baik dan memiliki keahlian khusus yang benar-benar dibutuhkan oleh perusahaan. Pada kasus reintermediasi, laporan artikel jurnal tersebut menunjukkan bahwa eksploitasi rantai pasok yang kerap terjadi adalah melalui antar pekerja digital lepasan sendiri! Jadi, skemanya begini, pada dunia freelancer (ternyata) terdapat hirarki antar pekerja digital. Pekerja yang memiliki kualifikasi mentereng dan reputasi yang ciamik di jagad digital memiliki peluang besar untuk diambil oleh perusahaan yang membutuhkan. Dengan adanya banyak permintaan, si pekerja yang ciamik itu kemungkinan besar mengambil beberapa job yang menurutnya menguntungkan. Namun, dengan kemampuan dan sumber daya yang terbatas, mau tak mau ia pasti akan melemparkan beberapa job ke pekerja digital lain yang kurang beruntung. Sekilas tampak dermawan karena membantu meringankan gundah hati pekerja yang kurang beruntung itu, tapi  permasalahannya adalah pekerja digital yang tak beruntung itu mendapatkan upah yang lebih rendah karena sebagian besar nilai proyek itu sudah diambil oleh pekerja digital ciamik jahanam[7].

Poin ketiga merupakan pengembangan skill dan kapabilitas. Kelihatannya tidak ada masalah pada poin ini, namun sebenarnya hal ini menjadi permasalahan ketika sebuah perusahaan penyedia pekerjaan tersebut tidak memberikan informasi yang utuh mengenai rantai nilai (value chain) sebuah pekerjaan yang diambil oleh pekerja digital lepasan. Dengan tidak adanya informasi yang utuh mengenai rantai nilai dan perusahaan tersebut, maka pekerja digital lepasan ini kesulitan untuk menerka skill dan kapabilitas apa yang musti dikembangkan demi menaikkan posisi daya tawar mereka dan memahami sistem kerja perusahaan tersebut. Sehingga yang terjadi adalah klusterisasi pekerja digital lepasan yang terpisah-pisah berdasarkan penawaran pekerjaan yang diambil di dunia maya.

Yang terakhir, adalah eksklusi ekonomi. Sebenarnya kehadiran gig platform memberikan peluang yang bagus untuk mengentaskan permasalahan ekonomi bagi individu yang tidak kunjung mendapatkan pekerjaan karena faktor jenjang pendidikan, dianggap tidak produktif (faktor umur atau faktor berganti kemampuan), diskriminasi SARA, dan lain sebagainya. Mengapa demikian? Karena gig platform dapat memberikan peluang kepada pekerja digital lepasan untuk mengakses pasar kerja yang ‘lebih baik’ dan dapat mengakses pasar kerja secara anonym untuk menutupi identitas pribadi[8]. Namun, ketika identitas pekerja tersebut terbongkar dari dunia ketiga yang terbelakang maka bisa jadi pemberi kerja tersebut berpikir dua kali karena sentimen penduduk dunia ketiga dianggap terbelakang, susah diajak berkomunikasi dengan bahasa inggris, dan dianggap akan mengerjakan segala sesuatu dengan upah yang sangat murah. \

Sumber: Processbliss

Refleksi Mengenai Fenomena Gig Economy Terhadap Kerentanan Pekerja.

Melihat poin-poin eksploitasi di atas, gig economy bisa jadi merupakan cara kapitalisme untuk meredam resistensi pekerja (supresi), sekaligus dalam meringkus lebih banyak lagi nilai kerja dari sang pekerja (eksploitasi) demi pertambahan profitnya[9]. Bentuk gig economy memungkinkan perusahaan kapitalis mengalihkan beban-beban operasionalnya kepada pekerja. Saat ini, jika kita melihat secara jernih, pekerja dituntut untuk memiliki dan memelihara alat produksinya sendiri sedangkan perusahaan tidak mau tahu apapun yang terjadi, yang penting upah atau komisi sudah tersalurkan. Upah atau komisi yang tersalurkan pun tidak dapat menutupi biaya-biaya dasar dan pada akhirnya menyeret pekerja dalam jurang prekarisasi[10]

Kerja-kerja digital lepasan ini selalu identik dengan otonomi pekerja yang dapat mengatur jadwal kerja secara fleksibel dan nomadik. Namun embel ‘fleksibilitas’ ini sebenarnya hanyalah mitos. Karena secara struktural, pekerja tidak memiliki posisi daya tawar yang setara sehingga berimbas pada waktu menyelesaikan sebuah pekerjaan ditentukan secara sepihak oleh perusahaan. Konsekuensinya pengerjaan hingga larut malam untuk menyelesaikan sebelum tenggat waktu yang ditentukan.  Tak jarang, karena mepetnya waktu pengerjaan ini berakibat timbulnya depresi karena kurang waktu bersosial.

Nah, sayangnya, proses-proses eksploitasi di atas adalah hal-hal yang masih dianggap wajar, normal, dan seakan-akan sudah dari sananya. Kita musti melihat secara kritis dan proaktif untuk merancang strategi-strategi agar eksploitasi yang terus bergerak ini terkikis dan pada akhirnya para pekerja lepasan dapat merebut kemerdekaan kerja dari jerat ekonomi kapitalis ini.

Akhirnya, artikel panjang ini mengarah pada satu pertanyaan yang (saya harap) dapat memancing diskusi dan imajinasi kita selanjutnya, bisakah pekerja lepasan baik digital maupun non digital dapat mengorganisir kerja-kerja produktif secara bersama-sama sehingga dapat mengatur lingkungan kerja yang tak mengeksploitasi satu sama lain dan berkelanjutan?

[1] https://www.statista.com/statistics/265153/number-of-internet-users-in-the-asia-pacific-region/ Data-data pekerja di gig economy.

[2] https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-08-06/indonesia-s-booming-gig-economy-means-big-tradeoffs-for-workers?utm_source=twitter&utm_campaign=socialflow-organic&utm_content=economics&utm_medium=social&cmpid%3D=socialflow-twitter-economics

[3] https://www.bcg.com/publications/2019/new-freelancers-tapping-talent-gig-economy.aspx

[4] Don tapscoott lebih lanjut mengemukakan kerja kognisi tersebut merupakan cikal bakal bentuk ekonomi baru yang disebut knowledge economy. Pada knowledge economy, ide-ide masyarakat (tak peduli ia konsumen atau produsen) akan menjadi sumber kreasi dari sebuah produk. Ia mencontohkan kustomasi pada sebuah boutique bakery yang memberikan keleluasaan bagi konsumen untuk mengutak-atik isi sandwich, melakukan order lewat jaringan computer, dan mengirimnya pada sore hari. Nilai  sebuah roti meningkat menjadi sebuah produk karya kerja kognisi dan mass-customized daripada hanya menjadi roti yang diproduksi masal.

[5] https://www.liveops.com/blog/brief-history-gig-economy/

[6] Ibid. Artikel tersebut memberikan contoh mengenai kerja-kerja dengan platform gig di Inggris pada abad ke-19. Di mana orang yang mengambil banyak kerja merupakan hal yang umum dan wajar demi bertahan hidup di kota. Menariknya, selain dilakukan untuk bertahan hidup, kerja-kerja gig tersebut juga dilakukan demi mendapatkan status sosial.

[7] Penelitian Graham, Hjorth, dan Lehdonvirta (2017) menambahkan tidak hanya eksploitasi berupa upah yang rendah yang menjadi masalah. Pekerja digital yang terjebak pada rantai reintermediasi juga tidak dapat memahami dan berkomunikasi dengan baik deskripsi kerja yang dinginkan oleh perusahaan.

[8] Walaupun banyak yang berpendapat dunia maya memrupakan dunia yang demokratis, namun ketika identitas pribadi kita menunjukkan satu identitas yang mencolok, maka bisa jadi peluang menjadi target diskriminasi dan rasisme masih terbuka lebar.

[9] https://indoprogress.com/2019/04/ekonomi-pengetahuan-atau-kognitarianisasi/

[10] Prekarisasi merujuk pada proses prekariat. Istilah prekariat merupakan perpaduan antara “precarious’ (rentan) dan proletariat (kelas pekerja), atau pekerja yang berada pada kondisi rentan. Istilah ini dipopulerkan oleh Guy Standing  ini merujuk pada para pekerja yang terlibat dalam pola ketenagakerjaan yang “tidak permanen” dan “fleksibel” seperti sistem kontrak, outsourcing, part-time, freelance, dan teleworking (Polimpung, 2018).

[PIKIR] ILUSI INDUSTRI 4.0: SEBUAH TELAAH KRITIS ATAS TEKNOLOGI ZAMAN NOW

Oleh: Angga Dwiartama

Pendahuluan

Sekarang, aku tidak perlu lagi risi soal kekurangan kuliner di malam hari. Cukup pilih majemuk hidangan pada pelaksanaan gawai pandai saya, & dalam 15-30 mnt, seorang akan mengetuk rumah saya membawa sebungkus makanan. Tidak perlu keluar uang tunai, lantaran seluruh pembayaran telah dilakukan di pelaksanaan pandai saya. Saya juga nir perlu khawatir waktu berkelana seorang diri ke daerah antah berantah. Tanyakan saja pada Google Maps, dan dia akan memberitahukan majemuk alternatif jalan buat ditempuh, termasuk jalan-jalan tikus, bersama perkiraan ketika tempuhnya.

Ini jelas belum seberapa. Petani di AS, Australia atau Eropa sana bekerja laiknya manajer kantor, mengendalikan semua aspek pertanian dari komputer pintarnya di ruang kantornya yang sempit. Sensor mendeteksi kadar air tanah dan kelembaban udara, misalnya, dan menginstruksikan sprinkler untuk menyemprot air secara otomatis apabila dianggap terlalu kering. Pestisida dan herbisida sudah tidak diperlukan lagi, karena setiap hama dan gulma dapat dideteksi oleh sensor dan ditembak menggunakan laser.  Di peternakan, setiap ekor domba yang digencarkan di lahan memiliki taggeospasial di telinganya yang sinyalnya ditangkap oleh satelit, sehingga perilaku domba yang sedikit berbeda saja dari gerombolannya dapat dianggap sebagai kelainan. Pesawat tanpa awak kemudian akan melihat lebih jelas apa yang terjadi dan melaporkan temuan lapangan melalui foto atau video ke sang manajer. Tersadar untuk bergerak, sang manajer memasukkan koordinat si domba ke motor ATV-nya, dan motor tersebut akan membawa petani untuk mengunjungi ternak tersebut dan memberi perlakuan[1].

Menyongsong revolusi industri 4.0

Yang kita saksikan saat ini adalah apa yang disebut revolusi industri 4.0, era yang (katanya) ditandai dengan perubahan di berbagai sektor kehidupan, dimana teknologi komputasi, sistem informasi, robotik, bioteknologi, dan nanoteknologi berjalin erat dalam keseharian kita. Kita menghadapi era yang (katanya lagi) akan mengubah cara kita berpikir, merasakan, bergerak dan hidup. Kita menyambut revolusi industri 4.0 layaknya rakyat jelata bersorak menyambut pahlawan perang. Ini adalah solusi bagi semua permasalahan dunia, katanya. Bayangkan saja, di saat diskursus tentang revolusi hijau, kerusakan lingkungan, deforestasi, atau pangan beresiko turunan GMO berkumandang, teknologi dalam industri 4.0 menawarkan narasi alternatif: Bertani bisa lebih ramah lingkungan tanpa pestisida dan pupuk sintetis berlebih apabila kita menerapkan smart atau precision farming, sistem monitoringpintar berbasis satelit bisa dipakai untuk mengidentifikasi titik-titik api dan mencegah kebakaran hutan, kita bisa hidup lebih sehat tanpa obat-obatan kimia apabila kita bisa memonitor denyut jantung, kadar gula atau kolesterol secara terotomasi, atau bahkan memetakan setiap gen di DNA kita untuk memastikan kalau kita tidak punya penyakit turunan berbahaya. Semuanya jadi lebih sehat, alami, dan ramah lingkungan; semuanya, tentunya, kecuali teknologi itu sendiri.

Era industri 4.0

Tapi, apa sih revolusi industri 4.0 itu? Dan ke mana perginya revolusi industri yang lain? Kejutannya, tidak ada yang benar-benar bisa menjawab dengan pasti. Adalah Angela Merkel, Konselor Jerman, yang di tahun 2011 dihadapkan pada tantangan pembangunan industri di Eropa, dan Jerman memiliki dana besar untuk memfasilitasi itu. Beberapa pemikir menawarkan gimmickyang menarik: revolusi industri 4.0 adalah the next big thing di industri, dalih mereka. Mereka membandingkannya dengan tahap revolusi industri pertama yang bertumpu pada mesin uap dan batubara, revolusi industri kedua yang dicirikan oleh assembly line gaya pabrik mobil Ford (yang selanjutnya dikenal dengan Fordism) untuk produksi massal, revolusi industri ketiga pada sistem otomasi di pabrik-pabrik besar, menggantikan buruh pabrik dengan mesin-mesin industri, dan revolusi industri 4.0 dengan semua yang berhubungan dengan komputasi, internet, big data, dan (sekali lagi) internet! Dana besar pun digulirkan ke universitas-universitas dan lembaga penelitian untuk semua bentuk penelitian yang berhubungan dengan “komputer dan internet”, atau bahasa kekiniannya, Internet of Things(IoT). Amerika Serikat, walau berjalan di atas langkah yang sedikit berbeda (karena Silicon Valley dan sektor swasta lebih dulu merajai industri 4.0), pun bermuara ke sungai yang sama.

Hanya dalam waktu kurang dari satu dasawarsa, kita sudah bisa menyaksikan gaung industri 4.0 di hampir seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia, yang dengan tegapnya menjadi pasar bagi ratusan platform startup digital yang mencakup sektor-sektor penting: perdagangan, pertanian, kehutanan, pendidikan, kesehatan, tata kota, pariwisata dan lingkungan hidup. A.T. Kearney, Lembaga riset ekonomi internasional, menunjukkan bahwa di tahun 2017, pertumbuhan investasi startup digital meningkat hingga 68 kali lipat dalam waktu lima tahun, dengan total investasi senilai 3 milyar US Dollar di lebih dari 2000 startup digital di Indonesia saja. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan pengguna internet yang mencapai 143 juta orang lebih (JakartaGlobe, Februari 2018). Di kampus saya saja, setiap program studi diminta untuk bisa menyisipkan kata kunci seperti Big Data dan Artifical Intelligence di dalam kurikulumnya. Jadi kini kami punya jargon-jargon seperti smart farming, smart city, smart classroom, smart politics, smart architecture, dan berbagai smart lainnya.

Sebuah delusi?

Nyatanya, seperti diprediksi, revolusi industri 4.0 memang mengubah banyak aspek dalam kehidupan kita. Saya jadi lebih peka terhadap kesehatan saya; saya gelisah kalau hari ini belum berjalan 10.000 langkah dalam catatan fitbit saya. Hubungan saya dengan teman-teman berubah karena tetiba orang yang saya pikir saya kenal bersuara tentang hal yang sama sekali asing di akun Facebooknya. Saya sekarang lebih mementingkan berapa likes yang saya terima hari ini ketimbang berapa banyak pekerjaan yang saya selesaikan. Di tengah realitas revolusi industri 4.0 sekarang ini, kita juga perlu sadar bahwa ada lebih banyak lagi hal yang tersembunyi di balik semua hal yang berbau digital dan internet. Revolusi industri 4.0, saya boleh bilang, adalah realita dan juga ilusi.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan ilusi (n) sebagai “pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan”. Cambridge Dictionary menawarkan dua pengertian, “an idea or belief that is not true” atau “something that is not really what it seems to be”. Pada ilusi, apa yang kita tangkap di indera kita belum tentu apa yang sebenarnya. Hal ini berarti bahwa ada sesuatu yang lebih besar lagi dari apa yang kita pahami tentang satu realita tersebut. Ilusi berakar pada ketidaksadaran kita pada realita. Kita mempersepsikan bahwa ilusi adalah realita itu sendiri. Erich Fromm, seorang sosiolog/psikolog asal Jerman, di dalam bukunya Beyond the Chains of Illusion, memaparkan bahwa saat kita menangkap ilusi sebagai realita, kita akan cenderung terjerat dalam ilusi tersebut. Bayangkan film the Matrix, di mana para penghuninya menikmati hidup layaknya itu sebuah realita – sampai akhirnya mereka memilih pil merah!

Film Matrix

Lalu, apa hubungan delusi dengan revolusi industri 4.0? Saya coba bahas setidaknya tiga hal yg mungkin bisa membongkar delusi industri 4.0:

Pertama, kita berbicara tentang ekologi. Industri 4.0 dicirikan oleh sistem komputasi dan internet nirkabel. Kita seringkali menganggap sepele hal ini. Tapi di balik kenirkabelan 4.0, terdapat infrastruktur fisik yang jauh lebih kompleks. Untuk setiap titik geografis di mana Anda bisa menikmati sajian 4G, terdapat infrastruktur besar seperti menara BTS, ruang penyimpanan data (server), dan jutaan pekerja yang menghasilkan handheld device Anda. Studi yang dilakukan oleh Costenaro dan Duer (2012) melaporkan bahwa di dalam setiap megabyte data yang dikirimkan, terdapat megawatts energi yang dikeluarkan. Katanya, untuk setiap GB data, dibutuhkan sekitar 5 kWh energi listrik. Sekarang kita lakukan sedikit perhitungan. Data A.T Kearney (2017) menyebutkan bahwa di Indonesia, terdapat sekira 150 juta orang yang terhubung dengan internet melalui gawainya. Dengan mengasumsikan saja bahwa setiap orang menggunakan 5 GB data per bulan, hal ini berarti bahwa setiap bulannya kita sudah menghabiskan sebesar lebih dari Rp. 5 triliun untuk menyelami dunia digital.   Masalahnya, 62% dari energi (dan biaya) yang dikeluarkan ditanggung bukan oleh pengguna komputer atau gawai, tapi oleh pusat data dan saluran distribusi. Artinya, kita menemui kondisi seperti ‘tragedy of the common’, dimana karena terdapat lebih dari Rp. 3 triliun/bulan beban biaya energi yang tidak ditanggung oleh pemakai (eksternalitas), porsi ini menjadi common property yang terboroskan.

Sejalan dengan paparan energi di atas, perubahan gaya hidup akibat industri 4.0 tidak sepenuhnya mengurangi dampak negatif bagi lingkungan hidup. Sebut saja begini: sebelum e-commerceberkembang, saya harus berpikir dua kali untuk belanja. Ini tidak hanya karena saya mempertimbangkan pengeluaran saya bulan ini, tapi juga karena upaya yang dibutuhkan untuk berbelanja (keluar rumah, naik kendaraan, mengantre di kassa pembayaran) cukup menjadi penghambat gairah belanja saya. Kini, ketika teknologi membuat semuanya lebih efisien, kita tidak lagi memiliki mental barrier tersebut. Dalam konteks ini, efisiensi mendorong lebih tingginya perilaku konsumerisme. Tapi, apakah beban lingkungan aktivitas-aktivitas ini menjadi berkurang? Pada kenyataannya, arus pengiriman barang (melalui jasa kurir) malah semakin tinggi. Ojek online berkontribusi terhadap kemacetan jalan raya. Apabila kita hanya menghitung biaya yang tampak, jelas kesimpulannya adalah sistem 4.0 ini lebih efisien. Tapi kalau kita menginternalisasi semua eksternalitas lingkungan, saya curiga beban biaya industri 4.0 akan jadi lebih tinggi.

Kedua, kita berbicara tentang masyarakat. Saya kembali merujuk satu serial TV berjudul Persons of Interest, yang bercerita tentang sebuah program di supercomputer yang memiliki algoritma kompleks berdasarkan data pribadi setiap orang (profil media sosial, data jaminan sosial, rekening Bank, catatan kesehatan) dan memprediksi apakah seseorang berpotensi menjadi ancaman bagi negara. Terlalu dramatis dan berlebihan memang, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita sedikit banyak bergerak ke arah itu. Baru-baru ini, misalnya, diberitakan AI yang bisa memodelkan dan memprediksi kapan seseorang akan meninggal dunia. Big datamenjadikan manusia sebagai angka dan pola yang digunakan untuk kepentingan pemilik modal (atau juga pemerintah).

Gilles Deleuze, seorang filsuf ternama dari Perancis, menamakan masyarakat kita saat ini sebagai society of control, yang diatur, diawasi dan dikendalikan oleh kekuatan yang tersebar di masyarakat itu sendiri. Sebuah ramalan jitu dari tulisan yang disusunnya di tahun 1991, Deleuze memprediksi bahwa kekuatan untuk mendisiplinkan masyarakat tidak lagi terletak di tangan pemerintah. Menurut Deleuze, semua orang mengawasi orang lain, dan nantinya kita semua diawasi oleh perusahaan yang memiliki akses terhadap Big Data tersebut (sebut saja: Facebook). Hal yang mengikuti adalah bahwa informasi menjadi begitu banyak dan mudah diakses, tantangan masyarakat saat ini bukan lagi mencari informasi di ruang kosong, tapi mencari informasi yang tepat di antara milyaran data yang tidak relevan. Karena kita selalu ditawari dengan informasi (berharga dan tidak) di layar gawai kita, cara yang paling efektif untuk menyampaikan informasi adalah dengan membuat kita mau menoleh. Era ini yang kemudian dikenal dengan era ekonomi perhatian (attention economy). Masyarakat tidak butuh berita yang benar atau akurat, tapi berita yang bisa menangkap perhatian mereka. Konspirasi di balik peristiwa 911, kisah dramatis orangutan yang ditembaki dengan senapan, plastik yang terperangkap di perut bangkai paus yang terdampar di pantai – semua lebih cepat menarik perhatian kita dibandingkan pengetahuan yang mendasari itu (bioakumulasi, deforestasi, atau konflik). Tidak salah mungkin, apabila kita bisa mengemas pesan yang baik dengan catchphraseyang unik. Tapi yang saya khawatirkan adalah sebaliknya; ambil saja Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengeluarkan beratus cuitan di Twitter, tak peduli apa isinya, lalu dengan santainya menjawab, “I got your attention, didn’t I?

Penutup

Terakhir, hal yang paling menjadi ilusi di Industri 4.0 adalah, bahwa sebagian besar masyarakat dunia, mereka yang tidak memiliki akses terhadap semua infrastruktur canggih ini, pada kenyataannya menjalani business as usual. Studi yang kami lakukan tentang dampak digitalisasi pertanian terhadap petani gurem  sejauh ini menunjukkan bahwa industri 4.0 tidak sekuat itu memberi pengaruh positif. Banyak petani tidak memiliki atau bisa mengoperasikan gawai pintar, dan kalaupun punya, untuk apa?  Ekonomi yang beredar mengelilingi mereka adalah ekonomi klasik yang melibatkan elite desa, bandar, tengkulak, rentenir dan ijon. Masuknya anak-anak muda untuk terlibat membantu para petani, bagi beberapa, tidak memberikan solusi, tapi justru menambah masalah baru. Rantai pasok bertambah panjang. Peran ijon digantikan oleh para startup ini. Kata sebagian, ijon mungkin masih lebih baik, karena toh mereka adalah juga warga lokal yang memiliki kedekatan psikologis, yang selalu bisa dimintai pinjaman untuk anak petani yang sakit atau akan menikah. Sama halnya di kota, dimana masyarakat miskin akan menjadi orang-orang terakhir yang belanja di pasar dan menaiki angkot menyusuri kota, kali ini dengan kepadatan lalulintas yang lebih dahsyat.

Saya bukan anti-pembangunan dan anti-teknologi. Menurut saya, peradaban akan selalu berkembang dalam laju yang kita tidak pernah bisa kita perkirakan (lagipula, siapa sangka teknologi yang diimpikan di Back to the Futurebisa terwujud juga di masa kini?). Meskipun demikian, kita harus sadar bahwa ilusi itu ada, dan menjadi panggilan kita untuk lepas (dan melepaskan yang lain) dari jeratan ilusi itu. Hanya dengan begitu maka kita akan bisa melihat segala kemajuan zaman ini dengan lebih bijak. Pada akhirnya, penting untuk diingat bahwa teknologi hanyalah perantara – yang bisa memecahkan masalah kemanusiaan bukanlah teknologi, tapi manusia itu sendiri.

Rujukan:

Costenaro, D., & Duer, A. (2012, August). The megawatts behind your megabytes: going from data-center to desktop. InACEEE Summer Study on Energy Efficiency in Buildings.

Deleuze, G. (1995). Postscript on control societies.Negotiations: 1972–1990, 177-82.

Fromm, E. (2001).Beyond the chains of illusion: My encounter with Marx and Freud (Vol. 780). A&C Black.

https://www.allaboutlean.com/industry-4-0/

Rujukan film:

The Matrix Trilogy (film layar lebar)

Persons of Interest (serial TV)

Back to the Future: Trilogy (film layar lebar)

[1] Coba saksikan keseruan smart farming system di sini: http://bit.ly/smartfarmvideo

Jumat, 08 Mei 2020

[EDITORIAL] PRO:AKTIF ONLINE NO. 22 / APRIL 2019

Salam Transformasi!

Pro:aktif Online kembali hadir di tengah pembaca sekalian. Dalam edisi kali ini, KAIL membawakan tema “Ekonomi Baru: Peluang dan Tantangannya”. Ekonomi secara bahasa berakar dari Bahasa Yunani “oikonomia” yang berarti seni mengatur rumah tangga. Mengatur rumah tangga di sini, erat kaitannya dengan pengaturan sumberdaya, yang bertujuan agar manusia memperoleh kesejahteraan. Namun demikian, upaya manusia untuk memperoleh kesejahteraan tersebut bergeser hingga akhirnya sistem ekonomi dipandang sebatas pada perdagangan, hal-hal terkait dengan uang, maupun usaha eksploitasi sumber daya materi.

Ekonomi di masa kini mengalami bentuk baru yang ditopang oleh kemajuan di bidang teknologi informasi atau komunikasi atau yang lebih sering kita kenal dengan istilah dikenal sebagai ekonomi digital. Ekonomi digital ini menjadi menarik karena sifatnya yang mengganggu (bahasa kerennya disrupt) semua bentuk praktik ekonomi konvensional. Hampir semua aspek kehidupan kita sehari-hari pun terpapar oleh teknologi digital. Dalam abad yang disebut sebagai abad disrupsi (the age of disruption), diktum yang beredar adalah terdigitalisasi atau terlindas zaman.

Begitu masifnya imbas yg ditimbulkan oleh inovasi-inovasi teknologi ini, beberapa pihak bahkan hingga menyebutkan bahwa kita tengah berada pada dalam sebuah awal menurut masa yg baru. Sesuatu yg oleh beberapa pihak disebut menjadi revolusi industri 4.0. Dengan penemuan teknologi-teknologi baru di bidang berita & komunikasi seperti IoT, AI, hingga Blockchain, revolusi industri ini akan ditandai sang terkoneksinya semua hal, menurut mulai manusia, benda, hingga personal komputer . Hal inilah yg membuat Klaus Schwab, salah satu co-founder dari World Economic Forum & juga pemopuler istilah ini, mendefinisikan revolusi industri 4.0 sebagai mengaburnya batas-batas antara dunia digital, dunia fisik, serta global biologis.

Merasuknya teknologi informasi dan komunikasi di semua lini kehidupan pun membawa dampak yang cukup signifikan, terutama bagi ekonomi. Dengan semua aspek kehidupan yang kini dapat terhubung dengan internet, jarak dan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah nilai dalam aktivitas ekonomi pun dapat dipangkas menjadi sangat kecil. Bahkan Jeremy Rifkin, seorang ekonom dari Amerika Serikat, menyatakan bahwa kita kini berada di dalam zero marginal cost society, sebuah masyarakat dimana marginal cost, biaya yang ditambahkan kepada biaya total dalam memproduksi sebuah produk (jasa atau barang) karena diproduksi secara massal (lebih dari satu), mulai jatuh mendekati angka nol.

Namun hilangnya porto jarak dan waktu tersebut jua mengakibatkan hal yang nir bisa kita duga. Kita mencicipi bahwa roda ekonomi berputar begitu cepat. Hal ini menciptakan apa yang kita kira sebagai praktik umum ekonomi di masa kini bisa berubah hanya pada ketika satu pekan bahkan kurang. Hal ini membuat kita merasa kebingungan & tidak bisa mengira, sesungguhnya kemana bergeraknya roda ekonomi digital ini? Apakah tengah membuat global menjadi tempat yang lebih baik, atau sebaliknya?

----

Untuk tahu hal tersebut, maka pada Pro:aktif kali ini, Angga Dwiartama akan mengajak kita secara beserta-sama buat memahami apa makna sesungguhnya menurut istilah revolusi industri 4.0 dalam Rubrik PIKIR. Pada Rubrik ini, Angga akan mengupas secara tuntas apa sesungguhnya yg disebut menggunakan revolusi industri 4.0 itu, bagaimana beliau berdampak kepada hidup kita sehari-hari, hingga bagaimana kita seharusnya menyikapi istilah ini menggunakan bijak.

Setelah itu, pada Rubrik MASALAH KITA, Achmad Assifa akan mengajak kita memahami bagaimana ekonomi digital merubah struktur dasar aktivitas ekonomi kita menjadi sebuah model ekonomi yang disebut sebagai Gig Economy. Gig Economy adalah sebuah model ekonomi dimana hubungan antara pekerja dan majikan bersifat fleksibel dalam hal ruang dan waktu. Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sendiri yang membuat kita dapat bekerja kapan saja dan dimana saja. Meskipun memberikan banyak kemudahan baik bagi para pekerja, yang dicirikan oleh mulai menjamurnya jenis pekerja lepasan (freelancer), menurut Sifa model ekonomi yang dipopuleri oleh Uber dan AirBnB ini  ternyata menghasilkan beragam permasalahannya sendiri.

Sementara buat Rubrik OPINI, Pro:aktif kali ini akan diisi sang M. Sena Luphdika yang akan membahas mengenai akar pertarungan dari ketimpangan pada sistem ekonomi yg berjalan ketika ini. Dari sana Sena akan membahas mengenai keliru satu kemungkinan jalan keluar yang ternyata sudah berada pada Indonesia relatif lama , yaitu contoh ekonomi koperasi. Di sini pula Sena akan membahas mengapa koperasi itu sebagai salahsatu jalan keluar yg paling mungkin serta contoh-contoh konkret keberhasilan menurut contoh koperasi pada semua global.

Pada Rubrik TIPS kali ini kita akan mendapati bagaimana tips dan trik untuk membuat pikiran yang lebih sehat melalui teknik KonMari dari Aristogama. Teknik yang dipopulerkan oleh Marie Kondo ini terbukti menjadi sangat penting karena di zaman yang serba cepat dan baru ini, manusia semakin berperilaku konsumtif dan sangat bergantung produk-produk tertentu. Teknik KonMari mampu menjernihkan manusia dari segala perilaku konsumtif dan kemelekatan terhadap produk tertentu.  Gamma, menceritakan melalui pengalamannya dalam mempelajari teknik KonMari, berbagi kepada kita bahwa ternyata dengan secara sadar menyadari “kemelekatan” psikologis yang ada pada diri kita terhadap barang-barang kita, kita secara perlahan juga dapat mulai kembali menjernihkan pikiran kita dari segala kecenderungan kita untuk selalu membeli atau berbelanja. Kesadaran ini tentu merupakan langkah awal menuju pada kemandirian ekonomi.

Pada Rubrik PROFIL, Jeremia Manurung mewawancarai Sena Luphdika yang merupakan salah satu co-founder serta CEO dari perusahaan start-up digital bernama Meridian.id yang juga merupakan seorang pegiat koperasi. Dalam wawancaranya kali ini, Jeremia memperlihatkan kepada kita bagaimana perjalanan Sena yang tidak puas dengan ketidakadilan yang terjadi dalam dunia start-up digital dan sistem ekonomi secara umum membawanya kepada ide mengenai koperasi. Tidak saja terbatas pada sekedar ide, dalam wawancaranya kali ini juga Jeremia memperlihatkan bagaimana Sena mulai menerapkan ide mengenai koperasi tersebut menjadi sebuah aksi nyata yang bisa dimulai dari hal yang kecil yang berada di sekitar kehidupan kita sehari-hari.

Rubrik MEDIA akan dibawakan oleh Fransiska Damarratri yang akan membahas bagaimana sesungguhnya praktik pada belakang sistem ekonomi yang membuat krisis 2008 di Amerika Serikat pada film The Big Short. Dalam reviewnya kali ini Siska akan mengulas bagaimana film ini menunjukan kepada kita cara kerja sesungguhnya berdasarkan mesin ekonomi yang berjalan pada dunia pada umumnya dan Amerika Serikat khususnya. Selain itu Siska pula membahas bagaimana praktik-praktik pada belakang sistem ini berdampak secara negatif terhadap ekonomi dan kehidupan kita sehari-hari.

Pada Rubrik JALAN-JALAN kali ini, kita akan dibawa oleh Sally Anom melalui pengalamannya untuk berkunjung ke Suku Baduy Dalam. Dalam perenungannya yang mendalam ini mengenai cara hidup masyarakat Baduy Dalam, Sally memberikan kita perspektif yang segar mengenai cara hidup masyarakat tersebut dalam melakukan praktik ekonomi. Di sana Sally menceritakan bagaimana kegiatan ekonomi dari suku Baduy dalam yang bertumpu kepada azas hidup secukupnya serta  menjaga kelestarian alam sehingga dalam kegiatan transaksi mereka jarang sekali untuk menggunakan uang. Salah satu perspektif yang segar yang dapat membantu kita untuk merenungi bagaimana praktik ekonomi alternatif yang mungkin bagi sistem yang berjalan sekarang ini.

Sebagai penutup, dalam Rubrik RUMAH KAIL kali ini Any Sulistyowati akan menunjukkan bagaimana pengalaman KAIL pada membentuk kemandirian ekonomi melalui kegiatan berkebun pada program Hari Belajar Anak atau disingkat HBA. Melalui kegiatan berkebun pada HBA, KAIL berusaha untuk membangun kemandirian ekonomi yg dimulai menggunakan memupuk pencerahan bahwa berkebun & memasak pangan dari hasil kebun memampukan mereka buat menciptakan makanan sendiri dan nir bergantung dari kuliner yang dibeli menurut luar. Kemandirian berdasarkan sisi pangan ini dibutuhkan menjadi awal menurut kemandirian ekonomi. Kegiatan ini diperkenalkan pada anak-anak, dimana harapannya sehingga ketika mereka dewasa mereka akan mulai bisa memulai mempraktekkan kemandirian tersebut di tempat tinggal tangga masing-masing.

----

Akhir istilah, keseluruhan artikel pada edisi ini diharapkan bisa menginspirasi kita semua terutama pada hal (1) memahami bagaimana sesungguhnya roda ekonomi yg ditunjang oleh perkembangan teknologi digital keterangan & komunikasi ini bekerja, manfaat, peluang, dan tantangannya (dua) mengimajinasikan kemungkinan-kemungkinan dari bentuk-bentuk praktik ekonomi yg lain; dan yg terakhir (3) merogoh tindakan-tindakan nyata yang bisa menciptakan praktik kehidupan yang ditunjang sang bentuk-bentuk ekonomi baru tersebut ke arah kesejahteraan masyarakat secara lebih luas & selaras alam.

Semoga dengan diterbitkan Pro:aktif edisi baru ini kita beserta dapat lebih memahami lagi perubahan akbar apa yg sesungguhnya tengah terjadi pada antara kita seluruh yg diakibatkan oleh teknologi digital & bisa merogoh tindakan konkret sebagai akibatnya kehidupan manusia ke depannya tidak berjalan menuju ke arah yang lebih jelek melainkan berjalan ke arah yg lebih selaras menggunakan manusia & alam.

Tim Editor:

Kukuh Samudra

Okie Fauzi Rachman

Navita Kristi Astuti

Cloud Hosting Indonesia