Tampilkan postingan dengan label Intan Darmawati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Intan Darmawati. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Agustus 2020

[JALAN-JALAN] Pendidikan Pemilih untuk Perempuan

Menjelang Pemilu 2004 yg lalu, seorang staff Kail, Intan Darmawati, berkesempatan menjadi fasilitator training buat pemilih wanita pada Makassar, Manado & Tahuna. Berikut ini cerita lengkapnya.

Menjelang pemilu 2004 yang lalu, aku berkesempatan bergabung dalam tim kerja Panitia Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan, menjadi koordinator fasilitator. Program ini merupakan kerjasama JMP-KWI dan Bipelwan PGI, yang dilakukan dalam empat termin, pada 23 kota dan 1090 lokasi pada semua Indonesia.


Pelatihan diawali dengan TOT (pelatihan buat para calon fasilitator) yg diadakan pada tiga kota, yaitu Jakarta, Makassar dan Denpasar. Ketiga pembinaan ini melibatkan kurang lebih 150 peserta menurut berbagai wilayah di Indonesia. Para peserta inilah yang akan sebagai fasilitator lokal & panitia lokal dan sosialisator dalam training-pembinaan tahap selanjutnya.


Saya sendiri berkesempatan buat memfasilitasi di Makassar, pada mana para pesertanya berasal menurut daerah Sulawesi, Kalimantan Timur, Maluku & Maluku Utara, serta Papua. Hanya terdapat satu orang peserta laki-laki di antara 49 orang peserta perempuan berdasarkan banyak sekali usia dan latar belakang. Keberagaman ini benar-benar memperkaya dinamika proses training, terutama saat penggalian & pemetaan masalah dan kebutuhan. Perbedaan wawasan & kepekaan akan dilema gender untungnya bisa dijembatani melalui sesi ini, sebagai akibatnya peta pertarungan yang timbul sungguh mampu sebagai bahan yang signifikan & membantu pada sesi selanjutnya, yaitu saat mereka menyusun kriteria buat partai politik & calon legislatif; serta dibutuhkan dapat menjadi tawaran rencana untuk mereka perjuangkan.


Walaupun perkara yg timbul terdapat yg tidak sama, akan tetapi terdapat beberapa perkara, terutama yg menyangkut kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan , secara spesifik timbul dan menjadi keprihatinan utama pada masing-masing wilayah. Masalah-masalah pada satu wilayah ternyata juga punya kaitan dengan daerah lainnya. Misalnya kasus HIV/AIDS & prostitusi di Papua, nir terlepas menurut pertarungan pada Minahasa. Keprihatinan bersama ini dalam gilirannya menggugah pencerahan dan kebutuhan akan pentingnya solidaritas & terbentuknya jaringan kerjasama para perempuan , serta terbangunnya komunitas basis wanita.


Selain pada Makassar, aku pula memfasilitasi proses pembinaan pada Manado dan Tahuna. Saya merasa pelatihan ini disambut dengan antusias sang para peserta pada ketiga kota yg aku terlibat langsung tadi. Demikian pula menggunakan yang dialami kawan-mitra fasilitator kawan pada 20 kota lainnya. Jadwal dan materi yg padat tidak mengendorkan semangat atau membuat mereka menyerah. Mereka permanen semangat hingga akhir sesi, dengan keinginan yg bertenaga buat bisa mensosialisasikan balik apa yg mereka peroleh ke komunitas mereka masing-masing. Memang sepulang berdasarkan pembinaan ini setiap peserta bertanggungjawab untuk mensosialisasikan materi pembinaan ini ke minimal 60 orang.
Di Tahuna, sebuah kota pada Kepulauan Sangihe, para perempuan yg hampir semuanya merupakan bunda-mak , antusiasmenya tidak kalah dengan mereka yg terdapat di Manado dan Makassar. Walaupun dalam awalnya poly yg masih takut buat berbicara, akan tetapi mulai sesi pemetaan kasus, mereka mulai berani bicara dan mengemukakan pendapat.


Untuk mengklaim berlangsungnya proses yang sungguh-benar-benar partisipatif dan dari perspektif peserta, metodologi training sebagai sangat penting. Alur pembinaan dibuat dengan mulai berdasarkan peta perkara dan kebutuhan lokal (dan wanita); kemudian dikaitkan dengan signifikansinya dengan Pemilu. Kemudian dilanjutkan menggunakan sesi mengenai Pemilu 2004 itu sendiri dan Kepentingan Perempuan di dalamnya. Setelah itu mereka merefleksikannya dari pertimbangan etis politis. Dari seluruh itu, mereka memperoleh bekal untuk menciptakan kriteria ideal partai politik (parpol) dan calon legislatif (caleg). Berdasarkan kriteria inilah mereka kemudia bersama-sama belajar menganalisis parpol dan caleg; sehingga mereka bisa menentukan pilihannya secara bebas & kritis. Tentunya, peluang & tantangan ini kemudian ditindaklanjuti menggunakan menciptakan taktik jangka pendek juga jangka panjang.


Pendidikan Pemilih ini dalam jangka panjang bertujuan mempersiapkan perempuan pada pendidikan politik. Pelatihan yang merogoh tema "Suara Perempuan buat Perubahan" ini memang ingin konsisten dengan tujuannya, yaitu memberdayakan suara perempuan buat menciptakan perubahan (transformasi sosial) menuju demokratisasi.


Secara keseluruhan, training ini boleh dikatakan berhasil, walaupun pada sana-sini terdapat keterbatasan dan kelemahannya. Apalagi respon yang hangat dan penuh semangat dari para peserta, terutama yang di daerah-wilayah, telah menjadi pemacu semangat juga bagi para fasilitator yg telah menempuh perjalanan jauh. Semoga saja pendidikan dan penyadaran misalnya ini tidak berhenti sebatas program apalagi hanya sebuah proyek saja!


(Intan)




HEADLINE TV (hdtv.co.id) terus berupaya meningkatkan wawasan dan pengetahuan para pemirsa dan juga menjadi media yang memiliki kredibilitas, kecepatan dan ketepatan dalam menyampaikan informasi di Kalimantan


hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv

Kamis, 06 Agustus 2020

[TIPS] Mengatasi Kaki Yang Pegal dan Telapak Kaki Yang Pecah-pecah

Sebagai aktivis yang memiliki kegiatan & gerak tinggi, kita kerapkali nir punya saat buat memperhatikan diri kita sendiri. Perjalanan ke lapangan dan perjalanan lain yang biasa kita tempuh menjadi bagian dari konsekuensi aktivitas kita, tanpa kita sadari mempengaruhi kesehatan kita, yg selanjutnya sanggup berdampak dalam kinerja kita juga.
Kaki, menjadi salah satu bagian tubuh kita yg sangat menunjang kegiatan kita menjadi aktivis patut kita beri perhatian juga. Setelah perjalanan jauh, dalam kondisi cuaca yg kering dan berdebu, ataupun hujan, kaki kita seringkali menjadi capek, telapaknya pecah-pecah, lembab ataupun berkeringat sebagai akibatnya mengeluarkan bau tidak sedap. Untuk mengurangi rasa pegal dan pecah-pecah, ada sedikit tips yg mungkin sanggup berguna bagi rekan-rekan.

Bahan-bahan yg perlu dipersiapkan:
Air suam-suam kuku pada baskom atau ember
Amplas buat kaki atau batu apung
Sikat gigi bekas
Kain lap kering
Garam


Caranya:
1. Masukkan garam secukupnya pada air suam-suam kuku dalam baskom, kemudian celupkan kaki selama 10 mnt. Kalau mau, bisa sambil menghidupkan dupa atau aroma terapi lainnya sehingga kita terbantu buat bersantai/rileks. Selain memakai aroma terapi siap gunakan yg bisa dibeli pada toko-toko, aroma terapi mampu dibuat sendiri menggunakan membakar kulit jeruk.
Dua. Angkat kaki kiri, lap menggunakan kain kering & amplas tumit & bagian kaki yg pecah-pecah. Kemudian sikat sela-sela kuku yang mungkin diselipi tanah atau kotoran. Lakukan yg sama dengan kaki yang satunya. Untuk membantu meningkatkan kecepatan pemulihan, pijat telapak kaki & betis dengan lotion kaki.


Terapi ini dilakukan relatif seringkali buat yg kondisi kakinya relatif parah (kira-kira 3 hari sekali), & diperjarang frekuensinya seiring dengan membaiknya kondisi kaki.


Selamat mencoba!
(intan)





HEADLINE TV (hdtv.co.id) terus berupaya meningkatkan wawasan dan pengetahuan para pemirsa dan juga menjadi media yang memiliki kredibilitas, kecepatan dan ketepatan dalam menyampaikan informasi di Kalimantan


hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv

Rabu, 05 Agustus 2020

[MASALAH KITA] Pergulatan dan Dialektika Aktivis Perempuan

Dengan makin kuatnya tuntutan arus demokrasi, dibarengi krisis yg melanda negeri ini, yg makin diperparah dengan tanggapan pihak penguasa lewat rekayasa & teror kekerasan; kesadaran & gerakan masa warga yang selama ini mengalami ketidakadilan dan ketertindasan menjadi makin terlihat. Termasuk para bunda yg tergabung dalam SIP (Suara Ibu Peduli) mulai memasuki kancah publik menggunakan menggunakan gosip domestik buat memperjuangkan keprihatinan mereka. Isu SARA yg dipakai untuk menghidupkan kerusuhan di banyak sekali wilayah pada negeri ini, yg berpuncak pada bencana Mei 1998 makin memperkuat solidaritas para perempuan dan juga laki-laki buat beranjak. Aktivis-aktivis muda dan tua bangkit pulang, bersama-sama berkecimpung menantang teror, rekayasa & kekerasan ini. Realita ketidakadilan sosial yang dialami mulai dikaitkan & dimintakan pertanggungjawaban lewat ideologi negara dan kepercayaan serta budaya.

Kail berkesempatan mewawancarai 7 orang ibu yang aktif dalam JMP (Jaringan Mitra Perempuan) mengenai pergulatan dan tanggapan mereka pada menyiasati konstruksi sosial (melalui keluarga, budaya dan negara) tentang Kedanquot;ibu"an mereka, khususnya pada menjalankan peran mereka sebagai aktivis.


Konstruksi sosial mengenai ?Ibu?
Dari ketujuh responden, konstruksi sosial famili-lah yg pertama-tama mereka alami & paling berpengaruh bagi pembentukan gender mereka, yg tercerap pada ihwal, pikiran, pemahaman, perilaku dan tindakan mereka baik secara langsung maupun sosial. Dari keluargalah (terutama berdasarkan bunda & relasinya menggunakan ayah & kakek mereka), mereka belajar buat sebagai seorang wanita, dan kelak sebagai seseorang istri & ibu. Ajaran, larangan & nilai-nilai yg disosialisasikan kadangkala tidak eksplisit, tapi sebagai model hidup yang harus mereka teladani. Dari ke 7 responden ini kebetulan 5 dari mereka kebetulan dari menurut Jawa Tengah (orang Jawa), sebagai akibatnya budaya Jawa yang patriarkhis mendominasi skenario hayati mereka. Dua orang lainnya yg beretnis Tionghoa juga membicarakan bagaimana tradisi sebagai unsur yg mayoritas pada konstruksi sosial mereka.

Sumber gambar: Kompas, 1 Oktober 2003, laman 2.

Pada konteks Indonesia, negara mengambil alih pendefinisian makna masyarakat negara perempuannya. Pada masa Orba, perempuan diideologikan menggunakan bahasa yang mempesona & diberi peranan mendukung pada (proyek) pembangunan. Pengideologian ini berhasil menciptakan bukti diri wanita dalam berbagai bentuk pemuliaan semu dengan karakteristik utamanya adalah kepatuhan. Konstruksi keibuan ini adalah deretan konsep budaya Jawa dan Belanda (Sears, Laurie. Introduction: Fragile Identities, dalam Sears, L (Ed). Fantasizing The Feminine in Indonesia. London: Duke University Press. 1996. Hal 33). Selama ini negara cenderung memanipulasi konsep wanita sebagai "istri", " ibu", atau keduanya, tergantung kebutuhan. Misalnya melalui Dharma Wanita, peran perempuan jelas-jelas secara struktural dianggap menjadi pendukung karir suami, seolah-olah perempuan tidak mempunyai pekerjaan & karir sendiri. Demikian jua mobilisasi massa wanita buat mensukseskan acara pembangunan, baik secara sukarela juga paksaan, melalui program PKK, Posyandu dan Keluarga Berencana.
Konstruksi sosial tentang wanita, khususnya sebagai istri & bunda ini disadari benar oleh para aktivis ini, dan banyak dari mereka yang menginternalisasinya selama ini. Misalnya, Bu Pratiwi wajib siap menggunakan resiko dicerca atas pemberontakannya sebagai aktivis sebagai konsekuensi menurut menjadi bagian menurut famili yang termasuk birokrat.


Pergulatan & Dialektikanya
Konstruksi sosial yg ditanamkan ternyata membawa impak yang tidak sama dan ditanggapi secara tidak selaras dalam masing-masing individunya. Beberapa dari mereka bahkan tak jarang dihinggapi rasa bersalah dan merasa bukan perempuan , bahkan sebagai "sakit jiwadanquot; lantaran konsep ke-mak -an yang dikonstruksikan bagi mereka.


Bagi Bu Pratiwi contohnya, konstruksi ini menciptakan dia frustasi dan sempat merasa bukan perempuan (sempurna) karena tidak mampu mengurus rumah dan nir sanggup masak; lantaran konsep perempuan ideal yang selama ini diajarkan adalah bahwa perempuan mesti sanggup mengurus urusan tempat tinggal , mengolah, mencuci & menjahit. Perasaan ini makin bertenaga ketika belum kunjung punya anak. Tapi setelah terdapat perubahan pandangan, ternyata hayati menjadi perempuan dirasakan lebih nyaman, tidak terdapat keharusan yg ditentukan dari luar, sehingga tidak sebagai kaku. Proses perubahan kerangka berpikir itu membuat ia lebih mendapat orang apa adanya. Perubahan ini diperoleh berdasarkan kecintaannya pada buku, lewat pergaulan dengan teman-sahabat aktivis wanita, lewat pergaulan menggunakan JMP dan dengan mengobrol. Suami Bu Pratiwi yg orang Kalimantan, sedikit poly pula berperan dalam proses penerimaan diri dan perubahan paradigma ini. Budaya dan eksklusif oleh suami yg nir mengambil peran stereotipe dan kaku mengenai seseorang suami & bapak, walaupun dengan kekeraskepalaannya sendiri, sudah membangun sebuah dialektika tersendiri bagi kehidupan famili mereka sebagai sesama aktivis.
Bu Lim, kebalikannya, dengan suami yg sangat patriarkhis, mengalami pergulatan yang lebih berat buat berdialektika menggunakan pemahaman barunya mengenai relasi wanita & pria. Aktivitas & perjuangannya menjadi aktivis wanita tidak berarti beliau mampu membarui atau mempengaruhi suaminya semudah itu. Perlu ada taktik & perundingan eksklusif sehingga sedikit-sedikit mereka berproses bersama menuju rekanan yang lebih setara. Pengakuan akan eksistensi diri & perjuangannya hanya mampu dicapai menggunakan taktik yang nir frontal, nir dengan marah-marah, tapi justru menggunakan kepekaan & pengenalan diri pasangannya, fleksibilitas dan kelincahan berbahasa.
Strategi dan perundingan yg cerdik ini juga diterapkan sang Yani dalam menghadapi suaminya yg patriarkhis & cenderung nir setia. Hanya pada hal pendidikan anak, mereka bisa mencapai kesepakatan , & hal inilah yang sebagai titik berangkat bagi Yani buat mempertahankan keluarganya. Pengalamannya hayati dalam konstruksi famili Jawa yang patriarkhis & feodal, yang ia internalisasi pada paruh waktu kehidupan tempat tinggal tangganya, ternyata menciptakan ia merasa menjadi "sakit jiwa", terguncang dan capek sekali. Ia malah mengakibatkan dirinya orang lain, sebagai terasing dari dirinya sendiri. Kesempurnaan peran istri yg dia jalankan menurut idealisasi konsep istri dan mak yang dikonstruksikan budaya, keluarga & negara nir menciptakan ia terlepas menurut korban ketidakadilan menurut suaminya & keluarganya. Pengalaman menyakitkan ini untungnya tidak dia tanggapi dengan berputus harapan dan pasrah saja. Didukung sang rekan-rekan aktivisnya, ibunya dan terutama keyakinan dan kemauan dirinya, Yani mampu mengganti pengalaman ketertindasannya sebagai momen buat memberdayakan kembali dirinya. Proses jatuh bangun yang dia alami tidak menyurutkan langkahnya buat terus bertahan & membantu orang lain buat berjuang jua. Kunci menurut proses pendewasaannya merupakan kerelaan & kerendahan hati untuk memberi kesempatan bagi dirinya & orang lain buat menerima yg terbaik, kerendahan hati buat belajar dan permanen memiliki asa. Semuanya asal menurut kekuatan Iman dan Kasih.
Lain lagi menggunakan Bu Wati, dialektika relasinya dengan suami dan anak, serta menggunakan keluarga kedua belah pihak terjadi lewat percakapan yg ada lantaran kebutuhan simpel. Misalnya masalah pembagian peran pada rumah tangga serta tanggung jawab & pengambilan keputusan. Beruntung memang, suaminya relatif gampang diajak berkompromi dan berproses bersama, walaupun proses ini tidak terlepas menurut pertarungan dan tegangan. Masalah kegiatan pada luar rumahnya yg menuntut mobilitas tinggi sudah dinegosiasikan jauh sebelumnya dengan suaminya, sebagai akibatnya nir lagi menjadi potensi konflik di kemudian hari.
Perasaan bersalah tak jarang kali sebagai bagian berdasarkan diri Bu Ambar waktu konstruksi itu ia internalisasi. Otonomi diri dipercaya identitik dengan egoisme, & itu antagonis dengan kasih - yg seharusnya dimiliki oleh seseorang ibu. Tuntutan-tuntutan yg diberikan pada seseorang ibu dirasakan olehnya terlalu berat & membebani, merasa terbelenggu, stress dan merasa "diperbudak". Kesadaran akan ketidakadilan gender akibat konstruksi budaya khususnya, mulai dirasakan lewat bacaan dan cerita tentang wanita Jawa; terutama jua lewat pengalaman konkretnya. Selanjutnya pencerahan itu mulai disosialisasikan lewat tulisan-tulisan dan lewat aktivitasnya di JMP.
Perasaan bersalah pula hinggap di hati Bu Sri, lantaran ia nir mampu mengolah. Tapi ini wajib dia bayar dengan mengkompensasikan menggunakan kesempurnaan pekerjaan tempat tinggal tangga lainnya dan dengan menaruh pekerjaan memasak ini pada pembantunya. Ketakutan jika-jikalau dia tidak sanggup membahagiakan suaminya serta ketakutan buat memilih, serta keharusan buat berbasa-basi makin dirasakan melelahkan. Keterlibatannya di JMP telah membawa perubahan, termasuk cara berelasi dengan suaminya. Ia menjadi lebih berani untuk menentukan perilaku, lebih terbuka & mampu mengambil posisi sebagai pribadi. Perubahan ini dirasakan lebih membebaskan, nir lagi stress; bisa mendengarkan orang lain dan menghargai mereka. Selain itu juga belajar mendapat disparitas dan nir memaksakan kehendak, lebih inklusif dan tidak feodal. Yang penting bagaimana kegiatan di luar tempat tinggal nir membuat keadaan di tempat tinggal menjadi berkonflik.


Bagi para ibu yg aktivis ini, perjuangan visi mereka menjadi aktivis nir terlepas dari proses dialektika mereka pada tempat tinggal tangga mereka sendiri. Keberhasilan mensugesti dan membawa perubahan yang lebih baik dalam rekanan mereka sendiri, tidak berarti bahwa kini giliran mereka buat mendominasi atau sewenang-wenang, akan tetapi justru lebih dalam penghormatan, kesetaraan dan penerimaan serta keterbukaan akan orang lain.


Akhir Kata?.
Pilihan sebagai seseorang aktivis tidaklah mudah. Dilahirkan menjadi seseorang perempuan pada budaya & sistem yg patriarkhis jua tidak gampang. Maka, sebagai wanita sekaligus aktivis sebagai kesulitan dan tantangan tersendiri, apalagi bila beliau memperjuangan keadilan dan perubahan bagi ketertindasan kaumnya sendiri. Permasalahan dan pergulatan yang dihadapi membutuhkan proses panjang dan kerjasama berdasarkan pasangannya, menurut warga dan perlu dukungan menurut institusi negara, budaya dan pula kepercayaan . Siasat dan taktik yg tidak konfrontatif, kreatif & fleksibel diperlukan dalam usahanya buat mendekonstruksi simbol & pemaknaan konsep yang terlanjur dipercaya kodrat selama ini.


Upaya transformasi & perubahan paradigma ini hanya mungkin ditempuh dengan berjejaring dan membentuk solidaritas beserta pada gerakan beserta: wanita dan pria. Semuanya mungkin buat dilaksanakan & bertahan, karena terdapat roh yg menggerakkan mereka. Seperti yang dikemukakan Pratiwi, bahwa dia melakukan semuanya ini karena dorongan hati, serta kepedulian terhadap manusia. Kepedulian ini pula yang menggerakkan Wati, lantaran beliau ingin lebih banyak orang yang punya kepedulian terhadap masalah-perkara yg kita hadapi, sehingga tercipta dunia baru yg lebih adil. Visi ini diteguhkan sang semangat dan ajaran yang beliau yakini, yaitu mengenai Kasih & pengampunan.


Semoga saja semangat kasih yang demikian kuat didengungkan & dimaknai pada rekonstruksi konsep ke-bunda-an para aktivis ini pula bergema dan menyemangati kita & para aktivis lainnya, tidak hanya terbatas dalam rekanan antar perempuan dan laki-laki , akan tetapi jua rekanan kita menggunakan alam lingkungan kita!


(Intan Darmawati)






































Senin, 03 Agustus 2020

[JALAN-JALAN] “Suara Perempuan Untuk Perubahan”: Pendidikan Pemilih Perempuan 2004

Pelatihan Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan 2004, yang diselenggarakan oleh Sekretariat JMP-KWI dan bipelwan PGI di 23 kota di Indonesia Februari-Maret 2004 yang lalu, mengambil tema “Suara Perempuan untuk Perubahan”. Sesuai dengan tujuan pelatihan, yaitu memberdayakan suara perempuan untuk membuat perubahan (transformasi sosial) menuju demokratisasi. Oleh karena itu, modul dan silabuspun dibuat konsisten dengan pilihan metode dan alur proses yang dibuat separtisipatif mungkin, dan mampu memberdayakan suara perempuan, melalui dan menuju demokratisasi.

Metode yang digunakan selalu dimulai dengan penggalian informasi dari para partisipan, dan membuat partisipan terlibat aktif. Proses dimulai dengan introduksi tentang latar belakang, tujuan dan garis besar alur proses pelatihan; kemudian perkenalan serta penggalian harapan dan motivasi. Pada sesi ini diharapkan terjadi keterbukaan; semangat berbagi dan bekerjasama antar partisipan, panitia dan fasilitator. Selain itu juga digali motivasi dan harapan ikut pelatihan serta apa yang bisa menjadi kontribusi masing-masing peran selama dan setelah pelatihan ini.


Dalam suatu pelatihan yang partisipatif, situasi yang kondusif perlu dibangun. Lewat sesi sebelumnya pengkondisian sudah dimulai, dan dilanjutkan dengan dibuatnya kesepakatan bersama yang akan berlaku selama proses supaya dapat berjalan lancar dan berhasil memenuhi harapan semua pihak. Jadwal dan aturan main selama pelatihan disusun bersama, sehingga masing-masing terlibat dan bertanggungjawab terhadap keberhasilan proses. Ini adalah salah satu ciri pendidikan orang dewasa.


Setelah suasana mulai cair, masuk sesi pemetaan masalah dan kebutuhan lokal, masing-masing partisipan diajak untuk kritis serta peka dalam memahami masalah (sosial-politik) juga kebutuhan lokal baik secara makro maupun yang spesifik perempuan di masing-masing level kebutuhan. Curah pendapat dan sharing serta proses analisis ini kemudian dikelompokkan dan dipetakan sesuai kategori, dengan tetap memperhatikan keunikan masing-masing wilayah. Dari peta ini partisipan mencoba melihat keterkaitannya dengan Pemilu serta proses demokrasi secara umum.


Kaitan antara peta masalah dan kebutuhan lokal dengan pemilu ini mengarah pada kebutuhan untuk memahami Pemilu 2004 secara khusus. Pada sesi ini diharapkan terbangun pemahaman dan kesadaran pentingnya proses demokratisasi dan transformasi sosial bagi seluruh masyarakat, dan kaitannya dengan Pemilu. Pada sesi ini, diberikan tambahan informasi dari nara sumber yang berkaitan dengan Pemilu 2004, yaitu dari KPU dan Panwaslu. Pada sesi pemahaman tentang sistem Pemilu, khususnya teknis pencoblosan, partisipan mendapat pengalaman langsung dengan simulasi.


Kemudian masuk tahap kesadaran kritis dan pemahaman akan pentingnya partisipasi aktif perempuan dalam proses demokrasi dan transformasi sosial-politik; makna suara dan keterwakilan perempuan; serta apa peluang, tantangan, hambatan serta implikasi sistem Pemilu 2004 bagi perempuan.


Dari sini proses bergulir pada kesadaran dan pemahaman akan pentingnya etika politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada sesi ini partisipan mencoba melihat etika politik yang menjadi landasan dalam memilih.


Berdasar pada proses dalam sesi-sesi sebelumnya, partisipan bersama-sama mendiskusikan dan menyusun kriteria-kriteria parpol dan caleg yang dapat dijadikan tolak ukur untuk menentukan pilihan secara bebas dan kritis dalam Pemilu 2004. Kriteria yang ditetapkan sesuai dengan situasi, permasalahan dan kebutuhan lokal masing-masing. Dari kriteria ini mereka membuat analisis parpol dan caleg berdasarkan informasi yang ada.


Hasil analisis menunjukkan adanya kesenjangan antara kondisi riil perpolitikan dengan kriteria ideal yang mereka buat dan dengan prinsip-prinsip etika politk yang diinginkan bersama. Karena itu, disusun strategi tindak lanjut dalam jangka panjang dan pendek untuk mensikapi kesenjangan tersebut. Pada sesi ini diharapkan dibuatnya kontrak politik, terbangunnya simpul-simpul jaringan perempuan dan komunitas basis perempuan yang dapat berfungsi sebagai “perlawanan” dan menjalankan fungsi pengawasan-kontrol.


Sebagai strategi jangka pendek, dipilih program sosialisasi. Karena itu para partisipan belajar bersama teknik memfasilitasi dan pengenalan metode pelatihan.


Keseluruhan acara ditutup dengan evaluasi bersama, yang diharapkan dapat memberikan umpan balik dan masukan bagi perbaikan proses pelatihan selanjutnya. Evaluasi menjadi penting artinya bagi sebuah proses belajar bersama, di mana fasilitator dan partisipan dengan rendah hati mau menerima masukan serta kritik yang membangun; dalam suasana yang terbuka dan setara. Dari hasil evaluasi partisipan di 23 kota, hampir semua partisipan merasa bahwa proses pelatihan dan metode yang digunakan sangat partisipatif dan membantu untuk berproses bersama. Di beberapa kota, berubahnya jadwal nara sumber menyebabkan alur proses menjadi terganggu. Alur menjadi tidak runut/sistematis lagi, apalagi kalau penjelasan dari nara sumber tidak sesuai dengan tujuan/sasaran dari sesi.


Sebagai fasilitator yang menyusun modul, dan memfasilitasi pelaksanaan pelatihan, kita diharapkan memiliki kreativitas dan fleksibilitas yang tinggi, terutama ketika menghadapi situasi yang di luar perencanaan kita. Baik itu berkaitan dengan nara sumber ataupun dengan dinamika partisipan.
(intan)
































Minggu, 02 Agustus 2020

[PROFIL] Lusia Ping: Sang Penyambung Generasi Dayung



Menyusuri Sungai Mendalam di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kita akan menemui masyarakat Daya? Subsuku Kayaan yang mendiami kampung-kampung di sepanjang sungai. Secara garis besar , mereka mempunyai 2 budaya besar , yaitu budaya ngayau dan budaya dayung [1] . Rupanya budaya yang lebih berkembang lalu di rakyat Kayaan Mendalam merupakan budaya dayung.
Istilah dayung, pada mulanya memiliki tiga arti. Pertama, sebagai sebuah bentuk doa yg dilantunkan menggunakan irama eksklusif dan berbentuk syair dengan sajak yang berpola. Kedua adalah orang yang melakukan dan memimpin segala ritus keagamaan pada upacara istiadat mereka dengan melantunkan dayung, yaitu mereka yg berperan sebagai imam; disebut dayung juga. Hampir seluruh dayung pada sepanjang sejarah Kayaan, adalah wanita. Ketiga, kata dayung ini dalam jaman dahulu dikenakan juga dalam mereka yg memiliki kemampuan buat mengobati dan menyembuhkan penyakit. Dayung mengobati ini kebanyakan jua perempuan .


Sejarah dayung, baik dalam arti sebuah doa maupun imamnya, berkaitan erat dengan sejarah (upacara) Dange [2].


Begitu sentralnya kiprah dan posisi seseorang dayung, maka fungsi ini nir sanggup dijalankan oleh sembarang orang. Lantaran itulah, posisi seorang dayung pada masyarakat sangat terhormat & krusial. Sekarang, sesudah kepercayaan resmi masuk di bumi Mendalam, peran & kedudukan dayung-pun bergeser. Walaupun kepercayaan sekarang berusaha mengakomodir istiadat & tradisi dulu, akan tetapi kedudukannya sebagai lebih diskriminasi.


Justru akhirnya yang terjadi dalam para dayung kini merupakan multi beban, lantaran mereka tetap wajib menjalankan fungsi domestik, fungsi produksi (berladang, berkebun dan kadang menganyam), fungsi sosial kemasyarakatan, & sekaligus fungsi religiositas (sebagai dayung). Apalagi bila mereka kebetulan juga merupakan pengajar. Tidak sporadis terjadi permasalahan-konflik pula, tapi mereka tetap bertahan.


Dalam konteks inilah, sosok seseorang Lusia Ping, atau yang biasa dikenal dengan Bu Ping hadir & bermakna. Bu Ping, seorang perempuan yang berusia sekitar 40 tahun, sehari-hari berprofesi menjadi guru sekolah dasar sekaligus petani. Bersuamikan seorang pensiunan guru yg beretnis Jawa, mereka kebetulan tidak mempunyai anak. Yang menarik & menonjol menurut sosok wanita Kayaan satu ini adalah perannya menjadi dayung.


Ketika Dange dan segala ritualnya mulai diakomodir oleh kepercayaan resmi, Bu Ping, menjadi wanita belia saat itu, yg bukan seseorang dayung tata cara, sebagai tokoh di garis depan bersama menggunakan nenek Tipung-sang dayung aya? (dayung akbar/senior) buat pulang menghidupkan dan melestarikan adat mereka. Walaupun belum berstatus dayung, Bu Ping merogoh posisi menjadi motivator dan penggerak serta ?Penyambung generasi para dayung?. Ia belajar & menggali balik serta mengumpulkan kebijakan lokal yg sempat hilang, belajar menurut subjek sejarah yg masih hayati waktu itu, yakni nenek Tipung & beberapa tokoh norma yang sudah tua. Kearifan tradisional yg dituangkan dalam dayung & hayati pada dayung itu mulai dicatat & dibukukan.


Para dayung ini melakukan proses kaderisasi & pembelajaran menggunakan cara-cara yg informal, dengan tradisi lisan & dilakukan sambil melakukan pekerjaan-pekerjaan sehari-hari wanita. Bahkan dalam sakitnya yg relatif parah, nenek Tipung masih pula menyediakan dirinya buat belajar beserta Bu Ping, yg akan meneruskan balik pada dayung-dayung belia (dayung uk) lainnya. Sambil berbaring, duduk pada atas tikar, mereka belajar. Nenek Tipung melantunkan dan mempraktekkan dayung, diikuti Bu Ping, sembari dihafalkan dan dicatat. Demikian berulang-ulang hingga benar -betul menguasai. Semua ini dilakukan pada sela-sela waktu mereka yg sangat padat & sibuk, terutama dengan banyaknya peran yang dipikul perempuan .


Proses kaderisasi ini kemudian diteruskan dengan merekrut para wanita muda buat melanjutkan tongkat estafet sejarah dayung. Bu Ping jugalah yg mempunyai kiprah akbar dalam merekrut, memotivasi, bernegosiasi & mendorong para wanita ini buat mau belajar tata cara & sejarah mereka lagi. Pekerjaan ini diakui tidak gampang oleh Bu Ping, lantaran pada mulanya orang takut buat mulai lagi menggali adat, dan lantaran nir sembarang orang bisa sebagai dayung. Mereka takut nenek moyang mereka marah kalau tidak dilakukan sama persis menggunakan istiadat dulu. Mulai dengan 6 orang teman, Bu Ping tidak putus harapan. Belum lagi mereka menemui kesulitan buat belajar apa yang dulu telah ditinggalkan. Ketakutan & rasa memalukan dan tidak percaya diri berdasarkan rekan-rekan mudanya ini disikapi menggunakan sabar sang Bu Ping. Ia tidak pernah memaksa seseorang buat melakukan apa yg dia inginkan. Tapi dengan membiarkan mereka menemukan sendiri, diikuti menggunakan proses perundingan dan diskusi, serta teladan yg tiada henti. Untuk itu beliau perlu memahami karakter rekan-rekannya, sebagai akibatnya proses kaderisasi ini bisa berjalan mulus. Seperti yang dikatakan,? Kita tidak usah menunjukkan marah atau ngomel. Kita mau mendidik orang, nanti orang malah lari.?


Kesabaran & tekatnya terbukti membuahkan output. Tahun ke-dua uji coba proses inkulturasi norma dange pada liturgi resmi agama sudah menerangkan output yang menggembirakan. Makin banyak orang yang berminat buat belajar dan bergabung. Perasaan takut & malu jua mulai bisa diatasi.


Para dayung sekarang telah bisa belajar menggunakan catatan, nir harus menghafal, dan nir wajib dijadikan dayung lewat mimpi atau penyakit. Motivasi menjadi dayung sekarang lebih dari karena minat, hobbi ataupun keharusan buat menjaga tradisi. Tapi poly jua yg mau sebagai dayung, lantaran dayung adalah doa, dan lantaran kehidupan religius mereka masih sangat pekat maka lewat doalah mereka memperoleh kelegaan, kedamaian dan pengharapan. Bu Ping sendiri merasa: ?Lezat cita rasanya jika berdoa dengan berdayung, sambil bernyanyi dan menari. Rasanya meresap...?


Dalam kehidupan religius, yang paling aktif & berperan merupakan para perempuan . Merekalah yg paling setia & yang mengambil tanggungjawab terbesar. Tapi hal ini tidak berarti mereka tidak peka & kritis terhadap perkara-kasus sosial, keagamaan & masalah lingkungan di sekitar mereka.


Adalah beberapa orang yang masih punya kesadaran dan kekritisan, yang mau melihat dan memperjuangkan kembali keberlangsungan hayati pada lingkungan Kayaan Mendalam. Bu Ping, sebagai keliru satunya, ikut serta dalam momen itu. Sebagai contoh, pada tahun 1999, lebih kurang 300 orang Kayaan berdemonstrasi ke DPRD buat menuntut dicabutnya HPH dan HTI, & melarang mereka beroperasi lagi di daerah Mendalam. Para wanita ikut dan berdasarkan awal proses hingga akhir. Mereka menari di depan kantor DRPD menggunakan menggunakan sandang norma.
Bu Ping, nenek Tipung (yg lepas 29 April 2004 lalu tewas), serta para wanita Kayaan ini juga menyadari & mengalami dampak berdasarkan kerusakan lingkungannya, nir hanya hutan, akan tetapi jua air sungai. Kekritisan & kiprah serta mereka yang teramat besar pada sejarah hidup masyarakat Kayaan patut diberi acungan jempol. Kesetiaan dan usaha mereka yg tak kenal lelah buat terus mengembangkan budaya kehidupan selayaknya kita dukung. Bu Ping, beserta wanita-perempuan Kayaan yg terdapat nun jauh di Mendalam sana, sudah memberi kita teladan bagaimana menciptakan sebuah proses belajar beserta yang lebih arif, nir otoriter dan penuh kekerasan, sekaligus kritis & konsisten.


Catatan:
[1] Budaya ngayau adalah budaya yang berkaitan dengan peperangan (yang lebih bersifat fisik) untuk memerangi dan mengalahkan musuh, biasanya menggunakan senjata seperti parang, yang disebut mandau. Secara spesifik, musuh biasanya dikalahkan dengan memolong leher mereka (cara seperti inilah yang dikenal dengan me-ngayau). Sedangkan budaya dayung adalah budaya yang berkaitan dengan segala bentuk kehidupan religiositas mereka.
[2] Dange adalah upacara terpenting dan terbesar bagi masyarakat Kayaan Mendalam. Dange adalah sebuah upacara pesta panen, yang merupakan ungkapan syukur mereka atas hasil panen, dan segala berkat dan rahmat yang telah mereka terima selama satu tahun. Sekaligus, mereka meminta berkat dan perlindungan untuk masa tanam yang akan datang.
(Intan Darmawati)










































[MEDIA] Resensi Film: MONA LISA SMILE



Judul : Mona Lisa Smile
Tahun : 2004
Produksi : Columbia Pictures & Sony Pictures Entertainment
Produser : Elaine Goldsmith; Thomas Paul Schiff; Deborah Schindler
Sutradara : Mike Newell
Pemain : Julia Roberts; Kirsten Dunst; Julia Stiles; Maggie Gylenhaal


Latar belakang cerita ini berdasarkan pada tahun 1953, di mana pembakuan peran gender (masih) sangat ketat dipegang. Seperti sudah dimulai oleh pendahulu mereka dalam abad 18, dalam masa ini jugalah para feminis liberal telah memulai gerakannya. Feminisme liberal sedikit poly ditentukan sang pemikiran liberalisme dan modernisme yg menekankan kebebasan individual. Para pemikir & aktivis yg tergolong dalam feminisme gelombang ini melihat adanya kebijakan yang tidak adil, dengan adanya disparitas kesempatan serta hak antara wanita dan laki-laki . Pendidikan yg mengembangkan rasionalitas hanya diberikan pada laki-laki , di mana intelektual pria dipercaya superior & pekerjaan perempuan ?Hanyalah? Sebagai istri & mak ? Dan dipercaya nir penting.


Katherine Watson, tokoh yang diperankan oleh Julia Robert ini mewakili feminis liberal abad 20 yg menginginkan perubahan lebih baik bagi wanita, lewat pendidikan. Sebagai seorang guru sejarah seni, Katherine tiba ke Wellsley College, sebuah sekolah khusus perempuan yang populer sangat konvensional, buat menciptakan perubahan! Pemikiran, gaya hayati, pendekatan dan cara mengajarnya yg di luar pakem menantang institusi & segenap penghuninya buat melihat melampaui apa yg dibayangkan dan dikonstruksikan selama ini. Sekolah yang reputasinya populer dan dipercaya sukses karena berhasil mendidik anak-anak perempuan menjadi istri yg baik ini, terguncang menggunakan adanya sebuah pemikiran dan pendidikan ?Cara lain ?, yang coba diusung dan diwakili oleh sosok Katherine ini.


Keluar dari konstruksi sosial dan memilih pilihan secara bebas dan kritis memang tidak semudah membalikkan tangan. Menjadi pendobrak & motivator bagi proses perubahan ini lebih tidak mudah lagi. Pergulatan seseorang Katherine Watson dalam mewujudkan idealismenya mendapat tantangan & pengkayaan lewat pertemuannya dengan anak didik-anak didik perempuan . Sebuah tawaran yg bagi sekelompok orang dipercaya membebaskan dan adil, mungkin ditanggapi menjadi ancaman sang mereka yg terlanjur diuntungkan dalam sistem seks/gender yg melenakan & sudah menghegemoni ini.


Film ini menyuguhkan kisah relatif menarik, serta didukung sang para seniman yang bermain cukup bagus, walaupun dengan bumbu-bumbu yang khas Hollywood, tetapi kiranya tetap layak buat kita tonton. Nampaknya gosip & perjuangan para feminis liberal semenjak abad 18 & berkembang hingga abad 20 ini masih relevan pada kehidupan kita. Perjuangan para feminis gelombang pertama ini nampaknya belum kunjung usia & terwujud sinkron cita-cita. Lewat film ini kita sanggup lebih mengenal sebagian pemikiran & perjuangan feminis liberal abad-20. Sedikit banyak, kita jadi teringat jua menggunakan tokoh wanita kita, yg masuk dalam golongan ini, yaitu RA.Kartini. Mungkin film ini mampu ditonton & direfleksikan pada rangka merayakan hari Kartini, sebagai ganti lomba kebaya & merangkai bunga! (intan)


















Rabu, 15 Juli 2020

[Tips] Menjadi Bahagia Melalui Emotion Freedom Techniques



Ketika kita sanggup mengelola emosi kita, maka kita bisa membebaskan emosi-emosi negatif & menggunakan demikian sebagai insan yg cerdas secara emosional. Bagaimana kita mampu sebagai cerdas secara emosional dan membebaskan emosi-emosi negatif kita?
Dewasa ini terdapat berbagai metode yang ditemukan untuk mengatasi persoalan-persoalan emosi.  Mulai dari metode konseling psikologis dan psikoterapi konvensional, NLP, hypnoterapi, TAT (Tapas Akupresure) sampai ke EFT (Emosional Freedom Technique).  Masing-masing metode memiliki keunikan dan kelebihannya masing-masing.  Empat metode terakhir yang disebutkan biasanya disebut sebagai metode instan, karena memang dampaknya langsung bisa dirasakan segera sesudah terapi dilakukan.
Pada kesempatan ini kita akan membahas EFT untuk mengatasi persoalan-persoalan yang terkait emosional.  Masalah-masalah itu bisa terwujud dalam berbagai symptom, seperti: kecanduan, eating disorder, mental blok, phobia, trauma, psikosomatis, dll.


Metode EFT pertama kali diperkenalkan oleh Gary Craig.  Dia memanfaatkan ilmu akupuntur ke dalam terapi.  Konsep EFT didasarkan pada keyakinan bahwa masalah emosional berakar dari gangguan energi tubuh.  Maka, intervensi pada sistem tubuh-dengan menstimulus (dalam EFT lewat tapping/ketukan jari) titik-titik energi/meridian akan menyelaraskan energi tubuh, mengubah kimiawi otak dan selanjutnya mengubah kondisi emosi menjadi lebih positif. Energi sangat berperan dalam hidup kita, karena gangguan pada energi akan menyebabkan gangguan pada emosi dan atau fisik.
EFT pada dasarnya adalah menyelaraskan dan memperbaiki kembali energi dalam tubuh lewat stimulasi pada titik-titik energi yang disebut sebagai meridian pada teori akupuntur.  Bedanya kalau akupuntur menggunakan jarum sebagai alatnya, EFT menggunakan tapping (ketukan ringan dengan jari tangan).  Dengan menyelaraskan energi ini, maka emosi dan atau fisik juga jadi selaras dan sehat.
Metode EFT sangat mudah dilakukan dan efektif.  Setiap orang bisa melakukannya sendiri dimanapun dan kapanpun.  Kita juga bisa melakukannya untuk orang lain, baik secara langsung dan berhadapan secara fisik maupun tidak secara langsung/dari jarak jauh lewat transfer energi melalui alam bawah sadar (kondisi terhypnosis).  Di Indonesia, EFT sudah digunakan dan dikembangkan oleh banyak praktisi untuk berbagai masalah.  Ahmad Faiz, salah satu praktisi EFT, mengembangkannya menjadi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) dengan menambahkan unsur spiritual.
Pada dasarnya ada 3 tahapan dalam melakukan 1 siklus EFT.  Tahap pertama disebut dengan “The Set Up”,   tahap kedua: “ The Sequence ” dan ketiga: ”The 9 Gamut Procedure”.
1. The Set Up
Tahap pertama ini adalah tahap yang paling penting dari seluruh proses dan menjadi penentu dari keberhasilan proses EFT.  Seperti kita meletakkan baterai kita pada posisi + - di arah yang tepat, tahap pertama ini mempersiapkan sistem energi kita, supaya memastikan energi bekerja pada arah yang tepat.  Kadang-kadang sistem energi kita bisa terhalang oleh sistem kepercayaan yang negatif ataupun blok mental yang biasa disebut sebagai “perlawanan psikologis”.  Misal: saya tidak yakin saya bisa disembuhkan, saya takut masalah saya terlalu berat, dll.   Inti dari tahap pertama ini adalah penerimaan diri walau apapun yang terjadi, dan keyakinan positif bahwa kita akan disembuhkan.
Tahap ini dilakukan dengan mengetuk “Karate Cop” atau menggosok “Sore Spot/tender spot” (lihat gambar) , sambil mengucapkan kata-kata afirmasi dengan penuh kepasrahkan sebanyak 3 kali.  Jika anda merasa lebih yakin, bisa ditambahkan dengan kalimat doa yang biasa anda ucapkan di depan kata afirmasi berikut ini:
?Walaupun aku _________(kasus yang dikeluhkan), saya bisa menerima diri saya sepenuhnya dan seutuhnya.



2.
The Sequence
Tahap ini adalah tahap penyelarasan energi.  Penyelarasan dilakukan dengan mengetuk titik-titik akhir pada meridian utama tubuh.  Ketukan dilakukan dengan tangan yang biasa digunakan (kanan atau kiri), menggunakan jari telunjuk dan jari tengah.  Titik-titik yang akan ditekuk ada di sebelah kanan dan kiri tubuh.  Maka, tidak masalah bagian tubuh sebelah mana yang anda ketuk, juga tidak masalah jika anda mengetuknya berpindah dari bagian tubuh sebelah kanan ke kiri atau sebaliknya.  Pada setiap titik, ketuk minimal 7 kali sambil mengucapkan kata pengingat.  Kata pengingat adalah masalah yang anda keluhkan.  Ucapkan sambil anda fokus dan rasakan kembali masalah itu.  Misal: jika anda sakit kepala, fokus pada sakit kepalanya dan rasakan sakitnya.  Sambil anda ucapkan “sakit kepala” terus-menerus, ketuk sebanyak 7 kali titik-titik berikut (lihat gambar):



The 3. 9 Gamut Procedure
Ini adalah sentuhan akhir bagi otak kita, lewat gerakan mata, gumaman, dan berhitung.  Saat mata digerakkan, lewat syaraf-syaraf penghubung, beberapa bagian dari otak terstimulasi.  Saat kita menggumamkan lagu, otak kanan kita terstimulasi.  Sedangkan saat kita berhitung, otak kiri kita terstimulasi juga.
Tahap ini dilakukan dengan melakukan 9 langkah berikut adalah sembari mengetuk titik gamut (lihat gambar):



a. Tutup mata
b. Buka mata
c. Lihat ke kanan paling bawah tanpa menundukkan kepala
d. Lihat ke kiri paling bawah tanpa menundukkan kepala
e. Putar bola mata searah jarum jam
f. Putar bola mata berlawanan jarum jam
g. Gumamkan lagu selama 2 menit (lagu yang membuat bahagia, misal: Happy Birthday)
h. Hitung 1 sampai 5
i. Gumamkan lagu lagi selama 2 menit.


Untuk menerima output yang aporisma, setelah termin tiga, ulangi termin dua.
Selamat melakukan!


Dirangkum & diterjemahkan oleh: Intan Darmawati.
Untuk penerangan lebih lanjut, kunjungi: www.Emofree.Com













































Cloud Hosting Indonesia