Tampilkan postingan dengan label Selly Agustina. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Selly Agustina. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 Juli 2020

[MASALAH KITA] Suka Duka Menjadi Relawan

Jujur, pengalaman aku menjadi relawan tidaklah poly, akan tetapi dari pengalaman yg hanya beberapa itu kemudian aku merasa ketagihan. Mungkin terdengar relatif hiperbola, tapi rasanya benar-benar terdapat kepuasan tersendiri ketika tahu bahwa sedikit saja bantuan kita ternyata mampu meringankan beban orang lain. Dan nyatanya tidak semua orang bisa mengerti akan situasi itu apabila tidak merasakannya sendiri.
Beberapa teman dekat saya bilang “Ngapain sih kamu capek-capek kerja buat orang lain tapi gak dibayar?” Padahal sebenarnya saya mengharap sesuatu yang lain dari hanya sekedar materi. Saya ingin mendapat berbagai pengalaman dan ilmu baru, punya banyak teman baru untuk saling berbagi, bahkan kesempatan terekspos dengan segala hal yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Hidup itu, kan, bukan hanya tentang uang, semua ini membuat saya lebih bersyukur dan menghargai hidup.

Bagi saya, menyumbangkan ketika, energi & pikiran menggunakan menjadi relawan merupakan keliru satu upaya buat ekspresi selain hobi. Apabila hobi hanya terkait dengan urusan pada pada diri sendiri, kerelawanan mengondisikan kita buat berhubungan dengan orang lain. Ini krusial lantaran manusia adalah mahluk sosial. Tetapi, jika siap menjadi relawan juga harus siap menghadapi cermin sosial yang berkembang pada masyarakat lebih kurang kita. Orang-orang terdekat seperti famili, teman atau tetangga sanggup saja memberi komentar negatif terhadap pilihan sebagai relawan. Kadang, tanggapan kurang menyenangkan pula datang dari pihak yg kita bantu secara sukarela. Tapi sepanjang niat kita baik & nir merugikan orang lain, terbukti selama ini saya selalu sukses dan menerima kebahagiaan menggunakan sebagai relawan.
Saya masih jangan lupa pada athun baru 2012, saya bertemu seseorang bapak dari Australia bernama Chris Hindes. Beliau menuturkan bahwa, sebagai relawan sudah memberikan kepuasan batin di masa tuanya, setelah di masa belia beliau sibuk sebagai pekerja kantoran hingga nir menyadari putrinya tiba-datang saja sebagai dewasa kemudian menikah dan meninggalkan ayahnya. Cerita ini menyadarkan saya bahwa menjadi relawan itu termasuk kebutuhan tiap orang, bahkan bagi para karyawan yg bekerja menggunakan rutinitas.


Testimoni beberapa teman yang pernah atau masih menjadi relawan menyatakan hal yang sama menggunakan pada atas, yaitu menjadi berikut :
“Menjadi volunteer itu menyenangkan. Karena bisa bertemu orang baru, berjumpa orang dengan pemikiran baru. Bisa mempelajari cara pandang yang berbeda maupun ilmu baru. Kita bisa ketemu orang dengan background yang berbeda, jadi bisa belajar.” Menurut Puput, seorang mahasiswi jurusan Psikologi Unpad yang aktif berkegiatan di TedX Bandung.
“Pertama jadi volunteer di tahun 2001, saya menjadi dokter pendamping ke Kalimantan. Sebenernya pada awalnya saya takut, tapi kemudian saya banyak belajar, berinteraksi dengan masyarakat asli. Apalagi wilayah kerja saya di daerah konflik. Saya jadi volunteer yang dikirim ke daerah-daerah konflik di dalam hutan. Saya rasa menjadi volunteeradalah kebutuhan manusia yang paling tinggi tingkatnya. Saya belajar ikhlas dan dengan demikian jadi bahagia. Juga, bisa ketemu temenbaru, belajar hal baru.” Tutur Desmond, seorang mantan relawan daerah konflik yang sekarang bekerja mengurus relawan di museum Asia Afrika Bandung.
Seorang teman yang juga pegiat lingkungan menuturkan, “Dengan menjadi volunteer, kita pun melakukan proses pengembangan diri. Pengembangan diri bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui outbound atau jalan-jalan. Namun, nilai tambah dari volunteeringadalah manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Daripada ikut outbound dan jalan-jalan, belum tentu bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Bahkan bisa menambah jejak karbon.” Terlihat jelas bahwa kegiatan menjadi relawan apalagi di bidang yang sesuai dengan ketertarikan akan membawa pada kesadaran dan kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan.
Bila kita menengok Kota Bandung yang sekarang menjadi kota dengan segudang aktivitas dan acara hore-horekhas anak muda, fenomena volunterisme ikut menjadi tren seiring meningkatnya jumlah acara tersebut. Banyak yang menyayangkan bahwa “anak-anak gaul Bandung” ikut-ikutan menjadikan kerelawanan sebagai gaya hidup dengan motivasi ingin sekadar “numpang nampang”. Seperti kata seorang teman yang mengatakan bahwa, “Saya berharap makin banyak orang yang tertarik jadi relawan, karena sungguh tertarik dengan tema yang diusung. Bukan jadi relawan di mana-mana tapi tidak jelas apa yang menjadi ketertarikannya.”
Persoalan maraknya “relawan eventdadakan ini juga sempat dibahas juga oleh Anilawati Nurwakhidin, seorang aktivis lingkungan dari YPBB Bandung. Dia mengatakan, “Yang lebih penting adalah semangatnya, bahwa seseorang jadi relawan karena memang dia mau, dan akhirnya tujuan jadi relawannya bisa meningkat dari yang semula ingin tahu, hingga akhirnya dia muncul keinginan untuk memperjuangkan sesuatu. Karena banyak orang yang di awal minatnya ingin nampang, tapi nggak apa-apa, orang-orang seperti itu mesti tetap difasilitasi, nanti pelan-pelan dia akan menyadari bahwa gerakan yang dia lakukan ini memang penting.” Kurang lebih saya setuju dengan pendapatnya, semua hal besar bisa dimulai dari yang kecil.
Jadi apapun motivasi menurut setiap orang sebagai relawan, tidak terdapat salahnya buat mencoba hal baru & menemukan keasyikan pada dalamnya. Dan menurut seluruh orang yang aku temui & pernah menjadi relawan, saya menyimpulkan bahwa mereka mencicipi lebih poly suka cita daripada duka lara selama malang melintang menjadi relawan. Tidak perlu paras mengagumkan secantik Miss Universe, otak seencer bensin, atau sekaya Bill Gates buat menjadi relawan, relatif menggunakan semangat saling menyebarkan, ikhlas & mau mencoba.
(Selly Agustina)













Rabu, 08 Juli 2020

[JALAN-JALAN] Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah, Solusi Kreatif Dunia Pendidikan



Pada bulan Mei 2012, saya beruntung mendapat kesempatan berkunjung ke desa Kalibening, Salatiga dan berjumpa dengan teman-teman pengurus Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). SPPQT merupakan gabungan kelompok tani yang beranggotakan lebih dari 16.000 orang yang tersebar di seluruh provinsi Jawa Tengah. Di sana saya melakukan wawancara dan Focus Group Discussion kepada banyak petani. Dari mereka, saya  banyak belajar kearifan lokal masyarakat perdesaan. Banyak dari mereka yang memiliki semangat dan cita-cita tinggi di balik segala keterbatasan. Setelah menginap beberapa hari di rumah-rumah warga, saya disarankan untuk melihat-lihat sebuah sekolah alternatif yang merupakan salah satu cabang kegiatan dari SPPQT.





Sekolah ini digagas oleh Ahmad Bahruddin yang merupakan salah satu pendiri SPPQT. Berawal dari kesulitan keuangan beberapa warga desa Kalibening untuk mendapatkan sekolah berkualitas dengan biaya terjangkau, maka Bahruddin sebagai Kepala RW saat itu nekat mendirikan  sekolah yang tidak mengacu pada kurikulum nasional. Sekolah berbasiskan murid sebagai subjek utama dan guru hanya memfasilitasi murid yang belajar sesuai keinginan mereka. Tidak seperti sekolah pada umumnya yang kita tahu, mereka dibebaskan memilih sendiri pelajaran apa yang mereka sukai, belajar di mana saja mereka mau, pada jam berapa bahkan menilai sendiri hasil pekerjaan mereka.


Mas Bahruddin dan karya anak-anak SPPQT
Pada saat saya datang di rumahnya,Mas Bahruddin yang setia dengan rambut gondrong dikuncir itu sedang berkumpul bersama beberapa anak dan seorang mahasiswa yang sedang melakukan penelitian. Saya bersama tim disambut hangat dan langsung disuguhi banyak karya seperti buku, novel, lagu dan film yang sudah dihasilkan anak-anak kreatif dari sekolah alternatif tersebut. Ternyata meskipun terbilang sederhana, namun banyak prestasi yang sudah mereka torehkan. Apalagi ditambah cerita dari Bahruddin bahwa beberapa hari sebelumnya iabaru saja menyelesaikan syuting untuk liputan Kick Andy di Jakarta. Memang sudah banyak media dan lembaga yang mengangkat keunikan sekolah alternatif Qaryah Thayyibah, termasuk salah satu komisi di DPR.

Berbincang bersama Mas Bahruddin terasa sangat menginspirasi. Semangatnya yang menggebu-gebu seakan menular dan memberi energi positif pada saya. Dia adalah contoh anak bangsa yang tidak hanya melontarkan kritik pedas kepada pemerintah tetapi membuat inovasi sekaligus memberdayakan warga. Saya ingat kritik beliau tentang suatu program yang mengirimkan mahasiswa-mahasiswa mengajar ke daerah terpencil di Indonesia, yang sebetulnya saya pernah tertarik mendaftar. Beliau mengatakan,  bahwa sesungguhnya yang dilakukan oleh seorang guru bukanlah mengajari murid, melainkan guru dan murid bersama-sama belajar dan tidak ada yang lebih pintar dalam hal ini. Dengan posisi yang setara, guru dan murid justru bisa mendapat banyak ilmu dari proses tersebut. Itulah sebabnya, beliau tidak pernah menyebut dirinya guru atau kepala sekolah.
Saya diajak berkeliling ke sebuah bangunan baru berlantai lima yang berfungsi sebagai kelas. Di lantai paling atas terdapat asrama. Lantai dasar merupakan sebuah ruangan luas yg acapkali digunakan anak-anak buat membuat karya dan memajangnya.
Sungguh aku terkagum-kagum dibuatnya saat melihat output karya (seni) anak-anak di sana. Banyak lukisan latif, sketsa, karikatur, keramik, & benda-benda seni lainnya. Iklim kreativitas sangat pekat membius diri aku . Dalam hati, saya sedikit menyesali masa-masa sekolah dahulu waktu aku memaksa diri buat monoton mengasah otak kiri agar mampu berprestasi di bidang akademik. Berbeda dengan anak-anak pada Qaryah Thayyibah yang di usia muda mantap dengan pilihan minat & bakatnya masing-masing kemudian berkembang sebagai dirinya yg terbaik.



Staff Kail pada depan kelas SPPQT



Potensi dan ketertarikan setiap orang itu berbeda-beda, setiap kita adalah unik. Hal itu yang sepertinya dicoba dikembangkan di sekolah alternatif QT. Saya sempat berkenalan dengan beberapa anak di sana. Ada sinar harapan yang memancar dari mata mereka juga kepercayaan diri yang tinggi dalam berekspresi. Mereka disiplin dengan pilihan mereka dan bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri. Kalau sudah bahagia dengan menjadi yang terbaik bagi diri sendiri sehingga kualitas hidup tercapai, rasanya tidak ada gunanya lagi ijazah sekolah formal. Namun, outputyang dihasilkan bukan sembarangan. Contohnya buku-buku yang mereka tulis dan terbitkan sendiri terbukti berkualitas dan sangat berisi. Ketika saya membaca salah satu buku, saya bahkan tidak percaya bahwa penulisnya adalah seorang anak yang masih berumur 13 tahun. Tak heran ada penerbit besar yang kemudian tertarik menerbitkan buku-buku tersebut. Sepertinya memang saya harus belajar banyak dari anak-anak cerdas itu, dari sekolah alternatif Qaryah Thayyibah, Mas Bahruddin,dan Desa Kalibening. Maka ketika saya pamit dan ditawari untuk live in di sana, alangkah antusiasnya saya menyambut tawaran emas itu!


(Selly Agustina)




















Rabu, 01 Juli 2020

[Opini] Seni yang Merakyat



Oleh: Selly Agustina

Bagi saya, sebagai pengamat dan pelaku seni, adalah  suatu kesenangan dan  kepuasan hati ketika dapat menuangkan ekspresi diri saya dalam kegiatan melukis, bermain musik atau menulis. Kenikmatan dalam mengekspresikan diri melalui seni tentu dialami oleh orang lain juga. Orang-orang yang menyebut dirinya seniman, mengekspresikan diri melalui seni, dan mencapai aktualisasi di bidang ini.

Namun demikian, pernahkah pembaca  berpikir bahwa seni bisa mempengaruhi suatu tatanan politik dan sosial di dalam masyarakat? Meski banyak kalangan seniman mempertahankan karya seninya bebas nilai, namun perkembangan seni kontemporer saat ini  tidak terlepas dari pengaruh sistem sosial dan politik yang ada.


Kita ingat dalam masa revolusi kemerdekaan di tahun 1945, bahwa

seni muncul di tembok-tembok bangunan dengan kata-kata bersifat agitatif seperti: “Merdeka atao emati!” “Oesir Kompeni!” dan lain-lain. Kata-kata dengan esensi yang sama juga muncul pada karya Affandi yaitu “Boeng, ajo Boeng!” Kekuatan perpaduan antara gambar dan kata-kata bisa menggerakkan kepekaan seseorang terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Di sini kita lihat fungsi seni sebagai media komunikasi.



Seni kontemporer muncul dari sekelompok seniman yang mencetuskan jalan alternatif sebagai bentuk perlawanan terhadap seni modern yang terkesan ekslusif. Meskipun hanya sebagai alat atau media, seni ternyata juga berperan dalam propaganda atau advokasi yang berpotensi mempengaruhi perubahan sosial.  Akhir-akhir ini, kita sering melihat seni pertunjukan (performance art) pada kegiatan demonstrasi para aktivis, dan hal ini mengundang rasa ingin tahu khalayak.


Seni mural atau graffiti adalah bentuk perlawanan lainnya. Namun, ada pihak tertentu menganggap bahwa seni mural adalah bentuk vandalisme, merusak estetika bangunan dan fasilitas umum. Ada yang menganggap graffiti lahir karena kurangnya ruang publik untuk berekspresi di tengah arus komersialisasi oleh korporasi atas ruang-ruang publik.  Di sisi lain, saat ini ruang-ruang publik kita sudah dipenuhi oleh polusi visual berupa baliho caleg ataupun iklan-iklan produk yang mendorong pada budaya konsumerisme.



Seni Mural di Babakan Siliwangi, Bandung. Sumber : www.Bandungview.Gosip



Seni yang disebut di atas muncul dan berkembang pesat di belahan bumi lain seperti Eropa dan Amerika sejak tahun 80-an, yang dikenal dengan istilah street art. Salah satu yang menjadi favorit saya yaitu Banksy, seorang seniman jalanan sekaligus aktivis yang vokal menyuarakan isu politik maupun lingkungan melalui karyanya di jalanan London. Seniman graffiti tersebut tidak pernah diketahui wujud aslinya tetapi ketenarannya melebihi selebriti sehingga karyanya memiliki nilai jual sampai jutaan dolar.


Di Bandung sendiri ada nama Arman Jamparing yang mengundang kekaguman saya berikutnya. Seniman yang sudah aktif turun ke jalan sejak masa reformasi itu lebih memilih untuk menyalurkan keprihatinannya terhadap kondisi sosial-politik lewat coretan-coretan di ruang publik. Akhir November lalu saya berkesempatan menghadiri pameran seni karya Arman Jamparing di sebuah galeri seni besar dan terkenal di Bandung.  Pameran seperti ini tentu memberi peluang bagi keprihatinan Arman Jamparing untuk disebarluaskan kepada khalayak, bahwa ruang publik pun dapat dimanfaatkan secara elegan untuk meneriakkan keprihatinan sosial politik melalui seni. Keprihatinan tak lagi hanya dimiliki oleh seniman tersebut, tetapi meluas ke audiens yang menghadiri pameran tersebut.


Di bidang musik, ada Kartika Jahja atau lebih dikenal dengan panggilan Tika, seorang vokalis dari sebuah grup musik Tika and The Dissidents. Selain menjadi vokalis, Tika dikenal sebagai aktivis perempuan yang concern terhadap isu gender dan persamaan hak. Tika menulis sendiri lirik dalam lagu-lagunya. Sebut saja lagu “Mayday” yang bermuatan kritik politik yang tajam dalam membela kaum buruh. Mungkin banyak yang kurang mengenalnya di dalam negeri, tetapi lagunya menarik perhatian banyak orang di mancanegara bahkan menjadi lagu resmi serikat buruh di Detroit pada hari buruh. Tidak perlu disangsikan lagi kualitas musikalitas dan intelektualitas Tika yang merupakan lulusan Seattle ini. Dia mendapat banyak pujian dari para kritikus musik karena berhasil menggabungkan berbagai macam aliran music seperti jazz, blues, dan tango, dengan lirik yang kritis.


Yayak Yatmaka, seorang seniman lukis yang juga membangun lagu-lagu yg berpihak dalam rakyat. Lukisan-lukisannya mencerminkan kritik kerasnya terhadap pemerintah, terutama pemerintah Orde Baru. Lagu-lagu ciptaannya dinyanyikan dan disebarluaskan oleh para aktivis mahasiswa juga pendamping masyarakat, bahkan acapkali dinyanyikan dalam saat demonstrasi buat menyalakan semangat para demonstran, misalnya lagu ?Topi Jerami?, ?Rakyat Bersatu?, ?Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan? Dan lainnya.


Beliau tahu betul, bahwa media seni, dalam hal ini ia menggunakan media gambar sebagai ‘senjata’nya untuk berjuang menyuarakan keprihatinan sosial dan politik. Berikut adalah cuplikan tulisan dari buku yang ditulisnya, “Aku berharap segala pemahaman yang diperoleh dari buku ini bisa menjadi landasan untuk menentukan pilihan keberpihakan dan penyadaran diri serta selalu awas. Setidaknya menjadi bahan untuk katarsis. Jadi tahu, bahwa di sebalik gambar, memang nyata persoalan hidup mati manusia. Bisa menjadi alat untuk memperjuangkan kehidupan bersama menjadi lebih bermartabat.”



Karya Yayak Yatmaka. Sumber : yayak-yatmaka.Blogspot.Com



Tak sedikit karya seni yang menyuarakan keprihatinan sosial maupun lingkungan mendapat kecaman dari pihak yang merasa digugat. Bahkan tak sedikit pula yang dikejar-kejar oleh pihak berwenang di jaman itu, dengan maksud untuk membungkam ekspresi seniman tersebut.  Penguasa yang diktator tentu tak ingin rakyat bangkit melawan penindasan dan ketidakadilan.Seniman yang berpihak pada rakyat lemah  memandang seni sebagai corong ekspresi jiwa, meneriakkan kegelisahan yang mereka rasakan. Mereka turut peduli dengan fenomena sosial, lingkungan maupun politik melalui karya seni mereka. Kesemuanya itu adalah ekspresi kegelisahan jiwa mereka atas peristiwa maupun fenomena yang tengah berlangsung di sekitar mereka.


Di sisi lain, masyarakat memang perlu diajak untuk peduli. Masyarakat perlu menuntut hak mereka buat terlaksananyapemerataan keadilan, terhindar dari penindasan & terlepas berdasarkan perbudakan. Menggugah masyarakat melalui sebuah karya seni merupakan galat satu pilihan, dan sesungguhnya adalah suatu bentuk kebebasan dalam berekspresi setiap rakyat negara.


Adalah pekerjaan tempat tinggal bagi kita seluruh, buat mempertahankan karya seni yg bisa menyuarakan keprihatinan rakyat. Para artis menggunakan karya seninya beserta-sama menggunakan masyarakat perlu bersatu dalam arah usaha yang sama. Seni dan warga perlu saling melengkapi, lantaran seni merupakan ekspresi yang otentik dari jiwa insan. Seni menjadi indera buat memanusiakan insan. Seni yg hakiki merupakan seni yg peduli dalam pemerataan keadilan & pemenuhan hak asasi manusia.















































Selasa, 30 Juni 2020

[JALAN-JALAN] Taman-Taman Kota di Bandung, Pendukung Gerakan Hidup Sehat Warga

Oleh: Selly Agustina
Banyak penelitian yg mengungkapkan bahwa kualitas hidup rakyat perkotaan lebih rendah berdasarkan rakyat perdesaan. Pertambahan penduduk yg sangat tinggi pada kota seringkalimelampaui kemampuan daya dukung lingkungannya, sehingga berimbas pada kualitas hayati insan yang semakin rendah. Semakin meningkat jumlah populasi maka semakin poly asal daya alam yang digunakan buat memenuhi kebutuhan jua semakin poly limbah yang dihasilkan. Pada tahun 1990, hanya 14 persen menurut penduduk global yg tinggal pada kota akbar. Tahun 2008, penduduk yang tinggal pada kota semakin tinggi menjadi 50 persen. PBB memperkirakan jumlah penduduk dunia yang tinggal pada kota akbar akan semakin tinggi sebagai 70 %. Hal ini menyebabkan aneka macam
perseteruan sosial, ekonomi, keamanan, kesejahteraan, ketersediaan huma, air higienis, kebutuhan pangan, dan dapat berdampak dalam kerusakan lingkungan dan kesehatan warganya.

Kepadatan penduduk mendorong peningkatan kebutuhan akan lahan permukiman, alat transportasi, dan kawasan industri yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) sehingga mengakibatkan kadar CO2 dan CO di udara semakin tinggi. Udara kota yang kurang sehat karena polusi kendaraan bermotor dan industri akan menurunkan kualitas kesehatan warganya. Polusi di perkotaan mempengaruhi kesehatan manusia sejak masih di dalam kandungan. Ibu hamil yang terpapar polutan akan menurunkannya pada janin yang dikandung sehingga rentan terhadap penyakit. Misalnya polutan yang bernama Xenoestrogen, dialirkan ke dalam darah bayi sehingga para anak yang tinggal di kota-kota besar sudah terkena polusi sejak di dalam kandungan. Zat ini banyak ditemukan pada asap kendaraan bermotor maupun asap pabrik yang berakibat dapat memicu obesitas, hiperaktif, pubertas dini, masalah kesuburan, kanker payudara, kanker paru-paru, dan kanker prostat. Selain itu, ibu yang tinggal di daerah perkotaan ditemukan melahirkan bayi yang lebih sensitif terhadap alergi dibanding bayi yang lahir dari ibu di daerah perdesaan.


Hal lainyang nir kalah krusial menurut efek hayati pada perkotaan merupakan perkara kesehatan psikologis. Warga kota cenderung dilanda stres lantaran tekanan pekerjaan pada tempat kerja belum lagi kesibukan yang tinggi menyebabkan aktivitas rekreasi berkurang. Sebuah penelitian memberitahuakn bahwa bayi yang lahir dan tumbuh pada kota besar berpotensi menghadapi aneka macam perkara kesehatan, baik secara fisik maupun mental yang berfokus. Dr. Glyn Lewis berdasarkan Institute of Psychiatry pada London, menjelaskan bahwa penyakit otak misalnya Skizofrenia terjadi dua kali lebih tinggi terhadap laki-laki yg lahir & dibesarkan di area perkotaan. Masyarakat perkotaan jua memiliki resiko 39 persen lebih besar merasakan depresi dan gangguan bipolar, serta 21 persen menaikkan rasa panik dan fobia berlebihan. Wanita muda yg tumbuh di perkotaan jua mempunyai resiko 5 kali lebih besar terkena kasus gangguan makan misalnya bulimia.


Masalah fisik dan psikis yang sering dialami masyarakat di perkotaan saat ini sebenarnya dapat dikurangi dengan cara memberdayakan ruang-ruang publik terutama Ruang Terbuka Hijau sebagai pusat kegiatan warga di waktu senggang. Baru-baru ini Kota Bandung tengah heboh dengan renovasi beberapa taman sebagai area publik. Sebut saja Taman Lansia, Taman Pustaka Bunga, Taman Fotografi dan yang paling banyak dibicarakan khalayak yaitu Taman Jomblo. Mengapa pemerintah Kota Bandung menganggap bahwa taman merupakan hal yang strategis perlu segera dibenahi? Karena selain untuk memenuhi amanat Undang-Undang yang mengharuskan luas Ruang Terbuka Hijau minimal 30%,juga untuk memenuhi aspek kesehatan fisik dan psikologis warga kota. Taman kota diharapkan menjadi replika kecil dari hutan alam, banyak flora dan fauna yang juga bisa hidup di sebuah taman. Kita tahu bahwa pohon bisa menghasilkan oksigen dan menyimpan cadangan air. Hal ini sangat berguna untuk mencegah banjir saat musim hujan atau kekeringan saat musim kemarau. Selain itu, hewan-hewan yang hidup di dalamnya menjagakeanekaragaman hayati di perkotaan dan berfungsi sebagai penyeimbang alam.


Dengan banyaknya area-area publik yg mampu menggunakan gampang diakses setiap ketika, dibutuhkan semakin poly orang yang beraktivitas dan berekreasi sekadar buat melepas ketegangan menurut penatnya rutinitas sehari-hari. Kegiatan rekreasi terbukti efektif buat mencegah dan mengurangi gejala stres atau depresi. Seseorang yang berkunjung ke taman kota akan dapat merasakan banyak sekali manfaat sekaligus, mulai dari mencicipi udara higienis hingga bersosialisasi dengan masyarakat kota lainnya. Menghidupkan pulang taman kota menjadi pusat kegiatan warga secara nir eksklusif akan berkontribusi dalam perkembangan komunitas & gerakan anak muda.





Foto : Dokumentasi kegiatan Hari Belajar Anak yg diselenggarakan sang Kail, pada rangka memeriahkan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Agustus 2013

Di Bandung, saat ini masih ada sejumlah komunitas yg seringkali melakukan kegiatan pada taman kota diantaranya : Komunitas Aleut, Komunitas Bandung Berkebun, Komunitas Taman Kota, Komunitas Sahabat Kota, Komunitas Fotografi, & lain-lain. Mereka sadar akan pentingnya taman kota menjadi media perkembangan masyarakat, dengan atau tanpa campur tangan pemerintah. Kegiatan komunitas-komunitas ini difokuskan pada pengembangan kualitas insan, baik melalui program-acara bersifat intelektual, sosial & lingkungan.


Galih Sedayu, seorang penggagas komunitas fotografi di Bandung, menuturkan bahwa komunitasnya rutin berkegiatan minimal tiga kali dalam seminggu di Taman Cempaka untuk menggelar kelas fotografi, workshop, diskusi dansarasehan. Bahkan dengan keluarga pun, Kang Galih (begitu biasanya saya menyapa) sering melakukan kegiatan sarapan bersama. Dengan adanya fasilitas internet yang mendukung kegiatan belajar serta public furniture yang eye catching, menarik banyak warga datang ke taman untuk sekadar berkumpul, bermain atau melakukan kegiatan edukasi. Menurutnya, fungsi sosial sebuah taman kota saat ini semakin terlihat jelas.




Foto dari blog langsung Galih Sedayu: http://fotografius.Wordpress.Com/pembicara-fotografi/


Untuk mendukung kegiatan warga di taman kota, diperlukan sarana dan prasarana yang mendukung antara lain toilet umum, tempat sampah, mushola, dan lain-lain. Sayangnya perawatan fasilitas publik di Bandung sangat mengecewakan seiring kurangnya kesadaran dan rasa memiliki dari para warganya. Di Taman Lansia sendiri, saya melihat banyak sekali sampah berserakan dan toilet umum yang kurang terawat dengan baik. Dalam hal ini, fungsi komunitas dan kelompok masyarakat sangat penting dalam menjaga keindahan dan fasilitas di taman kota.


Dampak renovasi taman juga dirasakan sangat menyenangkan dan sangat menguntungkan oleh Bu Tini, pendiri komunitas GSSI. Namun Bu Tini juga menyayangkan kondisi beberapa taman kota yang kurang terawat karena masalah sampah yang berserakan. Ibu rumah tangga yang aktif di pelbagai komunitas di Bandung ini, hampir bisa dipastikan berkunjung ke taman kota minimal seminggu sekali, berkeliling ke Taman Cempaka, Taman Pustaka Bunga, Taman Tongkeng, Taman Ganeca, dan lain-lain. Beliau merasakan dampak positif dari renovasi taman kota tematik terhadap perkembangan keluarga dan komunitasnya. Biasanya Bu Tini bersama anak-anaknya dan para relawan serta Kober (Kelompok Belajar) melakukan aktivasi taman dengan membawa roda baca, bermain bersama sampai rapat sembari ber-potluck. Peran komunitas seperti inilah yang diharapkan juga mendukung perawatan taman-taman kota.


Beberapa waktu ke belakang, sekelompok anak muda berpartisipasi dalam merenovasi taman Musik di Jalan Belitung dengan mendesain,mengecat, dan membersihkan sendiri taman. Mekanisme seperti ini secara otomatis akan menimbulkan rasa memiliki di antara pengguna fasilitas publik tersebut.  Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian tanpa dukungan dan peran serta warganya. Selain itu, pihak swasta pun dilibatkan dalam pendanaan pembangunan fasilitas di taman kota melalui alokasi dana CSR-nya. Sudah selayaknyalah semua pihak saling bekerjasama dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat di perkotaan. Kita mendapat manfaat dari adanya taman kota, maka kita sendiri yang perlu menjaga keberlanjutannya.











































Cloud Hosting Indonesia