Tampilkan postingan dengan label Yanuar Nugroho. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Yanuar Nugroho. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Juli 2020

[PIKIR] Neoliberalisme Ketika uang makin digdaya …

“… neo-liberalisme tidaklah alamiah ... bisnis dan pasar memang punya tempat, tetapi tempat itu tidak bisa menjajah seluruh ruang hidup keberadaan manusia…”
—Susan George, dalam A Short History of Neoliberalism
pada Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Maret, 1999
Alkisah seorang perempuan karir bernama Yuni, asal Bandung, 29 tahun. Karena ingin selalu menjaga penampilannya, ia menuruti apapun kata iklan agar senantiasa tampil cantik, dengan membeli krim kulit yang mengandung vitamin E sebagai anti-ageing atau anti-penuaan karena sifatnya yang anti-oksidan sehingga kulit tetap halus dan shampoo yang juga diperkaya dengan vitamin E agar rambut makin subur. Sepanjang hari dan malam ia oleskan krim itu. Ia juga rajin keramas. Sebulan lebih, kulitnya tetap keriput di sini-sana, tak juga bertambah halus, dan rambutnya tetap kering serta tak subur. Ia pun ke dokter dan terpana mendengar jawaban jujur sang dokter itu: vitamin E, atau d-alfa tokoferol, hanya bisa diserap tubuh lewat pencernaan, bukan kulit, kulit kepala, apalagi rambut[1].
Kasihan Yuni. Demikian juga dengan ribuan atau jutaan Yuni yang lain di muka bumi ini.
Terlena oleh iklan sesat yang memancing basic instinctnya sebagai manusia lemah, mereka menjadi korban keserakahan penumpukan laba besar-besaran. Betapa tidak, majalah The Economist [2] yang dikutip oleh Noreena Hertz[3] memaparkan bahwa dalam periode 1975 hingga 1996 diklaim sudah ditemukan 1.223 jenis obat baru. Namun, hanya 13 di antaranya dibuat untuk menangani berbagai penyakit tropis yang merenggut jutaan jiwa seperti malaria, tipus-kolera-disentri, demam berdarah, dan lain-lain. Sisanya?, adalah obat anti gemuk, penghalus kulit wajah, penghilang kerut, dan berbagai obat kosmetik lainnya[4]. Lepas dari tingkat kemanjurannya, jelas pasar obat-obat seperti ini sebagian besar adalah mereka seperti Yuni, yang mudah terlena dan tergiur oleh iklan.
Bagaimana kita memahami gejala semacam ini?


Gejala Baru: Tata Ekonomi Politik Baru
Sebuah tata eknonomi politik baru sedang melaju. Ia bukan gejala alamiah, namun bukan pula gerak sejarah yang tak terelak. Gejala ini lahir dari revolusi ekonomi liberal. Jantungnya adalah dilepasnya hak istimewa atas modal d ari berbagai tata aturan teritorial maupun nasional . Gejala ini melahirkan sebuah monster baru dalam skala global, yaitu kekuatan bisnis internasional. Nama gejala ini adalah ‘neo-liberalisme’[5].
Apa neo-liberalisme itu?
Menurut seorang ekonom B-Herry Priyono, arti neo-liberalisme…
“ …dapat diringkas dalam dua lapis definisi. Pertama, neo-liberalisme adalah faham/agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo oeconomicus atas dimensi lain dalam diri manusia (homo culturalis, zoon politikon, homo socialis, dsb). Kedua, sebagai kelanjutan pokok pertama, neo-liberalisme kemudian juga bisa dipahami sebagai dominasi sektor finansial atas sektor riil dalam tata ekonomi-politik. Definisi yang pertama lebih menunjuk ‘kolonisasi eksternal’ homo oeconomicus atas berbagai dimensi antropologis lain dalam multi-dimensionalitas manusia, sedangkan definisi yang k
edua menunjuk ‘kolonisasi internal’ homo financialis atas aspek-aspek lain dalam multi-dimensionalitas tata homo oeconomicus itu sendiri.”[6]
Jelasnya, jantung neo-liberalisme adalah pada dua gagasan berikut. Pertama, manusia dilihat hanya sebagai homo oeconomicus. Artinya,cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah salah satu dari berbagai corak hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya corak yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia. Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi kita maupun tindakan dan hubungan legal, sosial dan politis kita hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi dalam transaksi ekonomi.
Kedua, gagasan ekonomi politik neo-liberal adalah argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu lintas modal yang dimiliki oleh pribadi (orang-perorangan) dilepaskan dari kaitannya dengan proses survival sosial dan ditujukan semata untuk akumulasi laba. Bagi mereka yang pernah sedikit belajar ekonomi, mungkin jelas bedanya dua hal ini. Bila dalam liberalisme klasik (misalnya menurut Adam Smith) kepemilikan privat masih dianggap punya tugas sosial untuk menyejahterakan seluruh masyarakat, dalam neo-liberalisme kepemilikan privat tersebut sudah demikian absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat (misalnya gagasan Milton Friedman)[7].
Maka, ketika kita berbicara mengenai globalisasi ekonomi, kita sesungguhnya tengah bicara mengenai tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal. Di dalamnya, ada tiga hal. Pada (1) tataran tindakan, tata kekuasaan global ini bertumpu pada praktek bisnis raksasa lintas negara, (2) pelakuutamanya adalah perusahaan-perusahaan transnasionaldan (3) proses kultural idelologis yang dibawa adalah konsumerisme. Bagaimana ia bekerja?
Dalam globalisasi, praktik perdagangan bisnis transnasional didorong dan didukung oleh regulasi/kesepakatan internasional, yang kerap disebut sebagai aturan baru seperti GATT (General Agreements on Tariffs & Trade), GATS (General Agreements on Trade in Services), TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights), TRIMs (Trade Related Investment Measures), AoA (Agreement on Agriculture), dll. Pada saat yang sama ideologi konsumerisme juga didorong oleh kekuasaan luar biasa dari bisnis periklanan dalam bentuk logo, merk, dan label. Di bawah sadar ditanamkan prinsip kenikmatan, prestise, status, kemewahan pada banyak individu. Karenanya, akan lebih mudah dipahami bahwa ketika berbagai aturan baru tersebut mendesak berbagai negara untuk menerima mantra deregulasi, liberalisasi, privatisasi. Pada saat yang sama gaya hidup global, budaya, identitas yang diiklankan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Lihat diagram di bawah ini.

Sumber: Yanuar Nugroho, Reinventing Globalisation, The Jakarta Post, 30 December 2002)
Ketiga hal ini berakar pada makin keramatnya hak pribadi untuk menumpuk laba . Untuk itulah, maka modal terus bergerak memburu kawasan-kawasan yang mendatangkan laba paling besar. Dan kawasan itu tidak saja berarti teritorial, melainkan semua bidang gerak. Maka disinilah kita berada pada periode dimana berbagai kawasan itu dijarah: kultur, hukum, politik, ilmu, tradisi, dan berbagai aspek dari kehidupan bersama secara intensif mengalami proses komersialisasi.
Maka, jelas jika agenda peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, demokrasi, perlindungan anak-anak, perempuan dan hak-hak asasi tidak menjadi prioritas. Artinya, kalau proses akumulasi laba ini juga diikuti peningkatan kesejahteraan, ya syukurlah. Tetapi kalaupun tidak, memang hal itu tidak pernah menjadi tujuan dari logika akumulasi laba. Meningkatnya kesejahteraan hanyalah akibat dan bukan tujuan dari gejala neo-liberalisme ini. Begitu juga dengan demokrasi dan hak-hak asasi manusia[8]. Dalam arus gejala ini, presiden boleh ganti, pemerintahan dan kabinet boleh berubah-ubah, bahkan dengan cara-cara yang sangat demokratis. Namun, yang lolos dari proses demokratisasi ini adalah kinerja akumulasi laba yang bebas keluar masuk suatu negara tanpa melalui pemilu. Dan akibatnya sungguh dahsyat. Kekuasaan rakyat (democracy) yang diwujudkan dalam pemerintahan negara telah digilas oleh kekuatan uang dalam wajah kekuasaan korporasi (corpocracy), seperti digagas oleh Alvaro J. de Regil (2003)[9].
Dicatat oleh Medard Gabel dan Henry Bruner dalam bukunya Global Inc. (2004), corpocracy itu berekspansi secara drastis dari 3.077 (tahun 1914), ke 39.463 (1994), menjadi 63.312 perusahaan transnasional di tahun 2000. Sekitar 85% persediaan gandum di dunia dikuasai 6 perusahaan transnasional; lima perusahaan transnasional menguasai 90% dari industri musik; 7 perusahaan menguasai 95% industri film dunia dan 75% industri mobil dunia ada di tangan 6 perusahaan mobil[10].

Gejala Baru – Refleksi Baru

Selama ini, pembicaraan mengenai demokrasi dilakukan dengan pengandaian bahwa negara (dalam rupa pemerintah) adalah pemegang kekuasaan tertinggi masyarakat. Namun ingat, bahwa gagasan ini muncul dari sejarah melawan monarki pada abad 17-18. Dalam tata kekuasaan waktu itu, demokrasi merupakan gerakan untuk mengontrol kekuasaan monarki, karena kekuasaan merekalah yang punya konsekuensi paling besar terhadap hidup bersama.
Namun apa yang konstan dari target demokratisasi bukanlah sultan, raja, presiden, kaisar atau bahkan militer, melainkan setiap penggunaan kekuasaan yang punya konsekuensi pada hidup bersama. Bahwa pada saat itu sosok kekuasaan tersebut berupa raja, presiden atau perdana menteri, adalah kontingensi historis(historical contingency) dan bukan keniscayaan logis (logical necessity).Tuntutan logisdari gerakan demokrasi adalah kontrol terhadap bentuk-bentuk praktek kekuasaan yang punya konsekuensi pada hidup bersama.
Saat ini, dalam kontingensi historis yang bertumpu akumulasi modal, muncul berbagai kekuasaan baru yang praktiknya punya konsekuensi besar pada hidup masyarakat. Salah satu yang terpenting adalah corpocracy tadi. Maka, pembicaraan mengenai tata dunia global tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis yang kini menggurita adalah wacana tanpa substansi. Namun, sebaliknya juga konsekuensinya: setiap wacana demokrasi tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis adalah wacana yang kekurangan isi[11]. Mengapa? Dalam benang ruwet kekusaan bisnis itu ada tersembunyi soal akuntabilitas yang tak tersentuh.
Mari kita lihat fakta sederhana berikut. Berapa besar gaji yang layak diterima seorang pimpinan puncak perusahaan (Chief Executive Officer, CEO) di Indonesia? Sementara benar bahwa pertanyaan ini secara normatif sulit djawab karena rumit, tergantung besar kecilnya perusahaan, jenis industri yang digeluti, kinerja perusahaan, dan sebagainya—Wall Street Journal punya jawaban itu. Per 5 Maret 2003, umumnya seorang CEO perusahaan besar di Indonesia rata-rata bergaji pokok Rp1,78 miliar per tahun. Kisaran gajinya, terendah Rp1,39 miliar dan paling tinggi Rp 4,8 miliar. Itu per tahun. Khusus di Jakarta, rata-rata gaji yang diterima para CEO lebih besar lagi. Data tersebut menyatakan bahwa umumnya para CEO di Jakarta menerima gaji pokok Rp1,98 miliar per tahun. Kisarannya, paling rendah per tahun seorang CEO di Jakarta menerima gaji pokok Rp1,55 miliar dan paling tinggi Rp5,37 miliar[12].
Maka, jika untuk gaji saja perusahaan mampu membayar setinggi itu, mengapa tidak hukum dan aturan dibeli untuk memuluskan sebuah praktik bisnis? Mengapa tidak kebutuhan masyarakat direkayasa? Maka soal pembuangan limbah, upah buruh atau hak konsumen mendapat informasi yang layak tentang sebuah produk, tak lebih rumit dari sebuah urusan bisnis biasa sehari-hari: jual-beli.
Catatan Akhir
Tahun 2002, WHO mengeluarkan laporan mengerikan. Empat juta orang mati karena infeksi saluran pernapasan; 2,2 juta kehilangan nyawa karena tipus, kolera, disentri; 1,7 juta jiwa melayang karena TBC; 1 juta tewas karena malaria dan 900.000 meninggal karena demam berdarah, sementara 3 juta lainnya mati karena AIDS[13]. Kehendak Tuhan? Di ujung refleksi, nampaknya tidak demikian. Kecuali kita mengakui bahwa seluruh hidup bersama kita, termasuk kesehatan adalah sebuah arena pencarian untung, kita tidak akan bisa memahami fenomena semacam itu, fenomena yang kini makin nampak seperti takdir tak terelak.
Gejala neo-liberal adala fakta tak terbantah dimana uang secara praktis sudah menjadi adidaya. Kepentingan politik bisa dibeli, hukum bisa ditekuk, aturan bisa ditarik ulur. Bahkan, hidup bisa diperjualbelikan. Maka, jangankan seorang Yuni, negara sebagai badan publik pun sudah tidak berdaya, bertekuk lutut di bawah kekuasaan kapital di jaman ini. (Yanuar Nugroho*)
***
*Pegiat sosial di The Business Watch Indonesia dan Uni Sosial Demokrat Jakarta
Mahasiswa pascasarjana pada PREST (Policy Research in Engineering, Science & Technology), The University of Manchester, Inggeris Raya



[1] Vitamin E hanya larut dalam lemak dan diserap bersamaan dengan lemak untuk kemudian masuk ke dalam darah dengan lipoprotein tertentu. Sebagai pelengkap, lihat Republika:
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=2&id=162555&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=204
[2] Lihat The Economist, 10 Nopember 2001
[3] Lihat Noreena Hertz, The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy, London: William Heinemann, 2001.
[4] Porsi terbesar dana untuk riset obat-obatan dilakukan untuk riset kosmetik, anti gemuk dan kecantikan. Tahun 1998, dari 70 milyar dollar alokasi riset obat, hanya 300 juta dollar (0,43%) diperuntukkan riset obat AIDS dan 100 juta dollar (0,14%) untuk riset obat malaria. Lihat Noreena Hertz, op.cit.
[5] Lihat B. Herry Priyono dan Yanuar Nugroho dalam Selamat Datang Jaman Baru, Sinar Harapan, dimuat bersambung 5-6 September 2001
[6] Lihat B. Herry-Priyono, ‘Marginalisasi a la Neo Liberal’, Basis, Mei-Juni, 2004. Lihat juga B. Herry-Priyono ‘Dalam Pusaran Neoliberalisme’ dalam I. Wibowo & F. Wahono (eds), Neoliberalisme, Yogyakarta: CPS, 2003, hlm. 47-84.
[7] Lihat B. Herry-Priyono, 2003, op.cit.
[8] Lihat B. Herry-Priyono dan Yanuar Nugroho (2001), op.cit.
[9] Lihat Alvaro J. de Regil, Neoliberalism and Its Dogma: The Implications of its Philosophical Postulates, The Jus Semper Global Alliance, 2003. Di sana ia menggambarkan corpocracy sebagai munculnya secara dramatis sentralitas sosok kekuasaan perusahaan-perusahaan raksasa dalam tata ekonomi politik global yang menentukan semakin banyak aspek kehidupan kita, mulai dari makanan, minuman, pakaian, kendaraan sampai film dan musik yang kita dengar.
[10] Medard Gabel & Henry Bruner, Global Inc.: An Atlas of the Multinational Corporation, New York: The New Press, 2003, hlm. 31.
[11] Lihat B. Herry-Priyono dan Yanuar Nugroho (2001), op.cit.
[12] Sumber: The Wall Street Journal (Career Journal), 5 Maret 2003. Catatan : [1]. Kisaran kompensasi ini disusun berdasarkan angka terendah ( low salaries) dan tertinggi (high salaries) serta angka rata-rata ( average) untuk masing-masing posisi jabatan. [2]. Angka gaji terendah merupakan angka rata-rata dari 1/3 sampling frame populasi dan angka gaji tertinggi merupakan angka rata-rata dari 2/3 sampling frame populasi. Angka rata-rata (average) merupakan rata-rata keseluruhan sampling frame populasi. [3]. Bonus merupakan insentif dalam bentuk tunai yang diberikan dalam jangka waktu kerja tertentu. Bonus bisa berupa opsi saham, variable pay, bonus, penghargaan, dan komisi. [4]. Benefit merupakan kompensasi bukan tunai yang diterima berdasarkan angka estimasi rata-rata total sampling populasi.
[13] Lihat di www.who.int


















































Minggu, 28 Juni 2020

[PIKIR] Menilik Persoalan Kesehatan di Indonesia

(Berdasarkan hasil wawancara dengan Yanuar Nugroho, Asisten Ahli Kepala UKP4, Jakarta)



Gambar diambil dari http://www.epa.gov/ttn/atw/3_90_024.html
Di era globalisasi dunia saat ini persoalan kesehatan tidak bisa dipandang sebagai persoalan tunggal yang berdiri sendiri, melainkan persoalan multidimensi. Indonesia sebagai negara berkembang kini mengalami perubahan demografi, di mana kelas menengah tumbuh dan menempati jumlah terbanyak dalam statistik kependudukan. Hal ini sedikit banyak telah menyumbang pada persoalan kesehatan yang disebabkan oleh gaya hidup tertentu dengan implikasi-implikasi sosial,


budaya dan politik yang melingkupinya.

Masalah Kesehatan Terpenting di Indonesia Saat Ini
Sebagai negara berkembang, Indonesia masih poly perlu berbenah. Beragam perseteruan muncul sebagai masalah khas negara berkembang, tetapi pada artikel ini, kami akan menengok lebih jauh problem kesehatan dan mengapa duduk perkara tersebut mengemuka, dilihat menurut aspek ekonomi, politik & sosial budaya.

Hasil wawancara penulis dengan Yanuar Nugroho menjelaskan, terdapat dua masalah kesehatan yang paling penting dihadapi sang negara Indonesia saat ini. Pertama, masalah kesehatan yg menimpa paling poly orang miskin ketika ini akibat kemiskinan, serta buruk atau rendahnya akses dalam jasa dan prasarana kesehatan. Kedua, kasus kesehatan menggunakan taraf prevalensi tinggi yg ternyata dipicu sang gaya hayati warga kelas menengah.
Kategori kasus kesehatan pertama, yang paling banyak diderita sang golongan warga miskin adalah perkara-masalah kesehatan karena tiadanya atau buruknya sanitasi, kelaparan karena ketakmampuan akses dalam sumber makanan yg layak, maupun ketidakmampuan dalam mengakses layanan kesehatan pada negara ini. Penyakit seperti tuberkulosisi, malaria, demam berdarah, kurang gizi, & banyak lainnya, merupakan contoh kentara dari kategori ini.
Hal ini sebagai perkara karena kategori pertama ini acapkali luput menurut perhatian dunia ketika ini. Meskipun sasaran pemberantasan penyakit dampak kemiskinan ini telah dimasukkan pada agenda organisasi-organisasi kesehatan dunia misalnya WHO, tetapi kenyataannya tidak menjadi prioritas. Hal ini terlihat misalnya di dunia medis dan farmasi. Industri medis & farmasi global cenderung menyasar penemuan mereka justru pada kategori perkara kesehatan ke 2, yaitu penyakit menggunakan taraf prevalensi tinggi dampak gaya hayati, yakni antara lain diabetes & penyakit terkait tekanan darah & jantung.
Tetapi demikian, sesungguhnya ke 2 jenis masalahan kesehatan ini sama pentingnya buat dibenahi. Mari kita tengok faktor-faktor yg sebagai akar masalah berdasarkan masalah pada atas dan mengapa penting untuk mencari jalan munculnya.

Mengurai Latar Belakang Pertarunga Kesehatan pada Indonesia berdasarkan Aspek Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya
Laju roda perekonomian pada Indonesia sudah mengangkat bangsa Indonesia keluar berdasarkan garis kemiskinan. Ia telah mengantar warga Indonesia pada kemakmuran dan membangun populasi rakyat kelas menengah yg umumnya terdiri berdasarkan kalangan pekerja di kota-kota akbar. Mereka, secara statistik, menempati jumlah terbanyak rakyat Indonesia saat ini.
Kelas menengah didefinisikan menjadi golongan warga yg sanggup mencukupi kebutuhan pada atas kebutuhan dasar/primer (pangan, sandang dan papan). Jadi, mereka tidak pusing lagi buat sekedar memenuhi meja makan mereka menggunakan nasi dan lauk pauk, atau sekedar membeli sandang seminggu sekali. Kelas menengah yg memiliki daya beli buat memenuhi kebutuhan sekunder (& secara terbatas tersier) ini jelas tidak termasuk dalam kategori orang miskin, namun pula bukan termasuk dalam kategori kaya (kelas atas).

Persoalan yang dihadapi oleh kalangan kelas menengah yang terkait kesehatan terletak di gaya hidup yang mereka jalani. Kalangan kelas menengah yang umumnya hidup di kota-kota besar, sehari-harinya harus bertarung dengan padatnya lalu lintas untuk berangkat dan pulang dari kantor tempat bekerja. Mayoritas kelas menengah ini menggunakan sepeda motor atau kendaraan umum sebagai sarana transportasi menuju tempat bekerja sehari-hari. Hal ini membuat mereka terpapar (exposed) pada racun polusi udara yang disebabkan oleh padatnya kendaraan yang digunakan di kota besar.
Sempitnya waktu yang mereka miliki karena harus berangkat pagi hari menuju tempat kerja dan pulang larut malam karena mengalami kemacetan di perjalanan menjadikan waktu untuk berolahraga menjadi minim. Belum lagi sarana olahraga, seperti fitness center yang kian mahal di perkotaan, akhirnya hanya dapat digunakan oleh kalangan masyarakat kelas atas.
Kesibukan yang tinggi menjadikan kalangan kelas menengah lebih memilih untuk menyantap makanan siap saji –dan seringkali berkualitas rendah—karena mereka tak sempat memasak sendiri makanan mereka.  Padahal, makanan-makanan seperti seperti mie instan, fried chicken atau burger jelas-jelas mengandung bahan pengawet serta penyedap rasa yang tidak sehat bagi tubuh.

Gaya hidup pada ataslah yg kemudian mengakibatkan prevalensi penyakit misalnya diabetes & penyakit terkait jantung & tekanan darah semakin semakin tinggi. Ini bukan jenis penyakit yg bisa dianggap remeh. Pengobatan penyakit-penyakit tersebut sangat menguras kantong, dan nir ada pengobatan murah buat jenis penyakit dampak gaya hidup. Maka, apabila gaya hayati kelas menengah seperti yang dipaparkan di atas tidak segera diperbaiki, hal ini akan menciptakan ?Jebakan & ancaman? Bagi kelas menengah itu sendiri, yaitu menurunnya tingkat kesejahteraan secara keseluruhan.
Dari segi politik, kebijakan pemerintah dalam hal kesehatan di Indonesia turut menyumbang pada masalah kesehatan yg telah disebut di atas. Contoh nyata yang terjadi merupakan kebijakan seputar mak hamil dan persalinan. Target pemerintah untuk mengurangi nomor kematian ibu (AKI) melahirkan merupakan menurut 250 sebagai 185 per 100.000 kelahiran. Namun, fenomena saat ini, AKI justru meningkat ke 359 per 100.000 kelahiran. Ini kentara adalah kasus kebijakan, yang turut menyumbang pada kasus kesehatan di Indonesia.
Kedua, kebijakan pemerintah terkait pelayanan kesehatan dasar (primary healthcare) atau Puskesmas juga problematik. Aturan pemerintah menyatakan Puskesmas perlu ada untuk setiap lima ribu penduduk. Namun hal ini sulit direalisasikan di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia, khususnya di pulau-pulau kecil. Karena total penduduk kurang dari lima ribu, seringkali tidak terbangun Puskesmas di sana. Hal ini menunjukkan, bahwa kebijakan pemerintah yang dijalankan belum berpihak kepada semua masyarakat khususnya mereka yang berada di wilayah yang terpencil.
Ketiga, kebijakan kesehatan pemerintah belum meliputi penanganan prevalensi penyakit akibat gaya hidup. Contoh yg dapat diambil adalah iklan rokok yg poly beredar pada sekeliling kita waktu ini. Padahal, rokok telah diketahui adalah penyebab primer penyakit kanker paru-paru. Selain itu, kurang ketatnya peraturan dihentikan merokok di tempat-tempat umum, seperti bandara maupun terminal angkutan generik, menerangkan lemahnya kebijakan kesehatan yg dijalankan sang pemerintah Indonesia.
Contoh lain adalah maraknya iklan susu formula mak hamil & bayi. Alih-alih mengembangkan pengetahuan pentingnya gizi yang bersumber menurut bahan-bahan alami bagi ibu hamil dan bayi yg baru dilahirkan, pemerintah seolah-olah membiarkan propaganda susu formula merebak hingga ke klinik-klinik kesehatan ibu dan anak. Alhasil, pengetahuan yang tertanam di benak mak -bunda Indonesia ketika ini justru menduga susu formula sebagai gizi primer bagi anak mereka. Hal ini menandakan lemahnya kebijakan pemerintah dalam menanamkan pengetahuan akan gizi yang krusial bagi pertumbuhan anak.
Kesimpulannya, kebijakan pemerintah nampaknya belum menanamkan upaya gaya hayati sehat buat memberantas konflik kesehatan yang dimaksud pada atas.
Dari segi sosial budaya, persoalan kesehatan terkait dengan persoalan dan gagasan mengenai identitas masyarakat modern. Di kelas menengah, kini seseorang dilihat dan dinilai berdasarkan makanan yang dimakan, pakaian yang dikenakan, maupun kendaraan yang ditumpangi. Kita bisa mengambil contoh mall, sebagai sarana unjuk identitas masyarakat modern saat ini. Demi identitas, orang-orang menyerbu mall, menyantap makanan di gerai-gerai makanan bergengsi, yang mereka sendiri tidak tahu apakah makanan tersebut mengandung gizi yang baik atau tidak. Udara yang dihirup di mall juga bukanlah udara yang alami, melainkan berpendingin udara. Godaan diskon di toko-toko pun turut membahayakan isi kantong, karena alih-alih menabung, demi identitas, orang rela untuk menghamburkan uang begitu saja di mall.
Gaya hidup yang terbentuk semata-mata demi sebuah identitas, tentu bukanlah gaya hidup yg sehat. Oleh karenanya, faktor sosial budaya yang digambarkan pada atas, turut berperan menyumbang pada perkara kesehatan di Indonesia.

Pengaruh Persoalan Kesehatan Bagi Kualitas Hidup dan Kualitas Alam
Rangkaian faktor sebab-dampak perkara kesehatan di atas akan mengantar masyarakat Indonesia pada satu keadaan. Di tingkat individu, gaya hayati tidak sehat menghasilkan insan yang sakit-sakitan. Dan ini mengakibatkan seorang menjadi kurang produktif. Dalam jangka panjang, semakin poly orang kurang produktif akan berakibat masyarakat secara kolektif pula menjadi kurang produktif. Celakanya lagi, masyarakat yang tidak sehat dan tidak produktif ini akan membuat generasi yg sama atau besar kemungkinan lebih tidak baik dibandingkan generasi sebelumnya. Ini sebagai ?Jebakan kelas menengah? Pada perspektif yg lain.

Bagi alam, gaya hayati nir sehat akan menurunkan kualitas alam. Lahan alami berubah fungsi demi memenuhi kebutuhan masyakarat dengan gaya hidup tidak sehat, misalnya penanaman monokultur kelapa sawit, peternakan sapi buat konsumsi daging yang kian meningkat serta pemukiman penduduk dampak pertambahan jumlah penduduk yg pesat. Ekosistem dihancurkan demi perkembangan ekonomi dan gaya hayati modern.

Bagaimana Upaya Untuk Kembali ke Gaya Hidup Sehat?
Demi mencegah penurunan produktivitas masyarakat, kualitas hidup & kualitas alam, maka seyogianya insan balik ke gaya hayati sehat. Tentu hal ini tidaklah gampang, lantaran menyangkut gaya hayati yg telah mengakar pada warga . Namun, semuanya dapat dicoba pada aktivitas juga tindakan mini pada keseharian kita.




Gambar diambil berdasarkan http://www.Health.Gov/paguidelines/blog/post/A-Vision-for-a-Healthier-More-Prosperous-America.Aspx



Lebih memilih repot sedikit memasak makanan yang dikonsumsi setiap hari, membawa bekal buah-buahan ke kantor atau sekolah, menolak junk food atau makanan cepat saji, dapat mulai dilakukan sedikit demi sedikit untuk mengubah gaya hidup kita. Jadikan cara mengonsumi makanan maupun minuman dalam diri kita lebih berkelanjutan.
Kita nir sendiri. Kita hayati di pada komunitas. Individu bisa mensugesti komunitas. Maka, gaya hidup sehat pun dapat ditularkan ke komunitas pada kurang lebih diri kita masing-masing.
Mendukung upaya-upaya gaya hidup sehat, merupakan salah satu kontribusi pribadi untuk kembali ke gaya hidup sehat. Di Bandung misalnya, kita dapat mendukung gerakan bersepeda ke kantor (bike to work), gerakan car free day maupun gerakan menghidupkan ruang publik yang dicanangkan oleh walikota Bandung, Ridwan Kamil.

Dalam skala nasional, upaya yang dapat dilakukan merupakan mendukung perubahan kebijakan yang mendorong ke arah gaya hidup sehat.
Dalam skala global, upaya yang dilakukan salah satunya adalah turut berperan merumuskan target pembangunan pasca millenium development goals (pasca MDGs) yang dicanangkan oleh Badan PBB.

Penutup
Kita semua bisa melihat, betapa jalinan karena dampak menurut banyak sekali aspek sosial, budaya & politik berperan pada menurunkan kualitas kesehatan seorang manusia. Apakah kita menjadi rakyat Indonesia ingin generasi mendatang, anak cucu kita, terjebak dalam pusaran gaya hidup nir sehat? Apakah kita akan membiarkan kualitas kesehatan jiwa, raga & lingkungan lebih kurang anak cucu kita menurun dampak gaya hidup yg tidak sehat? Jawaban terletak di tangan kita semua. Maka, bertindaklah kini , masa depan generasi mendatang, ada pada tangan kita, ketika ini!



















































Cloud Hosting Indonesia