Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Rabu, 05 Agustus 2020

[OPINI] DISKURSUS PEKERJA PEREMPUAN DAN UPAH RENDAH

GLOBALISASI DAN PEKERJA PEREMPUAN

Globalisasi memiliki dampak positif dan negatif bagi pekerja wanita. Dampak positif glo
balisasi berimplikasi pada kesadaraan kesetaraan gender. Dengan adanya tuntutan globalisasi akan profesionalisme, dan merebaknya teknologi canggih, kaum perempuan berpeluang memanfaatkan potensi diri buat karier mereka, contohnya melalui bisnis-usaha pendidikan, ekspansi jaringan pergaulan profesional, pengasahan keterampilan & lain sebagainya. Melalui bisnis-bisnis pengembangan diri yg konstruktif & kreatif, perempuan sanggup berkompetisi secara sehat pada dunia kerja menggunakan menggunakan ide-inspirasi, pengetahuan, keterampilan, pengalaman, & sanggup memanfaatkan warta & teknologi menggunakan baik dan tak kalah agresif/taktisnya menggunakan pria.


Dampak negatif globalisasi bagi pekerja perempuan terbukti karena banyaknya perempuan dipakai oleh investor/pengusaha menjadi pekerja karena keuntungan-keuntungan. Perempuan dilihat sebagai angkatan kerja yg sanggup digunakan pada industri ekspor & impor, seperti industri garmen, tekstil, sepatu, perkebunan, penjualan eceran/grosir & sebagainya. Mereka ini diantaranya sanggup diupah murah dibanding menggunakan pekerja laki-laki , nir perlu diberikan tunjangan suami, nir terlalu poly menuntut, tidak terlalu kritis, luwes, raji
n bekerja. Oleh karena itu pekerja wanita dianggap lebih menguntungkan. Selain itu pekerja wanita lebih cocok buat dipekerjakan di lapangan kerja yang sudah ditentukan sang beberapa investor berdasarkan paradigmanya yg masih bias gender.


Dikotomi Gender dalam Industri
Paradigma beberapa investor yg masih bias gender tadi, adalah informasi yang masih mampu dibenarkan apabila pihak pekerja perempuan merasa bahwa stereotipnya sebagai perempuan merupakan kodrat, sehingga mereka enggan mengeksplorasi diri mereka buat sebagai lebih asertif & kreatif. Oleh karena itu, upah rendah yang diperoleh oleh pekerja wanita adalah konsekuensi logis karena kemampuan yang sangat minim (unskilled labour) dan enggan berbagi potensi diri.


Tetapi, informasi tersebut mampu sebagai hal yang kontroversial apabila subordinat upah terhadap pekerja wanita didasarkan atas berpretensi yg bias gender, dan bukannya lantaran berbedanya sifat pekerjaan, bobot pekerjaan & waktu kerja. Sehingga perlu solusi yang menguntungkan ke 2 pihak dalam interaksi kerja.


Prasangka yang berdasarkan pada bias gender yg biasa berlaku pada masyarakat secara makro, termasuk lingkungan bisnis adalah menjadi berikut :





Pada dasarnya, perempuan distereotipkan seperti tabel pada atas lantaran pengkondisian berdasarkan lahir, dan sebenarnya yang membedakannya menggunakan laki-laki hanyalah menurut hal alat-indera reproduksinya saja. Hal tersebut terbukti menurut hasil penelitian mengenai 2 anak kembar wanita. Sejak lahirnya dalam usia eksklusif (dini) dipisah, yg seorang dikondisikan seperti layaknya perempuan & seorangnya lagi dikondisikan misalnya pria. Hasil penelitian tadi dapat disimpulkan bahwa hal-hal di luar indera-indera reproduksinya, masih mampu dipertimbangkan sebagai hal yg bisa setara menggunakan pria, misalnya otak/kecerdasan, sifat, perilaku, perilaku ataupun tindakan. Perempuan sanggup jua setangkas dan setaktis pria.


Di samping pengakuan stereotip wanita seperti tabel di atas, beberapa hal yg turut mempengaruhi pola pikir & perlakuan diskriminatif para investor/pengusaha tadi terhadap pekerja perempuan adalah :


? Dalam giliran kerja (shift), pekerja wanita dalam biasanya tidak bisa bekerja lembur hingga jauh malam bahkan menjelang pagi. Hal ini disebabkan oleh budaya masyarakat yg berlaku bahwa wanita buruk kerja malam ataupun pagi, kondisi tubuh perempuan tidak memungkinkan buat melakukan kerja demikian dan sebagainya.
? Kompetensi perempuan lebih bersifat nir kentara dibanding laki-laki sehingga tidak gampang buat dikuantifikasikan. Kompetensi yg kualitatif tadi merupakan kemampuan menjalin hubungan yg baik antarpribadi, ketelitian, kecekatan, kerajinan & sebagainya yang seringkali diabaikan dalam unsur-unsur Penilaian Karya (Performance Appraisal). Hal itu menunjukkan bahwa adanya pengabaian keunggulan kemampuan pekerja perempuan pada sisi lain keunggulan kemampuan pekerja pria.
? Sifat pekerjaan paruh atau penuh waktu dapat mempengaruhi jumlah upah yg dibayarkan atas dasar prosentase waktu kerja.
? Sepanjang masa kerja wanita, terdapat saat-saat eksklusif yang dipercaya mengurangi produktifitasnya & termasuk hal yg dianggap merugikan perusahaan, yaitu perlop haid, perlop bersalin.
? Masih berlakunya pola pikir bahwa pekerja wanita hanya menjadi pencari nafkah tambahan. Oleh karena itu mereka tidak mendapatkan tunjangan suami yg adalah pelengkap menurut upah mereka. Dalam kenyataannya, banyak pekerja perempuan bekerja buat diri sendiri, orang tua, anak-anak atau saudaranya. Mereka merupakan tulang punggung keluarga karena aneka macam hal, diantaranya suami meninggal, cerai atau ditinggal pergi oleh suami.


Dengan demikian, adalah suatu tanggung jawab moral bagi para investor/pengusaha tadi buat tetap mampu menyadarkan & berusaha memperbaiki pola pikir & syarat mereka, misalnya: melalui pelatihan, pembelajaran melalui bimbingan senior, bonus, pinjaman lunak, penyediaan loka kerja dan fasilitas yg ergonomis, dan bisnis positif lainnya.


Fakta-berita Pekerja Perempuan & Upah Rendah, Isu pekerja wanita menjadi kaum marginal & rakyat nomor dua, nir hanya berlaku di Indonesia, tetapi pula berlaku di negara-negara berkembang dan maju.


Isu pekerja perempuan merupakan isu dunia yg sudah terdapat sejak pra dan pasca revolusi industri yang kemudian melahirkan wujud-wujud globalisasi. Sampai saat ini info pekerja perempuan adalah informasi yg perlu dicari solusinya lantaran terkait menggunakan doktrin agama-agama, peraturan-peraturan atau UU negara yg masih mengandung bias gender pada budaya rakyat yang patriarki.





Isu pekerja wanita dengan upahnya yang rendah merupakan info yg dibahas pada banyak sekali penelitian oleh forum atau orang-perorang yang teorganisir. Hasil-output penelitian itu diantaranya menerangkan masih adanya kasus subordinat upah terhadap pekerja perempuan dampak bias gender.


Di Indonesia, banyak sekali masalah-masalah subordinat tadi, poly pekerja wanita yg mendapatkan upah rendah sehingga sangat sulit buat menutupi kebutuhan hidupnya secara layak.


Dalam penelitian Molly Jacobs (Low-Wage Women : The Demographic Determinants of their Wages, Duke University, Durham, North Carolina, 31 May 2003), disebutkan bahwa 59% angkatan kerja wanita di Jerman masih memperoleh upah yang rendah. Hampir 70% angkatan tersebut bekerja pada ranah kerja feminin, seperti klerikal, penjualan, ataupun bidang jasa yang terkait. Pekerjaan seperti Pengajar, Sekretaris & Pramuniagapun cenderung mendapatkan upah yg lebih rendah dibanding pekerjaan yang sama bagi laki-laki .


Margarita Dimitrova , pada makalahnya menggambarkan kondisi upah secara holistik sektor bagi pekerja perempuan & pria pada Amerika (http://www.Aubg.Bg/home/students/MDD000/otb paper.Doc) menjadi berikut : (gambar 15)


Di samping upah yang diterima pekerja perempuan pada atas lebih rendah menurut pekerja laki-laki , pekerja perempuan juga nir difasilitasi asuransi & tunjangan lainnya buat keluarga mereka.
Dua hal ini merupakan sebagian berdasarkan sekian banyak fakta yg mendeskripsikan adanya subordinat upah bagi pekerja perempuan , & pekerja perempuanlah yg wajib menanggung bebannya.


Usaha-usaha Perbaikan bagi Pekerja Perempuan
Beberapa landasan pola pikir & tindakan yang mampu digunakan buat memperbaiki kondisi pekerja wanita sang para investor & pimpinan/pengusaha, yaitu :


1. Filosofis
Para investor/pengusaha wajib mengambil tindakan afirmasi atas isi Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi PBB Desember 1979 yg terkait, misalnya Hak-hak Ekonomi yg meliputi hak yg sama dengan laki-laki pada segala bidang kehidupan ekonomi dan sosial, diantaranya :
a) hak untuk mendapat latihan kejuruan, bekerja, memilih jabatan dan pekerjaan dengan bebas, dan memperoleh kemajuan pada keahlian dan kejuruan, tanpa disparitas antara wanita yang berstatus belum atau telah menikah,
b) hak buat menerima upah & perlakuan yg sama menggunakan laki-laki & perlakuan yang sama berkaitan dengan pekerjaan yang sama nilainya (Deklarasi PBB 1967, pasal 10).
C) berhak menikmati syarat hayati yg memadai, terutama yg berhubungan dengan perumahan, sanitasi, penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan komunikasi (Konvensi PBB 1979 pasal 14).


2. Mudah
Para investor/pengusaha wajib mempunyai niat baik & berusaha memperjuangkan terlaksananya pemugaran kondisi pekerja perempuan . Beberapa cara yang mampu ditempuh, diantaranya :


a) Audit SDM perlu dilengkapi menggunakan pelaksanaan kampanye penghapusan subordinat upah dampak bias gender, dan bukan akibat sifat pekerjaan, serta bobot pekerjaannya yang berbeda.
B) Merekonstruksi peraturan-peraturan & kebijakan-kebijakan perusahaan pada hal pembayaran upah dan tunjangan, contohnya kenaikan upah yang layak, tunjangan suami, pinjaman menggunakan bunga lunak, bonus, penyediaan transportasi, fasilitas kesehatan, fasilitas kerja yg kondusif & nyaman.
C) Menyelenggarakan program pendampingan kerja, pendidikan dan pelatihan.
D) Membangun jaringan kerja kemitraan dengan forum-lembaga yg peduli/peka gender, seperti LSM Perempuan & lembaga lainnya. Hal ini perlu dilakukan sebagai masyarakat negara yg peduli menggunakan perkara perempuan . Dengan demikian secara sinergi, antara investor/pengusaha, LSM, dan bahkan pemerintah diperlukan dapat lebih efektif mengeliminir beban wanita.


Merujuk pada esensi hubungan manusiawi, bahwa siapapun berhak atas perlakuan keadilan dan kemanusiaan, maka perempuan menjadi bagian berdasarkan warga global perlu diperjuangkan hak-haknya sesuai perannya. Itu seluruh tugas yg harus dipikul bersama dan diperjuangkan demi kesejahteraan & kesetaraan bersama.


Maria Clara Neti Veronica (Staf Personalia, CSIS Jakarta)























































































Selasa, 28 Juli 2020

[Opini] BERSIT-BERSIT MAKNA CINTA

Cinta adalah tenaga yang sangat akbar. Lantaran itu seringkali kita kesulitan melukiskan makna cinta. ?Cinta terlalu luas, terlalu pada untuk dipahami, diukur atau dibatasi dengan sekedar bingkai kata-kata?, kata M. Scott Peck, pada The Roadless Travelled. Tetapi definisi cinta tetap krusial, setidaknya lantaran poly orang gundah memaknai cinta.

Sesuatu yg bukan cinta, dikira cinta. Seorang pria yang tidak pernah mengijinkan pacarnya, buat pulang sendiri ke suatu tempat tanpa dia dampingi, menerka dirinya sangat mencintai sang pacar. Padahal sesungguhnya laki-laki itu hanya sangat memanjakan oleh pacar, & sangat memanjakan tentu sama sekali nir sama menggunakan menyayangi. Banyak orang keliru tahu cinta, dan perasaan-perasaan tertentu mereka kira menjadi cinta sejati. Sering kita dengar ?Cinta itu perasaan?, ?Cinta itu romantika?, ?Aku akan menemukan tujuan hayati dengan belahan jiwa saya?, ?Cinta akan menyembuhkan kesepian & penderitaan?.


Miskonsepsi lain mengenai makna cinta bersangkut paut dengan jatuh cinta. Jatuh cinta dikira cinta, padahal bukan sama sekali. Jatuh cinta adalah pengalaman seksual erotik. Ia selalu berlandaskan motivasi seksual. Di samping itu, jatuh cinta, kendati selalu dihayati insan menjadi pengalaman luar biasa menakjubkan, selalu bersifat ad interim. Seperti bulan madu dan romantika manusia, jatuh cinta selalu berkesudahan, bahkan tidak jarang berakhir sesudah suatu kurun yg singkat. Pada jatuh cinta, ego boundaries atau dinding ego mengalami kehancuran parsial dan sementara. Kehancuran itu bersifat mendadak, spontan, dan terjadi tanpa kerja energi manusia pemiliknya. Dinding ego adalah pengetahuan insan tentang batas-batas dirinya, yang berada dalam khazanah mentalnya. Ia memungkinkan manusia menghayati keterpisahan dan sense of identity. Ketiadaannya mengakibatkan seorang berusaha merengkuh komitmen, tetapi kemudian takut mewujudnyatakan komitmen itu. Anak yang mendadak ditinggalkan orang tuanya, misalnya karena ke 2 orangtuanya mati dunia, bisa mengalami rasa nyeri hebat, lantaran kematian orangtua menetapkan pengalaman komitmen yg sebelumnya telah dirintis kedua orang tuanya. Anak itu bisa bertumbuh menjadi manusia yang takut merengkuh komitmen. Dia membutuhkan pengalaman baru yg mendasar & memuaskan dalam naungan komitmen yang andal.


Cinta: Kebahagiaan dalam Penderitaan
Ternyata cinta tidak sefantastik jatuh cinta. Cinta membebaskan manusia berdasarkan kesepian. Ia menjadikan kelegaan, keleluasaan, kehangatan. Dengan istilah lain, beliau membawa kebahagiaan. Namun cinta jua membawa rasa nyeri, karena beliau hanya bisa diwujudnyatakan insan dengan upaya aktif, kerja keras, bahkan usaha sadar. Bahkan ternyata cinta penuh risiko. Acapkali manusia yang menyayangi mesti berani menanggung risiko perubahan, yang pula membawa rasa takut. Risiko lainnya adalah keniscayaan melepaskan ketergantungan, keniscayaan mempertahankan komitmen, dan risiko hayati di tengah kearifan pertikaian & kritik. Singkatnya, cinta membawa bersit-bersit rasa nyeri bahkan bercak-bercak penderitaan. Cinta merangkum kebahagiaan dalam penderitaan.


Tetapi barangkali itulah penderitaan yg dianggap Carl Gustav Jung, legitimate suffering, penderitaan yang sah, penderitaan yang patut dan layak ditanggung manusia yang sungguh menginginkan kebahagiaan. Bahkan secara implisit Jung mengungkapkan bahwa legitimate suffering merupakan kondisi yg pasti buat kebahagiaan. Kata Jung: Neurosis is always a substitute for legitimate suffering. Manusia yg menghindar berdasarkan keniscayaan menanggung legitimate suffering, akan mengidap kecemasan jiwani, neurosis. Dan tentu, di tengah kecemasan jiwani itu sesungguhnya insan kian poly mengalami penderitaan. Rupanya kebahagiaan hanya bisa sungguh diraih insan, jika beliau berani menanggung penderitaan (yg absah), dalam cinta sanggup diandalkan buat menyangga peradaban umat manusia yang terus menerus membutuhkan tenaga cinta. Maka pengalaman jatuh cinta mengingatkan insan berjiwa dewasa buat terus memperjuangkan cinta sejati yg lestari.


Cinta Bukan Perasaan, Ia Mengatasi Perasaan
Ada perintah emas menyampaikan, ?Cintailah musuh-musuhmu, dan doakanlah orang-orang yang menganiaya kalian?. Bisa dibayangkan andai kata cinta hanyalah perasaan, niscayalah perintah itu hanyalah sebuah utopia, tak ada insan yang sanggup mewujudnyatakannya. Jika cinta merupakan perasaan (just a feeling), insan yg dalam umumnya digelantungi perasaan benci atau tidak senang dalam musuhnya tentu tidak mungkin menyayangi si musuh. Love is not a feeling.


Memang cinta mampu disertai perasaan. Tetapi dia bukan sekedar perasaan itu. Ia mengatasi perasaan. Cinta bisa terjadi tanpa adanya perasaan bahagia dalam orang lain, karena cinta dilandasi pilihan & keputusan sadar nan arif. Cinta adalah kehendak buat menyebarkan diri dan merawat tumbuh kembang orang lain. Lantas pelaku cinta tetapkan dirinya menentukan menyayangi.


Dengan demikian komitmen adalah bagian otentik yg sangat penting pada cinta. Komitmen merebakkan rasa aman, yg sangat diperlukan buat perluasan ego, suatu insiden yang teralami menjadi suatu perubahan & penjelajahan ke global baru yang beresiko. Manusia butuh rasa aman yg merekah berdasarkan komitmen, buat melakukan perubahan & penjelajahan yg niscaya ia rasakan mengandung risiko. Di samping itu, komitmen memungkinkan konsistensi proses. Cinta adalah proses yang konsisten. Karena itu, dia membutuhkan komitmen.


(Bagus T. Nugroho)
























Minggu, 26 Juli 2020

[Opini] PEMBELAJARAN PLURALISME UNTUK ANAK

Andai engkau hanya hidup di duniamu ....
Dan engkau berani mengintip dunia-global lain ....
Masih beranikah kamu menyampaikan ....
Dunia mu itu indah ....
(Andi, 2004)

Bicara tentang pluralisme memang gampang, bahkan terkadang topik ini bisa menjadi bahan diskusi yang panjang dan berhari-hari. Sampai sekarang pun pembicaraan mengenai pluralisme masih menjadi hal yang asyik di tengah maraknya pro dan kontra. Di kalangan para aktivis NGO, pluralisme menjadi salah satu issue yang masih seksi yang dapat menyatu dengan banyak issue-issue seksi lainnya, seperti issue gender, issue anak, dan issue-issue yang lain.


Layaknya seorang pejuang, para aktivis menggembor-gemborkan, mem-blow-up issue tersebut dengan lantang dan gagah berani. Banyak dalih yang diungkapkan, mulai dari yang menggunakan Pancasila sampai yang mencoba untuk menafsirkan ulang isi Kitab Sucinya masing-masing. Dari yang menggunakan contoh negara-negara (pluralis) sampai yang menggunakan contoh-contoh pribadi.
Dalam semangat memperjuangkan pluralisme yang selalu membara dalam diri para aktivis, ternyata tembok yang menghalangi para pejuang pluralis masih terlalu tinggi. Masih terlalu banyak hambatan. Masih terlalu banyak jurang yang dalam yang masih harus di timbun atau mungkin masih harus dibuatkan jembatan penghubung agar tercapai tujuan menjadi masyarakat pluralis.
Kecenderungan untuk menjadikan masyarakat yang komunalis, dengan dalih agama, dengan konsep agama (konsep penyebaran agama), pemelencengan makna atau tafsir dalam Kitab Suci, merupakan hambatan terbesar untuk pluralisme. Selain itu hambatan kedua yang terbesar adalah primordialisme, mengagungkan kelompoknya, menganggap suku/etnisnya paling baik, dengan dalih untuk pemurnian keturunan suku/etnis.
Merubah masyarakat menuju masyarakat pluralis merupakan gerakan evolusi, yang berarti membutuhkan waktu yang sangat panjang (lama). Perubahan secara evolusi akan menjadikan masyarakat yang benar-benar pluralis. Paham benar tentang apa itu pluralisme. Dinyamankan dengan bentuk masyarakat yang plural.
Perubahan yang evolusioner akan berawal dari dalam diri sendiri (pribadi-pribadi), atas penemuan bahwa masyarakat yang pluralis lebih indah , nyaman dan sebagainya yang baik-baik. Dengan penemuan tersebut, masing masing pribadi akan (selayaknya) mencoba untuk menyebarkan / menularkan penemuan tersebut kepada lingkup terdekatnya, suami (kalau punya), istri (kalau punya) dan anak (kalau punya) serta kerabat atau teman terdekat.
Nah...., di sinilah dibutuhkan kejelian bagi para pejuang pluralis, untuk dapat melihat peluang-peluang untuk melangkah menuju hal yang dicita-citakan. Menurut saya, langkah paling strategis untuk sebuah proses menuju masyarakat pluralis adalah memulai mendidik atau mengajarkan pluralisme kepada anak –anak.
Mengapa anak-anak? Mengapa harus anak?
Anak diartikan menjadi insan yang masih tumbuh dan berkembang, masih belum sanggup hidup sendiri, masih bergantung dalam orang dewasa. Secara biologis anak adalah insan yg berumur kurang dari 18 tahun[1]. Jadi insan yg belum berumur 18 tahun belum dipercaya dewasa. Dengan demikian dianggap belum bisa mandiri & masih bergantung pada orang dewasa. Orang dewasa memiliki kiprah buat membantu tumbuh kembang anak, baik secara fisik juga psikis. Oleh karenanya tumbuh kembang anak tergantung dari kemampuan orang dewasa pada membantu tumbuh kembangnya. Sebagai contoh saat anak nir diberi kesempatan atau sedikit berinteraksi menggunakan orang lain atau bahkan nir pernah, dan orang dewasa mengajarkan bahwa Suku Jambu atau Agama Rambutan itu tidak baik atau dursila, maka waktu dewasa akan menganggap bahwa Suku Jambu atau Agama Rambutan adalah jelek atau jahat. Padahal sebenarnya Suku Jambu & Agama Rambutan (mungkin) baik atau lebih tidak baik/dursila menurut pengetahuan yang didapatkan dari orang dewasa itu.
Pada prinsipnya orang dewasa mempunyai kekuasaan untuk mengekang atau membebaskan pola pikir, kreasi, pendapat, pilihan anak. Oleh karena itu, dalam mengajar atau mendidik anak supaya menjadi manusia yang pluralis, orang dewasa hendaknya (memilih membebaskan anak) memberikan peluang sebesar-besarnya bagi anak untuk belajar, berpengetahuan dan berinteraksi dengan manusia lain tanpa memandang suku, agama, ras, pandangan dan sebagainya yang berbeda-beda itu.
Pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada anak, merupakan hal yang wajib dilakukan oleh orang dewasa. Yakni kesempatan untuk belajar (bukan sekolah), kesempatan berinteraksi dengan orang lain, baik anak-anak ataupun orang dewasa.
Dalam proses pembelajaran pluralisme untuk anak, anak diberi kesempatan atau diajak untuk mengenal dan berinteraksi dengan beragam budaya, suku/etnis, agama dan keberagaman yang lain. Kekuatan proses interaksi anak dengan keberagaman itu adalah penemuan-penemuan yang diperoleh anak sendiri yang sangat mungkin berbeda dengan orang dewasa. Anak akan mengalami kondisi disequilibrium [2], ketidakseimbangan, keadaan stabilitas yang terusik oleh suatu penglihatan atau pengalaman baru. Terjadinya goncangan pemikiran ketika anak menemukan pengetahuan yang berbeda saat berinteraksi. Dalam proses selanjutnya anak akan dapat menyimpulkan sendiri, kumpulan pengetahuan-pengetahuannya. Kemudian anak akan memperoleh keseimbangan pemikiran akan suatu pengetahuan, equilibrium [3] . Secara terus menerus, proses pembelajaran anak (dan seluruh manusia tentunya) akan mengalami equilibrium - disequilibriumequilibrium. Sebagai contoh : sebelum berinteraksi dengan Momon, Mumun memperoleh pengetahuan dari orang lain, bahwa Agama Jeruk itu jelek/jahat, dan Momon beragama Jeruk, berarti Momon jelek/jahat. Namun ketika Mumun berinteraksi dengan Momon, ia menemukan bahwa agama Momon tidak seperti pengetahuan yang diperolehnya dari orang lain, (bisa lebih jahat atau lebih baik).
Dengan contoh pembebasan pembelajaran, anak akan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuannya & memilih pandangan-pandangannya terhadap suatu hal. Dengan demikian anak terbebas dari doktrin yang ditanamkan sang orang dewasa. Anak pula akan lebih kritis terhadap kejujuran orang dewasa pada memberikan pengetahuan pada anak-anak.
Pembebasan pembelajaran untuk anak, sangat efektif untuk mendorong perubahan menuju Indonesia yang benar-benar pluralis walaupun untuk mewujudkannya masih jauh dan sangat jauh dan perlu perjuangan yang sangat panjang. Mengenalkan pluralisme kepada anak sejak dini akan mendorong terwujudnya Indonesia yang benar-benar pluralis.
Perlu juga disadari menjadi manusia pluralis tidaklah gampang. Dibutuhkan kesadaran dan kerelaan, keterbukaan ketika anak, teman atau kerabat anda berelasi, berinteraksi atau bahkan menikah dengan orang yang beda agama dan atau beda suku atau beda-beda yang lain. Dibutuhkan kekuatan dan ketabahan ketika harus mendapatkan tekanan dari banyak pihak ketika anda memutuskan menjadi pluralis. Dibutuhkan kekuatan untuk berpikiran, bertutur kata dan berbuat sesuai dengan jiwa pluralisme.
Ketika masih boleh dikatakan bahwa berbeda itu indah, salam dan dukungan bagi para pluralis dari seluruh penjuru mata angin . (Masandi)




[1] International Children’s Right Convention. Cluster 1
[2] Dinamika Edukasi Dasar, Pendidikan Pemerdekaan, hal. 55,
[3] Idem.





























Kamis, 23 Juli 2020

[Opini] Membangun Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan: Belajar dari pengalaman Kuba

Penulis: Any Sulistyowati
Kuba adalah satu-satunya negara pada dunia yg menempatkan pertanian organis sebagai kebijakan pertanian nasional. Di tengah perdebatan internasional apakah pertanian organis bisa menghasilkan cukup pangan buat semua umat insan, pertanian organis justru sudah menyelamatkan Kuba menurut krisis pangan hebat akibat hancurnya blok komunis Uni Soviet & diperketatnya larangan Amerika Serikat. Pengalaman mereka ini sangat menarik buat dipelajari; mungkin nir cocok untuk diterapkan sepenuhnya pada Indonesia, melainkan semoga bisa sebagai wangsit yg memberitahuakn bahwa contoh dunia yang lain juga mungkin & masukan untuk menciptakan sistem ketahanan pangan yg lebih berkelanjutan dalam konteks Indonesia.

Sebelum tahun 90-an, pertanian Kuba ditandai dengan pertanian skala akbar, asupan impor berbasis minyak bumi & monokultur ala revolusi hijau. Sistem ini sudah membawa Kuba pada tingkat konsumsi pangan yg tinggi, yakni 2809 kalori per kapita per hari dan 77 gram protein per kapita perhari pada tahun 1989. Hal ini dimungkinkan dengan dukungan berdasarkan Uni Soviet yang mengimpor gula berdasarkan Kuba seharga lebih berdasarkan 5 kali harga pasar internasional & mengekspor minyak ke Kuba menggunakan 1/2 harga internasional. (Sinclair and Thompson, 2001. Laporan OXFAM America).
Hancurnya Uni Soviet mengakibatkan Kuba jatuh ke pada krisis akbar, apalagi ditambah dengan diberlakukannya Torricelli Act (1992) & Helms Burton Act (1996) oleh Amerika Serikat yg intinya merupakan memperketat embargo, misalnya menggunakan menaruh sangsi kepada negara dunia ketiga yg berbisnis menggunakan Kuba & pelarangan penjualan bahan kuliner & obat-obatan ke Kuba sejak 1994. (Romero, 2000. Laporan OXFAM Amerika).
Akibat krisis ini, terjadi kekurangan pangan besar-besaran akibat hilangnya impor pangan, minyak bumi dan asupan pertanian. Model pembangunan pertanian ala revolusi hijau tidak dapat dilanjutkan tanpa dukungan Uni Soviet. Dibandingkan tahun 1989, pada tahun 1992 tingkat import menurun masing-masing 53% untuk minyak bumi, 70% untuk pakan ternak, 77% untuk pupuk kimia dan sedikitnya 62.5% untuk pestisida. Pada tahun 1995, tingkat konsumsi kalori dan protein menurun sampai 40% dari tingkat konsumsi tahun 1989. Masa-masa ini dikenal sebagai Periode Khusus di Masa Damai (Special Period in Peacetime). (Rosset & Benjamin, 1994a).
Situasi di atas tidak membuat pemerintah Kuba menyerah terhadap kekuasaan Amerika Serikat dan mengubah pola pembangunan nasionalnya. Sebaliknya, desakan krisis justru memunculkan banyak alternatif baru baik di tingkat akar rumput maupun kebijakan nasional. Sebagai contoh, di bidang pertanian setidaknya ada tiga jenis reformasi kebijakan yang dilakukan, antara lain kebijakan teknologi, kebijakan produksi dan kebijakan distribusi. Reformasi-reformasi tersebut berhasil meningkatkan produksi pangan Kuba secara signifikan. Pada tahun 2000, bila dibandingkan dengan tahun 1988, produksi pangan meningkat masing-masing 767% untuk jagung, 113% untuk beras, 208% untuk umbi-umbian dan 351% untuk sayuran. Petani adalah yang paling diuntungkan dari reformasi tersebut. Penghasilan mereka menjadi salah satu yang tertinggi di negara tersebut. Kondisi ini mengundang banyak orang untuk kembali ke desa, ke sektor pertanian atau menjadi petani.
Berikut ini adalah ringkasan perubahan kebijakan tersebut:
1. Perubahan di bidang teknologi
Di bidang teknologi pertanian, Kuba mendeklarasikan model alternatif yang dapat diklasifikasikan sebagai pertanian organis. Pertanian ini dicirikan dengan penggunaan sumber daya lokal yang tinggi, termasuk penanaman kembali spesies-spesies lokal; sistem multikultur dan pengurangan besar-besaran asupan luar seperti pestisida dan pupuk kimia. (Rosset dan Benjamin, 1994a&b). Perubahan ini juga dibarengi dengan pengembangan sarana pendukung, misalnya pengembangan bioteknologi berbasis masyarakat dan perluasan lahan yang digunakan untuk memproduksi pangan antara lain dengan pertanian perkotaan.
1a. Pertanian Organis [1]
Mereka menggunakan teknik pengolahan tanah dengan prinsip minimum tillage, kompos dan pupuk kandang untuk menggantikan pupuk kimia, oxen sebagai pengganti traktor, rotasi tanaman dan multikultur. Pupuk kandang diperoleh dari limbah peternakan. Kompos dibuat dari limbah panen sebelumnya, sampah makanan, limbah perkebunan tebu dan pabrik gula. Kompos cacing juga cukup populer digunakan. Untuk pengendalian hama digunakan pengendalian hama biologis dengan produk-produk bioteknologi, musuh alami dan tanaman pengusir hama.
1b. Bioteknologi oleh Petani [2]
Tidak seperti di banyak negara di mana bioteknologi identik dengan perusahaan multinasional, di Kuba bioteknologi dikembangkan oleh masyarakat, di koperasi-koperasi yang dimiliki oleh petani. Petani dapat mengakses produk bioteknologi, yang merupakan ujung tombak pengendalian hama mereka, seperti entomophagus[3] dan entomopatogen[4] dengan harga relatif murah. Meskipun demikian, CREE (Centros Reproductores de Entomofagus y Entomopatogenos, pusat produksi entomofagus dan entomopatogen) tetap meraih keuntungan. Penghasilan mereka cukup untuk membiayai gaji staff, biaya produksi dan membayar angsuran ke bank.
1c. Pertanian Perkotaan [5]
Sebelum krisis, pertanian perkotaan tidak berkembang di Kuba. Di Havana bahkan ada aturan yang melarang masyarakat untuk menanam tanaman pangan di halaman depan rumah mereka karena dianggap identik dengan kemiskinan. Setelah krisis, justru pertanian perkotaan memegang peran yang sangat penting sebagai penghasil pangan masyarakat perkotaan yang selama ini tergantung pada produk impor dan kiriman dari desa. Bahkan pada tahun 1994, dibentuk dapartemen khusus yang mengurus pertanian perkotaan ini.
Di pusat Havana pertanian perkotaan mencakup areal seluas 15 ribu hektar yang memproduksi sekitar 30% kebutuhan sayur mayur (standar FAO = 300 gram perkapita perhari) sekitar 2 juta penduduk kota tersebut pada tahun 1999. Di kota-kota yang lain bahkan terjadi kelebihan produksi, misalnya di Cienfuegos (148%), Sancti Spiritus (121%), Ciego de Avila (134%) dan kotamadya Havana (117%). Bila dirata-rata untuk seluruh Kuba, produksi pertanian perkotaan ini mencukupi sekitar 72% kebutuhan sayuran penduduk perkotaan. Pengalaman mereka ini menunjukkan bahwa kota dapat berubah status dari konsumen menjadi produsen pangan.
Pertanian perkotaan di Kuba bervariasi dalam bentuk, ukuran, teknik bercocok tanam dan kepemilikan. Popular garden adalah yang paling mudah ditemui. Ukurannya bervariasi mulai dari beberapa meter persegi sampai beberapa hektar dan dikelola secara perorangan atau berkelompok. Sebagian untuk dikonsumsi sendiri, sebagian disumbangkan untuk makan siang di sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit atau untuk orang-orang yang tidak mampu dan sisanya dijual untuk mendapatkan keuntungan. Teknik yang paling banyak digunakan dikenal dengan istilah organoponico, yang menggunakan gundukan tanah subur sebagai bed, karena buruknya kualitas tanah di daerah perkotaan.
2. Perubahan di bidang produksi [6]
2a. Alokasi lebih banyak lahan untuk tanaman pangan
Sebelum krisis, sebagian besar tanah pertanian di Kuba digunakan untuk perkebunan tebu sebagai produk pertanian unggulan mereka. Sektor ini berkontribusi untuk memberikan 400 ribu lapangan kerja dan menghasilkan sekitar 600 juta dolar Amerika (80% dari total ekspor). Setelah krisis, pemerintah mengalokasikan lebih banyak tanah untuk tanaman pangan. Lahan-lahan tersebut antara lain digunakan untuk memproduksi pangan untuk konsumsi para pengelola (self provisioning plot).
2b. Distribusi tanah negara kepada koperasi-koperasi
Sebelumnya sebagian besar tanah pertanian dikuasai oleh perusahaan negara. Perusahaan ini disubsidi besar-besaran oleh pemerintah. Namun demikian, produktivitas mereka jauh lebih rendah dibandingkan dengan koperasi yang lebih sedikit mendapat subsidi dan apalagi bila dibandingkan dengan petani-petani kecil yang tidak disubsidi.
Setelah krisis, terjadi reformasi dalam pengelolaan lahan. Sebagian tanah perusahaan negara dibagi-bagikan ke koperasi (UBPC, Unidad Basica de Produccion Cooperative, semacam koperasi produksi unit desa). Para karyawan perusahaan negara tersebut diberi pilihan untuk tetap menjadi karyawan atau secara berkelompok membentuk koperasi. Tanah tetap dimiliki oleh negara, tetapi koperasi-koperasi memperoleh usufruct right, semacam hak guna lahan dalam jangka panjang. Pada tahun 1989, tanah yang dikelola oleh perusahaan negara mencapai 78%, sementara pada tahun 1997 tinggal 24%. Sementara luasan yang dikelola koperasi bertambah dari 10% (1989) menjadi 57% (1997).
2c. Pembagian tanah untuk mereka yang ingin menjadi petani
Pemerintah juga membagikan tanah bagi individu yang ingin menjadi petani. Misalnya di daerah perkotaan, mereka diijinkan mengelola lahan-lahan kosong yang tidak digunakan dengan usufruct right. Sebagai kompensasi kepada pemerintah, mereka diwajibkan memberikan sumbangan untuk masyarakat sekitar misalnya menyediakan bahan makanan untuk makan siang anak-anak sekolah di daerah tersebut, rumah sakit atau orang-orang miskin.
2d. Perubahan sistem insentif
Perusahaan pertanian negara telah lama dikritik karena ketidakefisienannya. Meskipun menikmati subsidi paling besar, banyak di antara mereka kurang produktif bila dibandingkan dengan koperasi dan petani kecil. Untuk memacu produksi, pemerintah mengubah sistem produksi antara lain dengan: mengubah sistem penggajian dari berdasarkan jam kerja menjadi berdasarkan hasil produksi, memberikan tanggung jawab luasan lahan tertentu kepada orang tertentu agar produktivitasnya lebih dapat dikontrol dan memberikan insentif pembayaran dengan harga yang lebih tinggi untuk hasil produksi di atas kuota. Hal ini ternyata memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi pangan.
3. Perubahan di bidang distribusi [7]
3a. Pembukaan pasar produk pertanian: harga produk pertanian yang cukup tinggi
Sebelum krisis, pemerintah mengontrol seluruh sistem distribusi pangan. Ketika krisis sistem ini tidak dapat berjalan karena adanya pasar gelap, pencurian oleh distributor dan kerusakan-kerusakan di perjalanan. Tahun 1994 dibuka pasar produk pertanian untuk mengantisipasi permasalahan tersebut dan memudahkan akses masyarakat terhadap produk-produk pertanian, terutama pangan. Harga produk pertanian di pasar ini cukup tinggi sehingga para petani tergerak untuk menjual produk-produk mereka di pasar yang resmi dan lebih banyak orang tertarik untuk menjadi petani.
3b. Hubungan langsung antara petani dan konsumen
Sebelum krisis, distribusi pangan langsung ditangani oleh pemerintah secara sentralistik melalui ACOPIO (semacam BULOG untuk segala jenis produk pangan). Krisis menyebabkan sistem tersebut tidak dapat berlanjut dengan lancar antara lain akibat kurangnya bahan bakar menyebabkan produksi pangan seringkali tidak dapat diangkut tepat waktu dan akhirnya rusak. Sebagai alternatif, dibuat desentralisasi sistem distribusi dengan cara mendekatkan konsumen dan produsen. Dengan cara ini konsumen dapat menerima produk yang lebih segar, dalam waktu yang lebih cepat, harga lebih rendah (lebih sedikit rantai pemasaran) dan memotong kebutuhan transportasi.
Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan Kuba:
Berdasarkan pengalaman Amerika Serikat, konversi dari pertanian konvensional ke PO membutuhkan waktu 3-7 tahun. Masalahnya Kuba tidak punya sekian banyak waktu. Mereka butuh pangan pada saat itu juga, terutama di daerah perkotaan di mana 80% masyarakat bermukim. Berikut ini adalah faktor-faktor yang memungkinkan cepatnya perubahan yang terjadi di Kuba.
1. Faktor internal:
1a. Solidaritas pemerintah pada rakyat, kompaknya birokrasi dan keberanian menolak dominasi asing dalam proses pembangunan
Kuatnya solidaritas pemerintah terutama terhadap mereka yang miskin tercermin dalam setiap kehidupan masyarakat. Jabatan tinggi di pemerintahan tidak menjadikan mereka kaya. Menjadi sama seperti mayoritas adalah ideologi negara. Seorang menteri yang lebih miskin dari guru sekolah dasar adalah fenomena umum di negeri tersebut.
Birokrasi cukup kompak dalam kerjasama lintas instansi. Ini pula yang menyebabkan penyebaran teknologi baru bisa terjadi dengan sangat cepat di tingkat basis. Poder Popular, semacam organisasi masyarakat tingkat rendah mengorganisir kerja sama ini dan menjamin keberhasilan mobilisasi massa.
Keberanian pemerintah untuk bertahan pada cita-cita revolusi, menyebabkan pemerintah cukup memiliki keberanian untuk menolak setiap dominasi asing, meskipun konsekuensinya negeri itu tetap "miskin" bila dilihat dari segi konsumsi barang-barang mewah. Di Kuba, sangat jarang ditemui orang dengan mobil BMW (kecuali turis) tetapi tidak ada seorang anakpun yang mati kelaparan atau putus sekolah karena tidak punya biaya ataupun orang mati karena tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan. Dengan sedikit yang mereka punya, mereka telah menempatkan prioritas utama untuk kebutuhan dasar masyarakat banyak: pangan, kesehatan dan pendidikan[8].
1b. Petani yang berkualitas
Faktor pertama adalah akumulasi pengetahuan para petani kecil. Petani kecil yang tidak pernah menerima subsidi asupan kimia telah lama menguasai teknologi ini. Berdasarkan wawancara saya dengan beberapa dari mereka, apalagi yang telah bertani organis selama puluhan tahun, mereka berpendapat bahwa PO lebih produktif dalam jangka panjang dan lebih ramah lingkungan. Mereka yakin bahwa semakin mereka bertani organis, tanah akan semakin subur. Hal ini didukung dengan hasil panen mereka yang makin meningkat dan termasuk yang tertinggi bila dibandingkan dengan koperasi dan perusahaan pemerintah. Dengan dukungan pemerintah berupa kredit dan subsidi asupan organis mereka makin produktif lagi.
Faktor kedua adalah tingkat pendidikan di Kuba cukup tinggi, termasuk bagi para petani. Berdasarkan pengalaman saya berkunjung ke Kuba tahun 2001, kebanyakan dari mereka mengenyam sekolah tinggi pertanian. Pendidikan gratis untuk semua orang. Beberapa indikator pendukung antara lain: tingkat melek huruf 92%; terdapat satu peneliti untuk setiap 830 penduduk; satu dokter untuk setiap 190 penduduk. Faktor ini menyebabkan masyarakat Kuba termasuk para petani cukup kritis dan responsif dalam menerima dan mengolah informasi, termasuk teknologi yang akan mereka gunakan untuk memproduksi pangan mereka.
1c. Penelitian yang mendukung
Sebetulnya, teknologi PO telah dikembangkan di Kuba sejak lama oleh para peneliti Kuba telah sebagai persiapan jika hal-hal yang tidak diinginkan mengancam sistem keamanan pangan ala revolusi hijau mereka. Ketika krisis sungguh-sungguh terjadi, teknologi tersebut telah siap disebarkan melalui instrumen-instrumen kebijakan pendukung.
1d. Insentif untuk menjadi petani dan bekerja di sektor pertanian
Di Kuba berbagai upaya dilakukan untuk menarik orang bekerja di sektor pertanian, antara lain jaminan hak pengelolaan tanah yang cukup untuk petani, harga produk pertanian yang tinggi dan penghargaan terhadap profesi petani. Intinya, orang dapat hidup dengan layak dengan profesi ini; bahkan salah satu yang bepenghasilan besar.
Usaha untuk menghargai profesi petani dilakukan lewat sekolah; misalnya program kunjungan ke lahan pertanian untuk pelajar SD dan bekerja di daerah perdesaan, biasanya di perkebunan tebu selama dua minggu bagi para remaja dan program sukarelawan untuk bekerja di daerah pertanian selama beberapa bulan bagi pemuda/mahasiswa. Meskipun banyak orang tidak menyukai program ini, minimal mereka menjadi sadar bahwa petani adalah pekerjaan berat, berguna untuk semua orang dan wajib dihargai.
2. Faktor Eksternal:
2a. Tidak tergantung pada lembaga keuangan internasional: IMF dan World Bank
Tidak seperti kebanyakan negara dunia ketiga yang terjerat hutang dengan lembaga keuangan internasional, Kuba relatif bebas untuk memilih model pembangunan mereka. Pada tahun 1997, Kuba hanya menerima US$ 67 juta; itupun melalui perjanjian bilateral dan dana-dana bantuan untuk NGO. Tidak ada hutang kepada World Bank, IMF dan bank-bank pembangunan Amerika. (Sinclair & Thompson, 2001). Karena itu, pemerintah Kuba lebih bebas dan dapat secara mandiri merencanakan program penyelesaian krisis tanpa intervensi lembaga-lembaga internasional tersebut.
2b. Bebas dari kekuasaan perusahaan-perusahaan multinasional
Akibat embargo Amerika, Kuba relatif bebas dari cengkeraman perusahaan multinasional. Pemerintah menguasai semua sektor strategis dan mensubsidi habis-habisan tiga sektor utama: pangan, pendidikan dan kesehatan. Untuk dua sektor yang terakhir, fasilitas diberikan secara gratis untuk seluruh penduduk.
Krisis menyebabkan pemerintah tidak mampu lagi menyediakan pangan untuk seluruh penduduk, karena itu reformasi di bidang pangan di Kuba pada intinya adalah mengembalikan kedaulatan pangan pada petani sebagai produsen pangan.
Konsekuensi perubahan kebijakan
Konsekuensi dari sistem yang berlaku di Kuba adalah tidak ada yang akan menjadi terlalu kaya maupun terlalu miskin. Dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan gratis untuk semua orang, semua mendapatkan kesempatan yang sama untuk maju dan hidup layak.
Harga makanan yang tinggi menyebabkan sebagian besar penghasilan mereka digunakan untuk makanan (mencapai 66% dari penghasilan). Akibatnya tidak banyak yang tersisa untuk membeli barang-barang tersier atau menumpuk begitu banyak tabungan dan hidup dari bunga tanpa bekerja. Dalam sistem semacam ini orang lebih sulit untuk menjadi konsumtif; apalagi untuk produk-produk yang tidak mendesak.
Kedua, kurangnya minyak dan impor asupan pertanian, memaksa Kuba untuk melakukan desentralisasi sistem produksi dan distribusi. Lebih banyak digunakan sumber daya lokal dan masyarakat didorong untuk mengkonsumsi makanan lokal untuk meminimalisir kebutuhan energi untuk transportasi dan penyimpanan.
Ketiga, PO yang berdasarkan sumber daya lokal tidak membutuhkan institusi besar untuk memproduksi asupan pertanian dari luar, seperti pupuk kimia/pestisida. PO tidak membutuhkan konsentrasi modal, misalnya perusahaan multinasional sebagai produsen asupan tidak dibutuhkan keberadaannya. Akibatnya benefit dapat terdistribusi dengan lebih merata.
Keempat, perlu ada jaminan luasan lahan tertentu untuk petani. PO membutuhkan luasan lahan tertentu agar bisa dikelola secara efisien, tergantung dari kondisi lokalnya. Jika terlalu luas, maka petani tidak mampu mengelola seluruh lahannya. Sebaliknya jika terlalu sempit, maka cukup sulit untuk membangun keseimbangan ekosistem yang saling mendukung satu sama lain.
Penutup: Pelajaran untuk Indonesia
PO telah menyelamatkan Kuba dari kelaparan. Krisis telah mendesak mereka untuk menghentikan pertanian ala revolusi hijau dan untungnya mereka telah memilih pola pertanian yang lebih berkelanjutan dan kebijakan nasional yang berpihak ke petani sebagai produsen pangan.
Dibandingkan dengan Kuba, Indonesia memiliki jauh lebih banyak sumber daya alam, terutama di sektor pertanian. Pertanyaannya, mengapa kondisi masyarakat Indonesia secara umum, terutama kaum tani jauh di bawah Kuba?
Semoga pertanyaan di atas menjadi tantangan bagi kita untuk memikirkan strategi ketahanan pangan Indonesia yang lebih berkelanjutan dan bermanfaat bagi semua orang; dan memberi semangat dan keberanian untuk mengusahakannya.
Literatur Utama:
Murphy, Catherine (1999). Cultivating Havana: Urban Agriculture and Food Security in the Year of Crisis. Oakland: Food First, Policy Brief, 50 pp.
Romero, Bernice (2000) The Case for Unrestricted Food and Medicine Sales to Cuba. OXFAM America Report. http://www.oxfamamerica.org/cuba as on 21/08/01.
Rosset, Peter (1997a). Cuba: Ethics, Biological Control and Crisis. Agriculture and Human Values 14:291-302.
Rosset, Peter (1997b). Food security and local production of biopesticides in Cuba. ILEA Newsletter 13(4):18-19.
Rosset, Peter and Medea Benjamin (1994a) Two Steps Back One Step Forward: Cuba's National Policy for Alternative Agriculture. London: IIED.
Rosset, Peter and Medea Benjamin (1994b) The Greening of the Revolution. Cuba's experiment with Organic Agriculture. Melbourne: OCEAN Press.
Sinclair, Minor and Martha Thompson (2001) CUBA. Going Against the Grain: Agricultural Crisis and Transformation. OXFAM America Report. http://www.oxfamamerica.org/cuba/index.html as on 14/08/01.
Sulistyowati, Catharina Any (2001) Breaking The Myths: Lessons from Agricultural Policy Changes in Cuba during the nineties. Master Thesis. The Hague: Agriculture and Rural Development Program





[1] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Rosset & Benjamin, 1994b.
[2] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Rosset, 1997a dan b.
[3] Entomopagus adalah serangga yang memakan atau menjadi parasit serangga lain yang menjadi hama tanaman dan dengan demikian dapat dijadikan pengendali hama biologis. Sebagai contoh yang digunakan di Kuba antara lain Tricogramma dan Lixophaga (Rosset & Benjamin 94b:38-39).
[4] Entomopatogen adalah penyakit serangga, tetapi tidak menyebabkan penyakit pada manusia dan dengan demikian dapat digunakan sebagai penggendali hama yang tidak beracun. Termasuk di dalamnya bakteri, jamur dan virus. Di Kuba mereka menggunakan antara lain: Bacillus thuringiensis, Beauvaria bassiana, Metarhizium anisopliae dan Verticillium lecanii (Rosset & Benjamin 94b: 39-40).
[5] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Murphy, 1999.
[6] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Sinclair & Thompson, 2001.
[7] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Sinclair & Thompson, 2001.
[8] Hal ini juga tercermin misalnya dari gaji. Yang secara resmi memiliki gaji terbesar adalah orang-orang yang berprofesi guru, petani dan dokter.



















































































Selasa, 21 Juli 2020

[Opini] Absurdnya Ekonomi Uang

Banyak orang kini yg menyatakan bahwa kegilaan pada uang merupakan hidup yg realistis. Kita kini tidak bisa hayati tanpa uang. Betulkah ? Apakah uang dapat kita makan atau mengobati kita dari penyakit ?
Jika anda terperangkap sendirian di sebuah pulau kosong di tengah lautan luas, dengan segudang uang atau emas, apakah uang bisa membantu anda hayati ? Paling-paling uang kertas hanya sebagai kertas tissue, uang logam buat mainan anak-anak dan emas tidak lebih dari sebuah batu. Kenyataannya yang sahih adalah, kita nir bisa hayati tanpa kuliner, tanpa air dan tanpa udara.
Uang, nir mempunyai nilai pada dirinya sendiri bagi manusia. Uang hanya bernilai pada waktu suatu komunitas menyepakatinya sebagai indera tukar. Ya, nilai uang merupakan murni output mufakat sosial.
Kegilaan pada penumpukan uang membawa kita pada situasi yang absurd.

Absurditas yang paling kuno adalah perburuan terhadap logam mulia[1], yg adalah keliru satu pendorong primer kolonialisme. Logam mulia sebagai bernilai lantaran dipakai sebagai wahana pertukaran, bukannya karena bermanfaat bagi kehidupan manusia. Tentu kita jangan lupa kisah-kisah perburuan emas di Amerika, begitu poly orang yg sudah sebagai korban dalam perburuan logam mulia yg absurd ini.

Kekacauan Penilaian

Di luar absurditas antik itu, ekonomi berbasis uang saat ini telah membentuk kekacauan kemampuan kita melakukan evaluasi. Kegilaan kita buat menumpuk lebih poly uang telah menciptakan kita menghancurkan jutaan hektar hutan yang kaya akan kehidupan. Pertanyaannya, pada ketika semua hutan sudah rusak, uang yg kita kumpulkan akan kita pakai buat apa ? Ini bukan dilema ayam atau telur, lantaran jelas hutan, huma yg fertile, sungai yg sehat jauh lebih bernilai berdasarkan setumpuk uang kertas.
Saat ini barang-barang glamor, misalnya perhiasan dan kosmetik, dipercaya lebih bernilai dibandingkan kuliner yg sehat. Sebagian besar dana buat penelitian farmasi digunakan buat membuatkan kosmetik dan bukannya untuk menyebarkan obat bagi penyakit yg mengancam nyawa seorang misalnya malaria atau kanker. Mana yang lebih krusial, nyawa seorang atau paras putih yg higienis menurut jerawat ?
Penilaian kita terhadap suatu barang-barang mewah itu bukanlah nilai yang alami. Itu adalah nilai-nilai yg diciptakan melalui rekayasa persepsi yg sophisticated, dengan memanfaatkan semangat hedonis. Suatu taktik klasik para pedagang. Tujuannya tentu adalah buat memompa perdagangan, karena perdaganganlah sarana primer buat menumpuk uang.
Banyak pendukung ekonomi perdagangan dan uang, yang versi canggihnya bernama Neoliberalisme atau pasar bebas global, menyatakan bahwa ekonomi neoliberalisme akan mendorong alokasi sumberdaya secara rasional. Namun, dalam kenyataannya tidak demikian, kita justru mengalokasikan sumberdaya ke hal-hal yg nir bermanfaat, bukannya pada hal-hal yang mendasar bagi kehidupan kita.

Memperkaya Diri Dari Kelangkaan

Karena ekonomi uang dikembangkan buat kepentingan para pedagang, logika pedagang menjadi berperan krusial. Salah satu cara pedagang dalam merekayasa nilai barang adalah menggunakan memanfaatkan kelangkaan. Ini versi yang lebih telanjang dari hukum penawaran-permintaan.
Kolonialisme berkembang salah satunya buat mencari barang-barang yang langka. Walaupun barang langka itu tidak terlalu bernilai bagi kehidupan, contohnya perhiasan atau bumbu masak, namun para pedagang memaksakan harga mahal untuk barang itu menggunakan alasan bahwa itu barang langka.
Lantaran barang yg langka bisa dijual menggunakan harga yg lebih mahal, tidak menjadi persoalan atau justru baik jika kita mencemari sungai & merusak hutan-hutan. Air bersih melimpah tidak terdapat harganya bagi perdagangan, tetapi jika air higienis semakin langka, muncullah bisnis dagang air. Tidak heran jikalau di tengah kerusakan alam kini ini, para investor mulai sibuk mengembangkan investasi pada sektor air. Air yg langka menjadi bernilai pada ekonomi uang. Mungkin hal yang sama akan terjadi dalam udara higienis.
Contoh lain, hancurnya lahan hijau kota atau tercemarinya sungai dan pantai di dekat rumah kita, tidak menjadi persoalan bagi para pedagang. Bila alam di sekitar tempat kita rusak, semakin banyak orang yang harus menempuh perjalanan jauh untuk berwisata. Artinya, semakin berkembang pula bisnis wisata (tepatnya, perdagangan objek wisata). Demikian pula, tempat yang alami dan berudara bersih sekarang dijual sebagai lokasi real estate dengan harga mahal.
Dunia ini telah terkurung oleh nalar pedagang. Lantaran itu, jangan heran bila kita begitu sulit memperoleh dana buat kegiatan pelestarian alam. Jika sumberdaya alam kembali berlimpah, habislah peluang berdagang.

Pendarahan Ekonomi Lokal

Para petani sekarang pun harus menjalani kehidupan yang absurd. Sebelumnya mereka menyimpan hasil panen untuk makanan mereka sendiri. Namun mereka diajarkan untuk menyimpan uang di bank. Akibatnya mereka harus menjual hasil panennya untuk mendapatkan uang, yang kemudian mereka belikan makanan.
Konversi suatu barang sebagai uang, dan membelinya kembali, nir akan pernah efisien. Untuk proses jual beli, kita wajib membayar biaya perdagangan & para pedagangnya, yg umumnya mengambil laba besar . Akibatnya para petani sebenarnya merugi. Jumlah beras yg mampu kita beli tidak akan sama menggunakan jumlah beras yang sudah kita jual.
Bagi petani, atau desa di mana petani tinggal, jelas ini merupakan ekonomi yg nir efisien & hanya menguntungkan para pedagang. Banyak petani pada wilayah-wilayah lumbung padi yang kelaparan karena nir bisa membeli kuliner. Jelas ini cara yang absurd pada menjalankan ekonomi.
Ekonomi yang absurd dari sudut pandang lokal ini, sebenarnya terjadi karena pertanian dimanfaatkan untuk mendukung ekonomi perkotaan. Sekali lagi ini kepentingan kaum pedagang dan industrialis. Petani didorong untuk menjual makanannya ke kota , agar mereka memperoleh makanan tanpa harus menanamnya sendiri. Ini kebiasaan para investor yang ingin memperoleh sesuatu dengan ongkang-ongkang kaki[2].
Lebih jauh lagi, dengan banyak sekali cara, harga makanan dipaksakan buat tetap rendah. Dengan demikian, porto operasional kegiatan perdagangan & industri bisa ditekan. Sekali lagi, ini proses pengacauan penilaian.
Persoalannya sebagai lebih sulit ketika orang-orang desa digoda oleh kemewahan kehidupan perkotaan. Mereka membutuhkan uang buat membeli barang-barang glamor. Ini semakin mendorong petani atau suatu desa untuk menjual output buminya daripada menyimpannya buat kebutuhan sendiri.






[1] yang kemudian pada global terbaru digantikan sang uang.
[2] Ini yang dianggap sang penulis kitab ?Rich Dad Poor Dad? Sebagai ?Kebebasan finansial?.



























Kamis, 16 Juli 2020

[Opini] LELAKI AKTIVIS PEREMPUAN

Oleh Tabrani Yunis
Director Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Dalam program Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia yang diselenggarakan sang Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jakarta, di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, lepas 28-31 Agustus 2006, terdapat beberapa laki-laki sebagai peserta & juga panitia. Kehadiran beberapa lelaki pada tengah ? Tengah sekitar 300-an peserta aktivis wanita tersebut, memang seperti mengundang sedikit perhatian bagi beberapa perempuan yg hadir. Tetapi, bagi para aktivis perempuan kehadiran atau keterlibatan beberapa lelaki sebagai peserta dan panitia pada acara tersebut, bukanlah hal yang asing. Lantaran kehadiran laki-laki pada memperjuangkan nasib kaum wanita yg termarginalkan sang aneka macam faktor tersebut, sudah lazim ditemukan. Khususnya pada dunia LSM, kini telah poly kaum laki-laki yang secara eksklusif dan sadar berjuang bersama kaum wanita buat mengangkat persoalan-dilema yang dihadapi oleh kaum wanita marginal baik yang berada pada perkotaan, maupun di pedesaan. Ada yg secara individu aktif pada pada warga & ada jua yg memperjuangkannya melalui organisasi-organisasi misalnya organisasi non pemerintah ( ORNOP). Pendeknya, baik secara individu maupun melalui institusi Ornop, kini poly pria terlibat pribadi memperjuangkan pemugaran nasib kaum perempuan yang terpuruk.

Kehadiran laki-laki pada gerakan perjuangan wanita pada tanah air juga dalam konteks dunia, memang belum sepenuhnya bisa dinyatakan sebagai sebuah bagian dari usaha wanita. Belum seluruh pihak yakin & bisa mendapat kehadiran pria pada konvoi itu, apalagi yang disebut dengan lelaki aktivis wanita atau lelaki feminist. Lelaki aktivis wanita atau pria yg feminist, memang belum sepenuhnya bisa dipercaya atau diyakini menggunakan benar-benar-sungguh oleh para perempuan . Penolakan atau ketidakpercayaan tadi lantaran banyak wanita yang melihat gambaran diri laki-laki pada perspektif yang penuh dengan rasa was-was. Bahkan terdapat yg mengatakan, bagaimana seseorang pria aktivis atau laki-laki feminis sanggup memperjuangkan hak dan nasib wanita. Dalam perpekstif ini laki-laki dikatakan akan tetap laki-laki . Artinya, pria akan pulang dalam ego kelelakiannya. Benarkah demikian?
Kiranya, pandangan demikian nir selamanya sanggup dikatakan benar. Namun, jua nir bisa secara serta merta dikatakan salah . Dikatakan demikian, karena dalam empiris keseharian, pandangan yg radikal terhadap laki-laki tadi memang seringkali terbukti. Ketika, para perempuan merasa sangat kagum terhadap seorang laki-laki yg pada kehidupannya sangat concern memperjuangkan pemugaran nasib wanita, memperjuangkan hak-hak wanita. Namun, poly yg tidak konsisten dengan usaha tersebut. Lelaki yg dipandang dan dilabelkan sebagai lelaki feminist atau lelaki aktivis perempuan , ada yg tidak bisa mengontrol komitmen yg sudah dibangun. Seorang pria aktivis wanita atau seseorang laki-laki yang feminist, sebenarnya mempunyai rambu-rambu yang harus dijaga & dipatuhi, kalau ingin menjadi seorang aktivis atau feminist. Misalnya, menjaga hal-hal yang nir merugikan atau melecehkan wanita. Idealnya, seorang aktivis wanita atau lelaki feminist memang secara totalitas menjalankan prinsip-prinsip & nilai-nilai aktivis & feminist yang dianut. Seorang aktivis perempuan & atau lelaki feminist, diharapkan bisa menyelaraskan antara kata & perbuatan. Artinya, sebagai seseorang aktivis atau seseorang lelaki feminist, bukan hanya ada dalam ujaran atau ucapan-ucapan yg diekspresikan secara ekspresi, namun juga sinkron dengan perbuatan atau pendeknya, diimplementasikan pada rutinitas atau kehidupan keseharian.
Seorang aktivis perempuan dan lelaki feminist, jua sangat diperlukan tidak berucap atau melakukan tindakan yang menyakiti wanita, baik yang bersifat pelecehan, tindak kekerasan juga tindakan lain yg merugikan kaum perempuan . Sebagai galat satu contoh adalah tindakan istri lebih dari satu. Lantaran istri lebih dari satu adalah sebuah tindakan yg merugikan dan melemahkan posisi perempuan . Poligami yang dibenci sang banyak orang baik laki-laki , apalagi kaum perempuan dan aktivis dan lelaki feminist. Maka, bila ada pada antara aktivis wanita yang melakukan istri lebih dari satu, para aktivis wanita & wanita secara generik akan mempersoalkan & mengakibatkan perkara ini sebagai sebuah tindakan yg sangat menyakitkan. Oleh sebab itu para perempuan akan mengecamnya.
Sebuah perbincangan yang sangat hangat tentang perkara istri lebih dari satu pada mailing list wanita, bukan lagi masalah istri lebih dari satu yg dilakukan AA Gym. Namun kali ini para aktivis perempuan waktu ini merasa sangat dikecewakan oleh sikap dan tindakan seorang Ade Armando yang selama ini dipercaya sangat concern menggunakan perkara wanita. Kekecewaan para perempuan & aktivis perempuan terhadap sikap & tindakan Ade Armando yang melalukan istri lebih dari satu bisa kita baca dalam goresan pena Adriana Venny , Direktur Jurnal Perempuan di mailing list perempuan dalam tanggal 15 Februari 2007 yang menulis dalam tulisannya, Berpoligami pada hari kasih sayang. Tulisan itu mendapatkan poly tanggapan menurut peserta yg pada biasanya sangat kecewa terhadap Ade Armando yg telah terlanjur dipercaya pro perempuan .
Berpoligami atau melakukan hal-hal yg merugikan perempuan sang pihak aktivis & lelaki feminist memang sangat dikecam. Karena ini sangat dikecam, maka persepsi & tindakan aktivis perempuan & lelaki feminist yang merugikan wanita acapkali menjadi dilematis jika tidak bisa berlaku konsisten. Sehingga, tatkala terperangkap pada jaring keterlanjuran, yg dilakukan merupakan berusaha mencari alasan-alasan pembenaran. Dan jika nir, maka jalan akhir yang ditempuh adalah jalan akhir menggunakan ucapan ?Aku juga insan.? Nah, jikalau sudah ini jawabanya, maka habislah upaya kita dalam mencari argumentasi. Kondisinya pun sebagai sangat kontroversi.
Agaknya, memang seorang lelaki sebagai aktivis perempuan atau lelaki feminist, memang nir mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Seorang lelaki aktivis wanita atau lelaki feminist mampu dipandang miris terutama dari kalangan laki-laki yang kental menggunakan sifat kelelakiannya. Tantangannya semakin berat waktu tingkat kepercayaan akan keberadaan lelaki aktif & feminist masih sangat rendah. Dan semakin berat tantangannya tatkala terdapat orang-orang atau tokoh-tokoh sekaliber Ade Armando, Masdar & yg lainnya melakukan hal-hal yg kontroversial menggunakan apa yang seharusnya. Lantaran dalam empiris yg sedang berjalan, kala kaum wanita sangat mengecam istri lebih dari satu, kecaman itu misalnya disiram menggunakan tindakan aktivis dan feminist dengan tindakan istri lebih dari satu. Mengecewakan bukan ? Barangkali, sangatlah lumrah, bila kualitas lelaki aktivis & lelaki feminist diragukan. Wajar juga kalau ada sebuah organisasi atau forum dana nir percaya terhadap lelaki pemimpin sebuah Ornop yang memberdayakan & menguatkan perempuan .
Dalam syarat ini, walau keraguan itu masih tinggi, Kita memerlukan eksistensi pria sebagai aktivis wanita atau sebagai lelaki feminist. Ini perlu supaya keterlibatan banyak laki-laki pada membela & memperjuangkan hak-hak wanita yg tertindas. Dengan membentuk perilaku pria aktivis wanita, akan poly laki-laki yg sadar akan perlunya gerakan beserta membela perempuan . Kalau hilang satu, akan ada pria aktivis wanita lain yg masih sanggup tetap berjuang. Bagaimana rekan-rekan?









Selasa, 14 Juli 2020

[Opini] Jebakan Kehidupan : Faktor Tersembunyi Penghambat Kebahagiaan



Apakah anda merasa sulit buat berbahagia?
Apakah anda merasa sulit percaya diri?
Apakah anda merasa selalu terjebak kasus dengan pasangan atau rekan kerja menggunakan karakter yg mirip?
Apakah anda merasa selalu tertimpa berbagai perkara beruntun yang merusak anda mencapai keberhasilan yg anda idam-idamkan?
Apakah anda merasa emosi negatif anda berulang kali menggunakan mudahnya terpicu?
Apakah anda merasa mengalami perkara fisik yg tidak terdapat habisnya?
Apakah anda sulit keluar menurut norma yg tidak baik, meskipun anda menginginkannya?
Apakah anda permanen sulit merasa puas dan senang , meskipun anda sudah mencapai & memiliki begitu poly hal?


Jika anda mengalami satu atau lebih karakteristik-karakteristik pada atas, hati-hatilah, mungkin anda sedang berada di tengah jebakan kehidupan yang menghambat anda mencapai kebahagiaan.


Definisi Kebahagiaan
Menurut Wikipedia, kebahagiaan adalah syarat mental yg ditandai oleh emosi positif mulai berdasarkan perasaan senang hingga sangat senang . Kondisi mental inilah yg dicari sang banyak orang di seluruh global. Ada yg mencarinya lewat berbelanja sebesar mungkin. Ada yang mencarinya dengan beramal sebanyak mungkin. Ada yg mencarinya lewat menulis, lewat menyanyi, lewat jalan-jalan dan poly lagi jalan menuju kebahagiaan.


Sayangnya lepas dari segala hal yg sudah dilakukan orang buat mencapai kebahagiaan, tidak semua orang mudah mencapai kebahagiaan yang dicarinya. Ada saja sesuatu yg menciptakan orang tidak berbahagia. Orang lain, situasi yang tidak sinkron dengan cita-cita, harga mahal & poly hal di luar diri kita yang kita tuduh menjadi biang keladi penyebab ketidakbahagiaan kita. Benarkah demikian?


Pertanyaan selanjutnya merupakan, apabila begitu banyak orang menginginkan kebahagiaan & melakukan begitu poly upaya buat mencapainya, mengapa tidak seluruh bisa meraihnya? Apa faktor penghambat mereka mencapai kebahagiaan sejati?


Jebakan Kehidupan ? Faktor tersembunyi penghambat kebahagiaan
Jeffrey Young, Ph.D and Janet Klosko, Ph.D, dalam bukunya Reinventing Your Life, Breakthrough Program to end Negative Behaviour and Feel Great Againmenjelaskan konsep life trap atau jebakan kehidupan. Di dalam buku tersebut jebakan kehidupan digambarkan sebagai pola hidup negatif yang terjadi berulang-ulang sehingga menghambat kita mencapai apa yang kita inginkan. Jebakan kehidupan ini dapat berawal jauh di masa lalu, saat yang mungkin kita sudah lama melupakannya, dan berulang terus-menerus dengan pola yang tidak disadari sehingga yang kita menjadi terbiasa dengannya. Apalagi pola ini biasanya ini merupakan bagian dari strategi diri kita untuk mempertahankan hidup.


Jenis-jenis Jebakan Kehidupan & Asal usulnya
Ada 11 jenis jebakan kehidupan yang dituliskan oleh Young and Klosko sebagai berikut:
(1) Abandonment – Si Takut Sendirian
Ciri-ciri orang dengan jebakan kehidupan abandonment adalah kebutuhan untuk mencari teman, meskipun teman tersebut telah bertindak buruk padanya, dan selalu memaafkan orang lain meskipun orang tersebut telah berulang kali bertindak buruk dan mengecewakannya.
Penyebab utama jebakan kehidupan abandonment adalah kehilangan orang yang dicintai saat kecil. Perasaan kehilangan inilah yang dihindari oleh orang dengan jebakan kehidupan ini. Untuk menghindari perasan kehilangan, orang dengan jebakan kehidupan ini, akan tetap mempertahankan pasangan, kawan, atau rekan kerja yang telah mengkhianatinya meskipun dengan penuh penderitaan.


(2) Mistrust & abuse – si Curigaan
Ciri-ciri utama orang dengan jebakan kehidupan ini adalah selalu berasumsi buruk, sulit mempercayai orang lain, selalu curiga, seing merasa bahwa ia akan dibohongi atau ditipu, atau takut orang mengambil keuntungan dari dirinya.
Penyebab utama jebakan kehidupan ini adalah terlalu sering dibohongi atau dilecehkan di masa kecil yang berujung pada perasaan tidak aman dan ketakutan yang berlebihan.


(3) Emotional Deprivation – si Dingin
Ciri-ciri utama orang dengan jebakan kehidupan ini adalah dingin, tidak peduli pada orang lain, tidak punya teman dekat atau pasangan atau justru sering berganti teman atau pasangan, atau sering berganti pekerjaan.
Penyebab utama jebakan kehidupan ini adalah kurangnya cinta dan kehangatan di masa kecil. Mungkin karena orang tuanya dingin, anak merasa kurang dicintai dan dimengerti perasaannya. Akibatnya, ia merasa tidak berharga, tidak layak dicintai dan tidak penting.


(4) Social Exclusion – Si Aneh
Ciri-ciri utama orang dengan jebakan kehidupan ini adalah merasa selalu diasingkan, tidak diterima oleh kelompok, aneh, atau tidak selevel dengan orang lain.
Penyebab utama jebakan kehidupan ini adalah ejekan, penilaian buruk, perlakuan yang menyakitkan oleh orang tua, atau orang-orang terdekat. Perlakuan tersebut menyebabkan orang merasa dirinya buruk, tidak berharga, aneh dan berbeda dari orang lain, dan ada perasan ingin mengasingkan diri, tertutup dan enggan membangun hubungan dengan orang lain.


(5) Dependence – Si Tergantung
Ciri-ciri utama orang dependen adalah selalu ragu-ragu, bingung, panik, sulit mengambil keputusan dan bertindak mandiri. Ia selalu meminta pertimbangan orang lain dan mengikuti saja apa yang diputuskan oleh orang lain.
Penyebab jebakan kehidupan ini adalah orang tua yang sangat protektif dan otoriter.


(6) Vulnerability – Si Rentan
Ciri-ciri utama orang dengan jebakan kehidupan vulnerability adalah selalu merasa ragu untuk keluar dari zone nyamannya. Ia merasa kuatir, rapuh, penuh masalah, takut akan ancaman, bencana, dan penyakit.
Jebakan kehidupan ini terutama disebabkan oleh orang tua yang terlalu protektif.


(7) Defectiveness – Si Kurang Berharga
Ciri-ciri utama orang dengan jebakan kehidupan ini adalah perasan lebih rendah dari orang lain, sering menyalahkan diri, tidak yakin apakah orang menghargai dirinya, dan selalu merasa adanya penolakan.
Jebakan kehidupan ini terutama bersumber dari serangan kritik berkepanjangan di masa kecil, perasaan tidak berharga dan tidak dicintai.


(8) Failure – Si Gagal
Ciri-ciri utama orang dengan jebakan kehidupan ini adalah ketidakmampuan untuk mendapatkan apa yang dicita-citakan dalam hidupnya. Ia selalu merasa gagal dalam setiap aspek kehidupan, tidak percaya diri, selalu ragu-ragu dan merasa tidak mampu untuk melakukan sesuatu yang baru. Bahkan, ia bisa melebih-lebihkan kegagalannya, merasa menjadi korban keadaan, padahal ia sendiri justru melakukan tindakan yang (seringkali tanpa ia sadari) malah menyebabkan kegagalan tersebut.
Asal mula jebakan kehidupan ini antara lain adalah sering dicemooh, dianggap bodoh, tidak mampu, tidak trampil maupun malas. Akhirnya ia benar-benar merasa bodoh, tidak mampu, malas, tidak trampil, selalu gagal dan korban keadaan.


(9) Subjugation – Si Kurang Penting
Orang dengan jebakan kehidupan ini selalu merasa orang lain lebih tahu, lebih ahli, lebih tahu dan harus dituruti. Perasaan sendiri kurang penting dibandingkan orang lain. Seringkali ia menikah dengan orang yang otoriter dan suka mengontrol, dan selalu patuh pada orang tersebut. Ia merasa berbeda pendapat adalah aib dan tabu. Ia merasa bersalah jika berbeda pendapat, takut dihukum atau ditinggalkan, dan membiarkan orang lain mengontrol hidupnya.
Asal mula jebakan kehidupan ini adalah tekanan orang tua semasa kecil yang berujung pada ketakutan untuk tidak patuh.


(10) Unrelenting standards – Si Tidak Toleran
Ciri-ciri orang dengan jebakan kehidupan ini adalah tidak pernah puas, meskipun sudah mengejar dan mencapai banyak hal. Ia bersedia menekan dirinya dan mengorbankan banyak hal lainnya untuk mendapatkan banyak hal seperti karir, cinta, nama baik dan lain-lainnya. Ia merasa harus berhasil, karena kegagalan adalah aib. Hanya dengan berhasil, ia merasa diterima dan dihargai.
Asal mula jebakan kehidupan ini adalah tuntutan orang tua yang tinggi di masa kecil, tekanan untuk menjadi nomor satu atau yang terbaik.


(11) Entitlement – Si Egois
Ciri-ciri orang dengan jebakan kehidupan entitlement adalah selalu menginginkan sesuatu dengan cepat tanpa peduli situasi dan kondisi. Ia merasa berhak mendapatkan apa yang diinginkan, tanpa peduli dengan orang lain. Ia berkata dan bertindak tanpa mempedulikan pertimbangan dan perasaan orang lain. Ia bisa berperilaku kasar dan meledak-ledak jika apa yang diinginkan tidak diperoleh. Ia tidak bisa disiplin, ikut aturan main sosial, serta semaunya sendiri.
Asal mula jebakan kehidupan ini adalah perlakukan orang tua yang terlalu memanjakan. Orang dengan jebakan kehidupan ini merasa bahwa orang lain akan menghargainya jika mereka mematuhi dan mengikuti apa yang diinginkannya.


Masalah atau pemicu?
Kesebelas jebakan kehidupan di atas adalah faktor-faktor yang banyak menghambat orang mengalami kebahagiaan. Seseorang dapat memiliki satu atau lebih jebakan kehidupan. Kombinasi dari berbagai jebakan kehidupan, membuat kehidupan kita lebih kompleks dari yang kita sadari. Mengapa? Karena jebakan kehidupan membuat kita salah menilai realitas kebutuhan kita saat ini. Kita sibuk membereskan hal-hal yang kita duga sebagai penyebab-penyebab ketidakbahagiaan di masa sekarang, padahal sebabnya ada di masa kecil. Banyak hal yang seringkali kita anggap sebagai penghambat kita mencapai kebahagiaan seringkali hanyalah sebuah pemicu yang membuat otak kita terhubung dengan masalah lain yang lebih mendalam, yaitu kebutuhan kita di masa kecil yang tidak terpenuhi.  Kebutuhan di masa kecil itulah yang menjadi masalah utama dan harus dipenuhi dulu jika kita ingin keluar dari jebakan kehidupan kita.


Pada dasarnya kebutuhan utama seorang anak yang perlu dipenuhi di masa kecil adalah kebutuhan akan keamanan, kestabilan, cinta, pengasuhan dan perhatian, penerimaan dan penghargaan, empati, perlindungan dan pengarahan, pengakuan akan perasaan dan kebutuhan. Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dipenuhi semasa kecil, perasaan kekurangan yang saat itu dialami akan terus terbawa, dan mempengaruhi cara berpikir dan tindakan orang tersebut ketika menjadi dewasa. Masalahnya, seringkali cara berpikir yang melandasi tindakan tersebut seringkali tidak disadari. Akibatnya, masalah demi masalah menimpa kita, tanpa kita tahu penyebabnya. Dan kita pun sibuk mengurusi pemicu masalah, tanpa menanggani penyebab utamanya.


Keluar dari jebakan kehidupan
Young dan Klosko merumuskan lima tahap untuk keluar dari jebakan kehidupan sebagai berikut. Pertama, seseorang perlu mengakui adanya jebakan kehidupan tersebut dan memahami bagaimana jebakan kehidupan telah mempermainkan hidup mereka.  Langkah kedua adalah berpikir dan mengingat kembali penyebab jebakan kehidupan tersebut. Pola pikir apa yang ada di dalam benak seseorang sehingga seseorang mengalami jebakan kehidupan tersebut? Jika pola pikir tersebut sudah diketahui maka pola pikir tersebut harus diganti dengan pola pikir baru yang lebih sesuai dengan tujuan hidup kita. Langkah ketiga adalah merasakan kembali emosi negatif yang menjadi penyebab jebakan kehidupan itu dan memeriksa ulang adanya kebutuhan tersebut. Langkah keempat adalah memecah jebakan-jebakan kehidupan tersebut di dalam langkah-langkah yang lebih bisa ditangani. Pada setiap saat tanganilah satu saja jebakan kehidupan. Langkah kelima adalah memaafkan sumber jebakan kehidupan tersebut.


Bagaimana dengan kehidupan anda sendiri? Semoga anda tidak mengalami satu atau lebih dari jebakan kehidupan di atas, dan walaupun ternyata mengalami, mudah-mudahan anda dapat segera menyadari dan keluar dari sana. Mudah-mudahan dengan demikian anda menjadi lebih mudah berbahagia!
(Any Sulistyowati)

































































































Minggu, 12 Juli 2020

[Opini] Pelanduk yang Mati Suri

Tujuh tahun berlalu ketika Bandung mendapat bencana memalukan yaitu  longsornya tanah di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Leuwigajah, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Peristiwa itu merupakan bencana sampah terbesar di Indonesia yang mengakibatkan korban meninggal 143 jiwa dan puluhan orang lainnya luka-luka.
Berita mengenai bala akibat kelalaian manusia tadi diliput oleh seluruh media yang ada di Indonesia. Warga Jawa Barat gelisah lantaran sampahnya nir diangkut, khususnya mereka yg berdomisili pada kota Cimahi, kabupaten Bandung & kota Bandung. Puncak bala terjadi ketika Bandung dijuluki sebagai Bandung Lautan Sampah, sampai-hingga presiden Susilo Bambang Yudoyono turun tangan menaruh ultimatum.

Namun ketika akhirnya TPA baru, yaitu TPA Sarimukti dioperasikan, apakah rakyat Jawa Barat membarui perilakunya pada hal membuang sampah? Sayangnya tidak. Apakah sistem pengolahan sampah berubah? Tidak jua. Apakah regulasi yang lebih sempurna sasaran digulirkan? Ya. Namun sayang, tidak dijalankan.
Kota Bandung, kota molek hingga mendapat julukan Parijs van Java telah berubah menjadi kota yang sangat kumuh. Semrawut dan macet. Penyebabnya tidak hanya sampah tapi pembangunan hantam kromo tanpa mengindahkan kaidah. Tanpa mempedulikan kualitas hidup warga kota.
Trotoar yang seharusnya nyaman digunakan pejalan kaki dan penyandang disabilitas berubah menjadi area pedagang kaki lima (PKL) yang merasa berhak menggunakan setiap ruang publik. Tidak hanya PKL, seiring digalakkannya kampanye penghijauan, pemegang otoritas merasa sah-sah saja menanami trotoar dengan bermacam tanaman hias dan pohon pelindung. Namun, di sisi lain hak para pejalan kaki terabaikan. Dalam bahasa Betawinya, “Mau jalan di selokan kek, naik ke atas pot tanaman kek  atau mlipir rebutan jalan sama sepeda motor dan mobil kek, gue gak peduli!”
Arah kebijakan tentag penghijauan menjadi tidak jelas, apakah untuk warga kota atau sekedar memenuhi ambisi pejabat pemerintahan  dalam meraih penghargaan? Untuk diketahui bersama, pimpinan tertinggi Bandung mempunyai semboyan : “Tiada hari tanpa menanam pohon dan menerbangkan burung!”
Rupanya, demi menanam jutaan pohon, di manapun tempatnya mereka tak peduli. Pokoknya tanam saja. Kebijakan tentang area penanaman pohon semakin membingungkan karena tempat Bandung Utara yang merupakan wilayah resapan justru dijual dalam kaum kapitalis buat membentuk bermacam bangunan. Mulai berdasarkan tempat tinggal makan, perumahan hingga sekolah bertaraf internasional.
Mengapa pembangunan diarahkan ke wilayah Bandung Utara, bukannya wilayah Bandung Selatan agar terjadi pemerataan pembangunan? Hal tersebut  banyak dipertanyakan para penggiat lingkungan di Bandung. Dengan masifnya pembangunan Bandung Utara maka masalah banjir di wilayah Bandung Selatan tidak akan pernah terselesaikan. Alih-alih melindungi wilayah Bandung Selatan dari banjir, daerah hulu yang letaknya di Bandung Utara justru semakin gencar mengirim longsoran tanah dan sampah yang terbawa oleh aliran air.
Ditengah hiruk pikuk ketidakjelasan arah pembangunan yang berkelanjutan pada Kota Bandung, kemanakah para penggiat lingkungan? Mereka terdapat, bahkan relatif intens bertemu dalam sebuah forum, yaitu Forum Hijau Bandung (FHB) dimana mereka mampu saling menyebarkan & melengkapi.
Sayangnya itu semua tidak cukup. Intensitas kerusakan alam lebih cepat dibandingkan kecepatan gerak para penggiat lingkungan. Sebagian dari mereka bahkan  baru mengenal isu lingkungan sebatas seremoni. Pandangan para penggiat lingkungan di Bandung belum menyentuh urgensi  lingkungan keberlanjutan.
Tidak hanya mereka, jajaran pejabat dan mayoritas warga kota Bandung pun belum memahami esensi pelestarian lingkungan. Isu pelestarian lingkungan hanya dimaknai sebagai menanam pohon dan menerbangkan burung. Tanpa mempedulikan bahwa kelak pohon pelindung akan tumbuh sebesar minimal diameter  60 cm sehingga tidak bisa ditanam hanya dengan jarak 30 cm. Tanpa mempedulikan bahwa burung-burung yang diterbangkan adalah hasil ternakan sehingga akan kembali ke pemiliknya.
Sampah pun dengan  entengnya dibuang sembarang tempat. Perhatikan jalan-jalan utama kota Bandung yang tak pernah sepi dari sampah. Tindakan tak bertanggung jawab telah menyerahkan beban sampah pada pemulung, tukang sapu jalan dan air selokan. Seolah-olah semua orang beranggapan bahwa sampah akan lenyap dengan sendirinya.
Penggiat lingkungan dan murid-murid sekolah yang aktif baru bergerak seputar bersepeda bareng dan mengumpulkan sampah bersama-sama. Baik di jalan-jalan raya maupun di sungai Cikapundung, sungai terbesar yang mengalir di tengah kota Bandung. Padahal ada sekitar 47 anak sungai di kota Bandung, tempat dimana warga kota membuang sampahnya, mulai dari sampah rumah tangga hingga peralatan rumah tangga yang tak terpakai (kursi, kasur, dan bantal).
Seironis itulah lingkungan kota Bandung. Aneh. Entah mengapa warga kota Bandung yang terkenal kreativitasnya  tiba-tiba menjadi mandul ketika harus mencari solusi pelestarian lingkungan kota Bandung.
Akhir cerita bisa diduga, tiap pihak saling menyalahkan. Penggiat lingkungan menyalahkan pejabat kota yang dinilai menyalahgunakan otoritas. Pejabat kota menyalahkan penggiat lingkungan yang dituduh menghalangi “niat baik”. Sedangkan warga kota yang belum paham permasalahan lingkungan bagaikan pelanduk yang mati suri di tengah gejolak. Padahal, energi untuk saling menang sendiri atau saling mementingkan ego kelompok dapat digunakan untuk memberikan  edukasi pada masyarakat. Setidaknya mereka dapat melakukan tindakan termudah tapi paling esensial yaitu : bertanggung jawab terhadap sampahnya.


(Maria Hardayanto)

















Kamis, 09 Juli 2020

[OPINI] Pentingnya Relawan Bagi Gerakan Sosial

Selain organisasi dan jaringan, ada satu faktor lain yang berpengaruh bagi munculnya sebuah gerakan sosial, yakni nilai-nilai yang menggerakkan seseorang sebagai aktor gerakan sosial, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Nilai-nilai berperan memandu seseorang untuk melakukan perubahan, sekaligus menemukan kawan seiring yang mempunyai nilai-nilai yang sama. Nilai-nilai juga memengaruhi seseorang untuk menetapkan tujuan-tujuan khusus dan mengidentifikasi strategi yang secara moral bisa diterima ( Donatella Della Porta& Mario Diani, 2006 : 67).Seseorang yang memegang teguh nilai-nilai yang diperjuangkan, akan memunculkan sikap kerelawanan dalam tindakan-tindakan sosialnya.

Kerelawanan menggerakkan seseorang untuk melakukan kerja-kerja bagi perubahan sosial dengan tulus, tanpa pamrih dan kepentingan individu. Ada tujuan-tujuan besar yang melandasi kerelawanan tersebut, seperti untuk kemanusiaan, terciptanya keadilan sosial, dan sebagainya. Beberapa gerakan mahasiswa disinyalir didorong oleh prinsip ini, karena mahasiswa dianggap belum mempunyai pamrih kekuasaan politik atau keuntungan materi. Tetapi tentu ini perlu dilihat secara lebih teliti mana saja yang benar-benar mempunyai tujuan mulia tersebut.



Relawan mengajar anak-anak korban gempa 2006, Yogyakarta


Sumber : http://www.asiapacificymca.org

Persoalan mengemuka ketika fenomena kerelawanan tidak bertahan lama. Karena, setelah lulus kuliah, berbagai orientasi lain seperti kekuasaan di bidang politik dan keberlimpahan materi pelan-pelan menggusur nilai kerelawanan tersebut. Sudah jamak kita dengar cerita tentang mantan aktivis mahasiswa yang dulunya demikian lantang menyuarakan keadilan sosial dan pentingnya kepedulian terhadap rakyat yang tertindas, tapi sekarang terbenam dalam ketiak kekuasaan dan keberlimpahan materi. Jiwa kerelawanan telah menguap. Padahal, kebutuhan terhadap relawan selalu dibutuhkan sepanjang waktu.


Walau kebutuhan akan relawan terus ada, tapi relawan sekarang ini seperti spesies langka.  Organisasi-organisasi sosial tidak mudah mencarinya. Dulu, pasokan relawan maupun aktivis sosial berasal dari mantan aktivis mahasiswa, tapi kini tidak semudah dulu mendapatkannya.  Ini terkait dengan tidak adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengkader relawan di satu sisi. Sementara di sisi lain terdapat tarikan yang demikian kuat dari dunia dengan kelimpahan materi. Padahal, keberadaan relawan bagi perubahan sosial tidak bisa diremehkan.


Dalam  gerakan sosial, peran relawan menjadi demikian penting. Beberapa dari mereka terlibat dalam urusan keorganisasian dan banyak juga yang bekerja secara individual alias tidak terikat di dalam organisasi tertentu. Ini sejalan dengan pemahaman gerakan sosial sebagai arus kepedulian yang melibatkan orang atau organisasi yang diikat oleh visi untuk melakukan perubahan di masyarakat, baik nilai-nilai, struktur, adat istiadat maupun aturan-aturan yang dianggap keliru dan tidak adil. Jadi, keterlibatan dalam gerakan sosial untuk tujuan-tujuan mulia bisa dilakukan dalam organisasi maupun secara sendiri-sendiri yang terkoneksi dengan organisasi atau individu lain, yang penting ada “arus kepedulian”. Bisa saja arusnya kecil, tapi bila arus yang kecil-kecil saling terhubung bisa menjadi air bah yang “membahayakan” dalam bentuk gerakan sosial.



Relawan membantu korban bencana


Sumber foto : http://sblog-susi.blogspot.com/2011/09/penelitian-menunjukkan-relawan-lebih.html

Salah satu gerakan sosial yang didukung oleh banyak relawan yang berasal dari jaringan global adalah gerakan anti-globalisasi. Kelompok relawan tersebut melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di Seattle pada November 1999, bertepatan dengan Pertemuan World Trade Organization (WTO) yang diselenggarakan di kota tersebut.  Banyak organisasi, relawan, individu  dari penjuru dunia terlibat dalam aksi di Seattle pada November 1999 tersebut. Gerakan ini berlanjut dengan World Sosial Forum (Forum Sosial Dunia) sebagai tandingan dari World Economic Forum (WEF) yang selama ini dianggap justru menciptakan ketimpangan dan kemiskinan di negara-negara selatan, memperkaya negara utara, khususnya para pemilik korporasi besar. Gerakan ini tidak sekedar anti terhadap globalisasi neoliberal, tapi juga memberi alternatif terhadap sistem ekonomi, politik dan kebudayaan yang adil dan lestari.


Senada dengan di muka, gerakan sosial di Indonesia, baik gerakan perempuan, lingkungan, petani, buruh, rakyat miskin kota, juga melibatkan banyak organisasi dan individu, termasuk para relawan. Gerakan ini mengalami pasang naik dan surut, ada organisasi yang terus bertahan dan ada pula yang tenggelam, sebagai dampak dari perkembangan eksternal sekaligus internal dari mereka yang terlibat dalam gerakan sosial ini. Keberadaan relawan tentu memengaruhi pasang naik dan surut organisasi sosial tersebut. Walau demikian, sudah dapat dipastikan, peran relawan tak bisa dikesampingkan dalam gerakan sosial yang terjadi di Indonesia maupun di dunia.



Relawan PMI


Sumber foto : http://sentanaonline.com/detail_news/main/707/1/12/02/2011/index.php

Tiga Peran Penting Relawan


Setidaknya ada tiga peran penting relawan dalam gerakan sosial. Pertama, relawan berperan dalam menambah energi bagi gerakan sosial.  Mereka bekerja dengan komitmen tinggi, tanpa pamrih pribadi dan memiliki daya tahan tinggi, karena dipandu oleh nilai dan visi. Jika relawan seperti ini melibatkan diri dalam sebuah organisasi, maka daya juang dan daya tahan para aktivis dalam organisasi tersebut juga akan terpengaruh, walaupun untuk keterampilan atau kompetensi belum tentu memadai. Tetapi, biasanya relawan tidak terikat lama dalam sebuah organisasi secara formal, atau dengan kata lain tidak terus-menerus terlibat dalam sebuah organisasi. Berbeda dengan staf atau aktivis organisasi.


Kedua , relawan berperan dalam menyebarkan nilai-nilai, visi dan gagasan untuk perubahan.  Relawan seperti ini biasanya bukanlah relawan pemula, tapi memang sudah terbiasa melakukan hal-hal sesuai dengan kompetensinya untuk mendukung perubahan, walau tidak terlibat dalam sebuah organisasi.  Karena, walaupun tidak terlibat dalam organisasi, relawan bisa bekerja secara individu dalam menyebarkan nilai-nilai, visi, serta gagasan melalui tulisan, media visual atau audio-visual. Melalui berbagai media tersebut, relawan ikut andil dalam peningkatan kepedulian dan kesadaran warga tentang sebuah isu, misalnya kerusakan lingkungan, kemiskinan atau epidemi korupsi. Seniman yang terlibat dengan rakyat serta intelektual organik bisa dimasukkan dalam kategori ini.


Ketiga , relawan juga mempunyai peran dalam menggerakkan komunitas. Banyak individu-individu melebur ke komunitas akar rumput; seperti komunitas buruh, petani, rakyat miskin kota, masyarakat adat; untuk melakukan pemberdayaan. Upaya yang dilakukan misalnya meningkatkan kesadaran kritis rakyat, meningkatkan kohesi sosial dan solidaritas antar rakyat, melakukan advokasi, dan membentuk organisasi akar rumput tanpa harus masuk dalam organisasi tersebut. Peran seperti ini biasa juga disebut juga community organizer, atau ada juga yang menyebutnya penggerak komunitas. Penggerak komunitas tidak harus berasal dari luar komunitas, dia bisa berangkat  dari komunitas atau bagian dari pemilik masalah. Tapi mereka bekerja secara sukarela untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi komunitas tersebut.


Langkah yang harus dilakukan kemudian adalah bagaimana tiga peran penting relawan tersebut bisa selalu ada dalam sebuah gerakan. Atau, minimal relawan dengan peran-peran seperti tersebut di muka bisa saling terkoneksi atau berjejaring. Karena perannya penting, sedangkan keberadaannya langka, maka perlu upaya-upaya ‘menciptakan’ relawan-relawan baru bagi transformasi sosial. Salah satu upaya menciptakan relawan ini bisa melalui berbagai kegiatan yang menarik bagi kalangan muda, tapi tetap dengan nilai-nilai dan visi untuk transformasi sosial. Jika upaya ini terus menerus dilakukan, apalagi dilakukan oleh banyak organisasi sosial, maka kelangkaan tersebut dapat diatasi dan proses transformasi sosial melalui gerakan sosial semakin cepat terjadi, dengan dukungan relawan-relawan yang tangguh.


Ari Ujianto
(Penulis adalah Direktur Yayasan Desantara dan Associate KAIL)












































Selasa, 07 Juli 2020

[OPINI] Takut Untuk Sukses, Sumber Kegagalan Terbesar



Sebuah pertanyaan yang biasa ditanyakan orang tua kepada anak-anaknya adalah, “Kalau sudah besar mau jadi apa?”, lantas anak-anak akan memberi beragam jawaban mengenai cita-cita mereka. Bahkan walikelas saya di SD pada suatu hari pernah menanyakan kepada seluruh siswa, apa cita-citanya. Jawaban yang diutarakan kurang lebih sama, menjadi dokter, astronot, atau pilot.
Terlepas berdasarkan apa yang mengakibatkan adanya keseragaman jawaban tadi, impian merupakan galat satu indikator kesuksesan yg hendak diraih. Sukses, merupakan kata yang akan kita bahas bersama di sini.






Kalau setiap orang ditanya “Apakah Anda ingin sukses?”, kita bisa mendapatkan jawaban, bahwa sebagian besar orang menginginkannya. Namun, keinginan tersebut tidak serta merta membuat kesuksesan itu tercapai begitu saja, ada beberapa faktor yang menyebabkan tercapainya kesuksesan tersebut. Apapun faktor yang mendasari tercapainya kesuksesan tersebut, ternyata salah satunya terkait dengan ketakutan. Ketakutan? Ya, walaupun seseorang menginginkan kesuksesan dalam hidupnya, rupanya ada faktor di dalam diri setiap orang yang justru takut terhadap kesuksesan tersebut. Ketakutan ini terkait dengan keyakinan (belief) yang kita miliki terhadap kesuksesan. Keyakinan tersebut menurut Antonius Arif merupakan limiting belief ataupun mental block.


Ada 3 tipe keyakinan (belief)yang terkait dengan ketakutan untuk sukses (Robert Dilts, 1990) :


1. Hopelessness (tidak ada harapan)


Tipe ini dimiliki oleh seorang yang merasa nir mempunyai asa terhadap impian yg diinginkan. Perasaan tiada asa ini umumnya terkait ketiadaan pengetahuan mengenai kemungkinan buat sukses tersebut. Orang dengan tipe ini umumnya selalu beralasan macam-macam terhadap kerja keras. Orang dengan tipe ini akan menyampaikan, ?Orang lain saja nir sanggup, apalagi saya?. Tipe orang menggunakan keyakinan misalnya ini terbentuk lantaran sepanjang hayati orang tersebut melihat kerja keras tidak berbanding lurus dengan hasil yg didapat. Untuk tipe ini, pernahkah Anda melihatnya atau mengalaminya sendiri?


2. Helplessness (tidak berdaya)


Keyakinan ini masih ada pada diri seorang yang melihat orang lain sanggup melakukannya, tetapi dia sendiri merasa nir mampu melakukannya. Keyakinan akan ketidakmampuan ini kemudian membentuk perasaan tidak berdaya, atau kebalikannya. Jika ke 2 hal tersebut saling menguatkan maka akan semakin membuat seseorang nir berkecimpung ke mana-mana. Hidup orang seperti ini akan sebagai stagnan. Pernahkah Anda mendengar seseorang yang mengatakan bahwa kesuksesan itu adalah milik orang-orang yg punya uang saja? Ataukah Anda pernah mencicipi tidak bisa sukses karena Anda bukanlah orang yg pandai ?
Situasi ini sebetulnya tak jarang kita dapati dan sepertinya memang kondisi yg generik terjadi. Sebagai model, ungkapan ini, ?Ya, lantaran bapaknya dokter, makanya beliau pandai belajar kedokteran?.
Adanya agama mengenai faktor keturunan, akhirnya membatasi suatu pekerjaan eksklusif hanya pantas dikerjakan sang orang-orang dari keturunan tertentu. Sehingga keyakinan yang muncul merupakan ?Mana mungkin saya bisa menjadi seseorang dokter, aku kan anaknya seseorang penarik becak.? Dengan keyakinan misalnya ini, orang tadi terjebak menggunakan pemikiran bahwa mimpinya dibatasi sang siapa orang tuanya. Padahal, mungkin saja dia mempunyai talenta dalam memahami global kesehatan. Akibat keyakinan tadi, maka peluang yang ada menjadi hampir nir ada.


3. Worthlessness (tidak berharga)


Keyakinan  ini terjadi jika seseorang merasa bahwa walaupun hal tersebut mungkin dan bisa dilakukan, namun dirinya merasa tidak pantas dan tidak layak. Contoh yang sering terjadi adalah pada percintaan, misalnya seperti ini, “Saya mencintai pasangan saya dan  yakin sebenarnya bisa berdamai dengannya . Hanya saja, saya merasa tidak pantas dan tidak layak untuk bersama dengan dia.”


Contoh lain yang mampu kita lihat adalah pada pertemanan. Apakah Anda pernah lihat orang-orang yang menarik diri berdasarkan pergaulan sehari-hari? Terlepas dari kemungkinan adanya faktor lain yang mempengaruhi, pikiran bahwa ?Saya nir pantas berteman dengan mereka? Atau ?Saya nir layak menerima perhatian dari mereka? Adalah keliru satu penyebab yg timbul pada pergaulan di masa sekarang.
Saya sendiri pernah mengamati pola ini terjadi pada mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi dalam waktu yang cukup lama. Kepercayaan diri yang sedang menurun, diimbuhi oleh manajemen stress yang kurang cakap, cenderung membuat mahasiswa tingkat akhir menarik diri dari pergaulan untuk sementara waktu. Ditambah pemikiran “Ah, sudah bukan jamannya saya lagi”  membuat keyakinan itu bertambah kuat.


Semua tipe keyakinan di atas tidak lahir begitu saja, namun dibentuk oleh lingkungan seseorang, baik melalui nilai yang ditanamkan oleh orang tua maupun institusi pendidikan. Pendidikan seseorang secara tidak langsung memberikan sumbangsih terhadap pembentukan keyakinan-keyakinan seperti itu, hingga secara tidak sadar  seseorang tidak sungguh-sungguh mengejar kesuksesan yang  diinginkan. Lebih parah lagi apabila seseorang mengejar kesuksesan yang diciptakan oleh orang lain dan ia tidak sadar sedang melakukannya.


Saat saya masih kuliah, saya berteman dengan seseorang yang mengambil kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Tapi, sebetulnya dia lebih menginginkan kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Ini disebabkan karena orang tuanya berpendapat tidak ada masa depan untuk seniman. Dia pun terpaksa memilih jurusan Ilmu Komunikasi karena hanya program tersebut yang masih mungkin ia sukai. Di kemudian hari, dia tidak pernah serius menjalani kuliahnya dengan berbagai alasan yang kemudian membuat dia memutuskan untuk mundur di batas akhir waktu perkuliahannya.


Cerita serupa cukup mudah didapati dalam mahasiswa-mahasiswa yg prestasi belajarnya rendah (jikalau indikatornya adalah IPK), walaupun belum tentu hal ini terkait dengan faktor intelektual. Ada banyak mahasiswa yang memilih acara studi tanpa mempertimbangkannya menggunakan matang berdasar hati nuraninya. Banyak yang belum menyadari, bahwa buat mencapai panggilan hidupnya, beliau wajib menjalani perkuliahan di perguruan tinggi eksklusif sinkron dengan minat & bakatnya. Tidak banyak orang yg akhirnya lalu sanggup berkembang sampai potensi terbaiknya.


Kalau mau ditelusuri lebih lanjut, bahkan jauh sebelum duduk di bangku kuliah, kerangka berpikir masyarakat pada Indonesia mengenai pendidikan tidak membiasakan peserta didik buat menentukan berdasarkan hati nuraninya. Paradigma pendidikan di masyarakat kita membatasi masa depan yang hanya bisa diraih menurut jurusan-jurusan yg tersedia di perguruan tinggi. Lebih parahnya lagi pendidikan yang dianggap baik terbatas dalam perguruan tinggi bergengsi.
Dampak dari paradigma pendidikan tersebut adalah terkuburnya impian-impian luhur bagi dunia yang lebih baik. Impian-impian, yang kita sebut juga sebagai visi hidup tidak pernah dapat tercapai, bahkan  tidak mampu memikirkannya. Mengapa? Karena memang kita tidak pernah dididik untuk memikirkan sesuatu dalam perspektif waktu yang panjang, kita dibatasi oleh apa yang kita miliki sekarang, sehingga apabila kita memikirkan sesuatu yang tidak ada, kita dianggap “gila”.





Paradigma masyarakat, baik melalui pendidikan juga kehidupan sehari-hari, telah usang menyumbangkan ketakutan pada keyakinan individu, dan menutup kenyataan bahwa sesungguhnya kesuksesan itu unik bagi setiap orang dan adalah hak setiap orang. Ketika banyak sekali tipe keyakinan tumbuh & semakin mengakar pada dalam diri seorang, sangat sulit baginya buat menemukan kesuksesan yg ?Sesungguhnya? Pada dalam hidupnya.



Tetapi demikian, setiap manusia bisa membebaskan diri menurut keyakinan yang menghalangi kesuksesannya itu. Berikut ini merupakan tips buat keluar berdasarkan belitan keyakinan tersebut :


1      Kenali; bagaimana pandangan kita terhadap diri sendiri? Apakah ada salah satu jenis ketakutan tersebut?


2      Lepaskan; hal-hal yang memang tidak kita butuhkan, sudah saatnya untuk kita lepaskan, berikan “ruang” untuk hal-hal yang baik dalam hidup kita.


3      Berdamailah dengan segala “keburukan” di masa lalu kita, terimalah itu sebagai bagian yang indah dari keutuhan diri.


4      Tanamkan ide ke dalam diri, “saya berhak untuk sukses dan bisa mencapainya”.
5      Fokus pada apa yang kita inginkan.
Meski sulit, tetapi dengan kemauan yang keras, setiap orang bisa membebaskan diri dari belitan keyakinan tersebut, dan berlari mengejar kesuksesannya.

Jadi, mampu kita lihat bahwa penghalang bagi kesuksesan sanggup dari dari pada, yaitu keyakinan kita sendiri tentang kesuksesan. Lalu keyakinan ini ditentukan sang pendidikan yang ditanamkan, baik pada lingkungan tempat tinggal juga pada sekolah. Ditambah dengan pandangan masyarakat (orang-orang pada lebih kurang) yg berlaku di masa itu, maka keyakinan itu akan semakin mengakar bertenaga di dalam diri orang.


“Jikalau ingin sukses, keinginanmu untuk sukses harus lebih besar dari rasa takutmu terhadap kegagalan” – Bill Cosby, komedian berkebangsaan Amerika Serikat.


(David Ardes Setiady)














































































Cloud Hosting Indonesia