Tampilkan postingan dengan label Dominika Oktavira Arumdati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dominika Oktavira Arumdati. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Juli 2020

[MASALAH KITA] Tulang rusuk yang hilang? Refleksi hidup bersama seorang aktivis

Kami, tidak pernah bercita-cita jadi aktivis, tapi melihat kondisi yang ada di sini, kami terpanggil untuk itu. Pada akhirnya, teman-teman jugalah yang menyandangkan gelar aktivis itu ke bahu kami”.
(Seorang aktivis mahasiswa, Bandung, 1999)
Kami baru menikah bulan Februari yang lalu, pada saat dunia merayakan hari kasih sayang. Sebuah perhelatan sederhana namun meriah di halaman rumah orangtua saya menandai mulainya status saya sebagai seorang istri. Namun tak hanya itu. Istri dari seorang aktivis. Usai hingar-bingar perhelatan, mulailah kami menapaki hidup. Kami tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota Solo yang uang mukanya saja (bukan kreditnya) dicicil 13 kali oleh suami saya. Maklum, namanya juga aktivis, walau sudah lulus S1 sejak 1994, mana bisa membayar uang muka sekian belas juta sekaligus. Rumah ini, ketika Bapak saya berkunjung, diberi sebutan mewah-mabur, artinya, mepet sawah, madhep kuburan (dekat sawah dan menghadap kuburan). Geli juga, tapi itu sebutan yang tepat.

Rumah kecil ini tak jarang penuh dengan teman-sahabat yg seringkali berdiskusi dan bahkan bermalam disana. Wah, kadang aku senang berandai-andai buat membangun tempat tinggal ini jadi 2 lantai sehingga terdapat privasi bagi kami. Setidaknya agar begitu anak kami lahir, tidak perlu saling mengganggu antara asap rokok dengan tangis bayi. Tapi, mengingat pekerjaan suami, rasanya jua butuh waktu lama buat mewujudkan virtual itu. Lantaran buat makan sehari-hari saja, tak jarang aku harus lebih sering memutar otak kiri (buat belanja) daripada otak kanan (buat meracik hidangan) agar kebutuhan itu tercukupi. Sementara buat menghentikan kegiatan diskusi mereka, cita rasanya pula tak mungkin. Karena itulah jadwal malam hari kalau suami saya ada pada rumah selama 10 hari dalam sebulan. Yang 20 hari beliau bagikan buat teman-teman pada kota-kota lain dalam seminar-seminar, ceramah, lokakarya atau lainnya.
Itulah pengalaman saya menikah dengan seorang aktivis. Mungkin delapan bulan terlalu cepat untuk mengatakan bahwa saya tidak terlalu mempermasalahkan aktivitasnya. Atau, siapa tahu memang persoalan yang lebih pelik belum datang menimpa kami. Tapi melihat diri saya yang juga ‘sempat’ menjadi aktivis sebelum menikah (dan masih ingin tetap menggeluti aktivitas sosial setelah menikah), saya melihat setidaknya ada pengalaman berbeda yang dialami oleh kawan saya, yang notabene bukan aktivis, menikah dengan seorang aktivis. Dia seorang wanita karir yang cukup mapan secara ekonomi, namun pada akhirnya dia kesulitan mengikuti gaya hidup suaminya yang kelewat sederhana (sementara dia sangat trendy dan modis!). Untuk membeli barang baru pun ia harus berdiskusi panjang atau mendapat ceramah dari suaminya itu.
Lalu, apakah lalu menikah menggunakan aktivis (baik itu akhirnya menjadi sepasang aktivis juga satu aktivis dan satu bukan) menjadi penuh konsekuensi pada banyak sisi?
Apakah aktivis sosial itu? Apakah yg sebenarnya beliau lakukan? Apakah sebagai aktivis merupakan ?Panggilan?? Atau sekedar gengsi-gengsian? Saya pribadi mencatat, menurut pergumulan aku menggunakan aneka macam kegiatan sosial, aktivis dipandang menjadi sebuah ?Simbol kepahlawanan? Pada jaman ini. Ia timbul pada bentuk perlawanan, mulai dari sekedar merogoh loka sebagai oposisi sampai yang sangat radikal sekalipun, terhadap ketidakadilan. Tetapi ironisnya, juga pada catatan aku , aktivis yg selalu sebagai tumpuan semua pekerjaan melawan ketidakadilan itu nir pernah menerima apa-apa. Apakah ini kodrat sejatinya para aktivis sosial?
Aktivis Indonesia masih berkabung atas meninggalnya Munir, seorang pejuang HAM. Tetapi kematiannya masih menyisakan banyak pertanyaan saat orang mulai mengkaitkan peristiwa kematian ini dengan sejumlah aktivitas yg beliau jalani sebelumnya sebagai pilihan hidup. Sampai saat ini pun berbagai media seringkali diwarnai menggunakan berbagai tulisan mengenai hilangnya aktivis buruh, penculikan & penyiksaaan aktivis, teror & ancaman yang sedikit poly mengungkapkan situasi yang dihadapi oleh para aktivis tadi.
Namun sebagaimana kutipan pada awal tulisan ini, seingkali menjadi aktivis itu bukanlah impian sejak awal. Menjadi aktivis, acapkali dimulai berdasarkan sebuah ?Keterjebakan?, atau ?Kesadaran? Yg melahirkan ?Panggilan?. Suami aku bercita-cita menjadi masinis (saat masih mini ), insinyur teknik nuklir (sebelum kuliah) & bahkan seniman musik (saat kuliah). Saya sendiri juga bercita-cita sebagai insinyur yang bekerja di pertambangan minyak dan punya poly duit. Kini, tidak satupun berdasarkan ?Harapan? Kami itu tercapai.
Suami aku ?Tersadar? Pada bepergian hidupnya bahwa terdapat nilai yang lebih tinggi daripada sekedar menjadi insinyur teknik industri. Dia pun mengolah ?Panggilan? Itu (dan wajib rela berjarak menggunakan hobi musiknya) buat kemudian memilih jalan hayati sebagai aktivis sosial dan seorang pengajar hingga sekarang. Saya sendiri ?Terjebak? Waktu ingin mengenal dunia LSM lebih jauh. Bekerja menjadi peneliti pada LSM, mau tak mau aku dihadapkan pada segunung berita akan ketidakadilan dunia ini. Menutup mata? Tak mungkin. Itu hanya akan menipu hati nurani aku sendiri, yg sebenarnya sudah tergerak semenjak kuliah. Maka, ya sudah, aku terima ?Keterjebakan? Itu, & sekarang malah menghidupinya.
Secara generik saya temukan, baik ?Pencerahan? Juga ?Keterjebakan? Yg sekarang diolah menjadi ?Panggilan hayati? Aktivis itu bersumber lantaran melihat kondisi ketidakadilan tersebut merambat ke segala bidang. Dalam penelusuran data-data waktu saya sebagai peneliti, ketidakadilan itu melanda bidang politik, ekonomi, kepercayaan , pendidikan, kesehatan, & masih pada poly bidang hidup lain yang berkembang pada negara kita. Berikut ini hanya model berdasarkan apa yg mampu aku cerna secara terbatas: agama dijadikan institusi konfliktual, pendidikan hanya dimiliki anak-anak berduit, kesehatan hanya menjadi hak mereka yang beruang (betapa tidak, hanya orang kaya yg bsia membayar dokter-dokter terbaik dan mendapatkan perawatan kesehatan karena harga obat acapkali mencekik!). Itu baru sebagian. Belum lagi soal harga beras yg merugikan petani atau upah buruh yg demikian rendah.
Keprihatinan semacam ini baik secara intelektual, emosional dan bahkan dalam keseharian hidup, ditunjukkan dengan jelas oleh banyak aktivis. Menjadi aktivis tak bisa tidak harus ditunjukkan dalam sikap egaliter, demokratis dan partisipatoris, yang harus mereka hidupi. Karenanya tak heran jika sebutan aktivis itu dibarengi dengan gelar idealis. Kata idealis sendiri seharusnya berkonotasi baik. Cuma, pada tahap berikutnya, idealis diidentikkan dengan ‘mengambil pilihan untuk memperjuangkan cita-cita atau keyakinan, meski ganjarannya adalah kemiskinan, setumpuk masalah, penolakan, teror, dan ancaman’. Bahkan banyak aktivis kemudian melakukan ‘bunuh diri kelas’ untuk lebih dalam ‘mengalami’ penderitaan bagi yang didampingi dan meningkatkan solidaritas dalam perjuangannya.
Dari pengalaman aku & suami saya, perdebatan panjang & terkadang melelahkan pada membangun proyek-proyek perubahan sosial, seringkali melanda poly aktivis termasuk kami. Apalagi, saat teori yang dibicarakan dalam satu diskusi ke diskusi lainnya kadang tidak relevan atau nir secara konkret mengurangi jutaan orang yang sekarang semakin mengalami keterpurukan hidup. Perjuangan ini tentu tidaklah mudah untuk dijalani. Dan secara langsung, banyak aktivis mendapat penolakan baik berdasarkan orang terdekat juga famili. Tidak banyak orang bisa mengerti mengapa pilihan ini diambil dan bukan pilihan yang lebih baik, lebih mapan atau setidaknya lebih nir beresiko.
Keluarga atau pasangan aktivis, dalam banyak hal, tentu saja akan sangat merasa keberatan untuk ‘terlibat’ di dalam aktivitas yang dirasakan menjadi demikian menuntut. Menjadi sebuah dilema tersendiri bagi banyak aktivis ketika mengalami hal seperti ini. Bahkan saya sendiri, yang cukup merasa dekat dengan pesoalan-persoalan sosial, terkadang masih merasa sulit untuk juga untuk ‘merestui’nya. Karena konsekuensinya adalah hilangnya waktu bersama, atau hilangnya kenyamanan-kenyamanan yang sepantasnya saya dapatkan kalau saja saya tidak lebih jauh mengingat bahwa hidup kami juga satu dari bagian yang sedang diperjuangkannya. Namun dalam renungan saya, mungkin ini adalah sesuatu yang ‘menyatukan’ saya dengan apa yang diperjuangkan oleh suami saya, sehingga apa yang kami alami dalam suka-duka hidup perkawinan tidak menjadi meaningless dan sia-sia.
Belajar menurut pengalaman eksklusif, berelasi menggunakan seorang aktivis memang tidak selalu mudah & menyenangkan. Relasi selalu akan menuju pada proses melahirkan pemahaman yg terus menerus & integral tentang konflik dunia kerja masing-masing selain, tentu saja, duduk perkara relasi karakter interpersonal. Upaya buat menjadi pendorong perkembangan integritas & mendukung setiap pengembangan kompetensi pasangan pula seharusnya menjadi sebuah keseimbangan menggunakan pengembangan hayati famili itu sendiri. Menjadi aktivis atau pasangan aktivis, saya konfiden, bukanlah sesuatu yang gampang jikalau kita ingin, nilai usaha itu nir menjadi surut. Sekali ini menjadi pilihan hayati, siaplah buat menyanding tongkat konsekuensinya sampai akhir.
Melihat bepergian aku bersama suami dalam berkeluarga yg sebenarnya masih sangat pendek ini, saya telah sering bertanya: inikah jalan hidup saya seterusnya nanti? Benarkah aku ini ?Tulang rusuk yg hilang? Menurut suami saya yang merupakan seorang aktivis? Benarkah beliau orang yang sempurna bagi aku ? Benarkah ini hayati berkeluarga yg aku mau? Mungkin hanya saat yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, menyadari rumitnya ini semua, aku kini malah terdorong memberanikan diri punya keinginan baru: menulis novel. Ya, novel tentang hayati seorang aktivis. Ide yang bagus, bukan?
***
Dominika Oktavira Arumdati
Program Koordinator (2002-2004) dan Mitra Peneliti (sejak 2004) pada The Business Watch Indonesia dan calon ibu.


















Minggu, 05 Juli 2020

[OPINI] Menimbang Teknologi, Mendampingi Buah Hati : Refleksi atas teknologi dan peran orang tua dalam pengasuhan anak



Di sebuah restoran tempat kami makan, tampak di satu meja sebuah keluarga dimana sang ayah, ibu dan anak-anak mereka membawa gadget-nya masing-masing. Sang ibu tampak sibuk meng-updatelaman Facebooknya. Sang ayah sibuk membalas komentar di Twitter. Anak yang satu asyik ber-whatsapp ria dengan temannya sambil mendengarkan musik di telinganya, sedang dua anak lainnya bermain game di tablet-nya masing-masing. Dan tak heran, begitu makanan datang, tak seorang pun mematikan ‘mainan’nya. Sebuah pemandangan yang tampaknya mulai kerap dan biasa terjadi di banyak tempat makan di kota besar saat ini.


Benarkah ini sebuah gejala kewajaran dalam wajah sosial masyarakat kita?


Di satu kesempatan lain, saya mendapati keponakan saya yang sedang mempersiapkan diri menghadapi ulangan umum. Di telinganya terpasang headphone

dengan lagu-lagu terkini menemani, sebuah laptop menyala dengan laman facebook di depannya. Masih kurang, dengan mobile-phone di tangannya ia sibuk membalas pesan SMS yang masuk. Saya bingung membayangkan bagaimana anak ini bisa belajar dengan semua distraksi di depannya. Kemampuan multitasking yang dia gembor-gemborkan sungguh saya pertanyakan, tetapi saya akui kemampuan switchingperhatian dari satu ke lainnya patut saya acungi jempol.

Namun tak disangkal saya mendapati diri saya merasa ikut bangga ketika seorang teman saya bercerita bahwa putranya yang berusia 11 tahun, sebutlah Anton namanya, mampu memproduksi gambar-gambar arsitektur digital seperti yang dilakukan ibunya yang seorang arsitek. Ibunya mengatakan apa yang dilakukan anaknya adalah hasil proses setahun saat ia belajar di bangku kuliah. Sebuah fenomena yang luar biasa bagaimana kerumitan dunia digital sedemikian cepat bisa diadopsi oleh seorang anak.


Lahirnya generasi digital


Munculnya istilah generasi digital, atau pribumi digital (digital native) lahir pada saat di mana perkembangan teknologi digital sudah menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Generasi digital pribumi ini dalam dua kategori yaitu Generasi Milenia (lahir di antara tahun 1980 dan 2000an) dan Generasi Xers (lahir diantara tahun 1960 dan 1970an). Saya yakin sebagian besar dari pembaca, ada diantara rentang generasi digital ini. Dalam satu dekade terakhir, perkembangan dan penggunaan teknologi sungguh luar biasa dalam setiap aspek kehidupan. Anak-anak ini lahir, besar, dan hidup dikelilingi oleh teknologi yang jauh lebih kompleks dari yang pernah ada dalam sejarah manusia. Pertanyaan kritis yang muncul kemudian adalah apakah ini teknologi ini baik atau buruk untuk diberikan, dan seberapa intensif penggunaannya yang terukur – wajar digunakan anak-anak kita?


Anak-anak digital ini terbiasa untuk mencari informasi, sangat adaptif dengan berbagai perkembangan alat informasi, kemampuan problem-solving, kemampuan melihat detail dan bahkan disebutkan mampu melakukan banyak pekerjaan sekaligus (multitasking). Sel otak anak pun mengalami proses ‘rewiring’, berubah sedemikian signifikan hingga mempengaruhi perilakunya. Mengapa demikian?


Dr Gary Small, dan Gigi Vorgan  dalam bukunya iBrain: Surviving The Technological Alteration in Modern Mind (2009: hal 4-5), menyoroti perbedaan perkembangan dan fungsi otak anak jaman kini dengan kehadiran teknologi ini. Setiap kali mata kita terpapar gambar dari layar komputer atau televisi, impuls cahaya mengirimkan sinyal ke otak melalui saraf optik. Dari saraf optik, neurotransmitter mengirimkan sinyal ke jaringan otal yang lebih kompleks dari neurons, axons, dan dendrites. Jutaan neuron otak kita terpicu dengan reaksi kimia dan listrik yang menghasilkan persepsi atas gambar tadi. Proses ini terjadi dalam hitungan sepersekianribu detik. Persepsi ini yang kemudian menghasilkan respon otomatis fisik atau respon emosional. Paparan yang sering dan konsisten menghasilkan respon yang berulang dan ini bisa menghasilkan sinapsis jaringan otak permanen yang membentuk siapa kita; apa yang kita rasakan, yang kita pikirkan dan apa yang akan kita lakukan. Neuroscientistberhasil memetakan dan mempelajari perubahan signifikan pembentukan kerja otak yang kompleks yakni terbentuknya 1 juta kali 1 miliar sinapsis jaringan otak, yang terbentuk sangat cepat dan menyeluruh. Sebuah titik dimana evolusi otak yang dicapai ribuan tahun oleh sejarah manusia dicapai satu generasi dalam satu dekade.


Teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technologies, ICTs) muncul sebagai wujud aplikasi ilmu matematika, sains, seni, dan semua yang terkait dengannya yang dimanfaatkan oleh segenap umat manusia. Inklusi teknologi dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan: penguat jaringan sosial, media komunikasi yang efektif, sekaligus sarana pendidikan. Alat-alat komunikasi modern seperti mobile-phone, komputer, tablet, dianggap sebagai alat untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dan mendorong pendidikan. Anak-anak tak lagi membawa kamus yang tebal untuk sekedar tahu arti kata – mereka cukup memasukkannya ke kamus online dan dalam hitungan detik, mereka mendapatkan arti dari kata yang mereka cari.


Berbeda dengan media televisi yang satu arah, ICT khususnya internet memberikan sejumlah jawaban bagi berbagai keingintahuan mulai dari mencari berbagai informasi terbaru dan menjadi trend, sekedar untuk hiburan hingga tempat bersosialisasi. Ribuan paparan informasi, foto, video akan hadir hanya dengan menuliskan kata kunci pada mesin pencari seperti Google, atau Ask.com, dan semua jawabannya akan langsung hadir di depan mata. Kecepatan dan efektivitas menjadi sedemikian penting dalam pertarungan teknologi menyangkut tarik-menarik pencarian dan pemrosesan informasi.


Namun, di balik kemampuan adaptasi tinggi terhadap teknologi yang dimiliki generasi digital ini, pertanyaan mendasar lainnya adalah bagaimana dengan kemampuan berpikir mereka yang disertai dengan pemahaman terhadap konteks dan penilaian moral yang baik? Kemampuan berpikir, yaitu kapasitas untuk berefleksi, menganalisis dan menarik kesimpulan berdasarkan pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh anak dengan usia yang barangkali sudah matang secara teknologi, umumnya masih jauh dari matang secara emosional.


Suka atau tidak, kita sebagai orang tua haruslah melihat fenomena ini lebih mendalam. Perdebatannya sudah tidak melulu soal baik-buruknya penggunaan teknologi, tetapi bagaimana menggunakannya sebijaksana dan seaman mungkin. Pertanyaannya: Mampukah kita sebagai orang tua mendampingi anak-anak kita untuk berelasi dengan teknologi sebijak mungkin?


Orangtua di jaman transisi


Faktanya, kini kita sebagai orang tua juga tengah mengalami transisi jaman. Ada kalanya kita mengalami ‘frustrasi teknologi dan media’ –saat kita kewalahan tak mampu mengikuti perkembangannya. Frustrasi teknologi mengakibatkan kita menolak untuk memahami perubahan-perubahan jaman yang pelan-pelan meninggalkan kita: ketidaksiapan kita untuk selalu paham dengan informasi terbaru. Namun di sisi lain, gejala euforia teknologi terlihat mewabah di kalangan orang dewasa –ketika kita merasa semua persoalan bisa diatasi dengan teknologi. Namun, alih-alih memanfaatkan teknogi dan media sebagai sarana dengan tujuan mulia, kita tenggelam dalam hiruk pikuk gadget terbaru, ber-facebook ria dengan tak kenal lelah dan menjadikan dunia maya senyata mungkin. Perilaku bermedia dan bergadgetini tentu akan disaksikan oleh anak-anak kita. Mereka akan dengan sangat mudah menirukan dan mengidentifikasi diri seperti orang tuanya.


‘Generasi layar sentuh’ kini makin muda sebanding dengan makin banyaknya orang tua yang memiliki kemampuan finansial mulai memberikan tablet pada anak-anak mereka  yang berusia di bawah 5 tahun. Usia umum pengguna gadget, seperti iPad atau tablet,yang termuda saat ini adalah dari usia 2 tahun. Babysitter elektronik yang satu ini kini bagaikan magnet yang akan membuat anak sibuk bermain sendiri. Berbagai situs maupun aplikasi dengan embel-embel ‘edukatif’ dengan harga terjangkau dan mudah diakses kini sudah biasa menjadi teman bermain anak-anak ini. Batita dan balita kini tidaklah terlalu merepotkan orangtuanya dengan kehadiran iPad dan tablet. Mereka tidak lagi membuat kotor dan berantakan rumah. Gadget seperti iPad dan mobile phone yang memuat sejumlah permainan online di dalamnya, terdengar TMTS – ‘too much, too soon’, yakni efektif menyibukkan anak namun menimbulkan adiksi (kecanduan), hingga dalam parameter tumbuh kembang anak digital sekalipun, hal ini perlu mendapat perhatian khusus para orang tua.






Murid TK belajar membuat huruf melalui aplikasi pendidikan usia dini dengan telepon selular bantuan dari Nokia di TK Penuai di kawasan Ujung Berung, Bandung, Jawa Barat, Kamis (29/3). TEMPO/Prima Mulia
Sumber http://www.tempo.co/read/news/2012/07/17/174417417/6-Kebiasaan-Lama-yang-Membantu-Anak-Sukses
Lalu bagaimana dengan media sosial dan remaja? Remaja usia belasan tahun adalah target teknologi yang saat ini meningkat dengan pesat dalam enam tahun terakhir. Menurut sebuah studi yang dipublikasikan oleh Pew Internet Research, pengguna social media oleh remaja meningkat tajam dari temuan pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 2006. Tentu ini membawa risiko karena mereka meletakkan di domain publik berbagai hal yang bersifat privat/pribadi seperti penggunaan identitas asli dalam profil mereka seperti foto asli, nomor handphone, status relasi, hingga mengunggah video pribadi mereka[1].


Facebook kini menjadi platform yang sangat dominan bagi para remaja sebagai ruang ‘manajemen reputasi’. Remaja seakan punya dunia sendiri untuk membentuk reputasi diri, mengatur jaringan, membagi informasi secara terbuka, menutupi informasi yang tidak ingin diketahui oleh jaringan teman mereka. Bahkan mereka mau menanggung ‘drama’ dalam ber-sosial media, karena dengan mudahnya mereka bisa menghilangkan orang dan teman yang tidak diinginkan. Itu semua dilakukan hanya dengan modal tingkat kepercayaan diri yang tinggi dan kemampuan setting teknis yang sederhana. Antusiasme pada media sosial yang satu ini tak jarang adalah untuk tujuan pengakuan eksistensi atau sekedar partisipasi agar tak dirasa ketinggalan jaman. Sebanyak 52% dari para remaja yang disurvey mengatakan bahwa mereka merasa dunia maya ini menjadi semacam tempat pelarian (escapism) yang paling mudah bagi para remaja untuk memproyeksikan diri mereka.






Sumber: http://www.greenbook.org/marketing-research.cfm/millennial-cause-study

Dalam jaman yang bertransisi seperti ini, apa tantangan bagi orang tua dalam membesarkan si buah-hati?


Membesarkan anak dalam serbuan media: Tantangan orangtua jaman ini


Sebagai orang tua, kita sendiri mengalami masa dimana adopsi teknologi belum dicapai dengan kesadaran yang sesungguhnya diperlukan: yakni ‘merangkul sekaligus berjarak’ dan ‘memanfaatkan sekaligus kritis’ dalam pengunaannya. Yang kita harapkan adalah agar anak-anak dapat bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan di dunia online. Ketika kita mengenalkan anak-anak kita pada televisi, komputer dan berbagai teknologi komunikasi tersebut, kita mempertaruhkan hal yang sungguh besar jika mereka tidak kita lengkapi dengan pengaman kesadaran dan tanggung jawab. Pengalaman hidup nyata yang otentik, yang melibatkan semua panca inderawi amat dibutuhkan karena ia menjadi fondasi membangun generasi muda yang sehat dan berwawasan kuat. Kita ingin agar kapasitas anak yang masih murni ini tetap terlindungi dan tidak semata-mata menjadi konsumen gaya hidup yang artifisial, korban adegan kekerasan dan seksual atau target pasar yang menjanjikan.


Literasi media perlu terus diberikan orang tua selama mendampingi anak menonton, ber-internet atau bermain games. Waktu dan perhatian adalah kata kuncinya. Bersama anak mengeksplorasi berbagai pertanyaan mereka dan mengenalkan bagaimana cara mencari jawabannya. Kehadiran orang tua diperlukan untuk menjadi teman diskusi antara apa yang disebut realitas dan ‘make-believe’ – selain kita sendiri sebagai orangtua juga perlu memasukkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang kita percaya dan ingin anak-anak kita hidupi. Pendidikan ber-media akan sangat membantu anak untuk memberikan perlindungan keamanan pada anak-anak kita. Anak-anak perlu mengenali pesan media, membaca dan menjadi kritis dalam proses menginternalisir pesan tersebut. Orang tua perlu terus mendampingi dengan menjadi teman diskusi untuk mengolah pesan-pesan tadi agar anak semakin mawas dan terampil mengambil mana yang yang baik dan meninggalkan yang tidak sesuai nilai.


Dr Larry Rosen dalam bukunya Me, MySpace and I (2007), merekomendasikan rasio 1:5, dimana setiap menit yang digunakan untuk penggunaan teknologi dikompensasi dengan 5 menit waktu untuk melakukan kegiatan nyata seperti berinteraksi dengan orang lain, bermain di alam terbuka, berolahraga, melakukan permainan yang mendorong imajinasi dan kreativitas, mengasah kepekaan sosial, yang semuanya itu berguna untuk menenangkan aktivitas otak. Rekomendasi lamanya permainan untuk anak dibawah 4-5 tahun adalah selama 30 menit permainan gadgetdiseimbangkan dengan 150 menit untuk melakukan aktivitas nyata seperti di atas. Rasio ini berkembang saat anak memasuki usia remaja, yaitu 50:50.


Hal lain yang bisa dilakukan secara praktis oleh orang tua tentu dengan menyediakan akses internet di rumah yang bertujuan agar pengawasan lebih terjamin. Dengan ini anak tidak perlu keluar untuk mengakses internet –misalnya ke warnet atau ke rumah temannya—dan orang tua dapat mengawasi semua yang dijelajah anak. Tempatkan akses ini di ruang yang dapat dilihat oleh banyak orang, misalnya ruang tengah. ‘Parental lock’ dapat pula membantu proses pengawasan untuk berbagai situs yang tidak layak diakses anak. Yang jelas, konsistensi dalam keterbukaan antara orang tua dan anak sangat vital misalnya dalam mengatur kesepakatan durasi waktu penggunaan, batasan antara content yang boleh diakses dan tidak.


Melek teknologi – sebuah catatan akhir


Orang tua wajib melek teknologi dan media. Kita, para orangtua, kini tengah hidup dalam jaman di mana perkembangan teknologi dan media tidak sepenuhnya kita sadari dan kuasai. Maka proses mempelajari kembali (re-learn) menjadi penting untuk kembali menjadi tuan atas teknologi yang berkembang sedemikian pesat. Tidak bisa lagi orang tua sekedar mengikuti – orang tua juga perlu memandu dan bahkan harus menjadi model bagi anak-anak mereka dalam menyeimbangkan aktivitas sehari-hari antara hidup online dan hidup nyata off-line.


Sebagai catatan berbagi: Kami sendiri adalah keluarga yang sangat terbuka dengan teknologi. Sikap kami jelas, bahwa teknologi adalah sarana mencapai tujuan, sehingga penggunaannya sedapat-dapatnya untuk tujuan baik. Pengenalan teknologi secara bertahap dan keseimbangan aktivitas baik online dan offline dalam proporsi kebutuhan menjadi perhatian utama kami. Kini anak kami yang berusia 8 tahun pun mulai terbiasa dengan penguasaan teknologi digital. Sebagai sebuah konsekuensi tinggal terpisah dengan ayahnya, kami menggantungkan komunikasi kami lewat skype atau facetime. Dia aktif menggunakan email untuk mengirimkan laporan belajar dan memperlancar komunikasi lewat tulisan. Kami juga memanfaatkan teknologi dalam berkomunikasi dan berjejaring untuk kegiatan belajar, juga dalam memenuhi kebutuhan materi pendidikan rumah (home education) bagi anak-anak kami. Tentu kami mengharapkan agar jika waktunya tiba, mereka siap untuk hidup dengan penuh tanggung jawab, di mana pikiran dan tindakan adalah hasil dari proses internal yang matang dalam berinteraksi dengan teknologi.

Di ujung catatan ini, perkenankan saya membagikan sebuah refleksi: Sebagai orang tua, kita harus terus mempersiapkan anak-anak untuk memiliki kepercayaan diri, bersikap dan berpikir etis, mampu menghargai perbedaan agar mampu mengatasi persoalan di depan mereka. Inilah tugas terberat kita, karena kehidupan bermasyarakat yang modern tidak melulu soal teknologi eksternalnya. Seperti yang dikatakan Lowell W, Monke, “Ironi masyarakat post-modern adalah bahwa untuk menyiapkan anak-anak di masa depan yang berteknologi tinggi, kita mesti memusatkan perhatian pada pemahaman tentang apa itu menjadi manusia, yang hidup dan menjadi bagian dari komunitas sosial dan biologis – sebuah upaya di mana teknologi bukan makin menjadi jawaban, melainkan menjadi masalah.” (***)

(Dominika Oktavira Arumdati)

Penulis adalah seorang ibu rumah tangga purnawaktu dan menjalankan home education bagi kedua anaknya. Saat ini, ia sedang merintis pengembangan Komunitas Masyarakat Mandiri untuk Indonesia bagi pemberdayaan petani lokal dan Komunitas anak 'Akar Wangi', yang bergerak dalam pendidikan seni, lingkungan dan literasi digital untuk anak. Ia juga aktif terlibat dalam gerakan permakultur dan saat ini sedang fokus membangun landsekap percontohan. Penulis bertempat tinggal di Yogyakarta.






[1] Lihat http://www.pewinternet.org/Reports/2013/Teens-Social-Media-And-Privacy/Summary-of-Findings/Teens-Social-Media-and-Privacy.aspx#footnote2

































































































Minggu, 21 Juni 2020

[PIKIR] Tantangan dan Peran Ibu Masa Kini

Oleh: Dominika Oktavira Arumdati


http://www.Ajcebeats.Com/maa/

Kita hayati pada jaman terkini. Modernitas sering dimaknai menjadi kemajuan pada tatanan masyarakat ketika ini. Masyarakat kita pun disebut masyarakat modern. Masyarakat seperti ini diidentikkan menggunakan warga yg menguasai teknologi, mempunyai gaya hayati yang serba cepat & praktis, menggunakan tingginya tuntutan pemenuhan kebutuhan buat menjawab modernitas itu. Semua ini membawa perubahan dan pengaruh pada paras famili jaman ini. Khususnya, peran bunda & budaya pengasuhan serta pendidikan pada famili.


Tantangan modernitas bagi bunda


Dulu ibu dikenal menjadi pelaku primer pekerjaan domestik atau wilayah kerumahtanggaan. Kini ia tidaklagi sebagai satu-satunya ruang yang ditempati bunda buat keluarganya. Banyak pihak sekarang bisa mengambil kiprah domestik ini, contohnya ayah, anggota famili yg lain, atau bahkan asisten rumah tangga. Sebaliknya, juga makin banyak bunda mengambil pekerjaan ?Non-domestik? ? Artinya pekerjaan pada luar wilayah kerumahtanggaan, baik buat mencari uang ataupun motif non-finansial (misalnya kerja sosial). Pekerjaan non-domestik ini mampu dikerjakan secara fisik pada luar rumah, ataupun secara fisik permanen pada dalam rumah.


Dengan demikian secara generik ada tiga kategori; (a) ibu yg merogoh peran domestik sepenuhnya; (b) mak yang mengambil pekerjaan non-domestik di luar rumah; dan (c) mak yang mengambil pekerjaan non-domestik menurut dalam rumah. Ketiga kategori kiprah ini tidak sama secara mendasar ? Demikian jua implikasinya. Pergeseran kiprah ini mampu karena pilihan bebas atau tanggungjawab, namun pula bisa ditimbulkan sang ?Keterpaksaan? Yg diakibatkan sang modernitas tersebut ? Misalnya tuntutan ekonomi, sosial, budaya, bahkan teknologi. Ibu yg merogoh pekerjaan non domestik, misalnya, tak jarang terjadi lantaran tuntutan ekonomi, meskipun terdapat pula bunda yg memilih bekerja lantaran alasan lain baik personal juga famili.


Biaya hidup yang makin tinggi, tidak mencukupinya penghasilan yang ada kerap menjadi pendorong ibu harus bekerja mencari uang dan meninggalkan (seluruhnya atau sebagian) peran kerumahtanggaannya. Fenomena ‘working mother’ secara umum dipahami dalam konteks ini. Namun ada juga ibu yang meski harus mencari nafkah tetap ingin berdekatan dengan keluarganya, atau tetap menjalankan peran domestiknya meski terbatas. Mereka ini dikenal sebagai ‘working-at-home mother’. Peran teknologi modern khususnya teknologi informasi amat besar untuk membantu para ibu yang bekerja dari rumah. Sementara itu, ibu yang mengambil peran kerumahtanggaan sepenuhnya sering disebut sebagai ‘stay-at-home mother’ (sebelumnya, ‘full-time mother’). Mereka secara purna-waktu mengambil peran dan tanggungjawab domestik bagi keluarganya.


Seluruh pengistilahan di atas barangkali populer, namun kadangkala menyesatkan dan menimbulkan perdebatan yang tidak produktif (misalnya ‘stay-at-home/full-time mother’ kerap dipertentangkan dengan ‘working/working-at-home mother). Istilah-istilah tersebut diperkenalkan di sini hanya untuk menjelaskan fenomena di atas sebagai tantangan paling kontekstual yang dihadapi para ibu saat ini.


Asah, asih, asuh’, adalah pepatah yang melekat erat pada peran ibu dalam keluarga. Semua ibu –baik yang mengambil peran domestik sepenuhnya atau sebagian, yang sepenuhnya mengurus kerumahtanggaan ataupun yang bekerja baik di luar maupun dari rumah—perlu memahami bahwa mereka punya peran sosial sangat besar. Merekalah fondasi bangunan sebuah generasi bangsa yang baru. Peran multidimensi yang disandang oleh ibu dalam keluarga dan masyarakat menjadi demikian penting di balik ketahanan sebuah bangsa.


Ibu menjadi titik tolak pembangunan generasi yg bijak teknologi, yang mempunyai tingkat kepedulian sosial tinggi & terlibat dalam kasus-masalah sosial kemasyarakatan dan lingkungan yg menjadi perhatian global waktu ini. Ibu jua berperan sentral melahirkan generasi antikorupsi yg diharapkan bagi bangsa ini agar sanggup mandiri dan bermartabat. Generasi-generasi pada atas hanya bisa didapatkan menurut keluarga yg memiliki kepedulian tinggi buat membangun karakter anak-anaknya. Dan ibu memegang peran sentral di sini.


Sejauh mana pencerahan ini dipahami?


Memilih: Kebebasan atau keterbatasan?


Hampir pasti, banyak bunda ?Khususnya bunda masa kini ?Mempunyai kesadaran tadi pada atas. Persoalannya bukan pada pencerahan, namun pada pilihan menyikapi pencerahan tersebut. Banyak yg mengira kemajuan hari ini membawa kebebasan, namun tak poly yang paham bahwa apa yang dianggap ?Bebas? Sebenarnya terbatas. Misalnya, kebebasan menentukan makanan atau minuman sangat ditentukan oleh keterbatasan apa yg tersedia pada pasar; kebebasan menentukan program televisi sangat dipengaruhi oleh stasiun televisi apa saja yang sanggup ditangkap.


Proses memilih ini menjadi sangat penting karena berbagai tantangan kehidupan jaman modern saat ini. Setidaknya dua pertimbangan mungkin berguna dalam memilih: (a) apakah bentuk keinginan atau kebutuhan? (b) apakah untuk mencapai ke-“cukup ”-an atau membiarkannya jadi berlebihan? Beberapa hal berikut ini berangkat dari pengalaman dan refleksi saya pribadi, yang mungkin bisa menjadi catatan bersama bagi kita, para ibu, dalam menentukan pilihan.


A. Bijak teknologi
Tak terbantahkan lagi bahwa di masa kini , dalam tumbuh kembang anak, teknologi bagai pisau bermata 2. Kecanggihan teknologi dan kemampuan adaptasi anak yang tinggi terhadap perkembangan wajib secermat mungkin diberi perhatian sang orang tua. Seringkali kita terjebak dalam mengidentifikasi kemajuan perkembangan anak melalui interaksinya dengan teknologi. Penguasaan teknologi (mulai dari komputer hingga dengan robotik) biasanya menandakan berkembangnya fungsi kognisi. Padahal tumbuh kembang anak yg utuh dan seimbang mencakup tak hanya kognisi, melainkan jua motorik & emosi.


Menjadi generasi bijak dalam teknologi media, bukanlah sebuah keterampilan hidup yang turun dari langit pada anak-anak kita. Di sinilah letak peran orangtua khususnya ibu dalam mendampingi anak –yakni untuk menyeimbangkan perkembangan kognitif dengan kematangan aspek motorik dan emosinya. Intinya adalah memberikan arahan dan aturan yang tidak sekedar bersifat membatasi interaksi anak dengan teknologi, tetapi justru memperkaya aspek dan pembangunan karakter lainnya misalnya membangun dialog yang saling memenangkan (win-win solution), membangun komitmen, menentukan prioritas, sekaligus melatih anak-anak untuk terampil dalam menyaring informasi yang demikian cepat dan demikian beragam  ketika bersentuhan langsung dengan media baik lewat televisi dan internet. Informasi yang tak terbendung dapat kita pilah dan pilih, salah satunya melalui “Saringan Socrates”, yakni: apakah informasi yang diberikan itu mengandung kebenaran, apakah ia memberikan kebaikan, dan terakhir apakah informasi tersebut memberikan manfaat dalam kehidupan kita.


Dialog yang terbuka antara anak dan orangtua khususnya ibu atas apa yang dialami dan dipelajari anak melalui teknologi menjadi penting untuk membantu anak memberikan makna atas pengalaman dan pembelajaran yang didapat. Teknologi adalah penanda kemajuan dan selalu punya dua sisi. Kepekaan melihat sisi ‘baik’ teknologi yang bisa digunakan untuk kebaikan dan kemampuan untuk memahami bagaimana sisi ‘gelap’ teknologi juga bisa digunakan untuk keburukan menjadi sangat penting. Maka penting bertanya: apakah memilih menggunakan satu teknologi tertentu adalah keinginan atau kebutuhan? Untuk apa dan mengapa, serta apa dampaknya? Ungkapan ‘technology savvy’ dalam hal ini merujuk bukan pada penguasaan teknis atas teknologi, tetapi pemahaman utuh, termasuk aspek-aspek non teknis, dari teknologi.


Upaya lain buat menyeimbangkan dampak negatif dalam berteknologi, anak-anak tetap wajib didorong buat pula melakukan kegiatan & permainan yg bersifat fisik & berinteraksi secara sosial pada samping ber-teknologi.


B. Mawas konsumsi
Pilihan-pilihan sadar untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari menjadi sebuah pembelajaran yang harus dipahami oleh para ibu, bahwa hal ini akan mengendap dan tinggal dalam memori anak dan ini menjadi fondasi kebiasaan yang akan dibawa hingga dewasa. Bayangkan setiap hari tuntutan kebutuhan demikian tinggi dan semakin banyak orang mencari kenyamanan melalui pilihan yang serba memudahkan, cepat dan praktis: mulai dari mengkonsumsi makanan instan, hingga belanja instan di supermarket atau gerai-gerai waralaba. Memang, kebutuhan hidup akan barang dan jasa makin mudah didapat melalui proses fabrikasi. Cara kita memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sudah demikian dipengaruhi dan dibentuk oleh pasar lewat iklan yang memainkan insting, selera, dan rasa kita sebagai konsumen. Siapa sasaran empuknya? Perempuan dan anak. Jelas, kita perlu menyikapi dengan bijak.


Ambillah contoh soal makanan, satu kebutuhan dasar manusia. Dorongan industri makanan begitu luar biasa: dari makanan cepat saji yang tersebar di mana-mana hingga mudah diakses, hingga industri makanan beku dan instantyang menawarkan kepraktisan. Hal ini membuat orang, khususnya para ibu, tak perlu lagi repot setiap hari ke pasar dan menghabiskan banyak waktu di dapur. Ditambah dengan iklan yang dipapar  di televisi dan menjadi konsumsi pikiran, manifestasinya dalam tindakan cara memilih pangan menjadi nyaris otomatis. Bayangkan iklan produk makanan yang tinggal sobek, tinggal cemplung, tinggal panaskan dengan microwave, tinggal tuang air panas, atau tinggal digoreng. Jargon-jargon ini menjadi mantra industri makanan modern yang langsung diaminkan banyak ibu, yang kini tanpa susah-payah harus masak dari bahan mentah. Apakah hal ini salah?


Pola di atas kerap menjadi jawaban bagi ibu-ibu yang sibuk tetapi juga harus menyediakan makanan bagi keluarganya. Peran ibu di masyarakat modern lantas begitu lekat dan identik dengan kepraktisan pengolahan dan penyajian makanan. Tetapi sadarkah kita bahwa hal ini menempatkan anak-anak kita pada ketidaktahuan dan ketidakpedulian tentang asal usul makanan yang mereka konsumsi? Ini terkait tidak saja dengan aspek kesehatan mereka sendiri, namun pembentukan selera dan kesadaran mengkonsumsi: apakah mengkonsumsi sesuatu karena memang butuh atau karena sekedar ingin? Kenyamanan dan kemelekatan yang menjadi adiksi akan menjadi kebiasaan/habityang sulit dihentikan. Akibat lain adalah bahwa dengan semakin mudahnya kita membeli dan mengkonsumsi, kita makin jauh berjarak dengan kesadaran berproduksi, termasuk misalnya berproduksi pangan dari pekarangan yang dulu demikian lazim dilakukan para ibu untuk membantu ekonomi keluarga dan media pembelajaran yang paling efektif bagi anak.


c. Sadar keber-cukup-an
Hidup sederhana dengan sadar dan rela barangkali justru salah satu hal paling susah di jaman ini. Kalaupun ada yang hidup sederhana, hal itu dimaknai sebagai ‘pas-pasan’ dan lebih karena ‘keterpaksaan’ daripada pilihan sadar. Mengapa? Satu sebabnya: sulit, malah hampir tak bisa, untuk berkata ‘cukup’ untuk diri sendiri dan keluarga. Cukup, untuk penghasilan yang didapatkan; cukup untuk barang dan jasa yang dikonsumsi; cukup untuk kepemilikan atas berbagai barang dan properti lain. Namun mengatakan dan bersikap cukupmemang tidak mudah. Alih-alih malah kita merasa terasing dari masyarakat modern kapitalistik di sekitar kita yang memang tidak pernah merasa cukup –khususnya dalam mengkonsumsi. Mereka yang hidup di kota besar barangkali mengenal istilah ‘Gaji 15 koma’ artinya ‘… setelah tanggal lima belas, keuangan pun koma’ – alias menjadi tidak berdaya di setengah sisa bulan. Konsumsi seakan menjadi dorongan yang tak terhindarkan, bahkan sampai mengabaikan kemampuan berproduksi atau mendapatkan pemasukan. Maka makin jelas, bahwa pilihan-pilihan mendasar menjawab kebutuhan lewat konsumsi harus semakin kita kaji dan pertimbangkan sungguh-sungguh.


Pola konsumsi kita seharusnya mulai berubah. Tak hanya mencukupkan diri pada berbelanja apa yg sungguh dibutuhkan dan bukan sekedar diinginkan, akan tetapi pula pada hal konsumsi pangan. Sadarkah kita bahwa kuliner yang paling sederhana pengolahannya (mentah, hanya dikukus, atau direbus dengan bumbu alami) justru merupakan hal yang paling glamor bagi tubuh kita? Sebaliknya, yg seolah glamor & rumit serta penuh tambahan (digoreng, dibakar menggunakan banyak sekali penyedap rasa & pengawet) justru sering menjadi perusak badan?


Konsumerisme adalah ‘konsumsi yang mengada-ada’. Manusia perlu mengkonsumsi, namun konsumsi yang mengada-ada, dibuat-buat, semata-mata demi keinginan, adalah konsumerisme. Ibu punya peran kunci menanamkan nilai-nilai penting untuk melawan konsumerisme dengan mencukupkan diri dengan yang ada,  bukan berlomba mencari dan menambah dengan mengada-ada. Hari-hari ini, memperbaiki apa yang rusak dan bukannya membuang dan menggantinya tak lagi menjadi bagian dari nilai keluarga kita. Barang apapun yang rusak, yang sebenarnya bisa kita perbaiki sendiri, begitu mudah kita buang dan kita beli yang baru sebagai penggantinya. Ibu bisa mengembalikan nilai itu dalam keluarga.


d. Sadar lingkungan untuk generasi hijau


Dengan pola konsumsi yang kita miliki, sadarkah kita bahwa  rumah tangga berkontribusi menghasilkan sampah sekitar 2,5 liter per per hari per kepala (KLH, 2012). Pengelolaan sampah rumah tangga dengan sistem kumpul-angkut-buang sudah tak bisa lagi menjawab persoalan sampah. Kesadaran baru pengelolaan sampah melalui 3R; Reduce, Reuse, Recycle,yang sudah dilakukan perlu terus didukung. Selain itu perlu Rethink- yakni bahkan sebelum mengkonsumsipun kita sudah harus mulai memikirkan sampah akhir yang akan diproduksi dari konsumsi tersebut. Jika bisa, hindarilah penambahan volume sampah non organik, mulai dengan mencari alternatif hingga menggantinya dengan produk yang ramah lingkungan. Konsep Reuse perlu mendapat perhatian lebih pada usaha Repair – yakni barang yang rusak tidak selalu harus langsung dibuang tetapi diusahakan memperbaikinya. Gagasan lain yang perlu dipikirkan adalah Recover – yakni aktif mengusahakan sumber-sumber daya baru yang terbarukan dalam konsumsi kita.  Keluarga yang peduli akan pengelolaan sampah akan menyumbangkan jawaban atas persoalan hidup keberlanjutan.


Ibu bisa menjadi aktor kunci untuk sadar lingkungan dari dalam keluarga dan lingkungan sekitar, melalui tindakan-tindakan sederhana. Mulailah dari hal sederhana, mengajarkan dan memberikan contoh pada keluarga khususnya anak-anak untuk bisa memilah sampah dan melakukan diet plastik. Sampah organik selanjutnya dapat dijadikan pupuk kompos, sedangkan yang non-organik dapat didaur atau digunakan ulang. Ibu juga bisa menjadi garda depan gerakan peduli pola konsumsi pangan yang berbasis tanaman, alami, lokal, dan non transgenik atau non-GM (genetically modified). Mulai dari dapur dan rumah sendiri, ibu bisa membangun kesadaran seluruh anggota keluarganya untuk mencari bahan pangan lokal (bukan impor) dan alami (tanpa pestisida, bukan hasil rekayasa genetika, dan diproduksi tanpa pengawet buatan). Gerakan berkebun atau menanam sayur di pekarangan, lahan kosong, atau bahkan berkreasi dengan pot atau hidroponik, yang bisa dilakukan di rumah, sekolah atau lahan tidur. Menghijaukan lingkungan tempat kita tinggal atau tempat bekerja untuk memberi udara bersih, memberikan kesejukan dan mendapatkan manfaat langsung berupa buah dan sayuran dari tanaman produktif di sekitar, merupakan usaha baik untuk mengurangi pemanasan global.


Mengenalkan pasar tradisional bukan hanya soal konsumsi, melainkan membangun kesadaran lebih luas akan dampak pola konsumsi terhadap lingkungan khususnya pangan lokal. Pasar tradisional bisa menjadi ajang pembelajaran dampak sourcing pangan lokal pada aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.


Terobosan-terobosan menggunakan kembali berbagai produk rumah tangga dengan bahan sealami mungkin, misalnya mengganti deterjen dengan lerak, garam, cuka, baking soda dan jeruk nipis. Tak hanya untuk kesehatan, namun hal semacam ini secara langsung berkontribusi menurunkan jejak karbon konsumsi kita.


Catatan penutup
Satu tanda kemajuan adalah kecepatan. Dunia makin cepat bergerak, informasi makin cepat masuk, beragam pilihan makin cepat tersaji. Namun kemampuan kita mencerna dan memilih seringkali tidak sama cepatnya. Apalagi anak-anak. Ibu punya peran besar untuk membantu anak-anak menanggapi cepatnya dunia yang berputar di sekitar mereka. Apa yang saya sampaikan di atas hanyalah refleksi sederhana mengenai peran seorang ibu –semua ibu: entah working mother, work-at-home mother ataupun stay-at-home mother—di jaman modern ini. Peran utamanya adalah untuk menyuntikkan kesadaran terhadap segala kecepatan kemajuan jaman ini. Ibu harus semakin mampu menyuarakan kesadaran baru lewat aksi yang nyata dalam pilihan bagi keluarganya yang sebenarnya akan menjadi kesadaran kolektif sebagai fondasi keberhasilan menghasilkan generasi bangsa yang lebih peduli, lebih bijak dan lebih bermartabat bagi negara besar ini.






























































































Cloud Hosting Indonesia