Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online April 2004. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online April 2004. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Agustus 2020

[JALAN-JALAN] Pendidikan Pemilih untuk Perempuan

Menjelang Pemilu 2004 yg lalu, seorang staff Kail, Intan Darmawati, berkesempatan menjadi fasilitator training buat pemilih wanita pada Makassar, Manado & Tahuna. Berikut ini cerita lengkapnya.

Menjelang pemilu 2004 yang lalu, aku berkesempatan bergabung dalam tim kerja Panitia Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan, menjadi koordinator fasilitator. Program ini merupakan kerjasama JMP-KWI dan Bipelwan PGI, yang dilakukan dalam empat termin, pada 23 kota dan 1090 lokasi pada semua Indonesia.


Pelatihan diawali dengan TOT (pelatihan buat para calon fasilitator) yg diadakan pada tiga kota, yaitu Jakarta, Makassar dan Denpasar. Ketiga pembinaan ini melibatkan kurang lebih 150 peserta menurut berbagai wilayah di Indonesia. Para peserta inilah yang akan sebagai fasilitator lokal & panitia lokal dan sosialisator dalam training-pembinaan tahap selanjutnya.


Saya sendiri berkesempatan buat memfasilitasi di Makassar, pada mana para pesertanya berasal menurut daerah Sulawesi, Kalimantan Timur, Maluku & Maluku Utara, serta Papua. Hanya terdapat satu orang peserta laki-laki di antara 49 orang peserta perempuan berdasarkan banyak sekali usia dan latar belakang. Keberagaman ini benar-benar memperkaya dinamika proses training, terutama saat penggalian & pemetaan masalah dan kebutuhan. Perbedaan wawasan & kepekaan akan dilema gender untungnya bisa dijembatani melalui sesi ini, sebagai akibatnya peta pertarungan yang timbul sungguh mampu sebagai bahan yang signifikan & membantu pada sesi selanjutnya, yaitu saat mereka menyusun kriteria buat partai politik & calon legislatif; serta dibutuhkan dapat menjadi tawaran rencana untuk mereka perjuangkan.


Walaupun perkara yg timbul terdapat yg tidak sama, akan tetapi terdapat beberapa perkara, terutama yg menyangkut kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan , secara spesifik timbul dan menjadi keprihatinan utama pada masing-masing wilayah. Masalah-masalah pada satu wilayah ternyata juga punya kaitan dengan daerah lainnya. Misalnya kasus HIV/AIDS & prostitusi di Papua, nir terlepas menurut pertarungan pada Minahasa. Keprihatinan bersama ini dalam gilirannya menggugah pencerahan dan kebutuhan akan pentingnya solidaritas & terbentuknya jaringan kerjasama para perempuan , serta terbangunnya komunitas basis wanita.


Selain pada Makassar, aku pula memfasilitasi proses pembinaan pada Manado dan Tahuna. Saya merasa pelatihan ini disambut dengan antusias sang para peserta pada ketiga kota yg aku terlibat langsung tadi. Demikian pula menggunakan yang dialami kawan-mitra fasilitator kawan pada 20 kota lainnya. Jadwal dan materi yg padat tidak mengendorkan semangat atau membuat mereka menyerah. Mereka permanen semangat hingga akhir sesi, dengan keinginan yg bertenaga buat bisa mensosialisasikan balik apa yg mereka peroleh ke komunitas mereka masing-masing. Memang sepulang berdasarkan pembinaan ini setiap peserta bertanggungjawab untuk mensosialisasikan materi pembinaan ini ke minimal 60 orang.
Di Tahuna, sebuah kota pada Kepulauan Sangihe, para perempuan yg hampir semuanya merupakan bunda-mak , antusiasmenya tidak kalah dengan mereka yg terdapat di Manado dan Makassar. Walaupun dalam awalnya poly yg masih takut buat berbicara, akan tetapi mulai sesi pemetaan kasus, mereka mulai berani bicara dan mengemukakan pendapat.


Untuk mengklaim berlangsungnya proses yang sungguh-benar-benar partisipatif dan dari perspektif peserta, metodologi training sebagai sangat penting. Alur pembinaan dibuat dengan mulai berdasarkan peta perkara dan kebutuhan lokal (dan wanita); kemudian dikaitkan dengan signifikansinya dengan Pemilu. Kemudian dilanjutkan menggunakan sesi mengenai Pemilu 2004 itu sendiri dan Kepentingan Perempuan di dalamnya. Setelah itu mereka merefleksikannya dari pertimbangan etis politis. Dari seluruh itu, mereka memperoleh bekal untuk menciptakan kriteria ideal partai politik (parpol) dan calon legislatif (caleg). Berdasarkan kriteria inilah mereka kemudia bersama-sama belajar menganalisis parpol dan caleg; sehingga mereka bisa menentukan pilihannya secara bebas & kritis. Tentunya, peluang & tantangan ini kemudian ditindaklanjuti menggunakan menciptakan taktik jangka pendek juga jangka panjang.


Pendidikan Pemilih ini dalam jangka panjang bertujuan mempersiapkan perempuan pada pendidikan politik. Pelatihan yang merogoh tema "Suara Perempuan buat Perubahan" ini memang ingin konsisten dengan tujuannya, yaitu memberdayakan suara perempuan buat menciptakan perubahan (transformasi sosial) menuju demokratisasi.


Secara keseluruhan, training ini boleh dikatakan berhasil, walaupun pada sana-sini terdapat keterbatasan dan kelemahannya. Apalagi respon yang hangat dan penuh semangat dari para peserta, terutama yang di daerah-wilayah, telah menjadi pemacu semangat juga bagi para fasilitator yg telah menempuh perjalanan jauh. Semoga saja pendidikan dan penyadaran misalnya ini tidak berhenti sebatas program apalagi hanya sebuah proyek saja!


(Intan)




HEADLINE TV (hdtv.co.id) terus berupaya meningkatkan wawasan dan pengetahuan para pemirsa dan juga menjadi media yang memiliki kredibilitas, kecepatan dan ketepatan dalam menyampaikan informasi di Kalimantan


hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv

Kamis, 06 Agustus 2020

[TIPS] Mengatasi Kaki Yang Pegal dan Telapak Kaki Yang Pecah-pecah

Sebagai aktivis yang memiliki kegiatan & gerak tinggi, kita kerapkali nir punya saat buat memperhatikan diri kita sendiri. Perjalanan ke lapangan dan perjalanan lain yang biasa kita tempuh menjadi bagian dari konsekuensi aktivitas kita, tanpa kita sadari mempengaruhi kesehatan kita, yg selanjutnya sanggup berdampak dalam kinerja kita juga.
Kaki, menjadi salah satu bagian tubuh kita yg sangat menunjang kegiatan kita menjadi aktivis patut kita beri perhatian juga. Setelah perjalanan jauh, dalam kondisi cuaca yg kering dan berdebu, ataupun hujan, kaki kita seringkali menjadi capek, telapaknya pecah-pecah, lembab ataupun berkeringat sebagai akibatnya mengeluarkan bau tidak sedap. Untuk mengurangi rasa pegal dan pecah-pecah, ada sedikit tips yg mungkin sanggup berguna bagi rekan-rekan.

Bahan-bahan yg perlu dipersiapkan:
Air suam-suam kuku pada baskom atau ember
Amplas buat kaki atau batu apung
Sikat gigi bekas
Kain lap kering
Garam


Caranya:
1. Masukkan garam secukupnya pada air suam-suam kuku dalam baskom, kemudian celupkan kaki selama 10 mnt. Kalau mau, bisa sambil menghidupkan dupa atau aroma terapi lainnya sehingga kita terbantu buat bersantai/rileks. Selain memakai aroma terapi siap gunakan yg bisa dibeli pada toko-toko, aroma terapi mampu dibuat sendiri menggunakan membakar kulit jeruk.
Dua. Angkat kaki kiri, lap menggunakan kain kering & amplas tumit & bagian kaki yg pecah-pecah. Kemudian sikat sela-sela kuku yang mungkin diselipi tanah atau kotoran. Lakukan yg sama dengan kaki yang satunya. Untuk membantu meningkatkan kecepatan pemulihan, pijat telapak kaki & betis dengan lotion kaki.


Terapi ini dilakukan relatif seringkali buat yg kondisi kakinya relatif parah (kira-kira 3 hari sekali), & diperjarang frekuensinya seiring dengan membaiknya kondisi kaki.


Selamat mencoba!
(intan)





HEADLINE TV (hdtv.co.id) terus berupaya meningkatkan wawasan dan pengetahuan para pemirsa dan juga menjadi media yang memiliki kredibilitas, kecepatan dan ketepatan dalam menyampaikan informasi di Kalimantan


hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv

Rabu, 05 Agustus 2020

[MEDIA] Jual-Beli Perempuan dan Anak - Resensi Film

Judul : Jual-Beli Perempuan & Anak.
Tahun : 2003
Produksi : Yayasan Jurnal Perempuan
Produser dan Sutradara : Gadis Arivia
Jurnalis : Deedee Achriani, Gadis Arivia, Himah Solihah

Isu perdagangan perempuan & anak semakin serius dibahas. Pemerintah, khususnya Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, menanggapi berita ini dengan mengeluarkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdaganangan (Trafiking) Perempuan & Anak, dan saat ini sedang merancang Undang-Undang Penghapusan Trafiking. Sementara itu pada tingkat rakyat, aneka macam organisasi & lembaga turut menangani gosip tersebut menggunakan melakukan penelitian dan pengenalan. Yayasan Jurnal Perempuan salah satu lembaga yg selama ini berkiprah buat pemberdayaan perempuan , melakukan peliputan ke Kalimantan Barat dan pulau Batam buat mendokumentasikan berbagai bentuk & masalah perdagangan perempuan dan anak. Hasilnya dikemas dalam bentuk film dokumenter berdurasi sekitar 60 mnt & pada format rona hitam putih.


Bentuk-bentuk perdagangan wanita & anak yang diliput adalah penjualan bayi, jual beli anak & wanita untuk tujuan seks komersial, buruh migran tidak berdokumen resmi, & pengantin perempuan pesanan buat pria masyarakat negara asing. Melalui film ini bisa disimak kisah para korban, menyorot akar perseteruan yang mengakibatkan mereka terjebak sebagai korban, dan harapan para korban buat bangkit sebagai survivor. Ada jua serangkaian wawancara dengan para calo, mucikari, pekerja LSM yg menangani masalah-masalah perdagangan, & pejabat wilayah, sebagai akibatnya sanggup ditangkap pemahaman yang menyeluruh tentang rantai perdagangan dan perilaku para pihak yg terlibat.


Film ini sangat mengagumkan buat ditonton karena tidak saja artistik dalam penggarapannya, tetapi juga adalah film dokumenter yg cukup komprehensif mengangkat berita perdangangan berdasarkan perspektif korban & cocok digunakan sebagai alat penyadaran atau kampanye penghentian perdagangan perempuan & anak. (Sinta Situmorang)











[OPINI] DISKURSUS PEKERJA PEREMPUAN DAN UPAH RENDAH

GLOBALISASI DAN PEKERJA PEREMPUAN

Globalisasi memiliki dampak positif dan negatif bagi pekerja wanita. Dampak positif glo
balisasi berimplikasi pada kesadaraan kesetaraan gender. Dengan adanya tuntutan globalisasi akan profesionalisme, dan merebaknya teknologi canggih, kaum perempuan berpeluang memanfaatkan potensi diri buat karier mereka, contohnya melalui bisnis-usaha pendidikan, ekspansi jaringan pergaulan profesional, pengasahan keterampilan & lain sebagainya. Melalui bisnis-bisnis pengembangan diri yg konstruktif & kreatif, perempuan sanggup berkompetisi secara sehat pada dunia kerja menggunakan menggunakan ide-inspirasi, pengetahuan, keterampilan, pengalaman, & sanggup memanfaatkan warta & teknologi menggunakan baik dan tak kalah agresif/taktisnya menggunakan pria.


Dampak negatif globalisasi bagi pekerja perempuan terbukti karena banyaknya perempuan dipakai oleh investor/pengusaha menjadi pekerja karena keuntungan-keuntungan. Perempuan dilihat sebagai angkatan kerja yg sanggup digunakan pada industri ekspor & impor, seperti industri garmen, tekstil, sepatu, perkebunan, penjualan eceran/grosir & sebagainya. Mereka ini diantaranya sanggup diupah murah dibanding menggunakan pekerja laki-laki , nir perlu diberikan tunjangan suami, nir terlalu poly menuntut, tidak terlalu kritis, luwes, raji
n bekerja. Oleh karena itu pekerja wanita dianggap lebih menguntungkan. Selain itu pekerja wanita lebih cocok buat dipekerjakan di lapangan kerja yang sudah ditentukan sang beberapa investor berdasarkan paradigmanya yg masih bias gender.


Dikotomi Gender dalam Industri
Paradigma beberapa investor yg masih bias gender tadi, adalah informasi yang masih mampu dibenarkan apabila pihak pekerja perempuan merasa bahwa stereotipnya sebagai perempuan merupakan kodrat, sehingga mereka enggan mengeksplorasi diri mereka buat sebagai lebih asertif & kreatif. Oleh karena itu, upah rendah yang diperoleh oleh pekerja wanita adalah konsekuensi logis karena kemampuan yang sangat minim (unskilled labour) dan enggan berbagi potensi diri.


Tetapi, informasi tersebut mampu sebagai hal yang kontroversial apabila subordinat upah terhadap pekerja wanita didasarkan atas berpretensi yg bias gender, dan bukannya lantaran berbedanya sifat pekerjaan, bobot pekerjaan & waktu kerja. Sehingga perlu solusi yang menguntungkan ke 2 pihak dalam interaksi kerja.


Prasangka yang berdasarkan pada bias gender yg biasa berlaku pada masyarakat secara makro, termasuk lingkungan bisnis adalah menjadi berikut :





Pada dasarnya, perempuan distereotipkan seperti tabel pada atas lantaran pengkondisian berdasarkan lahir, dan sebenarnya yang membedakannya menggunakan laki-laki hanyalah menurut hal alat-indera reproduksinya saja. Hal tersebut terbukti menurut hasil penelitian mengenai 2 anak kembar wanita. Sejak lahirnya dalam usia eksklusif (dini) dipisah, yg seorang dikondisikan seperti layaknya perempuan & seorangnya lagi dikondisikan misalnya pria. Hasil penelitian tadi dapat disimpulkan bahwa hal-hal di luar indera-indera reproduksinya, masih mampu dipertimbangkan sebagai hal yg bisa setara menggunakan pria, misalnya otak/kecerdasan, sifat, perilaku, perilaku ataupun tindakan. Perempuan sanggup jua setangkas dan setaktis pria.


Di samping pengakuan stereotip wanita seperti tabel di atas, beberapa hal yg turut mempengaruhi pola pikir & perlakuan diskriminatif para investor/pengusaha tadi terhadap pekerja perempuan adalah :


? Dalam giliran kerja (shift), pekerja wanita dalam biasanya tidak bisa bekerja lembur hingga jauh malam bahkan menjelang pagi. Hal ini disebabkan oleh budaya masyarakat yg berlaku bahwa wanita buruk kerja malam ataupun pagi, kondisi tubuh perempuan tidak memungkinkan buat melakukan kerja demikian dan sebagainya.
? Kompetensi perempuan lebih bersifat nir kentara dibanding laki-laki sehingga tidak gampang buat dikuantifikasikan. Kompetensi yg kualitatif tadi merupakan kemampuan menjalin hubungan yg baik antarpribadi, ketelitian, kecekatan, kerajinan & sebagainya yang seringkali diabaikan dalam unsur-unsur Penilaian Karya (Performance Appraisal). Hal itu menunjukkan bahwa adanya pengabaian keunggulan kemampuan pekerja perempuan pada sisi lain keunggulan kemampuan pekerja pria.
? Sifat pekerjaan paruh atau penuh waktu dapat mempengaruhi jumlah upah yg dibayarkan atas dasar prosentase waktu kerja.
? Sepanjang masa kerja wanita, terdapat saat-saat eksklusif yang dipercaya mengurangi produktifitasnya & termasuk hal yg dianggap merugikan perusahaan, yaitu perlop haid, perlop bersalin.
? Masih berlakunya pola pikir bahwa pekerja wanita hanya menjadi pencari nafkah tambahan. Oleh karena itu mereka tidak mendapatkan tunjangan suami yg adalah pelengkap menurut upah mereka. Dalam kenyataannya, banyak pekerja perempuan bekerja buat diri sendiri, orang tua, anak-anak atau saudaranya. Mereka merupakan tulang punggung keluarga karena aneka macam hal, diantaranya suami meninggal, cerai atau ditinggal pergi oleh suami.


Dengan demikian, adalah suatu tanggung jawab moral bagi para investor/pengusaha tadi buat tetap mampu menyadarkan & berusaha memperbaiki pola pikir & syarat mereka, misalnya: melalui pelatihan, pembelajaran melalui bimbingan senior, bonus, pinjaman lunak, penyediaan loka kerja dan fasilitas yg ergonomis, dan bisnis positif lainnya.


Fakta-berita Pekerja Perempuan & Upah Rendah, Isu pekerja wanita menjadi kaum marginal & rakyat nomor dua, nir hanya berlaku di Indonesia, tetapi pula berlaku di negara-negara berkembang dan maju.


Isu pekerja perempuan merupakan isu dunia yg sudah terdapat sejak pra dan pasca revolusi industri yang kemudian melahirkan wujud-wujud globalisasi. Sampai saat ini info pekerja perempuan adalah informasi yg perlu dicari solusinya lantaran terkait menggunakan doktrin agama-agama, peraturan-peraturan atau UU negara yg masih mengandung bias gender pada budaya rakyat yang patriarki.





Isu pekerja wanita dengan upahnya yang rendah merupakan info yg dibahas pada banyak sekali penelitian oleh forum atau orang-perorang yang teorganisir. Hasil-output penelitian itu diantaranya menerangkan masih adanya kasus subordinat upah terhadap pekerja perempuan dampak bias gender.


Di Indonesia, banyak sekali masalah-masalah subordinat tadi, poly pekerja wanita yg mendapatkan upah rendah sehingga sangat sulit buat menutupi kebutuhan hidupnya secara layak.


Dalam penelitian Molly Jacobs (Low-Wage Women : The Demographic Determinants of their Wages, Duke University, Durham, North Carolina, 31 May 2003), disebutkan bahwa 59% angkatan kerja wanita di Jerman masih memperoleh upah yang rendah. Hampir 70% angkatan tersebut bekerja pada ranah kerja feminin, seperti klerikal, penjualan, ataupun bidang jasa yang terkait. Pekerjaan seperti Pengajar, Sekretaris & Pramuniagapun cenderung mendapatkan upah yg lebih rendah dibanding pekerjaan yang sama bagi laki-laki .


Margarita Dimitrova , pada makalahnya menggambarkan kondisi upah secara holistik sektor bagi pekerja perempuan & pria pada Amerika (http://www.Aubg.Bg/home/students/MDD000/otb paper.Doc) menjadi berikut : (gambar 15)


Di samping upah yang diterima pekerja perempuan pada atas lebih rendah menurut pekerja laki-laki , pekerja perempuan juga nir difasilitasi asuransi & tunjangan lainnya buat keluarga mereka.
Dua hal ini merupakan sebagian berdasarkan sekian banyak fakta yg mendeskripsikan adanya subordinat upah bagi pekerja perempuan , & pekerja perempuanlah yg wajib menanggung bebannya.


Usaha-usaha Perbaikan bagi Pekerja Perempuan
Beberapa landasan pola pikir & tindakan yang mampu digunakan buat memperbaiki kondisi pekerja wanita sang para investor & pimpinan/pengusaha, yaitu :


1. Filosofis
Para investor/pengusaha wajib mengambil tindakan afirmasi atas isi Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi PBB Desember 1979 yg terkait, misalnya Hak-hak Ekonomi yg meliputi hak yg sama dengan laki-laki pada segala bidang kehidupan ekonomi dan sosial, diantaranya :
a) hak untuk mendapat latihan kejuruan, bekerja, memilih jabatan dan pekerjaan dengan bebas, dan memperoleh kemajuan pada keahlian dan kejuruan, tanpa disparitas antara wanita yang berstatus belum atau telah menikah,
b) hak buat menerima upah & perlakuan yg sama menggunakan laki-laki & perlakuan yang sama berkaitan dengan pekerjaan yang sama nilainya (Deklarasi PBB 1967, pasal 10).
C) berhak menikmati syarat hayati yg memadai, terutama yg berhubungan dengan perumahan, sanitasi, penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan komunikasi (Konvensi PBB 1979 pasal 14).


2. Mudah
Para investor/pengusaha wajib mempunyai niat baik & berusaha memperjuangkan terlaksananya pemugaran kondisi pekerja perempuan . Beberapa cara yang mampu ditempuh, diantaranya :


a) Audit SDM perlu dilengkapi menggunakan pelaksanaan kampanye penghapusan subordinat upah dampak bias gender, dan bukan akibat sifat pekerjaan, serta bobot pekerjaannya yang berbeda.
B) Merekonstruksi peraturan-peraturan & kebijakan-kebijakan perusahaan pada hal pembayaran upah dan tunjangan, contohnya kenaikan upah yang layak, tunjangan suami, pinjaman menggunakan bunga lunak, bonus, penyediaan transportasi, fasilitas kesehatan, fasilitas kerja yg kondusif & nyaman.
C) Menyelenggarakan program pendampingan kerja, pendidikan dan pelatihan.
D) Membangun jaringan kerja kemitraan dengan forum-lembaga yg peduli/peka gender, seperti LSM Perempuan & lembaga lainnya. Hal ini perlu dilakukan sebagai masyarakat negara yg peduli menggunakan perkara perempuan . Dengan demikian secara sinergi, antara investor/pengusaha, LSM, dan bahkan pemerintah diperlukan dapat lebih efektif mengeliminir beban wanita.


Merujuk pada esensi hubungan manusiawi, bahwa siapapun berhak atas perlakuan keadilan dan kemanusiaan, maka perempuan menjadi bagian berdasarkan warga global perlu diperjuangkan hak-haknya sesuai perannya. Itu seluruh tugas yg harus dipikul bersama dan diperjuangkan demi kesejahteraan & kesetaraan bersama.


Maria Clara Neti Veronica (Staf Personalia, CSIS Jakarta)























































































[MASALAH KITA] Pergulatan dan Dialektika Aktivis Perempuan

Dengan makin kuatnya tuntutan arus demokrasi, dibarengi krisis yg melanda negeri ini, yg makin diperparah dengan tanggapan pihak penguasa lewat rekayasa & teror kekerasan; kesadaran & gerakan masa warga yang selama ini mengalami ketidakadilan dan ketertindasan menjadi makin terlihat. Termasuk para bunda yg tergabung dalam SIP (Suara Ibu Peduli) mulai memasuki kancah publik menggunakan menggunakan gosip domestik buat memperjuangkan keprihatinan mereka. Isu SARA yg dipakai untuk menghidupkan kerusuhan di banyak sekali wilayah pada negeri ini, yg berpuncak pada bencana Mei 1998 makin memperkuat solidaritas para perempuan dan juga laki-laki buat beranjak. Aktivis-aktivis muda dan tua bangkit pulang, bersama-sama berkecimpung menantang teror, rekayasa & kekerasan ini. Realita ketidakadilan sosial yang dialami mulai dikaitkan & dimintakan pertanggungjawaban lewat ideologi negara dan kepercayaan serta budaya.

Kail berkesempatan mewawancarai 7 orang ibu yang aktif dalam JMP (Jaringan Mitra Perempuan) mengenai pergulatan dan tanggapan mereka pada menyiasati konstruksi sosial (melalui keluarga, budaya dan negara) tentang Kedanquot;ibu"an mereka, khususnya pada menjalankan peran mereka sebagai aktivis.


Konstruksi sosial mengenai ?Ibu?
Dari ketujuh responden, konstruksi sosial famili-lah yg pertama-tama mereka alami & paling berpengaruh bagi pembentukan gender mereka, yg tercerap pada ihwal, pikiran, pemahaman, perilaku dan tindakan mereka baik secara langsung maupun sosial. Dari keluargalah (terutama berdasarkan bunda & relasinya menggunakan ayah & kakek mereka), mereka belajar buat sebagai seorang wanita, dan kelak sebagai seseorang istri & ibu. Ajaran, larangan & nilai-nilai yg disosialisasikan kadangkala tidak eksplisit, tapi sebagai model hidup yang harus mereka teladani. Dari ke 7 responden ini kebetulan 5 dari mereka kebetulan dari menurut Jawa Tengah (orang Jawa), sebagai akibatnya budaya Jawa yang patriarkhis mendominasi skenario hayati mereka. Dua orang lainnya yg beretnis Tionghoa juga membicarakan bagaimana tradisi sebagai unsur yg mayoritas pada konstruksi sosial mereka.

Sumber gambar: Kompas, 1 Oktober 2003, laman 2.

Pada konteks Indonesia, negara mengambil alih pendefinisian makna masyarakat negara perempuannya. Pada masa Orba, perempuan diideologikan menggunakan bahasa yang mempesona & diberi peranan mendukung pada (proyek) pembangunan. Pengideologian ini berhasil menciptakan bukti diri wanita dalam berbagai bentuk pemuliaan semu dengan karakteristik utamanya adalah kepatuhan. Konstruksi keibuan ini adalah deretan konsep budaya Jawa dan Belanda (Sears, Laurie. Introduction: Fragile Identities, dalam Sears, L (Ed). Fantasizing The Feminine in Indonesia. London: Duke University Press. 1996. Hal 33). Selama ini negara cenderung memanipulasi konsep wanita sebagai "istri", " ibu", atau keduanya, tergantung kebutuhan. Misalnya melalui Dharma Wanita, peran perempuan jelas-jelas secara struktural dianggap menjadi pendukung karir suami, seolah-olah perempuan tidak mempunyai pekerjaan & karir sendiri. Demikian jua mobilisasi massa wanita buat mensukseskan acara pembangunan, baik secara sukarela juga paksaan, melalui program PKK, Posyandu dan Keluarga Berencana.
Konstruksi sosial tentang wanita, khususnya sebagai istri & bunda ini disadari benar oleh para aktivis ini, dan banyak dari mereka yang menginternalisasinya selama ini. Misalnya, Bu Pratiwi wajib siap menggunakan resiko dicerca atas pemberontakannya sebagai aktivis sebagai konsekuensi menurut menjadi bagian menurut famili yang termasuk birokrat.


Pergulatan & Dialektikanya
Konstruksi sosial yg ditanamkan ternyata membawa impak yang tidak sama dan ditanggapi secara tidak selaras dalam masing-masing individunya. Beberapa dari mereka bahkan tak jarang dihinggapi rasa bersalah dan merasa bukan perempuan , bahkan sebagai "sakit jiwadanquot; lantaran konsep ke-mak -an yang dikonstruksikan bagi mereka.


Bagi Bu Pratiwi contohnya, konstruksi ini menciptakan dia frustasi dan sempat merasa bukan perempuan (sempurna) karena tidak mampu mengurus rumah dan nir sanggup masak; lantaran konsep perempuan ideal yang selama ini diajarkan adalah bahwa perempuan mesti sanggup mengurus urusan tempat tinggal , mengolah, mencuci & menjahit. Perasaan ini makin bertenaga ketika belum kunjung punya anak. Tapi setelah terdapat perubahan pandangan, ternyata hayati menjadi perempuan dirasakan lebih nyaman, tidak terdapat keharusan yg ditentukan dari luar, sehingga tidak sebagai kaku. Proses perubahan kerangka berpikir itu membuat ia lebih mendapat orang apa adanya. Perubahan ini diperoleh berdasarkan kecintaannya pada buku, lewat pergaulan dengan teman-sahabat aktivis wanita, lewat pergaulan menggunakan JMP dan dengan mengobrol. Suami Bu Pratiwi yg orang Kalimantan, sedikit poly pula berperan dalam proses penerimaan diri dan perubahan paradigma ini. Budaya dan eksklusif oleh suami yg nir mengambil peran stereotipe dan kaku mengenai seseorang suami & bapak, walaupun dengan kekeraskepalaannya sendiri, sudah membangun sebuah dialektika tersendiri bagi kehidupan famili mereka sebagai sesama aktivis.
Bu Lim, kebalikannya, dengan suami yg sangat patriarkhis, mengalami pergulatan yang lebih berat buat berdialektika menggunakan pemahaman barunya mengenai relasi wanita & pria. Aktivitas & perjuangannya menjadi aktivis wanita tidak berarti beliau mampu membarui atau mempengaruhi suaminya semudah itu. Perlu ada taktik & perundingan eksklusif sehingga sedikit-sedikit mereka berproses bersama menuju rekanan yang lebih setara. Pengakuan akan eksistensi diri & perjuangannya hanya mampu dicapai menggunakan taktik yang nir frontal, nir dengan marah-marah, tapi justru menggunakan kepekaan & pengenalan diri pasangannya, fleksibilitas dan kelincahan berbahasa.
Strategi dan perundingan yg cerdik ini juga diterapkan sang Yani dalam menghadapi suaminya yg patriarkhis & cenderung nir setia. Hanya pada hal pendidikan anak, mereka bisa mencapai kesepakatan , & hal inilah yang sebagai titik berangkat bagi Yani buat mempertahankan keluarganya. Pengalamannya hayati dalam konstruksi famili Jawa yang patriarkhis & feodal, yang ia internalisasi pada paruh waktu kehidupan tempat tinggal tangganya, ternyata menciptakan ia merasa menjadi "sakit jiwa", terguncang dan capek sekali. Ia malah mengakibatkan dirinya orang lain, sebagai terasing dari dirinya sendiri. Kesempurnaan peran istri yg dia jalankan menurut idealisasi konsep istri dan mak yang dikonstruksikan budaya, keluarga & negara nir menciptakan ia terlepas menurut korban ketidakadilan menurut suaminya & keluarganya. Pengalaman menyakitkan ini untungnya tidak dia tanggapi dengan berputus harapan dan pasrah saja. Didukung sang rekan-rekan aktivisnya, ibunya dan terutama keyakinan dan kemauan dirinya, Yani mampu mengganti pengalaman ketertindasannya sebagai momen buat memberdayakan kembali dirinya. Proses jatuh bangun yang dia alami tidak menyurutkan langkahnya buat terus bertahan & membantu orang lain buat berjuang jua. Kunci menurut proses pendewasaannya merupakan kerelaan & kerendahan hati untuk memberi kesempatan bagi dirinya & orang lain buat menerima yg terbaik, kerendahan hati buat belajar dan permanen memiliki asa. Semuanya asal menurut kekuatan Iman dan Kasih.
Lain lagi menggunakan Bu Wati, dialektika relasinya dengan suami dan anak, serta menggunakan keluarga kedua belah pihak terjadi lewat percakapan yg ada lantaran kebutuhan simpel. Misalnya masalah pembagian peran pada rumah tangga serta tanggung jawab & pengambilan keputusan. Beruntung memang, suaminya relatif gampang diajak berkompromi dan berproses bersama, walaupun proses ini tidak terlepas menurut pertarungan dan tegangan. Masalah kegiatan pada luar rumahnya yg menuntut mobilitas tinggi sudah dinegosiasikan jauh sebelumnya dengan suaminya, sebagai akibatnya nir lagi menjadi potensi konflik di kemudian hari.
Perasaan bersalah tak jarang kali sebagai bagian berdasarkan diri Bu Ambar waktu konstruksi itu ia internalisasi. Otonomi diri dipercaya identitik dengan egoisme, & itu antagonis dengan kasih - yg seharusnya dimiliki oleh seseorang ibu. Tuntutan-tuntutan yg diberikan pada seseorang ibu dirasakan olehnya terlalu berat & membebani, merasa terbelenggu, stress dan merasa "diperbudak". Kesadaran akan ketidakadilan gender akibat konstruksi budaya khususnya, mulai dirasakan lewat bacaan dan cerita tentang wanita Jawa; terutama jua lewat pengalaman konkretnya. Selanjutnya pencerahan itu mulai disosialisasikan lewat tulisan-tulisan dan lewat aktivitasnya di JMP.
Perasaan bersalah pula hinggap di hati Bu Sri, lantaran ia nir mampu mengolah. Tapi ini wajib dia bayar dengan mengkompensasikan menggunakan kesempurnaan pekerjaan tempat tinggal tangga lainnya dan dengan menaruh pekerjaan memasak ini pada pembantunya. Ketakutan jika-jikalau dia tidak sanggup membahagiakan suaminya serta ketakutan buat memilih, serta keharusan buat berbasa-basi makin dirasakan melelahkan. Keterlibatannya di JMP telah membawa perubahan, termasuk cara berelasi dengan suaminya. Ia menjadi lebih berani untuk menentukan perilaku, lebih terbuka & mampu mengambil posisi sebagai pribadi. Perubahan ini dirasakan lebih membebaskan, nir lagi stress; bisa mendengarkan orang lain dan menghargai mereka. Selain itu juga belajar mendapat disparitas dan nir memaksakan kehendak, lebih inklusif dan tidak feodal. Yang penting bagaimana kegiatan di luar tempat tinggal nir membuat keadaan di tempat tinggal menjadi berkonflik.


Bagi para ibu yg aktivis ini, perjuangan visi mereka menjadi aktivis nir terlepas dari proses dialektika mereka pada tempat tinggal tangga mereka sendiri. Keberhasilan mensugesti dan membawa perubahan yang lebih baik dalam rekanan mereka sendiri, tidak berarti bahwa kini giliran mereka buat mendominasi atau sewenang-wenang, akan tetapi justru lebih dalam penghormatan, kesetaraan dan penerimaan serta keterbukaan akan orang lain.


Akhir Kata?.
Pilihan sebagai seseorang aktivis tidaklah mudah. Dilahirkan menjadi seseorang perempuan pada budaya & sistem yg patriarkhis jua tidak gampang. Maka, sebagai wanita sekaligus aktivis sebagai kesulitan dan tantangan tersendiri, apalagi bila beliau memperjuangan keadilan dan perubahan bagi ketertindasan kaumnya sendiri. Permasalahan dan pergulatan yang dihadapi membutuhkan proses panjang dan kerjasama berdasarkan pasangannya, menurut warga dan perlu dukungan menurut institusi negara, budaya dan pula kepercayaan . Siasat dan taktik yg tidak konfrontatif, kreatif & fleksibel diperlukan dalam usahanya buat mendekonstruksi simbol & pemaknaan konsep yang terlanjur dipercaya kodrat selama ini.


Upaya transformasi & perubahan paradigma ini hanya mungkin ditempuh dengan berjejaring dan membentuk solidaritas beserta pada gerakan beserta: wanita dan pria. Semuanya mungkin buat dilaksanakan & bertahan, karena terdapat roh yg menggerakkan mereka. Seperti yang dikemukakan Pratiwi, bahwa dia melakukan semuanya ini karena dorongan hati, serta kepedulian terhadap manusia. Kepedulian ini pula yang menggerakkan Wati, lantaran beliau ingin lebih banyak orang yang punya kepedulian terhadap masalah-perkara yg kita hadapi, sehingga tercipta dunia baru yg lebih adil. Visi ini diteguhkan sang semangat dan ajaran yang beliau yakini, yaitu mengenai Kasih & pengampunan.


Semoga saja semangat kasih yang demikian kuat didengungkan & dimaknai pada rekonstruksi konsep ke-bunda-an para aktivis ini pula bergema dan menyemangati kita & para aktivis lainnya, tidak hanya terbatas dalam rekanan antar perempuan dan laki-laki , akan tetapi jua rekanan kita menggunakan alam lingkungan kita!


(Intan Darmawati)






































Selasa, 04 Agustus 2020

[MASALAH KITA] Mengapa hanya sedikit perempuan yang menjadi aktivis?



David kuliah pada Jurusan Biologi, pada mana 70% mahasiswanya merupakan wanita, tetapi dari lebih kurang enam tahun masa studinya, hanya sekali wanita sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Biologi. Setelah itu ia membuat LSM yg memiliki acara relawan, yg secara umum dikuasai perempuan . Dari ratusan relawan yang lalu direkrut menjadi staff, yang lalu berkomitmen & bertahan lebih menurut lima tahun seluruh laki-laki . Ia juga berkawan dengan banyak aktivis yang pula wanita, dan sayangnya? Sesudah menikah, mereka berhenti. Fenomena apakah ini?


Fenomena serupa ternyata nir hanya terjadi pada dunia aktivis saja, namun pula terjadi pada panggung politik bangsa kita, pada mana dominan penduduknya juga wanita. Sampai-hingga pada pemilu tahun 2004, setiap partai wajib mempunyai calon perempuan minimal 30%.

Meskipun terdapat pesimisme apakah wanita-wanita itu sahih-benar mempunyai perspektif gender, menjadi langkah awal keputusan ini perlu disambut baik. Hal serupa terjadi di sektor ekonomi, pendidikan, agama & teknologi. Beberapa institusi internasional telah membuat aturan keseimbangan gender di organisasinya. Demikian juga beberapa perusahaan internasional yang selama ini dipercaya daerah kerja laki-laki , contohnya perusahaan-perusahaan tambang, mulai mengutamakan peluang kerja bagi wanita-perempuan . Meskipun demikian permanen saja, sektor-sektor tersebut didominasi oleh pria. Apakah tidak terdapat wanita yg relatif berkualitas buat mengisi posisi-posisi krusial pada sektor-sektor tersebut?

Gadis Arivia pada bukunya Filsafat berperspektif Feminis menuliskan hal serupa jua terjadi pada global filsafat. Filsafat yang tercatat dalam sejarah semenjak zaman Yunani, hampir seluruh pria. Dalam buku tersebut, ia menuliskan bahwa hal tersebut tidak berarti perempuan tidak berkualitas atau tidak bisa berfilsafat, melainkan sengaja dipinggirkan dari panggung filsafat melalui anggaran main yang terdapat.


Bagaimana dengan peluang yang terbuka luas, misalnya di sektor ekonomi & politik tadi? Jawabannya, hidup kita tidak hanya dipengaruhi sang faktor ekonomi dan politik. Demikian jua waktu seorang perempuan membuat keputusan buat terlibat/tidak terlibat dalam satu aktivitas, contohnya menentukan pekerjaan. Keputusannya nir akan semata-mata dipengaruhi sang faktor ekonomi & peluang yg ada. Dalam melakukan pilihan aksi, seseorang aktivis perempuan ditentukan sang banyak hal. Sedikitnya terdapat tiga faktor yang memiliki efek cukup besar bagi pengambilan keputusan seseorang aktivis perempuan , yaitu: keluarga, budaya & agama.


Keluarga
Entah itu nasib, takdir atau pilihan bebas, banyak wanita yg mengutamakan keluarga di atas karirnya. Banyak sekali perempuan yg berhenti berkarir sehabis menikah, sibuk menggunakan pekerjaan domestik dan melupakan kiprahnya dalam kehidupan sosial. Karir mereka identik dengan sukses suami & anak-anak mereka. Seringkali apabila oleh suami dan anak-anak gagal, wanita yang disalahkan lantaran dianggap nir becus sebagai istri & bunda.


Nilai inilah yg poly menghantui poly wanita, waktu mereka wajib mengambil pilihan-pilihan hidup, contohnya pekerjaan. Yang paling sebagai pertimbangan acapkali adalah apakah pekerjaan ini cocok untuk kehidupan anak-anak & suami mereka, dan bukannya apakah pekerjaan ini cocok buat mereka. Hidup mereka berpusat pada suami dan anak-anak, dan bukannya dalam panggilan mereka sendiri.


Sangat mengagumkan, apabila ada perempuan yg akhirnya dapat mengkombinasikan pilihan hidupnya dengan kepentingan suami dan anak-anaknya. Membagi hidup secara seimbang antara karir menggunakan keluarganya. Sayangnya, sangat sedikit wanita yg dapat hayati menggunakan cara ini.


Budaya
Budaya merupakan faktor kedua yg menghipnotis keputusan seorang wanita. Kalaupun famili intinya (suami & anak-anak) mendukung pilihannya, belum tentu beliau berani menghadapi cermin sosial yg asal dari rakyat yang lebih luas. Pertama, mungkin akan terdapat tekanan dari famili besar , ayah, mak , mertua, nenek, kakek, paman, bibi dkk. Kedua, kalaupun keluarga akbar sudah ok, masih ada tekanan menurut tetangga/rakyat tempat tinggal/kerja nya.
Tekanan ini dapat dilancarkan menggunakan berbagai alasan, misalnya care, peduli atau sayang sampai takut tersaingi alias sirik. Meskipun sepertinya tidak sama, sayangnya keduanya berujung sama, peminggiran perempuan berdasarkan pilihan hayati dan karyanya.


Agama
Agama merupakan faktor yang paling sulit dilawan dalam konstruksi sosial yg meminggirkan perempuan . Misalnya, ketika Megawati akan menjadi presiden, beliau dihadapkan dalam fenomena bahwa yang diangkat ke bagian atas bukannya apakah ia sungguh-benar-benar mempunyai kapasitas menjadi presiden, tetapi jenis kelaminnya. Lantaran pada kepercayaan Islam yg wajib menjadi pemimpin adalah pria.


Dalam banyak agama akbar, hak buat menjadi pemimpin & mendalami kepercayaan masih didominasi oleh laki-laki . Gereja Katolik masih melarang perempuan menjadi imam. Demikian jua dengan kepercayaan Islam. Agama Budha di banyak negara juga menerapkan pola yg sama, yg menjadi biku adalah laki-laki .


Lalu apa yg wajib dilakukan?
Lepas dari segala analisis yang rumit-rumit mengenai penyebab segala hal tadi, perempuan tetap harus merogoh perilaku. Sebagaimana pula pria & seluruh orang, wanita paling berhak atas pilihan hidupnya, atas masa depannya, atas pilihan karirnya. Pilihan-pilihan itu hendaknya didasarkan pada potensi maksimal kiprahnya sebagai bagian menurut umat insan, panggilan/perutusan uniknya buat berkarya pada global ini. Bukannya, dipengaruhi oleh keluarga, warga atau bahkan kepercayaan .


Pertama-tama, beliau harus menjernihkan dan mendengarkan suara hatinya, menemukan arah hidupnya, apa kiprahnya menjadi insan. Kedua, ia butuh keberanian buat menghadapi cermin sosial. Berani menyampaikan nir, buat sesuatu yg merusak pelaksanaan visi & misi hidupnya. Tentu saja ini sulit, apalagi pada termin awal. Lantaran itu langkah ketiga menjadi krusial, yaitu menemukan komunitas sevisi. Dalam komunitas sevisi, wanita akan menemukan dukungan dalam bentuk persahabatan, sharing pengalaman, pengetahuan atau bahkan sekedar tempat curhat. Ini akan menguatkan bepergian beratnya melaksanakan misi hidup. Yang terakhir dan terpenting adalah hayati dengan komitmen. Lantaran tanpa komitmen yg kuat segala asa akan sia-sia. Komitmen jua berarti kesediaan menanggung resiko akibat pilihan-pilihan yg diambilnya, contohnya stereotipe dari masyarakat, perseteruan menggunakan keluarga & bahkan mengorbankan hidupnya sendiri untuk impian yang lebih besar .
(Any Sulistyowati)









































[PIKIR] Beda Cara Belajar Beda Tindakan



Cara belajar setiap orang tidak sinkron satu sama lain. Selain dipengaruhi sang faktor genetis, cara belajar kita jua dibuat oleh faktor lingkungan yang turut membentuk norma kita diantaranya melalui anggaran-aturan sekolah, keluarga dan rakyat. Perbedaan cara belajar ini dalam akhirnya akan mempengaruhi cara kita bertindak & menanggapi sesuatu. Banyak perseteruan terjadi akibat perbedaan cara belajar ini, contohnya pertarungan antara anak & orang tua; antara suami-istri; antara pemerintah dengan masyarakat maupun antara aktivis pendamping lapang dengan masyarakat dampingannya. Karena respon anak nir sinkron dengan harapan orang tua maka orang tua berpikir bahwa anaknya nakal, susah dikendalikan dan susah diatur. Lantaran lebih senang menjawab soal menggunakan caranya sendiri, seorang anak didik lantas dipercaya udik sang gurunya dan lantaran tidak menciptakan tanggapan sinkron asa seseorang gadis menganggap kekasihnya telah tidak mencintainya lagi. Masih banyak lagi pertarungan & pertarungan yg timbul dampak perbedaan cara belajar ini.


Tulisan ini mengangkat model cara belajar kombinasi yg diteliti oleh Dr. Anthony F. Gregorg. Model ini merupakan salah satu contoh yg paling efektif buat tahu perbedaan cara belajar. Model ini dibangun dari kombinasi cara kita memandang persoalan (persepsi) dan cara kita menyusun kabar yg kita terima.


Cara Memandang Persoalan (Persepsi)
Kita memandang dunia menurut persepsi kita. Persepsi itu nir sama buat setiap orang. Persepsi ini akan mensugesti kita pada memahami sesuatu & merogoh tindakan atas sesuatu. Ada dua kualitas persepsi yang dimiliki sang setiap orang, yaitu persepsi konkret & persepsi tak berbentuk.


Kualitas persepsi nyata memungkinkan kita pribadi menyerap kabar yang diterima oleh panca indera. Kita melihat segala sesuatu misalnya apa adanya. Kita tidak mencari makna yg tersembunyi pada balik suatu insiden atau mencoba menggali penyebab-penyebab menurut suatu perseteruan.


Kualitas persepsi tak berbentuk memungkinkan kita menggali lebih jauh makna dari suatu insiden, menciptakan visualisasi maupun mencari pandangan baru-ilham baru pada luar hal-hal yang secara eksklusif ditangkap oleh panca indera. Bagi orang yang memakai persepsi tak berbentuk, segala sesuatu nir selalu tampak seperti kelihatannya.


Cara Penyusunan Informasi
Penyusunan kabar adalah cara kita menggunakan berita yang kita terima. Menurut Gregorc cara penyusunan liputan bisa dikelompokkan sebagai 2 yaitu sekuensial (urut, runtut, teratur) dan acak (secara acak).


Kemampuan sekuensial memungkinkan kita berpikir secara logis. Informasi akan disusun secara teratur & bertahap. Mereka yang lebih banyak didominasi kemampuan sekuensialnya, umumnya melakukan perencanaan sebelum melakukan tindakan.


Kemampuan rambang menyusun warta secara serabutan dan tidak teratur. Kemungkinan terdapat beberapa hal yg terlewati. Bagi mereka yg dominan kemampuan acaknya terkesan impulsif, tidak berpikir panjang dan yg penting bagi mereka adalah terselesaikan, sementara tahapan penyelesaian nir sebagai kasus.


Model Kombinasi Gregorc
Gregorc memodelkan cara belajar menjadi kombinasi cara memandang persoalan & cara menyusun kabar. Kombinasi tadi dikenal sebagai: Sekuensial Konkret (SK), Sekuensial Abstrak (SA), Acak Konkret (AK) & Acak Abstrak (AA).
Keempat kemampuan ini terdapat dalam setiap orang, hanya kadarnya buat setiap tipe berbeda-beda. Berikut ini adalah ciri secara umum dikuasai menurut keempat model cara belajar tersebut.


1. Sekuensial Konkret
Orang-orang yang secara umum dikuasai kemampuan sekuensial konkretnya umumnya ulet , tradisional, sangat cermat, stabil, dapat diandalkan, konsisten, berpegang dalam kabar dan teratur. Mereka sangat baik dalam menerapkan gagasan-gagasan menggunakan cara yang mudah, efisien dan irit. Mereka umumnya tepat waktu. Mereka juga memiliki kemampuan buat melahirkan gagasan konkret berdasarkan sesuatu yang abstrak. Biasanya mereka bekerja secara sistematis, sedikit demi sedikit mengikuti jadwal & detil. Mereka senang melakukan sesuatu secara rutin & teratur. Dengan kebiasaan ini, mereka akan kesulitan menghadapi lingkungan yg berantakan, obrolan yg nir jelas arahnya serta mengikuti perintah yg nir jelas.


2. Sekuensial Abstrak
Orang-orang yg dominan kemampuan sekuensial abstraknya umumnya analitis, obyektif, berpengetahuan luas, teliti, rapi, logis, damai & hati-hati serta sistematis. Mereka sangat baik dalam pekerjaan-pekerjaan penelitian, contohnya mendeskripsikan urutan insiden pada suatu urutan yg logis, memakai liputan buat menunjukan atau menyanggah teori & menganalisis gagasan. Mereka mengumpulkan data-data sebelum mengambil keputusan & menyelesaikan segala sesuatu hingga tuntas. Mereka akan frustasi bila ketika yang diberikan buat merampungkan pekerjaan tidak relatif, mengulang-ulang pekerjaan yg sama, berpikir sentimentil atau wajib menunda diri buat nir membicarakan gagasan dalam kurun waktu yg usang.


3. Acak Konkret
Orang-orang yang secara umum dikuasai kemampuan rambang konkretnya umumnya bertindak dengan cepat, mengikuti istilah hati, selalu ingin tahu, realistis, mempunyai daya cipta, inovatif, naluriah & sangat berani. Mereka mempunyai banyak gagasan kreatif & melihat poly alternatif solusi & cara-cara baru buat menuntaskan problem. Mereka sanggup mengilhami orang lain buat bertindak. Mereka mau mengambil resiko dan bisa merogoh keputusan menggunakan cepat. Keputusan ini sebagian akbar berdasarkan pada nalurinya dan bukan dari perhitungan yang cermat akan data dan fakta yang mendukungnya. Mereka akan putus harapan bila nir memiliki pilihan, harus membuat laporan formal, menghadapi hal-hal rutin, mengulang sesuatu yang pernah dilakukan maupun menyebutkan alasan dari keputusan/jawaban eksklusif.


4. Acak Abstrak
Orang-orang yg dominan kemampuan acak abstraknya umumnya peka, penuh belas kasih, cepat tahu, imajinatif, idealis, sentimentil, impulsif dan fleksibel. Mereka mempunyai karunia buat mendengarkan orang lain menggunakan benar-benar-sungguh & menciptakan suasana damai menggunakan orang lain. Mereka menyadari kebutuhan orang lain & gampang menjalin persahabatan. Mereka menduga krusial perasaan & emosi serta memberikan perhatian pada tema serta gagasan. Mereka mengusut sesuatu dengan caranya sendiri dan merogoh keputusan menurut perasaan. Mereka akan putus harapan apabila harus menjelaskan alasan mengapa mereka melakukan/menetapkan sesuatu, berkompetisi, mendapat kritikan & berfokus hanya pada satu hal setiap ketika.


Apa gunanya mengetahui perbedaan cara belajar?
Banyak pertarungan ditimbulkan oleh perbedaan cara belajar. Misalnya seseorang mak yg sekuensial konkret akan merasa anaknya yg rambang nyata menjadi anak yg semaunya sendiri & susah diatur. Bagi orang sekuensial konkret, hayati teratur dan rapi sangat menyenangkan, ad interim buat orang rambang konkret menjadi rapi dan teratur merupakan sesuatu yg menyebalkan dan membebani. Dengan tahu cara belajar sang anak, si bunda bisa lebih memahami bahwa buat memenuhi tuntutannya oleh anak membutuhkan usaha yg luar biasa keras. Dengan demikian beliau akan lebih toleran terhadap kesemrawutan-kesemrawutan mini yang sekali waktu dilakukan anaknya.


Perseteruan lain yg mungkin muncul adalah antar pasangan. Seseorang yang rambang tak berbentuk lebih menggunakan perasaannya pada melakukan sesuatu dan bagi mereka perhatian terhadap orang adalah sangat krusial. Jika orang ini mempunyai pasangan sekuensial abstrak, mungkin ia akan berulangkali merasa kecewa akan tingkah laris pasangannya yg kurang perhatian, kurang tanggap akan perasaannya dan selalu menuntut argumen yg rasional dari setiap keputusan yang diambil. Sementara itu pasangannya akan merasa dia terlalu menuntut, nir rasional & kurang mempercayai cintanya. Dengan tahu perbedaan cara belajar, pasangan ini akan lebih maklum dengan apa yg dilakukan oleh pasangannya & tidak selalu mengartikan perilaku-perilaku yg tidak sinkron dengan asa sebagai aktualisasi diri nir mengasihi juga sengaja menciptakan kesal/mengecewakan.


Contoh yang lain adalah antara guru menggunakan anak didik. Sistem pendidikan zaman sekarang cenderung memakai pendekatan disiplin dan cara berpikir yang runtut buat tahu pengetahuan. Pendekatan ini menguntungkan anak-anak yang memiliki kombinasi mayoritas sekuensial nyata dan sekuensial abstrak. Anak-anak yg sekuensial nyata akan dengan mudah mengikuti keteraturan aturan-aturan sekolah. Sementara anak-anak yang sekuensial abstrak bisa menggunakan mudah mengikuti pelajaran yang membutuhkan analisis. Sedikit sekali perhatian diberikan untuk seni & cara berpikir kreatif yg cocok buat anak-anak rambang tak berbentuk & aca konkret. Bagi anak-anak menggunakan cara berpikir rambang, sekolah formal merupakan belenggu yang membosankan. Beberapa mereka memperoleh cap menjadi anak nakal atau anak kolot. Padahal sebenarnya belum tentu demikian. Mereka sebagai demikian lantaran cara belajar yang diterapkan pada sekolah tidak cocok dengan cara belajar mereka. Sekolah menjadi siksaan. Guru-guru yg tahu perbedaan cara belajar ini akan lebih toleran terhadap perilaku anak-anak ini & berusaha mencari cara kreatif buat mengakomodasi disparitas cara belajar ini.


Contoh lain yg mungkin relevan buat kita menjadi aktivis, misalnya perbedaan cara belajar antara seseorang pendamping lapang menggunakan warga lokal dampingannya. Jika seseorang pendamping mempunyai cara belajar secara umum dikuasai sekuensial tak berbentuk, mungkin tidak cocok buat mendampingi rakyat yg nyata dan acak. Orang sekuensial abstrak cenderung banyak bicara buat menjelaskan hal-hal yg diketahui & acapkali menggunakan bahasa yg sulit dimengerti. Masyarakat yang nir terbiasa berpikir panjang akan kesulitan mengikuti apa yg diterangkan sang oleh pendamping dan akhirnya mengangguk-angguk tetapi kurang mengerti atau malah mengantuk. Akhirnya program yg direncanakan tidak berjalan lantaran warga tidak paham. Orang yang sekuensial tak berbentuk pula kurang mampu berempati dalam sesama, sebagai akibatnya acapkali kurang tanggap akan kebutuhan orang-orang pada sekelilingnya. Sehingga jika orang tipe ini sebagai pendamping kemungkinan beliau akan kesulitan memahami asa & perasaan yang berkembang pada warga dampingannya.


Bagaimana kita bersikap terhadap disparitas cara belajar?
Masih banyak lagi model masalah atau perseteruan yang ditimbulkan sang perbedaan cara belajar ini. Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan ini?


Pertama, kita perlu menyadari cara belajar kita sendiri. Dari sana kita dapat mengidentifikasi kekuatan & kelemahan kita. Setelah itu, kita perlu menyadari, mendapat fenomena dan menghargai disparitas cara belajar setiap orang. Dengan bekal itu, kita dapat mengikuti keadaan dan bahkan memanfaatkan perbedaan-disparitas itu.


Misalnya apabila kita dalam satu kerja tim, maka pembagian tugas bisa disesuaikan dengan cara belajar setiap anggota. Orang yg sekuansial abstrak mendapat tugas buat menciptakan analisis atau menciptakan konsep kegiatan. Orang yg sekuensial konkret diberi tugas buat melaksanakan program sebagai ketua . Orang-orang yang acak tak berbentuk bisa diminta bekerja pada bidang yang mengurus orang-orang ad interim mereka yg acak nyata bisa diminta masuk dalam tim kreatif. Harapannya mereka seluruh akan menikmati pekerjaannya. Dengan demikian tim bisa menghasilkan kinerja terbaiknya & perseteruan bisa dihindari.


Contoh lain adalah pada relasi antara pasangan hayati. Memahami cara belajar masing-masing menciptakan kita tahu hal-hal apa yg membuat pasangan kita bahagia atau stress. Dengan demikian kita dapat lebih mudah menentukan bantuan gratis yang cocok atau merancang program liburan beserta yang pas. Kita lebih mengetahui apa saja yang membuat pasangan kita bahagia & kebalikannya. Saling tahu dapat lebih mudah dilakukan & kompromi bisa lebih gampang tercapai.


Jadi, sudahkah anda mengenali cara belajar anda?


(Any Sulistyowati)


Referensi:
Tobias, Cynthia Ulrich. Cara Mereka Belajar. Jakarta: Fokus Pada Keluarga, 2000.
DePorter, Bobbi & Mike Hernacki. Quantum Learning. New York: Dell Publishing, 1992. (Edisi Indonesia diterbitkan oleh MIZAN).


















































































[PROFIL] Profil Ibu Menurut Aktivis Perempuan

Selama ini umumnya Konsep Ibu hanya melekat pada seorang perempuan, dan dikaitkan pada fungsi-fungsi tradisionalnya serta kemampuan mempunyai anaknya. Sharil Thurer dalam bukunya: The Myths of Moherhood (1994) memaparkan bagaimana budaya manusia telah mengintervensi konsep ibu yang baik/ideal ini, serta apa dampaknya bagi perempuan. Ada yang dimaknai dan didefinisikan oleh perempuan sendiri, tapi ada juga yang didefinisikan dan dikonstruksikan oleh mereka yang bukan perempuan untuk perempuan.
Bagaimana Konsep Ibu berdasarkan aktivis perempuan yang jua sekaligus bunda? Bagaimana pada budaya saat ini mak -bunda, para aktivis kita ini mendefinisikan ke-bunda-an mereka? Apa yang mereka idealkan menurut konsep ini? Berikut ini rangkuman wawancara Kail menggunakan tujuh orang aktivis yg jua mak menurut Jaringan Mitra Perempuan.

Pratiwi: Siapa saja bisa dianggap ibu, kalau beliau punya rasa cinta, rasa sayang, open, punya kemampuan memelihara (roh, jiwa, badan), yg dengan sendirinya akan lembut, murah hati. Maka Keibuan dan Pengibuan tidak hanya inheren pada wanita (secara fisik), tapi pula bisa terdapat pada pria. Kemampuan & fungsi buat memelihara & merawat, yang menjadi sifat yang melekat dalam bunda, mampu pula dimiliki oleh pria, dimiliki sang mereka yang tidak menikah dan tidak punya anak, tua juga muda. Ibu yang baik adalah bunda yang memiliki cinta, yg mampu mengekspresikan cintanya dalam kehidupan konkret dengan perbuatan konkret & menularkannya dengan memberi model berbuat baik pada orang lebih kurang (sebagai panutan) dalam membuatkan cinta.


Lim: Yang diklaim bunda tidak harus adalah mak biologis, & tidak wajib mencurahkan kasih sayang hanya ke anaknya sendiri (relasinya nir monopoli ke anaknya saja); & nir wajib hadir pada sebuah "keluarga". Tapi lebih merupakan rekanan afeksi dan saling mengisi. Ini mampu dilakukan sang baik sang wanita maupun laki-laki , melampaui batas usia, dan tidak harus telah pernah menikah. Panggilan "ibudanquot; juga bisa dilekatkan dalam orang kita kita hormati dan karenanya kita rasa layak dipanggil menjadi bunda. Keberhasilan sebagai seseorang bunda merupakan jika berhasil mengantar anak kita buat sebagai orang, yaitu menurut kualitas manusianya.
Yati: seseorang mak bertanggung jawab dalam keluarganya, yang besarnya sama menggunakan suaminya. Yang kedua dia sebagai warga negara, menyumbangkan apa yang dia miliki demi kesejahteraan negara, warga dan lingkungan kurang lebih pada mana dia berada. Konsep ke-bunda-an lebih merupakan sesuatu yang menciptakan suatu keadaan (fisik & non fisik) yang lebih indah, lebih sejahtera, lebih harmonis. Ciri ini tidak hanya inheren pada wanita, akan tetapi juga pada laki-laki . Dalam konteks keluarga, ibu tidak wajib punya anak. Ia sanggup menikmati diri dan mempunyai dirinya sediri, menggunakan permanen memikirikan kepentingan orang lain. Seorang ibu tetap wajib peduli menggunakan lingkungannya, karena dia harus membentuk kesejahteraan, keharmonisan & menciptakan orang lain bahagia dan damai; tanpa menegasi pribadiya sendiri. Tetap harus ada saat buat dirinya sendiri.
Wati: Ibu adalah orang yang mengayomi, seseorang perempuan yang mengasuh. Seseorang juga mampu dipanggil ibu karena punya karisma eksklusif, yang dikagumi lantaran kepakarannya atau lantaran pengetahuannya. Konsep mak pertama-tama dipandang lebih ke arah sifat, yang sangat erat berhubungan dengan biologisnya (wanita), karena beliau sudah melahirkan anak. Tapi dalam perkembangannya, ke-mak -an lebih merupakan sifat -sifat yg menurut segi afektif dan kognitifnya; meskipun Ia tidak menikah dan nir punya anak. Sebagai sebuah sebutan, "ibu" melekat dalam jenis kelamin wanita, walaupun menjadi sebuah sifat dan ciri-ciri, sanggup jua dimiliki dan dipelajari sang pria.
Menurut Yani, istilah mak itu melekat dalam perempuan , yang punya anak (baik anak kandung juga bukan) dan menjalankan fungsinya sebagai mak . Ia mengandung, melahirkan, merawat anak & mendampingi anak. Fungsi keibuan ini sebetulnya bukan hanya dijalankan sang perempuan (ibu), tapi pula oleh pria (bapak). Yang ditekankan di sini adalah funsi nurturing (merawat, mencintai, mencintai, membimbing, dsb) yg dijalankan & ikatan emosianal yang dibangun dengan orang yg pada-nurture itu. Ibu yg ideal adalah bunda yang sayang dan mencintai anaknya sepenuh hati serta mengabdikan dirinya dalam anak & keluarganya. Di sini dituntut pengorbanan, tapi beliau permanen harus punya kesempatan buat menjadi dirinya sendiri dan mengembangkan dirinya sendiri dan mengaktualisasikan diri. Sebisa mungkin beliau proporsional menjalankan fungsinya sebagai ibu menurut anaknya & manfaatnya pada tempat lain. Proporsional pada sini berarti seimbang, pada mana ukurannya sanggup berbeda antara mak yang satu dengan bunda yang lainnya.


Ambar mendefinisikan seseorang mak itu sebagai orang yang melahirkan anak, menyusui, & menjadi efek psikologisnya memiliki kepedulian terhadap anak. Dia menambahkan juga bahwa sifat caring dan kepedulian serta peka terhadap orang lain itu jua mampu dilatih, sebagai akibatnya bisa pula dimiliki sang pria. Si bunda itu sebagai satu-satunya tumpuan seorang (anak) dan sebagai tempat mengadu. Walaupun ibu itu pula memiliki dirinya sendiri (bukan hanya milik anak dan suaminya). Ibu yang ideal adalah yang sanggup bebas mengaktualisasikan diri, dan membuatkan potensinya; sekaligus sanggup menempatkan kiprah-perannya sebagai identitas diri. Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi dia bahwa anak & suaminya nir pernah menghalangi bagian dirinya yg lain, yang nir menjadi ibu & istri, akan tetapi sebagai seseorang individu, buat sanggup memakai kebebasannya. Keberhasilan seorang ibu bagi Ambar adalah jikalau beliau dicintai dan menyayangi anak-anaknya.


Sri: Ibu merupakan seseorang istri yang punya suami, punya pendamping, dan mungkin punya anak atau tidak. Dia melengkapi suaminya, saling memberi & bersama-sama bertanggungjawab buat kehidupan famili. Ibu juga wajib sanggup sebagai teladan bagi anaknya, sebagai panutan, mandiri & pintar mengendalikan ekonomi, serta bisa mengambil sikap. Panggilan "ibudanquot; juga mampu diberikan bagi perempuan yang nir menikah, sebagai penghormatan lantaran dia mempunyai posisi atau jabatan, atau karena usianya. Ibu yg sukses adalah mak yg sanggup menghantarkan anak-anaknya menuntaskan tugasnya, sebagai anak yg punya kepribadian yg baik, antar anak bisa hayati rukun dan cara hidupnya baik.


Ketujuh aktivis wanita ini menginterpretasikan dan mendekonstruksi konsep dan simbol ?Ibu?. Menurut mereka yang kebetulan mempunyai anak, pengalaman keibuan yg paling berkesan dan krusial adalah relasinya menggunakan anak. Tapi pemaknaan terhadap konsep ini dan relasinya dengan suami & anak, dipahami secara lebih luas dan inklusif. Hampir semua berpendapat bahwa sifat-sifat keibuan ini nir hanya & nir otomatis melekat dalam wanita secara biologis, akan tetapi jua bisa dipelajari & melekat dalam laki-laki . Pemaknaan yg paling menonjol menurut fungsi pengibuan ini merupakan Cinta Kasih dalam kehidupan, yg mau nir mau berkaitan dengan pemeliharaan bagi keberlangsungan oleh kehidupan itu sendiri.


Keberhasilan ataupun konsep ideal tetang mak ini memang nir mungkin diukur secara kuantitatif. Bahkan beberapa berdasarkan mereka setuju untuk tidak membuat definisi & kriterianya, karena setiap orang punya ukurannya sendiri-sendiri. Ukuran itu nir sanggup dipaksakan pada orang lain, apalagi dipaksakan menurut luar diri si ibu itu sendiri. Gambaran ibu yang ideal itu sendiri berkembang dan mengalami perubahan berdasarkan masa ke masa.


Tidak terdapat yg dapat menilai keidealan seorang ibu. Semua akan dimaknai ulang sesuai dengan pengalaman tertentu masing-masing.























Cloud Hosting Indonesia