Penulis: Senartogok
Masa mudaku berkisar pada perpindahan kata jalanan. Selepas dari Rumah Belajar Sahabat Anak Jalanan, aku terdampar di sepetak omong kosong lain bernama Perpustakaan Jalanan. Enam tahun silam, tak ada yang bisa diharapkan dari sekelompok orang menongkrong yang mengatasnamakan literasi dalam kegiatannya ini. Lagipula keikutsertaanku pada mereka berawal dari bergabungnya aku sebagai vokalis dalam band mereka yang juga angin-anginan. Ya, kelompok ini hanyalah personil dari grup punk rock setengah hati yang namanya juga buruk: Masturbasi Distorsi. Band yang lebih banyak menebar bualan dalam setiap terbitan tak berkalanya ketimbang membuat musik, mengisi panggung, atau promosi rilisan fisik yang sampai saat ini belum ada albumnya, kecuali demo versi lagu berkualitas murahan yang banyak disebar.
Sial? Tak sepenuhnya kurasa, sebab dari sekawanan mini pemuda, jauh lebih banyak faedah saat hal tersebut merupakan representasi sebuah upaya & daya atas kemarahan, pujian, kegenitan, kegelisahan, yg menjadi kehendak mereka. Saat itu, kami terpukau menggunakan gerombolan Baader Meinhoff alias RAF yang bututnya pula kami telan mentah-mentah dari tayangan layar lebar. Meskipun tidak radikal, kami menduga diri kami bisa mengubah keadaan; sesuatu yg banyak beredar pada dada kaum muda waktu menginjak usia 23 tahunan mereka. Tak poly yang kami lakukan. Hanya gerilya kecil, kekanak-kanakan, & bersifat sesaat, & paling lembutnya sekedar menghamparkan kitab pada pinggiran kota.
Aku bukan orang pertama, akan tetapi keempat lain kawanku kala itu pastinya sepakat bahwasanya Perpustakaan Jalanan di awal sejarahnya hanyalah hasrat mendayu ketika buku dan semangat Iqra mengudara ke dalam keseharian. Ilustrasinya begini : apabila di perpustakaan umumnya, kita mesti diam dan tertib, tak bisa merokok, tak diperbolehkan membuat gaduh, tak bisa sebebas-enak-jidat-nya meminjam buku, hingga tak bisa pula menyeduh kopi sambil guling-guling di lantai seraya menikmati Kejahatan Dan Hukuman-nya Fyodor Dostoyevski, kami ingin menggantikan penertiban itu di jalanan bersama buku-buku.
Buku tidak lagi ventilasi global, melainkan istana tak megah tanpa gapura, sebagai akibatnya siapapun bisa masuk, menjelajah, menempatkan ego jua harapannya, pada sebaris kalimat, majas, metafor, & bongkahan kisah pada sebuah bacaan. Maka tak sanggup disangkal lagi, Perpustakaan Jalanan hanyalah sebuah episode usang menurut jutaan narasi yg menciptakan kokohnya kota Bandung. Kami berlima, kadang berempat, kadang berdua, meski tidak selalu sendiri, selalu ada tukang cuanki, pejalan kaki, mungkin pencuri, mungkin juga peri. Singgah, bertandang dan menikmati apa yg kami sajikan. Seperti gorengan yg terlalu dini matang, kami terlalu bangga menyampaikan ini arena juang. Setidaknya kami tak ingin terlalu usang menatap jurang.
Tidaklah sulit, sebab kami semua merupakan dekaden yang hampir membusuk, mengoleksi buku bukannya batu akik. Ratusan buku kala itu tidaklah sukar mengumpulkannya. Dengan kain putih calon kafan pembungkus salah satu dari kami yang lebih dulu mati nanti, dengan spidol tegas, perlak sederhana, kantong plastik besar penggenap pepatah Sedia Payung Sebelum Hujan, kami menuju Taman Cikapayang. Menjejerkan buku, barisan novel cinta dan tak cinta, majalah Sabili hingga 100 Teknik Menjadi Orang Kaya”, atau zine-zine yang dicetak mandiri, kusam warna, font teramat kecil, hingga komik bergambar yang jauh lebih menarik hati ketimbang epos panjang filsafat Madilog karya Tan Malaka.
Siapa bilang poly yg bertandang, orang-orang berlalu lalang, banyaknya melenggang dengan alis mata melintang. Terlalu seringkali jua, hanya kami berempat pada sana, ditemani sosok dewa yg entah di mana. Lambat laun, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun menerima giliran, umur Perpustakaan Jalanan ditambal jumlah mitra yg datang. Dari bundar kami, jejaring, yang sempat patah hati pada berbagai komunitas dan klub budaya berserak, kami kian ramai. Kami belajar bahwa Perpustakaan ternyata bukan urusan membaca buku dan menggali ilmu saja, namun memperluas arena perkawanan, saluran curahan hati, hingga mulainya perdebatan, ketika-waktu kami mulai terpukau dengan yg mereka sebut sastra, walaupun kami lebih acapkali bersitegang urat mempersoalkan janggut siapa yang lebih panjang, Karl Marx atau Mikhail Bakunin.
Rupanya perjalanan ditandai dengan ratapan. Buku yg dipinjamkan poly yg hilang, kawan yang tiba poly yg tak tahu jalan pulang, dan kami mulai sok tahu, bahwa ini semacam gerakan literasi. Sebuah riak kecil buat menghegemoni, mengutip Gramsci, sebuah tandingan yang seringnya mendapat tendangan, dari kekerdilan, uang saku nan sulit disiasati, atau mimpi-mimpi melebarkan sayap walau menggunakan keterangan kami tinggal tulang dan kentut saja. Sekelompok bajingan dari banyak sekali wilayah, mantan petinju, jurnalis angin-anginan, musisi tak laris, seniman gagal, pula nabi palsu, bergabung. Seperti diserang wabah, kami seluruh mulai dirundung sakit, homogen rindu, sejenis kebersamaan & menginjak kudapan manis ulang tahun tak berlilin, angka tiga tahun menandai, & ketika itu, kami memecah sel-sel Perpustakaan Jalanan menjadi kegiatan yang tidak lagi membaca. Kadangkala ada pameran karya, ekshibisi seni, pajang lukisan, jualan murah, lapakan tak rutin, sebagai akibatnya kami menemui aroma-aroma baru yg memberi wangi sekaligus bau dalam sepak terjang kami.
Perpustakaan Jalanan adalah inisiatif majemuk pemuda yang berniat memindahkan kitab -kitab ke jalanan supaya sanggup dinikmati makhluk-makhluk yg berkeliaran di sana. Tak menutup kemungkinan ini semacam modus yg mengatasnamakan kolektif dan bersembunyi di balik jubah membaca buat mencapai tujuannya: membuat dunia terpingkal-pingkal adanya.
Sepanjang perjalanannya, yang akan menginjak angka 7 tahun tidak berapa usang lagi, Perpustakaan Jalanan tak ubahnya sebuah rutinitas mingguan. Dikarenakan keyakinan kami tentang ke-jomblo-an teman-sahabat kami sudah sebagai endemi, dipilihlah Sabtu malam kurang lebih pukul 7 menggunakan catatan telah makan & shalat maghrib, sebagai ketika berkumpul, dan mestilah di Taman Cikapayang tepat di depan huruf ?D? Yg mengindikasikan kami merupakan Dinamit, lokasi dimana harus bersua. Terkadang kami berpikir, momen setiap malam minggu yg wajib berebut loka menggunakan klub motor atau nak-kanak sepeda/skateboard, merupakan muara pelepas lelah. Kebanyakan berdasarkan kami, mungkin juga tamu, mungkin pula pengunjung yang intens datang menemui kami, datang berdasarkan kelas pekerja, buruh upahan, atau pegawai berpenghasilan pas-pas-an, yang lebih banyak waktunya dikuras deadline kantor daripada berisitirahat. Saat bertemu inilah kami melepaskan semuanya, ada yang membawa kuliner, terdapat yang membawa judul-judul buku baru, ada yg memamerkan zine buatannya sendiri, ada juga yg menghiasi kami dengan formasi nasihat atau kelakarnya. Dengan begini Perpustakaan Jalanan sanggup jadi sebuah camp kecil tanpa tenda dimana rekreasi sebagai hidangan utamanya.
Selama bertumbuhnya, Perpustakaan Jalanan sudah poly berubah, wajahnya sekarang tidak melulu dipulas kosmetik literasi, meskipun dengan sekuat tenaga kami akan terus bernaung di bawah panji tersebut, tetapi jua bertransformasi sebagai sepetak ruang bertukar keterangan, tentang, warta, jua lahan loka solidaritas, inisiatif, agenda; atau imajinasi digarap, dengan cangkul kegembiraan, atau dengan pupuk semangat yang bersumber menurut bacaan kami, musik-musik yg kami dengarkan, film yang kami tonton, liputan usaha sosial yg kami serap, sampai berita-informasi receh yg mampu menelan petang sampai tak bersisa. Maka, kami menganggap, Perpustakaan Jalanan telah berkiprah menurut fungsi perdana sebagai interaksi aksara dengan pembaca, sebagai interaksi manusia dan kesehariannya. Kami terhubung, lebih tepatnya masing-masing kehidupan kami terkorelasikan, sebagai akibatnya sangat menarik buat tetap berkumpul, menuangkan aspirasi & tragisnya hari sesama kawan-mitra & pengunjung kami.
Akhirnya kami mulai memberanikan diri mencetak pamflet, menggurat pena buat edisi zine kami, mengorganisasir pentas-pentas musik kecil, mulai berani ikut solidaritas, sebagai partner & lingkar pada diskusi hingga sebagai pengisi acara ulang tahun kawan-kawan kami. Entahlah, rasanya kami mempunyai global baru, dunia kerdil yg pantas dihidupi. Seakan takdir ini berkisar nikotin, bungkusan Kapal Api, dan sederet puisi-puisi Widji Thukul yang kami rengkuh sebelum kelam malam muncul. Sederhana dan berlangsung terus hingga angka 6 tahun, dimana perayaan ulang tahun yg kami agendakan relatif memadati Taman Cikapayang. Semua itu kedap di ingatanku, dan tidak terasa 2016 tiba menghampiri, dengan segudang kecewa, sepeti harapan, aku mulai hanyut pada keheningan, waktu banyak badai & topan yg melanda pada pada & pada luar diri sang Perpustakaan Jalanan.
Di titik ini, aku mengusap dada, meneriakkan sekali lagi sepenggal lirik Minor Threat .
I was early to finish, I was late to start
I might be an adult, but I'm a minor at heart
Go to college, be a man, what's the f***ing deal?
It's not how old I am, it's how old I feel
***