Tampilkan postingan dengan label Kandi Sekarwulan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kandi Sekarwulan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Mei 2020

[PROFIL] INES SETIAWAN (SHINE) MENDORONG KEBERLANJUTAN MELALUI PENDIDIKAN INFORMAL

Oleh: Kandi Sekarwulan

Bulan Mei 2019 lalu, sempat tersebar kabar bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah climate deniers (penyangkal krisis iklim) terbesar di dunia. Media-media seperti Jakarta Post dan Vice  menyebutkan, 1 dari 5 orang di Indonesia tidak percaya bahwa krisis lingkungan di bumi disebabkan aktivitas manusia.

Walau menyedihkan, liputan ini sulit disangkal mengingat kesadaran dan kepedulian lingkungan bangsa Indonesia memang rendah. Indonesia adalah pemilik sungai paling kotor pada dunia, juga negara ke-2 penyumbang sampah plastik terbesar ke lautan. Di sisi lain, pendidikan di Indonesia yang masih menganut pola konvensional sama sekali jauh dari pengembangan pencerahan lingkungan yang serius. Kampanye & edukasi yg ada belum berhasil menyadarkan orang Indonesia buat menjaga lingkungan.

Adalah Ines Setiawan, seorang pendidik asal Tangerang, yang tergerak untuk memperbaiki permasalahan tersebut. Bekerja sebagai pengajar pada sebuah sekolah internasional di bilangan BSD, Beliau mendirikan suatu platform pendidikan untuk mewadahi idealismenya terkait permasalahan pendidikan. Lembaga tersebut dinamainya SHINE, singkatan dari Sustainable Hyper-platform for Indonesian Network of Educators. Karena ketertarikannya pada sains, lembaga ini dimaksudkan Ines untuk mengedukasi sains dengan cara yang menyenangkan serta bermakna.

Didirikan pada tahun 2014, SHINE tidak langsung aktif karena kesibukan pribadi Ines sebagai pengajar. Namun seiring perubahan manajemen di sekolah, beliau merasakan berbagai ketidaknyamanan saat mengajar, termasuk keterpaksaan menurunkan mutu pendidikan akibat kebijakan sekolah yang tidak mendukung. Hal ini memotivasinya menciptakan perubahan melalui jalur luar sekolah, yaitu SHINE. Dorongan lebih jauh diperoleh Ines dari seorang kawan yang bekerja di Australian Rural Development Program. Kawan tersebut mengajak SHINE bekerja sama dalam sebuah program kepemimpinan yang ternyata sangat inspiratif. Kerjasama tersebut menjadi titik awal bagi Ines untuk memulai kelas-kelas pertamanya di SHINE.

Kelas pertama SHINE adalah workshop membuat keju bersama anak-anak, bertempat di rumahnya sendiri. Dihadiri oleh sejumlah anak, kelas tersebut mendapat respon yang baik sehingga dibuatlah kelas selanjutnya. Sejak saat itu, kegiatan edukasi SHINE terus bergulir dan berkembang. Terhitung hingga saat ini (Juli 2019), kelas-kelas SHINE telah melayani sekitar 11.000 orang mulai dari anak, dewasa hingga keluarga. Ragam materinya pun semakin banyak, mulai dari kelas produk susu, sabun, coklat, awetan buah, jamur, hingga bioplastik, juga kelas peningkatan kapasitas seperti kewirausahaan dan literasi keuangan, serta berbagai ekskursi/kunjungan lapangan.

Tentang pendekatan organisasi, Ines mengaku memilih wirausaha sosial atau sociopreneur. Keputusan ini diambil karena pengalaman saat melakukan kegiatan sosial yang sepenuhnya bergantung pada donasi dirasa kurang berhasil. “Saya belajar, pendidikan yang terlalu komersil memang memberatkan orang. Tetapi jika pendidikan sepenuhnya gratis atau bergantung pada donasi, orang jadi tidak menghargai prosesnya. Kualitas tenaga pendidik juga tidak bisa dijamin.” ,demikian paparnya.

Melalui bentuk sociopreneur, Ines menjelaskan, SHINE dapat memberikan manfaat lebih bagi masyarakat dan lingkungan. Manfaat pertama adalah SHINE mampu mengedukasi cara-cara hidup berkelanjutan/ramah lingkungan yang sangat aplikatif bagi pesertanya. Sehingga, tanpa perlu berpanjang-panjang membahas permasalahan lingkungan, para peserta kelas SHINE telah menerapkan berbagai aspek berkelanjutan secara tak sadar. Contohnya, dengan membuat awetan buah, para ibu rumah tangga dapat mengurangi jejak karbon di rumah, memenuhi kebutuhan gizi keluarga sekaligus menyelesaikan permasalahan limbah makanan (memanfaatkan buah-buahan yang tidak terjual di pasar). Membuat sabun minyak jelantah, misalnya, selain mengurangi limbah juga dapat menjadi sumber pemasukan bagi keluarga, dan lain sebagainya.

Menurut Ines, selain manfaat langsung berdasarkan edukasi, terdapat pula manfaat lanjutan yaitu adanya pemberdayaan masyarakat. Banyak pada antara peserta SHINE yang membuatkan bisnis berbekal keahlian yg diperoleh dari kelas. Para peserta yang telah ahli jua difasilitasi buat sebagai guru SHINE, dan bisa menyelenggarakan kelas-kelas baru di daerah masing-masing.

Walaupun saat ini SHINE telah bekerja sama dengan berbagai institusi dan perusahaan besar, Ines tetap percaya bahwa  pendidikan yang terjangkau sangat penting. “Di tempat lain, orang bisa membayar 600.000 rupiah untuk satu kali workshop sabun. Yang mahal sebenarnya bukan pendidikan, tapi sewa tempat, goodie bag, konsumsi, dan lain sebagainya. Kalau ada klien yang ingin fasilitas seperti itu, kami bisa berikan, tetapi (jika tidak diminta), kami tetap harus memberikan akses untuk orang-orang lain yang tidak sanggup membayar mahal. Di SHINE, kami peras seminim mungkin biaya-biaya yang tidak perlu, sehingga bagian terbesar biayanya untuk membayar tenaga pendidik dengan layak. Hanya dengan cara itu kami bisa memberikan pendidikan yang berkualitas namun terjangkau, sekaligus menghargai pendidiknya,” jelasnya.

Jalan idealis yang ditempuh Ines tidak lepas menurut banyak sekali hambatan. Sistem SHINE yg sangat terbuka & inklusif terkadang dimanfaatkan buat kepentingan eksklusif. Sempat terjadi permasalahan waktu terdapat orang yg membeli bahan-bahan pembinaan berdasarkan SHINE dengan harga murah, kemudian menjual pelatihannya sendiri menggunakan harga komersil. Ada jua orang yg mengadakan training dengan mengatasnamakan SHINE tanpa berkoordinasi sebelumnya. Tetapi, bagi Ines, perseteruan semacam ini dirasa nir terlalu mengganggu, lantaran Ines percaya hanya bisnis baik yg akan berkelanjutan. ?Usaha yang dilakukan menggunakan curang, lama -usang orang tidak percaya, sehingga akan tewas menggunakan sendirinya.?

Pendidikan yang diberikan oleh SHINE dirasa memberikan manfaat yang besar para peserta, khususnya dalam bidang kemandirian pangan. Dalam berbagai post-nya di Facebook – media sosial yang dipilih menjadi platform untuk menyebarluaskan program dan nilai-nilai SHINE – Ines seringkali menyampaikan, mencukupi kebutuhan gizi keluarga tidak harus mahal. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup, orang bisa memanfaatkan potensi alam dan lingkungan sekitar untuk mendapatkan makanan yang enak, bergizi serta berkualitas tinggi. Jika tidak sanggup membeli daging, ada jamur dan sumber-sumber protein nabati lain yang dapat ditumbuhkan di rumah. Jika keju atau coklat bagus yang dijual di supermarket terlalu mahal, dengan sedikit pengetahuan kita bisa membuat sendiri makanan tersebut, bahkan mendapatkan hasil yang bebas pengawet ataupun bahan aditif lain. Juga dengan sedikit wawasan botani, kita bisa memanfaatkan tumbuhan liar sebagai bahan makanan (disebut juga foraging/meramban). Pendidikan yang sesuai konteks dan kebutuhan dapat memberdayakan orang, sehingga mereka mempunyai berbagai pilihan dalam mewujudkan hidup berkualitas.

Ines Setiawan mungkin termasuk tipe insan yg langka. Di waktu kebanyakan orang mengeluh dan menuntut pemerintah buat memperbaiki nasib mereka, dia memilih buat berkecimpung membangun perubahan dari bulat terkecil. Menurut pendapatnya, ?Siapapun pemimpinnya, pasti akan kewalahan jikalau rakyatnya malas dan mau enaknya sendiri.?. Setiap orang berhak & perlu memperjuangkan hidupnya sendiri, tanpa harus bergantung pada pemerintah, atasan atau siapapun. Caranya merupakan dengan selalu mendidik dan mengembangkan kapasitas diri. Bahkan pengetahuan sains sederhana, selama dipahami dan diterapkan menggunakan baik, dapat membantu mewujudkan hidup yang berkualitas.

***

Cloud Hosting Indonesia