Seneca menulis, semua seni adalah tiruan alam. Tiruan dari alam, yang dikenali semua manusia melalui proses berkesadarannya menjadi mahluk berbudaya. Selain alam raya di kekinian kita, juga boleh‘alam-alam’ lain yang dikenal oleh sang seniman.
?Seni sebagai peniruan? Menjadi indera penggambaran alam oleh para manusia berkesadaran, yg kita sebut artis. Ada kalanya menampilkan fenomen-fenomen proses alam semata, tetapi lebih poly yg membuahkan bumi & langit menjadi ruang buat menyorot jejak-jejak eksistensi manusia. Lewat para seniman, perubahan makin konkret tergambar dan terabadikan di bumi.
Seni lukis gua jaman purba melaporkan musim-musim perburuan hewan. Arsitektur Borobudur
menatahkan jalan hidup menujunir-vana. Tugu Selamat Datang diciptakan Henk Ngantung untuk menyambut masa depan sebuah bangsa muda. Tak boleh lupa, hidup berkesenian para ‘peniru alam’ itu sendiri dapat dibaca sebagai bukti eksistensi seniman untuk perubahan.
Saya beruntung bisa berkenalan secara langsung dengan keliru satu ?Peniru alam? Itu. Pelukis senior yang amat kreatif & energetik, Hardi. Baru saja, semenjak September 2013 lalu.
Sama seperti banyak orang, yang merasai Orde Baru, saya hampir selalu mengkaitkan nama Hardi dengan lukisan potretnya yang menghebohkan, sang pelukis berbusana Presiden RI. Belakangan baru saya tahu, lukisan yang dibuat pada masa jaya Pak Harto itu sengaja ia beri judul Presiden RI Tahun 2001, Suhardi.

Perkenalan memberi kesempatan, juga kemudahan, memahami sosok yang hampir tiap dasawarsa meninggalkan catatan perubahan yang bermakna untuk dunianya. Di era 1970-an ia menolak ‘wajib’ Realisme-Sosial dalam praktek pendidikan seni rupa yang sedang ia jalani. Di era 1980-an menolakstatus-quo kepemimpinan nasional, berakibat dirinya ditindak penguasa.
Hardi kembali dengan semangat perubahan di era 1990-an, lewat pemunculan organisasi Himpunan Pelukis Jakarta. Kemudian di era 2000-an mendeklarasikan pembaruan pada aliran seni lukis yang ditekuninya melalui gagasanNeo Pop-Art.
Di puncak kematangannya, Hardi yang telah berusia kepala enam, kembali lagi dengan beberapa gebrakan beruntun. Tahun 2010 ia mengingatkan bangsa dan penguasa akan pusaka budaya yang makin asing, melalui pameran‘Keris for the World’. Tahun 2011 di muka para wakil rakyat yang berlalu-lalang, Hardi melukiskan gedung DPR sebagai sebuah WC umum, sebagai tanda protes atas parlemen yang bermewah-mewah.
![]() |
Pelukis Hardi & keris rancangannya. Sumber: www.Antarafoto.Com |
Tahun 2013 ia menggebrak dengan buku berwarna ‘Wayang for the World’ karya pertama putera bangsa. Masih belum cukup, pada Oktober 2013 dalam Masamoan Budaya Pusaka Pakuan di Bogor, Hardi mempresentasikan karya seniJangker (Kujang-Keris). Sebuah wangsit dari seorang empu Majapahit mendorongnya menggagas rekonsiliasi retak budaya antara Sunda dan Jawa pasca Perang Bubat .
Pada Hardi, berkesenian tampak sebagai proses yang berkelanjutan pada menanggapi situasi sosial kemasyarakatan dan proses bernegara. Seringkali cukup menggunakan menggambarkannya pada kanvas dua dimensi. Tetapi dalam ketika yang sempurna beliau segera tahu posisi kepemimpinan strategis yang harus diisinya demi sebuah perubahan.
Tidaklah cukup menggunakan mengekor tren atau patuh doktrin anti kemapanan untuk mampu menyuarakan perubahan dalam kurun 40 tahun di tengah menjamurnya kelas menengah yang kurang peka sosial. Diperlukan intuisi murni artis pemberani dan jiwa merdeka seseorang yg berkesadaran dewasa buat bisa melakukan hal tersebut.
Hardi telah dan masih melakukannya. Ia tak ragu mengucapkan dan menuliskan ungkapan lugas di ruang publik, semisal:tidak terjadi sinkronisasi antara yang memimpin dan yang dipimpin;sekelompok orang merasa paling benar;partai politik memproduksi koruptor;televisi kerjanya mengadu domba para tokoh palsu; dan sebagainya. Ungkapan yang menyegarkan para pencinta perubahan.
“Maka setiap hari terjadilah ‘goro-goro’, yaitu instabilitas makro dan mikrokosmos,” demikian Hardi menyimpulkan hari-hari kekinian kita bersama. Sang pelukis senior tetap sadar panggilannya ‘meniru alam semesta’. Bila perlu, dengan disemangati oleh wangsit dari leluhur yang berada di alam lain. (Bogor, Enam Desember 2013)
Dayan D. Layuk Allo:
Pelaksana Petisi Raden Saleh 2005. Sempat belajar pada ITB & STF Driyarkara.
Menjadi LEAD International Fellow semenjak 2000.
Kini turut pada Sustainable Bogor Initiatives (SuBI) yg dirintis sejak 2013 sang YPB/LEAD Indonesia.