Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online April 2013. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online April 2013. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Juli 2020

[Jalan-jalan] Belajar Tentang Index Kebahagiaan dari Bhutan

Pada 2008, Presiden Perancis, Nicholas Sarkozy, membentuk sebuah Komisi untuk Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial. Komisi tersebut  diketuai oleh Prof. Joseph Stiglitz, dengan ketua penasehatnya Prof. Amartya Sen, dan koordinator komisi dijabat oleh Prof. Jean-Paul Fitoussi. Mereka bertiga adalah para ekonom ternama dunia bahkan Stiglitz dan Sen adalah peraih nobel ekonomi. Sedang anggota komisi adalah para ahli dari pelbagai negara, baik dari kalangan universitas, pemerintahan, dan lembaga antar pemerintah.  Komisi ini bertugas merespon keprihatinan atas tidak memadainya parameter kinerja ekonomi sekarang, khususnya Produk Domestik Bruto (PDB). Standar pengukuran seperti itu mengandung banyak kelemahan, tapi sayangnya telah dipakai oleh hampir semua negara di dunia untuk mengukur kesejahteraan bahkan sebagai ukuran sebuah kemajuan. Menurut mereka, angka-angka di balik PDB sudah tidak relevan dalam mengukur kesejahteraan sosial, sekaligus keberlanjutan lingkungan, sosial, bahkan ekonomi sendiri.

Tiga puluh enam tahun sebelum Komisi Stiglitz dibentuk, seorang muda dari sebuah negeri yang berada di “atap dunia”, yang berbatasan dengan Tibet, Cina dan India, serta jauh dari hiruk pikuk lalu lintas ekonomi mainstream, telah melakukan kritik terhadap Produk Domestik Bruto. Dia adalah Jigme Singye Wangchuck, raja keempat dari Kerajaan Bhutan.  Dia menciptakan istilah Gross National Happiness (GNH) atau Kebahagiaan Nasional Bruto sebagai upaya menentukan indikator untuk mengukur kualitas hidup atau kemajuan sosial secara lebih holistik daripada sekedar capaian ekonomis seperti Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut Wangchuck, pertumbuhan ekonomi tidak selalu mengarah pada kepuasan warga negara. Baginya, ada hal lain yang lebih penting daripada pertumbuhan ekonomi, yakni kebahagiaan. Gagasan ini berangkat dari semangat ajaran Budha, yang menekankan bahwa kebahagiaan tidak tergantung dari apa yang kita  miliki, tapi kualitas diri.


Konsep GNH melingkupi empat pilar, yakni pemerintahan yang baik dan akuntabel, pembangunan sosial-ekonomi yg berkelanjutan, pelestarian budaya, & konservasi lingkungan. Empat pilar ini lalu diperinci sebagai sembilan domain, yg meliputi : kesejahteraan (kualitas) psikologis, kesehatan, pendidikan, penggunaan saat, keragaman & ketahanan budaya, pemerintahan yg baik, vitalitas rakyat, keragaman & ketahanan ekologi, & baku hidup. Sembilan domain ini dianggap mewakili komponen kebahagiaan di Bhutan, & semuanya memiliki posisi sama krusial & seimbang. Dari sembilan domain ini, diurai pulang sebagai 33 indikator & pada penghitungannya nanti, 33 indikator tadi diurai lagi dalam beberapa sub-indikator dan pertanyaan-pertanyaan kunci.


Menurut The Centre for Bhutan Studies, yang termuat dalam website GNH (www.Grossnationalhappiness.Com), indeks GNH secara umum merefleksikan kebahagiaan & kualitas hayati yg lebih akurat & luas daripada pengukuran secara moneter. Lantas, bagaimana mengukurnya? The Center for Bhutan menguraikannya menjadi berikut.


GNH dikonstruksi dalam dua langkah. Langkah pertama adalah melakukan Identifikasi, sedang langkah kedua adalah melakukan Agregrasi. Identifikasi, adalah langkah untuk menentukan apakah setiap rumah tangga telah mencapai kecukupan di masing-masing sembilan domain. Hal ini dilakukan dengan menetapkan titik batas (cut-off) di setiap domain. Seperti dalam mengukur kemiskinan, yang menggunakan garis kemiskinan, dimana ada keluarga yang berada di atas garis dan ada yang di bawah garis kemiskinan. Untuk menentukan kecukupan di setiap domain juga begitu. Garis kecukupan diatur lebih tinggi dari garis kemiskinan. Dalam beberapa indikator, telah dipasang level teratas pencapaian dari indikator tersebut. Seseorang diidentifikasi memiliki kualitas hidup yang cukup jika capaiannya dalam indikator melebihi titik batas. Jika capaiannya melebihi titik batas, maka capaian yang sebenarnya orang tersebut diganti oleh tingkat 'kecukupan', atau dipatok dalam tingkat kecukupan. Misalnya, jika seseorang itu pendapatan sebenarnya 1000, dan titik batas kecukupan  adalah 150, maka seseorang itu diperlakukan pendapatannya 150. Dengan demikian, capaian di atas titik batas kecukupan tidak kemudian meningkatkan skor GNH seseorang. Penetapan titik batas kecukupan mungkin bisa saja problematik dan sulit, tapi ini bisa dijadikan topik diskusi publik. Yang penting, jangan sampai mengaburkan pengukuran titik batas kecukupan yang wajar.


Pertanyaan yang muncul kemudian, lantas bagaimana mengidentifikasi siapa yang bahagia? Indeks GNH ingin menghormati keragaman dan kebebasan pilihan dan mengakui keterbatasan ukuran kuantitatif. Untuk itu, ukuran siapa yang bahagia itu tidak harus memenuhi kecukupan dalam 9 domain, tapi cukup 6 dari 9 domain, atau 66% dari indikator yang telah ditetapkan. Ini mengisyaratkan keragaman dalam jalan yang berbeda-beda. Pertama, tidak semua indikator relevan untuk setiap orang. Kerusakan satwa (kehidupan) liar untuk dijadikan lahan pertanian atau tanaman lain mungkin tidak relevan untuk penduduk kota.  Kedua,  setiap orang mungkin tidak perlu mencapai kecukupan 100% dari  semua indikator untuk menjadi bahagia, mereka dapat fokus pada beberapa area saja, tergantung pada nilai-nilai mereka sendiri dan keterampilan. Ketiga, jika orang telah memiliki inti dari pencapaian, mereka mungkin dapat mengompensasi secara internal untuk defisit lainnya. Seseorang tanpa pendidikan atau listrik dapat menemukan rute lain untuk GNH.


Langkah kedua, melakukan agregasi terhadap data populasi ke dalam sebuah ukuran yang terperinci yang sensitif terhadap kedalaman dan keluasan dari capaian. Indeks GNH didesain untuk memberikan insentif kebijakan  1) meningkatkan kebahagiaan dan 2) meningkatkan tingkat kecukupan yang dinikmati warga yang belum bahagia. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah (melalui The Centre for Bhutan Studies) menghitung indeks GNH dengan melihat kekurangan-kekurangan GNH.


Secara sederhana, rumus indeks GNH adalah GNH=1-HA.  H adalah warga dan direpresentasikan dengan persentase warga yang tidak menikmati kecukupan dari 6 domain atau lebih. Sedangkan A adalah proporsi rata-rata domain warga yang belum berbahagia yang tidak berkecukupan. Ini memperlihatkan keluasan dari kekurangan. Agar pengukuran bisa komprehensif dan memberi masukan pada kebijakan apa dan dimana akan dilakukan, maka perlu dibandingkan GNH satu kabupaten dengan kabupaten lain. Juga perlu diukur GNH lintas waktu, agar diketahui apakah menurun atau naik.


Dari waktu ke waktu, GNH di Bhutan telah mengalami berbagai perbaikan dalam metodologinya. Bahkan pada tahun 2007 telah dilakukan survey pertama secara nasional dengan menggunakan variabel-variabel yang telah disempurnakan dan kuisoner yang telah diperbaiki. Dalam survey ini, setiap enumerator membutuhkan sekitar 5-6 jam untuk menyelesaikan kuesionernya. Pada tahun 2010 juga dilakukan survey secara nasional dan kali ini waktu yang dibutuhkan oleh enumerator lebih sedikit, hanya sekitar 3 jam untuk menyelesaikan kuesioner. Perbaikan dari tahun ke tahun ini akan menjadikan GNH semakin mudah  dioperasionalkan dan direplikasi,serta secara teknis menjadi solid.


Prakarsa Bhutan tentang GNH yang telah berumur empat puluh tahun itu, sekarang menjadi pandangan baru poly negara. GNH telah menjadi sebuah perangkat bagi pemerintah buat melakukan sebuah tindakan atau kebijakan agar kualitas hidup dan kebahagiaan warganya semakin tinggi. Awalnya memang banyak pihak yang nir peduli dengan gagasan ini bahkan menganggapnya nir mampu sebagai ukuran. Tapi pada sepuluh tahun terakhir, berbagai pimpinan negara Barat, seperti Inggris, Perancis, Jerman, dan praktisi bisnis di Amerika mulai membicarakannya. Mereka mulai menyadari perlunya instrumen dan tolok ukur lain bagi sebuah kesejahteraan atau kemajuan.


Memang jika diukur menurut ekonomi mainstream, Bhutan dimasukkan sebagai negara yang relatif miskin, atau negara berkembang yang basis ekonominya disandarkan pada hasil hutan, hewan ternak,  pertanian subsisten, hasil bumi dan turisme. Tapi, menurut Happy Planet Index, Bhutan masuk dalam 20 negara yang berbahagia pada tahun 2006-2009.  Walaupun begitu, ada hal yang mengkhawatirkan yang perlu dicermati, karena setelah televisi dibiarkan masuk, peringkat Bhutan menjadi turun, bahkan di tahun 2009 kalah dengan Indonesia. Kehadiran televisi dianggap telah memicu meningkatnya konsumsi warga Bhutan sehingga indikator-indikator di berbagai domain menurun.


Belajar dari apa yang dilakukan Bhutan, untuk menjadi negara yang warganya berbahagia, perlu keseimbangan di berbagai sisi kehidupan. Negara yang dikatakan maju dengan konsumsi yang tinggi tidak menjamin warga negaranya akan bahagia.  Dengan demikian, sudah selayaknya pencapaian dan fokus pada kualitas hidup serta pencarian kebahagiaan lebih diutamakan dari kepemilikian materi, konsumsi dan produksi.
(Arie Ujianto)
































Rabu, 08 Juli 2020

[JALAN-JALAN] Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah, Solusi Kreatif Dunia Pendidikan



Pada bulan Mei 2012, saya beruntung mendapat kesempatan berkunjung ke desa Kalibening, Salatiga dan berjumpa dengan teman-teman pengurus Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). SPPQT merupakan gabungan kelompok tani yang beranggotakan lebih dari 16.000 orang yang tersebar di seluruh provinsi Jawa Tengah. Di sana saya melakukan wawancara dan Focus Group Discussion kepada banyak petani. Dari mereka, saya  banyak belajar kearifan lokal masyarakat perdesaan. Banyak dari mereka yang memiliki semangat dan cita-cita tinggi di balik segala keterbatasan. Setelah menginap beberapa hari di rumah-rumah warga, saya disarankan untuk melihat-lihat sebuah sekolah alternatif yang merupakan salah satu cabang kegiatan dari SPPQT.





Sekolah ini digagas oleh Ahmad Bahruddin yang merupakan salah satu pendiri SPPQT. Berawal dari kesulitan keuangan beberapa warga desa Kalibening untuk mendapatkan sekolah berkualitas dengan biaya terjangkau, maka Bahruddin sebagai Kepala RW saat itu nekat mendirikan  sekolah yang tidak mengacu pada kurikulum nasional. Sekolah berbasiskan murid sebagai subjek utama dan guru hanya memfasilitasi murid yang belajar sesuai keinginan mereka. Tidak seperti sekolah pada umumnya yang kita tahu, mereka dibebaskan memilih sendiri pelajaran apa yang mereka sukai, belajar di mana saja mereka mau, pada jam berapa bahkan menilai sendiri hasil pekerjaan mereka.


Mas Bahruddin dan karya anak-anak SPPQT
Pada saat saya datang di rumahnya,Mas Bahruddin yang setia dengan rambut gondrong dikuncir itu sedang berkumpul bersama beberapa anak dan seorang mahasiswa yang sedang melakukan penelitian. Saya bersama tim disambut hangat dan langsung disuguhi banyak karya seperti buku, novel, lagu dan film yang sudah dihasilkan anak-anak kreatif dari sekolah alternatif tersebut. Ternyata meskipun terbilang sederhana, namun banyak prestasi yang sudah mereka torehkan. Apalagi ditambah cerita dari Bahruddin bahwa beberapa hari sebelumnya iabaru saja menyelesaikan syuting untuk liputan Kick Andy di Jakarta. Memang sudah banyak media dan lembaga yang mengangkat keunikan sekolah alternatif Qaryah Thayyibah, termasuk salah satu komisi di DPR.

Berbincang bersama Mas Bahruddin terasa sangat menginspirasi. Semangatnya yang menggebu-gebu seakan menular dan memberi energi positif pada saya. Dia adalah contoh anak bangsa yang tidak hanya melontarkan kritik pedas kepada pemerintah tetapi membuat inovasi sekaligus memberdayakan warga. Saya ingat kritik beliau tentang suatu program yang mengirimkan mahasiswa-mahasiswa mengajar ke daerah terpencil di Indonesia, yang sebetulnya saya pernah tertarik mendaftar. Beliau mengatakan,  bahwa sesungguhnya yang dilakukan oleh seorang guru bukanlah mengajari murid, melainkan guru dan murid bersama-sama belajar dan tidak ada yang lebih pintar dalam hal ini. Dengan posisi yang setara, guru dan murid justru bisa mendapat banyak ilmu dari proses tersebut. Itulah sebabnya, beliau tidak pernah menyebut dirinya guru atau kepala sekolah.
Saya diajak berkeliling ke sebuah bangunan baru berlantai lima yang berfungsi sebagai kelas. Di lantai paling atas terdapat asrama. Lantai dasar merupakan sebuah ruangan luas yg acapkali digunakan anak-anak buat membuat karya dan memajangnya.
Sungguh aku terkagum-kagum dibuatnya saat melihat output karya (seni) anak-anak di sana. Banyak lukisan latif, sketsa, karikatur, keramik, & benda-benda seni lainnya. Iklim kreativitas sangat pekat membius diri aku . Dalam hati, saya sedikit menyesali masa-masa sekolah dahulu waktu aku memaksa diri buat monoton mengasah otak kiri agar mampu berprestasi di bidang akademik. Berbeda dengan anak-anak pada Qaryah Thayyibah yang di usia muda mantap dengan pilihan minat & bakatnya masing-masing kemudian berkembang sebagai dirinya yg terbaik.



Staff Kail pada depan kelas SPPQT



Potensi dan ketertarikan setiap orang itu berbeda-beda, setiap kita adalah unik. Hal itu yang sepertinya dicoba dikembangkan di sekolah alternatif QT. Saya sempat berkenalan dengan beberapa anak di sana. Ada sinar harapan yang memancar dari mata mereka juga kepercayaan diri yang tinggi dalam berekspresi. Mereka disiplin dengan pilihan mereka dan bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri. Kalau sudah bahagia dengan menjadi yang terbaik bagi diri sendiri sehingga kualitas hidup tercapai, rasanya tidak ada gunanya lagi ijazah sekolah formal. Namun, outputyang dihasilkan bukan sembarangan. Contohnya buku-buku yang mereka tulis dan terbitkan sendiri terbukti berkualitas dan sangat berisi. Ketika saya membaca salah satu buku, saya bahkan tidak percaya bahwa penulisnya adalah seorang anak yang masih berumur 13 tahun. Tak heran ada penerbit besar yang kemudian tertarik menerbitkan buku-buku tersebut. Sepertinya memang saya harus belajar banyak dari anak-anak cerdas itu, dari sekolah alternatif Qaryah Thayyibah, Mas Bahruddin,dan Desa Kalibening. Maka ketika saya pamit dan ditawari untuk live in di sana, alangkah antusiasnya saya menyambut tawaran emas itu!


(Selly Agustina)




















Selasa, 07 Juli 2020

[OPINI] Takut Untuk Sukses, Sumber Kegagalan Terbesar



Sebuah pertanyaan yang biasa ditanyakan orang tua kepada anak-anaknya adalah, “Kalau sudah besar mau jadi apa?”, lantas anak-anak akan memberi beragam jawaban mengenai cita-cita mereka. Bahkan walikelas saya di SD pada suatu hari pernah menanyakan kepada seluruh siswa, apa cita-citanya. Jawaban yang diutarakan kurang lebih sama, menjadi dokter, astronot, atau pilot.
Terlepas berdasarkan apa yang mengakibatkan adanya keseragaman jawaban tadi, impian merupakan galat satu indikator kesuksesan yg hendak diraih. Sukses, merupakan kata yang akan kita bahas bersama di sini.






Kalau setiap orang ditanya “Apakah Anda ingin sukses?”, kita bisa mendapatkan jawaban, bahwa sebagian besar orang menginginkannya. Namun, keinginan tersebut tidak serta merta membuat kesuksesan itu tercapai begitu saja, ada beberapa faktor yang menyebabkan tercapainya kesuksesan tersebut. Apapun faktor yang mendasari tercapainya kesuksesan tersebut, ternyata salah satunya terkait dengan ketakutan. Ketakutan? Ya, walaupun seseorang menginginkan kesuksesan dalam hidupnya, rupanya ada faktor di dalam diri setiap orang yang justru takut terhadap kesuksesan tersebut. Ketakutan ini terkait dengan keyakinan (belief) yang kita miliki terhadap kesuksesan. Keyakinan tersebut menurut Antonius Arif merupakan limiting belief ataupun mental block.


Ada 3 tipe keyakinan (belief)yang terkait dengan ketakutan untuk sukses (Robert Dilts, 1990) :


1. Hopelessness (tidak ada harapan)


Tipe ini dimiliki oleh seorang yang merasa nir mempunyai asa terhadap impian yg diinginkan. Perasaan tiada asa ini umumnya terkait ketiadaan pengetahuan mengenai kemungkinan buat sukses tersebut. Orang dengan tipe ini umumnya selalu beralasan macam-macam terhadap kerja keras. Orang dengan tipe ini akan menyampaikan, ?Orang lain saja nir sanggup, apalagi saya?. Tipe orang menggunakan keyakinan misalnya ini terbentuk lantaran sepanjang hayati orang tersebut melihat kerja keras tidak berbanding lurus dengan hasil yg didapat. Untuk tipe ini, pernahkah Anda melihatnya atau mengalaminya sendiri?


2. Helplessness (tidak berdaya)


Keyakinan ini masih ada pada diri seorang yang melihat orang lain sanggup melakukannya, tetapi dia sendiri merasa nir mampu melakukannya. Keyakinan akan ketidakmampuan ini kemudian membentuk perasaan tidak berdaya, atau kebalikannya. Jika ke 2 hal tersebut saling menguatkan maka akan semakin membuat seseorang nir berkecimpung ke mana-mana. Hidup orang seperti ini akan sebagai stagnan. Pernahkah Anda mendengar seseorang yang mengatakan bahwa kesuksesan itu adalah milik orang-orang yg punya uang saja? Ataukah Anda pernah mencicipi tidak bisa sukses karena Anda bukanlah orang yg pandai ?
Situasi ini sebetulnya tak jarang kita dapati dan sepertinya memang kondisi yg generik terjadi. Sebagai model, ungkapan ini, ?Ya, lantaran bapaknya dokter, makanya beliau pandai belajar kedokteran?.
Adanya agama mengenai faktor keturunan, akhirnya membatasi suatu pekerjaan eksklusif hanya pantas dikerjakan sang orang-orang dari keturunan tertentu. Sehingga keyakinan yang muncul merupakan ?Mana mungkin saya bisa menjadi seseorang dokter, aku kan anaknya seseorang penarik becak.? Dengan keyakinan misalnya ini, orang tadi terjebak menggunakan pemikiran bahwa mimpinya dibatasi sang siapa orang tuanya. Padahal, mungkin saja dia mempunyai talenta dalam memahami global kesehatan. Akibat keyakinan tadi, maka peluang yang ada menjadi hampir nir ada.


3. Worthlessness (tidak berharga)


Keyakinan  ini terjadi jika seseorang merasa bahwa walaupun hal tersebut mungkin dan bisa dilakukan, namun dirinya merasa tidak pantas dan tidak layak. Contoh yang sering terjadi adalah pada percintaan, misalnya seperti ini, “Saya mencintai pasangan saya dan  yakin sebenarnya bisa berdamai dengannya . Hanya saja, saya merasa tidak pantas dan tidak layak untuk bersama dengan dia.”


Contoh lain yang mampu kita lihat adalah pada pertemanan. Apakah Anda pernah lihat orang-orang yang menarik diri berdasarkan pergaulan sehari-hari? Terlepas dari kemungkinan adanya faktor lain yang mempengaruhi, pikiran bahwa ?Saya nir pantas berteman dengan mereka? Atau ?Saya nir layak menerima perhatian dari mereka? Adalah keliru satu penyebab yg timbul pada pergaulan di masa sekarang.
Saya sendiri pernah mengamati pola ini terjadi pada mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi dalam waktu yang cukup lama. Kepercayaan diri yang sedang menurun, diimbuhi oleh manajemen stress yang kurang cakap, cenderung membuat mahasiswa tingkat akhir menarik diri dari pergaulan untuk sementara waktu. Ditambah pemikiran “Ah, sudah bukan jamannya saya lagi”  membuat keyakinan itu bertambah kuat.


Semua tipe keyakinan di atas tidak lahir begitu saja, namun dibentuk oleh lingkungan seseorang, baik melalui nilai yang ditanamkan oleh orang tua maupun institusi pendidikan. Pendidikan seseorang secara tidak langsung memberikan sumbangsih terhadap pembentukan keyakinan-keyakinan seperti itu, hingga secara tidak sadar  seseorang tidak sungguh-sungguh mengejar kesuksesan yang  diinginkan. Lebih parah lagi apabila seseorang mengejar kesuksesan yang diciptakan oleh orang lain dan ia tidak sadar sedang melakukannya.


Saat saya masih kuliah, saya berteman dengan seseorang yang mengambil kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Tapi, sebetulnya dia lebih menginginkan kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Ini disebabkan karena orang tuanya berpendapat tidak ada masa depan untuk seniman. Dia pun terpaksa memilih jurusan Ilmu Komunikasi karena hanya program tersebut yang masih mungkin ia sukai. Di kemudian hari, dia tidak pernah serius menjalani kuliahnya dengan berbagai alasan yang kemudian membuat dia memutuskan untuk mundur di batas akhir waktu perkuliahannya.


Cerita serupa cukup mudah didapati dalam mahasiswa-mahasiswa yg prestasi belajarnya rendah (jikalau indikatornya adalah IPK), walaupun belum tentu hal ini terkait dengan faktor intelektual. Ada banyak mahasiswa yang memilih acara studi tanpa mempertimbangkannya menggunakan matang berdasar hati nuraninya. Banyak yang belum menyadari, bahwa buat mencapai panggilan hidupnya, beliau wajib menjalani perkuliahan di perguruan tinggi eksklusif sinkron dengan minat & bakatnya. Tidak banyak orang yg akhirnya lalu sanggup berkembang sampai potensi terbaiknya.


Kalau mau ditelusuri lebih lanjut, bahkan jauh sebelum duduk di bangku kuliah, kerangka berpikir masyarakat pada Indonesia mengenai pendidikan tidak membiasakan peserta didik buat menentukan berdasarkan hati nuraninya. Paradigma pendidikan di masyarakat kita membatasi masa depan yang hanya bisa diraih menurut jurusan-jurusan yg tersedia di perguruan tinggi. Lebih parahnya lagi pendidikan yang dianggap baik terbatas dalam perguruan tinggi bergengsi.
Dampak dari paradigma pendidikan tersebut adalah terkuburnya impian-impian luhur bagi dunia yang lebih baik. Impian-impian, yang kita sebut juga sebagai visi hidup tidak pernah dapat tercapai, bahkan  tidak mampu memikirkannya. Mengapa? Karena memang kita tidak pernah dididik untuk memikirkan sesuatu dalam perspektif waktu yang panjang, kita dibatasi oleh apa yang kita miliki sekarang, sehingga apabila kita memikirkan sesuatu yang tidak ada, kita dianggap “gila”.





Paradigma masyarakat, baik melalui pendidikan juga kehidupan sehari-hari, telah usang menyumbangkan ketakutan pada keyakinan individu, dan menutup kenyataan bahwa sesungguhnya kesuksesan itu unik bagi setiap orang dan adalah hak setiap orang. Ketika banyak sekali tipe keyakinan tumbuh & semakin mengakar pada dalam diri seorang, sangat sulit baginya buat menemukan kesuksesan yg ?Sesungguhnya? Pada dalam hidupnya.



Tetapi demikian, setiap manusia bisa membebaskan diri menurut keyakinan yang menghalangi kesuksesannya itu. Berikut ini merupakan tips buat keluar berdasarkan belitan keyakinan tersebut :


1      Kenali; bagaimana pandangan kita terhadap diri sendiri? Apakah ada salah satu jenis ketakutan tersebut?


2      Lepaskan; hal-hal yang memang tidak kita butuhkan, sudah saatnya untuk kita lepaskan, berikan “ruang” untuk hal-hal yang baik dalam hidup kita.


3      Berdamailah dengan segala “keburukan” di masa lalu kita, terimalah itu sebagai bagian yang indah dari keutuhan diri.


4      Tanamkan ide ke dalam diri, “saya berhak untuk sukses dan bisa mencapainya”.
5      Fokus pada apa yang kita inginkan.
Meski sulit, tetapi dengan kemauan yang keras, setiap orang bisa membebaskan diri dari belitan keyakinan tersebut, dan berlari mengejar kesuksesannya.

Jadi, mampu kita lihat bahwa penghalang bagi kesuksesan sanggup dari dari pada, yaitu keyakinan kita sendiri tentang kesuksesan. Lalu keyakinan ini ditentukan sang pendidikan yang ditanamkan, baik pada lingkungan tempat tinggal juga pada sekolah. Ditambah dengan pandangan masyarakat (orang-orang pada lebih kurang) yg berlaku di masa itu, maka keyakinan itu akan semakin mengakar bertenaga di dalam diri orang.


“Jikalau ingin sukses, keinginanmu untuk sukses harus lebih besar dari rasa takutmu terhadap kegagalan” – Bill Cosby, komedian berkebangsaan Amerika Serikat.


(David Ardes Setiady)














































































[JALAN-JALAN] Sanggar Anak Alam, Belajar dari Sekolah Kehidupan



Berbicara tentang pendidikan anak memang tak terdapat habisnya. Sebut saja contoh beberapa masalah terkait kurikulum yg selalu berubah setiap kali terdapat pergantian menteri, penambahan jam belajar sekolah plus beban tugas anak sekolah yang sangat menyita kesempatan bermain, membatasi ruang interaksi sosial anak dengan famili, teman sebaya di lingkungan terdekat, belum lagi akses pendidikan anak yg terbatas terhadap lembaga pendidikan. Kekhawatiran tersebut tentu saja sangat merisaukan beberapa orangtua yang anak-anaknya memasuki usia sekolah.
Berangkat berdasarkan konflik pendidikan yg ruwet ini Sri Wahyaningsih

menggagas perlunya ide-inspirasi pendidikan yg sesungguhnya, yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi anak buat bebas berekspresi dan bereksplorasi pada menemukan pengetahuan, menggunakan memanfaatkan potensi lingkungan terdekat menjadi media belajar. Bu Wahya, begitu ia biasa disapa, dan beberapa orang yang jua memiliki keprihatinan yang sama tentang pendidikan pada negeri ini mendirikan Sanggar Anak Alam (Salam) ? Sebuah perkumpulan yang berkecimpung pada bidang pendidikan berbasis komunitas yg independen, terbuka & nir terikat dengan forum dana manapun, termasuk pemerintah.
Secara geografis, Salam berada pada tengah perkampungan dan dikelilingi persawahan di daerah Kabupaten Bantul. Tepatnya di kampung Nitiprayan, pedukuhan Jomegatan, Kelurahan Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Yogyakarta. Salam mengawali kegiatannya dalam tahun 2000 pada Nitiprayan, Bantul, DIY dengan acara pendampingan remaja. Kemudian dalam tahun 2004 menyelenggarakan Kelompok Bermain.





Seiring dengan perkembangan anak-anak dan kebutuhan orangtua untuk keberlanjutan pendidikan anak-anak mereka, Salam memulai program Taman Anak (TK) pada tahun 2006 dan Sekolah Dasar (SD) pada 2008. Tahun ini adalah semester ke-2 untuk program setara SMP. Melalui program tersebut Sanggar Anak Alam berkeinginan membuka ruang belajar untuk masyarakat  luas dari semua kalangan dan rentang usia, dengan proses yang terbuka, menyenangkan, penuh kesederhanaan serta mengutamakan lokalitas dan persahabatan dengan alam dan lingkungan sekitar. Harapannya adalah Sanggar Anak Alam dapat menjadi bagian dari perubahan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia, terutama pendidikan anak-anak.





Sanggar Anak Alam, poly orang sering menyebutnya menjadi sekolah cara lain , atau sekolah alam. Nyatanya bukan konsep berbasis alam yg membuat sekolah ini tidak sinkron, tetapi di Salam setiap murid dilatih agar sanggup menghadapi realitas kehidupan. Belajar berdasarkan kebiasaan yg sehari-hari lekat dengan kehidupan mereka, kebutuhan dasar buat sanggup menolong diri sendiri, sesama, & semesta.
Di Salam, anak-anak belajar membaca, menulis & berhitung melalui peristiwa yang terjadi & aktivitas yang sengaja didesain untuk mengantarkan mereka dalam pemahaman terhadap ilmu yang akan mereka temukan sendiri dengan pendampingan dan motivasi dari fasilitator. Sehingga para fasilitator (guru/ pendidik) nir perlu mencekoki & menjejali anak-anak menggunakan segala macam bentuk hafalan.
Anak-anak juga dikenalkan pada makanan, cita rasa, dan manfaat  makanan melalui kebiasaan makan siang yang memang sengaja diselenggarakan setelah kegiatan sekolah usai. Pada kesempatan ini anak-anak belajar mengenali apa saja yang mereka makan, mengapa perlu makan, belajar mengukur kebutuhan makannya, mengelola sisa makanan, belajar menghargai makanan dan semua pihak yang terlibat dalam proses tersedianya makanan yang terhidang di hadapan mereka.





Melalui norma piket sehari-hari pada sekolah dalam pagi hari, anak-anak belajar tentang arti bertanggung jawab, kerjasama & disiplin dalam diri sendiri, bagaimana harus mengatur waktu, membagi peran & tugas menggunakan teman lain dalam satu grup
Secara historis kultural, Indonesia merupakan negara agraris dengan sederet kisah manis dalam masa kejayaan pada sektor pertanian. Pernah dinobatkan menjadi negara produsen beras terbesar hingga bisa swa-sembada beras bahkan mengimpor beras ke luar negeri. Bersyukur Salam berada sangat dekat dengan lingkungan persawahan. Di loka inilah anak-anak belajar tentang sejarah budaya bangsa ini jua tentang kearifan lokal dari komunitas petani yg bersama menggunakan Sanggar Anak Alam menghidupkan balik tradisi ?Wiwit panen?, yaitu sebuah ritual yg selalu dilakukan para petani saat akan memulai masa panen padi menjadi ungkapan syukur atas berkah Tuhan atas hasil panen mereka.
Melalui kegiatan-kegiatan tadi anak-anak juga belajar memahami nilai-nilai religiusitas secara langsung, kontekstual & riil, contohnya mengenai menghargai diri sendiri, sahabat (sesama), lingkungan & mensyukuri karunia Tuhan Yang Maha Esa. Orangtua, fasilitator/ pengajar, & warga bagi Salam merupakan masyarakat belajar yang terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran yang terjadi pada Salam. Dengan begitu seluruh pihak akan saling mendukung pada kerangka dinamika proses belajar yang tak akan pernah terdapat habisnya.





Semesta dan kehidupan ini sudah menyediakan begitu banyak asal ilmu dan temukan keajaiban yang tersimpan di dalamnya. Mendengar, aku lupa; Melihat, aku ingat; Melakukan, saya paham; Menemukan sendiri, saya kuasai; adalah keliru satu motto yg selalu diterapkan pada proses pembelajaran Salam pada sekolah kehidupan.

































[TIPS] Pengembangan Diri Aktivis



Aktivis, menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah seseorang dengan jabatan tertentu, seperti anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita, lingkungan, ataupun pendidikan yang bekerja aktif dan mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Menjadi aktivis adalah sebuah pilihan, pilihan untuk mengembangkan hal-hal yang menjadi fokus keberpihakannya untuk “ditularkan” kepada masyarakat luas bersama dengan komunitas atau organisasinya. Misalnya, seorang aktivis lingkungan akan terus berusaha untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bisa diterapkan dalam masyarakat luas agar lingkungan lestari dan berkelanjutan sampai masa yang akan datang. Contoh konkritnya, suatu LSM lingkungan hidup akan melakukan kegiatan kampanye Zero Waste(nol sampah) kepada masyarakat luas beserta solusi-solusi yang ditawarkannya, dengan harapan setelah kampanye tersebut selesai, masyarakat yang telah

dibinanya tersebut bisa mengurangi atau bahkan menerapkan gaya hayati ?Nol sampah? Pada aktivitas sehari-harinya.
Akan tetapi bagi seorang aktivis, untuk mendorong keberpihakannya menjadi keberpihakan masyarakat luas tentu tidak mudah. Banyak hal yang perlu ditingkatkan untuk mencapai visi misi organisasi. Salah satunya, adalah dalam  hal pengembangan diri aktivis itu sendiri agar mampu menjadi orang yang penuh dengan ide-ide segar, inovatif, kreatif, serta berwawasan luas.



Sumber : http://notes.fredkhos.com/2012_05_01_archive.html



Bagaimanakah cara melakukan pengembangan diri bagi aktivis itu? Berikut tips yang sanggup teman-teman aktivis lakukan buat pengembangan diri tersebut:
1.     Perbanyaklah membaca. Pepatah mengatakan, “membaca adalah gudangnya ilmu”. Dengan membaca, selain wawasan keilmuan kita lebih meningkat,  ide untuk melakukan suatu hal yang sebelumnya tidak terpikirkan menjadi terlintas dalam pikiran kita, dan ide tersebut muncul salah satunya ketika kita membaca.
2.     Berdiskusi dan observasi. Melakukan diskusi, observasi, serta brainstorming dengan para pakar, teman, masyarakat, tentunya juga akan menambah wawasan keilmuan kita. Kita biasanya akan lebih peka dan memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat ketika kita telah berbaur dengan mereka, salah satunya adalah dengan melakukan diskusi dan observasi (pengamatan). Jadi, selain menambah wawasan keilmuan ataupun ide, berdiskusi dengan banyak orang juga bisa menambah pertemanan ataupun networking.
3.     Mengikuti training/workshop/seminar dan mempraktekkannya. Dengan mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan fokus kegiatan komunitas/organisasi masing-masing aktivis, kiranya para aktivis dapat menambah intelektualitas diri  sebagai salah satu cara untuk mengembangkan diri. Salah satu contoh adalah ketika seorang aktivis lingkungan mengikuti pelatihan menulis, dan kemudian mempraktekkannya dengan cara menuliskan ide-idenya  di media sosial seperti blog. Hal tersebut dilakukan supaya orang lain tahu apa yang menjadi cita-cita seorang aktivis lingkungan sekaligus mengampanyekan isu pelestarian lingkungan hidup dan berharap cita-cita atau ide tersebut menjadi panutan yang lain.
4.     Selalu bersifat terbuka terhadap kritik dan saran yang disampaikan oleh orang lain. Ambillah selalu hikmah terhadap masukan dari orang lain, jangan cepat tersinggung.
5.     Mampu mengevaluasi diri dan kekurangan diri.
6.     Berteman dan bergaul dengan siapapun yang sekiranya bisa memberikan dampak positif terhadap perkembangan diri kita.
7.     Bergabung dengan komunitas yang memperkaya motivasi dan wawasan terkait dengan isu yang sedang teman-teman aktivis perjuangkan.
Masih poly lagi cara buat menyebarkan diri bagi masing-masing aktivis, lantaran tips ini masih hanya sebagian kecil saja. Semoga ke depannya aktivis semakin bisa berbagi dirinya, termasuk visi misi yang beliau miliki, sebagai akibatnya tercapai transformasi warga ke arah yang lebih baik.


SRI RATNA WULAN
Pemegang Beasiswa Unggulan Kemdiknas 2011
Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Unpad
Konsentrasi Manajemen SDA/LH























Senin, 06 Juli 2020

[MEDIA] Petualangan Banyu dan Elektra Menyalakan Kota



Judul : Petualangan Banyu & Elektra Menyalakan Kota
Tahun : 2012
Kategori film : Animasi
Konsep & Skenario : Kandi Sekarwulan, M. Bijaksana
Produksi : Greeneration Indonesia dan Sahabat Kota
Produser Eksekutif : WWF Indonesia
Produser : BNI, The Body Shop, Hilo
Durasi : 9 menit 58 detik
Bahasa yang digunakan : Indonesia


Yuk, hemat penggunaan energi!





Film animasi berjudul “Petualangan Banyu dan Elektra Menyalakan Kota” merupakan seri ketiga dari rangkaian film petualangan Banyu tentang kepeduliannya terhadap kota di mana ia tinggal. Serial film animasi pertama diproduksi pada tahun 2009, dengan judul “Petualangan Banyu Bersama Titik Air”. Seri kedua berjudul “Petualangan Banyu di Negeri Sampah”, diproduksi pada tahun 2011.


Pembuatan film animasi “Petualangan Banyu & Elektra Menyalakan Kota” ini merupakan kolaborasi antara Greeneration Indonesia dan Sahabat Kota. Greeneration Indonesia adalah sebuah organisasi kewirausahaan yang bergerak di isu lingkungan, sedangkan Sahabat Kota  adalah sebuah komunitas di Bandung yang memiliki kepedulian terhadap tumbuh kembang anak-anak perkotaan dalam mengenal, berinteraksi dan peduli lingkungan.


Film animasi ini diawali dari kebiasaan Banyu yang menghidupkan semua alat elektronik di rumah saat malam hari. Ibu Banyu sudah mengingatkan untuk tidur, tetapi Banyu masih saja menonton televisi. Sementara itu, lampu meja, kipas angin dan radio masih terus menyala. Meski kipas angin menyala, Banyu tetap merasa kepanasan. Ia pun memutuskan untuk menyalakan pendingin ruangan. Tepat saat Banyu menekan remotependingin ruangan, semua alat elektronik berhenti berfungsi. Seluruh ruangan menjadi gelap! Tak hanya di rumah, ternyata listrik di seluruh kota juga padam. Banyu semakin terkejut ketika sekonyong-konyong muncul seorang anak perempuan dengan kain berkibar di punggungnya, seperti super hero. Anak perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Elektra. Elektra hadir bersama teman ciliknya, bernama Ion.



Dengan gelembung udara, mereka mengajak Banyu untuk berpetualang mengelilingi kota dan menyelidiki mengapa listrik di kota tersebut mati. Banyu melihat seluruh rumah dalam kondisi gelap. Kota kehabisan listrik. Bagaimana bisa, kota kehabisan listrik? Elektra pun menjelaskan, bahwa hampir semua masyarakat di kota tersebut sangat boros dalam menggunakan listrik. Itu sama artinya dengan menggunakan energi secara berlebihan. Padahal kebutuhan listrik untuk setiap alat elektronik cukup besar dan beragam.Misalnya, untukmenyalakan radio dan lampu belajarmembutuhkan listrik sebanyak 12 watt/jam. Kipas angin butuh 103 watt/jam, TV butuh 68 watt/jam dan AC butuh 430 watt/jam. Dapat dibayangkan, bila dalam waktu bersamaan masing-masing rumah menyalakan beberapa peralatan elektronik, berapa jumlah kebutuhan energi listrik dalam satu RT, RW, kelurahan bahkan satu kota?


Akhirnya Banyu dan Elektra memadamkan peralatan listrik yang tidak diperlukan, lalu menghitung kebutuhan energi listrik kota tersebut dengan ketersediaan energi yang ada. Hasilnya? Listrik di kota Banyu menyala!


Pagi harinya, Banyu terbangun dari tidur dan memulai hari dengan menyalakan listrik secukupnya. Saat ia berangkat ke sekolah, ternyata Banyu bertemu dengan Elektra yang sesungguhnya.


Inti dari film ini adalah mengenai ajakan untuk menghemat listrik. Oleh karena itu, WWF sebagai produser film ini sekaligus pencetus kampanye gerakan Earth Hour, memasukkan muatan kampanye gerakan Earth Hour ke dalam dialog antara Elektra dan Banyu sebagai berikut : "Kita juga bisa ikutan gerakan Earth Hour lho, semua orang diseluruh dunia mematikan lampu secara bersamaan untuk hemat energi."


Gerakan Earth Hour ini telah berlangsung dalam kehidupan yang sesungguhnya sejak tahun 2007, diawali di Kota Sydney, Australia. Ini merupakan ajakan bagi seluruh dunia, baik perumahan maupun perkantoran untuk memadamkan listrik selama satu jam, setiap hari Sabtu terakhir di bulan Maret.


Hal lain yang menarik di film ini, Banyu menganalogikan gerakan menghemat listrik dengan cara mengatur uang jajan. Kalau uang jajan dipakai berlebih, maka akan cepat habis. Bagi anak-anak, analogi yang sangat dekat dengan pengalaman sehari-hari tentu lebih mudah diingat. Film animasi ini sangat mengedukasi dan menarik, tidak hanya untuk anak-anak, tapi juga kita semua. Bisa jadi, setelah menonton film ini anak-anak akan mengingatkan orang tua atau orang-orang di rumahnya untuk menghemat penggunaan energi listrik.


Selain itu, Greeneration Indonesia dan Sahabat Kota juga membuat modul tentang isu hemat energi yang sudah diujicobakan di sekolah-sekolah sekitar Bandung. Akan digunakan secara subsidi silang agar banyak pihak yang bisa mendapatkan manfaat dari film dan modul ini.


Karena film ini ditujukan untuk anak-anak, ada baiknya dibuat ilustrasi proses tentang bagaimana sumber energi ini berasal, diambil dan dimanfaatkan oleh manusia. Anak-anak perlu diberi pemahaman bahwa energi listrik berasal dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, seperti batu bara, air dan gas. Artinya, jumlah sumber daya alam penghasil energi listrik ini terbatas dan bisa habis. Dari gambaran ini, anak-anak akan memahami pentingnya menghemat penggunaan listrik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, diharapkan timbul kesadaran tinggi dari setiap orang untuk berhemat energi (apapun itu), agar tidak menghabiskan lebih cepat dari dihasilkannya sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui di bumi ini.


Hemat energi itu juga bisa dilakukan dengan menyalakan listrik secukupnya, dan mematikan selebihnya. Tidak cukup hanya satu jam, satu hari atau satu tahun. Tapi untuk seterusnya, selama bumi ini masih ada dan manusia tidak serakah.


Kami anjurkan pula untuk menonton petualangan Banyu episode sebelumnya, yang tidak kalah seru dan asyik. Semuanya ini untuk membangun kesadaran dan kepedulian anak-anak terhadap isu air, sampah dan energi.
Selamat menikmati.


(Melly Amalia)



























































[MASALAH KITA] Aktivis Menghadapi Cermin Sosial





Nama saya, Novi. Selepas kuliah, orientasi aku sangat tidak sinkron menggunakan apa yang saya lakukan kini . Selayaknya fresh graduate lainnya, orientasi hidup saya ketika itu adalah bekerja buat mendapatkan penghasilan sebanyak-banyaknya. Kebetulan pekerjaan yang tersedia ketika itu merupakan sebagai marketing sebuah perusahaan swasta.


Tuntutan yang aku hadapi buat bertahan pada pekerjaan tersebut merupakan aku harus tampil menarik, seragam, rapi, teratur dan tentunya profit. Pada awalnya saya melihat itu menjadi hal yang aku impikan dan seharusnya saya lakukan lantaran setiap perempuan seumuran saya dan di lingkungan aku , ya seperti itu.





Saya ingin belajar sebagai yg terbaik pada bidang aku , namun hasil yg aku dapatkan ternyata malah terbalik. Performance saya dalam pekerjaan nir pernah baik karena tuntutan pekerjaan dan ekspektasi orang lain terhadap diri aku sangat bertolak belakang menggunakan langsung aku . Puncaknya, aku menetapkan buat mencari memahami apa yg aku sukai, mulai berdasarkan kitab -kitab yang sudah saya beli, film-film yang saya tonton, pengalaman menyenangkan yg pernah aku alami sewaktu kuliah maupun teman-sahabat yang nyaman aku ajak berdiskusi.


Proses tadi membantu saya membayangkan pekerjaan seperti apa yang diinginkan di pada hidup aku . Akhirnya, saya menerima pekerjaan yg aku inginkan (walaupun itu sudah terlambat dua tahun) yaitu menjadi seseorang pekerja sosial. Menjadi pekerja sosial ketika itu jauh dari kesan keren dan menjanjikan prosperity, bahkan beberapa teman dan famili nir setuju pada awalnya. Tetapi restu dan dukungan dalam akhirnya datang menurut mereka lantaran masih ada perubahan pada diri aku . Saya nir memahami pastinya apa yg mereka lihat, namun perasaan yg aku rasakan saat bekerja merupakan lebih bersemangat, senang , kreatif, tenang, tanpa beban & punya tujuan. Mungkin pancaran misalnya itulah yang pada akhirnya terpantul menurut cermin saya sendiri untuk melawan cermin sosial di lingkungan terdekat aku .
Di dunia ini, Anda bisa menemukan banyak kisah misalnya Novi.
Ketika mini kita hayati menurut asa-asa orang tua kita. Saat remaja kita hayati dari asa-asa kawan-kawan kita. Saat dewasa, kita hayati menurut asa-harapan pasangan kita. Di warga kita hidup mengikuti tuntutan-tuntutan masyarakat yg memiliki perspektif tertentu tentang apa yang dianggap berhasil dan apa yang disebut baik. Masalahnya apakah yg diklaim berhasil & baik oleh seluruh entitas di luar diri kita sesuai menggunakan asa-cita-cita terdalam kita? Apakah memenuhi tuntutan-tuntutan berdasarkan luar & memperoleh status ?Orang yg sukses? Menciptakan kita sahih-sahih senang , hayati penuh & bermakna? Apakah kita mau terus hayati pada pada cermin sosial?


Apa sih definisi cermin sosial?


Stephen Covey dalam bukunya “The Seven Habits of Highly Effective People”,   memperkenalkan konsep proaktivitas. Menurut Covey, proaktivitas berarti bertanggung jawab penuh akan hidup kita sendiri. Bertanggung jawab berarti siap mengambil konsekuensi dari pilihan-pilihan hidup kita. Dan pilihan hidup tersebut haruslah didasarkan pada keempat anugerah kodrati, yaitu imajinasi, kesadaran diri, kehendak bebas dan suara hati.
Jika mengikuti definisi tersebut, maka, hayati dalam cermin sosial berarti, hayati yang dijalani nir menggunakan anugerah kodrati kita sendiri. Kita nir menggunakan semua khayalan, pencerahan diri, kehendak bebas dan suara hati kita. Hidup kita ditentukan sang kehendak orang lain, sebagai upaya memenuhi harapan-asa orang lain, atau karena terpaksa, atau nir sinkron dengan bunyi hati kita.





Apa sih resiko hayati dalam cermin sosial?


Sebetulnya, yang paling tahu apakah kita hidup menurut cermin sosial atau tidak merupakan diri kita sendiri. Jika kita mengalami pertarungan batin yg tertuang dalam aneka macam perasaan negatif seperti rasa jenuh,capek, udik, malas, tidak kreatif (pikiran mentok), muak karena menjalani rutinitas tanpa nilai apapun, atau perasaan bersalah lantaran terpaksa melakukan banyak sekali hal yang tidak sesuai menggunakan diri sejati kita; terdapat kemungkinan hayati kita sudah ditentukan oleh cermin sosial. Kita merasa nir puas terhadap hidup kita sendiri.



Mereka yg hidup pada cermin sosial sering justru adalah orang-orang yg ditinjau sukses di pada warga . Di pada kesuksesannya, mereka justru nir merasa puas atau merasa salah di pada hayati mereka. Jika kita mengalami hal-hal semacam ini, kemungkinan kita mulai menyadari bahwa hayati kita belumlah misalnya yg sahih-benar kita inginkan.


Apakah resiko melepaskan cermin sosial & hidup berdasarkan impian-cita-cita terdalam kita?


Merujuk pada Covey, melepaskan cermin sosial berarti hidup dalam proaktivitas. Hidup proaktif berarti merogoh pilihan dengan kehendak bebas. Kita akan menerima konsekuensi pilihan tadi menggunakan gembira & tulus. Hidupku merupakan pilihan yang kupilih sendiri. Pilihanku tidak tergantung dari pendapat orang tuaku. Pilihanku tidak ditentukan sang anakku, pasanganku, kawanku atau tetanggaku. Aku mengambil pilihan karena saya sungguh-sungguh menginginkannya.
Pilihan-pilihan bebas yg diambil tersebut jua didasarkan pada pencerahan diri yang tinggi. Aku tahu yg saya mau, aku memahami apa yg saya cari, bukan saya merasa aku mencari sesuatu karena seseorang menganggapku baik buat itu. Aku mengenal diriku sendiri dengan baik, termasuk harapan-asa terdalam dan impian-impianku terhadap hidupku ini.



Kesadaran diri yang tinggi dapat diasah dengan melatih diri buat selalu mendengarkan bunyi hati kita sendiri, mengenali panggilan-panggilan jiwa kita, & keinginan-impian terdalam kita. Dan yg terakhir pilihan proaktif tentu berdasarkan pada imajinasi aporisma tentang apa yg mungkin terjadi dampak pilihan-pilihan kita. Resiko melepaskan cermin sosial merupakan mungkin kita akan kehilangan cap sukses di mata orang lain yang memiliki tuntutan/gambaran/harapan eksklusif terhadap hidup kita, namun kita akan merasa nyaman menggunakan diri kita sendiri. Kita mungkin dipercaya menjadi orang yg aneh, keras ketua, atau tidak mau menurut dalam orang tua atau anggaran masyarakat. Kita mungkin akan merasa telah mengecewakan orang-orang yg kita cintai.


Jurus-jurus keluar berdasarkan Cermin Sosial


Ada resiko-resiko yang harus kita tanggung ketika kita hidup dalam cermin sosial .  Jika kamu saat ini sedang berada dalam cermin sosial dan ingin melepaskan diri darinya, berikut ini adalah jurus-jurus yang perlu kita lakukan
1.    Kenali Dirimu yang Sejati dan Impian-impian terdalammu
2.    Jujur kepada diri sendiri dan kepada orang lain
3.    Ungkapkan dirimu dan impian-impianmu dengan jujur
4.    Konsisten dengan apa yang sudah dipilih
5.    Siap menghadapi konsekuensi pilihan hidup kita
Hidup menggunakan cermin sosial ataupun nir merupakan pilihan. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Nah, sekarang, kita ingin hayati kita seperti apa?


***
 (Any Sulistyowati & Anggraeni)
































































[PIKIR] Belajar dari Pengalaman Pahit, Mungkinkah?



Ketika tsunami di Aceh terjadi pada tahun 2004,  seorang teman saya kehilangan seluruh keluarganya. Dia sedang menuntut ilmu di pulau Jawa sehingga tidak mengalami diterjang tsunami. Tetapi semua orang yang dikasihinya, khususnya sang Ibu meninggal dunia. Teman saya itu sangat dekat dengan ibunya. Saya masih ingat betapa keras teriakannya saat mendengar kabar duka tersebut. “Saya ingin ibu saya kembali!”


Cerita pada atas hanya galat satu model dari pengalaman pahit seorang. Setiap orang pasti pernah mengalami pengalaman pahit meski menggunakan cara yg tidak selaras.

Mengalami bencana alam, mengalami kekerasan psikis maupun fisik, kekurangan uang, melihat orang yang dikasihi jatuh sakit, kehilangan orang yg dikasihi, dikhianati, patah hati, kelaparan, diperlakukan tidak adil, digusur dari tempat tinggalnya, sakit, dikhianati, famili pecah, gagal, diabaikan, nir dihargai, dan lain-lain. Semuanya pengalaman pahit.



Pengalaman pahit merupakan hal yang sangat menyebalkan. Rasanya sakit & tidak pernah gampang buat dilewati. Kadang butuh ketika yg sangat usang buat menyembuhkan rasa sakit yang ada. Dan nir seluruh orang mampu melewatinya.


Apakah seorang bisa belajar menurut pengalaman getir? Ozlem Ayduk, seseorang pakar psikologi dari Universitas California, Berkeley menyatakan bahwa ada beberapa orang yang berhasil belajar menurut pengalaman pahit dan beberapa orang yang tidak[1]. Menurutnya, salah satu cara buat mampu belajar berdasarkan pengalaman pahit merupakan menggunakan merogoh jarak menurut perasaan kita terhadap pengalaman pahit tadi. Dalam penelitiannya, Ayduk & Kross meminta sejumlah orang buat membayangkan pengalaman pahitnya. Satu gerombolan diminta melihat pengalaman tersebut menurut dari kacamatanya sendiri sedangkan yang lain diminta membayangkan pengalaman pahitnya menurut kacamata seekor lalat yang melihat pengalaman tersebut.
Ternyata, kelompok ke 2 lebih sanggup menganalisis pengalaman pahit mereka secara lebih konstruktif sehingga mampu mengambil pelajaran dari pengalaman pahit tadi. Jadi, untuk mampu belajar berdasarkan pengalaman pahit, salah satu hal yang wajib dilakukan adalah mencoba berjarak terhadap perasaan kita terkait pengalaman tersebut. Tapi, bagaimana caranya? Memangnya gampang? Dari pengalaman sendiri, saya sanggup mengungkapkan bahwa buat sanggup berjarak terhadap pengalaman pahit bukan kasus gampang. Kadang kita membutuhkan bantuan orang lain buat mampu melakukannya.


Perlunya Supporting System


Tahun 2007 saya berada dalam keadaan yang tidak baik karena mengalami beberapa masalah. Tak lama kemudian saya diajak untuk mengikuti support group visi dan misi pribadi yang diselenggarakan oleh KAIL. Salah satu kegiatannya adalah saya dan peserta lain (hanya ber-5) diminta untuk menggambarkan sungai kehidupan masing-masing. Sungai kehidupan adalah sebuah gambar yang merepresentasikan titik-titik penting dalam hidup kita. Hal ini berarti kita perlu mengingat pengalaman baik yang menyenangkan maupun pahit yang menjadikan diri kita seperti sekarang ini. Setelah menggambar, masing-masing peserta diminta bergantian menceritakan sungai kehidupannya. Peserta yang lain harus mendengarkan dan bisa mengajukan pertanyaan.
Proses tersebut memungkinkan saya untuk mengingat kembali pengalaman pahit saya, memvisualisasikannya, menceritakannya kembali, dan menjawab pertanyaan orang lain tentang pengalaman pahit tersebut. Ternyata proses itu memungkinkan saya belajar dari pengalaman pahit saya. Saya belajar bahwa diri saya yang sekarang tidak terlepas dari pengalaman yang saya alami di masa lalu, yang baik maupun yang buruk. Meskipun tidak selalu, beberapa isu yang saya pedulikan beririsan dengan pengalaman pahit saya sendiri. Misalnya, saya pernah mengalami bullying.Hal ini membuat saya cukup peduli dengan isu bullying.



Bullying, asal : www.Crapmama.Com



Saya jua belajar bahwa pengalaman getir memungkinkan saya bisa lebih memahami perasaan orang lain yg punya pengalaman sejenis. Pemahaman ini sangat berharga. Sebagai analoginya orang yang pernah terkena penggusuran pasti lebih mudah tahu orang yg juga pernah terkena penggusuran. Pemahaman ini akan sangat membantu, misalnya saat beliau mau membuat gerakan untuk mendukung orang-orang yang terkena penggusuran.
Sekarang, saya bisa menuliskan segalanya tentang pengalaman pahit saya. Tapi bertahun-tahun yang lalu, mungkin saya tidak bisa melakukannya. Mungkin saya hanya bisa merasakan sakitnya tanpa bisa belajar darinya. Saya beruntung karena dengan mengikuti suport group visi dan misi KAIL, ada sebuah sistem yang memungkinkan saya bisa lebih mudah belajar dan berefleksi dari pengalaman pahit saya.
Belajar dari pengalaman pahit bukanlah hal yang mudah. Sebuah pengalaman pahit bisa terjadi jauh sebelum hari ini, misalnya belasan tahun yang lalu tetapi rasa sakitnya masih terasa hari ini. Enid Vazquez, seorang konselor HIV pernah mengatakan bahwa setiap orang membutuhkah support systematau sistem bantuan. Semakin berkualitas support system tersebut, kita akan menjadi lebih baik. Jadi, mari memperbanyak support system yang memungkinkan lebih banyak orang bisa menjadikan pengalaman pahitnya sebuah pelajaran yang berharga!


(Dhitta Puti Sarasvati, Associate Kail)



[1] http://www.Huffingtonpost.Com/wray-herbert/self-reflection_b_881461.Html





































Cloud Hosting Indonesia