Pada 2008, Presiden Perancis, Nicholas Sarkozy, membentuk sebuah Komisi untuk Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial. Komisi tersebut diketuai oleh Prof. Joseph Stiglitz, dengan ketua penasehatnya Prof. Amartya Sen, dan koordinator komisi dijabat oleh Prof. Jean-Paul Fitoussi. Mereka bertiga adalah para ekonom ternama dunia bahkan Stiglitz dan Sen adalah peraih nobel ekonomi. Sedang anggota komisi adalah para ahli dari pelbagai negara, baik dari kalangan universitas, pemerintahan, dan lembaga antar pemerintah. Komisi ini bertugas merespon keprihatinan atas tidak memadainya parameter kinerja ekonomi sekarang, khususnya Produk Domestik Bruto (PDB). Standar pengukuran seperti itu mengandung banyak kelemahan, tapi sayangnya telah dipakai oleh hampir semua negara di dunia untuk mengukur kesejahteraan bahkan sebagai ukuran sebuah kemajuan. Menurut mereka, angka-angka di balik PDB sudah tidak relevan dalam mengukur kesejahteraan sosial, sekaligus keberlanjutan lingkungan, sosial, bahkan ekonomi sendiri.
Tiga puluh enam tahun sebelum Komisi Stiglitz dibentuk, seorang muda dari sebuah negeri yang berada di “atap dunia”, yang berbatasan dengan Tibet, Cina dan India, serta jauh dari hiruk pikuk lalu lintas ekonomi mainstream, telah melakukan kritik terhadap Produk Domestik Bruto. Dia adalah Jigme Singye Wangchuck, raja keempat dari Kerajaan Bhutan. Dia menciptakan istilah Gross National Happiness (GNH) atau Kebahagiaan Nasional Bruto sebagai upaya menentukan indikator untuk mengukur kualitas hidup atau kemajuan sosial secara lebih holistik daripada sekedar capaian ekonomis seperti Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut Wangchuck, pertumbuhan ekonomi tidak selalu mengarah pada kepuasan warga negara. Baginya, ada hal lain yang lebih penting daripada pertumbuhan ekonomi, yakni kebahagiaan. Gagasan ini berangkat dari semangat ajaran Budha, yang menekankan bahwa kebahagiaan tidak tergantung dari apa yang kita miliki, tapi kualitas diri.
Konsep GNH melingkupi empat pilar, yakni pemerintahan yang baik dan akuntabel, pembangunan sosial-ekonomi yg berkelanjutan, pelestarian budaya, & konservasi lingkungan. Empat pilar ini lalu diperinci sebagai sembilan domain, yg meliputi : kesejahteraan (kualitas) psikologis, kesehatan, pendidikan, penggunaan saat, keragaman & ketahanan budaya, pemerintahan yg baik, vitalitas rakyat, keragaman & ketahanan ekologi, & baku hidup. Sembilan domain ini dianggap mewakili komponen kebahagiaan di Bhutan, & semuanya memiliki posisi sama krusial & seimbang. Dari sembilan domain ini, diurai pulang sebagai 33 indikator & pada penghitungannya nanti, 33 indikator tadi diurai lagi dalam beberapa sub-indikator dan pertanyaan-pertanyaan kunci.
Menurut The Centre for Bhutan Studies, yang termuat dalam website GNH (www.Grossnationalhappiness.Com), indeks GNH secara umum merefleksikan kebahagiaan & kualitas hayati yg lebih akurat & luas daripada pengukuran secara moneter. Lantas, bagaimana mengukurnya? The Center for Bhutan menguraikannya menjadi berikut.
GNH dikonstruksi dalam dua langkah. Langkah pertama adalah melakukan Identifikasi, sedang langkah kedua adalah melakukan Agregrasi. Identifikasi, adalah langkah untuk menentukan apakah setiap rumah tangga telah mencapai kecukupan di masing-masing sembilan domain. Hal ini dilakukan dengan menetapkan titik batas (cut-off) di setiap domain. Seperti dalam mengukur kemiskinan, yang menggunakan garis kemiskinan, dimana ada keluarga yang berada di atas garis dan ada yang di bawah garis kemiskinan. Untuk menentukan kecukupan di setiap domain juga begitu. Garis kecukupan diatur lebih tinggi dari garis kemiskinan. Dalam beberapa indikator, telah dipasang level teratas pencapaian dari indikator tersebut. Seseorang diidentifikasi memiliki kualitas hidup yang cukup jika capaiannya dalam indikator melebihi titik batas. Jika capaiannya melebihi titik batas, maka capaian yang sebenarnya orang tersebut diganti oleh tingkat 'kecukupan', atau dipatok dalam tingkat kecukupan. Misalnya, jika seseorang itu pendapatan sebenarnya 1000, dan titik batas kecukupan adalah 150, maka seseorang itu diperlakukan pendapatannya 150. Dengan demikian, capaian di atas titik batas kecukupan tidak kemudian meningkatkan skor GNH seseorang. Penetapan titik batas kecukupan mungkin bisa saja problematik dan sulit, tapi ini bisa dijadikan topik diskusi publik. Yang penting, jangan sampai mengaburkan pengukuran titik batas kecukupan yang wajar.
Pertanyaan yang muncul kemudian, lantas bagaimana mengidentifikasi siapa yang bahagia? Indeks GNH ingin menghormati keragaman dan kebebasan pilihan dan mengakui keterbatasan ukuran kuantitatif. Untuk itu, ukuran siapa yang bahagia itu tidak harus memenuhi kecukupan dalam 9 domain, tapi cukup 6 dari 9 domain, atau 66% dari indikator yang telah ditetapkan. Ini mengisyaratkan keragaman dalam jalan yang berbeda-beda. Pertama, tidak semua indikator relevan untuk setiap orang. Kerusakan satwa (kehidupan) liar untuk dijadikan lahan pertanian atau tanaman lain mungkin tidak relevan untuk penduduk kota. Kedua, setiap orang mungkin tidak perlu mencapai kecukupan 100% dari semua indikator untuk menjadi bahagia, mereka dapat fokus pada beberapa area saja, tergantung pada nilai-nilai mereka sendiri dan keterampilan. Ketiga, jika orang telah memiliki inti dari pencapaian, mereka mungkin dapat mengompensasi secara internal untuk defisit lainnya. Seseorang tanpa pendidikan atau listrik dapat menemukan rute lain untuk GNH.
Langkah kedua, melakukan agregasi terhadap data populasi ke dalam sebuah ukuran yang terperinci yang sensitif terhadap kedalaman dan keluasan dari capaian. Indeks GNH didesain untuk memberikan insentif kebijakan 1) meningkatkan kebahagiaan dan 2) meningkatkan tingkat kecukupan yang dinikmati warga yang belum bahagia. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah (melalui The Centre for Bhutan Studies) menghitung indeks GNH dengan melihat kekurangan-kekurangan GNH.
Secara sederhana, rumus indeks GNH adalah GNH=1-HA. H adalah warga dan direpresentasikan dengan persentase warga yang tidak menikmati kecukupan dari 6 domain atau lebih. Sedangkan A adalah proporsi rata-rata domain warga yang belum berbahagia yang tidak berkecukupan. Ini memperlihatkan keluasan dari kekurangan. Agar pengukuran bisa komprehensif dan memberi masukan pada kebijakan apa dan dimana akan dilakukan, maka perlu dibandingkan GNH satu kabupaten dengan kabupaten lain. Juga perlu diukur GNH lintas waktu, agar diketahui apakah menurun atau naik.
Dari waktu ke waktu, GNH di Bhutan telah mengalami berbagai perbaikan dalam metodologinya. Bahkan pada tahun 2007 telah dilakukan survey pertama secara nasional dengan menggunakan variabel-variabel yang telah disempurnakan dan kuisoner yang telah diperbaiki. Dalam survey ini, setiap enumerator membutuhkan sekitar 5-6 jam untuk menyelesaikan kuesionernya. Pada tahun 2010 juga dilakukan survey secara nasional dan kali ini waktu yang dibutuhkan oleh enumerator lebih sedikit, hanya sekitar 3 jam untuk menyelesaikan kuesioner. Perbaikan dari tahun ke tahun ini akan menjadikan GNH semakin mudah dioperasionalkan dan direplikasi,serta secara teknis menjadi solid.
Prakarsa Bhutan tentang GNH yang telah berumur empat puluh tahun itu, sekarang menjadi pandangan baru poly negara. GNH telah menjadi sebuah perangkat bagi pemerintah buat melakukan sebuah tindakan atau kebijakan agar kualitas hidup dan kebahagiaan warganya semakin tinggi. Awalnya memang banyak pihak yang nir peduli dengan gagasan ini bahkan menganggapnya nir mampu sebagai ukuran. Tapi pada sepuluh tahun terakhir, berbagai pimpinan negara Barat, seperti Inggris, Perancis, Jerman, dan praktisi bisnis di Amerika mulai membicarakannya. Mereka mulai menyadari perlunya instrumen dan tolok ukur lain bagi sebuah kesejahteraan atau kemajuan.
Memang jika diukur menurut ekonomi mainstream, Bhutan dimasukkan sebagai negara yang relatif miskin, atau negara berkembang yang basis ekonominya disandarkan pada hasil hutan, hewan ternak, pertanian subsisten, hasil bumi dan turisme. Tapi, menurut Happy Planet Index, Bhutan masuk dalam 20 negara yang berbahagia pada tahun 2006-2009. Walaupun begitu, ada hal yang mengkhawatirkan yang perlu dicermati, karena setelah televisi dibiarkan masuk, peringkat Bhutan menjadi turun, bahkan di tahun 2009 kalah dengan Indonesia. Kehadiran televisi dianggap telah memicu meningkatnya konsumsi warga Bhutan sehingga indikator-indikator di berbagai domain menurun.
Belajar dari apa yang dilakukan Bhutan, untuk menjadi negara yang warganya berbahagia, perlu keseimbangan di berbagai sisi kehidupan. Negara yang dikatakan maju dengan konsumsi yang tinggi tidak menjamin warga negaranya akan bahagia. Dengan demikian, sudah selayaknya pencapaian dan fokus pada kualitas hidup serta pencarian kebahagiaan lebih diutamakan dari kepemilikian materi, konsumsi dan produksi.
(Arie Ujianto)