Tampilkan postingan dengan label Jalan-jalan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jalan-jalan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 Agustus 2020

[Jalan-jalan] Oleh-oleh dari Thailand



Pada akhir November hingga Desember 2002 yg lalu dua orang aktivis KaIL, Intan Darmawati dan Patricia Siswandi, mendapat kesempatan buat berkunjung & mengamati contoh-contoh & metode-metode pembinaan pada beberapa sentra pelatihan di Thailand. Yang terkait dengan berita lingkungan hidup, kami mengunjungi Pusat Pelatihan yang dipimpin sang Chirapol Sintunawa di Bangkok. Sayang sekali saat itu kami tidak sempat bertemu eksklusif dengan Mr Chirapol. Namun, menggunakan didampingi 2 orang rekan Mr Chirapol, KaIL diperbolehkan buat terlibat pada holistik proses training tadi.


Secara garis akbar, ada beberapa persamaan metode pembinaan yang dipakai dalam pelatihan lingkungan hayati ini, dengan metode pembinaan yg selama ini dipergunakan di Indonesia. Sebuah metode training yg memadukan antara simulasi permainan, diskusi kelompok, dan pemutaran film, buat memunculkan adanya proses kesadaran sinkron menggunakan tema terkait.


Tetapi demikian ada beberapa metode yg baru bagi aku , dan ini merupakan metode yang berdasarkan saya cukuplah efektif buat menunjang timbulnya proses kesadaran para peserta. Beberapa metode baru yg menarik tersebut diantaranya:


1. Metode point.
Di awal proses training ini, setiap peserta dibagi pada gerombolan -kelompok. Setiap kelompok menerima point yang sama akbar dengan kelompok lain. Kelompok akan memperoleh penambahan point, ketika gerombolan sanggup menyelesaikan tugas-tugas pada setiap simulasi dengan baik & sempurna waktu. Sementara itu, grup juga akan memperoleh pengurangan point, ketika gerombolan nir mampu merampungkan tugas serta nir memiliki kepekaan akan kondisi lingkungan kurang lebih.


Kepekaan terhadap kondisi sekitar tadi, umumnya diuji dengan adanya lampu yang menyala pada siang hari bolong, air yg nir terpakai namun dibiarkan mengucur, dan poly hal lagi yang berkaitan dengan pemborosan energi.


Setiap grup akan saling berkompetisi buat mengumpulkan point sebesar-banyaknya, karena tentu saja disediakan bantuan gratis bagi kelompok yang terbaik, yg akan diberikan pada penutupan proses pembinaan.


Dua. Permainan.
Permainan-permainan yang diubahsuaikan dengan tema, sangat mempercepat proses penyadaran dalam peserta. Seperti permainan mendistribusikan air. Dalam permainan ini, peserta dihadapkan pada peta yg terdiri menurut 5 daerah besar . Tugas peserta adalah mendistribusikan air pada galon secara merata pada kelima wilayah tersebut. Pendistribusian ini sebagai begitu sulit lantaran peserta diharuskan memakai alat yg tersedia.


Itulah sekilas pengalaman yg kami rasakan ketika berkesempatan mengunjungi, mengamati, dan terlibat pada proses pembinaan lingkungan hayati. Satu hal yg sangat berkesan bagi kami, materi tidak hanya disampaikan dalam proses tatap muka, tapi pada keseluruhan proses pembinaan selalu diwarnai dengan kaitan dalam tema. Penghematan air misalkan, pembinaan ini tidak memberi kesempatan mandi sore hari, namun tengah malam begitu acara selesai. Dasar pemikirannya merupakan tengah malam orang sudah tidak beraktivitas lagi. Sehingga mandi malam sahih-benar berfungsi buat kesegaran & kebersihan semua badan.
(Patricia Siswandi)





HEADLINE TV (hdtv.co.id) terus berupaya meningkatkan wawasan dan pengetahuan para pemirsa dan juga menjadi media yang memiliki kredibilitas, kecepatan dan ketepatan dalam menyampaikan informasi di Kalimantan


hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv

Jumat, 07 Agustus 2020

[JALAN-JALAN] Pendidikan Pemilih untuk Perempuan

Menjelang Pemilu 2004 yg lalu, seorang staff Kail, Intan Darmawati, berkesempatan menjadi fasilitator training buat pemilih wanita pada Makassar, Manado & Tahuna. Berikut ini cerita lengkapnya.

Menjelang pemilu 2004 yang lalu, aku berkesempatan bergabung dalam tim kerja Panitia Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan, menjadi koordinator fasilitator. Program ini merupakan kerjasama JMP-KWI dan Bipelwan PGI, yang dilakukan dalam empat termin, pada 23 kota dan 1090 lokasi pada semua Indonesia.


Pelatihan diawali dengan TOT (pelatihan buat para calon fasilitator) yg diadakan pada tiga kota, yaitu Jakarta, Makassar dan Denpasar. Ketiga pembinaan ini melibatkan kurang lebih 150 peserta menurut berbagai wilayah di Indonesia. Para peserta inilah yang akan sebagai fasilitator lokal & panitia lokal dan sosialisator dalam training-pembinaan tahap selanjutnya.


Saya sendiri berkesempatan buat memfasilitasi di Makassar, pada mana para pesertanya berasal menurut daerah Sulawesi, Kalimantan Timur, Maluku & Maluku Utara, serta Papua. Hanya terdapat satu orang peserta laki-laki di antara 49 orang peserta perempuan berdasarkan banyak sekali usia dan latar belakang. Keberagaman ini benar-benar memperkaya dinamika proses training, terutama saat penggalian & pemetaan masalah dan kebutuhan. Perbedaan wawasan & kepekaan akan dilema gender untungnya bisa dijembatani melalui sesi ini, sebagai akibatnya peta pertarungan yang timbul sungguh mampu sebagai bahan yang signifikan & membantu pada sesi selanjutnya, yaitu saat mereka menyusun kriteria buat partai politik & calon legislatif; serta dibutuhkan dapat menjadi tawaran rencana untuk mereka perjuangkan.


Walaupun perkara yg timbul terdapat yg tidak sama, akan tetapi terdapat beberapa perkara, terutama yg menyangkut kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan , secara spesifik timbul dan menjadi keprihatinan utama pada masing-masing wilayah. Masalah-masalah pada satu wilayah ternyata juga punya kaitan dengan daerah lainnya. Misalnya kasus HIV/AIDS & prostitusi di Papua, nir terlepas menurut pertarungan pada Minahasa. Keprihatinan bersama ini dalam gilirannya menggugah pencerahan dan kebutuhan akan pentingnya solidaritas & terbentuknya jaringan kerjasama para perempuan , serta terbangunnya komunitas basis wanita.


Selain pada Makassar, aku pula memfasilitasi proses pembinaan pada Manado dan Tahuna. Saya merasa pelatihan ini disambut dengan antusias sang para peserta pada ketiga kota yg aku terlibat langsung tadi. Demikian pula menggunakan yang dialami kawan-mitra fasilitator kawan pada 20 kota lainnya. Jadwal dan materi yg padat tidak mengendorkan semangat atau membuat mereka menyerah. Mereka permanen semangat hingga akhir sesi, dengan keinginan yg bertenaga buat bisa mensosialisasikan balik apa yg mereka peroleh ke komunitas mereka masing-masing. Memang sepulang berdasarkan pembinaan ini setiap peserta bertanggungjawab untuk mensosialisasikan materi pembinaan ini ke minimal 60 orang.
Di Tahuna, sebuah kota pada Kepulauan Sangihe, para perempuan yg hampir semuanya merupakan bunda-mak , antusiasmenya tidak kalah dengan mereka yg terdapat di Manado dan Makassar. Walaupun dalam awalnya poly yg masih takut buat berbicara, akan tetapi mulai sesi pemetaan kasus, mereka mulai berani bicara dan mengemukakan pendapat.


Untuk mengklaim berlangsungnya proses yang sungguh-benar-benar partisipatif dan dari perspektif peserta, metodologi training sebagai sangat penting. Alur pembinaan dibuat dengan mulai berdasarkan peta perkara dan kebutuhan lokal (dan wanita); kemudian dikaitkan dengan signifikansinya dengan Pemilu. Kemudian dilanjutkan menggunakan sesi mengenai Pemilu 2004 itu sendiri dan Kepentingan Perempuan di dalamnya. Setelah itu mereka merefleksikannya dari pertimbangan etis politis. Dari seluruh itu, mereka memperoleh bekal untuk menciptakan kriteria ideal partai politik (parpol) dan calon legislatif (caleg). Berdasarkan kriteria inilah mereka kemudia bersama-sama belajar menganalisis parpol dan caleg; sehingga mereka bisa menentukan pilihannya secara bebas & kritis. Tentunya, peluang & tantangan ini kemudian ditindaklanjuti menggunakan menciptakan taktik jangka pendek juga jangka panjang.


Pendidikan Pemilih ini dalam jangka panjang bertujuan mempersiapkan perempuan pada pendidikan politik. Pelatihan yang merogoh tema "Suara Perempuan buat Perubahan" ini memang ingin konsisten dengan tujuannya, yaitu memberdayakan suara perempuan buat menciptakan perubahan (transformasi sosial) menuju demokratisasi.


Secara keseluruhan, training ini boleh dikatakan berhasil, walaupun pada sana-sini terdapat keterbatasan dan kelemahannya. Apalagi respon yang hangat dan penuh semangat dari para peserta, terutama yang di daerah-wilayah, telah menjadi pemacu semangat juga bagi para fasilitator yg telah menempuh perjalanan jauh. Semoga saja pendidikan dan penyadaran misalnya ini tidak berhenti sebatas program apalagi hanya sebuah proyek saja!


(Intan)




HEADLINE TV (hdtv.co.id) terus berupaya meningkatkan wawasan dan pengetahuan para pemirsa dan juga menjadi media yang memiliki kredibilitas, kecepatan dan ketepatan dalam menyampaikan informasi di Kalimantan


hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv

Senin, 03 Agustus 2020

[JALAN-JALAN] “Suara Perempuan Untuk Perubahan”: Pendidikan Pemilih Perempuan 2004

Pelatihan Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan 2004, yang diselenggarakan oleh Sekretariat JMP-KWI dan bipelwan PGI di 23 kota di Indonesia Februari-Maret 2004 yang lalu, mengambil tema “Suara Perempuan untuk Perubahan”. Sesuai dengan tujuan pelatihan, yaitu memberdayakan suara perempuan untuk membuat perubahan (transformasi sosial) menuju demokratisasi. Oleh karena itu, modul dan silabuspun dibuat konsisten dengan pilihan metode dan alur proses yang dibuat separtisipatif mungkin, dan mampu memberdayakan suara perempuan, melalui dan menuju demokratisasi.

Metode yang digunakan selalu dimulai dengan penggalian informasi dari para partisipan, dan membuat partisipan terlibat aktif. Proses dimulai dengan introduksi tentang latar belakang, tujuan dan garis besar alur proses pelatihan; kemudian perkenalan serta penggalian harapan dan motivasi. Pada sesi ini diharapkan terjadi keterbukaan; semangat berbagi dan bekerjasama antar partisipan, panitia dan fasilitator. Selain itu juga digali motivasi dan harapan ikut pelatihan serta apa yang bisa menjadi kontribusi masing-masing peran selama dan setelah pelatihan ini.


Dalam suatu pelatihan yang partisipatif, situasi yang kondusif perlu dibangun. Lewat sesi sebelumnya pengkondisian sudah dimulai, dan dilanjutkan dengan dibuatnya kesepakatan bersama yang akan berlaku selama proses supaya dapat berjalan lancar dan berhasil memenuhi harapan semua pihak. Jadwal dan aturan main selama pelatihan disusun bersama, sehingga masing-masing terlibat dan bertanggungjawab terhadap keberhasilan proses. Ini adalah salah satu ciri pendidikan orang dewasa.


Setelah suasana mulai cair, masuk sesi pemetaan masalah dan kebutuhan lokal, masing-masing partisipan diajak untuk kritis serta peka dalam memahami masalah (sosial-politik) juga kebutuhan lokal baik secara makro maupun yang spesifik perempuan di masing-masing level kebutuhan. Curah pendapat dan sharing serta proses analisis ini kemudian dikelompokkan dan dipetakan sesuai kategori, dengan tetap memperhatikan keunikan masing-masing wilayah. Dari peta ini partisipan mencoba melihat keterkaitannya dengan Pemilu serta proses demokrasi secara umum.


Kaitan antara peta masalah dan kebutuhan lokal dengan pemilu ini mengarah pada kebutuhan untuk memahami Pemilu 2004 secara khusus. Pada sesi ini diharapkan terbangun pemahaman dan kesadaran pentingnya proses demokratisasi dan transformasi sosial bagi seluruh masyarakat, dan kaitannya dengan Pemilu. Pada sesi ini, diberikan tambahan informasi dari nara sumber yang berkaitan dengan Pemilu 2004, yaitu dari KPU dan Panwaslu. Pada sesi pemahaman tentang sistem Pemilu, khususnya teknis pencoblosan, partisipan mendapat pengalaman langsung dengan simulasi.


Kemudian masuk tahap kesadaran kritis dan pemahaman akan pentingnya partisipasi aktif perempuan dalam proses demokrasi dan transformasi sosial-politik; makna suara dan keterwakilan perempuan; serta apa peluang, tantangan, hambatan serta implikasi sistem Pemilu 2004 bagi perempuan.


Dari sini proses bergulir pada kesadaran dan pemahaman akan pentingnya etika politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada sesi ini partisipan mencoba melihat etika politik yang menjadi landasan dalam memilih.


Berdasar pada proses dalam sesi-sesi sebelumnya, partisipan bersama-sama mendiskusikan dan menyusun kriteria-kriteria parpol dan caleg yang dapat dijadikan tolak ukur untuk menentukan pilihan secara bebas dan kritis dalam Pemilu 2004. Kriteria yang ditetapkan sesuai dengan situasi, permasalahan dan kebutuhan lokal masing-masing. Dari kriteria ini mereka membuat analisis parpol dan caleg berdasarkan informasi yang ada.


Hasil analisis menunjukkan adanya kesenjangan antara kondisi riil perpolitikan dengan kriteria ideal yang mereka buat dan dengan prinsip-prinsip etika politk yang diinginkan bersama. Karena itu, disusun strategi tindak lanjut dalam jangka panjang dan pendek untuk mensikapi kesenjangan tersebut. Pada sesi ini diharapkan dibuatnya kontrak politik, terbangunnya simpul-simpul jaringan perempuan dan komunitas basis perempuan yang dapat berfungsi sebagai “perlawanan” dan menjalankan fungsi pengawasan-kontrol.


Sebagai strategi jangka pendek, dipilih program sosialisasi. Karena itu para partisipan belajar bersama teknik memfasilitasi dan pengenalan metode pelatihan.


Keseluruhan acara ditutup dengan evaluasi bersama, yang diharapkan dapat memberikan umpan balik dan masukan bagi perbaikan proses pelatihan selanjutnya. Evaluasi menjadi penting artinya bagi sebuah proses belajar bersama, di mana fasilitator dan partisipan dengan rendah hati mau menerima masukan serta kritik yang membangun; dalam suasana yang terbuka dan setara. Dari hasil evaluasi partisipan di 23 kota, hampir semua partisipan merasa bahwa proses pelatihan dan metode yang digunakan sangat partisipatif dan membantu untuk berproses bersama. Di beberapa kota, berubahnya jadwal nara sumber menyebabkan alur proses menjadi terganggu. Alur menjadi tidak runut/sistematis lagi, apalagi kalau penjelasan dari nara sumber tidak sesuai dengan tujuan/sasaran dari sesi.


Sebagai fasilitator yang menyusun modul, dan memfasilitasi pelaksanaan pelatihan, kita diharapkan memiliki kreativitas dan fleksibilitas yang tinggi, terutama ketika menghadapi situasi yang di luar perencanaan kita. Baik itu berkaitan dengan nara sumber ataupun dengan dinamika partisipan.
(intan)
































Rabu, 29 Juli 2020

[Jalan-jalan] Cerita dari Bali

Pertengahan desember 2004 lalu aku beserta 5 orang tim fasilitator KaIL mendapat kesempatan terlibat dan memfasilitasi aktivitas Pertemuan Nasional (PeNas) Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) yg diselenggarakan pada loka keliru satu anggotanya di Bali. Lokasinya di daerah wisata Pantai Sanur, sekitar 200 meter berdasarkan tepian pantai, cukup beberapa mnt saja ketika yg dibutuhkan buat mencapainya.

Tema yang diangkat dalam rendezvous nasional kali ini adalah Peran Pendidikan Lingkungan Hidup Dalam Realitas Kemiskinan & Pertarunga Gender. Peserta yg hadir merupakan utusan menurut sekitar 40 anggota JPL yg diseleksi menurut semua anggota yg ada di seluruh Indonesia, baik atas nama lembaga ataupun perorangan. Selain itu ada poly juga undangan dalam acara ini, yang memiliki latar belakang aktivitas sinkron menggunakan tema besar yang pada angkat pada PeNas.


Acara berlangsung di tengah ekspresi dominan hujan yang kerap turun cukup deras pada sela-sela aktivitas. Namun tetap saja saya & beberapa fasilitator dari Bandung masih merasa kegerahan karena kami memang terbiasa menggunakan udara Bandung, walaupun belakangan ini suhu Bandung lebih panas menurut umumnya.


Tuan rumah yg cekatan
PPLH Bali (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Bali), itulah nama lembaga yg dianggap menjadi tuan rumah hajatan nasional JPL kali ini. Walau hanya menggunakan jumlah staff tidak lebih dari 10 orang tetapi tuan rumah ternyata punya relatif poly relawan yang membantu hajatan ini, sehingga mereka nampak tidak mengalami kesulitan pada mengorganisasi semua kegiatan.


Selain itu penyelenggara acara ini terlihat sangat cekatan menangani segala macam urusan peserta, apalagi jika terkait akomodasi dan pelayanan bagi peserta. Ini tentunya lantaran tempat program berlangsung ini sehari-harinya merupakan hotel & penginapan yang dikelola oleh PPLH Bali, tidak heran apabila tuan tempat tinggal terlihat profesional dalam urusan akomodasi peserta ini. Walaupun jika ditinjau menurut namanya, hotel milik PPLH Bali yg diberi nama Hotel Santai, bukan berarti mereka memang kalem-kalem dalam mengelola acara ini.


Seminar pada tengah daerah mangrove
Hari pertama rangkaian kegiatan PeNas ini dimulai dengan seminar sehari yg diselenggarakan di Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Centre) JICA Bali. Kompleks Pusat Informasi Mangrove ini berdiri cukup megah pada tengah-tengah tempat hijau hutan mangrove yang rimbun & terjaga. Kawasan yg sebagai loka penelitian dan pusat warta mangrove ini tentunya juga memiliki fungsi primer menjadi sabuk penyangga pesisir pantai berdasarkan abrasi air laut. Selain itu tempat hutan mangrove ini sebagai loka hidup beberapa jenis burung laut.


Memang jeda dari penginapan ke lokasi itu relatif jauh bahkan wajib memakai bis untuk mengangkut peserta sebanyak itu. Tetapi tuan tempat tinggal berhasil memberdayakan banyak potensi di Bali buat terlibat dan membantu terselenggaranya acara ini. Seperti halnya Pusat Informasi Mangrove JICA yg berdasarkan panitia sengaja dipinjamkan pada PPLH Bali untuk seminar, bis yang mengangkut semua peserta dari hotel menuju lokasi seminar pun adalah pinjaman berdasarkan Kantor Kementrian Lingkungan Hidup Bali. Jadi sekali lagi ini menerangkan bahwa panitia tidaklah kalem-kalem misalnya nama resmi hotelnya yg terpampang besar di depan page hotel. Lantaran tentunya seluruh bantuan itu diperoleh menggunakan proses lobby yg tidak mudah. Yang tidak kalah menariknya merupakan beberapa pembicara dalam seminar itu sengaja datang berdasarkan aneka macam wilayah pada luar Bali misalnya Jawa dan Sulawesi, yg spesifik datang buat membantu suksesnya hajatan ini, luar biasa.


Seminar ini adalah awal rangkaian kegiatan Pertemuan Nasional yang mengupas berita kemiskinan & kaitannya dengan permasalahan lingkungan dan gender yg menjadi tema besar rendezvous JPL. Isu dalam tema besar ini dikupas dengan cukup menarik oleh 5 orang pembicara yang hadir, bahkan respon peserta terlihat sangat antusias. Lantaran info yang diangkat merupakan info yang relatif terkenal yang belum sepenuhnya digeluti oleh anggota JPL. Tidak heran apabila cukup banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta dalam seminar ini buat memuaskan rasa penasaran mereka.


Dalam sesi terakhir peserta dibagi dalam beberapa kelompok mini buat menggali & merumuskan definisi kemiskinan menurut pengalamannya masing-masing. Dari proses ini tergali cukup banyak & majemuk rumusan definisi kemiskinan. Tentunya seluruh itu asal berdasarkan pengalaman masing-masing peserta di lapangan.


Misalnya dari pendamping masyarakat petani, kemiskinan bagi warga petani merupakan saat para petani nir lagi mempunyai tanah buat pertanian & mereka hanya menjadi buruh tani saja tanpa mempunyai tanah, dan banyak definisi lain yang muncul dari beberapa peserta yg terlibat dalam penggalian definisi itu dari bidang kegiatannya masing-masing. Seluruh rumusan mengenai definisi kemiskinan ini menjadi modal awal lokakarya yg dilaksanakan dalam hari-hari berikutnya.


Sore hari seusai seminar semua peserta mendapat kesempatan buat melihat-lihat tempat mangrove pada kurang lebih kompleks itu, sebelum lalu balik ke hotel tempat acara berikutnya dilangsungkan.


Metode Cara Berpikir Sistem dan Tantangannya.
Proses lokakarya yg dilakukan dalam 3 hari selanjutnya sebagai bagian yg sangat krusial bagi KaIL karena tim ini terlibat penuh dalam fasilitasi proses untuk mencapai sasaran yang optimal, di mana diharapkan berdasarkan lokakarya ini didapatkan tema-tema pendidikan lingkungan yang terkait menggunakan realitas kemiskinan & ketimpangan gender.


Metode buat membawakan materi pada proses lokakarya ini sebenarnya biasa dibawakan dalam kegiatan pembinaan rutin KaIL, yaitu memakai Metode Cara Berpikir Sistem buat Menganalisa Permasalahan Sosial, Lingkungan & Gender. Tetapi kegiatan kali ini sebagai jauh lebih menantang lantaran baru pertama kalinya bagi KaIL memfasilitasi aktivitas dengan metode cara berpikir sistem ini menggunakan jumlah peserta lebih dari 35 orang menggunakan usia dan ciri peserta yg beragam, walaupun bidang garapnya sama yaitu pendidikan lingkungan.


Metode yg digunakan ini memang bukanlah metode yang ringan lantaran menuntut banyak kesabaran dan ketekunan bahkan menuntut kita buat berpikir dengan alur logika yg terstruktur yang dituangkan dalam peta permasalahan.


Selain itu metode cara berpikir sistem semacam ini masih sporadis diketahui apalagi diterapkan oleh banyak kalangan termasuk oleh organisasi asal peserta lokakarya. Tetapi demikian peserta nampak sangat antusias mengikuti rangkaian proses ini. Walau terlihat wajah-wajah yg kelelahan namun mereka tetap tekun dan tabah menggeluti proses ini. Tentunya mereka sadar supaya hasil yg diperoleh pada hajatan tiga tahunan ini sanggup berguna optimal & output kerja mereka nir manjadi percuma.


Salah satu tantangan berat lainnya bagi KaIL merupakan menyampaikan berita gender pada peserta yg kebanyakan masih asing dengan kata ?Gender?, baik berdasarkan bahasanya juga menurut substansinya. Sepertinya bagi kebanyakan peserta yang hadir kata gender itu dipahami sebagai perempuan & permasalahannya.


Untuk memberikan pemahaman dan esensi istilah gender itu memang cukup memakan saat. Apalagi apabila peserta yg dihadapi itu berdasarkan awal cenderung enggan memahas isu ini. Keengganan ini menyebabkan kiprah gender hanya sedikit terangkat dan sedikit mempengaruhi setiap peta konflik yang dibentuk peserta. Memang masih menjadi tantangan berat bagi banyak kalangan buat mangangkat & memberikan pemahaman gender pada tengah kultur rakyat kita yg masih seperti sekarang.


Hasil Yang Tidak Sia-Sia.
Secara holistik proses 3 hari lokakarya ini memang tidaklah sia-sia. Melalui kesabaran, saling mengembangkan pengalaman antar peserta serta ketekunan menggeluti sesi demi sesi, akhirnya peserta bisa menuntaskan seluruh tugasnya & tentunya sasaran yg direncanakan dan diperlukan pun mampu tercapai. Terlepas menurut itu seluruh, poly kesan & pengalaman baru yang saya peroleh selama terlibat pada keseluruhan proses Pertemuan Nasional JPL. Tentunya karena dalam tim fasilitator KaIL ini saya menjadi salah satu fasilitator junior yang masih perlu poly menambah pengalaman dan jam terbang melalui aktivitas semacam ini.


Perasaan bahagia bukan hanya dirasakan sang peserta namun tentunya juga dirasakan oleh tim fasilitator KaIL. Bayangkan, selama tiga hari menguras tenaga dan pikiran bahkan saat tidurpun selalu lewat tengah malam karena padatnya materi yg disampaikan setiap harinya.
Untuk mengobati rasa lelah selesainya menyelesaikan sesi demi sesi aktivitas, jalan-jalan pada tepi pantai atau sekedar berendam di kolam renang hotel menjadi pilihan yg di gemari kebanyakan peserta. Pilihan jalan-jalan pada pantai pun tentunya berlaku pula bagi aku dan tim fasilitator KaIL, lumayan sekedar melepaskan rasa penat seharian di ruang lokakarya.


Terakhir menurut Bali
Alokasi saat selama 3 hari itu memang cukup padat sebagai akibatnya nir terdapat kesempatan bagi kami buat sengaja jalan-jalan pada pulau wisata ini, apalagi untuk belanja dan mencari sang-sang khas Bali. Tapi terdapat satu hal menarik yg sempat aku perhatikan selama pada sana, selain tempat mangrove yg terpelihara kelestariannya, di setiap daerah yang sempat aku perhatikan juga pada hampir setiap page rumah, begitu banyak pepohonan akbar dan kondisinya terjaga. Serta begitu poly juga daerah-daerah yg hijau menggunakan ditumbuhi majemuk tanaman dan tegakan pohon mulai dari yang kecil sampai yg akbar dan berusia tua.


Ini mengindikasikan bahwa rakyat Bali begitu menghargai nilai-nilai kelestarian alam sekitarnya, dan kabarnya bukan hanya pada pohon saja mereka memberikan penghargaan, tapi juga dalam fauna yg terdapat pada sana. Sungguh luar biasa, satu perilaku yg perlu kita model bila kita memang menghargai alam ini.


(Dedy Supriatna)



































































Senin, 27 Juli 2020

[Jalan-jalan] Dari Puing-Puing Aceh…

Pada tanggal 20-22 Februari 2005 tim KaIL berkesempatan untuk mengunjungi Aceh bersama-sama dengan rombongan para petani dan nelayan dari berbagai negara. Kunjungan ini merupakan bagian dari rangkaian acara “Konferensi Regional Untuk Membangun Kembali Kehidupan Para Petani dan Nelayan Paska Bencana Tsunami dan Gempa Bumi”, yang diselenggarakan oleh Via Campesina di Medan pada tanggal 17-19 Februari 2005.

Sebagai penerjemah dan notulen untuk acara tersebut, tim KaIL menemani rombongan peserta ‘field trip’ ke Aceh. Kami berangkat ke Aceh menggunakan pesawat dari Medan ke Banda Aceh.

Turun di Bandara Aceh, suasana ngeri yang semula saya bayangkan tidak terjadi. Bandara masih utuh dan berfungsi baik, hanya memang terik matahari begitu menyengat – menyambut rombongan yang datang. Begitu menginjakkan kaki keluar dari pintu, kami di”serbu” para pedagang souvenir: dari penjual duplikat Rencong Aceh mini bertuliskan “Rencong Aceh Tsunami” sampai berbagai kaos bertema “Tsunami”. Pokoknya, Tsunami telah menjadi tema yang seksi dan komersial. Di bandara juga nampak rombongan para relawan dengan seragam kebesaran mereka yang bertuliskan nama kelompok mereka, baik relawan dalam negeri maupun luar negeri.

Keluar dari bandara, kami mengendarai mobil menuju sekretariat mitra FSPI di Banda Aceh. Di tengah jalan, kami bertemu dengan rombongan Menteri Pertanian yang sedang melakukan Panen Pertama di Aceh Paska Tsunami. Rombongan kami pun turun dan ikut berbincang dengan rombongan menteri (sehari sebelumnya beliau menjadi nara sumber dalam Konferensi kami), dan bahkan beberapa petani dari Italia, Srilanka dan Jepang ikut memanen padi .


Setelah berbincang-bincang, kami melanjutkan perjalanan. Di rumah relawan mitra, kami disambut dengan ramah. Hidangan khas Aceh telah disediakan. Setelah menikmati nikmatnya panganan Aceh, kami membagi rombongan menjadi dua: rombongan pertama ke Ulele dan rombongan lainnya ke sekitar Banda Aceh. Kami melihat bagaimana ganasnya Tsunami. Di mana-mana hanya puing-puing yang kami temui. Semuanya rata… Bau anyir dan busuk pun masih melekat di udara yang bertebar. Keprihatinan dan kenyerian hati tidak dapat dihindari. Terbayang bagaimana sebelumnya ada begitu banyak jiwa dan kehidupan yang ada di tempat itu. Dan semuanya hilang…


Situasi yang tidak jauh berbeda kami temui juga di tempat-tempat kejadian lainnya, di bagian Aceh lainnya. Keindahan alam yang mungkin akan sangat dapat dinikmati kalau tidak terjadi bencana, begitu nyata terlihat. Sapuan warna jingga di langit menyatu bersama puing kapal besar bermuatan batu bara yang terdampar beratus meter dari garis pantai membuat kita bertanya-tanya dan berefleksi: sebegitu dasyatnya alam ini. Alam telah membuktikan kekuatannya sekaligus keindahannya, dasyatnya kehancuran yang menjadi resikonya – dibalik dasyatnya kesuburan dan kenikmatan yang diberikannya untuk manusia dalam keadaan “normal”.


Melihat dan berbicara dengan para relawan yang bertugas memberi bantuan bagi para korban, kita kembali diingatkan akan sisi baik manusia. Bersyukur bahwa nurani dan rasa kemanusiaan tidak pernah bisa dikalahkan. Solidaritas dan aksi konkret telah ditunjukkan, tidak pandang etnis, bangsa, agama, suku, usia, jenis kelamin dan segala macam aliran politik.
Demikian juga dengan semangat hidup dan semangat untuk membangun kembali kehidupan, terlihat dalam diri para korban. Mereka tidak putus asa dan pasrah saja. Bahkan di beberapa komunitas nelayan, mereka bahu membahu membangun kembali rumah-rumah mereka dengan bahan yang ada. Walaupun memang di kamp-kamp pengungsi, kami dikagetkan dengan banyaknya anak-anak dan orang tua yang menjadi “pengemis dadakan”, tapi harapan akan kehidupan baru tidak sirna.


Di tengah-tengah ratapan para korban ini, adu senjata antara GAM dan TNI ternyata masih juga berlanjut. Sebagian rombongan kami terpaksa tertunda perjalanannya ketika akan kembali ke Medan, karena terjadi baku tembak. Rupanya perebutan kuasa, militerisasi dan ambisi untuk berperang tidak pernah kenal waktu.


Tapi, dari cerita dan tindakan beberapa korban yang bangkit untuk membangun kembali kehidupan mereka, nampak nyata bahwa harapan akan kehidupan baru tidak pernah sirna. Masyarakat Aceh telah tertempa menjadi manusia yang tangguh menghadapi persoalan. Trauma dan kengerian tidak membuat mereka berhenti hidup. Mereka hanya menginginkan hidup mereka dibangun kembali, sesuai dengan kebutuhan, harapan dan konteks mereka. Tidak lagi didikte dari luar, tidak justru diperlemah karena adanya bantuan dari luar. Seperti misalnya harapan petani Aceh: kalau mau membantu, belilah beras dari Aceh atau daerah Sumatra Utara. Karena beras kami cukup untuk memberi makan masyarakat Aceh. Jangan beri kami beras Thailand atau Jepang atau beras manapun. Kembalikan kedaulatan pangan pada kami!
(ID)






















Jumat, 24 Juli 2020

[Jalan-jalan] Bina Sarana Bakti

Kalau kita sempat ke Cisarua, tepatnya sebelum Puncak dari arah Jakarta, mampirlah ke Bina Sarana Bakti. Bina Sarana Bakti (BSB) merupakan sebuah Yayasan yg semenjak didirikan konsisten membuatkan sikap hidup organis. Sesuai menggunakan namanya: Bina berarti menciptakan, membimbing, memelihara; saranan berarti media atau alat; dan bakti yang berarti pelayanan, BSB ingin membantu setiap orang buat membangun perilaku hayati organis.

Yayasan ini berdiri lebih kurang 20 tahun yang lalu dan memulai karyanya di bidang pertanian organis.

Pertanian organis ini menerapkan prinsip-prinsip selaras alam pada dalam praktek pertaniannya. Di lahan yang cukup luas, mereka menciptakan sebuah model pertanian organis. Dari model tadi mereka menunjukan bahwa produktivitas tanah yg dikelola menggunakan cara organis nir kalah dengan yang dikelola dengan bahan-bahan kimia. Bahkan, dari praktek tersebut mereka menerangkan bahwa produktivitas tanah mereka makin usang makin baik. Pada tahun-tahun awal, asupan bahan organis yg dimasukkan memang akbar, tetapi kebutuhannya akan terus menurun menggunakan meningkatnya kualitas tanah yg dikelola secara organis.

Sebaliknya dengan pertanian kimia, lahan-lahan yg memakai cara bertani menggunakan bahan kimia terus menampakan penurunan produktivitas berdasarkan tahun ke tahun. Pupuk kimia & pestisida yang diharapkan buat setiap luasan lahan semakin besar menurut tahun ke tahun. Ini menyulitkan petani yg dalam saat yang sama harus mengeluarkan biaya tambahan buat kenaikan harga pupuk & pestisida menggunakan berkurangnya subsidi yg diberikan pemerintah buat sektor pertanian.


Inilah salah satu yg menjadi kepedulian BSB. Di samping membuat contoh pertanian organis, BSB pula menyediakan layanan training bagi mereka-mereka yang ingin menyebarkan pertanian organis. Siapa saja, yang tertarik buat sebagai petani organis dapat datang ke BSB untuk belajar. Waktu belajarannya bervariasi, mulai menurut kunjungan singkat beberapa jam, setengah hari, satu hari, tiga hari, 1 minggu atau magang selama beberapa bulan tergantung dari kebutuhan. Belajar mengenai pertanian organis tidak hanya menggunakan teori atau penjelasan pada kelas, namun pula di ajak ke huma dan mengamati eksklusif. Bahkan bagi peserta magang, mereka juga ikut bekerja pribadi di kebun. Mereka yang mengikuti pembinaan yang menginap, bisa ikut tinggal pada BSB dan mengikuti rutinitas keseharian pada sana.


Alumni program-program pembinaan BSB sudah banyak sekali. Beberapa menurut mereka membuatkan huma pertanian organis sendiri. Ada menurut mereka yang petani, terdapat yg pengusaha atau karyawan perusahaan yang kemudian beralih profesi menjadi petani, ada juga yg aktivis LSM pendamping petani. Ada yang tiba perorangan, ada yang berkelompok.


BSB jua menyediakan produk-produk pertanian organis. Bagi mereka yang tinggal di Jakarta, BSB menyediakan layanan pengantaran bagi mereka yg memesan relatif banyak. Mereka yang konsumsi produk organisnya sedikit bisa menciptakan grup menggunakan mereka yg rumahnya berdekatan & mendapat kiriman produk secara periodik di satu loka yg mereka tentukan beserta. BSB mempunyai harga pokok yg dipengaruhi menurut prinsip-prinsip pemasaran yang berkeadilan bagi petani dan konsumen. Tentu saja, konsumen bisa memberikan sumbangan lebih bila mereka ingin lebih mendukung pertanian organis, asal pangan mereka.


Apabila anda berminat, silakan mampir ke:
Bina Sarana Bakti
Jln Gandamanah, Tugu Selatan
PO BOX 32, Cisarua, Bogor 16750, Indonesia
Telp. 0251-254531 Fax. 0251-253334





















Rabu, 22 Juli 2020

[Jalan-jalan] BALAI WARGA MARLINA

Kalau anda mendengar kata Balai Warga jangan membayangkan sebuah bangunan yg kokoh, luas & lengkap fasilitas. Tempatnya sederhana menggunakan desain rumah panggung berdasarkan bambu, ada papan triplek buat menulis & papan berita, duduk lesehan dan angin segar yg dibiarkan masuk. Balai Warga Marlina adalah keliru satu balai yang didirikan sang rakyat kampung Muara Baru & Urban Poor Consorsium (UPC-LSM pendampingan rakyat miskin kota), terletak pada galat satu pinggiran kota Jakarta, tepatnya pada kampong Muara baru, kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Untuk menuju kesana sangatlah mudah, berdasarkan stasiun Kota mampu naik Angkutan Umum jurusan Muara Baru atau bila nir mau repot bisa eksklusif naik bajaj. Memasuki jalan Marlina, kita akan melihat sederetan tempat tinggal penduduk yang padat dan lalu lalang orang di gang sempit menggunakan aneka macam aktivitasnya. Tanya saja Balai Warga Marlina pasti seluruh orang memahami dan akan berbaik hati memperlihatkan arahnya.

Mengapa terdapat Balai Warga Marlina? Kampung Marlina merupakan salah satu grup dampingan rakyat UPC & galat satu kegiatan warga yang dilakukan disana adalah Kelompok Belajar Anak (KBA). Awal kegiatan KBA dilaksanakan pada keliru satu rumah rakyat menggunakan jumlah anak sekitar 20 orang. Semakin berkembang fakta & kebutuhan akan ilmu, akhirnya terdaftar 70 anak yang ingin mengikuti aktivitas KBA. Kondisi ini menciptakan CL Anak dan UPC mengumpulkan orangtua murid buat menyampaikan kasus kegiatan kelompok belajar ini, mulai dari tempat yg sudah nir bisa menampung anak didik lagi, ketenangan proses belajar mengajar dan fasilitas yg tersedia. Didapat satu kesepakatan bahwa masyarakat dan UPC akan membangun suatu balai sebagai wahana belajar. Tanah milik PT Gajah Tunggal yg disebut sebagai milik Ibu Yayah menjadi pertimbangan lokasi pembangunan balai. Perhitungan porto diperkirakan 5 juta, & dana didapat dari swadaya/urunan orang tua murid & UPC. Urunan warga per anak didik 10.000 rupiah & terkumpul lebih kurang 400.000 rupiah??? Cek lagi. Selama proses pembangunan ternyata porto yang dimuntahkan membengkak lantaran Harga bangunan sudah naik (cat, semen, ll) & perubahan pemakaian asbes menjadi atap buat faktor keamanan.
Belum lagi warga harus membayar uang keamanan sebanyak 400.00 rupiah ke PT.


Pembangunan balai memakan ketika relatif singkat hanya satu minggu dengan tiga orang pekerja. Nah pada lepas 26 Maret 2006 hari Minggu sore Balai Warga Marlina diresmikan menggunakan syarat apa adanya & dinding yang belum dicat karena biayanya kurang. Hal ini tidak menyurutkan semangat rakyat mulai menurut anak-anak, remaja & orangtua buat ikut andil mempersiapkan acara pelantikan. Ada pentas musik, pemutaran film dan permainan. Warga kemudian berinisiatif meminta saweran ke penonton buat membeli kekurangan cat dan bahan lainnya, akhirnya terkumpul dana sebanyak 195.000 rupiah.


Sampai ketika ini kelompok belajar yg jumlah muridnya hampir 70 orang dengan 2 CL Anak sebagai guru ini sudah berjalan selama hampir satu tahun. Kelas dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelas sore (pukul 17.00 ? 18.00 WIB) dan malam (pukul 19.00 ? 20.00 WIB). Peralatan seadanya seperti papan tulis difasilitasi sang UPC, sedang kapur tulis & kitab swadaya orangtua murid. Dari sinilah ada rasa mempunyai & tanggung jawab orangtua siswa/rakyat terhadap kelompok belajar dan balai. Ternyata kehidupan anak-anak dikampung Marlina sama menggunakan anak-anak miskin lainnya, yg terbatas dengan akses pendidikan dan masih haus dengan ilmu dan pengetahuan. Dalam gerombolan belajar anak-anak juga dibiasakan buat menabung lewat buku tabungan.


Selain buat kelompok belajar, Balai Warga Marlina juga digunakan buat pelayanan kesehatan alternatif dan pengenalan tumbuhan obat. Bukan hanya itu, balai masyarakat jua dapat digunakan buat kepentingan rakyat lainnya seperti rendezvous warga , rapat RT/RW, arisan bahkan sunatan atau acara perkawinan sekalipun. Kalau anda ingin mencoba, sanggup menghubungi Ibu Yayah menjadi penanggung jawab disana. Sstt, mungkin terdapat diantara pembaca yang penasaran kenapa nama kampung itu kampung Marlina ya? Apakah ini dulunya nama seseorang wanita kembang desa disana atau?.Jangan berasumsi macam-macam, ternyata Marlina itu merupakan nama keliru satu pabrik pada wilayah Muara Baru. Loohhh! (Mels)











Sabtu, 18 Juli 2020

[Jalan-jalan] Balai Perempuan Ala Turki melongok pengalaman FSWW - Turki

Segera setelah gempa bumi di Marmara tahun 1989, FSWW (The Foundation for the Support of Women's Work), sebuah yayasan yang mendukung kerja perempuan, mendirikan “Pusat Kegiatan Perempuan dan Anak”.
Kegiatan awal FSWW merupakan pendampingan bunda-ibu buat berbagi tempat penitipan anak, sentra pendidikan anak dan pusat kegiatan wanita pada kota Istambul. FSWW juga bekerja sama dengan perempuan -perempuan di wilayah bencana, misal di daerah Marmara, agar komunitas-komunitas perempuan di daerah tadi mampu menjadi aktor primer pada setiap termin penanganan bala, mulai dari waktu tanggap darurat sampai pada proses rekonstruksi. Sedangkan di bagian tenggara Turki mereka bekerja sama menggunakan wanita-perempuan lokal agar lebih berpartisipasi aktif pada dalam program pembangunan daerah & di dalam proses pengambilan keputusan.

FSWW memfasilitasi dan mendukung perempuan untuk mendefinisikan masalah-masalah mereka, menghasilkan pemecahan-pemecahan untuk masalah-masalah tersebut dan untuk membangkitkan dan mengaktifkan potensi-potensi yang dimiliki oleh para perempuan itu sendiri. Kemudian mereka mendirikan “Ruangan Perempuan” (Women’s Rooms), di mana perempuan dapat berkumpul bersama, mendiskusikan masalah-masalah mereka dan sebagai wadah untuk mengekspresikan diri mereka. Ini adalah sebuah pintu masuk bagi perempuan untuk menuntut pengadaan sebuah ‘ruang’ untuk memecahkan masalah bersama, menjalankan program penitipan anak, program pelatihan untuk kerajinan tangan, pelatihan tentang pemasaran, simpan pinjam dan bisnis-bisnis kecil lainnya. Di dalam setiap kegitan yang mereka lakukan, perempuan belajar bagaimana cara bernegosiasi dengan pemerintah untuk membuka peluang partisipasi bagi mereka, baik secara fisik maupun politis.
Didirikan nir berapa usang selesainya terjadinya gempa bumi yg menghancurkan segalanya & membuat ribuan orang kehilangan loka tinggal. Mereka berpindah menurut tenda-tenda penampungan ke tempat-loka evakuasi sebelum rumah tetap mereka rampung. Di waktu ?Kritis? Tadi, para perempuan telah mampu membangun sebuah sistem buat bersama-sama merawat anak-anak, mendistribusikan & memperpanjang bantuan-bantuan jangka panjang, & buat tahu dan mengakses donasi pendataan tempat tinggal & aktivitas ekonomi mereka. Saat ini, sudah ribuan wanita ambil bagian pada proses perundingan mengenai tempat tinggal -tempat tinggal mereka, mengumpulkan secara bersama-sama tabungan buat melunasi rumah tetap yang resmi dan buat menekan pemerintah lokal supaya mau bekerja bersama mereka buat membangun semua yang telah dirusak sang gempa bumi.
Yayasan ini didirikan oleh seseorang aktivis perempuan yg asal berdasarkan komunitas rakyat miskin pada Turki, Sengul Akcar, pada tahun 1986. Tujuan yayasan ini adalah mendukung bisnis-usaha wanita agar sanggup berdikari secara finansial, buat mempertinggi kualitas hidup wanita Turki, baik di wilayah perkotaan maupun di pedesaan.
Kegiatan awal FSWW merupakan pendampingan bunda-ibu buat berbagi tempat penitipan anak, sentra pendidikan anak dan pusat kegiatan wanita pada kota Istambul. FSWW juga bekerja sama dengan perempuan -perempuan di wilayah bencana, misal di daerah Marmara, agar komunitas-komunitas perempuan di daerah tadi mampu menjadi aktor primer pada setiap termin penanganan bala, mulai dari waktu tanggap darurat sampai pada proses rekonstruksi. Sedangkan di bagian tenggara Turki mereka bekerja sama menggunakan wanita-perempuan lokal agar lebih berpartisipasi aktif pada dalam program pembangunan daerah & di dalam proses pengambilan keputusan.
FSWW memfasilitasi dan mendukung perempuan untuk mendefinisikan masalah-masalah mereka, menghasilkan pemecahan-pemecahan untuk masalah-masalah tersebut dan untuk membangkitkan dan mengaktifkan potensi-potensi yang dimiliki oleh para perempuan itu sendiri. Kemudian mereka mendirikan “Ruangan Perempuan” (Women’s Rooms), di mana perempuan dapat berkumpul bersama, mendiskusikan masalah-masalah mereka dan sebagai wadah untuk mengekspresikan diri mereka. Ini adalah sebuah pintu masuk bagi perempuan untuk menuntut pengadaan sebuah ‘ruang’ untuk memecahkan masalah bersama, menjalankan program penitipan anak, program pelatihan untuk kerajinan tangan, pelatihan tentang pemasaran, simpan pinjam dan bisnis-bisnis kecil lainnya. Di dalam setiap kegitan yang mereka lakukan, perempuan belajar bagaimana cara bernegosiasi dengan pemerintah untuk membuka peluang partisipasi bagi mereka, baik secara fisik maupun politis.
FSWW adalah salah satu yayasan lokal utama di dalam jaringan GROOTs (Grassroots Organizations Operating Together in Sisterhood) yang tertarik untuk mendukung dan mendirikan program-program pelatihan, perawatan anak dan peningkatan kegiatan perekonomian oleh perempuan akar rumput sendiri tanpa pengawasan pihak luar yang profesional ataupun dari pemerintah. (Lola)
Sebagian besar informasi diperoleh dari situs GROOTs (Grassroots Organizations Operating Together In Sisterhood). www.groots.org








Selasa, 14 Juli 2020

[Jalan-jalan] Belajar Tentang Index Kebahagiaan dari Bhutan

Pada 2008, Presiden Perancis, Nicholas Sarkozy, membentuk sebuah Komisi untuk Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial. Komisi tersebut  diketuai oleh Prof. Joseph Stiglitz, dengan ketua penasehatnya Prof. Amartya Sen, dan koordinator komisi dijabat oleh Prof. Jean-Paul Fitoussi. Mereka bertiga adalah para ekonom ternama dunia bahkan Stiglitz dan Sen adalah peraih nobel ekonomi. Sedang anggota komisi adalah para ahli dari pelbagai negara, baik dari kalangan universitas, pemerintahan, dan lembaga antar pemerintah.  Komisi ini bertugas merespon keprihatinan atas tidak memadainya parameter kinerja ekonomi sekarang, khususnya Produk Domestik Bruto (PDB). Standar pengukuran seperti itu mengandung banyak kelemahan, tapi sayangnya telah dipakai oleh hampir semua negara di dunia untuk mengukur kesejahteraan bahkan sebagai ukuran sebuah kemajuan. Menurut mereka, angka-angka di balik PDB sudah tidak relevan dalam mengukur kesejahteraan sosial, sekaligus keberlanjutan lingkungan, sosial, bahkan ekonomi sendiri.

Tiga puluh enam tahun sebelum Komisi Stiglitz dibentuk, seorang muda dari sebuah negeri yang berada di “atap dunia”, yang berbatasan dengan Tibet, Cina dan India, serta jauh dari hiruk pikuk lalu lintas ekonomi mainstream, telah melakukan kritik terhadap Produk Domestik Bruto. Dia adalah Jigme Singye Wangchuck, raja keempat dari Kerajaan Bhutan.  Dia menciptakan istilah Gross National Happiness (GNH) atau Kebahagiaan Nasional Bruto sebagai upaya menentukan indikator untuk mengukur kualitas hidup atau kemajuan sosial secara lebih holistik daripada sekedar capaian ekonomis seperti Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut Wangchuck, pertumbuhan ekonomi tidak selalu mengarah pada kepuasan warga negara. Baginya, ada hal lain yang lebih penting daripada pertumbuhan ekonomi, yakni kebahagiaan. Gagasan ini berangkat dari semangat ajaran Budha, yang menekankan bahwa kebahagiaan tidak tergantung dari apa yang kita  miliki, tapi kualitas diri.


Konsep GNH melingkupi empat pilar, yakni pemerintahan yang baik dan akuntabel, pembangunan sosial-ekonomi yg berkelanjutan, pelestarian budaya, & konservasi lingkungan. Empat pilar ini lalu diperinci sebagai sembilan domain, yg meliputi : kesejahteraan (kualitas) psikologis, kesehatan, pendidikan, penggunaan saat, keragaman & ketahanan budaya, pemerintahan yg baik, vitalitas rakyat, keragaman & ketahanan ekologi, & baku hidup. Sembilan domain ini dianggap mewakili komponen kebahagiaan di Bhutan, & semuanya memiliki posisi sama krusial & seimbang. Dari sembilan domain ini, diurai pulang sebagai 33 indikator & pada penghitungannya nanti, 33 indikator tadi diurai lagi dalam beberapa sub-indikator dan pertanyaan-pertanyaan kunci.


Menurut The Centre for Bhutan Studies, yang termuat dalam website GNH (www.Grossnationalhappiness.Com), indeks GNH secara umum merefleksikan kebahagiaan & kualitas hayati yg lebih akurat & luas daripada pengukuran secara moneter. Lantas, bagaimana mengukurnya? The Center for Bhutan menguraikannya menjadi berikut.


GNH dikonstruksi dalam dua langkah. Langkah pertama adalah melakukan Identifikasi, sedang langkah kedua adalah melakukan Agregrasi. Identifikasi, adalah langkah untuk menentukan apakah setiap rumah tangga telah mencapai kecukupan di masing-masing sembilan domain. Hal ini dilakukan dengan menetapkan titik batas (cut-off) di setiap domain. Seperti dalam mengukur kemiskinan, yang menggunakan garis kemiskinan, dimana ada keluarga yang berada di atas garis dan ada yang di bawah garis kemiskinan. Untuk menentukan kecukupan di setiap domain juga begitu. Garis kecukupan diatur lebih tinggi dari garis kemiskinan. Dalam beberapa indikator, telah dipasang level teratas pencapaian dari indikator tersebut. Seseorang diidentifikasi memiliki kualitas hidup yang cukup jika capaiannya dalam indikator melebihi titik batas. Jika capaiannya melebihi titik batas, maka capaian yang sebenarnya orang tersebut diganti oleh tingkat 'kecukupan', atau dipatok dalam tingkat kecukupan. Misalnya, jika seseorang itu pendapatan sebenarnya 1000, dan titik batas kecukupan  adalah 150, maka seseorang itu diperlakukan pendapatannya 150. Dengan demikian, capaian di atas titik batas kecukupan tidak kemudian meningkatkan skor GNH seseorang. Penetapan titik batas kecukupan mungkin bisa saja problematik dan sulit, tapi ini bisa dijadikan topik diskusi publik. Yang penting, jangan sampai mengaburkan pengukuran titik batas kecukupan yang wajar.


Pertanyaan yang muncul kemudian, lantas bagaimana mengidentifikasi siapa yang bahagia? Indeks GNH ingin menghormati keragaman dan kebebasan pilihan dan mengakui keterbatasan ukuran kuantitatif. Untuk itu, ukuran siapa yang bahagia itu tidak harus memenuhi kecukupan dalam 9 domain, tapi cukup 6 dari 9 domain, atau 66% dari indikator yang telah ditetapkan. Ini mengisyaratkan keragaman dalam jalan yang berbeda-beda. Pertama, tidak semua indikator relevan untuk setiap orang. Kerusakan satwa (kehidupan) liar untuk dijadikan lahan pertanian atau tanaman lain mungkin tidak relevan untuk penduduk kota.  Kedua,  setiap orang mungkin tidak perlu mencapai kecukupan 100% dari  semua indikator untuk menjadi bahagia, mereka dapat fokus pada beberapa area saja, tergantung pada nilai-nilai mereka sendiri dan keterampilan. Ketiga, jika orang telah memiliki inti dari pencapaian, mereka mungkin dapat mengompensasi secara internal untuk defisit lainnya. Seseorang tanpa pendidikan atau listrik dapat menemukan rute lain untuk GNH.


Langkah kedua, melakukan agregasi terhadap data populasi ke dalam sebuah ukuran yang terperinci yang sensitif terhadap kedalaman dan keluasan dari capaian. Indeks GNH didesain untuk memberikan insentif kebijakan  1) meningkatkan kebahagiaan dan 2) meningkatkan tingkat kecukupan yang dinikmati warga yang belum bahagia. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah (melalui The Centre for Bhutan Studies) menghitung indeks GNH dengan melihat kekurangan-kekurangan GNH.


Secara sederhana, rumus indeks GNH adalah GNH=1-HA.  H adalah warga dan direpresentasikan dengan persentase warga yang tidak menikmati kecukupan dari 6 domain atau lebih. Sedangkan A adalah proporsi rata-rata domain warga yang belum berbahagia yang tidak berkecukupan. Ini memperlihatkan keluasan dari kekurangan. Agar pengukuran bisa komprehensif dan memberi masukan pada kebijakan apa dan dimana akan dilakukan, maka perlu dibandingkan GNH satu kabupaten dengan kabupaten lain. Juga perlu diukur GNH lintas waktu, agar diketahui apakah menurun atau naik.


Dari waktu ke waktu, GNH di Bhutan telah mengalami berbagai perbaikan dalam metodologinya. Bahkan pada tahun 2007 telah dilakukan survey pertama secara nasional dengan menggunakan variabel-variabel yang telah disempurnakan dan kuisoner yang telah diperbaiki. Dalam survey ini, setiap enumerator membutuhkan sekitar 5-6 jam untuk menyelesaikan kuesionernya. Pada tahun 2010 juga dilakukan survey secara nasional dan kali ini waktu yang dibutuhkan oleh enumerator lebih sedikit, hanya sekitar 3 jam untuk menyelesaikan kuesioner. Perbaikan dari tahun ke tahun ini akan menjadikan GNH semakin mudah  dioperasionalkan dan direplikasi,serta secara teknis menjadi solid.


Prakarsa Bhutan tentang GNH yang telah berumur empat puluh tahun itu, sekarang menjadi pandangan baru poly negara. GNH telah menjadi sebuah perangkat bagi pemerintah buat melakukan sebuah tindakan atau kebijakan agar kualitas hidup dan kebahagiaan warganya semakin tinggi. Awalnya memang banyak pihak yang nir peduli dengan gagasan ini bahkan menganggapnya nir mampu sebagai ukuran. Tapi pada sepuluh tahun terakhir, berbagai pimpinan negara Barat, seperti Inggris, Perancis, Jerman, dan praktisi bisnis di Amerika mulai membicarakannya. Mereka mulai menyadari perlunya instrumen dan tolok ukur lain bagi sebuah kesejahteraan atau kemajuan.


Memang jika diukur menurut ekonomi mainstream, Bhutan dimasukkan sebagai negara yang relatif miskin, atau negara berkembang yang basis ekonominya disandarkan pada hasil hutan, hewan ternak,  pertanian subsisten, hasil bumi dan turisme. Tapi, menurut Happy Planet Index, Bhutan masuk dalam 20 negara yang berbahagia pada tahun 2006-2009.  Walaupun begitu, ada hal yang mengkhawatirkan yang perlu dicermati, karena setelah televisi dibiarkan masuk, peringkat Bhutan menjadi turun, bahkan di tahun 2009 kalah dengan Indonesia. Kehadiran televisi dianggap telah memicu meningkatnya konsumsi warga Bhutan sehingga indikator-indikator di berbagai domain menurun.


Belajar dari apa yang dilakukan Bhutan, untuk menjadi negara yang warganya berbahagia, perlu keseimbangan di berbagai sisi kehidupan. Negara yang dikatakan maju dengan konsumsi yang tinggi tidak menjamin warga negaranya akan bahagia.  Dengan demikian, sudah selayaknya pencapaian dan fokus pada kualitas hidup serta pencarian kebahagiaan lebih diutamakan dari kepemilikian materi, konsumsi dan produksi.
(Arie Ujianto)
































Minggu, 12 Juli 2020

[Jalan-Jalan] Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro Banyu Biru

Terik matahari pagi mengiringi kami menuju lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Banyu Biru milik Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). Dengan menumpang sebuah mobil yang dikemudikan oleh Pak Aep, kami menuju ke wilayah pinggir sungai yang cukup sempit. Di sana, terlihat pipa-pipa menjulur dari kaki gunung. Ujung pipa-pipa itu berakhir di sebuah bangunan berisi mesin-mesin yang mampu mengkonversi arus air menjadi arus listrik. Bangunan yang luasnya kira-kira 3 x 8 meter itu tampak masih baru, ditandai oleh segarnya polesan cat pada dindingnya. Di depan bangunan terdapat sebuah antena parabola. Namun, antena tersebut belum berfungsi. Rencananya, antena parabola tersebut akan berfungsi sebagai pengontrol mesin PLTMH jarak jauh. Di dekat bangunan kecil PLTMH itu, terdapat tanah seluas 200 m2 yang direncanakan untuk berbagai fungsi di kemudian hari.

Perjalanan ini  dilakukan oleh tim KAIL dalam rangka kegiatan evaluasi keberadaan PLTMH Banyu Biru yang didanai oleh Hivos. Tim KAIL beranggotakan Any Sulistyowati sebagai evaluator, dan para asisten yang terdiri dari Selly Agustina, Hilda Lionata, dan David Ardes. Adapun Tim KAIL mengevaluasi PLTMH dari segi sosial-kemasyarakatan, sedangkan dari segi teknis dilakukan oleh Pak Ady dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelum menuju lokasi PLTMH, rombongan terlebih dahulu mampir ke sekretariat SPPQT yang terletak di Kalibening. Di sekretariat itu, rombongan melakukan wawancara terhadap seluruh pengurus SPPQT tentang mikro hidro dan profil organisasi.


PLTMH dibangun pada Dusun Bendo Sari, Desa Kebumen Banyu Biru, Kabupaten Semarang. Perjalanan menuju lokasi PLTMH membutuhkan saat sekitar 45 mnt berdasarkan sekretariat SPPQT di Kalibening. PLTMH diresmikan pada 15 Mei 2012, oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Beliau berharap, menggunakan eksistensi PLTMH Banyu Biru, warga Indonesia mengetahui bahwa upaya mengadakan tenaga berkelanjutan memang sedang dikerjakan, bukan sekedar tentang. Harapan lanjut berdasarkan eksistensi PLTMH ini merupakan agar bisa menginspirasi gerakan serupa di loka-tempat lain. Dengan menggunakan PLTMH ini, kebutuhan bahan bakar fosil menjadi komponen pembangkit listrik akan diminimalkan. Setidaknya itulah keliru satu tujuan pembangunan PLTMH, yg diungkapkan sang Mas Faisol, Sekjen SPPQT.


PLTMH Banyu Bening mampu menghasilkan daya listrik hingga sekitar 170 kVA. Total daya listrik tersebut kemudian dijual kepada PLN sebagai pembeli tunggal dengan harga Rp 600/ KWH, atau total sebesar 50 juta rupiah. Listrik tersebut akan disalurkan untuk daerah-daerah di  Jawa Tengah, yang menurut Mas Faisol sangat kekurangan pasokan listrik.


Untuk mengurus kegiatan PLTMH ini, SPPQT membentuk CV (Comanditer Venotschaap) Qaryah Thayyibah, dengan Bapak Turjangun sebagai direkturnya saat ini. Pembentukan CV dirasa sejalan dengan prinsip kebersamaan yang dijunjung tinggi oleh SPPQT, karena seluruh hasil yang didapat dari PLTMH ini sepenuhnya akan dimanfaatkan demi kesejahteraan petani SPPQT. Bapak Tarom yang banyak terlibat dalam proses pembangunan PLTMH memaparkan bahwa mereka telah merencanakan beberapa alokasi penggunaan dana yang didapat dari penjualan listrik.


Salah satu alokasi penggunaan dana dari hasil penjualan listrik tersebut adalah konservasi alam di sekitar daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi sumber tenaga PLTMH. Dari pemaparan Bapak Abidin, ketua paguyuban petani dusun Bendo Sari, konservasi ini dilakukan berkat kesadaran masyarakat sekitar untuk menjaga lingkungan di sekitar DAS yang menjadi sumber air bagi dusun mereka. Upaya konservasi yang akan dilakukan adalah dengan menanam pohon-pohon guna mencegah abrasi dan memastikan debit air terus terjaga. Sementara itu, jenis pohon yang akan ditanam adalah pohon aren. Rencana ini telah dikonsultasikan dengan Dinas Kehutanan setempat dan pihak SPPQT akan membentuk sebuah tim yang secara khusus  menangani kegiatan konservasi di sekitar PLTMH.


Dari pembicaraan mengenai konservasi lahan di sekitar PLTMH, Mas Rukham mengungkapkan tentang program pertanian berkelanjutan, yaitu mengajarkan petani teknik bertanam hortikultura. Tujuannya adalah, agar lahan dapat digunakan semaksimal mungkin. Namun, pelaksanaan program ini dirasa sulit. Beliau berkata, ”Petani itu baru percaya kalau melihat hasilnya, tidak pernah cukup dengan mendengar”. Kecenderungan petani di dusun Bendo Sari adalah memanfaatkan lahannya untuk satu jenis tanaman saja. Sehingga, ketika terjadi kegagalan hasil panen, tidak ada hasil yang didapatkan sama sekali. Untuk itulah lahan seluas 200 m2 yang dimiliki oleh SPPQT akan dimanfaatkan untuk mengajarkan pertanian berkelanjutan dengan menanamkan cabe rawit di pot, peternakan sapi-kambing, perikanan, dan biogas.


Beberapa alokasi penggunaan dana lainnya, misalnya yang diungkapkan oleh Mas Rukham, merupakan buat pendidikan, koperasi, & penguatan kelembagaan. Sebagian dana akan dipakai SPPQT buat pendidikan anak-anak petani. Perlu diketahui, ketika ini SPPQT telah mempunyai Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah.


Mengapa penekanan kegiatan lebih diutamakan pada aktivitas perlindungan & pertanian berkelanjutan daripada aktivitas koperasi & penguatan kelembagaan, lantaran menurut Pak Tarom, dengan penekanan utama tersebut, diperlukan terjadi peningkatan kesejahteraan petani. ?Kalau kebutuhan pokok bisa dipenuhi dengan baik, hal-hal lain sanggup dilakukan menggunakan lancar.? Demikian alasan Pak Tarom.


Walaupun rencana alokasi penggunaan dana output penjualan listrik telah dipersiapkan, PLTMH Banyu Biru belum dioperasikan lantaran masih mempersiapkan petugas operator. Untuk ketika ini, baru terdapat enam orang yang dievaluasi siap menjalankan kiprah operator. Namun, pada masa mendatang kaderisasi petugas operator wajib terus dilakukan pada siapapun yang berminat.


Sembari menunggu beroperasinya PLTMH, pengurus SPPQT terus berkiprah buat menyebarluaskan mimpi mereka mengenai kemandirian petani dan kedaulatan pangan. Mereka ingin meyakinkan para petani bahwa mereka sanggup menghidupi diri sendiri, & sebagai petani merupakan pekerjaan yang sama baiknya dengan pekerjaan lain.


Sementara itu, SPPQT telah melakukan pemetaan buat melihat potensi pengembangan PLTMH di loka lain, pada antaranya : Wonosobo, Semarang, Temanggung, Kendal, Magelang, & Batang. Entah kapan akan didirikan, namun planning itu sudah terdapat dan SPPQT berharap dapat merealisasikannya.


Sekilas mengenai SPPQT :
Berdiri pada tahun 1999, dengan ketua pertama bernama Ahmad Bahruddin. Beranggotakan sekitar 16.348 petani yang bernaung di 120 paguyuban yg tersebar di 11 kabupaten/kota. Sekretariat SPPQT terletak pada Jl. Ja?Far Shodiq no.25 Kalibening Kec. Tingkir Kota Salatiga. Saat ini SPPQT diketuai oleh seseorang perempuan bernama Ruth.

Referensi berita :
http://bisniskeuangan.Kompas.Com/read/2012/05/15/18153592/Petani.Jual.Listrik.Ke.PLN

(David Ardes Setiady)








































Cloud Hosting Indonesia