Tampilkan postingan dengan label Media. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Media. Tampilkan semua postingan

Kamis, 11 Juni 2020

[MEDIA] Mengembangkan Hobi dengan Memanfaatkan Media Internet

Oleh: Agustein Okamita

Para aktivis adalah orang-orang yang sangat sibuk. Kadang kala, karena kesibukannya, banyak di antara mereka lebih memfokuskan diri pada kegiatan aktivismenya ketimbang dirinya sendiri. Padahal, Steven Covey dalam bukunya “Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif” atau “Seven Habits of Highly Effective People”, mengatakan bahwa salah satu kebiasaan manusia yang efektif adalah ‘mengasah gergaji (sharpen the saw)’. Mengasah gergaji artinya menjaga/memelihara dan meningkatkan aset terbesar yang dimiliki – yaitu diri sendiri. Ini berarti memiliki program yang seimbang untuk memperbarui empat area di dalam diri: fisik, sosial/emosional, mental, dan spiritual adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Melakukan aktivitas yang menjadi hobi merupakan salah satu cara yang disarankan buat ?Mengasah gergaji?. Ketika mengerjakan hobi, umumnya kita akan menjadi lebih kalem dan gembira. Kondisi kalem & gembira mengurangi rasa stres dan beban pada pada pikiran, yg membantu memperbaiki kondisi mental dan meningkatkan kesehatan emosional kita. Karena itu, sangat baik bagi para aktivis buat terus berbagi hobi dan passion masing-masing. Beberapa hal yg disarankan kepada para aktivis buat permanen sehat secara emosi dengan cara melakukan hobi antara lain:

  1. Sediakan waktu khusus untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan hobi secara teratur,
  2. Tingkatkan kemampuan atau keterampilan yang berhubungan dengan hobi dengan mempelajarinya lebih dalam,
  3. Carilah teman-teman yang memiliki hobi yang sama atau bergabunglah dalam sebuah komunitas hobi tersebut, agar Anda lebih terpacu dan bersemangat untuk mengembangkan hobi,
  4. Manfaatkan media, khususnya internet dan media sosial untuk meningkatkan kemampuan dan saling berbagi dalam kegiatan yang berhubungan dengan hobi tersebut.
Memanfaatkan Media Internet

Djaman sekarang ini, media internet merupakan keliru satu indera bantu yg sangat efektif dalam membuatkan hobi. Apabila dulu kita bergantung dalam kitab -buku yang terdapat di toko buku atau perpustakaan, atau perlu mengikuti kursus apabila ingin menguasai suatu hobi tertentu, kini kita mampu mendapatkan banyak berita dengan memanfaatkan internet.

Jika ingin mencari tahu tentang resep masakan eksklusif, para penggemar kegiatan masak-memasak hanya perlu mengetikkan istilah kunci yg sempurna pada mesin pencari, dan wuushh...!! - pada hitungan dtk gambar masakan itu muncul di hadapan kita, disertai informasi tentang bahan-bahan yang diharapkan dan cara-cara memasaknya. Jika ingin memahami mengenai cara menanam tanaman eksklusif atau cara membasmi hama dalam flora yg spesifik, para penggemar pertanian dan bercocok tanam saat ini pula tinggal mencarinya pada internet. Demikian pula menggunakan jenis-jenis hobi yang lain. Di global maya, semua yg diperlukan akan eksklusif hadir pada depan layar personal komputer /gadget kita.

Di muka bumi ini ternyata ada banyak orang yang murah hati dan senang berbagi, yang mau memberikan informasi dan pengetahuan di internet. Berbagai informasi mereka bagikan, di antaranya adalah informasi-informasi yang berkaitan dengan hobi. Ada berbagai cara mereka berbagi informasi tentang hobi di internet, yaitu dalam bentuk Website/blog, video, maupun melalui grup-grup di media sosial.

Berkaitan dengan hobi, ada banyak contoh Website atau blog yang bisa kita kunjungi. Beberapa di antaranya yaitu:

  1. Memasak dan kuliner. Beberapa blog/Website yang membagikan kumpulan resep masakan serta cara memasaknya, yang sering saya kunjungi antara lain: Diah Didi’s Kitchen (http://www.diahdidi.com/), Dapur Nuqi (http://www.dapurnuqi.com/), Langsung Enak (http://www.langsungenak.com/), http://allrecipes.com/, http://resepmasakanku.com/.
  2. Craft atau kerajinan tangan. Blog atau Website tentang craft atau kerajinan tangan, di antaranya: Kerajinan tangan (http://www.kerajinan-tangan.com/), http://kreasi-kerajinantanganku.blogspot.co.id/, http://www.zhahab.blogspot.co.id/, http://www.allfreecrafts.com/, http://www.ravelry.com/, dan sebagainya.
  3. Olah raga. Website atau blog berisi informasi tentang olah raga di antaranya: bulutangkis.com, http://karate.snowcron.com, http://www.allabout-swimming.blogspot.co.id/, http://www.wushuindonesia.com/, http://belajarcatur.blogspot.co.id/ dan lain-lain.
Beberapa Website/blog di atas saya cantumkan karena muncul di bagian teratas mesin pencari Google, dan yang lainnya adalah Website/blog yang sering saya kunjungi. Sebenarnya masih ada banyak Website/blog lain yang bisa dilihat, jika kita bisa memilih kata kunci yang tepat. Silakan mencoba sendiri sesuai dengan kebutuhan kita masing-masing.

Bulutangkis.Com

Memanfaatkan Media Sosial

Melakukan aktivitas yg menjadi hobi memang memberikan poly manfaat. Selain menyalurkan kesenangan & mengurangi rasa tertekan, jika dilakukan bersama-sama pada gerombolan atau komunitas, hobi jua akan menambah jumlah sahabat. Di pada grup, para pehobi nir hanya berbagi ilmu, tetapi jua saling menyemangati satu sama lain. Ketika kita melakukan hobi dan berada pada komunitas yg sinkron, kita akan lebih termotivasi buat mengerjakannya dengan lebih baik lagi, dan termotivasi buat saling mengembangkan menggunakan yang lain.

Selain melalui tulisan blog atau Website, cara lain untuk saling berbagi informasi mengenai hobi adalah melalui grup-grup di media sosial. Di grup-grup ini, semua orang bisa saling berbagi, baik pengetahuan mengenai cara melakukan (how to), tips dan trik, maupun informasi tentang kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan keterampilan mereka. Saat ini ada banyak grup media sosial yang bisa digunakan sebagai tempat berbagi, seperti Facebook, Whatsapp, BBM, dan lain-lain. Beberapa grup di media sosial yang berkaitan dengan hobi di antaranya adalah:

  1. Grup di Facebook untuk penggemar pertanian/bercocok tanam: Belajar Bareng Hidroponik (terdapat juga whatsapp group-nya), Kebun Kecil Keluarga, Rumah Hidroponik Bertha Suranto, dan lain-lain.
  2. Grup di Facebook untuk olah raga tertentu: Bulutangkis dotcom, Satriakusuma Wushu Indonesia, dan lain-lain.
  3. Grup di Facebook untuk para crafter: Komunitas Merajut Bandung (terdapat juga whatsapp group-nya), Hobbyist Craft Bandung, Mari Belajar Menjahit, Indonesian Knitters, Decoupage Attack, dan sebagainya.
  4. Grup di Facebook untuk penggemar kuliner/masak-memasak: Langsung Enak, Aneka Kue dan Resep Masakan Enak, dan lain-lain.
Salah satu grup hobi di Facebook yang menarik bagi saya adalah grup Langsung Enak (LE). Di grup ini, ada di antara anggota grup yang sebelumnya tidak bisa membuat kue, akhirnya menjadi mampu membuat kue karena terinspirasi oleh kegiatan anggota-anggota yang lain di grup . Bahkan ada yang akhirnya mendapatkan penghasilan tambahan dari hobi memasak, karena terinspirasi oleh status-status yang di-Posting di grup ini .

Grup FB Langsung Enak
Grup ini merupakan salah satu grup yang anggotanya cukup aktif membagikan resep-resep masakan dan tips dan trik memasak masakan tertentu. Ada kalanya mereka mengadakan pertemuan (kopi darat) di kota-kota tertentu untuk mempelajari teknik pembuatan makanan tertentu.

Grup pehobi di Bandung yang juga aktif mengadakan pelatihan bersama adalah Hobbyist Craft Bandung. Menurut Ibu Ade Fidianti yang menjadi administrator grup Hobbyist Craft Bandung, grup ini merupakan wadah para crafter Bandung dan sekitarnya untuk saling berkomunikasi, sharing ilmu, belajar bersama, berbagi info-info tentang pameran atau berbisnis produk craft. Grup Facebook yang sebelumnya bernama “Ibu-ibu Hobby Craft Bandung (IIHC Bandung)” yang dibuat pada tahun 2013 ini mewadahi berbagai hobi yang terkait dengan kerajinan tangan (craft), jadi tidak hanya satu jenis kerajinan saja.

Info kegiatan craft di grup FB Hobbyist Craft Bandung
Selain informasi internet dan media sosial, jika ada yang membutuhkan tutorial dalam bentuk video, di saluran video Youtube juga bertebaran tutorial-tutorial yang dapat kita pilih sesuai dengan kebutuhan kita. Dengan kata kunci yang tepat, kita akan diarahkan ke berbagai video yang sesuai dengan pencarian kita. Misalnya: How to learn swimming, knitting tutorial, dan lain-lain.

Keuntungan dari kemajuan teknologi ini adalah kecepatan dan jumlah informasi yang didapat dalam waktu yang cukup singkat. Selain itu, informasi yang kita terima sangat tidak terbatas, sehingga dapat dibandingkan satu sama lain dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Berbagai Website, blog, dan video tutorial yang dibagikan oleh orang-orang yang senang berbagi, membuat para pehobi serasa dimanjakan dan difasilitasi untuk mengembangkan hobi mereka seluas-luasnya. Komunitas yang mendukung dan saling berbagi juga memberikan dampak positif bagi para pehobi, dan membuat mereka lebih bersemangat dalam melakukan hobi mereka.

Selasa, 09 Juni 2020

[MEDIA] 71 Tahun Indonesia Merdeka: Narasi dalam Buku

Oleh: Kukuh Samudra

Kemerdekaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para pahlawan terdahulu. Mereka berjuang tidak hanya dengan senjata di tangan. Senjata mereka bukanlah tipe yang sekali tusuk musuh mati seketika, atau sekali tembak puluhan peluru berdesir. Waktu tidak membuat senjata ini berkarat. Senjata tersebut tidak lain adalah buku.

Indonesia Menggugat

Seorang insinyur lulusan anyar yang mendapatkan kemewahan pendidikan tinggi diliputi kegelisahan atas nasib bangsanya. Setelah menamatkan studinya di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB), dia bersama kawan-kawannya mendirikan kelompok diskusi yang dinamakan Algamenee Studieklub. Pemuda tersebut tidak lain adalah Sukarno.

Diskusi rutin mereka adakan dengan tema-tema seputar politik dan kebangsaan. Belanda tidak senang, lantas menangkap mereka dengan dalih mengancam ketertiban dan ketentraman.

Sukarno, yang kelak dikenal sebagai Proklamator kemerdekaan Indonesia bersama tiga orang kawannya yang lain: Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata ditangkap Belanda pada tanggal 29 Desember 1929. Dalam rentang dua bulan, Sukarno harus menulis sendiri pembelaannya. Sang istri, Inggit Ganarsih, berperan besar dalam upaya pembuatan pembelaan tersebut dengan menyuplai bahan bacaan dan alat tulis. Buku dan alat tulis disembunyikan oleh Inggit di balik kebayanya. Sukarno paham betul, latar belakang mereka ditangkap adalah alasan politik. Dasar penangkapan mereka adalah UU pasal 169 tentang penyebaran kebencian terhadap penguasa. Pasal yang sering dijuluki sebagai “pasal karet” karena memiliki ruang penafsiran yang begitu luas sehingga sering digunakan penguasa untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sukarno menuliskan dalam pleidoinya : Tak usah kami uraikan lagi, bahwa proses ini adalah proses politik; iya, oleh karenanya di dalam pemeriksaannya, tidak boleh dipisahkan dari soal-soal politik yang menjadi sifat dan azas pergerakan kami, dan jang menjadi nyawanya fikiran-fikiran dan tindakan-tindakan kami . Sukarno ditangkap pihak Belanda karena ditengarai hendak merencanakan kudeta bersenjata. Selain Sukarno terdapat 40 aktivis lain yang ditangkap oleh Belanda. Padahal saat terjadi penangkapan, jelas mereka tidak memiliki senjata barang golok maupun pistol.

Amboi! Golok, bom dan dinamit! Kami dituduh golok-golokan, bom-boman dan dinamit-dinamitan! Seperti tidak ada senjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom dan dinamit! Seperti tidak ada senjata yang lebih kuasa lagi daripada puluhan kapal perang, ratusan kapal udara, ribuan, ketian, milyunan serdadu darat! Seperti tidak ada senjata semangat lagi, yang, jikalau sudah sadar dan bangkit dan berkobar-kobar di dalam kalbu rakyat, lebih hebat kekuasaannya dari seribu bedil dan seribu meriam

Dalam pembelaannya, Sukarno menyampaikan argumen yang berkaitan dengan politik ekonomi pemerintah Belanda di Indonesia. Pada dasarnya politik ekonomi yang dilakukan oleh Belanda dan negara-negara Eropa lainnya berupa imperialisme. Sukarno secara garis besar membagi imperialisme menjadi dua, yaitu imperialisme kuno dan imperialisme modern. Berdasarkan rentang waktu, imperialisme kuno adalah praktek imperialisme yang berkembang sebelum abad 19, sementara imperialisme modern adalah yang berkembang setelah itu.

Perbedaan antara imperialisme kuno dengan modern tidak lain adalah teknik pemerluasan kapital. Praktek imperialisme tua dicontohkan dengan Kongsi Dagang Belanda, VOC. Mula-mula mereka memperkenalkan diri ingin berdagang, hingga berujung pada pengerukan besar-besaran hasil bumi untuk dijual ke luar negeri. Bumiputera diminta untuk bekerja keras dengan upah serendah-rendahnya, sementara semua keuntungan masuk ke dalam kantong para Meneer.

Praktek imperialisme modern tidak lain adalah anak dari kapitalisme modern. Sementara kapitalisme modern sendiri tidak dapat dilepaskan oleh hadirnya revolusi industri di Eropa.

Revolusi industri telah memungkinkan manusia untuk memproduksi barang secara masal. Dalam rentang waktu tersebut ekonomi Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat. Namun, masalah timbul ketika pertumbuhan ekonomi mulai melambat. Eropa membutuhkan 'pasar' baru. Sasarannya adalah negara-negara dengan perekonomian yang lemah. Buruh dibayar dengan biaya murah agar mendapatkan keuntungan maksimal. Kapital pada akhirnya bergerak, menjalar, mencengkeram negara-negara berkembang.

Lantas apa perbedaan dari imperialisme tua dengan imperialisme modern? Bagi Sukarno sendiri keduanya tidak banyak berbeda.

Imperialisme-tua, sebagai yang kita alami dalam abad-abad sebelum bagian kedua abad ke 19, imperialisme tua dalam hakekatnya adalah sama dengan imperialisme modern: nafsu, keinginan, cita-usaha, kecenderungan, sistem untuk menguasai atau memengaruhi rumah tangga negeri lain atau angsa lain, nafsu untuk melancarkan tangan keluar pagar negeri sendiri. Sifatnya lain. Azas-azasnya lain, penglahirannya lain, tapi hakekatnya sama!

Pembelaan Sukarno lantas dibukukan dan dikenal dengan judul "Indonesia Menggugat". Aksi Massa dan Bebas dari Pembangunan: Ide yang Mengupas Kapitalisme dan Imperialisme dalam Dua Zaman.

Aksi Massa

Empat tahun sebelum Sukarno melayangkan gugatannya di Landraad te Bandung (Pengadilan Negeri Bandung, sekarang dikenal sebagai Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5), seorang Indonesia lain menulis ihwal yang sama tentang imperialisme. Orang yang dimaksud adalah Tan Malaka, seorang bapak bangsa yang namanya kerap terlupakan akibat praktek rekayasa sejarah oleh rezim penguasa.

Menurut Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Aksi Massa (1926), imperialisme dibedakan menjadi 4 yaitu : a) Imperialisme biadab, yakni menghancurkan sekalian kekuasaan politik bumiputra dan menjalankan pemerintahan yang sewenang-wenang, misalnya adalah Spanyol di Filipina. b) Imperialisme autokratis, yakni yang hampir tak berbeda dengan yang tersebut pasal a seperti Belanda. c) Imperialisme setengah liberal, yakni imperialisme yang memberikan kekuasaan yang sangat terbatas kepada bumiputra yang berkuasa (raja-raja atau kepala negara yang turun-temurun seperti Inggris di India). d) Imperialisme liberal, yakni imperialisme yang memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada tuan tanah yang besar serta kepada borjuasi bumiputra yang mulai naik, misalnya adalah imperialisme Amerika di Filipina.

Sementara dari segi pemerasan ekonomi, modelnya dibedakan juga menjadi 4 :

a) Perampokan terang-terangan, dahulu dilakukan oleh Portugis dan Spanyol.

b) Monopoli, yang dalam praktiknya sama dengan perampokan, masih terus dilakukan oleh Belanda di Indonesia sampai sekarang (± tahun 1926, peny.)

c) Setengah monopoli, mulai dilakukan oleh Inggris di India

d) Persaingan bebas, mulai dilakukan oleh Amerika di Filipina.

Sosok Tan Malaka barangkali tidak terlalu terkenal. Dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia sosok ini disebut mirip legenda. Nama Tan Malaka begitu terkenal di kalangan para pejuang kemerdekaan. Dia telah menulis banyak brosur yang berisi ide-ide perjuangan. Namun, sosok fisiknya tidak pernah tampak. Dua puluh tahun dia berkelana, puluhan nama samaran digunakan sampai-sampai dia merasa aneh ketika suatu saat perlu memperkenalkan diri dengan namanya sendiri.

Dalam Aksi Massa, Tan Malaka mengkaji pergerakan di berbagai negara, terutama di Asia Selatan dan Tenggara, yang kala itu berjuang melawan kekejian struktural para imperialis. Salah satu negara adalah India. Lain Indonesia, India adalah korban dari imperial Inggris. Seperti yang telah dijelaskan, bentuk penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan Inggris pun berbeda. Penjajahan yang dilakukan oleh Belanda pada dasarnya adalah pemerasan keringat sekering-keringnya. Inggris pun bukannya tidak memeras kekayaan alam India, tapi mereka menggunakan cara yang lebih halus.

Akibat Revolusi Industri, perekonomian Inggris maju pesat. Namun, pasar mereka lama-kelamaan mengalami keterbatasan. Lantas mereka menjajah India dan memberlakukan sistem monopoli di mana setiap warga India wajib membeli produk-produk Inggris dengan harga yang setinggi-tingginya. Perekonomian yang mandiri dikendalikan, produk dalam negeri India justru diekspor, sedangkan pribumi dilarang untuk membelinya.

Bebas dari Pembangunan (Staying Alive)

Enam puluh tahun setelah Aksi Massa dituliskan dan Indonesia Menggugat dibacakan, seorang intelektual India bernama Vandana Shiva menuliskan buku berjudul Staying Alive (terjemahan oleh Yayasan Obor Indonesia menjadi Bebas dari Pembangunan). Pemikirannya tampak memiliki benang merah baik dengan Sukarno maupun Tan Malaka. Hal ini dapat dipahami mengingat mereka berasal dari negara yang sepanjang usianya berhadapan dengan upaya-upaya imperialisme.

Vandana Shiva dapat dikatakan menjalani era 'yang berbeda'. Konteks dan nuansa yang dialami berbeda. Dia lahir dan besar ketika bangsanya telah lepas dari penjajahan. Namun sisa-sisa imperialisme pun tetap tampak. Dia menjalar semakin luas, namun lebih halus, lebih tidak kentara.

Akar masalah sosial dan ekonomi, bagi Shiva, merupakan akibat dari kapitalisme. Namun dengan menarik lebih jauh ke belakang, Shiva menyatakan bahwa kapitalisme tidak bisa dipisahkan dengan masalah gender. Kapitalisme telah memisahkan perempuan dari bagian kerjanya. Pengelolaan air, hutan, dan sumber daya alam coba dipisahkan dari perempuan. Pada akhirnya, kekayaan alam dipandang sebatas sebagai sumber daya yang dapat dikuasai sepenuhnya. Kapitalisme tidak pernah mengakui sebagai contoh kasih sayang pada alam, penanaman kembali hutan, atau sifat 'pasif' perempuan. Hal-hal semacam itu dianggap tidak penting karena tidak menghasilkan keuntungan kapital. Mentok kapitalisme menganggap itu penting, tapi tidak pernah memberikan penghargaan sepantasnya Sekali lagi jika tidak menguntungkan, mengapa perlu dihargai?

Rentang masa yang panjang, melalui berbagai sumber penulisan kita bisa melihat bahwa setiap masa memiliki bentuk penindasan yang berbeda-beda, tidak dapat lepas dari semangat zaman. Di masa yang berbeda, di tanah yang terpisah beribu-ribu mil, perlawanan terus didengungkan keadilan terus diperjuangkan.

Sebuah Refleksi Terhadap Fiksi

Gugatan Sukarno pada sidang yang berlangsung di Landraad te Bandoeng tahun 1930 pada akhirnya tetap ditolak. Keputusan hakim tetap menyatakan Sukarno bersalah. Berangkat dari fiksi, kita bisa membandingkan kisah Sukarno dengan pembelaan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan terbaik Indonesia yang namanya berulang kali masuk dalam nominasi nobel, menulis sebuah roman legendaris. Roman tersebut sering dikenal sebagai "Tetralogi Buru". Latar belakang julukan roman tidak lepas dari fakta bahwa roman tersebut ditulis di Pulau Buru saat Pramoedya menjadi tahanan politik sejak tahun 1973. Jilid pertama tetralogi tersebut berjudul Bumi Manusia.

Tetralogi buru berlatar belakang abad 20 awal. Tokoh utama roman adalah Minke , seorang anak bangsawan Jawa yang memberontak dengan sistem feodal Jawa yang menurutnya penuh kemunafikan.

Minke yang hidup di Surabaya untuk studi di Hogere Burgerschool (HBS, sekolah menengah jaman penjajahan Belanda) jatuh cinta terhadap Annelies, seorang Indo. Ayah Annelies bernama Herman Mellema adalah orang Belanda totok, sementara ibunya yang dikenal orang sebagai Nyai Ontosoroh adalah pribumi. Ayah Annelies meninggal dengan mewariskan sebuah perusahaan pertanian yang sangat besar.

Perusahaan tersebut dikelola dengan cara-cara modern yang hebatnya dilakukan oleh dua orang perempuan: Nyai Ontosoroh dibantu oleh Annelies sendiri. Sesuatu yang begitu luar biasa, mengingat perempuan waktu itu dianggap hanya pantas untuk mengurusi urusan dapur. Nyai Ontosoroh sendiri diceritakan belajar itu semua secara otodidak.

Diceritakan bahwa Herman Mallema sebetulnya telah memiliki anak di Belanda. Hal yang lumrah pada zaman itu seorang Belanda yang datang ke Indonesia meminang seorang gundik meskipun dia di negeri asalnya telah memiliki istri.

Suatu waktu anak Herman Mallema dari istrinya yang sah datang ke Indonesia atas dasar sebuah tugas kerajaan Belanda. Anak itu bernama Maurist Mellema.

Ketika sampai di Indonesia dia bukan tidak tahu bahwa sang Ayah memilki perusahaan perkebunan di Hindia-Belanda. Maurist Mallema suatu hari datang ke kediaman Nyai Ontosoroh. Menglaim perusahan milik sang ayah, meskipun selama ini perusahaan dibesarkan selayaknya ‘anak sendiri’ oleh Nyai Ontosoroh. Polemik terjadi. Nyai Nyontosoh tidak rela perusahaannya lepas begitu saja. Pertarungan akhirnya mencapai meja hijau..

Berbicara soal hukum, status Maurist sebagai warga Belanda totok menempatkan posisinya sangat kuat dalam perebutan warisan. Apalagi mengingat Nyai Ontosoroh hanya gundik, bukan istri yang sah.

Persidangan berjalan alot. Beritanya tersebar di mana-mana, mengingat perusahaan perkebunan yang dipolemikkan bukan perusahaan kecil. Apalagi isu yang diangkap cukup seksi, menyangkut ras dan kasta sosial. Sebuah pertarungan antara pribumi dengan seorang Belanda totok. Persidangan diikuti dengan taat oleh Nyai Ontosoroh. Dia rela membayar pengacara mahal. Setiap pertanyaan hakim dijawab dengan lantang. Pada akhirnya hakim tetap memutuskan perusahaan jatuh ke tangan Maurist Mellema. Namun, menurut Nyai Ontosoroh, masalah utama bukan sekedar menang-kalah. Hukum di Belanda saat itu tidak bisa disebut adil. Hukum tidak berlaku sama di hadapan manusia. Ia masih memiliki tendensi yang tajam berkaitan dengan ras.

Apa yang dikatakan Nyai Ontosoroh setelah dia kalah dan perusahaannya dirampok dengan begitu keji? Dalam dialog antara dirinya dengan Minke, dia berujar, "Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

Kisah perlawanan Nyai Ontosoroh sekiranya mirip dengan kisah Sukarno. Sebuah perlawanan yang dilakukan oleh pribumi atas hak-hak yang dirampas. Perlawanan yang dilakukan atas dasar kehormatan dan harga diri meskipun tidak membuahkan kemenangan di pengadilan.

Tetralogi Buru adalah fiksi, sementara Indonesia Menggugat adalah fakta. Apa relevansi sebuah fiksi dengan fakta? Di mana posisi karya fiksi atau sastra? Seno Gumira Ajidarma, seorang sastrawan cum jurnalisme, berujar dalam bukunya yang berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena jika jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan.”

Kenyataan berkata: peredaran Tetralogi Buru dilarang oleh rezim orde baru karena dianggap menyebarkan paham Marxisme-Leninisme secara tersirat. Novel tersebut dianggap membahayakan stabilitas nasional, meskipun secara garis besar kisah yang disampaikan adalah perjuangan seorang bumiputra dalam melawan penjajah Belanda.

Tetralogi Buru baru beredar lagi setelah orde baru tumbang. Namun, selama pemberedelan terjadi suatu fenomena yang menarik. Buku-buku tersebut kenyataannya masih bisa dibaca meskipun harus sembunyi-sembunyi. Para penjual buku menjual di bawah tangan secara hati-hati, para aktivis penentang orde baru ramai-ramai memfotokopi. Membaca diiringi rasa was-was.

Refleksi 71 Tahun Indonesia melalui Aksara

"Menulis adalah bekerja untuk keabadian," Pramoedya Ananta Toer

Secara etimologi, aksara dalam bahasa sansekerta terbentuk dari dua kata, yaitu A yang berarti tidak, dan Ksara yang berarti mati. Aksara berarti sesuatu yang tidak mati. Aksara membuat abadi, entah itu ide, atau pribadi.

Ide bisa tumbuh dari mana saja, dari siapa saja. Dia akan bergerak bagaikan udara. Beberapa ide muncul lantas tenggelam. Beberapa yang lain tetap hidup abadi. Aksara yang membuat hidup tetap bertahan. Dia yang menjaga ide padu meski arah angin berubah.

Sebuah buku juga bisa menjadi dokumen. Sebuah arsip yang memperlihatkan perjalanan lahir-tumbuh sebuah bangsa. Atau bisa jadi, buku adalah yang membuat bangsa tetap bertahan. Dia yang membuatnya abadi.

Aksi Massa, Indonesia Menggugat, Tetralogi Buru, dan yang paling anyar Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara adalah segelintir jejak pejalanan bangsa Indonesia. Bangsa yang memiliki sejarah akan perlawanan terhadap ketidakadilan. Bangsa yang lahir, tumbuh, dan berkembang untuk mencapai cita-cita yang didambakan.

Selamat ulang tahun Indonesiaku.

Referensi:

  1. Hartono, Rudi. 2014. Soekarno Dan ‘Indonesia Menggugat’. [Online]. Tersedia: http://www.berdikarionline.com/soekarno-dan-indonesia-menggugat/ [4 Agustus 2016]
  2. Malaka, Tan. 2014. Aksi Massa. Yogyakarta: Narasi.
  3. Poeze, Harry. 2009. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946. Trans. Hersri Setiawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  4. Shiva, Vandana. 1988. Bebas dari Pembangunan. Trans. Hira Jhamtani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  5. Sukarno. (tanpa tahun). Indonesia Menggugat. Jakarta: Departemen Penerangan RI

Kamis, 04 Juni 2020

[MEDIA] POTRET, 14 Tahun Membangun Budaya Baca Di Kalangan Perempuan

Oleh Tabrani Yunis

Pemimpin Redaksi Majalah POTRET, Media Perempuan Kritis dan Cerdas

Alhamdulilah, pada tanggal 11 Januari 2017 ini, majalah POTRET, Media perempuan kritis dan cerdas ini genap berusia 14 tahun. Sebuah usia yang sudah lumayan lama untuk sebuah media, namun bila dianalogikan dengan usia manusia, ini adalah usia yang masih belia, bahkan masih di bawah umur. Namun, bila menelusuri lorong-lorong sejarah lahirnya, orientasinya dan bahkan cita-citanya, serta secara geografis, usia 14 tahun bagi majalah POTRET, termasuk usia yang lumayan lama. Ini menjadi masa yang seharusnya berada pada masa yang matang. Dikatakan demikian, karena latar belakang ( background) lahirnya majalah POTRET tidak sama dengan majalah-majalah yang terbit di ibu kota, dengan template dan patron yang bisa dikatakan business oriented. Ya, berbeda orientasinya dengan majalah-majalah yang terbit di pusat kota Jakarta. Majalah POTRET lahir dari sebuah keprihatinan terhadap nasib kaum perempuan yang menderita, terutama perempuan akar rumput yang ada di wilayah perdesaan.

Majalah POTRET yang mulai terbit pada tanggal 11 Januari 2003, sebelum bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh itu, terbit dilatarbelakangi dari keprihatinan akan nasib kaum perempuan di Aceh yang hidup terbelenggu kemiskinan. Secara kasat mata, kemiskinan yang dialami perempuan adalah kemiskinan harta benda atau kemiskinan material. Namun, bila kita telusuri lebih dalam, kemiskinan yang menghimpit perempuan adalah kemiskinan intelektual dan spiritual, yang wujudnya, miskin ilmu pengetahuan, miskin keterampilan dan miskin sikap atau spirit untuk maju. Kemiskinan ini semakin memperkecil akses dan kontrol kaum perempuan, terutama perempuan akar rumput (grassroots) yang hidup di perdesaan di Aceh, terhadap pembangunan, akses terhadap pendidikan. Kondisi ini membuat perempuan tidak punya kemampuan membaca, tidak punya minat membaca dan bahkan sama sekali kehilangan semangat untuk maju dan keluar dari belenggu kemiskinan tersebut.

Nah, berangkat dari keprihatinan tersebut, maka Center for Community Development and Education (CCDE), Banda Aceh, sebagai sebuah organisasi nirlaba (nonprofit), atau LSM yang peduli dan bekerja untuk perempuan, melakukan berbagai kegiatan pendidikan alternatif bagi kaum perempuan di Aceh. Kegiatan-kegiatan itu mulai dari kegiatan pertemuan membangun konsolidasi, membangun kesadaran dan hingga pada kegiatan pelatihan dan lain sebagainya yang bisa membuka mata perempuan, serta mendorong perempuan untuk secara aktif berkarya di tengah-tengah masyarakat, agar bisa keluar dari belenggu kemiskinan dalam berbagai bentuk dan jenisnya.

Akhirnya, lantaran niat & komitmen buat berbuat, membarui kondisi kemiskinan & kebodohan wanita yang parah itu menjadi lebih baik, maka selain memberikan pelayanan pendidikan alternatif, CCDE pada tahun 1998 menggagas lahirnya media belajar bagi kaum perempuan di Aceh. Lalu, selesainya melalui proses yg panjang, mempersiapkan penulis-penulis perempuan , dengan melatih 25 perempuan menurut 6 kabupaten pada Aceh menggunakan membentuk pencerahan membaca & membuat karya tulis, penggalangan dana buat penerbitan, maka buat pertama kali majalah POTRET diterbitkan dalam lepas 11 Januari 2003 kemudian. POTRET lahir pada bentuk media yg sangat minim, lantaran bentuknya masih newsletter. Tetapi demikian, menggunakan semangat membaca, POTRET ketika pertama kali terbit menggunakan tagline ? Media perempuan Aceh?. Artinya, masih terbatas pada kalangan perempuan pada Aceh saja. Sayangnya, baru 3 edisi terbit, bala tsunami meluluhlantakkan Aceh dan POTRET berhenti terbit. Sementara impian membentuk budaya & kebiasaan membaca masih belum beranjak. Tetapi, virtual itu nir meninggal, walau seluruh yg dimiliki CCDE dan POTRET habis disapu tsunami.

Nah, ketika trauma masih belum pulih, impian membantu perempuan keluar dari kemiskinan intelektual masih belum selesai, maka pada pertengahan 2006, tepatnya bulan Juli, POTRET kembali terbit dalam bentuk buletin setelah mendapat bantuan dari Hivos. Hadirnya POTRET saat itu menjadi amunisi baru untuk menyemangati kerja-kerja pencerdasan kaum perempuan lewat kegiatan membangun budaya baca di Aceh, pasca bencana tsunami tersebut. Sejak itu, upaya untuk menumbuhkan semangat membaca kaum perempuan, terutama yang menjadi penerima manfaat (beneficiaries) program CCDE semakin menggeliat. CCDE dengan terbitan POTRET mengadakan sejumlah pelatihan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan baca kaum perempuan Aceh dari 18 kabupaten di Aceh. Sejak saat itu, hingga tahun 2011, lebih dari 1000 perempuan di Aceh dilatih dengan kemampuan membaca dan menulis, sebagai bagian dari upaya membangun gerakan menulis di kalangan perempuan di Aceh saat itu. CCDE dan POTRET membangun kemampuan membaca dan menulis kaum perempuan dengan memposisikan perempuan sebagai pelaku atau subjek media, bukan sebagai objek, sebagaimana layaknya dan banyaknya media yang terbit lainnya.

Dengan cara ini, perempuan bukan hanya sanggup membuka mata menaikkan kemampuan atau daya baca, tetapi dibantu dan dibimbing buat sebagai lebih produktif dalam mengekspresikan pikiran, perseteruan, menganalisis dan jua mencari jalan keluar menurut sejumlah dilema yg dialami atau dihadapi sang kaum wanita di Aceh khususnya dan masyarakat global dalam umumnya. POTRET, di samping menjadi media buat membaca, sekaligus menjadi media belajar menulis, menuangkan wangsit atau pikiran secara tertulis.

Metodologi yang dipakai oleh majalah ini, jauh berbeda menggunakan media-media mainstream lainnya di tanah air. Jika majalah-majalah yg terbit di kota Jakarta, menerima naskah yg diketik menggunakan rapi dengan kriteria yg tinggi, maka majalah POTRET menerima kiriman karya tulis kaum wanita yang ditulis tangan & kemudian diketik & dilakukan penyuntingan yg tidak mengganggu pesan yang ingin disampaikan oleh para penulis wanita tadi. Kemudian POTRET terus bermetamorfosis, berdasarkan majalah komunitas sebagai majalah generik yg tidak hanya diterima gratis oleh para wanita yg menjadi beneficiaries menurut program CCDE, akan tetapi lalu masuk ke pasaran dan sebagai bacaan serta referensi bagi wanita-perempuan pada luar wanita akar rumput. POTRET menjadi satu-satunya majalah perempuan yg sangat peduli terhadap perkara perempuan . Satu-satunya majalah wanita yang terbit di Aceh & masuk menembus ke level nasional, bahkan sebagai media bagi perempuan pada taraf dunia. Buktinya, semakin banyak penulis & pembaca yang asal berdasarkan mancanegara yang mengirimkan goresan pena, baik pada Bahasa Indonesia, maupun Bahasa Inggris. Untuk memenuhi kebutuhan para wanita yg berada pada luar Aceh, majalah POTRET lalu menyediakan versi online, yg kini sanggup diakses pada www.Potretonline.Com

Episode yang membahagiakan Sejalan dengan semakin meluasnya jangkauan atau capaian pembaca dan penulis POTRET, maka tagline “POTRET, Media Perempuan Aceh” menjadi tidak relevan lagi. Sehingga kemudian tagline itu disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi, bahwa POTRET bukan lagi hanya menjadi media perempuan Aceh, akan tetapi menjadi media perempuan kritis dan cerdas, di mana saja berada. Jadi, walaupun terbit di Aceh, namun bukan hanya Aceh, akan tetapi juga semua perempuan di nusantara dan mancanegara. Ternyata dengan perubahan tersebut, kemudian semakin banyak perempuan di nusantara dan mancanegara yang terlibat aktif mengisi majalah ini untuk saling berbagi informasi, menyediakan bacaan yang menarik bagi para pembaca yang umumnya adalah perempuan.

Meluasnya jangkauan majalah POTRET terkait dengan semakin banyaknya goresan pena yg masuk berdasarkan para perempuan dari luar komunitas & menurut luar Aceh hingga ke mancanegara, membuat majalah POTRET menjadi semakin strategis bagi upaya menciptakan budaya baca di kalangan wanita, baik di Aceh, maupun pada luar Aceh. Bahkan dalam perjalanan selama 14 tahun, peran majalah POTRET membentuk budaya baca dan budaya literasi di kalangan perempuan , kemudian meluas masuk ke ranah pendidikan formal, dimana majalah POTRET sebagai bahan bacaan bagi para pelajar di sejumlah sekolah, pesantren dan perpustakaan. Dengan demikian, fungsi majalah POTRET merupakan menjadi media baca atau jua sumber bacaan perempuan dan warga generik.

Tentu saja, waktu majalah POTRET menjadi satu-satunya majalah wanita yang terbit pada Aceh untuk Indonesia ini, wajib sebagai media bersama yg bersinergi buat membangun budaya membaca, budaya berkarya atau budaya literasi, bukan hanya di kalangan wanita, tetapi pula pada kalangan rakyat generik pada Aceh & pada tanah air. Oleh karena itu, eksistensi majalah POTRET sebagai media perempuan kritis & cerdas, wajib selayaknya menerima dukungan positif menurut seluruh pihak yang peduli dan merasa krusial menciptakan budaya baca pada kalangan wanita, sampai semua wanita idealnya terbebas berdasarkan belenggu kebodohan & kemiskinan, sebagaimana hasrat atau impian awal majalah POTRET. Mari kita bangun sinergi menciptakan budaya baca pada masyarakat kita. Ini merupakan hal yg menggembirakan menurut bepergian panjang hadirnya majalah POTRET selama 14 tahun membentuk gerakan literasi di kalangan perempuan pada Aceh & nusantara.

Memilukan

Banyak hal yang membahagiakan dan melegakan hati dari sejarah perjalanan terbitnya POTRET dan kerja-kerja membangun budaya baca selama 14 tahun tersebut. Bisa bertahannya majalah ini selama kurun waktu 14 tahun adalah sebuah fakta yang menakjubkan, karena banyak media yang terbit di Aceh bertumbangan karena banyak faktor. Sementara POTRET, walau seperti kerakap tumbuh di batu, hingga kini masih eksis, ya masih terbit. Namun, di balik cerita suka cita tersebut, tidak sedikit pula cerita duka yang menyelimuti majalah POTRET.

Sebagaimana kita ketahui bahwa keberlanjutan sebuah media cetak, baik surat kabar maupun majalah ada pada ketersediaan pendanaan (sustainability of fund) dan ketersediaan tema dan artikel yang akan dipublikasikan. Ketersediaan dana, bisa dalam bentuk dukungan iklan dari berbagai pihak dan ketersediaan bahan untuk isi media yang dijadikan sebagai modal yang akan dijual kepada pembaca. Lalu, duka apa yang dialami oleh majalah POTRET?

Salah satu duka nestapa yang dialami sang majalah ini merupakan hilangnya kekuatan kapital keuangan buat seluruh proses produksi & distribusi. Ketiadaan dana membuahkan kegiatan penerbitan terseok-seok. Majalah POTRET terbit tanpa didukung oleh sponsor iklan atau asal pernapasan bagi sebuah media. Hal ini membuat majalah POTRET kesulitan dalam hal pembiayaan. Sehingga, majalah POTRET bagai kerakap tumbuh di batu; hayati enggan, tewas tidak mau. Kondisi ini semakin tidak baik ketika nir ada lagi donatur yang ikut membantu. POTRET harus terbit secara mandiri. Jadi, ini memang memilukan & semakin memilukan lagi, ketika Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yg mendengung-dengungkan kata sinergi, dalam kenyataannya itu hanya ilusi. Begitu jua pada kalangan LSM yg bekerja buat perempuan . Mereka nir melihat eksistensi majalah POTRET sebagai sebuah potensi atau kekuatan yg sebagai bagian berdasarkan gerakan wanita. Jadi memang memilukan. Karena ketika ini, majalah POTRET masih belum dianggap sebagai sebuah media yg mencerdaskan & diperlukan sang semua orang. Padahal, impian majalah ini adalah terbangunnya budaya baca dan berkarya di kalangan perempuan .

Selasa, 02 Juni 2020

[MEDIA] MEMAHAMI DIRI MELALUI DUNIA MAYA

Oleh: Any Sulistyowati

Di zaman terbaru ini, aneka macam jenis warta dapat menggunakan mudah kita peroleh melalui global maya. Salah satu cara termudah & murah antara lain dengan mengakses layanan-layanan gratisan pada internet. Di internet, tersedia aneka macam informasi sesuai kebutuhan kita. Informasi tersebut dikemas pada banyak sekali bentuk seperti teks tertulis/dokumen, video, suara, maupun kartun/gambaran. Metodenya pun majemuk, mulai menurut pengisian berita umum, mendengarkan ceramah narasumber, membaca artikel, mengikuti petunjuk yg terdapat dalam video, dan lain-lain. Tidak terkecuali aneka macam fakta / metode buat tahu diri. Memahami diri merupakan keliru satu proses yang sangat penting bagi seseorang insan. Lewat proses pemahaman diri, seseorang dapat mengidentifikasi kekuatan-kekuatan dirinya, talenta-talenta yg dimilikinya serta menggunakannya secara bijaksana buat mencapai impian-impiannya. Salah satu bagian krusial menurut proses pemahaman diri adalah penerimaan diri.

Melalui proses penerimaan diri, kita akan terbantu buat memiliki konsep diri yang lebih positif. Proses ini memungkinkan kita untuk memilih bidang ilmu yang sinkron, karir yg sempurna, aktivitas-kegiatan yang bermakna, serta pasangan hidup yg cocok. Singkatnya, menggunakan pemahaman diri yang sempurna, kita mampu lebih baik dalam menyusun taktik menjalani kehidupan. Salah satu cara buat tahu diri merupakan dengan mengenal tipe-tipe kepribadian. Ada cukup banyak konsep tipe-tipe kepribadian yang dikenal saat ini. Dengan mengenali tipe-tipe kepribadian, seseorang bisa lebih baik memetakan pola-pola yg terdapat pada pada hidupnya & membuat langkah-langkah antisipatif untuk menjalani kehidupan. Ia bisa mengenali hal-hal positif yang dimiliki dan mengasahnya sehingga berkembang ke arah yang makin mendewasakan dirinya. Ia juga bisa mengenali hal-hal yg mungkin dipercaya negatif atau kelemahan tipe tersebut serta berlatih buat memakai hal-hal negatif tersebut buat hal-hal yang sangat positif di pada kehidupannya.

Berikut ini adalah beberapa tipe-tipe kepribadian yg dapat dipakai buat membantu proses pemahaman diri & contoh-contoh situs di internet yang bisa ditelusuri buat mendalami pemahaman kita.

Personality Plus

Personality Plus dikembangkan oleh Florence Littauer. Ia membagi kepribadian manusia ke dalam empat kategori, yaitu: Koleris, Sanguinis, Melankolis dan Plegmatis. Di dalam pengelompokan ini, tidak ada tipe tertentu yang lebih baik dari tipe lainnya. Untuk setiap tipe kepribadian terdapat kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan masing-masing. Misalnya, tipe koleris memiliki kecenderungan sebagai pemimpin dan mengontrol yang lain tetapi mungkin kurang sabaran; tipe sanguin biasanya terlihat antusias, aktif, mudah bersosialisasi tetapi mungkin pertimbangan kurang mendalam; tipe melankolis biasanya lebih tenang, pemikir dan mengejar kesempurnaan tetapi mungkin terlihat lambat; sementara tipe plegmatis biasanya cenderung rileks dan damai tetapi mungkin terlihat kurang aktif dan energik.

Seseorang dapat mengecek tipe kepribadiannya dalam Personality Plus dengan cara mengunjungi situs yang memberikan layanan kuis untuk memeriksa tipe kepribadian, misalnya : http://www.gotoquiz.com/personality_plus_1. Tes tersebut dapat diikuti dengan gratis. Dalam tes tersebut kita perlu menjawab sejumlah pertanyaan dengan empat pilihan mengenai apa yang paling menjadi kekuatan dan kelemahan kita. Setelah kita menjawab seluruh pertanyaan dan menyelesaikan tes, maka kita dapat mengetahui tipe kepribadian kita. Jika kita ingin mengetahui lebih lanjut mengenai tipe-tipe tersebut, kita dapat melanjutkan penelusuran informasi lebih jauh antara lain melalui situs-situs sebagai berikut: https://en.wikipedia.org/wiki/Four_temperaments; dan https://en.wikipedia.org/wiki/Florence_Littauer.

Selain itu, kita juga bisa melakukan penelusuran sendiri untuk mendapatkan berbagai materi-materi terkait dalam bentuk artikel dan video melalui situs pencarian GOOGLE (www.google.com) dan YOUTUBE (www.youtube.com) dengan memasukkan kata kunci misalnya personality plus atau four personality types.

Eneagram

Eneagram adalah salah satu konsep kepribadian manusia yang cukup banyak digunakan. Eneagram berasal dari Bahasa Yunani, yaitu enea yang berarti “sembilan”. Di dalam eneagram dikenal sembilan tipe kepribadian manusia. (https://en.wikipedia.org/wiki/Enneagram_of_Personality).

Sembilan tipeeneagram
Di dalam eneagram, terdapat sembilan tipe kepribadian. Semua tipe diberi nomor antara 1 sampai 9, yaitu (1) Perfeksionis, (2) Penolong, (3) Pengejar Prestasi, (4) Seniman, (5) Pemikir, (6) Loyalis, (7) Petualang, (8) Pemimpin, dan (9) Pendamai. Penomoran ini berlaku sama di seluruh dunia.

Setiap orang memiliki satu tipe kepribadian, yang disebut dengan tipe pokok . Kesembilan tipe eneagram ini saling terkait satu sama lain dalam hubungan integrasi -disintegrasi serta sayap . Dengan memahami “tipe pokok”, “integrasi”, “disintegrasi” serta “sayap” eneagram, kita dapat memahami peta pergerakan situasi mental kita dan menyusun strategi kehidupan dan langkah-langkah antisipatif mengenainya.

Beberapa orang bisa jadi memiliki tipe kepribadian pokok yang sama di dalam eneagram, tetapi perilakunya sangat berbeda satu sama lain. Hal ini tergantung dari tingkatan kesehatan mental mereka di dalam kategori eneagram. Mereka yang sehat akan tampak persis seperti dideskripsikan dalam kekuatan-kekuatan tipe pokoknya. Mereka yang tidak sehat mungkin cenderung tampak seperti deskripsi dalam tipe disintegrasinya. Sementara mereka yang sangat sehat, mungkin tampak seperti deskripsi pada tipe integrasinya. Tipe kepribadian seorang anak bisa jadi tidak sama dengan tipe kepribadian yang dimiliki oleh salah satu atau kedua orang tuanya. Untuk mengetahui tipe eneagram kita, kita dapat mengikuti tes yang ditawarkan secara gratis oleh situs seperti https://www.eclecticenergies.com/enneagram/test.php. Setelah mengetahui tipe kita, situs tersebut juga menawarkan teknik-teknik pengolahan energi terkait masing-masing eneagram. Contohnya dapat dilihat di link berikut: https://www.eclecticenergies.com/enneagram/energyhealing1.php.

Jika ingin mengetahui lebih jauh tentang berbagai tipe eneagram, Anda dapat menjelajahi https://www.enneagraminstitute.com untuk mendapatkan informasi lengkap mengenai setiap tipe dan berbagai informasi terkait eneagram lainnya. Anda juga dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti milis (mailing list) mereka dan menerima email berisi kata-kata mutiara sesuai tipe eneagram Anda setiap hari (daily enneawisdom). Anda juga dapat mencari informasi mengenai buku-buku apa saja yang dapat Anda baca untuk mengetahui lebih lanjut mengenai eneagram.

Buku-buku yang direkomendasikan olehEnneagram Institute

MBTI

MBTI (https://en.wikipedia.org/wiki/Myers%E2%80%93Briggs_Type_Indicator) dikembangkan oleh Katharine Cook Briggs and Isabel Briggs Myers berdasarkan teori yang terdapat di dalam buku Carl Jung berjudul Psychological Types. Tujuan mereka adalah membuat agar teori psikologi yang dideskripsikan oleh Jung dapat dipahami dan bermanfaat dalam praktek kehidupan manusia. Untuk memahami MBTI, kita dapat mengunjungi situs The Myers and Briggs Foundation di http://www.myersbriggs.org/. Di dalam situs tersebut kita dapat memperoleh informasi mengenai apa itu MBTI, sejarahnya, penjelasan mengenai setiap tipe, bagaimana cara mengetahui tipe kita dan penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Selain memberikan warta pada publik, organisasi ini pula menerapkan etika dalam penggunaannya. Etika ini memastikan bahwa setiap pengguna dapat memperoleh fakta yg sempurna dan seksama tentang tipe mereka. Dengan keterangan yg sempurna & akurat, seseorang dapat mengembangkan diri & menaikkan kualitas hidup sesuai menggunakan potensi terbaik masing-masing.

Http://www.Myersbriggs.Org/my-mbti-personality-type/mbti-basics/

Selain melalui situs organisasi the Myers & Briggs Foundation, kita juga dapat memeriksa tipe MBTI kita secara gratis melalui situs https://www.16personalities.com/free-personality-test.

Penutup

Mempelajari tipe-tipe kepribadian sangat berguna sebagai media untuk lebih mengenal diri kita. Dengan mengenal diri, kita bisa menyusun strategi dalam kehidupan kita. Kita dapat mengidentifikasi ruang-ruang dan peluang-peluang untuk tumbuh, berkembang dan mencapai keseimbangan. Tipe kepribadian tersebut akan tetap seumur hidup kita, tetapi dengan pemahaman yang lebih baik, kita dapat bertindak secara berbeda. Kita dapat secara sadar memilih respons yang lebih baik dan tidak justru terpenjara di dalam tipe-tipe kepribadian tersebut.

***

_________________________

[1] Tipe pokok eneagram adalah tipe yang ditentukan berdasarkan motivasi kunci seseorang dalam melakukan tindakan. Beberapa orang dengan tipe yang berbeda bisa jadi dapat mengambil tindakan yang sama tetapi dengan motivasi yang berbeda. Sebaliknya beberapa orang dengan tipe yang sama mungkin mengambil tindakan yang sama sekali berbeda, tetapi dengan motivasi yang sama.

[2] Integrasi adalah kondisi dimana tingkat kesehatan mental tipe pokok sangat tinggi sehingga berasosiasi pada hal-hal positif atau kekuatan-kekuatan tipe integrasinya. Setiap tipe pokok eneagram memiliki pasangan tipe integrasi masing-masing.

[3] Disintegrasi adalah kondisi dimana tingkat kesehatan metal tipe pokok sangat rendah sehingga berasosiasi pada hal-hal negatif atau kekurangan-kekurangan tipe disintegrasinya. Setiap tipe pokok eneagram memiliki pasangan tipe disintegrasi masing-masing.

[4] Sayap adalah adalah tipe dengan nomor sebelum atau setelah tipe pokok.

Jumat, 29 Mei 2020

[MEDIA] MENGURAI BERAGAM RASA DI TABULA RASA

Tahun            : 2014

Durasi           : 107 menit

Sutradara      : Adriyanto Dewo

Produksi       : Lifelike Pictures

            Pemeran        : Dewi Irawan, Jimmy Kobagau,

Yayu Unru, Ozzol Ramdan

“Bawangnya bawang impor. Dia murah tapi hambar. Ah, kalau ini bawang lokal, rasanya tajam. Cium! Hasil dari tanah kita sendiri. Kamu bingung kenapa bawang impor itu lebih murah daripada bawang lokal? Mak juga bingung."

Itulah sepenggal percakapan Mak & Hans waktu subuh-subuh berbelanja pada sebuah pasar kota Jakarta. Hans, berkulit legam & berambut keriting, sedang memakai kaos berpola celup-ikat rona-warni, yg baru dibeli berdasarkan uang saku Mak. Selanjutnya mereka pulang membawa majemuk barang. Hans memikul beras di pundaknya. Ia bersikeras nir mau memanggil becak. ?Ah nir usah Mak! Kita wajib hemat,? Serunya sambil menyeberang jembatan.

Gambar 2 Hans tergeletak semalaman di atas jembatan penyeberangan kereta. Sumber: tabularasafilm.com

Jembatan seakan menjadi perumpaan visual yang kerap muncul di film Tabula Rasa (2014) besutan Adriyanto Dewo. Jembatan menjadi jalur para karakter menuju pengalaman-pengalaman baru. Hans, yang dimainkan dengan menyentuh dan jenaka oleh aktor dari Wamena, Jimmy Kobogau, beberapa kali beradegan di atas jembatan. Pertama kali, kita menjumpai Hans memanjat pagar jembatan dan hendak melompat menjelang serangkaian kereta commuter yang sedang melaju. Kedua, Hans ternyata terjatuh ke belakang dari percobaan bunuh diri tersebut dan terlelap hingga pagi. Di situ lah Mak dan Uda Natsir menemukannya.

Dengan kepala terluka, Hans dibawa oleh Mak (Dewi Irawan) ke Takana Juo, rumah makan masakan Padang miliknya. Di sana Mak bekerja sama dengan Uda Natsir (Ozzol Ramdan) dan Uda Parmanto (Yayu Unru). Ketiganya mengungsikan diri dari tanah Minang ke Jakarta pada 2009. Gempa meluluhlantakkan desa mereka. Hanya berbekal ‘delapan tulang’ mereka merintis Takana Juo. Parmanto menjadi juru masak pengeksekusi resep-resep Mak. Natsir membantu mengurus operasional.

Hans sendiri adalah seorang putra daerah Serui, Papua, yang mahir bermain sepakbola. Dahulu di panti asuhan tempatnya tinggal, dialah sang pemimpin doa makan untuk 14 saudara angkatnya.  Namun dia memilih merantau ke Jakarta setelah seorang agen nasional memuji kepiawaiannya. “Kenapa tidak ke Persipura atau Perssidafon saja?” tanya mama angkat Hans suatu malam. Hans pun menukas, “Di Jakarta nanti, saya akan jadi orang hebat.”

Namun nasib jelek bagi Hans, kariernya kandas. Ia menjadi gelandangan yang bertahan hidup dengan memunguti beras pada lantai gudang saudagar. Saat berlari mengejar truk, Hans kalah sang anak-anak muda. Kakinya sekarang terseok-seok.

Suatu malam, Hans membuka kotak sepatu sepakbola di loka bernaungnya, sebuah rongga di bawah rumah berdinding dengan kardus. Setelahnya kita diajak melihat sebuah memori permainan sepakbola antara Hans & rekan-rekannya berdasarkan Papua. Mereka bermain di antara tumpukan kontainer yg identik menggunakan area pelabuhan. Kaki Hans pun telanjang tanpa alas kaki. ?Gol!!!? Teriak mereka. Hans pun pulang menggunakan senyuman. Sembari mengeringkan keringat, kita melihat rosario bersalib tergantung di lehernya.

Gambar 3 Hans membantu Mak berbelanja ke pasar setiap harinya.

Sumber: tabularasafilm.com

Pasar, kereta, gudang, jalanan, dan truk. Itulah latar cerita film ini. Jakarta ditampilkan apa adanya, tempat di mana banyak orang dari berbagai penjuru datang mencari peruntungan. Mak menunjukkan rantai produksi ibukota dengan berbelanja ke pasar setiap subuh lalu naik becak pulang. Rumah makan mereka sederhana di pinggiran kota, membumi dengan tungku kayu, gilingan cabai, alat pemarut dan pemeras santan dari kayu.

Gambar 4 Dapur Takana Juo yang sangat sederhana dan penuh dengan sensasi sensori menjadi ruang interaksi.

Sumber: tabularasafilm.com

Serangkaian pertarungan timbul setelah mereka seluruh berinteraksi. Perbedaan logat & bahasa nir membantu. Sepanjang film, tiga karakter Minang menampilkan dialog bahasa daerahnya yang kental. Akan namun intonasi dan gerak tubuh tak jarang memberi isyarat tentang apa yang sedang dibicarakan.

Gambar 5 Gulai kepala ikan.

(Sumber: erieknjuragan.com: Tabula rasa, makanan adalah itikad baik untuk bertemu.)

Di antara pertarungan-permasalahan itulah masakan khas seperti ayam balado, rendang, dendeng batokok lado hijau, papeda, ikan kuah kuning, gulai ketua ikan berhasil mengurai rasa dan pikiran para karakter. Momen-momen kebebasan timbul dari aksi bersama menyebarkan ataupun meramu masakan. Seringkali penguraian rasa hati ada menurut proses mengurai rasa di pengecap. Adegan penyadaran ada setelah sesuap-2 suap tersantap. Proses meracik bahan & bumbu pun sebagai papan komunikasi antar tradisi & pengalaman. Magisnya, semua seakan terjadi lantaran idealisme Mak menentukan bahan-bahan alami Indonesia.

Gambar 6 Hans dan Mak menikmati ikan kuah kuning dan papeda protesis Hans.

Tidak ada plot cerita yang berliku-liku. Terkadang ada flashbackyang diberikan. Namun, sedikit sekali yang disajikan tentang latar belakang Serui dan Papua. Sedangkan gambaran tentang tanah asal Mak dan kawan-kawannya hanya muncul dari bingkai foto maupun lukisan. Yang kita tahu, daerah tersebut dilanda gempa tahun 2009. Apabila merujuk kejadian nyata, maka bisa jadi Mak dan kawan-kawan berasal dari kota Padang atau sekitarnya.

Film ini fokus bercerita tentang hal-hal aktual dan dekat. Selain cerita latar yang minim, kita lebih banyak diberikan visual-visual Jakarta sehari-hari yang jauh dari hingar-bingar. Rutinitas kota dimunculkan dari kereta commuter yang rutin lewat saat hari gelap. “Jam berapa kereta yang paling akhir lewat?” tanya Mak ketika khawatir terhadap Hans. Setiap kali Takana Juo tutup, rutinitas bersih-bersih dimulai. Neon temaram berpendar menerangi ruangan.

Gambar 7 Para karakter Tabula Rasa (Sumber: erieknjuragan.com)

Mungkin itulah latar yg sinkron, tanpa bumbu-bumbu kepalang rumit. Interaksi mereka pun kadang canggung, layaknya orang-orang yang tidak sama namun saling ingin mengembangkan. Kita tampaknya diperbolehkan menebak-nebak sesuai dengan rasa hati kita. Yang kentara, mereka sebagai dekat sahih-benar karena mengalami pengalaman berbagi. Meski perbedaan dan prasangka menjadi ganjalan pada awal, pengalaman-pengalaman itu membantu mereka mengurai rasa yang mereka miliki.

Di akhir cerita kita melihat Hans memakai kaos biru polos. Kontras dengan bajunya di awal cerita: merah dan compang-camping. Ia menyusuri jalanan melawan arus motor, mobil, dan truk kota Jakarta.

[i] Tabula Rasa. Https://en.Wikipedia.Org/wiki/Tabula_rasa#Philosophy. Diakses 25 Juli 2017.

Selasa, 26 Mei 2020

[MEDIA] MENGALAMI “BUNGA RAMPAI FILM DOKUMENTER TENTANG PEREMPUAN PEJUANG TANAH AIR”

Oleh : Asra Wijaya

Film berada di antara seni dan kehidupan (Jean Luc Godard)

Sineas Perancis, Godard melihat fenomena teknologi film kini hadir dalam keseharian dalam genggaman di layar ponsel dan tidak lagi sekedar hiburan semata. Film kini digunakan sebagai komunikasi sosial, iklan, kampanye, ritual keagamaan, kuliah atau seminar akademis, hingga lain-lainnya. Kemungkinan inilah yang kemudian menciptakan ilusi yang semakin tipis selaput pembedanya antara fiksi dan kenyataan. Godard pun menelurkan pernyataan yang dikutip oleh penulis di awal tulisan ini.

Dalam Sejarah Sinema Dunia, dikenal beberapa mazhab atau style film. Misalnya Avant garde, cinema verite, neo-realisme italia, cinema novo, nouvelle vague, german expressionism, sampai soviet sinema. Dua hal yang terkait dengan tema tulisan ini adalah neo-realisme italia dan cinema novo brazil.

Neo-realisme Italia

Neo-realisme Italia ialah mazhab film di Italia yang berkembang pasca keruntuhan diktator Mussolini. Kedok munafik dari pemerintahan yang fasis penting untuk dibuka. Seniman film kala itu ingin membuka kenyataan sosial Italia yang riil yaitu kondisi melarat dan getir kaum urban, terutama kaum buruhnya. Beberapa prinsip kerja neo-realisme italia:

1. Film harus menampilkan sepotong kehidupan nyata

2. Ia harus memotret kenyataan yang sebenarnya, terutama kenyataan sosial yang buruk dan pahit

3. Dialog dan bahasa senatural mungkin, kalau perlu gunakan pemain non-aktor

4. Gaya syuting sebaiknya ala dokumenter.

Beberapa tokoh dalam neo-realisme Italia : Luchino Visconti, Roberto Rosselini, Vittorio de Sica.

Cinema novo

Cinema novo berkembang di Brazil tahun 1950-an dan kelak menjadi gelombang baru di Eropa kemudian. Situasi Brazil tahun 60-an diwarnai kemiskinan, kelaparan, dan kekerasan. Sineas Brazil kemudian menyadarkan masyarakat dengan cara lantang menyerukan slogan macam estetika kelaparan, atau estetika kekerasan. Film Terra em Trase (tanah derita) karya Rocha (1967) menunjukkan keterbelakangan dan ketidakberdayaan di bawah rezim militer 1964. Film ini juga disebut Tropikalis, hendak menampilkan bagaimana Dunia Ketiga sesungguhnya makan dan hidup dari remah-remah atau sampah kapitalisme dunia pertama.

Waktu sekolah dasar, penulis pernah mendapat cerita dari ibunya. Di desa sebelah, para ibu-ibu berada di garis depan ketika demo berhadapan dengan tentara. Konflik tanah antara warga dengan pemilik perkebunan di pedalaman Sumatera Barat. Waktu itu Ibu menambahkan: Mereka pikir, para warga itu, dengan memasang badan ibu-ibu para tentara itu tidak berani  apa, jelas saja, mereka jadi bulan-bulanan. Penulis yang kala itu belum punya nalar tidak bisa berargumen. Anggap saja tulisan ini adalah argumen yang tertunda untuk peristiwa masa silam itu.

Ternyata peristiwa macam demikian terulang lagi. Sejarah mengulang-ulang kemalangan. Menciptakan cerita perjuangan dan melahirkan pejuang serta pahlawan. Lewat film bunga rampai ini penulis menyaksikan ibu-ibu memperjuangkan haknya, hak atas tanah airnya.

Mama Aleta dari Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, memimpin perlawanan  terhadap 4 tambang marmer.

Mama Aleta mengungkapkan filosofi warga Mollo dalam berkehidupan. Konsep filosofis itu menganalogikan alam dengan manusia. Hutan adalah rambut dan pori-pori. Tanah adalah daging. Batu adalah tulang sementara Air adalah darah. Jika salah satu tidak dipunyai maka manusia bukan manusia lagi namanya. Itulah awal cerita perlawanannya dengan tambang marmer. Batu yang mulanya dianggap kosong dan bebas ditambang kemudian oleh Mama Aleta dikembalikan ke filosofi alam. Sederhana memang kedengarannya, akan tetapi konsep keseimbangan ekologis yang menganggap alam sebagai subjek yang berkesadaran layaknya manusia ini lantas diperjuangkan oleh Mama Aleta. Agar alam tetap lestari.

Bukan tanpa halangan dan rintangan Mama Aleta menjalani perjuangannya. Sudah melawan tambang, perempuan pula. Sebuah kenyataan ironi dalam melawan pola pikir patriarkis yang demikian mengakar dalam kehidupan kini. Tambang marmer yang beroperasi demi kemajuan, demi pembangunan dilawan keberadaannya oleh perempuan. Perempuan yang menjadi lembah berkumpulnya penindasan dalam budaya patriarkis. Perempuan di Mollo tidak punya suara untuk mengambil keputusan. Namun segala perbuatan dengan niatan Tulus ternyata didukung oleh alam, diuji juga oleh alam.

Eva Bande di Banggai, Sulawesi Tengah memimpin perjuangan petani merebut kembali lahan pertanian yang dirampas perusahaan sawit. Beliau dipenjara karena dituduh memprovokasi petani.

Nissa Wargadipura, Deklarator Serikat Petani Pasundan, Pemimpin Pesantren Agroekologis Ath-Thariq Garut-Jawa Barat memperjuangkan pertanian yang diklaim oleh PTPN.

Opung Putra, pemimpin perempuan yang berjuang menyelamatkan hutan kemenyan yang dirampas perusahaan PT Toba Pulp Lestari di Padumaan Sipituhuta, Sumatera Utara.

Panggilan Tanah Air

Noer Fauzi Rachman, Ph.D.-Sajogyo Institute Bogor mengawali film ini dengan diskusi buku yang baru beliau rilis. Lewat diskusi Noer membeberkan fakta-fakta tentang konflik agraria. Mulai dari pasar yang bergeser menjadi pemaksa kebutuhan yang memproduksi terus menerus kebutuhan semu demi kemajuan. Sampai pengurangan jumlah rumah tangga tani dan pengurangan lahan. Fakta tentang rumah tangga tani yang berkurang sebanyak 5 juta dalam kurun waktu 10 tahun, atau 1 rumah tangga tani per menit beralih profesi. Bukan karena apa melainkan karena  lahan pertanian yang beralih 1/4 hektar per menit dll. Beralih menjadi perumahan, perkebunan PT, pabrik dan tambang.

Screenshot video "Bunga Rampai Film Dokumenter tentang Perempuan Pejuang Tanah Air - Noer Fauzi Rahman membahas "Panggilan Tanah Air"

Istilah 'tanah air' yang dulu diciptakan oleh para pejuang kemerdekaan demi mempersatukan rasa cinta kepada Indonesia kini sudah usang. Oleh karena itu, Noer lewat "Panggilan Tanah Air"-nya ingin mengembalikan rasa cinta terhadap ibu pertiwi. Lewat perjuangan melalui jalur agraria.

Hal menarik lainnya untuk disoroti adalah peran wanita dalam konflik agraria. Tubuh wanita yang dianggap sebagai tempat segala ketidakadilan bersarang. Mulai dari ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan seksual, serta ketidakadilan lainnya yang berasal dari pola pikir patriarkis.

Kapitalisme lanjut yang berakibat kepada rusaknya alam, terbunuhnya manusia-manusia petani demi mempertahankan tanahnya dirasa oleh sang moderator kurang radikal dan mendalam. Pola pikir patriarkis-lah yang mengakibatkan semua itu. Maka dari itu perlawanan perempuan pejuang ini adalah perjuangan yang menyasar akar patriarkis itu sendiri.

Di dalam Panggilan Tanah Air, sang penulis memiliki tujuan agar masalah agraria lebih mudah untuk dilihat. Lantas memulihkan kondisi tanah air yang tengah porak poranda. Sebab hidup di zaman semua serba dipandang sebagai komoditas yang mesti diperdagangkan. Terjadi reorganisasi ruang oleh pasar yang sedemikian rupa besarnya bahkan didukung oleh negara.

Gerakan Sosial Baru

Gerakan Sosial Baru atau disingkat GSB (New Social Movement) terbentuk lewat aksi kolektif yang berdasarkan pengalaman individual. Seorang petani yang kemudian mengalami pendefinisian ulang identitasnya di tengah konflik agraria. Lantas muncullah aspek solidaritas bersama para petani pada keterlibatan dalam konflik dan menjadi aksi kolektif demi menembus batas dengan kesesuaian sistem. Demikianlah kerangka konseptual Gerakan Sosial Baru ala Melucci.

Gerakan ini bisa terangkat menjadi objek tunggal yang memiliki ruangnya sendiri sebagai aksi kolektif di era masyarakat kontemporer karena tidak lagi dipandang sebagai hasil dari pertentangan basis produksi, tetapi sebuah hasil dari produksi sosial dan kultural. (Okie:2017)

Dalam Bunga Rampai Film Dokumenter ini, potret GSB nyata terlihat lewat penuturan pengalaman Mama Aleta dkk. dalam bergerak bersama mempertahankan nilai-nilai sosial yang mereka miliki. Nilai-nilai yang berujung demi membela tanah air tempat mereka hidup dan melestarikan kehidupan itu sendiri.

Ekofeminisme dan Perlawanan Simbolik

Penggunaan beberapa simbol yang berusaha merepresentasikan oposisi biner dari apa yang mereka perjuangkan merupakan bentuk perlawanan simbolik. Nilai-nilai tersebut misalnya penolakan terhadap pabrik atau tambang yang dikontruksi sehingga menjadi tindakan moral atau pihak politik yang baik. Tentu saja dengan melakukan upaya serupa terhadap tindakan pembangunan pabrik atau tambang dikontruksi sebagai tindakan yang tidak adil.

Nah, hal menarik dari aksi simbolik untuk mempertahankan tanah air tidak hanya pada simbol atau konstruksi yang dilakukan, akan tetapi penggunaan simbol perempuan dalam aksinya. Lima perempuan perkasa ini : Eva, Nissa, Opung, Mama Aleta, Gunarti.

Screenshot video "Bunga Rampai Film Dokumenter tentang Perempuan Pejuang Tanah Air" - Barikade Perempuan menolak PT.TPL di Pandumaan Sumut

 Konflik ini kemudian diangkat bukan hanya sebagai penjaga alam (petani) versus perusak alam (tambang dan pabrik), namun juga penindasan oleh nilai maskulin terhadap nilai feminin.

Adalah Vandana Shiva seorang ahli ekofeminisme yang berpendapat bahwa eksploitasi terhadap alam yang seringkali menghasilkan penindasan terhadap manusia lain dan alam berakar pada pertentangan antara dua ideologi, yaitu ideologi maskulin dan ideologi feminin. (Shiva:1993)

Ideologi maskulin berakar dari zaman pencerahan dan teori kemajuan yang direpresentasikan melalui dua konsep yang diperkenalkan di seluruh dunia : Ilmu pengetahuan modern dan pembangunan ekonomi. Kedua konsep ini diperkenalkan di dunia melalui proses penjajahan oleh Barat dan diklaim sebagai kunci kesejahteraan bagi semua negara di bumi.

Bagi Shiva (1997), klaim bahwa proyek pembangunan model Barat yang diilhami oleh proyek ilmu pengetahuan modern akan membawa kesejahteraan bagi semua negara dan dengan demikian bersifat universal tidak lebih merupakan sebuah mitos belaka. Baginya, proyek-proyek pembangunan tersebut pada hakikatnya tidak lebih dari proyek-proyek khusus yang bersumber dari model patriarki Barat modern.

Pada kenyataannya, pembangunan model Barat tersebut malah menimbulkan kerusakan yang parah pada alam-alam di negara-negara bekas jajahan perang (khususnya yang memilki sumber daya alam) menyingkirkan konsep kesejahteraan yang selama ini dipegang oleh masyarakat di pedalaman bumi selatan.

Kenyataannya, pembangunan model itu malah menimbulkan kerusakan parah pada alam di negara-negara bekas jajahan Barat. Pembangunan tersebut juga menyingkirkan konsep kesejahateraan a la negara-negara  poskolonial ini.

Sedangkan Ilmu pengetahuan modern yang dikalim bersifat universal ternyata bersifat reduksionis dan menyingkirkan berbagai pengetahuan lokal masyarakat selatan yang memiliki konsep bahwa semua hal di dunia ini, termasuk manusia dan alam adalah terkoneksi.

Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh perempuan-perempuan ini sudah bisa dilihat hasil positifnya. Upaya untuk bebas dari cengkeraman pabrik dan tambang yang amat patriarkis berhasil menegaskan posisi perempuan itu sendiri.

Representasi nilai ibu-ibu yang polos dan memiliki niatan baik menjaga alam dihadapkan dengan aparat dan tentara yang dominan dengan segala maskulinitasnya. Simbol afeksi dan non-kekerasan yang dimunculkan oleh perempuan-perempuan ini juga menegaskan siapa sebenarnya yang menggunakan kekerasan dan memelihara ketidakadilan.

Screenshot video "Bunga Rampai Film Dokumenter tentang Perempuan Pejuang Tanah Air" - Aksi Semen Kaki Ibu-ibu dari Gerakan Kendeng Lestari Menolak PT Semen

Simbol pengetahuan yang feminin bernapaskan spirit ekofeminisme sudah tercetak jelas dalam masyarakat mereka masing-masing. Nilai kultural yang berupa aksi perlawanan simbolik kemudian bermunculan di daerah-daerah yang mengalami konflik agraria. Terakhir, penyampaian segala investigasi, aksi dalam film Bunga Rampai Film Dokumenter ini tentu akan menjadi realitas yang hadir ke hadapan masyarakat dengan lebih cepat dan lebih luas.

Referensi:

Fauzi R, Okie. (2016). Perempuan dan Pegunungan Kendeng: Ekofeminisme dalam Gerakan Sosial Baru di Indonesia. Jakarta: Konferensi internasional feminisme: Persilangan identitas, agensi dan Politik (20 tahun Jurnal PeremPuan)

Melucci, A (1996). Challenging codes: Collective Action in the Information Age. Cambridge: Cambridge University Press.

Shiva V, Mies M. (1993). Ecofeminism. New York: Zed Books.

Shiva, V. (1997) Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India; Penerjemah: Hira Jhamtani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kamis, 21 Mei 2020

[MEDIA] GESANG DI LAHAN GERSANG : KEYAKINAN DAN PERJUANGAN YANG MEMBUAHKAN PERWUJUDAN IMPIAN

Oleh : Navita Kristi Astuti

Judul : Gesang pada Lahan Gersang

Penulis : Diah Widuretno

Penyunting : Aan Subhansyah

Pemeriksa Aksara : Imma Rachmawati

Perancang sampul : Luinambi Vesiano

Illustrasi : Luinambi Vesiano

Tata letak : Luinambi Vesiano

Jumlah page : 432 page

Diterbitkan pertama kali : tahun 2017, di Yogyakarta

Gesang di Lahan Gersang. Gesang adalah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti hidup atau kehidupan. Menjadi menarik ketika kata ini kemudian disandingkan dengan kata ‘gersang’ yang berarti suatu keadaan tanah yang kering, tidak subur. Kering, yang berarti sulit air, tidak subur, sehingga kecil kemungkinan terjadi pertumbuhan tanaman di tanah tersebut. Kondisi tersebut menyiratkan tiadanya kehidupan. Lalu, bagaimana sebuah kehidupan terjadi di lahan yang tidak menjanjikan kehidupan?

Itulah judul yang disematkan pada sebuah buku yang dituliskan dari pengalaman nyata hidup di lahan gersang. Ia bukan sekedar kiasan. Judul tersebut menghantar saya pada kisah-kisah penuh perjuangan pendampingan masyarakat dari seorang relawan berhati tulus bernama Diah Widuretno, yang merupakan penulis buku ini. Pemilihan kata ‘gersang’ dalam judul bukunya, selain karena ia beraktivitas di daerah Gunungkidul yang sudah terkenal kegersangannya, bentuk ‘kegersangan’ lain yang dialami adalah karena pada awalnya ia berjuang seorang diri. Menjadi relawan adalah bentuk pilihan hidup yang tidak biasa. Ia memilih berjalan di jalan hidup yang sunyi. Terlebih lagi, perjuangan yang ia lakukan bersama anak-anak dampingannya adalah perjuangan melawan sistem yang mainstream.

Secara garis besar, buku ini mengisahkan pengalaman Diah sebagai relawan yang mendampingi dan mengorganisir kegiatan anak-anak di Desa Panggang, Gunungkidul. Diah menulis pengalamannya bagaikan menulis buku harian, penuh dengan kisah-kisah jatuh dan bangun dalam upaya memandirikan serta memberdayakan masyarakat di sana. Membaca buku ini seolah-olah menonton tayangan sebuah film layar lebar karena detail peristiwa yang dituliskan oleh Diah, serta memuat pula torehan isi hati dan emosi yang ia alami, sehingga melalui buku ini pembaca dapat turut merasakan isi hati penulisnya.

Diah memulai kerelawanannya di awal 2009, awalnya bersama empat relawan di Sekolah Sumbu Panguripan (SSP). Satu persatu relawan mengundurkan diri di tahun kedua dan ketiga SSP. Akhirnya komunitas Relawan dan SSP bubar di tahun 2013. Selepas SSP, Diah berjalan sendiri, tetap mendampingi anak anak Dusun Wintaos, Panggang, dengan nama Sekolah Pagesangan

Pengalaman jatuh bangun membangun Sekolah Pagesangan sebagai media belajar yang kontekstual merupakan sebagian besar isi dari buku ini. Sebagian di antaranya adalah kisah pengamatan dan pengalaman Diah dengan anak-anak di Panggang yang kelak menjadi fasilitator di SP. Sebagian lainnya merupakan kisah kiprah Dian dan kader-kadernya dalam mengupayakan pendidikan yang memberdayakan masyarakat di wilayah Gunungkidul.

Pemberdayaan masyarakat yang dijalani oleh SP ditekankan sebagai pendidikan yang kontekstual dan mengakar pada kondisi sosial budaya masyarakat di Desa Panggang. Hal ini dijalani Diah dengan kunjungan-kunjungan non-formal dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Ia juga banyak berdiskusi dengan anak-anak yang telah dekat dengannya. Mereka memulai diskusi dengan harapan dan cita-cita masa depan anak-anak tersebut, yang rupanya kemudian diungkapkan sebagai harapan atas kehidupan yang sejahtera dan makmur, serta mandiri oleh karena usaha sendiri. Berangkat dari harapan-harapan itulah Diah dan anak-anak memulai kegiatan wirausaha berbasis potensi daerah.

Bagaimana sebuah kegiatan wirausaha bisa lahir menurut sebuah wilayah yg gersang? Inilah perwujudan berdasarkan frasa yang telah dijadikan judul buku ini. Gesang di lahan gersang. Diah & anak-anak pada SP berdiskusi beserta buat memilih bentuk wirausaha apa yang bisa dijalankan, dan sesuai dengan potensi desa mereka, berdasarkan aspek kesenian, kerajinan hingga pertanian. Semuanya dibawa dalam diskusi beserta, untuk memilih usaha yang bermodalkan keterampilan yang telah dimiliki, bahan standar berdasarkan lingkungan lebih kurang yg gampang dijumpai dan menggunakan modal awal yang mini . Bentuk bisnis yg disepakati akhirnya merupakan bisnis pemanfaatan hasil pertanian, dengan dasar pemikiran bahwa sebagian besar masyarakat merupakan petani, dan pada waktu panen, bahan standar yg didapatkan bisa dimanfaatkan buat pengembangan bisnis, misalnya singkong, gaplek (singkong yg dikeringkan), jagung, beras, kacang tanah, koro & lain-lain.

Dengan karakteristik tanah yg keras & pola bercocok tanam yg hanya mengandalkan kehadiran ekspresi dominan hujan, maka masyarakat memiliki sistem manajemen penyimpanan makanan supaya cukup buat menghidupi mereka selama satu tahun. Singkong diolah sebagai gaplek kering yg bisa bertahan hingga satu tahun lamanya. Gaplek diolah lagi menjadi nasi thiwul. Konsumsi nasi thiwul di pada famili dilakukan bergiliran menggunakan nasi (padi) dan jagung.

Hampir semua masyarakat di Panggang menanam singkong. Ketika panen singkong, mereka juga terbiasa mengeringkan singkong untuk dibuat gaplek. Persediaan gaplek selalu menggunung di kala musim panen tiba. Hampir semua orang menjual gaplek, sehingga terjadi persaingan harga gaplek. Hanya segelintir orang di Panggang yang menjual hasil olahan gaplek, yaitu nasi thiwul, karena pergeseran pola konsumsi di masyarakat yang sebelumnya mengonsumsi nasi thiwul sebagai makanan pokok, menjadi nasi (beras) di masa kini. Padahal, jika dianalisis lebih lanjut, gaplek tidaklah seperti yang dicap masyarakat sebagai makanan orang miskin. Gaplek memiliki nilai indeks glikemik yang rendah dibanding beras. Kandungan serat dari gaplek juga tinggi.

Hal ini yang kemudian membersitkan inspirasi pada kepala Diah & anak-anak SP untuk menambah nilai jual menurut gaplek, yaitu dengan memproduksi tepung gaplek, thiwul matang dan thiwul instan. Dari pengalaman memroduksi, memasarkan dan menjual produk-produk tadi, Diah dan anak-anak SP mendapatkan pengalaman berharga. Salah satunya, menaikkan nilai jual menurut sebuah hasil panen.

Namun demikian, perjuangan untuk mandiri tidak berhenti sampai di pemasaran produk saja. Sadar bahwa jenis wirausaha yang dijalankan terkait dengan pola bercocok tanam masyarakat, Diah berupaya agar pola bercocok tanam yang dilakukan dapat selaras dengan alam. Telah diketahui sebelumnya, bahwa penggunaan pupuk kimia dan pestisida justru semakin menurunkan kualitas tanah yang ditanami. Maka, Diah dan anak-anak SP mengampanyekan pola bertani yang tidak merusak alam, dekat dengan budaya asli masyarakat dan tidak bergantung pada korporasi besar. Mereka bertekad menjadi petani-petani muda yang menyayangi alam dan lingkungan di sekitar.

Tak sedikit upaya yang sudah dilakukan. Untuk meningkatkan ilmu pertanian bagi anak-anak di SP, Diah mengajak anak-anak belajar bertani di Ath Thariq Garut dan Institut Bumi Langit, serta menjalin komunikasi dengan para petani organik di berbagai daerah. Terinspirasi dari kunjungan belajar mereka tersebut, anak-anak SP menginisiasi pembuatan kompos, bokashi (pupuk dari kotoran sapi), pupuk organik cair, membuat kebun belajar, hingga ngalas (bertani di lahan yang sebenarnya, bukan pekarangan). Tantangan demi tantangan pun dihadapi, mulai dari musim kemarau yang panjang, tiadanya air, hingga ketidaksuburan tanah. Namun, pada akhirnya, kegiatan ngalas tersebut membawa hasil. Beberapa tanaman akhirnya dapat tumbuh dengan subur, seperti : chantel, padi, jali, kacang tanah, koro, benguk, singkong, garut, dan ganyong.

Kegiatan anak-anak SP mulai dilirik oleh para orang tua mereka yang tertarik dengan proses pengolahan hasil panen hingga penjualannya. Mereka bahkan mendukung ketika anak-anak SP membutuhkan lahan garapan bagi mereka untuk berlatih bercocok tanam. Maka, dari kelompok anak-anak, kemudian berkembang lagi kelompok ibu-ibu yang melakukan usaha kecil olahan panen. Terdapat beberapa kelompok ibu yang mengolah dengan jenis olahan yang beragam, seperti mengolah panen menjadi ceriping pisang, singkong atau bayam. Kelompok lain membuat tepung gaplek dan mocaf, dan yang lain membuat thiwul instan. Sedangkan para bapak, tidak mau ketinggalan, mereka berkumpul dalam diskusi-diskusi kelompok yang membahas tentang perencanaan penanaman lahan, penggalian potensi desa, dan sebagainya. Akhirnya, proses pendampingan dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Diah menampakkan hasilnya.

Tak terasa, usaha Diah beserta anak-anak pada Panggang sudah dijalani selama delapan tahun (2009 - 2017). Delapan tahun yang kaya dengan pengalaman berjuang buat hidup di huma yg gersang. Perjuangan itu sekarang sudah membawa hasil, meskipun bukanlah melulu adalah materi. Salah satunya yg terpenting merupakan pelajaran kehidupan, bahwa buat hidup, insan memerlukan keyakinan yg kuat. Keyakinanlah yg akan menjadi penuntun bagi usaha mimpi setiap orang.

Bersama buku ini, Diah ingin memperlihatkan kepada para pembaca tentang proses pendidikan kontekstual, pendidikan yg berbasis syarat sosial budaya setempat, termasuk masalah-persoalan yang terjadi pada dalamnya. Proses tersebut lebur pada proses belajar yg bukan saja diperuntukkan bagi anak-anak, melainkan siapapun menurut berbagai usia yang masih memiliki harapan belajar. Proses belajar nir memerlukan sekat-sekat ruang fisik juga ruang sosial, dia sebagai satu dengan lingkungan kurang lebih & pengalaman keseharian setiap orang. Akhir kata, semoga para pembelajar menurut proses pendidikan kontekstual ini sebagai bagian berdasarkan solusi konflik yg dihadapi, bukan sebagai bagian menurut perkara.

Minggu, 17 Mei 2020

[MEDIA] RESENSI BUKU: HALAMAN RUMAH/ YARD

RESENSI BUKU: Halaman Rumah/Yard

Oleh: Kukuh Samudra

Judul                     : Halaman Rumah

Penyunting         : Anwar Jimpe Rahman

Penerbit              : Tanahindie Press

Halaman              : x + 183

Lima puluh tahun kemudian di Karanganyar - sebuah kota kecil sebelah timur kota Solo - berukuran rumah lazimnya besar . Luas tanah bangunan 500 m2 belum mampu dikatakan luas, itu pun belum ditambah pekarangan atau kebun di belakang rumah.

Sekarang, menggunakan ukuran yang sama di loka yang sama, 500 m2 tanpa pekarangan telah mampu dipercaya luas. Tidak perlu pekarangan, yg penting ada garasi.

Di kota Bandung berbeda lagi. Di kampung-kampung kota, mulai sering dijumpai rumah dengan ukuran lebih sempit. Pemiliknya pun tidak menganggap garasi atau pekarangan sebagai hal penting; pagar rumah langsung mepet dengan jalan.

Sisi lain dunia mempunyai cerita yg tidak sama lagi. Hidup pada ruangan 5x4 meter buat sekeluarga, melakukan aktivitas apapun di ruangan yg sama.

Cerita mengenai ruang sanggup tidak selaras pada berbagai tempat dan kebudayaan. Seperti yang disampaikan sang Koentjaraningrat, apa yang material (artefak kebudayaan) sesungguhnya adalah sublimasi dari sistem sosial dan mental warga .

Dalam kitab ?Halaman? Ini, sebuah lokus bernama halaman coba ?Diperbesar? Buat mendapatkan penekanan yang lebih tajam.

Bermacam Narasi Mengenai Halaman

Terdapat 14 esai yg tertuang dalam buku ?Halaman Rumah?. Tidak semua goresan pena secara khusus membahas tentang halaman tempat tinggal , meski masih ada sebuah bisnis buat membidiknya.

Esai pertama berjudul ?Di Kota Kita Meraya, Di Halaman Kita Berjaya? Ditulis Anwar Jimpe Rahman. Seperti dimaksudkan menjadi esai pembukaan, Anwar memperkenalkan definisi awal tentang laman & pekarangan yg menurutnya ?Setara dan sedaya?; dipahami menjadi tanah di lebih kurang tempat tinggal . Tulisan ini mencoba mendedah halaman dan pekarangan terkait poly konteks: filsafat, proses berkesenian, sosial, hingga permenungan yg transenden.

Selanjutnya kita akan disuguhi langsung tiga narasi tentang tiga kampung pada Makassar: Kampung Paropo, Kampung Rama, & Permukiman Jalan Sukaria. Ketiga tulisan ini secara garis besar membahas 3 kampung menurut segi yg sama: sejarah dan proses perubahan sosial dampak modernisasi. Sesekali narasi tentang halaman coba diselipkan.

Esai-esai selanjutnya menghubungkan halaman dengan berbagai tema. Terdapat beberapa benang merah topik: tradisi, interaksi sosial, dan ruang hidup.

Kaitan antara tradisi dengan halaman atau pekarangan tertuang dalam esai ?Kesenian, Panggung, & Halaman yg Tersisa pada Paropo? Dan esai ?Nam?A & El?A bagi Orang Lewotala di Kepulauan Solor?.

Esai pertama berbicara mengenai kesenian tradisional yang berlangsung pada Paropo yang kerap berlangsung di lapangan. Sementara esai yg disebutkan ke 2 menjabarkan peran rumah tata cara menjadi ruang publik loka memperbincangkan dan menyelenggarakan urusan publik-istiadat.

Halaman atau pekarangan menjadi ruang hayati dijabarkan oleh dua esai berdasarkan Saleh Abdullah dan Fitriani A Dalay. Esai berdasarkan Saleh Abdullah dengan tegas memposisikan "pulang ke pekarangan sebagai upaya melawan budaya kota yg menurutnya sarat akan ketidakadilan & sudah ?Memutus solidaritas bersama menggunakan melahirkan manusia-insan kota yang impersonal?.

Melalui kegiatan menanam kuliner sendiri di pekarangan kita telah berupaya buat mengurangi ketergantungan kita terhadap budaya kota. Dia memberikan tekanan bahwa pekarangan tidak sekadar berkaitan menggunakan aktivitas tanam-menanam, namun pula terkait dengan wilayah kedaulatan politis. Sehingga, menggarap lahan ?Menggunakan begitu memiliki alasan eksistensial & politis sekaligus? (hal. 87).

Perincian yang baik ditulis oleh Fitriani A Dalay yang juga mengaitkan isu halaman/pekarangan dengan ruang hidup. Dengan pencatatan yang baik, diperoleh data dari seorang warga dari Desa Soga, Kabupaten Soppeng yang menghemat hingga 1,8 juta (dari total 2,7 juta) per bulan untuk kebutuhan pangan. Sayang pencatatan tersebut tidak mencantumkan luas lahan yang digunakan warga. Meski demikian, pemaparan rincian kebutuhan pokok dalam bentuk tabel sangat mengena dalam memberikan insight tentang pemenuhan kebutuhan secara mandiri.

Halaman tempat tinggal secara eksklusif juga menghipnotis hubungan & perilaku manusia. Halim HD & Askaria Putri memotret paradoksal perubahan hubungan dan perilaku ini menurut kenangan mereka akan masa lalu.

Halim membandingkan masa kecilnya waktu di Serang, Banten. Halaman rumah masyarakat pada kampung ketika itu, tak ubahnya anjung dan mimbar. Tempat interaksi banyak sekali budaya berlangsung. Dari page rumah, Halim mengaku sanggup mengetahui secara pribadi kesenian misalnya Gambang Kromong, Keroncong, Wayang Golek, & musik melayu. Sesuatu yang susah dijumpai waktu ini, waktu rumah sebagai arena terutup yg cenderung mengisolasi anak terhadap pergaulan menggunakan sekitar.

Kenangan kehidupan kampung dengan page juga dibeberkan sang Asri. Ketika hidup di Jogja, aneka macam kegiatan bermain biasa dilakukan di pekarangan/laman. Sementara nasib tidak sama wajib dialami anaknya yg bersama Asri tinggal di komplek perumahan tanpa ada tempat luas yg layak buat bermain.

Usaha Dokumentasi Ingatan Ruang

Tidak gampang memadukan empat belas esai dari orang-orang yang tidak sinkron tentang topik yang sama. Konsistensi terhadap sebuah wangsit awal dan teori dasar, menjadi kendala pada kitab ini. Meski pada judul kitab adalah ?Halaman Rumah?, esai pertama menjadi pembuka telah memperluas cakupan kitab menjadi ?Page? Dan ?Pekarangan?.

Esai-esai selanjutnya pun cenderung tidak konsisten terhadap tema ?Page? Rumah. Alih-alih sebuah pekarangan, ruang yg dimaksud pada esai ?Kesenian, Panggung, & Halaman yg tersisa di Paropo? Justru menggunakan gamblang menyebut kata ?Lapangan? Di awal.

Apabila esai pada awal menyebut wangsit bahwa ?Halaman? & ?Pekarangan menjadi setara & sedaya, esai paling akhir yang ditulis sang Yoshi Fajar Kresno Murti justru menyiratkan pemahaman yg antagonis.

Halaman rumah sebagai entitas ruang mungkin belum baku, atau memang percuma buat dibakukan. Sementara garis besar kitab ini terasa kental menggunakan nuansa romantisisme; ingatan akan kondisi rumah menggunakan halaman atau pekarangan luas yg leluasa.

Hal ini dibenturkan menggunakan perubahan sosial yang dialami warga . Lahan yg menyempit karena kepadatan penduduk semakin tinggi atau lantaran prosedur pasar membuat rakyat lokal nir berdaya buat mempertahankan tanahnya.

Tetapi, yang terbentuk oleh puluhan atau mungkin ratusan tahun, tidak ingin tinggal diam. Tradisi sosial yg sudah hayati di masyarakat, nir serta merta tewas. Buku ini mereka menggunakan baik hal tersebut. Ibu-ibu yang memanfaatkan ruang buat pengajian, pelaku kesenian yg berpentas di tanah lapang yg belum termanfaatkan, atau warga norma yg merampungkan masalahnya di depan rumah istiadat.

Memang ada beberapa kekurangan dari buku ini. Soal koherensi maupun landasan teori. Namun, dalam konteks masyarakat yang ‘memiliki ingatan pendek’, buku ini adalah mata air. Anda pasti juga setuju setelah membaca buku ini ,bahwa dengan kata kunci semangat,  buku “Halaman Rumah” mengatasi kendala-kendala teknis.

Rabu, 13 Mei 2020

[MEDIA] BELAJAR DARI FILM TRUE COST

Oleh: Jeremia

Tidak mampu dipungkiri bahwa sandang bukan lagi sekedar penutup aurat tapi telah jadi cara kita mengomunikasikan siapa diri kita kepada masyarakat. Pakaian adalah mengenai seperti apa kita ingin dipersepsikan orang lain. Persepsi ini sangat majemuk spektrumnya. Mulai dari ingin dipandang paling berkelas, paling mengikuti tren, atau sekedar aktualisasi diri misalnya kaus menggunakan tulisan atau logo bermakna eksklusif.

Ada hal yang menarik terjadi di industri pakaian belakangan ini. Dalam 15 tahun terakhir harga jual pakaian terus menurun namun profit perusahaan besar seperti Zara, H&M, atau Forever21 terus meroket. Puncaknya industri ini mencatatkan rekor profit tertinggi dalam sejarah pada tahun 2016. Bukan hanya itu, industri pakaian (khususnya fast fashion) menempatkan salah satu pentolannya yaitu pemilik merek pakaian Zara menjadi orang terkaya ke 3 di dunia pada tahun 2017.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana bisa sebuah industri terus mencatatkan peningkatan keuntungan sementara harga jual barang mereka terus mengalami penurunan. Untuk menjawabnya saya ingin berbagi informasi-informasi dari sebuah film berjudul TRUE COST. Film ini disutradarai oleh Andrew Morgan dan kawan-kawan. Melalui TRUE COST, mereka berusaha mencari jawaban tentang berapa harga sebenarnya baju dan celana yang kita pakai. Mereka juga mencari informasi bagaimana industri sandang global beroperasi.

TRUE COST

Berapa harga baju yang biasa anda beli? Jawabannya akan sangat tergantung merk dan lokasi kita membeli. Bila membeli baju tanpa merk di pasar, harganya mungkin hanya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Namun bila anda membeli merk pakaian mewah di mal berkelas, harga satu potongnya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Salah satu gudang di pabrik pakaian di China.

 Sebagaimana produk lainnya di pasaran, harga akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran serta harga bahan baku dan biaya operasional pembuatannya. Berdasarkan pengakuan salah satu produsen baju asal China di film TRUE COST terungkap bahwa sebenarnya harga produksi sepotong pakaian terus meningkat dalam 15 tahun terakhir. Lalu bagaimana Zara dan kawan-kawan bisa meraih peningkatan keuntungan yang gila-gilaan sementara biaya produksi terus meningkat?

HARGA MANUSIA

Sebagai bagian akhir di rantai pasok sebelum ke konsumen, Zara dan kawan-kawan ternyata mengontrakkan pekerjaan awal pembuatan baju pada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, biasa dikenal dengan sebutan perusahaan vendor, di Bangladesh, Kamboja, India, dan Cina.  Zara dan kawan-kawan tahu bahwa banyak perusahaan vendor akan mengemis pekerjaan pada mereka. Ini mereka manfaatkan betul dengan meminta perusahaan tersebut menurunkan harga jual pakaian. Mereka berlomba-lomba  menekan perusahaan agar terus memberikan harga yang lebih murah. Alasan yang mereka gunakan adalah kompetisi. Bila mereka tidak bisa memberikan harga lebih murah, maka Zara dkk tidak akan menggunakan jasa mereka dan mencari perusahaan lain yang bisa di-outsources sesuai kemauan mereka. “No squeezing the price, no job

Pemilik perusahaan tentu harus memutar otak untuk bisa memenuhi keinginan Zara dkk. Kain, bensin, listrik, dan tanah tidak bisa dinegosiasikan untuk berproduksi. Satu-satunya yang bisa dinegosiasikan adalah bagian paling lemah di rantai produksi yaitu manusia.

Manusia yang tidak berdaya dan tidak punya banyak pilihan untuk menghidupi dirinya mau tak mau menurut saja dengan apa yang perusahaan mau daripada mereka dan anak mereka harus mati kelaparan. Pekerja bukan hanya harus menerima gaji yang kecil, mereka juga harus mau dipaksa kerja dalam kondisi yang menyesakkan. Mereka harus bekerja di gedung yang rapuh, kondisi yang penuh racun, dan tidak ada hari libur.

Puncaknya pekerja bahkan harus rela kehilangan nyawa. Kejadian runtuhnya bangunan 9 lantai di Bangladesh yang menewaskan 1.134 orang membuka mata dunia. Ya, anda tidak salah baca. Sebanyak 1.134 orang yang sehari-hari bekerja di Rana Plaza, Dhaka, Bangladesh harus meregang nyawa karena kondisi bangunan tempat mereka bekerja sudah keropos, tidak terawat, dan akhirnya ambruk.  Mereka sudah protes pada pemilik perusahaan, namun apa daya, pemilik hanya peduli pada pemenuhan tenggat dari Zara dkk. Akhirnya, pekerja pun dipaksa masuk untuk bekerja bahkan dengan cara-cara penuh kekerasan.

Rana Plaza yang runtuh pada tahun 2013 di Dhaka, Bangladesh

Di dunia ketiga dimana orang menganggur jauh lebih banyak dibanding pekerjaan yang tersedia, menempatkan manusia sebagai komoditas bukanlah hal baru. Harga tenaga manusia bisa sangat relatif tergantung berapa banyak “pasokan manusia” yang ada. Jika protes karena digaji rendah dan kondisi tempat kerja yang memprihatinkan, anda hanya punya dua pilihan. Silahkan keluar atau belajar menerima kesengsaraan ini.

HARGA LINGKUNGAN

Selain manusia, harga yang tidak diperhitungkan ketika membuat baju adalah lingkungan. Coba bayangkan sejenak jika tiap sumber air yang tercemar oleh bahan kimia untuk memproduksi pakaian, tanah yang menampung akumulasi residu pestisida tanaman kapas, dan udara yang terkontaminasi banyak racun pabrik, dikuantifikasi dalam nilai uang lalu dibebankan ke harga jual baju. Masih mungkinkah harga pakaian kita seperti sekarang?

Keadaan tanah, air, dan udara adalah hal lain yang tidak dihiraukan oleh perusahaan selain manusia pekerja. Semua ini dianggap komoditas semata. Peduli setan dengan keadilan, kesejahteraan pekerja, serta kondisi alam. Selama menghasilkan profit yang pertumbuhannya eksponensial, semuanya bisa dikompromikan.

Terbukti, dalam 15 tahun terakhir polusi yang ditimbulkan fashion industry dari hulu sampai hilir mengalami peningkatan signifikan. Bahkan saat film TRUE COST diluncurkan (tahun 2015), fashion industry menempati posisi ke-2 sebagai industri paling kotor di dunia hanya kalah dari industri minyak dan gas.

Sungai Gangga di India tercemar industri garmen

DIWAJARKAN SISTEM

Menurut Prof. Richard Wolff dari New School University, New York, penyebab kejadian ini bukan lagi tentang produksi dan seterusnya. Ini adalah tentang sistem yang tidak baik. Sistem yang hanya menguntungkan segelintir jajaran direksi dan pemegang saham. Kekuasaan yang hanya ditempatkan di segelintir orang tersebut hanya akan melayani kepentingan orang-orang tersebut di atas segalanya. Bagi mereka, perusahaan hanyalah alat pengeruk keuntungan. Profitlah yang akan jadi parameter utama kesehatan perusahaan. Selama profit terus lancar dan tumbuh, terlepas dari banyak hal yang dirusak dan banyak pekerja yang sengsara, perusahaan akan jalan terus.

Prof. Richard Wolff.

Mereka bukan hanya berdaya sebagai puncak kekuasaan pada rantai produksi, namun mereka juga bisa mengatur perilaku konsumen. Dengan kekuasaan menentukan arah perusahaan dan modal yang melimpah, mereka bisa melancarkan propaganda sedemikian rupa sehingga memastikan akan selalu ada aliran konsumen yang membeli semua barang mereka.

                Pandangan ekonomi klasik mengenai pertumbuhan dan profit membuat praktik-praktik ini diwajarkan. Tapi kita tahu bahwa sumber daya alam kita begitu terbatas. Apakah mungkin sumber daya alam yang terbatas ini bisa memenuhi nafsu mengejar pertumbuhan yang tak berbatas?

YANG BISA KITA LAKUKAN

Tentu penyiksaan pekerja dan perusakan alam yang dilakukan pelaku fashion industry dari hulu sampai hilir tidak bisa dibiarkan. Keadaan tersebut harus segera dihentikan atau paling tidak dikurangi.

Dalam film TRUE COST, seorang jurnalis isu lingkungan yang bernama Lucy Siegel berkata,” You turn all consumer into activist, all consumer asking how their clothes are made, where that come from, and all consumer then consciously saying, “It is not right that someone must die making those clothes”.

 Kita mungkin tak punya kekuatan langsung untuk mengubah aturan, memaksa aparat menindak perusahaan nakal, atau meminta para pekerja jangan lagi kerja di perusahaan tersebut. Tapi kita punya kekuatan yang sebenarnya masih sangat besar. Kita bisa menolak membeli pakaian buatan perusak lingkungan dan kemanusiaan.

Dengan memilih membeli pakaian dari perusahaan yang lebih peduli lingkungan dan pekerjanya kita membuat para perusak lingkungan dan kemanusiaan itu tidak berdaya karena tidak lagi memiliki aliran uang ke dalam kas mereka. Saat ini, uang adalah kekuasaan. Kita tidak bisa menolak kenyataan itu. Membuat penjahat kemanusiaan dan lingkungan tidak punya uang sama dengan membuat mereka tidak punya kuasa untuk melanjutkan operasi perusakan mereka.

Dalam memilih perusahaan mana yang memproduksi pakaian secara baik juga sudah tidak terlalu sulit. Ada banyak gerakan yang mengarahkan perusahaan untuk lebih sadar terhadap lingkungan. Fair trade, ecoage, dan conscious capitalism adalah segelintir contoh. Perusahan-perusahaan yang mengikuti aturan main gerakan tersebut juga tidak sedikit. Salah satu contoh terkenal di bidang fashion adalah People Tree.

Kegiatan fair trade di Jepang.

Kita harus sadar bahwa konsumen punya daya ubah dan konsumen yang memiliki kesadaran tinggi akan barang yang mereka beli punya daya ubah yang lebih dahsyat lagi. Sambil berharap ada pemerintah yang lebih berani menegakkan aturan, kita bisa meningkatkan kesadaran akan asal usul barang yang kita beli. Kesadaran sederhana ini akan membantu kita lebih bijak dalam membeli banyak hal, bukan lagi sekadar pakaian, dan ujungnya bisa mengubah keadaan dunia lebih baik.

Cloud Hosting Indonesia