Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Desember 2013. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Desember 2013. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Juli 2020

[Tips] Bersama Arpillera, Aktivis Bercerita



Pada rubrik Jalan-Jalan, telah diulas mengenai asal muasal kerajinan perca Arpillera. Telah kita ketahui pula bahwa seni Arpillera bertujuan untuk mendorong suatu perubahan baik sosial, politik maupun lingkungan hidup. Di negeri asalnya, Chile, Arpillera merupakan alat perjuangan  para ibu untuk melawan rezim militer.


Saya aktif di GSSI (Garage Sale Sekolah Ibu). GSSI merupakan organisasi non-profit di Bandung yang menitikberatkan fokus perjuangannya pada pengembangan lingkungan yang kondusif bagi anak. Dalam kegiatannya  kami mengunakan Arpillera untuk menyuarakan isu-isu

yang sedang berkembang, misalnya kemanusiaan, lingkungan atau sosial.

Bermula dari keikutsertaan saya dalam workshop Arpillera yang diadakan Kail pada tahun 2011, saya membuat Arpillera yang menceritakan tentang dunia anak. Dunia yang tidak dapat diulang kembali, yang hendaknya menyenangkan serta penuh warna, kreativitas dan kaya akan ruang belajar di tengah alam.



Kain arpillera yang mencerminkan harapan mengenai taman bermain anak




Taman Tongkeng pada Bandung



Semenjak itu, saya berjuang untuk ketersediaan taman bermain anak, bersama kain Arpillera buatan saya tersebut. Kain itu selalu saya bawa ke mana-mana, dan menjadi sarana bercerita tentang harapan saya akan tersedianya tempat bermain sambil belajar dengan cara yang menyenangkan. Beberapa pihak tergerak pula untuk turut memperjuangkan keprihatinan yang sama. Alhamdulillah, atas kolaborasi berbagai pihak, di tahun 2013 tercapailah harapan kami, yaitu tersedianya taman ramah anak, Taman Tongkeng di bilangan Patrakomala, Bandung.


Saya pun merasa bahwa ternyata Arpillerabisa dinikmati sekaligus dijadikan alat untuk sarana bercerita pada masyarakat luas. Maka, bersama para ibu lain yang aktif di Sekolah Ibu, kami rutin menyelenggarakan kegiatan membuat Arpillera. Kami di GSSI menjadi senang berkreasi dengan kain perca ini, karena lewat olah seni kain perca ini selain bisa untuk memperjuangkan keprihatinan tertentu, juga menjadi salah satu terapi kesabaran yang manjur bagi kami yang tinggal di kota dengan tingkat stess yang lumayan tinggi.


Arpillera pun kini menjadi potongan kain yang mempunyai kisah atau cerita menarik tersendiri dari si pembuatnya. Sebagai contoh, Arpillera yang dibuat pada foto di bawah ini terdiri dari susunan 33 buah bunga, yang mencerminkan  keragaman 33 provinsi di Indonesia. Ada pula matahari serta awan dan hujan  yang mencerminkan kondisi iklim di Indonesia yang terdiri dari dua musim. Arpillera ini menyiratkan harapan dari pembuatnya, tentang kesatuan masyarakat di Indonesia yang majemuk ini.



Kain arpillera yang mencerminkan 33 provinsi pada Indonesia




Berkaca dari pengalaman tersebut, kiranya berikut ini tips yang dapat saya bagikan untuk pembaca. Pertama, agar bisa digunakan untuk  memberikan penyadaran dan membawa perubahan nyata pada suatu keadaan tertentu, maka Arpilleraini  dibuat dalam satu rangkaian cerita di atas  satu kain dengan berbagai ukuran. Maka, tentukanlah simbol tertentu yang dapat digunakan untuk menggambarkan harapan, misalnya bunga-bunga untuk melambangkan provinsi-provinsi yang ada di Indonesia.


Kedua, tetapkan langkah-langkah selanjutnya, yaitu membagikan cerita dari kain tersebut pada siapapun tanpa kecuali, tanpa rasa malu ataupun gengsi. Perjuangan tentu tidak berhenti setelah kain Arpillera selesai dibuat. Dengan menyebarluaskan kisah dari kain Arpilleratersebut, semakin banyak orang tahu dan tergerak untuk berpihak atau turut berjuang sesuai pesan dari kain Arpilleraitu.


Ketiga, menjaga konsistensi dari misi itu sendiri dengan cara menggalang kerjasama dengan berbagai pihak yang memiliki keprihatinan yang sama. Bisa dilakukan dengan menyelenggarakan kegiatan Arpillera di dalam kelompok. Tujuannya, selain dapat menjaga semangat perjuangan, juga untuk membawa kebersamaan di dalam kelompok itu sendiri.

Akhir kata, meskipun terlihat sederhana, berupa kain bekas yang tak terpakai, namun ternyata ia dapat digunakan sebagai ‘senjata’ untuk menyuarakan harapan-harapan kita tentang lingkungan sekitar, bangsa dan negara kita. Ini Arpillera-ku, mana Arpillera-mu?


Tini Martini Tapran
Ibu dari 2 anak, guru bimbel, ketua sekolah KOBER GSSI, Kepala Sekolah Madrasah Nurul Iman, volunteer YPBB, Kail dan KSK, ketua Yayasan Generasi Semangat Selalu Ikhlas dan baru saja bergabung beserta PKK kota Bandung di Pokja 4









































[Jalan-Jalan] Pendidikan Seni di Kuba : Pendidikan Seni Untuk Semua

Oleh: Dhitta Puti Sarasvati
Anita tinggal di Jakarta. Dia suka menari. Untuk menyalurkan hobinya dia mengikuti sanggar tari dan berlatih dua kali seminggu. Biaya yang harus dikeluarkannya untuk mengikuti sanggar adalah Rp 250.000,- per bulan. Harga tersebut tidak terlalu mahal dibandingkan tempat-tempat kursus menari lainnya.  Dengan harga tersebut dia sudah bisa berlatih dibimbing oleh seorang guru profesional.

Kini sudah 9 tahun Anita berlatih menari.  Anita tahu bahwa dia bukanlah penari yang paling jago. Teman-temannya yang lain lebih lentur juga lebih lincah dalam menari. Terkadang Anita pun lupa gerakan dari tariannya. Pasti dia tidak akan jadi penari profesional. Meskipun begitu, dia akan terus menari. Kalau bisa seumur hidupnya. Dengan begitu dia bisa terus menjaga kebugaran sekaligus bersenang-senang. Yang paling penting, dengan menari Anita merasa lebih hidup. Emosinya tersalurkan, ada tempat baginya untuk melepas pikiran dan berkonsentrasi pada alunan musik dan gerakan tubuh. Dengan menari,

hatinya ikut menari, begitu jua hidupnya. Sayangnya tidak seluruh orang punya kesempatan seperti Anita. Mampu belajar seni sekadar buat bersuka cita.

Tidak semua orang akan berprofesi sebagai seniman. Tapi seni punya peranan yang sangat penting bagi manusia, termasuk bagi orang-orang yang tidak bekerja di bidang seni.  Pernah mendengar musik yang lirik  atau melodinya menyentuh hati? Pasti pernah kan? Ada juga musik yang membuat kita sedih, bahagia, bahkan bersemangat. Selain musik, bentuk seni yang lain seperti lukisan, tarian, teater dan sebagainya bisa mempengaruhi emosi kita. Dengan bersentuhan dengan seni, kita bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda. Itu menggambarkan bahwa seni begitu penting bagi kehidupan manusia.


Bagaimana memperkenalkan seni kepada orang banyak? Salah satunya adalah melalui pendidikan seni. Pendidikan seni memang tidak harus selalu ditujukan untuk mempersiapkan seseorang menjadi seniman atau pekerja seni. Justru, pendidikan seni harus bisa dinikmati oleh orang banyak. Pendidikan seni tidak boleh mahal agar semuanya bisa ikut belajar.  Tujuannya adalah menjadikan manusia lebih manusiawi melalui perantara seni.





La Colmenita (Teater  Anak-anak Kuba) adalah sebuah lembaga pendidikan seni di Kuba. Didirikan pada tahun 1976 oleh Carlos Alberto Cremata.  Awalnya, La Colmenita hanyalah komunitas kecil di Havana. Di sanalah anak-anak maupun orang dewasa berkumpul dan berlatih teater. Proses latihan biasanya pada sore hari, sepulang anak-anak sekolah. Pada perkembangannya La Colmenita kemudian dikhususkan untuk anak-anak usia 6 sampai 16 tahun. Kini sejumlah 22 cabang La Colmenita tersebar di berbagai daerah lainnya di Kuba.  Di sana anak-anak belajar teater, bernyanyi, menari, termasuk belajar mempersiapkan pertunjukan seni.


La Colmenita tidak bertujuan mempersiapkan anak-anak menjadi pemain theater profesional. Tempat itu merupakan tempat anak-anak bisa belajar bekerja sama, merasakan kehangatan, serta mengembangkan kreativitas. Menurut Carlos, "Anak-anak tidak mau menjadi pemain teater, mereka ingin bermain peran." Melalui kegiatan bermain peran, maupun tari dan musik, anak-anak bisa mengembangkan kreativitas sehingga potensi mereka bisa berkembang. Mereka akan menjadi manusia yang lebih baik, sebagai individu maupun kelompok. (Stories by Deisy Francis Mexidor dalam http://axisoflogic.com/artman/publish/Article_63919.shtml  )


Di Indonesia, nir semua anak bisa belajar seni menurut seorang pengajar seni profesional. Jumlah guru seni profesional sangat terbatas. Akibatnya hanya anak-anak tertentu yg bisa mengakses mereka. Mungkin karena mereka akbar di lingkungan seniman, atau mereka punya uang yang memadai buat membayar guru seni.


Di Kuba, pengajar seni dipersiapkan dengan sangat serius. Ada sekolah khusus buat calon guru seni di masing-masing provinsi. Siswa-murid berusia 14 tahun masuk ke sekolah ini buat belajar menjadi calon pengajar seni. Tahun 60-an, Fidel Castro, pemimpin Kuba ketika itu memang pernah mengumpulkan artis buat mendorong terpromosikannya seni musik, seni tari & seni visual sebagai akibatnya sanggup dijangkai oleh anak-anak di daerah terpencil sekaligus. Salah satunya merupakan melalui pendidikan seni pada sekolah. Hal ini dilakukan karena seni dipercaya sanggup mendorong terjadinya perubahan sosial.


Dhitta Puti Sarasvati
Dhitta Puti Sarasvati adalah associate KAIL. Sejak 2002 kegiatannya poly terkait bidang pendidikan, mulai berdasarkan mengajar pada sekolah, forum kursus, perguruan tinggi, juga memfasilitasi berbagai pembinaan pengajar. Kini aktif pada Ikatan Pengajar Indonesia.




























[Media] ARPILLERA : Sebuah Seni Perca Untuk Perubahan

Oleh: Melly Amalia
Jarum jahit, jarum pentul, benang sulam, kain perca dan kain dasar menjadi rangkaian bahan pembuatanArpillera. Dalam proses pembuatannya, biasanya kita berimajinasi dulu, membayangkan akan membuat apa dan pesan apa yang ingin disampaikan, lewat sebuah pola gambar yang bercerita. Bukan hanya sekedar memanfaatkan kain perca, tapi ada suatu maksud di balik itu. Melainkan seni perca untuk melakukan perubahan.

PenulisanArpillera yaitu A-r-p-i-l-l-e-r-a, tapi pengucapannya menjadi ‘Arpiyera’.Arpillera adalah sarana menyampaikan pesan, mengekspresikan suatu maksud melalui media kain perca.Arpillera umumnya melukiskan kehidupan sehari-hari, kejadian atau peristiwa tertentu baik dari pengalaman pribadi maupun dari orang lain. Bisa juga mengandung rekaman suatu peristiwa sejarah. Dalam dunia aktivis,Arpillera biasa digunakan untuk mengatasi trauma

dan menjadi bagian dalam proses fasilitasi.




Bagaimana asal muasal keluarnya Arpillera? Arpillera dari menurut Chile, Amerika Latin. Bermula pada tahun 1973, waktu pemerintah yang sah, presiden sosialis Salvador Allende digulingkan sang Augusto Pinochet melalui sebuah kudeta militer. Ribuan aktivis pro-Allende ditangkap & sebagian akbar dibunuh, & ribuan orang hilang. Pembunuhan dan penculikan itu dilakukan terhadap kaum lelaki yg dicurigai sebagai pemberontak. Amnesty International pada Amerika Latin, memperkirakan sebesar 90.000 orang hilang di masa kediktatoran Pinochet dalam 20 tahun terakhir.


Akhirnya tinggal kaum wanita, terutama para mak yang merasakan pengaruh kehilangan suami atau anak lelakinya. Saat mencari liputan kehilangan sanak saudaranya, mereka saling bertemu & bercerita satu sama lain mencurahkan isi hatinya. Pihak Gereja Katolik mulai menyadari kegelisahan ini dan lewat Vikariat Solidaritas sebagai wadah berkumpulnya para aktivis HAM, yang berani menyerukan pelanggaran HAM di masa kediktatoran militer.





Kaum ibu terpaksa sebagai tulang punggung keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka mencari nafkah dengan menjahit. Jadi mereka bisa bekerja sambil mengasuh anggota keluarga yang masih mini . Mereka menjahit sembari mengembangkan cerita dan berbagi berita mengenai anggota keluarganya yang hilang.


Dari sinilah lahir seni sulam Arpillera. Arti sesungguhnya Arpillera adalah 'kain goni', namun demikian dalam proses pembuatannya menjadi kain perlawanan. Curahan hati ibu-ibu yang dituangkan ke dalam potongan kain yang bercerita ini, kemudian diselundupkan ke luar negeri dan akhirnya meluas ke dunia internasional. Dalam Arpillera tersebut ada gambaran tentang bangunan yang hancur, proses penculikan yang terjadi, demo kaum ibu, juga harapan mereka tentang perdamaian, cinta dan keadilan.




Tahun 1990, rezim tiran Pinochet runtuh. Meskipun begitu, bunda-bunda penghasil Arpillera permanen melanjutkan usaha mereka, menggunakan menuliskan sejarah lewat kain perca, agar sebagai bukti bagi generasi mendatang.

Di Indonesia, dari beberapa cerita teman-teman aktivis,Arpillera digunakan untuk melakukan pendampingan terhadap korban bencana alam Tsunami dan gempa di Aceh, korban gunung Merapi di Jogja dan korban penggusuran di Jakarta. Pengalaman saya sendiri pertama kali membuatArpillera bercerita tentang pemisahan tempat sampah. Latar belakang saya membuat ini karena rasa keprihatinan dengan sistem pengelolaan sampah yang ada. Kalaupun ada tempat sampah, pembuangannya selalu tercampur. Jadi pesan yang ingin saya sampaikan sangat sederhana, yaitu pisahkan sampah dari awal.








Pengalaman David, salah seorang staf Kail lain lagi. Dia pernah membuatArpillera dengan tema kehidupan malam di perkotaan. Yang ingin dipaparkan adalah aktivitas manusia di malam hari, ada yang sudah tidur lelap dan di sisi lain ada yang masih hura-hura dengan datangnya malam. Ini menjadi pengalaman belajar tentang seni untuk menyuarakan kepedulian sosial. Walaupun pembuatanArpilleranya belum selesai, tapi ini menjadi pengalaman belajar, dimana dia jadi tahu tentang adanya gerakan perubahan yang lembut namun sangat kuat.


Membuat Arpillera tidak perlu keterampilan khusus, cukup dengan keterampilan menjahit menggunakan tusuk feston sebagai dasar ilmu menjahit dan keterampilan memadupadankan warna. Saya yakin setiap pasti bisa membuat Arpillera. Seni perca yang bukan sekedar berkreasi dengan kain, melainkan memiliki maksud dan pesan yang ingin disampaikan untuk membawa perubahan.






Melly Amalia
Penulis merupakan bunda dua orang putri Rahima & Raifa.
Aktivitas keseharian bermain bersama anak-anak, menjadi bagian famili akbar Kail menjadi koordinator Pelatihan dan Lokakarya dan juga terlibat dalam kampanye zero waste YPBB.















































Rabu, 01 Juli 2020

[Opini] Seni yang Merakyat



Oleh: Selly Agustina

Bagi saya, sebagai pengamat dan pelaku seni, adalah  suatu kesenangan dan  kepuasan hati ketika dapat menuangkan ekspresi diri saya dalam kegiatan melukis, bermain musik atau menulis. Kenikmatan dalam mengekspresikan diri melalui seni tentu dialami oleh orang lain juga. Orang-orang yang menyebut dirinya seniman, mengekspresikan diri melalui seni, dan mencapai aktualisasi di bidang ini.

Namun demikian, pernahkah pembaca  berpikir bahwa seni bisa mempengaruhi suatu tatanan politik dan sosial di dalam masyarakat? Meski banyak kalangan seniman mempertahankan karya seninya bebas nilai, namun perkembangan seni kontemporer saat ini  tidak terlepas dari pengaruh sistem sosial dan politik yang ada.


Kita ingat dalam masa revolusi kemerdekaan di tahun 1945, bahwa

seni muncul di tembok-tembok bangunan dengan kata-kata bersifat agitatif seperti: “Merdeka atao emati!” “Oesir Kompeni!” dan lain-lain. Kata-kata dengan esensi yang sama juga muncul pada karya Affandi yaitu “Boeng, ajo Boeng!” Kekuatan perpaduan antara gambar dan kata-kata bisa menggerakkan kepekaan seseorang terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Di sini kita lihat fungsi seni sebagai media komunikasi.



Seni kontemporer muncul dari sekelompok seniman yang mencetuskan jalan alternatif sebagai bentuk perlawanan terhadap seni modern yang terkesan ekslusif. Meskipun hanya sebagai alat atau media, seni ternyata juga berperan dalam propaganda atau advokasi yang berpotensi mempengaruhi perubahan sosial.  Akhir-akhir ini, kita sering melihat seni pertunjukan (performance art) pada kegiatan demonstrasi para aktivis, dan hal ini mengundang rasa ingin tahu khalayak.


Seni mural atau graffiti adalah bentuk perlawanan lainnya. Namun, ada pihak tertentu menganggap bahwa seni mural adalah bentuk vandalisme, merusak estetika bangunan dan fasilitas umum. Ada yang menganggap graffiti lahir karena kurangnya ruang publik untuk berekspresi di tengah arus komersialisasi oleh korporasi atas ruang-ruang publik.  Di sisi lain, saat ini ruang-ruang publik kita sudah dipenuhi oleh polusi visual berupa baliho caleg ataupun iklan-iklan produk yang mendorong pada budaya konsumerisme.



Seni Mural di Babakan Siliwangi, Bandung. Sumber : www.Bandungview.Gosip



Seni yang disebut di atas muncul dan berkembang pesat di belahan bumi lain seperti Eropa dan Amerika sejak tahun 80-an, yang dikenal dengan istilah street art. Salah satu yang menjadi favorit saya yaitu Banksy, seorang seniman jalanan sekaligus aktivis yang vokal menyuarakan isu politik maupun lingkungan melalui karyanya di jalanan London. Seniman graffiti tersebut tidak pernah diketahui wujud aslinya tetapi ketenarannya melebihi selebriti sehingga karyanya memiliki nilai jual sampai jutaan dolar.


Di Bandung sendiri ada nama Arman Jamparing yang mengundang kekaguman saya berikutnya. Seniman yang sudah aktif turun ke jalan sejak masa reformasi itu lebih memilih untuk menyalurkan keprihatinannya terhadap kondisi sosial-politik lewat coretan-coretan di ruang publik. Akhir November lalu saya berkesempatan menghadiri pameran seni karya Arman Jamparing di sebuah galeri seni besar dan terkenal di Bandung.  Pameran seperti ini tentu memberi peluang bagi keprihatinan Arman Jamparing untuk disebarluaskan kepada khalayak, bahwa ruang publik pun dapat dimanfaatkan secara elegan untuk meneriakkan keprihatinan sosial politik melalui seni. Keprihatinan tak lagi hanya dimiliki oleh seniman tersebut, tetapi meluas ke audiens yang menghadiri pameran tersebut.


Di bidang musik, ada Kartika Jahja atau lebih dikenal dengan panggilan Tika, seorang vokalis dari sebuah grup musik Tika and The Dissidents. Selain menjadi vokalis, Tika dikenal sebagai aktivis perempuan yang concern terhadap isu gender dan persamaan hak. Tika menulis sendiri lirik dalam lagu-lagunya. Sebut saja lagu “Mayday” yang bermuatan kritik politik yang tajam dalam membela kaum buruh. Mungkin banyak yang kurang mengenalnya di dalam negeri, tetapi lagunya menarik perhatian banyak orang di mancanegara bahkan menjadi lagu resmi serikat buruh di Detroit pada hari buruh. Tidak perlu disangsikan lagi kualitas musikalitas dan intelektualitas Tika yang merupakan lulusan Seattle ini. Dia mendapat banyak pujian dari para kritikus musik karena berhasil menggabungkan berbagai macam aliran music seperti jazz, blues, dan tango, dengan lirik yang kritis.


Yayak Yatmaka, seorang seniman lukis yang juga membangun lagu-lagu yg berpihak dalam rakyat. Lukisan-lukisannya mencerminkan kritik kerasnya terhadap pemerintah, terutama pemerintah Orde Baru. Lagu-lagu ciptaannya dinyanyikan dan disebarluaskan oleh para aktivis mahasiswa juga pendamping masyarakat, bahkan acapkali dinyanyikan dalam saat demonstrasi buat menyalakan semangat para demonstran, misalnya lagu ?Topi Jerami?, ?Rakyat Bersatu?, ?Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan? Dan lainnya.


Beliau tahu betul, bahwa media seni, dalam hal ini ia menggunakan media gambar sebagai ‘senjata’nya untuk berjuang menyuarakan keprihatinan sosial dan politik. Berikut adalah cuplikan tulisan dari buku yang ditulisnya, “Aku berharap segala pemahaman yang diperoleh dari buku ini bisa menjadi landasan untuk menentukan pilihan keberpihakan dan penyadaran diri serta selalu awas. Setidaknya menjadi bahan untuk katarsis. Jadi tahu, bahwa di sebalik gambar, memang nyata persoalan hidup mati manusia. Bisa menjadi alat untuk memperjuangkan kehidupan bersama menjadi lebih bermartabat.”



Karya Yayak Yatmaka. Sumber : yayak-yatmaka.Blogspot.Com



Tak sedikit karya seni yang menyuarakan keprihatinan sosial maupun lingkungan mendapat kecaman dari pihak yang merasa digugat. Bahkan tak sedikit pula yang dikejar-kejar oleh pihak berwenang di jaman itu, dengan maksud untuk membungkam ekspresi seniman tersebut.  Penguasa yang diktator tentu tak ingin rakyat bangkit melawan penindasan dan ketidakadilan.Seniman yang berpihak pada rakyat lemah  memandang seni sebagai corong ekspresi jiwa, meneriakkan kegelisahan yang mereka rasakan. Mereka turut peduli dengan fenomena sosial, lingkungan maupun politik melalui karya seni mereka. Kesemuanya itu adalah ekspresi kegelisahan jiwa mereka atas peristiwa maupun fenomena yang tengah berlangsung di sekitar mereka.


Di sisi lain, masyarakat memang perlu diajak untuk peduli. Masyarakat perlu menuntut hak mereka buat terlaksananyapemerataan keadilan, terhindar dari penindasan & terlepas berdasarkan perbudakan. Menggugah masyarakat melalui sebuah karya seni merupakan galat satu pilihan, dan sesungguhnya adalah suatu bentuk kebebasan dalam berekspresi setiap rakyat negara.


Adalah pekerjaan tempat tinggal bagi kita seluruh, buat mempertahankan karya seni yg bisa menyuarakan keprihatinan rakyat. Para artis menggunakan karya seninya beserta-sama menggunakan masyarakat perlu bersatu dalam arah usaha yang sama. Seni dan warga perlu saling melengkapi, lantaran seni merupakan ekspresi yang otentik dari jiwa insan. Seni menjadi indera buat memanusiakan insan. Seni yg hakiki merupakan seni yg peduli dalam pemerataan keadilan & pemenuhan hak asasi manusia.















































[Pikir] Pengaruh Seni Dalam Hidup Manusia



Oleh: David Ardes Setiady

Seni untuk individu bermanfaat buat mengasah rasa sehingga hayati menjadi berwarna-warni & lebih bersemangat. Sementara pada sisi lain, seni mempunyai fungsi sosialnya menjadi media komunikasi, yaitu buat mengembangkan pesan-pesan sosial. Bilamana lalu posisinya pada tengah masyarakat, apakah memihak rakyat atau sebagai alat propaganda penguasa semata, sebagai hal lain yang dapat diperdebatkan. Tetapi, seni perlu dilihat lagi dalam perspektif manfaat bagi perkembangan diri manusia, di mana insan semakin menemukan dirinya melalui seni.

SENI DAN MANUSIA


Seni merupakan proses kreativitas manusia, yg berasal menurut wangsit, gagasan, luapan perasaan

yg diekspresikan melalui media tertentu, sehingga orang lain bisa turut menikmatinya dan dapat turut mengapresiasi pesan yang disampaikan oleh penghasil karya seni tadi. Manusia sangat erat dengan pesan-pesan, yg diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui seni, manusia mewariskan pesan-pesan kehidupan, sebuah kebijaksanaan buat mengatasi tantangan kehidupan. Metafora alam diceritakan menggunakan penuh pesona pada sebuah cerita legenda, ataupun diterjemahkan ke pada tari-tarian ataupun jua nyanyian.







Seni merupakan produk budaya manusia yg usianya telah sangat tua, di setiap peradaban pasti memberitahuakn bentuknya. Memang tidak semuanya mengalami nasib yang cukup baik buat bisa hingga pada tangan generasi masa sekarang, sebagian rusak nir terawat, bahkan sebagian dimusnahkan karena alasan agama. Tetapi, seni terus mengalir berdasarkan generasi ke generasi, memperbaharui bentuknya yg kontekstual terhadap jaman. Misalkan, lakon Odiesus yg tersohor menurut jaman Yunani kuno, hingga masa sekarang kerap dipentaskan oleh kelompok-gerombolan teater. Ataupun, cerita Romeo & Juliet yang hingga hari ini sebagai simbol kisah percintaan yg tragis. Karya seni tersebut berjalan menembus ruang & ketika, mendapatkan tempatnya pada generasi masa kini .


SENI VS KEKUASAAN


Seni yang sejatinya adalah aktivitas mengekspresikan wangsit, gagasan, bahkan perasaan, terkesan tidak mempunyai hubungan apapun menggunakan yg namanya politik. Tetapi, sejarah pada beberapa loka, memberitahuakn betapa seni bisa terasa menakutkan bagi pihak berkuasa hingga beliau dirasakan perlu untuk dibungkam. Larangan diberlakukan dengan tegas dan keras, yg melanggar akan langsung ditahan tanpa proses peradilan, atau bahkan dihilangkan seolah-olah nir pernah lahir.


Seni sangatlah subjektif, namun mempunyai kekuatannya yang masif ketika dia disebarkan buat dinikmati & diresapi pesan yang terkandung. Tak heran, pihak berkuasa berulang kali mengupayakan sebuah pengendalian terhadap seni, hasilnya?

Marilah kita melihat sejenak ke belakang, apa yang pernah terjadi dalam seni di negeri ini.





Majalah TEMPO edisi 30 September 2013, menurunkan edisi khusus mengenai LEKRA, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang pada perjalanan sejarah disalahpahami menjadi bagian berdasarkan PKI. LEKRA, pada ulasan TEMPO, disebutkan memiliki sikap kebudayaan bahwa seni buat masyarakat. Lebih lanjut, dipaparkan kegiatan para seniman dan pendidikan seni yang dilakukan pada para pelaku seni dengan ?Turun ke bawah?, yang kemudian disingkat menjadi ?Turba?. Hal ini bertujuan agar artis terhubung menggunakan realitas kehidupan warga sehingga dalam berkesenian, karya seninya mempunyai arti yang sungguh hidup. Memang prinsip yang dipegang LEKRA relatif keras, lantaran pendirinya menduga ?Jika artis hanya membuat seni buat dirinya sendiri, beliau tidak memiliki arti?. Pada masa itu, LEKRA mendorong seni sahih-sahih hayati di warga & hidup buat warga . Berbagai pagelaran & pameran diadakan pada hari-hari peringatan besar seperti HUT Kemerdekaan, HUT PKI, dan HUT LEKRA. Dari catatan TEMPO, kehidupan seniman berada pada taraf yang ?Layak? Karena disokong oleh LEKRA, tentu dengan anggaran yg harus diikuti.

Sayang seribu sayang, ketika seni dijadikan menjadi indera propaganda & kehilangan ruhnya sebagai media ekspresi jiwa, bahkan fungsi sosialnya pun dikebiri. Ketika Orde Baru mendapatkan panggungnya di negara yg saat itu sedang bergolak, LEKRA diberangus & seni dikendalikan oleh pemerintah melalui forum sensor. Seni nir lagi bebas, dibendung atas nama keamanan. Seniman yang karyanya dianggap mengancam kekuasaan akan diciduk, dipenjara, atau bahkan dibunuh. Pemerintah mengecilkan kiprah & fungsi seni menjadi hanya sekedar hiburan, artis direduksi menjadi penghibur semata. Posisi seni makin usang mengambang dalam posisinya yang eksklusif pada mereka yg secara khusus mengabdikan diri buat seni, seni nir lagi sebagai bagian di dalam kehidupan insan Indonesia.





Cerita lain, yang sudah cukup sering didengar adalah kisah seorang Pramoedya Ananta Toer, novelis yang telah diakui oleh dunia luar. Novel almarhum sarat nilai historis dan unsur budaya yang kental, memotret feodalisme yang kerap membelenggu masyarakat Indonesia. Sayang, pemerintah malah menganggap novel-novel Pram (panggilan Pramoedya Ananta Toer) sebagai ancaman, sehingga diberangus dan bahkan Pram sendiri dipenjara tanpa proses peradilan. Pramoedya Ananta Toer, masih memiliki hubungan dengan LEKRA karena ketika masih muda pernah bergabung dengan tim redaksi Harian Rakjat, harian yang berada di bawah naungan LEKRA. Hidup Pram mungkin tidak pernah tenang pada rezim Orde Baru, namun produktivitasnya tetap tajam pada masa “pembuangan” oleh pemerintah. Goresan pena menggurat tajam menjadi novel Bumi Manusia, yang dijadikan salah satu bahan belajar mengenai sastra Indonesia. Pemerintah bisa berupaya membungkam kegiatan seni Pram, namun kreativitas terus mengalir bahkan di balik jeruji besi. Novel-novel yang dituliskan oleh Pram berisikan pesan yang kuat tentang kesewenang-wenangan pemerintah. Novel tersebut bukan sekedar hiburan semata, yang membuat pembaca terenyuh lalu menutupnya tanpa kesan yang mendalam. Novel Pram meninggalkan kesan yang mendalam untuk para pembacanya, mengingatkan para pembacanya tentang salah satu episode kehidupan di bumi Indonesia pernah ada kesewenang-wenangan.


Masih poly kisah pembungkaman terhadap seni yang dilakukan oleh para pihak berkuasa, umumnya lantaran menduga karya seni tersebut merupakan ancaman bagi kekuasaan. Para pelaku seni ditangkap, bahkan dibunuh hanya demi membungkam seni yg bisa memacu gelora perubahan. Kepekaan dan kegelisahan para pelaku seni terhadap situasi yang memasung kreativitas, dikhawatirkan memantik semangat perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Seni pada masanya nir pernah hanya sekedar seni yg dikagumi semata, namun menghadirkan kesadaran tentang apa yg terjadi pada lingkungannya.


SENI DALAM KEHIDUPAN


Seni dalam posisi tertentu mempunyai dimensi yg begitu luas, sedangkan bagi mata yg umum , mungkin seni ditinjau hanya pada produk lukis semata. Padahal, produk seni begitu majemuk. Tetapi yg paling penting bukanlah produk seninya, melainkan proses kreatif yang terjadi. Seni membantu manusia buat tahu dirinya, sesamanya, dan dunianya. Mungkin akan ada pihak-pihak yang merasa terganggu menggunakan karya seni yang didapatkan, menggunakan banyak sekali alasan. Namun, kita harus ingat bahwa proses kreatif sejatinya tidak dapat dibendung.


Memang di masa kini ini, produk teknologi sedang diagung-agungkan, begitupun dengan kegiatan ekonomi yg sebagai kegiatan primer kehidupan berdasarkan sejak usang. Ketika insan abai terhadap seni yang menjadi wadah buat meneduhkan jiwanya yang sedang galau & penuh indikasi tanya, insan sebagai sakit karena nir mampu mengendalikan amarahnya. Kita lihat di kota-kota besar misalnya Jakarta, sangatlah mudah untuk memantik kerusuhan, sedikit gesekan yg dibumbui menggunakan embel-embel penistaan agama sudah mampu sebagai kekacauan sosial. Masyarakat Indonesia saat ini tak jarang goyah lantaran jarang berkesenian, seni jauh berdasarkan keseharian. Kebanyakan memosisikan diri sebagai penonton ketimbang pelaku, banyak alasan yg dikemukakan. Mulai berdasarkan nir berbakat, nir sanggup, nir pantas, dll.

Sesungguhnya berkesenian nir memerlukan kemampuan atau keterampilan spesifik, karena untuk mengekspresikan ide, gagasan & perasaan bisa dilakukan menggunakan sebebas-bebasnya. Tidak terdapat yang berhak buat menghakimi, menilai apakah karya seni kita bagus atau tidak. Kita wajib berkesenian lantaran di dalamnya merupakan proses pertumbuhan, pematangan diri dengan mengekspresikan pandangan baru, gagasan, perasaan yg terdapat pada dalam diri secara terjadwal. Tanpanya, manusia akan menjadi makhluk yg ?Kosong? Lantaran nir bisa mengekspresikan dirinya.

David Ardes Setiady



Lahir di penghujung tahun 1984. Tertarik dengan tema pengembangan diri, menyadari memiliki sisi introvert yang cukup kuat. Menjejakkan kaki di Bandung sejak tahun 2003 untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Pernah belajar tentang hipnoterapi yang seutuhnya dipergunakan membantu orang-orang yang membutuhkan. Saat ini menjadi staff KAIL, secara khusus sebagai trainer Cara Berpikir Sistem.































































[Masalah Kita] Mengangkat Seni Sebagai Ekspresi Keprihatinan Masyarakat



Oleh: Navita Astuti

?Kesenian kini 90% bisu. NIR POLITIK. Lembaga seni dikuasai birokrat jejadian, atau artis mediocre, sehingga mereka menjadi hamba sahaya.?

Pernyataan tadi dicetuskan oleh seseorang artis pelukis dan budayawan, R. Soehardi (62 tahun) dalam jawaban informasi lapangan yang kami sebarkan ke sekian banyak seniman di Indonesia. Sebuah pernyataan yang mengkritik dunia seni jaman kini , terutama di nusantara ini. Apa pasal global seni Indonesia menjadi bisu?


Gaya hidup masa kini yg serba instan & simpel mampu saja menjadi keliru satu penyebabnya. Sesuatu yang instan, didapatkan secara cepat,

namun dinikmati sementara saja. Kenikmatan yang dihasilkan pun hanya menyentuh permukaan, tak membekas hingga ke dalam sanubari. Karya seni pun dipandang dari permukaannya saja. Orang lebih suka membahas kecanggihan alat, kerumitan pembuatan maupun kecanggihan teknik yang digunakan dalam sebuah karya seni. Orang-orang mengabaikan pembahasan mengenai roh dan latar belakang yang menggerakkan seniman dalam menghasilkan karya seni tersebut.

Di sisi lain, gerusan arus komersialitas turut menghipnotis karya para artis. Seniman-artis tak lagi berkarya sinkron idealisme masing-masing, melainkan mengejar laba demi memuaskan selera pasar.


Anggapan masyarakat luas bahwa bergerak pada bidang seni itu tak menjanjikan masa depan, turut menghipnotis kebisuan karya seni pada Indonesia. Karya seni dianggap tak terdapat manfaatnya, selesai dinikmati, lalu dibuang begitu saja. Karya seni merupakan sampah. Inilah anggapan generik yang turut menyumbang pada kebisuan dunia seni Indonesia.


Karya Seni yang Peduli
Meski kesenian pada Indonesia mengalami kebisuan, namun terdapat beberapa seniman yang justru mengakibatkan seni menjadi ?Senjata? Buat menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kenyataan sosial kemasyarakatan. Mereka menganggap karya seni merupakan media yg sempurna untuk menggerakkan masyarakat buat peduli pada berita sosial, politik maupun lingkungan hidup. Sejumlah 4 orang seniman menurut sekian poly artis yang kami kirimi informasi lapangan, menyatakan hal tersebut.


Vivera Siregar (fotografer), sebagai salah satu responden kami menjelaskan, dalam fotografi terdapat genre human interest, yang mengabadikan fenomena sosial kemanusiaan. Karya fotografi seperti ini dapat menjadi media yang tepat untuk menggambarkan kondisi lingkungan, serta beragam manusia dengan segala aktivitasnya.



Fotografi human interest, karya Vivera Siregar



Responden lainnya menyuarakan keprihatinan mereka melalui seni lukis. Namun, tidak hanya sekedar corat-coret pada atas kanvas, karya lukis yg mereka hasilkan menyiratkan makna. Pelukis Hardi, responden kami yg lain misalnya, dalam tahun 1978 menciptakan karya grafis berupa foto dirinya menjadi presiden sebagai bentuk kritiknya terhadap tekanan pemerintah Orde Baru yg represif & militeristik. Tetap konsisten menggunakan bunyi hatinya, di tahun 2011, beliau melakukan demo melukis di depan gedung DPR menjadi pernyataan menolak dibangunnya gedung baru.


Dari Pergulatan Hingga Solusi buat Masa Depan
Berbagai dampak dituai atas hasil karya seni yang dimaksud di atas. Ada poly apresiasi maupun geliat warga atas karya seni tersebut, tetapi tak sporadis mendapat kecaman, bahkan penangkapan karena karya seni yg dipercaya terlalu vokal. Pelukis Hardi pun mengalami penangkapan tadi pada tahun 1978, waktu dia memasang lukisan grafis foto dirinya menggunakan pakaian jenderal dan mengenakan bintang, dan memberi judul lukisan tersebut ?Presiden tahun 2001?.



Aksi Melukis R. Soehardi pada depan gedung DPR. Sumber : www.Portaltigaimage.Com



Tantangan lainnya yang dihadapi antara lain adalah kurangnya apresiasi dari masyarakat terhadap karya seni yang dihasilkan. Patricia Siswadi, responden kami menyatakan, “… tingkat kegencaran dalam menggulirkan kreasi seni yang mengangkat masalah-masalah keprihatinan (sosial kemasyarakatan, red.) tersebut kurang. Tantangannya adalah bagaimana pelaku seni yang memiliki keprihatinan sosial memiliki kreativitas untuk mengajak masyarakat luas lebih menyukai dan lebih memilih seni –seni yang bernuansa keprihatinan sosial daripada isu-isu romantika saja.


Ungkapan senada juga diucapkan oleh Vivera Siregar sebagai seniman fotografi, “Tidak semua orang mempunyai kepekaan terhadap seni, tidak semua orang bisa memahami pesan yang terkandung dalam sebuah foto. Dan tugas fotografer lah untuk menyampaikan pesan tersebut, mengemasnya dengan cara terbaik, agar pesan dapat diterima oleh masyarakat.”


Menjawab tantangan tadi, maka para responden kami menaruh saran-saran supaya karya seni yang menyuarakan keprihatinan sosial kemasyarakatan bisa semakin menggugah keberpihakan masyarakat, yaitu sebagai berikut :


Baiknya, para pekerja seni itu down to earth, mensosialisasikan "seni"-nya kepada lingkungannya; membumikannya, mengajak sekitar untuk turut "merasakan" seni. Dengan demikian, seni akan menjadi baur dengan masyarakat umum dan bukan hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.” ~ Vivera Siregar, fotografer human interest.
“… yang jelas, para penggiat seni harus peka terhadap persoalan-persoalan sosial yang ada di masyarakat, dan secara intensif mengadakan event-event kesenian untuk meningkatkan apresiasi masyarakat.” Buletin Kamuning, seni lukis.


“… berkarya dengan cerdas, populer, dan berani menyebut dirinya SENIMAN.” ~ Pelukis Hardi.


Peduli dalam masalah sesama dan lingkungan adalah hakikat manusia menjadi makhluk sosial & bermasyarakat. Bentuk kepedulian pun bermacam-macam bentuknya. Entah itu pada bentuk aksi solidaritas yang sinkron menggunakan profesi setiap orang, menaruh bantuan juga sumbangan, atau mengekspresikannya pada media tertentu misalnya seni.


Segala bentuk solidaritas tentu mempunyai tantangannya masing-masing. Tetapi demikian, bukanlah perjuangan jika tanpa kendala maupun tantangan. Apabila usaha tak dijalani, maka dia tidak akan membawa makna dan perubahan bagi pelakunya. Oleh karena itu, meski jalan yg ditempuh terjal & mendaki, inilah tugas yg sebaiknya diemban sang para seniman Indonesia. Menjadikan karya seni mereka sebagai karya yg membumi & menyatu di masyarakat. Membuat rakyat menyayangi karya-karya seni di sekitar mereka, agar turut serta berkiprah dan berpihak pada kaum tertindas & terpinggirkan.


Semoga.





Navita Kristi Astuti
Penulis merupakan ibu menurut dua anak. Menyenangi dunia tulis menulis & craft. Ia ingin sekali dapat mengembangkan kepada orang lain melalui tulisan.



































































Selasa, 30 Juni 2020

[Profil] Pelukis Hardi : Wangsit Perubahan Melalui Seni


Seneca menulis, semua seni adalah tiruan alam. Tiruan dari alam, yang dikenali semua manusia melalui proses berkesadarannya menjadi mahluk berbudaya. Selain alam raya di kekinian kita, juga boleh‘alam-alam’ lain yang dikenal oleh sang seniman.


?Seni sebagai peniruan? Menjadi indera penggambaran alam oleh para manusia berkesadaran, yg kita sebut artis. Ada kalanya menampilkan fenomen-fenomen proses alam semata, tetapi lebih poly yg membuahkan bumi & langit menjadi ruang buat menyorot jejak-jejak eksistensi manusia. Lewat para seniman, perubahan makin konkret tergambar dan terabadikan di bumi.


Seni lukis gua jaman purba melaporkan musim-musim perburuan hewan. Arsitektur Borobudur

menatahkan jalan hidup menujunir-vana. Tugu Selamat Datang diciptakan Henk Ngantung untuk menyambut masa depan sebuah bangsa muda. Tak boleh lupa, hidup berkesenian para ‘peniru alam’ itu sendiri dapat dibaca sebagai bukti eksistensi seniman untuk perubahan.

Saya beruntung bisa berkenalan secara langsung dengan keliru satu ?Peniru alam? Itu. Pelukis senior yang amat kreatif & energetik, Hardi. Baru saja, semenjak September 2013 lalu.


Sama seperti banyak orang, yang merasai Orde Baru, saya hampir selalu mengkaitkan nama Hardi dengan lukisan potretnya yang menghebohkan, sang pelukis berbusana Presiden RI. Belakangan baru saya tahu, lukisan yang dibuat pada masa jaya Pak Harto itu sengaja ia beri judul Presiden RI Tahun 2001, Suhardi.





Perkenalan memberi kesempatan, juga kemudahan, memahami sosok yang hampir tiap dasawarsa meninggalkan catatan perubahan yang bermakna untuk dunianya. Di era 1970-an ia menolak ‘wajib’ Realisme-Sosial dalam praktek pendidikan seni rupa yang sedang ia jalani. Di era 1980-an menolakstatus-quo kepemimpinan nasional, berakibat dirinya ditindak penguasa.


Hardi kembali dengan semangat perubahan di era 1990-an, lewat pemunculan organisasi Himpunan Pelukis Jakarta. Kemudian di era  2000-an mendeklarasikan pembaruan pada aliran seni lukis yang ditekuninya melalui gagasanNeo Pop-Art.


Di puncak kematangannya, Hardi yang telah berusia kepala enam, kembali lagi dengan beberapa gebrakan beruntun. Tahun 2010 ia mengingatkan bangsa dan penguasa akan pusaka budaya yang makin asing, melalui pameran‘Keris for the World’. Tahun 2011 di muka para wakil rakyat yang berlalu-lalang, Hardi melukiskan gedung DPR sebagai sebuah WC umum, sebagai tanda protes atas parlemen yang bermewah-mewah.



Pelukis Hardi & keris rancangannya. Sumber: www.Antarafoto.Com



Tahun 2013 ia menggebrak dengan buku berwarna ‘Wayang for the World’ karya pertama putera bangsa. Masih belum cukup, pada Oktober 2013 dalam Masamoan Budaya Pusaka Pakuan di Bogor, Hardi mempresentasikan karya seniJangker (Kujang-Keris). Sebuah wangsit dari seorang empu Majapahit mendorongnya menggagas rekonsiliasi retak budaya antara Sunda dan Jawa pasca Perang Bubat .


Pada Hardi, berkesenian tampak sebagai proses yang berkelanjutan pada menanggapi situasi sosial kemasyarakatan dan proses bernegara. Seringkali cukup menggunakan menggambarkannya pada kanvas dua dimensi. Tetapi dalam ketika yang sempurna beliau segera tahu posisi kepemimpinan strategis yang harus diisinya demi sebuah perubahan.


Tidaklah cukup menggunakan mengekor tren atau patuh doktrin anti kemapanan untuk mampu menyuarakan perubahan dalam kurun 40 tahun di tengah menjamurnya kelas menengah yang kurang peka sosial. Diperlukan intuisi murni artis pemberani dan jiwa merdeka seseorang yg berkesadaran dewasa buat bisa melakukan hal tersebut.


Hardi telah dan masih melakukannya. Ia tak ragu mengucapkan dan menuliskan ungkapan lugas di ruang publik, semisal:tidak terjadi sinkronisasi antara yang memimpin dan yang dipimpin;sekelompok orang merasa paling benar;partai politik memproduksi koruptor;televisi kerjanya mengadu domba para tokoh palsu; dan sebagainya. Ungkapan yang menyegarkan para pencinta perubahan.


“Maka setiap hari terjadilah ‘goro-goro’, yaitu instabilitas makro dan mikrokosmos,” demikian Hardi menyimpulkan hari-hari kekinian kita bersama. Sang pelukis senior tetap sadar panggilannya ‘meniru alam semesta’. Bila perlu, dengan disemangati oleh wangsit dari leluhur yang berada di alam lain. (Bogor, Enam Desember 2013)


Dayan D. Layuk Allo:
Pelaksana Petisi Raden Saleh 2005. Sempat belajar pada ITB & STF Driyarkara.
Menjadi LEAD International Fellow semenjak 2000.
Kini turut pada Sustainable Bogor Initiatives (SuBI) yg dirintis sejak 2013 sang YPB/LEAD Indonesia.
















































Editorial Pro:aktif Online, edisi Desember 2013

Salam inspiratif dan transformatif!

Di penghujung tahun ini, Pro:aktif Online hadir pada tengah-tengah Anda dengan tema ?Seni Untuk Perubahan?.


Telah kita ketahui beserta, seni merupakan proses kreativitas insan, yang berasal dari ilham, gagasan, luapan perasaan yg diekspresikan melalui media eksklusif, sebagai akibatnya orang lain dapat turut menikmatinya dan bisa turut mengapresiasi pesan yang disampaikan sang produsen karya seni tadi.


Dalam edisi ini, kami ingin mengajak pembaca untuk mengulik lebih jauh tentang seni juga karya seni yang berperan dan pada menyuarakan tema-tema yang menjadi keprihatinan rakyat, antara lain : kemanusiaan, lingkungan & sosial.


Pada rubrik Pikir yang dibawakan sang David Ardes Setiady, pembaca diajak buat merenungkan bersama mengenai dampak seni pada kehidupan manusia. Pembaca diajak jua buat merenungkan mengenai bagaimana apabila ekspresi buat berkesenian itu dibungkam dari insan itu sendiri.


Berlanjut ke rubrik Opini, Selly Agustina beropini bahwa seni untuk perubahan usahakan menyatu dengan rakyat. Hal ini didukung jua sang jawaban para responden Kail yang dipaparkan pada rubrik Masalah Kita, bahwa sebuah karya seni merupakan media yg tepat buat menyuarakan keprihatinan sosial, kemanusiaan juga lingkungan.


Untuk melihat contoh konkret berdasarkan seni buat perubahan, pada rubrik Media pembaca dapat melihat berbagai aksi seni yg berperanserta dalam menyuarakan keprihatinan masyarakat, yaitu Arpillera, Seni Perca buat Perubahan yang ditulis oleh Melly Amalia dan Rubrik Jalan-Jalan berisi sekelumit kisah mengenai pendidikan seni di Kuba yang ditulis sang Dhitta Puti Sarasvati.


Pada rubrik Profil, Pro:aktif Online melalui artikel yang ditulis sang Dayan D. Layuk Allo, memotret seorang artis dan sepak terjangnya dalam menyuarakan keprihatinannya, yaitu R. Soehardi, seorang seniman pelukis yang lantang meneriakkan kegelisahannya terhadap kenyataan sosial politik yg terjadi di negeri ini.


Pada rubrik Tips, melalui goresan pena Ibu Tini MF, pembaca akan disuguhkan pengalaman konkret dirinya menjadi aktivis yang berjuang buat perubahan nyata pada lingkungan sekitarnya, melalui karya seni yg dihasilkannya.


Semoga dengan edisi ini, pembaca semakin terbuka wawasannya terutama dalam hal  seni, dan bagaimana seni dapat digunakan untuk mendorong ke arah perubahan sosial dan lingkungan.


Selamat menikmati!




























Cloud Hosting Indonesia