Pelatihan Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan 2004, yang diselenggarakan oleh Sekretariat JMP-KWI dan bipelwan PGI di 23 kota di Indonesia Februari-Maret 2004 yang lalu, mengambil tema “Suara Perempuan untuk Perubahan”. Sesuai dengan tujuan pelatihan, yaitu memberdayakan suara perempuan untuk membuat perubahan (transformasi sosial) menuju demokratisasi. Oleh karena itu, modul dan silabuspun dibuat konsisten dengan pilihan metode dan alur proses yang dibuat separtisipatif mungkin, dan mampu memberdayakan suara perempuan, melalui dan menuju demokratisasi.
Metode yang digunakan selalu dimulai dengan penggalian informasi dari para partisipan, dan membuat partisipan terlibat aktif. Proses dimulai dengan introduksi tentang latar belakang, tujuan dan garis besar alur proses pelatihan; kemudian perkenalan serta penggalian harapan dan motivasi. Pada sesi ini diharapkan terjadi keterbukaan; semangat berbagi dan bekerjasama antar partisipan, panitia dan fasilitator. Selain itu juga digali motivasi dan harapan ikut pelatihan serta apa yang bisa menjadi kontribusi masing-masing peran selama dan setelah pelatihan ini.
Dalam suatu pelatihan yang partisipatif, situasi yang kondusif perlu dibangun. Lewat sesi sebelumnya pengkondisian sudah dimulai, dan dilanjutkan dengan dibuatnya kesepakatan bersama yang akan berlaku selama proses supaya dapat berjalan lancar dan berhasil memenuhi harapan semua pihak. Jadwal dan aturan main selama pelatihan disusun bersama, sehingga masing-masing terlibat dan bertanggungjawab terhadap keberhasilan proses. Ini adalah salah satu ciri pendidikan orang dewasa.
Setelah suasana mulai cair, masuk sesi pemetaan masalah dan kebutuhan lokal, masing-masing partisipan diajak untuk kritis serta peka dalam memahami masalah (sosial-politik) juga kebutuhan lokal baik secara makro maupun yang spesifik perempuan di masing-masing level kebutuhan. Curah pendapat dan sharing serta proses analisis ini kemudian dikelompokkan dan dipetakan sesuai kategori, dengan tetap memperhatikan keunikan masing-masing wilayah. Dari peta ini partisipan mencoba melihat keterkaitannya dengan Pemilu serta proses demokrasi secara umum.
Kaitan antara peta masalah dan kebutuhan lokal dengan pemilu ini mengarah pada kebutuhan untuk memahami Pemilu 2004 secara khusus. Pada sesi ini diharapkan terbangun pemahaman dan kesadaran pentingnya proses demokratisasi dan transformasi sosial bagi seluruh masyarakat, dan kaitannya dengan Pemilu. Pada sesi ini, diberikan tambahan informasi dari nara sumber yang berkaitan dengan Pemilu 2004, yaitu dari KPU dan Panwaslu. Pada sesi pemahaman tentang sistem Pemilu, khususnya teknis pencoblosan, partisipan mendapat pengalaman langsung dengan simulasi.
Kemudian masuk tahap kesadaran kritis dan pemahaman akan pentingnya partisipasi aktif perempuan dalam proses demokrasi dan transformasi sosial-politik; makna suara dan keterwakilan perempuan; serta apa peluang, tantangan, hambatan serta implikasi sistem Pemilu 2004 bagi perempuan.
Dari sini proses bergulir pada kesadaran dan pemahaman akan pentingnya etika politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada sesi ini partisipan mencoba melihat etika politik yang menjadi landasan dalam memilih.
Berdasar pada proses dalam sesi-sesi sebelumnya, partisipan bersama-sama mendiskusikan dan menyusun kriteria-kriteria parpol dan caleg yang dapat dijadikan tolak ukur untuk menentukan pilihan secara bebas dan kritis dalam Pemilu 2004. Kriteria yang ditetapkan sesuai dengan situasi, permasalahan dan kebutuhan lokal masing-masing. Dari kriteria ini mereka membuat analisis parpol dan caleg berdasarkan informasi yang ada.
Hasil analisis menunjukkan adanya kesenjangan antara kondisi riil perpolitikan dengan kriteria ideal yang mereka buat dan dengan prinsip-prinsip etika politk yang diinginkan bersama. Karena itu, disusun strategi tindak lanjut dalam jangka panjang dan pendek untuk mensikapi kesenjangan tersebut. Pada sesi ini diharapkan dibuatnya kontrak politik, terbangunnya simpul-simpul jaringan perempuan dan komunitas basis perempuan yang dapat berfungsi sebagai “perlawanan” dan menjalankan fungsi pengawasan-kontrol.
Sebagai strategi jangka pendek, dipilih program sosialisasi. Karena itu para partisipan belajar bersama teknik memfasilitasi dan pengenalan metode pelatihan.
Keseluruhan acara ditutup dengan evaluasi bersama, yang diharapkan dapat memberikan umpan balik dan masukan bagi perbaikan proses pelatihan selanjutnya. Evaluasi menjadi penting artinya bagi sebuah proses belajar bersama, di mana fasilitator dan partisipan dengan rendah hati mau menerima masukan serta kritik yang membangun; dalam suasana yang terbuka dan setara. Dari hasil evaluasi partisipan di 23 kota, hampir semua partisipan merasa bahwa proses pelatihan dan metode yang digunakan sangat partisipatif dan membantu untuk berproses bersama. Di beberapa kota, berubahnya jadwal nara sumber menyebabkan alur proses menjadi terganggu. Alur menjadi tidak runut/sistematis lagi, apalagi kalau penjelasan dari nara sumber tidak sesuai dengan tujuan/sasaran dari sesi.
Sebagai fasilitator yang menyusun modul, dan memfasilitasi pelaksanaan pelatihan, kita diharapkan memiliki kreativitas dan fleksibilitas yang tinggi, terutama ketika menghadapi situasi yang di luar perencanaan kita. Baik itu berkaitan dengan nara sumber ataupun dengan dinamika partisipan.
(intan)
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Juni 2004. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Juni 2004. Tampilkan semua postingan
Senin, 03 Agustus 2020
[TIPS] FASILITATOR dan BIDAN: Beda peran satu metodologi
Peran fasilitator memiliki perbedaan yang sangat jelas dengan kiprah narasumber dan kiprah penceramah. Banyak orang menyebut dirinya menjadi fasilitator, namun semua metode pendidikannya tidak lebih menurut seseorang pembicara pada sebuah seminar atau khotbah seseorang Kiyai dalam sholat Jum?At.
Berikut ini beberapa saran buat menjadi seseorang fasilitator dalam arti yg sebenarnya.
Belajar menurut Bidan
Peran fasilitator tidak ubahnya menggunakan peran seorang Bidan. Pengalaman bidan pada membantu kelahiran seorang anak, adalah filosofi dasar yg kiranya perlu direnungkan oleh seorang fasilitator. Kita tentunya pernah melihat bagaimana seseorang bidan membantu proses kelahiran seorang anak, yang telah jelas bukan anaknya sendiri. Tetapi dengan segala totalitas dan kompetensinya, semua itu dikerahkan semata-mata buat kelahiran si bayi. Tetapi begitu si bayi lahir, ibunyapun langsung menggendongnya dan mendekapnya. Bidan pun relatif senang waktu beliau bisa membantu proses kelahiran itu & waktu melihat seluruh orang bahagia dengan keberhasilan proses kelahiran tersebut.
Seorang fasilitator pada menjalankan peranannya jua tidak tidak selaras menggunakan seorang bidan. Peran fasilitator merupakan berfungsi buat memfasilitasi sebuah proses penemuan makna-makna baru dalam hidup partisipan, sama menggunakan bidan yg bekerja buat memfasilitasi sebuah proses kelahiran. Ketika sebuah proses tersebut berhasil, hendaknya fasilitator pun seperti seseorang bidan, yg relatif merasa bahagia saat telah berhasil.
Penting pula buat diperhatikan bahwa seorang fasilitator hendaknya menjauhkan diri berdasarkan pemikiran buat sebagai yg paling didengarkan, yang paling diperhatikan, & yang paling paling lainnya, lantaran memang keberhasilan proses terletak pada kedua belah pihak. Seperti pada proses melahirkan anak, Ibu merupakan adalah partisipan dan bidan adalah seorang fasilitator. Dapatkah proses kelahiran itu berhasil jika si bidan hanya berteriak-teriak tetapi si mak tidak mengikutinya? Begitu jua kebalikannya, dapatkah si mak melahirkan seorang diri tanpa donasi bidan?
Menjadi Pelajar dari Pengalamannya Sendiri
Perhatian primer dalam proses memfasilitasi yang perlu diberikan sang seseorang fasilitator adalah pada kemampuan belajar masing-masing partisipan. Lantaran partisipan terdiri menurut latar belakang dan kemampuan yang relatif beragam. Beberapa hal yg perlu diperhatikan seseorang fasilitator dalam menjalankan perannya:
1. Melibatkan diri menggunakan partisipan secara penuh dan terbuka. Hal ini untuk mengantisipasi adanya berpretensi yang hiperbola berdasarkan partisipan terhadap pengalaman barunya.
2. Melibatkan partisipan dalam proses berefleksi serta menyimak pengalamannya
tiga. Menyatukan konsep menggunakan percermatan ke pada teori yang logis
4. Menggunakan teori buat memicu partisipan pada membuat keputusan dan menuntaskan kasus.
SiMaK (Sigap, cerMat, peKa)
Dalam proses memfasilitasi sebuah proses, tentu akan ada banyak persoalan yg timbul. Hal ini umumnya lalu dihubungkan menggunakan perkara personal dan kemampuan berdasarkan fasilitator. Beberapa ciri di bawah ini dapat dipakai buat mengembangkan hal tadi, yakni:
1. Kepribadian yg menyenangkan, dengan kemampuannya untuk menerangkan persetujuan & apa yang dipahami partisipan
2. Kemampuan sosial, menggunakan kecakapan buat membangun dinamika gerombolan secara beserta-sama dan mengotrolnya tanpa merugikan partisipan
tiga. Mampu mendesain cara memfasilitasi yang dapat membangkitkan, menggunakan pengetahuan dan ketrampilan partisipan sendiri selama proses berlangsung
4. Cermat pada melihat dilema pribadi partisipan.
Lima. Fleksibel dalam merespon perubahan kebutuhan belajar partisipan
6. Pemahaman yg relatif atas materi pokok pendidikan
Uraian singkat pada atas, dapatlah dikerucutkan dengan satu kalimat, yakni: Seorang pelayan bagi sesamanya insan. Inilah kiranya nilai dasar yang perlu direnungkan bagi seorang yg ingin merogoh peran sebagai fasilitator. Fasilittaor bukan menjadi tokoh, sebagai ahli, apalagi menjadi artis, namun menjadi pelayan. Semoga menggunakan belajar menurut seseorang pelayan, kita dapat menjadi seorang fasilitator sejati. Selamat memfasilitasi.
Daftar Pustaka:
Fakih, Mansour, Roem Topatimasang dan Toto Rahardjo (2001). Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Patricia Siswandi
Berikut ini beberapa saran buat menjadi seseorang fasilitator dalam arti yg sebenarnya.
Belajar menurut Bidan
Peran fasilitator tidak ubahnya menggunakan peran seorang Bidan. Pengalaman bidan pada membantu kelahiran seorang anak, adalah filosofi dasar yg kiranya perlu direnungkan oleh seorang fasilitator. Kita tentunya pernah melihat bagaimana seseorang bidan membantu proses kelahiran seorang anak, yang telah jelas bukan anaknya sendiri. Tetapi dengan segala totalitas dan kompetensinya, semua itu dikerahkan semata-mata buat kelahiran si bayi. Tetapi begitu si bayi lahir, ibunyapun langsung menggendongnya dan mendekapnya. Bidan pun relatif senang waktu beliau bisa membantu proses kelahiran itu & waktu melihat seluruh orang bahagia dengan keberhasilan proses kelahiran tersebut.
Seorang fasilitator pada menjalankan peranannya jua tidak tidak selaras menggunakan seorang bidan. Peran fasilitator merupakan berfungsi buat memfasilitasi sebuah proses penemuan makna-makna baru dalam hidup partisipan, sama menggunakan bidan yg bekerja buat memfasilitasi sebuah proses kelahiran. Ketika sebuah proses tersebut berhasil, hendaknya fasilitator pun seperti seseorang bidan, yg relatif merasa bahagia saat telah berhasil.
Penting pula buat diperhatikan bahwa seorang fasilitator hendaknya menjauhkan diri berdasarkan pemikiran buat sebagai yg paling didengarkan, yang paling diperhatikan, & yang paling paling lainnya, lantaran memang keberhasilan proses terletak pada kedua belah pihak. Seperti pada proses melahirkan anak, Ibu merupakan adalah partisipan dan bidan adalah seorang fasilitator. Dapatkah proses kelahiran itu berhasil jika si bidan hanya berteriak-teriak tetapi si mak tidak mengikutinya? Begitu jua kebalikannya, dapatkah si mak melahirkan seorang diri tanpa donasi bidan?
Menjadi Pelajar dari Pengalamannya Sendiri
Perhatian primer dalam proses memfasilitasi yang perlu diberikan sang seseorang fasilitator adalah pada kemampuan belajar masing-masing partisipan. Lantaran partisipan terdiri menurut latar belakang dan kemampuan yang relatif beragam. Beberapa hal yg perlu diperhatikan seseorang fasilitator dalam menjalankan perannya:
1. Melibatkan diri menggunakan partisipan secara penuh dan terbuka. Hal ini untuk mengantisipasi adanya berpretensi yang hiperbola berdasarkan partisipan terhadap pengalaman barunya.
2. Melibatkan partisipan dalam proses berefleksi serta menyimak pengalamannya
tiga. Menyatukan konsep menggunakan percermatan ke pada teori yang logis
4. Menggunakan teori buat memicu partisipan pada membuat keputusan dan menuntaskan kasus.
SiMaK (Sigap, cerMat, peKa)
Dalam proses memfasilitasi sebuah proses, tentu akan ada banyak persoalan yg timbul. Hal ini umumnya lalu dihubungkan menggunakan perkara personal dan kemampuan berdasarkan fasilitator. Beberapa ciri di bawah ini dapat dipakai buat mengembangkan hal tadi, yakni:
1. Kepribadian yg menyenangkan, dengan kemampuannya untuk menerangkan persetujuan & apa yang dipahami partisipan
2. Kemampuan sosial, menggunakan kecakapan buat membangun dinamika gerombolan secara beserta-sama dan mengotrolnya tanpa merugikan partisipan
tiga. Mampu mendesain cara memfasilitasi yang dapat membangkitkan, menggunakan pengetahuan dan ketrampilan partisipan sendiri selama proses berlangsung
4. Cermat pada melihat dilema pribadi partisipan.
Lima. Fleksibel dalam merespon perubahan kebutuhan belajar partisipan
6. Pemahaman yg relatif atas materi pokok pendidikan
Uraian singkat pada atas, dapatlah dikerucutkan dengan satu kalimat, yakni: Seorang pelayan bagi sesamanya insan. Inilah kiranya nilai dasar yang perlu direnungkan bagi seorang yg ingin merogoh peran sebagai fasilitator. Fasilittaor bukan menjadi tokoh, sebagai ahli, apalagi menjadi artis, namun menjadi pelayan. Semoga menggunakan belajar menurut seseorang pelayan, kita dapat menjadi seorang fasilitator sejati. Selamat memfasilitasi.
Daftar Pustaka:
Fakih, Mansour, Roem Topatimasang dan Toto Rahardjo (2001). Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Patricia Siswandi
Minggu, 02 Agustus 2020
[PROFIL] Lusia Ping: Sang Penyambung Generasi Dayung
Menyusuri Sungai Mendalam di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kita akan menemui masyarakat Daya? Subsuku Kayaan yang mendiami kampung-kampung di sepanjang sungai. Secara garis besar , mereka mempunyai 2 budaya besar , yaitu budaya ngayau dan budaya dayung [1] . Rupanya budaya yang lebih berkembang lalu di rakyat Kayaan Mendalam merupakan budaya dayung.
Istilah dayung, pada mulanya memiliki tiga arti. Pertama, sebagai sebuah bentuk doa yg dilantunkan menggunakan irama eksklusif dan berbentuk syair dengan sajak yang berpola. Kedua adalah orang yang melakukan dan memimpin segala ritus keagamaan pada upacara istiadat mereka dengan melantunkan dayung, yaitu mereka yg berperan sebagai imam; disebut dayung juga. Hampir seluruh dayung pada sepanjang sejarah Kayaan, adalah wanita. Ketiga, kata dayung ini dalam jaman dahulu dikenakan juga dalam mereka yg memiliki kemampuan buat mengobati dan menyembuhkan penyakit. Dayung mengobati ini kebanyakan jua perempuan .
Sejarah dayung, baik dalam arti sebuah doa maupun imamnya, berkaitan erat dengan sejarah (upacara) Dange [2].
Begitu sentralnya kiprah dan posisi seseorang dayung, maka fungsi ini nir sanggup dijalankan oleh sembarang orang. Lantaran itulah, posisi seorang dayung pada masyarakat sangat terhormat & krusial. Sekarang, sesudah kepercayaan resmi masuk di bumi Mendalam, peran & kedudukan dayung-pun bergeser. Walaupun kepercayaan sekarang berusaha mengakomodir istiadat & tradisi dulu, akan tetapi kedudukannya sebagai lebih diskriminasi.
Justru akhirnya yang terjadi dalam para dayung kini merupakan multi beban, lantaran mereka tetap wajib menjalankan fungsi domestik, fungsi produksi (berladang, berkebun dan kadang menganyam), fungsi sosial kemasyarakatan, & sekaligus fungsi religiositas (sebagai dayung). Apalagi bila mereka kebetulan juga merupakan pengajar. Tidak sporadis terjadi permasalahan-konflik pula, tapi mereka tetap bertahan.
Dalam konteks inilah, sosok seseorang Lusia Ping, atau yang biasa dikenal dengan Bu Ping hadir & bermakna. Bu Ping, seorang perempuan yang berusia sekitar 40 tahun, sehari-hari berprofesi menjadi guru sekolah dasar sekaligus petani. Bersuamikan seorang pensiunan guru yg beretnis Jawa, mereka kebetulan tidak mempunyai anak. Yang menarik & menonjol menurut sosok wanita Kayaan satu ini adalah perannya menjadi dayung.
Ketika Dange dan segala ritualnya mulai diakomodir oleh kepercayaan resmi, Bu Ping, menjadi wanita belia saat itu, yg bukan seseorang dayung tata cara, sebagai tokoh di garis depan bersama menggunakan nenek Tipung-sang dayung aya? (dayung akbar/senior) buat pulang menghidupkan dan melestarikan adat mereka. Walaupun belum berstatus dayung, Bu Ping merogoh posisi menjadi motivator dan penggerak serta ?Penyambung generasi para dayung?. Ia belajar & menggali balik serta mengumpulkan kebijakan lokal yg sempat hilang, belajar menurut subjek sejarah yg masih hayati waktu itu, yakni nenek Tipung & beberapa tokoh norma yang sudah tua. Kearifan tradisional yg dituangkan dalam dayung & hayati pada dayung itu mulai dicatat & dibukukan.
Para dayung ini melakukan proses kaderisasi & pembelajaran menggunakan cara-cara yg informal, dengan tradisi lisan & dilakukan sambil melakukan pekerjaan-pekerjaan sehari-hari wanita. Bahkan dalam sakitnya yg relatif parah, nenek Tipung masih pula menyediakan dirinya buat belajar beserta Bu Ping, yg akan meneruskan balik pada dayung-dayung belia (dayung uk) lainnya. Sambil berbaring, duduk pada atas tikar, mereka belajar. Nenek Tipung melantunkan dan mempraktekkan dayung, diikuti Bu Ping, sembari dihafalkan dan dicatat. Demikian berulang-ulang hingga benar -betul menguasai. Semua ini dilakukan pada sela-sela waktu mereka yg sangat padat & sibuk, terutama dengan banyaknya peran yang dipikul perempuan .
Proses kaderisasi ini kemudian diteruskan dengan merekrut para wanita muda buat melanjutkan tongkat estafet sejarah dayung. Bu Ping jugalah yg mempunyai kiprah akbar dalam merekrut, memotivasi, bernegosiasi & mendorong para wanita ini buat mau belajar tata cara & sejarah mereka lagi. Pekerjaan ini diakui tidak gampang oleh Bu Ping, lantaran pada mulanya orang takut buat mulai lagi menggali adat, dan lantaran nir sembarang orang bisa sebagai dayung. Mereka takut nenek moyang mereka marah kalau tidak dilakukan sama persis menggunakan istiadat dulu. Mulai dengan 6 orang teman, Bu Ping tidak putus harapan. Belum lagi mereka menemui kesulitan buat belajar apa yang dulu telah ditinggalkan. Ketakutan & rasa memalukan dan tidak percaya diri berdasarkan rekan-rekan mudanya ini disikapi menggunakan sabar sang Bu Ping. Ia tidak pernah memaksa seseorang buat melakukan apa yg dia inginkan. Tapi dengan membiarkan mereka menemukan sendiri, diikuti menggunakan proses perundingan dan diskusi, serta teladan yg tiada henti. Untuk itu beliau perlu memahami karakter rekan-rekannya, sebagai akibatnya proses kaderisasi ini bisa berjalan mulus. Seperti yang dikatakan,? Kita tidak usah menunjukkan marah atau ngomel. Kita mau mendidik orang, nanti orang malah lari.?
Kesabaran & tekatnya terbukti membuahkan output. Tahun ke-dua uji coba proses inkulturasi norma dange pada liturgi resmi agama sudah menerangkan output yang menggembirakan. Makin banyak orang yang berminat buat belajar dan bergabung. Perasaan takut & malu jua mulai bisa diatasi.
Para dayung sekarang telah bisa belajar menggunakan catatan, nir harus menghafal, dan nir wajib dijadikan dayung lewat mimpi atau penyakit. Motivasi menjadi dayung sekarang lebih dari karena minat, hobbi ataupun keharusan buat menjaga tradisi. Tapi poly jua yg mau sebagai dayung, lantaran dayung adalah doa, dan lantaran kehidupan religius mereka masih sangat pekat maka lewat doalah mereka memperoleh kelegaan, kedamaian dan pengharapan. Bu Ping sendiri merasa: ?Lezat cita rasanya jika berdoa dengan berdayung, sambil bernyanyi dan menari. Rasanya meresap...?
Dalam kehidupan religius, yang paling aktif & berperan merupakan para perempuan . Merekalah yg paling setia & yang mengambil tanggungjawab terbesar. Tapi hal ini tidak berarti mereka tidak peka & kritis terhadap perkara-kasus sosial, keagamaan & masalah lingkungan di sekitar mereka.
Adalah beberapa orang yang masih punya kesadaran dan kekritisan, yang mau melihat dan memperjuangkan kembali keberlangsungan hayati pada lingkungan Kayaan Mendalam. Bu Ping, sebagai keliru satunya, ikut serta dalam momen itu. Sebagai contoh, pada tahun 1999, lebih kurang 300 orang Kayaan berdemonstrasi ke DPRD buat menuntut dicabutnya HPH dan HTI, & melarang mereka beroperasi lagi di daerah Mendalam. Para wanita ikut dan berdasarkan awal proses hingga akhir. Mereka menari di depan kantor DRPD menggunakan menggunakan sandang norma.
Bu Ping, nenek Tipung (yg lepas 29 April 2004 lalu tewas), serta para wanita Kayaan ini juga menyadari & mengalami dampak berdasarkan kerusakan lingkungannya, nir hanya hutan, akan tetapi jua air sungai. Kekritisan & kiprah serta mereka yang teramat besar pada sejarah hidup masyarakat Kayaan patut diberi acungan jempol. Kesetiaan dan usaha mereka yg tak kenal lelah buat terus mengembangkan budaya kehidupan selayaknya kita dukung. Bu Ping, beserta wanita-perempuan Kayaan yg terdapat nun jauh di Mendalam sana, sudah memberi kita teladan bagaimana menciptakan sebuah proses belajar beserta yang lebih arif, nir otoriter dan penuh kekerasan, sekaligus kritis & konsisten.
Catatan:
[1] Budaya ngayau adalah budaya yang berkaitan dengan peperangan (yang lebih bersifat fisik) untuk memerangi dan mengalahkan musuh, biasanya menggunakan senjata seperti parang, yang disebut mandau. Secara spesifik, musuh biasanya dikalahkan dengan memolong leher mereka (cara seperti inilah yang dikenal dengan me-ngayau). Sedangkan budaya dayung adalah budaya yang berkaitan dengan segala bentuk kehidupan religiositas mereka.
[2] Dange adalah upacara terpenting dan terbesar bagi masyarakat Kayaan Mendalam. Dange adalah sebuah upacara pesta panen, yang merupakan ungkapan syukur mereka atas hasil panen, dan segala berkat dan rahmat yang telah mereka terima selama satu tahun. Sekaligus, mereka meminta berkat dan perlindungan untuk masa tanam yang akan datang.
(Intan Darmawati)
[MASALAH KITA] BEKERJA DENGAN KEYAKINAN
Motivasi orang buat bekerja tentu majemuk. Ada yg bekerja buat sesuap nasi, terdapat yg buat segenggam berlian, ada yg untuk idealisme ('panggilan' entah kemanusiaan entah religius). Kita sendiri mungkin bekerja buat & dengan alasan yg merupakan kombinasi berdasarkan berbagai faktor. Semua sungguh absah-absah saja.
Siang tersebut beberapa sahabat ngobrol-ngobrol mengenai kerja, profesionalisme, idealisme dan realita. Perdebatannya, jika kita bekerja profesional buat tujuan sosial (baca: buat NGO) apa oke saja kalau nir dihargai & tidak dibayar (diberi thank you pun nir!)? Atas nama sosial dan 'panggilan', apakah oke sebuah LSM akbar nir menggaji layak (jauh dibawah UMR) staf atau volunteernya? Apalagi banyak LSM yg berteriak-teriak soal HAM, hak buruh, hak sosial ekonomi pada luar akan tetapi terhadap staf atau orang-orang yg membantu mangkat -matian malah memberi janji bukan bukti. (Contoh konkret poly! Ini sdh pendapat generik di publik non LSM).
Ada teman yg mencoba membela image LSM dengan menjatuhkan perusahaan (corporate). Seraya mengkerutkan kening, beliau mencela sebuah konsultan public relation yang, 'mau-maunya kerja menciptakan publikasi buat konglomerat & pejabat?!' saat perdebatan memanas, saya hanya bisa amanah dengan apa yang saya pikir dan rasakan, 'Lu boleh makan itu idealisme, tapi kalo kepepet nggak bisa bayar uang sekolah anak, gue nggak akan membuat malu jadi standguide lagi, pake rok mini senyum sana-sini dapat 200-300ribu rupiah satu shift! Masa bodo LSM, sama kaya VOC: kerja paksa tanpa bayar!'
Kami pulang dengan tertawa-tawa (maklum, baru kumpul-kumpul menggunakan sahabat usang). Tetapi ada penasaran tersisa untuk aku . Tak adakah pekerjaan yg mendamaikan keduanya: idealisme dan kebutuhan kesejahteraan keluarga? Masa kita harus memaksakan anggaran tidak boleh berkeluarga agar sanggup melayani sesama 24 jam tanpa bayaran?
Pikir punya pikir, apa pun pilihan kita, yang krusial sinkron hati (atau sinkron tujuan kita diciptakan ha..Ha..Ha..). Yang juga penting, kita yakin akan apa yg kita kerjakan. Kalau honor tinggi akan tetapi kita gak yakin 'produk jualan' kita...? Atau sebaliknya kita percaya kecap kita nomor satu akan tetapi disuruh kerja rodi, kerja seberat direktur akan tetapi gaji dibawah office boy? Beratlah...
Tiba-tiba saya teringat Eddie Rickenbacker, mantan penerbang Perang Dunia I, pendiri dan CEO Eastern Airlines (Amerika). Selain karena 135 kali luput dari maut, ia terkenal karena prinsip-prinsip manajemen bisnis dan personal. Dalam paper berjudul "My constitution", Rickenbacker menulis,
"I will always keep in mind that I am in the greatest business in the world, as well as working for the greatest company in the world, and I can serve humanity more completely in my line of endeavor than in any other."
Nah.... Apakah kita telah seyakin itu menggunakan pekerjaan atau pilihan kita.....?
(Dikutip berdasarkan e-mail yang dikirimkan oleh Adeline MT, 15 Maret 2004)
Siang tersebut beberapa sahabat ngobrol-ngobrol mengenai kerja, profesionalisme, idealisme dan realita. Perdebatannya, jika kita bekerja profesional buat tujuan sosial (baca: buat NGO) apa oke saja kalau nir dihargai & tidak dibayar (diberi thank you pun nir!)? Atas nama sosial dan 'panggilan', apakah oke sebuah LSM akbar nir menggaji layak (jauh dibawah UMR) staf atau volunteernya? Apalagi banyak LSM yg berteriak-teriak soal HAM, hak buruh, hak sosial ekonomi pada luar akan tetapi terhadap staf atau orang-orang yg membantu mangkat -matian malah memberi janji bukan bukti. (Contoh konkret poly! Ini sdh pendapat generik di publik non LSM).
Ada teman yg mencoba membela image LSM dengan menjatuhkan perusahaan (corporate). Seraya mengkerutkan kening, beliau mencela sebuah konsultan public relation yang, 'mau-maunya kerja menciptakan publikasi buat konglomerat & pejabat?!' saat perdebatan memanas, saya hanya bisa amanah dengan apa yang saya pikir dan rasakan, 'Lu boleh makan itu idealisme, tapi kalo kepepet nggak bisa bayar uang sekolah anak, gue nggak akan membuat malu jadi standguide lagi, pake rok mini senyum sana-sini dapat 200-300ribu rupiah satu shift! Masa bodo LSM, sama kaya VOC: kerja paksa tanpa bayar!'
Kami pulang dengan tertawa-tawa (maklum, baru kumpul-kumpul menggunakan sahabat usang). Tetapi ada penasaran tersisa untuk aku . Tak adakah pekerjaan yg mendamaikan keduanya: idealisme dan kebutuhan kesejahteraan keluarga? Masa kita harus memaksakan anggaran tidak boleh berkeluarga agar sanggup melayani sesama 24 jam tanpa bayaran?
Pikir punya pikir, apa pun pilihan kita, yang krusial sinkron hati (atau sinkron tujuan kita diciptakan ha..Ha..Ha..). Yang juga penting, kita yakin akan apa yg kita kerjakan. Kalau honor tinggi akan tetapi kita gak yakin 'produk jualan' kita...? Atau sebaliknya kita percaya kecap kita nomor satu akan tetapi disuruh kerja rodi, kerja seberat direktur akan tetapi gaji dibawah office boy? Beratlah...
Tiba-tiba saya teringat Eddie Rickenbacker, mantan penerbang Perang Dunia I, pendiri dan CEO Eastern Airlines (Amerika). Selain karena 135 kali luput dari maut, ia terkenal karena prinsip-prinsip manajemen bisnis dan personal. Dalam paper berjudul "My constitution", Rickenbacker menulis,
"I will always keep in mind that I am in the greatest business in the world, as well as working for the greatest company in the world, and I can serve humanity more completely in my line of endeavor than in any other."
Nah.... Apakah kita telah seyakin itu menggunakan pekerjaan atau pilihan kita.....?
(Dikutip berdasarkan e-mail yang dikirimkan oleh Adeline MT, 15 Maret 2004)
[MEDIA] Resensi Film: MONA LISA SMILE

Judul : Mona Lisa Smile
Tahun : 2004
Produksi : Columbia Pictures & Sony Pictures Entertainment
Produser : Elaine Goldsmith; Thomas Paul Schiff; Deborah Schindler
Sutradara : Mike Newell
Pemain : Julia Roberts; Kirsten Dunst; Julia Stiles; Maggie Gylenhaal
Latar belakang cerita ini berdasarkan pada tahun 1953, di mana pembakuan peran gender (masih) sangat ketat dipegang. Seperti sudah dimulai oleh pendahulu mereka dalam abad 18, dalam masa ini jugalah para feminis liberal telah memulai gerakannya. Feminisme liberal sedikit poly ditentukan sang pemikiran liberalisme dan modernisme yg menekankan kebebasan individual. Para pemikir & aktivis yg tergolong dalam feminisme gelombang ini melihat adanya kebijakan yang tidak adil, dengan adanya disparitas kesempatan serta hak antara wanita dan laki-laki . Pendidikan yg mengembangkan rasionalitas hanya diberikan pada laki-laki , di mana intelektual pria dipercaya superior & pekerjaan perempuan ?Hanyalah? Sebagai istri & mak ? Dan dipercaya nir penting.
Katherine Watson, tokoh yang diperankan oleh Julia Robert ini mewakili feminis liberal abad 20 yg menginginkan perubahan lebih baik bagi wanita, lewat pendidikan. Sebagai seorang guru sejarah seni, Katherine tiba ke Wellsley College, sebuah sekolah khusus perempuan yang populer sangat konvensional, buat menciptakan perubahan! Pemikiran, gaya hayati, pendekatan dan cara mengajarnya yg di luar pakem menantang institusi & segenap penghuninya buat melihat melampaui apa yg dibayangkan dan dikonstruksikan selama ini. Sekolah yang reputasinya populer dan dipercaya sukses karena berhasil mendidik anak-anak perempuan menjadi istri yg baik ini, terguncang menggunakan adanya sebuah pemikiran dan pendidikan ?Cara lain ?, yang coba diusung dan diwakili oleh sosok Katherine ini.
Keluar dari konstruksi sosial dan memilih pilihan secara bebas dan kritis memang tidak semudah membalikkan tangan. Menjadi pendobrak & motivator bagi proses perubahan ini lebih tidak mudah lagi. Pergulatan seseorang Katherine Watson dalam mewujudkan idealismenya mendapat tantangan & pengkayaan lewat pertemuannya dengan anak didik-anak didik perempuan . Sebuah tawaran yg bagi sekelompok orang dipercaya membebaskan dan adil, mungkin ditanggapi menjadi ancaman sang mereka yg terlanjur diuntungkan dalam sistem seks/gender yg melenakan & sudah menghegemoni ini.
Film ini menyuguhkan kisah relatif menarik, serta didukung sang para seniman yang bermain cukup bagus, walaupun dengan bumbu-bumbu yang khas Hollywood, tetapi kiranya tetap layak buat kita tonton. Nampaknya gosip & perjuangan para feminis liberal semenjak abad 18 & berkembang hingga abad 20 ini masih relevan pada kehidupan kita. Perjuangan para feminis gelombang pertama ini nampaknya belum kunjung usia & terwujud sinkron cita-cita. Lewat film ini kita sanggup lebih mengenal sebagian pemikiran & perjuangan feminis liberal abad-20. Sedikit banyak, kita jadi teringat jua menggunakan tokoh wanita kita, yg masuk dalam golongan ini, yaitu RA.Kartini. Mungkin film ini mampu ditonton & direfleksikan pada rangka merayakan hari Kartini, sebagai ganti lomba kebaya & merangkai bunga! (intan)
Sabtu, 01 Agustus 2020
[PIKIR] PENDIDIKAN BAGI ORANG DEWASA: PELATIHAN PARTISIPATIF VS SEMINAR
Pelatihan partisipatif merupakan kata yg sedang marak digunakan waktu ini. Banyak orang menggunakan metode tadi buat kepentingan sosialisasi pendidikan secara partisipatif baik bagi mahasiswanya, bagi karyawannya, juga bagi rekanan kerjanya. Tetapi demikian, sering terjadi kesalahpahaman terhadap istilah yang sedang nge-ekspresi dominan ini, poly orang menyebut diri sedang melaksanakan pembinaan partisipatif, tetapi ternyata tidak lebih berdasarkan sekadar seminar. Tulisan ini ingin menaruh pemahaman baru tentang definisi & hal-hal fundamental yang kiranya perlu diperhatikan dalam sebuah pelatihan partisipatif.
PENDIDIKAN PARTISIPATIF
Pendidikan partisipatif merupakan sebuah metode pendidikan yang menitikberatkan dalam partisipasi aktif para peserta. Berangkat berdasarkan hal itulah maka penggunaan istilah-istilah terhadap kiprah-peran yang terdapat dalam sebuah pelatihan pun mengalami pergeseran. Dulu kita lebih mengenal istilah instruktur atau trainer dan pesertanya diklaim dengan trainee. Dalam training ala tempo dulu, para instruktur merupakan satu-satunya sumber pengetahuan & peserta tinggal menerima. Sejalan menggunakan perkembangan jaman, training-pelatihan nir lagi wajib menggunakan model top-down seperti pada atas, tetapi jua melibatkan partisipasi aktif peserta. Istilah buat kiprah-peran dalam pelatihan pun mengalami perubahan. Saat ini kita lebih mengenal istilah fasilitator & bukan trainer, serta istilah trainee berubah sebagai partisipan.
Pergeseran terhadap istilah kiprah tersebut semakin menerangkan bahwa dalam sebuah proses pendidikan yg dianggap menggunakan pembinaan partisipatif, fungsi fasilitator adalah memfasilitasi sebuah proses pendidikan, memfasilitasi para partisipan dalam menemukan sendiri makna-makna baru yg diperoleh dalam training tersebut. Sehingga dengan demikian, tampak jelas bahwa fungsi narasumber pada sebuah seminar sangat tidak sama menggunakan fungsi fasilitator dalam sebuah pembinaan. Apabila dalam sebuah seminar, solusi perkara harus dipecahkan oleh narasumber maka pada sebuah pembinaan, fasilitator hanya memfasilitasi proses sedemikian rupa sebagai akibatnya masalah ditemukan sendiri secara sadar oleh para partisipan dan solusi masalah pun terdapat pada para partisipan itu sendiri.
Dalam pelatihan partisipantif, nir terdapat metode satu orang di depan, dan yang lain duduk mendengarkan. Namun justru seluruh orang duduk dan berdiri pada posisi melingkar. Semua orang pada bulat mempunyai donasi dalam keberhasilan proses belajar memakai metode pendidikan partisipatif. Fokus primer terletak pada partisipan dan bukan pada fasilitator.
Metode permainan adalah metode yang acapkali dipakai pada pendidikan partisipatif. Lantaran melalui metode ini diharapkan partisipan bisa berangkat menurut pengalamannya sendiri-sendiri buat lebih lanjut merefleksikan pengalaman tadi menjadi makna-makna pembelajaran baru.
ATURAN DASAR MEMFASILITASI
Dalam pendidikan partisipatif, mutlak buat selalu melibatkan partisipasi para partisipan pada setiap prosesnya. Oleh karenanya, pada pendidikan partisipatif, pembuatan aturan main bukanlah dipengaruhi oleh fasilitator, namun dipengaruhi secara beserta-sama, yakni fasilitator & partisipan. Demikian jua dalam realisasinya, anggaran main dibentuk & dilakukan sang semua orang yang terlibat pada pembinaan, yakni seluruh tim fasilitator dan semua partisipan. Tidak berlaku dalam pendidikan partisipatif aturan main hanya bagi partisipan.
Dalam penentuan materi dan alur training pun, seseorang fasilitator pada pendidikan partisipatif hendaknya mempunyai kesiapan dan kreativitas yg relatif tinggi. Hal ini ditimbulkan, pendidikan partisipatif adalah pendidikan yg menitikberatkan pada kebutuhan partisipan. Sehingga bila pada proses training, alur materi yg disiapkan oleh tim fasilitator ternyata bukan sebagai kebutuhan partisipan, maka seorang fasilitator yg baik wajib rela buat mengganti seluruh skenario, baik modul, alur, juga permainan yg sudah disiapkan menggunakan skenario yg dibutuhkan sang partisipan. Dengan demikian proses pelatihan sahih-sahih menjadi milik partisipan secara penuh.
Selamat memfasilitasi!
(Patty)
PENDIDIKAN PARTISIPATIF
Pendidikan partisipatif merupakan sebuah metode pendidikan yang menitikberatkan dalam partisipasi aktif para peserta. Berangkat berdasarkan hal itulah maka penggunaan istilah-istilah terhadap kiprah-peran yang terdapat dalam sebuah pelatihan pun mengalami pergeseran. Dulu kita lebih mengenal istilah instruktur atau trainer dan pesertanya diklaim dengan trainee. Dalam training ala tempo dulu, para instruktur merupakan satu-satunya sumber pengetahuan & peserta tinggal menerima. Sejalan menggunakan perkembangan jaman, training-pelatihan nir lagi wajib menggunakan model top-down seperti pada atas, tetapi jua melibatkan partisipasi aktif peserta. Istilah buat kiprah-peran dalam pelatihan pun mengalami perubahan. Saat ini kita lebih mengenal istilah fasilitator & bukan trainer, serta istilah trainee berubah sebagai partisipan.
Pergeseran terhadap istilah kiprah tersebut semakin menerangkan bahwa dalam sebuah proses pendidikan yg dianggap menggunakan pembinaan partisipatif, fungsi fasilitator adalah memfasilitasi sebuah proses pendidikan, memfasilitasi para partisipan dalam menemukan sendiri makna-makna baru yg diperoleh dalam training tersebut. Sehingga dengan demikian, tampak jelas bahwa fungsi narasumber pada sebuah seminar sangat tidak sama menggunakan fungsi fasilitator dalam sebuah pembinaan. Apabila dalam sebuah seminar, solusi perkara harus dipecahkan oleh narasumber maka pada sebuah pembinaan, fasilitator hanya memfasilitasi proses sedemikian rupa sebagai akibatnya masalah ditemukan sendiri secara sadar oleh para partisipan dan solusi masalah pun terdapat pada para partisipan itu sendiri.
Dalam pelatihan partisipantif, nir terdapat metode satu orang di depan, dan yang lain duduk mendengarkan. Namun justru seluruh orang duduk dan berdiri pada posisi melingkar. Semua orang pada bulat mempunyai donasi dalam keberhasilan proses belajar memakai metode pendidikan partisipatif. Fokus primer terletak pada partisipan dan bukan pada fasilitator.
Metode permainan adalah metode yang acapkali dipakai pada pendidikan partisipatif. Lantaran melalui metode ini diharapkan partisipan bisa berangkat menurut pengalamannya sendiri-sendiri buat lebih lanjut merefleksikan pengalaman tadi menjadi makna-makna pembelajaran baru.
ATURAN DASAR MEMFASILITASI
Dalam pendidikan partisipatif, mutlak buat selalu melibatkan partisipasi para partisipan pada setiap prosesnya. Oleh karenanya, pada pendidikan partisipatif, pembuatan aturan main bukanlah dipengaruhi oleh fasilitator, namun dipengaruhi secara beserta-sama, yakni fasilitator & partisipan. Demikian jua dalam realisasinya, anggaran main dibentuk & dilakukan sang semua orang yang terlibat pada pembinaan, yakni seluruh tim fasilitator dan semua partisipan. Tidak berlaku dalam pendidikan partisipatif aturan main hanya bagi partisipan.
Dalam penentuan materi dan alur training pun, seseorang fasilitator pada pendidikan partisipatif hendaknya mempunyai kesiapan dan kreativitas yg relatif tinggi. Hal ini ditimbulkan, pendidikan partisipatif adalah pendidikan yg menitikberatkan pada kebutuhan partisipan. Sehingga bila pada proses training, alur materi yg disiapkan oleh tim fasilitator ternyata bukan sebagai kebutuhan partisipan, maka seorang fasilitator yg baik wajib rela buat mengganti seluruh skenario, baik modul, alur, juga permainan yg sudah disiapkan menggunakan skenario yg dibutuhkan sang partisipan. Dengan demikian proses pelatihan sahih-sahih menjadi milik partisipan secara penuh.
Selamat memfasilitasi!
(Patty)
Editorial Edisi 3
Akhir-akhir ini kata pendidikan partisipatif mulai marak digunakan baik buat pendidikan informal gaya LSM juga pendidikan formal pada bangku sekolah. Lantaran itulah Pro:aktif kali mengangkat tema Pendidikan Partisipatif: Sebuah Proses Demokratisasi.
Tulisan-tulisan yang tersaji diantaranya pengalaman jalan-jalan seorang aktivis KaIl pada memberikan Pendidikan Partisipatif buat Para Pemilih Perempuan di banyak sekali kota pada Indonesia; sebuah goresan pena berjudul Demokrasi berawal berdasarkan rumah menghiasi rubrik gaya hidup; rubrik pikir kali ini menyajikan sebuah artikel berjudul Pendidikan buat Orang Dewasa:
Pelatihan Partisipatif vs Seminar; ad interim rubrik tips buat fasilitator mengangkat analogi kiprah antara FASILITATOR dan BIDAN yg bersumber dalam metodologi yang sama; Profil kali ini mengisahkan Ibu Lusia Ping, Sang Penyambung Generasi Dayung di Kalimantan Barat; dan dalam media diulas MONALISA SMILE, sebuah film yang mengangkat cerita mengenai metode pendidikan yg nir umum dalam zamannya. Dalam kasus kita dibagikan curah pendapat bertajuk ?Bekerja dengan keyakinan?, yg semoga makin memotivasi kerja-kerja aktivis kita.
Kegiatan-kegiatan Kail dalam bulan Maret- Mei 2004 diangkat pada Bagi-bagi Cerita, yaitu Pendidikan Pemilih bekerja sama dengan UNISOSDEM Bogor, Pelatihan buat Para Trainer buat Materi Cara Berpikir Sistem buat Menganalisis Perseteruan Sosial, Lingkungan dan Gender dan Pelatihan Cara Berpikir Sistem buat Menganalisis Konflik Sosial, Lingkungan & Gender Angkatan ke-4; dan jangan lewatkan, Agenda Kail beberapa bulan ke depan, INFO ASSOCIATES serta Serial Terbitan KaIl.
Selamat Membaca!
Tulisan-tulisan yang tersaji diantaranya pengalaman jalan-jalan seorang aktivis KaIl pada memberikan Pendidikan Partisipatif buat Para Pemilih Perempuan di banyak sekali kota pada Indonesia; sebuah goresan pena berjudul Demokrasi berawal berdasarkan rumah menghiasi rubrik gaya hidup; rubrik pikir kali ini menyajikan sebuah artikel berjudul Pendidikan buat Orang Dewasa:
Pelatihan Partisipatif vs Seminar; ad interim rubrik tips buat fasilitator mengangkat analogi kiprah antara FASILITATOR dan BIDAN yg bersumber dalam metodologi yang sama; Profil kali ini mengisahkan Ibu Lusia Ping, Sang Penyambung Generasi Dayung di Kalimantan Barat; dan dalam media diulas MONALISA SMILE, sebuah film yang mengangkat cerita mengenai metode pendidikan yg nir umum dalam zamannya. Dalam kasus kita dibagikan curah pendapat bertajuk ?Bekerja dengan keyakinan?, yg semoga makin memotivasi kerja-kerja aktivis kita.
Kegiatan-kegiatan Kail dalam bulan Maret- Mei 2004 diangkat pada Bagi-bagi Cerita, yaitu Pendidikan Pemilih bekerja sama dengan UNISOSDEM Bogor, Pelatihan buat Para Trainer buat Materi Cara Berpikir Sistem buat Menganalisis Perseteruan Sosial, Lingkungan dan Gender dan Pelatihan Cara Berpikir Sistem buat Menganalisis Konflik Sosial, Lingkungan & Gender Angkatan ke-4; dan jangan lewatkan, Agenda Kail beberapa bulan ke depan, INFO ASSOCIATES serta Serial Terbitan KaIl.
Selamat Membaca!
Langganan:
Postingan (Atom)