Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Juni 2005. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Juni 2005. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 Juli 2020

[Jalan-jalan] Dari Puing-Puing Aceh…

Pada tanggal 20-22 Februari 2005 tim KaIL berkesempatan untuk mengunjungi Aceh bersama-sama dengan rombongan para petani dan nelayan dari berbagai negara. Kunjungan ini merupakan bagian dari rangkaian acara “Konferensi Regional Untuk Membangun Kembali Kehidupan Para Petani dan Nelayan Paska Bencana Tsunami dan Gempa Bumi”, yang diselenggarakan oleh Via Campesina di Medan pada tanggal 17-19 Februari 2005.

Sebagai penerjemah dan notulen untuk acara tersebut, tim KaIL menemani rombongan peserta ‘field trip’ ke Aceh. Kami berangkat ke Aceh menggunakan pesawat dari Medan ke Banda Aceh.

Turun di Bandara Aceh, suasana ngeri yang semula saya bayangkan tidak terjadi. Bandara masih utuh dan berfungsi baik, hanya memang terik matahari begitu menyengat – menyambut rombongan yang datang. Begitu menginjakkan kaki keluar dari pintu, kami di”serbu” para pedagang souvenir: dari penjual duplikat Rencong Aceh mini bertuliskan “Rencong Aceh Tsunami” sampai berbagai kaos bertema “Tsunami”. Pokoknya, Tsunami telah menjadi tema yang seksi dan komersial. Di bandara juga nampak rombongan para relawan dengan seragam kebesaran mereka yang bertuliskan nama kelompok mereka, baik relawan dalam negeri maupun luar negeri.

Keluar dari bandara, kami mengendarai mobil menuju sekretariat mitra FSPI di Banda Aceh. Di tengah jalan, kami bertemu dengan rombongan Menteri Pertanian yang sedang melakukan Panen Pertama di Aceh Paska Tsunami. Rombongan kami pun turun dan ikut berbincang dengan rombongan menteri (sehari sebelumnya beliau menjadi nara sumber dalam Konferensi kami), dan bahkan beberapa petani dari Italia, Srilanka dan Jepang ikut memanen padi .


Setelah berbincang-bincang, kami melanjutkan perjalanan. Di rumah relawan mitra, kami disambut dengan ramah. Hidangan khas Aceh telah disediakan. Setelah menikmati nikmatnya panganan Aceh, kami membagi rombongan menjadi dua: rombongan pertama ke Ulele dan rombongan lainnya ke sekitar Banda Aceh. Kami melihat bagaimana ganasnya Tsunami. Di mana-mana hanya puing-puing yang kami temui. Semuanya rata… Bau anyir dan busuk pun masih melekat di udara yang bertebar. Keprihatinan dan kenyerian hati tidak dapat dihindari. Terbayang bagaimana sebelumnya ada begitu banyak jiwa dan kehidupan yang ada di tempat itu. Dan semuanya hilang…


Situasi yang tidak jauh berbeda kami temui juga di tempat-tempat kejadian lainnya, di bagian Aceh lainnya. Keindahan alam yang mungkin akan sangat dapat dinikmati kalau tidak terjadi bencana, begitu nyata terlihat. Sapuan warna jingga di langit menyatu bersama puing kapal besar bermuatan batu bara yang terdampar beratus meter dari garis pantai membuat kita bertanya-tanya dan berefleksi: sebegitu dasyatnya alam ini. Alam telah membuktikan kekuatannya sekaligus keindahannya, dasyatnya kehancuran yang menjadi resikonya – dibalik dasyatnya kesuburan dan kenikmatan yang diberikannya untuk manusia dalam keadaan “normal”.


Melihat dan berbicara dengan para relawan yang bertugas memberi bantuan bagi para korban, kita kembali diingatkan akan sisi baik manusia. Bersyukur bahwa nurani dan rasa kemanusiaan tidak pernah bisa dikalahkan. Solidaritas dan aksi konkret telah ditunjukkan, tidak pandang etnis, bangsa, agama, suku, usia, jenis kelamin dan segala macam aliran politik.
Demikian juga dengan semangat hidup dan semangat untuk membangun kembali kehidupan, terlihat dalam diri para korban. Mereka tidak putus asa dan pasrah saja. Bahkan di beberapa komunitas nelayan, mereka bahu membahu membangun kembali rumah-rumah mereka dengan bahan yang ada. Walaupun memang di kamp-kamp pengungsi, kami dikagetkan dengan banyaknya anak-anak dan orang tua yang menjadi “pengemis dadakan”, tapi harapan akan kehidupan baru tidak sirna.


Di tengah-tengah ratapan para korban ini, adu senjata antara GAM dan TNI ternyata masih juga berlanjut. Sebagian rombongan kami terpaksa tertunda perjalanannya ketika akan kembali ke Medan, karena terjadi baku tembak. Rupanya perebutan kuasa, militerisasi dan ambisi untuk berperang tidak pernah kenal waktu.


Tapi, dari cerita dan tindakan beberapa korban yang bangkit untuk membangun kembali kehidupan mereka, nampak nyata bahwa harapan akan kehidupan baru tidak pernah sirna. Masyarakat Aceh telah tertempa menjadi manusia yang tangguh menghadapi persoalan. Trauma dan kengerian tidak membuat mereka berhenti hidup. Mereka hanya menginginkan hidup mereka dibangun kembali, sesuai dengan kebutuhan, harapan dan konteks mereka. Tidak lagi didikte dari luar, tidak justru diperlemah karena adanya bantuan dari luar. Seperti misalnya harapan petani Aceh: kalau mau membantu, belilah beras dari Aceh atau daerah Sumatra Utara. Karena beras kami cukup untuk memberi makan masyarakat Aceh. Jangan beri kami beras Thailand atau Jepang atau beras manapun. Kembalikan kedaulatan pangan pada kami!
(ID)






















Minggu, 26 Juli 2020

[Opini] PEMBELAJARAN PLURALISME UNTUK ANAK

Andai engkau hanya hidup di duniamu ....
Dan engkau berani mengintip dunia-global lain ....
Masih beranikah kamu menyampaikan ....
Dunia mu itu indah ....
(Andi, 2004)

Bicara tentang pluralisme memang gampang, bahkan terkadang topik ini bisa menjadi bahan diskusi yang panjang dan berhari-hari. Sampai sekarang pun pembicaraan mengenai pluralisme masih menjadi hal yang asyik di tengah maraknya pro dan kontra. Di kalangan para aktivis NGO, pluralisme menjadi salah satu issue yang masih seksi yang dapat menyatu dengan banyak issue-issue seksi lainnya, seperti issue gender, issue anak, dan issue-issue yang lain.


Layaknya seorang pejuang, para aktivis menggembor-gemborkan, mem-blow-up issue tersebut dengan lantang dan gagah berani. Banyak dalih yang diungkapkan, mulai dari yang menggunakan Pancasila sampai yang mencoba untuk menafsirkan ulang isi Kitab Sucinya masing-masing. Dari yang menggunakan contoh negara-negara (pluralis) sampai yang menggunakan contoh-contoh pribadi.
Dalam semangat memperjuangkan pluralisme yang selalu membara dalam diri para aktivis, ternyata tembok yang menghalangi para pejuang pluralis masih terlalu tinggi. Masih terlalu banyak hambatan. Masih terlalu banyak jurang yang dalam yang masih harus di timbun atau mungkin masih harus dibuatkan jembatan penghubung agar tercapai tujuan menjadi masyarakat pluralis.
Kecenderungan untuk menjadikan masyarakat yang komunalis, dengan dalih agama, dengan konsep agama (konsep penyebaran agama), pemelencengan makna atau tafsir dalam Kitab Suci, merupakan hambatan terbesar untuk pluralisme. Selain itu hambatan kedua yang terbesar adalah primordialisme, mengagungkan kelompoknya, menganggap suku/etnisnya paling baik, dengan dalih untuk pemurnian keturunan suku/etnis.
Merubah masyarakat menuju masyarakat pluralis merupakan gerakan evolusi, yang berarti membutuhkan waktu yang sangat panjang (lama). Perubahan secara evolusi akan menjadikan masyarakat yang benar-benar pluralis. Paham benar tentang apa itu pluralisme. Dinyamankan dengan bentuk masyarakat yang plural.
Perubahan yang evolusioner akan berawal dari dalam diri sendiri (pribadi-pribadi), atas penemuan bahwa masyarakat yang pluralis lebih indah , nyaman dan sebagainya yang baik-baik. Dengan penemuan tersebut, masing masing pribadi akan (selayaknya) mencoba untuk menyebarkan / menularkan penemuan tersebut kepada lingkup terdekatnya, suami (kalau punya), istri (kalau punya) dan anak (kalau punya) serta kerabat atau teman terdekat.
Nah...., di sinilah dibutuhkan kejelian bagi para pejuang pluralis, untuk dapat melihat peluang-peluang untuk melangkah menuju hal yang dicita-citakan. Menurut saya, langkah paling strategis untuk sebuah proses menuju masyarakat pluralis adalah memulai mendidik atau mengajarkan pluralisme kepada anak –anak.
Mengapa anak-anak? Mengapa harus anak?
Anak diartikan menjadi insan yang masih tumbuh dan berkembang, masih belum sanggup hidup sendiri, masih bergantung dalam orang dewasa. Secara biologis anak adalah insan yg berumur kurang dari 18 tahun[1]. Jadi insan yg belum berumur 18 tahun belum dipercaya dewasa. Dengan demikian dianggap belum bisa mandiri & masih bergantung pada orang dewasa. Orang dewasa memiliki kiprah buat membantu tumbuh kembang anak, baik secara fisik juga psikis. Oleh karenanya tumbuh kembang anak tergantung dari kemampuan orang dewasa pada membantu tumbuh kembangnya. Sebagai contoh saat anak nir diberi kesempatan atau sedikit berinteraksi menggunakan orang lain atau bahkan nir pernah, dan orang dewasa mengajarkan bahwa Suku Jambu atau Agama Rambutan itu tidak baik atau dursila, maka waktu dewasa akan menganggap bahwa Suku Jambu atau Agama Rambutan adalah jelek atau jahat. Padahal sebenarnya Suku Jambu & Agama Rambutan (mungkin) baik atau lebih tidak baik/dursila menurut pengetahuan yang didapatkan dari orang dewasa itu.
Pada prinsipnya orang dewasa mempunyai kekuasaan untuk mengekang atau membebaskan pola pikir, kreasi, pendapat, pilihan anak. Oleh karena itu, dalam mengajar atau mendidik anak supaya menjadi manusia yang pluralis, orang dewasa hendaknya (memilih membebaskan anak) memberikan peluang sebesar-besarnya bagi anak untuk belajar, berpengetahuan dan berinteraksi dengan manusia lain tanpa memandang suku, agama, ras, pandangan dan sebagainya yang berbeda-beda itu.
Pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada anak, merupakan hal yang wajib dilakukan oleh orang dewasa. Yakni kesempatan untuk belajar (bukan sekolah), kesempatan berinteraksi dengan orang lain, baik anak-anak ataupun orang dewasa.
Dalam proses pembelajaran pluralisme untuk anak, anak diberi kesempatan atau diajak untuk mengenal dan berinteraksi dengan beragam budaya, suku/etnis, agama dan keberagaman yang lain. Kekuatan proses interaksi anak dengan keberagaman itu adalah penemuan-penemuan yang diperoleh anak sendiri yang sangat mungkin berbeda dengan orang dewasa. Anak akan mengalami kondisi disequilibrium [2], ketidakseimbangan, keadaan stabilitas yang terusik oleh suatu penglihatan atau pengalaman baru. Terjadinya goncangan pemikiran ketika anak menemukan pengetahuan yang berbeda saat berinteraksi. Dalam proses selanjutnya anak akan dapat menyimpulkan sendiri, kumpulan pengetahuan-pengetahuannya. Kemudian anak akan memperoleh keseimbangan pemikiran akan suatu pengetahuan, equilibrium [3] . Secara terus menerus, proses pembelajaran anak (dan seluruh manusia tentunya) akan mengalami equilibrium - disequilibriumequilibrium. Sebagai contoh : sebelum berinteraksi dengan Momon, Mumun memperoleh pengetahuan dari orang lain, bahwa Agama Jeruk itu jelek/jahat, dan Momon beragama Jeruk, berarti Momon jelek/jahat. Namun ketika Mumun berinteraksi dengan Momon, ia menemukan bahwa agama Momon tidak seperti pengetahuan yang diperolehnya dari orang lain, (bisa lebih jahat atau lebih baik).
Dengan contoh pembebasan pembelajaran, anak akan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuannya & memilih pandangan-pandangannya terhadap suatu hal. Dengan demikian anak terbebas dari doktrin yang ditanamkan sang orang dewasa. Anak pula akan lebih kritis terhadap kejujuran orang dewasa pada memberikan pengetahuan pada anak-anak.
Pembebasan pembelajaran untuk anak, sangat efektif untuk mendorong perubahan menuju Indonesia yang benar-benar pluralis walaupun untuk mewujudkannya masih jauh dan sangat jauh dan perlu perjuangan yang sangat panjang. Mengenalkan pluralisme kepada anak sejak dini akan mendorong terwujudnya Indonesia yang benar-benar pluralis.
Perlu juga disadari menjadi manusia pluralis tidaklah gampang. Dibutuhkan kesadaran dan kerelaan, keterbukaan ketika anak, teman atau kerabat anda berelasi, berinteraksi atau bahkan menikah dengan orang yang beda agama dan atau beda suku atau beda-beda yang lain. Dibutuhkan kekuatan dan ketabahan ketika harus mendapatkan tekanan dari banyak pihak ketika anda memutuskan menjadi pluralis. Dibutuhkan kekuatan untuk berpikiran, bertutur kata dan berbuat sesuai dengan jiwa pluralisme.
Ketika masih boleh dikatakan bahwa berbeda itu indah, salam dan dukungan bagi para pluralis dari seluruh penjuru mata angin . (Masandi)




[1] International Children’s Right Convention. Cluster 1
[2] Dinamika Edukasi Dasar, Pendidikan Pemerdekaan, hal. 55,
[3] Idem.





























[Media] Resensi Buku: Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme

Judul Buku : Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan & Pluralisme
Editor : Maria Ulfah Anshor & Martin Lukito Sinaga
Penerbit : KAPAL Perempuan dan NZAID
Tahun : Agustus 2004

Pluralisme, diartikan sebagai sebuah pandangan yang menghargai keberagaman, serta penghormatan terhadap orang lain yang berbeda, terbuka pada perbedaan di mana terdapat kerelaan untuk berbagi serta keterbukaan untuk saling belajar dan berdialog. Dalam konteks negara Indonesia yang sangat plural dalam segi etnis, suku, agama, keyakinan, bahasa, budaya, kelas, dan lain-lainnya, maka pluralisme sangat dibutuhkan supaya bangsa ini tetap bisa utuh sebagai bangsa yang berfungsi untuk menyejahterakan rakyatnya. Dalam keragaman itu terdapat ruang interaksi yang sangat luas, yang salah satunya dapat berujung dalam sebentuk perkawinan. Perkawinan lintas suku, lintas etnis, lintas kelas, lintas agama, dan lintas lainnya pada kenyataannya sering terjadi.


Dalam hal perkawinan lintas agama – yang sebetulnya sangat normal, wajar dan manusiawi, ternyata oleh negara justru tidak diberi ruang. UU Perkawinan telah melarangnya. Institusi agama, dengan kepentingannya masing-masing juga telah ikut campur dalam menghalangi terjadinya pluralisme. Menurut Kamala Chandrakirana dalam pengantarnya di buku ini, ide ‘pluralisme’ dapat dipolitisasikan dan dijadikan alat semata dalam tawar-menawar politik antara penguasa dan golongan agama/ras/suku tertentu yang dianggap sebagai sumber ancaman. Maka pluralisme tidak bisa terlepas dari pembaruan di dalam institusi-institusi agama itu sendiri.


KAPAL Perempuan, lewat buku ini ingin mengangkat topik ini untuk diperbincangkan lebih lanjut dengan mengundang beberapa penulis dari berbagai perspektif dan agama untuk menuliskan ide, pendapat, pandangan dan pengalaman mereka berkaitan dengan isu ini. Yang menjadi perhatian buku ini adalah upaya untuk menjawab bagaimana situasi perempuan seandainya ia memilih bentuk perkawinan lintas agama. Dengan memakai perspektif feminis dan pluralis, masalah-masalah perkawinan lintas agama yang selama ini hanya terpendam di arus bawah dapat terangkat dan syukur-syukur teratasi.


Bagian pertama buku ini yang memuat kesaksian dan refleksi atas pengalaman perkawinan lintas agama, ditulis oleh para pelaku perkawinan lintas agama. Mereka bertutur tentang hambatan yang mereka temui, bagaimana mereka menghadapi itu. Apa sebenarnya harapan mereka dan bagaimana mereka memaknai dan menghidupkan cinta mereka dalam kungkungan aturan yang diskriminatif.


Pengalaman konkret ini kemudian dihadapkan dengan pandangan formal agama-agama, yang ditulis oleh para tokoh agama, juga bagaimana hal itu dilihat dalam kacamata UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari sana kemudian dipaparkan upaya-upaya untuk menafsir ulang perkawinan lintas agama dari perspektif perempuan dan pluralisme.


Topik ini diakui atau tidak merupakan topik yang sangat sensitif dan ‘riskan’ untuk didiskusikan secara terbuka dalam konteks Indonesia. Maka tidak heran kalau dikatakan bahwa ada banyak hambatan yang ditemui dalam proses penulisannya yang telah dimulai sejak tahun 2001. Empat tahun merupakan waktu yang cukup lama untuk menuliskan sebuah buku. Semoga buku ini dapat menggugah para pembacanya untuk mengambil langkah, mulai membangun pluralisme – yang adil bagi semua. Sudah saatnya agama terbuka untuk dikritisi dan ditafsir kembali ajarannya. Sudah saatnya agama dapat kembali pada hakekatnya: membawa kemaslahatan bagi semua! Membawa keadilan dan perdamaian, bukan penindasan dan permusuhan.
(ID)




















Sabtu, 25 Juli 2020

[Masalah Kita] KENANGAN DARI BORNEO

Bagi para petani sendiri, disparitas etnis itu tidak terlalu sebagai kasus....
Seorang mitra mengisahkan kembali peristiwa pedih yg terjadi di Pulau Borneo beberapa tahun yang silam. Tinggal & aktif mendampingi para petani dari banyak sekali etnis di tanah kelahirannya itu, menciptakan Lorens turut merasakan & menyaksikan bagaimana kejamnya permainan beberapa kelompok kepentingan eksklusif yang ?Memanfaatkan? Keberagaman etnis pada wilayah itu. Bagi para petani sendiri, disparitas etnis itu nir terlalu menjadi kasus lantaran toh nasib mereka permanen sama.

Permasalahan yang diangkat menjadi permasalahan antar suku itu sesungguhnya merupakan bagian dari rekayasa politik.

Keinginan sejumlah oknum untuk meraih kedudukan tertentu mendorong mereka untuk mencari simpati dari warga . Dalam kondisi yg damai & adem, para oknum itu sulit buat mengumpulkan simpati dan dukungan berdasarkan banyak orang. Ketika permasalahan itu terjadi, maka mereka mampu datang menjadi ?Dewa Penolong? Sebagai akibatnya popularitas mereka pun semakin tinggi di mata rakyat.

Tidak hanya itu saja, kepentingan ekonomi pula sebagai aktor yg merogoh manfaat menurut pertarungan tadi. Ada persaingan antar pengusaha pada urusan pengelolaan kayu & mereka diuntungkan dengan kekisruhan yang terjadi. Saat orang-orang sibuk & panik karena konflik yg terjadi, mereka mampu leluasa untuk menciptakan wilayah kekuasaan yang baru.


Konflik perebutan sumberdaya alam yang dahulu terjadi antara masyarakat norma dengan pemerintah, menjadi semakin rumit menggunakan masuknya perusahaan-perusahaan misalnya perusahaan kelapa sawit, yg berusaha mengadu domba rakyat. Masyarakat pun terpecah menjadi gerombolan yg pro dan grup yg kontra terhadap kepentingan perusahaan. Saat terjadi konflik, grup masyarakat yg pro terhadap perusahaanlah yang dihadapkan kepada gerombolan rakyat yang kontra. Sehingga perseteruan yg terjadi adalah konflik antar kelompok rakyat, bukan lagi permasalahan antara masyarakat menggunakan perusahaan atau pemerintah.


Pasca konflik itu terjadi, mulai ada stigma-stigma yang melekat dalam masing-masing grup etnis misalkan kelompok A itu orang-orangnya keras, kelompok B itu orang-orangnya nir mau diajak kompromi, kelompok C itu nir mau diajak rekonsiliasi sesudah konflik. Stigma itu pulalah yang membuat masyarakat menjadi tersekat-sekat dan komunikasi yang tadinya berjalan dengan baik menjadi rusak. Stereotipe tersebut makin berkembang karena nir adanya pendekatan budaya & pembauran antar etnis.


Secara sosial, sangat kelihatan bahwa masyarakat menjadi terkotak-kotak. Kini orang Madura lebih terkonsentrasi pada kota-kota. Hal ini jua menimbulkan perseteruan baru dalam hal lapangan kerja di kota. Sebelumnya mereka terbiasa menjadi petani dan kini mereka kesulitan lantaran harus menyesuaikan diri lagi dengan lapangan kerja baru yg tersedia pada kota, contohnya sebagai tukang becak. Orang Melayu yang tinggal pada Kabupaten Sambas pun masih sulit mendapat kedatangan orang Madura di wilayah itu.


Dari sisi ekonomi, pertarungan tadi menyebabkan poly infrastruktur di daerah tersebut yg rusak dan poly harta benda yang hilang. Kegiatan ekonomi jua terhambat lantaran orang-orang berdasarkan masing-masing etnis nir mampu melakukan aktivitas ekonomi seperti umumnya.
Rasa takut & risi menciptakan mereka nir berani melakukan pekerjaan yang lokasinya berdekatan dengan kelompok etnis lain.


Secara mental, pertarungan yang pula merenggut banyak nyawa tersebut meninggalkan trauma yang mendalam bagi warga . Mereka hayati dalam ketegangan dan rasa was-was, terlebih lagi bila herbi orang atau grup menurut etnis lain. Anak-anak pun kini tidak bisa leluasa bermain menggunakan anak berdasarkan etnis lain.


Selama terjadi beberapa kali konflik, upaya yg dilakukan buat mereduksi, manajemen konflik dan lain-lainnya pun nir mengakomodir problem yang fundamental. Upaya yang dilakukan hanya sekedar upaya buat meredam situasi saja. Sehingga tidak mengherankan jika kondisi yang terbangun adalah rekonsiliasi semu. Ditambah lagi problem tidak adanya penegakan hukum dan nir tertatanya manajemen perseteruan ditingkat basis, telah menebar peluang & situasi laten permasalahan.


Sedemikian kuat & besarnya efek yang diakibatkan sang permainan kepentingan segelintir orang yang mampu merenggut kedamaian dari kehidupan yg plural. Keberagaman yg seharusnya indah dan harmonis itu telah dibalikkan menjadi senjata yang menghancurkan keindahan & keharmonisan itu sendiri. Luka yang diakibatkan pun, tidak kurun sembuh dalam hitungan tahun. Sungguh pelajaran nyata yg berharga bagi kita.




























[Pikir] Pluralisme, Sekarang dan Esok

Dalam rubrik catatan pinggir Tempo edisi 6 Maret 1982, Goenawan Mohamad mengulas kisah Nathan karya Gotthold Lessing yg terbit tahun 1779 berjudul Nathan der Weise, yg setidaknya telah menaruh citra bahwa memiliki pandangan yang tidak sinkron & penghargaan dalam keanekaragaman, merupakan perilaku yg penuh resiko.

Latar belakang pada karya tadi merupakan masa perang salib yg sudah memasuki gelombang keempat, di mana konflik antara mereka yg Nasrani dan Islam, bahkan Yahudi masih terus berkobar.

Ada dialog yg menarik pada karya itu ketika Saladin, Gubernur Yerusalem yg Islam dan populer berbudi, bertanya kepada Nathan yg Yahudi dan populer bijak. Saladin menanyakan apa kepercayaan yg terbaik bagi Nathan. Pertanyaan itu tidak dijawab eksklusif oleh Nathan, tapi melalui ibarat. Ia mengisahkan seseorang ayah yg menyayangi ketiga puteranya & menaruh mereka masing-masing cincin yang sebentuk dan sebangun. Masalah ada waktu oleh ayah mangkat , karena ketiga putra tersebut berdebat & berselisih tentang cincin mana yg sejati. Itulah ibarat, terdapat cincin Yudaisme, ada cincin Nasrani, terdapat cincin Islam. Setiap cincin adalah sejati, kata Nathan, sepanjang ia membuat orang yang memakainya punya kemuliaan hati. Dan Saladin puas dengan amsal yg disampaikan Nathan tersebut.

Ceritanya memang tidak berakhir di situ, tapi dari kisah tadi Lessing sudah menyampaikan pesan bahwa yang bijak merupakan yang tidak mengukuhi bahwa pihaknya saja yg paling benar. Lessing setidaknya sudah mewakili mereka yg percaya pada pluralisme, walaupun beliau ditentang keras oleh publik Jerman yg Protestan.


Pluralisme dewasa ini
Pandangan dan penafsiran tentang pluralisme memang sangat beragam, ada yang memandangnya secara positif tapi nir sedikit yg memahaminya secara negatif. Pandangan negatif terhadap pluralisme, khususnya di Indonesia, acapkali disebabkan ketidakmampuan mengelola antara idealitas yg mereka miliki menggunakan empiris yang terdapat. Pluralisme mengandaikan pemahaman dan kesadaran terhadap adanya keragaman kelas sosial, genre politik, budaya, kepercayaan , ras, dan sebagainya menjadi sesuatu yang pasti dan alami. Dengan demikian, perjumpaan antara nilai-nilai yang berbeda dilihat menjadi sesuatu yg positif karena setiap nilai mempunyai kelebihan masing-masing.


Tetapi realitas yang plural & nilai-nilai yang berbeda tersebut selama ini malah menjadi dilema & dijadikan alasan banyak grup atau negara buat berkonflik. Permasalahan ?Kekal? Antara Israel & Palestina, India menggunakan Pakistan, Barat dengan Timur, konflik pada bekas Uni Soviet, tak jarang dilatarbelakangi dan diperuncing sang disparitas nilai-nilai yg dianut. Yang mencoba menjembatani malah diteror dan dibunuh, misalnya yang dialami Gandhi & Yasser Arafat.


Indonesia sebenarnya mampu sebagai medan percontohan bagaimana pluralisme itu tumbuh & hayati. Telah sebagai realitas historis, adanya keragaman budaya, agama, ras, bahasa, aliran politik, dan juga kelas sosial di Indonesia. Tetapi keragaman itu selama ini malah menjadi bahan bakar permasalahan sosial dan politik. Apa yg terjadi di Aceh, Papua, Maluku, dan Poso, menandakan bahwa pluralitas yang ada tidak dipahami menjadi sesuatu yg positif. Untuk hal-hal yg lingkupnya lebih mini sebenarnya perseteruan juga banyak terjadi karena tidak adanya pemahaman dan jua pencerahan terhadap pluralitas, seperti pertarungan pada keluarga, masyarakat kampung, organisasi politik atau organisasi massa, & sebagainya


Pandangan negatif terhadap pluralisme tumbuh subur lantaran mereka mengukuhi bahwa nilai-nilai atau pihaknya saja yg paling sahih & seluruh yg tidak sama dengan mereka merupakan lawan dan harus dikalahkan. Mereka menganggap pluralisme menyembunyikan kedok atas ketidakadilan selama ini & cenderung membenarkan seluruh hal.


Harapan ke depan
Realitas yang plural, nilai-nilai yg hayati yg menghargai terhadap keragaman & sejarah perjumpaan nilai-nilai yg majemuk akan menjadi bekal yang relatif bagi perkembangan pluralisme pada global, khususnya pada negeri ini. Nilai-nilai yg menekankan penghargaan terhadap gerombolan lain yg bersumber berdasarkan ajaran kepercayaan wajib lebih dimunculkan dan dikembangkan daripada nilai-nilai yg bertentangan menggunakan itu. Misalnya pada ajaran Islam, dapat kita jumpai Firman Allah juga sabda Nabi yg menekankan bahwa perbedaan merupakan Rahmat & dengan perbedaan itu seharusnya berakibat manusia saling belajar dan saling kenal.


Sejarah pembentukan Republik ini pula bisa menjadi contoh sekaligus bekal bahwa perbedaan suku, ras, agama, bahasa, genre politik, & kelas sosial nir menjadi penghalang bagi kehidupan beserta sebuah negara. Pendiri Republik ini telah memiliki kesadaran, pemahaman, & perilaku pluralis menggunakan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan yg prosesnya dilalui menggunakan dialog.


Apabila pencerahan akan realitas yg plural tumbuh & pula nilai-nilai yg mengedepankan keragaman dipegang, maka sikap yg pluralis akan ada. Dengan begitu, setidaknya harapan terhadap kehidupan global yang lebih baik, lebih toleran, nir ada lagi luka dan sedih terus-menerus, akan terwujud. (AU)




























Jumat, 24 Juli 2020

[Profil] Budhis Utami : Pluralisme Bagi Seorang Feminis

Kota besar yg penuh sesak misalnya Jakarta sesungguhnya adalah pilihan terakhir bagi gadis kelahiran Jember ini. Keterlibatan pada kegiatan kemasyarakatan seperti GMNI dan Organisasi Perempuan sudah dijalani sang seseorang Budhis Utami semenjak di bangku kuliah.
Merasa tertantang sang tawaran seseorang teman buat bekerja di Komisi Migran KWI, dia akhirnya memutuskan buat tiba ke Jakarta.

Ketertarikannya yg besar terhadap duduk perkara-problem yg dihadapi perempuan , membuatnya tidak bisa tanggal menurut rekan-rekannya yg berkecimpung di Organisasi Perempuan.

Setelah bekerja kurang lebih satu tahun di KWI, dalam bulan April 2001 beliau memilih buat bergabung menggunakan Organisasi Perempuan yaitu Kapal Perempuan yg kebetulan waktu itu masih baru. Di loka itulah beliau merasa aktivitasnya lebih menarik, aktif, & bergerak maju. Di sana juga lah dia menemukan bidang garap yg menjadi ketertarikannya, yakni wanita dan pendidikan. Kini ia bertanggung jawab menjadi Koordinator Program Orientasi Pendidikan Alternatif pada Kapal Perempuan.

Sejak awal didirikan, Kapal Perempuan mempunyai concern terhadap gosip wanita, pendidikan cara lain atau pendidikan kritis & pluralisme. Ketiganya itu bukan hal yg terpisah. Dalam aktivitas yg dilaksanakannya, Kapal Perempuan mencoba mengcover ketiga hal tersebut.
Dasar pendirian Kapal Perempuan itu sendiri berangkat menurut keprihatinan terhadap persoalan-duduk perkara yang terjadi di Indonesia, terutama selesainya runtuhnya Soeharto, kemudian adanya penerapan swatantra daerah, dan semakin banyaknya pertarungan yg diakibatkan oleh menguatnya primordialisme agama & suku.


Dalam kondisi-syarat itu sering posisi perempuan semakin terpuruk. Dalam konteks pluralisme, entah itu isunya kepercayaan ataupun suku sering wanita dijadikan sekedar simbol buat mencapai tujuan. Kalau suatu wilayah ingin menguatkan grup keagamaannya, maka kaum wanita lah yg pertama kali harus diatur., misalkan pada penerapan Syariah Islam. Kemudian dalam konflik-konflik itu, wanita juga seringkali dipakai menjadi simbol buat menghancurkan atau menjatuhkan kelompok versus, misalnya dengan perkosaan-perkosaan.


Menanggapi hal itu, Kapal Perempuan membuat Pendidikan Pluralisme buat pencegahan perseteruan & upaya perdamaian. Kapal Perempuan melihat bahwa wanita jua mempunyai potensi buat sebagai juru hening atau rekonsiliator pada pertarungan-perseteruan yg terjadi.


Sebagai langsung, pluralisme bukanlah hal yg asing bagi Budhis. Perjalanan pada mencari keyakinannya adalah suatu pengalaman tersendiri tentang suatu pluralitas. Demikian juga dalam menentukan organisasi & kegiatan yang dijalani, Ia pun mempertimbangkan pluralitas menjadi suatu hal yang wajib diterima bahkan menjadi suatu seruan buat mau terbuka pada orang atau kelompok yang tidak sinkron.


Ia memaknai pluralisme menjadi keterbukaan diri bagi orang-orang yg tidak sinkron atau suatu penghargaan terhadap disparitas yg dimiliki sang orang lain. Baginya pluralisme itu sendiri bukan hanya disparitas agama, tetapi jua cara pandang, jenis kelamin, ideologi, bahkan orientasi seksual yang tidak sinkron.


Dalam proses hubungan yang yg plural, memang perlu adanya penghargaan terhadap perbedaan nilai yang terdapat. Namun berdasarkan Budhis, itu tidak berarti bahwa kita berhenti buat mengkritisi persoalan yang ada di dalamnya. Penghargaan yg diberikan terhadap perbedaan itu harus mempunyai dasar nilai eksklusif. Apabila pada dalamnya ada nilai-nilai kekerasan atau ketidakadilan, maka kita perlu mempertanyakan itu.


Untuk mencapai suatu rakyat yang penuh penghargaan tetapi tetap kritis, dibutuhkan suatu ruang obrolan. Bisa jadi disparitas pandangan tentang suatu hal itu terjadi lantaran suatu asumsi tertentu. Memang dialog itu nir harus dalam bentuk yg formal.
Berbagai hambatan dalam upayanya memperjuangkan pluralisme, dianggapnya menjadi tantangan. Pandangan bahwa keberagaman menjadi sesuatu yang latif membuatnya terus memperjuangkan pluralisme. Kenangan akan perjuangan & pengorbanan Sang Ibu dan keluarganya selalu sebagai spirit baginya buat melakukan sesuatu bagi orang lain.


























Editorial Edisi 6

Hallooo?. Ketemu lagi pada Proaktif edisi ke 6.
Belum hilang dari ingatan kita, bagaimana kita bahu membahu buat membantu saudara kita di Aceh & Nias yang tertimpa musibah, tanpa memandang agama, suku, ras, wilayah loka tinggal, mata pencaharian, juga kebangsaan. Sisi positif yang dapat kita maknai dari sebuah bala yakni bahwa bangsa yg beragam ini ternyata masih tergetar hatinya bahkan mau menyisihkan sejenak perbedaan yang terdapat buat sanggup membantu saudaranya yg menderita.
Demikian pula terbitnya Pro:aktif ini tidak lepas dari upaya bahu membahu dari banyak orang yang bersedia meluangkan sedikit waktunya untuk membagikan ide, pendapat, atau pun pengalamannya. Dimulai dari proses pembuatan hingga isinya, edisi kali ini memang sangat sesuai dengan temanya yakni “Pluralisme”.

Di jendela muka akan ditampilkan profil Budhis Utami yang akan mengungkapkan tentang Pluralisme Bagi Seorang Feminis. Lalu pada jendela kedua, kita akan diajak menguak kembali Kenangan dari Borneo, pertikaian -yang katanya- antar etnis. Jendela berikutnya mengajak kita untuk berpikir mengenai Pluralisme, Sekarang dan Esok.
Jendela opini menuangkan tentang Pembelajaran Pluralisme Untuk Anak dan tak lupa pada jendela di sebelahnya disertakan tips untuk Membangun Paradigma Pluralisme Pada Anak. Dari Puing-Puing Aceh disajikan pada jendela lain sebagai hadiah perjalanan dari ujung utara Pulau Sumatera.
Jendela media mengulas tentang bagaimana agama bisa menjadi aktor yang kontra produktif terhadap upaya menciptakan kehidupan plural yang damai, yakni dalam resensi buku Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama dan ulasan buku Lajja. Dari jendela berikutnya dibagikan cerita mengenai Pelatihan Criminon, Pelatihan Cara Berpikir Sistem di Blitar, Pelatihan Teknik Membawakan Permainan di Kampung, Gladi Intelektual FMIPA UNPAR dan Workshop Games untuk Associates KaIl.
Selamat Membaca!






Cloud Hosting Indonesia