Globalisasi memiliki dampak positif dan negatif bagi pekerja wanita. Dampak positif glo
balisasi berimplikasi pada kesadaraan kesetaraan gender. Dengan adanya tuntutan globalisasi akan profesionalisme, dan merebaknya teknologi canggih, kaum perempuan berpeluang memanfaatkan potensi diri buat karier mereka, contohnya melalui bisnis-usaha pendidikan, ekspansi jaringan pergaulan profesional, pengasahan keterampilan & lain sebagainya. Melalui bisnis-bisnis pengembangan diri yg konstruktif & kreatif, perempuan sanggup berkompetisi secara sehat pada dunia kerja menggunakan menggunakan ide-inspirasi, pengetahuan, keterampilan, pengalaman, & sanggup memanfaatkan warta & teknologi menggunakan baik dan tak kalah agresif/taktisnya menggunakan pria.
Dampak negatif globalisasi bagi pekerja perempuan terbukti karena banyaknya perempuan dipakai oleh investor/pengusaha menjadi pekerja karena keuntungan-keuntungan. Perempuan dilihat sebagai angkatan kerja yg sanggup digunakan pada industri ekspor & impor, seperti industri garmen, tekstil, sepatu, perkebunan, penjualan eceran/grosir & sebagainya. Mereka ini diantaranya sanggup diupah murah dibanding menggunakan pekerja laki-laki , nir perlu diberikan tunjangan suami, nir terlalu poly menuntut, tidak terlalu kritis, luwes, raji
n bekerja. Oleh karena itu pekerja wanita dianggap lebih menguntungkan. Selain itu pekerja wanita lebih cocok buat dipekerjakan di lapangan kerja yang sudah ditentukan sang beberapa investor berdasarkan paradigmanya yg masih bias gender.
Dikotomi Gender dalam Industri
Paradigma beberapa investor yg masih bias gender tadi, adalah informasi yang masih mampu dibenarkan apabila pihak pekerja perempuan merasa bahwa stereotipnya sebagai perempuan merupakan kodrat, sehingga mereka enggan mengeksplorasi diri mereka buat sebagai lebih asertif & kreatif. Oleh karena itu, upah rendah yang diperoleh oleh pekerja wanita adalah konsekuensi logis karena kemampuan yang sangat minim (unskilled labour) dan enggan berbagi potensi diri.
Tetapi, informasi tersebut mampu sebagai hal yang kontroversial apabila subordinat upah terhadap pekerja wanita didasarkan atas berpretensi yg bias gender, dan bukannya lantaran berbedanya sifat pekerjaan, bobot pekerjaan & waktu kerja. Sehingga perlu solusi yang menguntungkan ke 2 pihak dalam interaksi kerja.
Prasangka yang berdasarkan pada bias gender yg biasa berlaku pada masyarakat secara makro, termasuk lingkungan bisnis adalah menjadi berikut :
Pada dasarnya, perempuan distereotipkan seperti tabel pada atas lantaran pengkondisian berdasarkan lahir, dan sebenarnya yang membedakannya menggunakan laki-laki hanyalah menurut hal alat-indera reproduksinya saja. Hal tersebut terbukti menurut hasil penelitian mengenai 2 anak kembar wanita. Sejak lahirnya dalam usia eksklusif (dini) dipisah, yg seorang dikondisikan seperti layaknya perempuan & seorangnya lagi dikondisikan misalnya pria. Hasil penelitian tadi dapat disimpulkan bahwa hal-hal di luar indera-indera reproduksinya, masih mampu dipertimbangkan sebagai hal yg bisa setara menggunakan pria, misalnya otak/kecerdasan, sifat, perilaku, perilaku ataupun tindakan. Perempuan sanggup jua setangkas dan setaktis pria.
Di samping pengakuan stereotip wanita seperti tabel di atas, beberapa hal yg turut mempengaruhi pola pikir & perlakuan diskriminatif para investor/pengusaha tadi terhadap pekerja perempuan adalah :
? Dalam giliran kerja (shift), pekerja wanita dalam biasanya tidak bisa bekerja lembur hingga jauh malam bahkan menjelang pagi. Hal ini disebabkan oleh budaya masyarakat yg berlaku bahwa wanita buruk kerja malam ataupun pagi, kondisi tubuh perempuan tidak memungkinkan buat melakukan kerja demikian dan sebagainya.
? Kompetensi perempuan lebih bersifat nir kentara dibanding laki-laki sehingga tidak gampang buat dikuantifikasikan. Kompetensi yg kualitatif tadi merupakan kemampuan menjalin hubungan yg baik antarpribadi, ketelitian, kecekatan, kerajinan & sebagainya yang seringkali diabaikan dalam unsur-unsur Penilaian Karya (Performance Appraisal). Hal itu menunjukkan bahwa adanya pengabaian keunggulan kemampuan pekerja perempuan pada sisi lain keunggulan kemampuan pekerja pria.
? Sifat pekerjaan paruh atau penuh waktu dapat mempengaruhi jumlah upah yg dibayarkan atas dasar prosentase waktu kerja.
? Sepanjang masa kerja wanita, terdapat saat-saat eksklusif yang dipercaya mengurangi produktifitasnya & termasuk hal yg dianggap merugikan perusahaan, yaitu perlop haid, perlop bersalin.
? Masih berlakunya pola pikir bahwa pekerja wanita hanya menjadi pencari nafkah tambahan. Oleh karena itu mereka tidak mendapatkan tunjangan suami yg adalah pelengkap menurut upah mereka. Dalam kenyataannya, banyak pekerja perempuan bekerja buat diri sendiri, orang tua, anak-anak atau saudaranya. Mereka merupakan tulang punggung keluarga karena aneka macam hal, diantaranya suami meninggal, cerai atau ditinggal pergi oleh suami.
Dengan demikian, adalah suatu tanggung jawab moral bagi para investor/pengusaha tadi buat tetap mampu menyadarkan & berusaha memperbaiki pola pikir & syarat mereka, misalnya: melalui pelatihan, pembelajaran melalui bimbingan senior, bonus, pinjaman lunak, penyediaan loka kerja dan fasilitas yg ergonomis, dan bisnis positif lainnya.
Fakta-berita Pekerja Perempuan & Upah Rendah, Isu pekerja wanita menjadi kaum marginal & rakyat nomor dua, nir hanya berlaku di Indonesia, tetapi pula berlaku di negara-negara berkembang dan maju.
Isu pekerja perempuan merupakan isu dunia yg sudah terdapat sejak pra dan pasca revolusi industri yang kemudian melahirkan wujud-wujud globalisasi. Sampai saat ini info pekerja perempuan adalah informasi yg perlu dicari solusinya lantaran terkait menggunakan doktrin agama-agama, peraturan-peraturan atau UU negara yg masih mengandung bias gender pada budaya rakyat yang patriarki.

Isu pekerja wanita dengan upahnya yang rendah merupakan info yg dibahas pada banyak sekali penelitian oleh forum atau orang-perorang yang teorganisir. Hasil-output penelitian itu diantaranya menerangkan masih adanya kasus subordinat upah terhadap pekerja perempuan dampak bias gender.
Di Indonesia, banyak sekali masalah-masalah subordinat tadi, poly pekerja wanita yg mendapatkan upah rendah sehingga sangat sulit buat menutupi kebutuhan hidupnya secara layak.
Dalam penelitian Molly Jacobs (Low-Wage Women : The Demographic Determinants of their Wages, Duke University, Durham, North Carolina, 31 May 2003), disebutkan bahwa 59% angkatan kerja wanita di Jerman masih memperoleh upah yang rendah. Hampir 70% angkatan tersebut bekerja pada ranah kerja feminin, seperti klerikal, penjualan, ataupun bidang jasa yang terkait. Pekerjaan seperti Pengajar, Sekretaris & Pramuniagapun cenderung mendapatkan upah yg lebih rendah dibanding pekerjaan yang sama bagi laki-laki .
Margarita Dimitrova , pada makalahnya menggambarkan kondisi upah secara holistik sektor bagi pekerja perempuan & pria pada Amerika (http://www.Aubg.Bg/home/students/MDD000/otb paper.Doc) menjadi berikut : (gambar 15)
Di samping upah yang diterima pekerja perempuan pada atas lebih rendah menurut pekerja laki-laki , pekerja perempuan juga nir difasilitasi asuransi & tunjangan lainnya buat keluarga mereka.
Dua hal ini merupakan sebagian berdasarkan sekian banyak fakta yg mendeskripsikan adanya subordinat upah bagi pekerja perempuan , & pekerja perempuanlah yg wajib menanggung bebannya.
Usaha-usaha Perbaikan bagi Pekerja Perempuan
Beberapa landasan pola pikir & tindakan yang mampu digunakan buat memperbaiki kondisi pekerja wanita sang para investor & pimpinan/pengusaha, yaitu :
1. Filosofis
Para investor/pengusaha wajib mengambil tindakan afirmasi atas isi Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi PBB Desember 1979 yg terkait, misalnya Hak-hak Ekonomi yg meliputi hak yg sama dengan laki-laki pada segala bidang kehidupan ekonomi dan sosial, diantaranya :
a) hak untuk mendapat latihan kejuruan, bekerja, memilih jabatan dan pekerjaan dengan bebas, dan memperoleh kemajuan pada keahlian dan kejuruan, tanpa disparitas antara wanita yang berstatus belum atau telah menikah,
b) hak buat menerima upah & perlakuan yg sama menggunakan laki-laki & perlakuan yang sama berkaitan dengan pekerjaan yang sama nilainya (Deklarasi PBB 1967, pasal 10).
C) berhak menikmati syarat hayati yg memadai, terutama yg berhubungan dengan perumahan, sanitasi, penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan komunikasi (Konvensi PBB 1979 pasal 14).
2. Mudah
Para investor/pengusaha wajib mempunyai niat baik & berusaha memperjuangkan terlaksananya pemugaran kondisi pekerja perempuan . Beberapa cara yang mampu ditempuh, diantaranya :
a) Audit SDM perlu dilengkapi menggunakan pelaksanaan kampanye penghapusan subordinat upah dampak bias gender, dan bukan akibat sifat pekerjaan, serta bobot pekerjaannya yang berbeda.
B) Merekonstruksi peraturan-peraturan & kebijakan-kebijakan perusahaan pada hal pembayaran upah dan tunjangan, contohnya kenaikan upah yang layak, tunjangan suami, pinjaman menggunakan bunga lunak, bonus, penyediaan transportasi, fasilitas kesehatan, fasilitas kerja yg kondusif & nyaman.
C) Menyelenggarakan program pendampingan kerja, pendidikan dan pelatihan.
D) Membangun jaringan kerja kemitraan dengan forum-lembaga yg peduli/peka gender, seperti LSM Perempuan & lembaga lainnya. Hal ini perlu dilakukan sebagai masyarakat negara yg peduli menggunakan perkara perempuan . Dengan demikian secara sinergi, antara investor/pengusaha, LSM, dan bahkan pemerintah diperlukan dapat lebih efektif mengeliminir beban wanita.
Merujuk pada esensi hubungan manusiawi, bahwa siapapun berhak atas perlakuan keadilan dan kemanusiaan, maka perempuan menjadi bagian berdasarkan warga global perlu diperjuangkan hak-haknya sesuai perannya. Itu seluruh tugas yg harus dipikul bersama dan diperjuangkan demi kesejahteraan & kesetaraan bersama.
Maria Clara Neti Veronica (Staf Personalia, CSIS Jakarta)