Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Agustus 2015. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Agustus 2015. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Juni 2020

[JALAN-JALAN] Liburan ala Aktivis

Oleh: Melly Amalia

Di sela-sela kesibukan menjadi seorang aktivis, kadang kita nir ada saat untuk rehat sejenak bersama orang-orang terkasih. Apakah itu dengan orang tua, pasangan, anak atau bahkan sahabat. Berlibur merupakan galat satu aktivitas menarik yg patut sebagai pertimbangan pada mengisi ketika luang. Berlibur bukan sekedar tidak ?Bekerja?, akan tetapi sahih-benar memanfaatkan saat dengan mengisi kesenangan & berkumpul beserta. Mungkin ada yg sekedar jalan-jalan pada sekitar kota atau ada pula yg sengaja merencanakan jauh-jauh hari sebelumnya buat berlibur ke luar kota.





Kebanyakan bagi seorang aktivis, waktu libur dilakukan untuk menghilangkan kejenuhan dan refreshing dari aktivitas keseharian. Pilihan lokasi liburan menjadi salah satu pertimbangan utama. Ada yang memang pilihan sendiri, diskusi dengan pasangan atau bahkan memenuhi keinginan/minat anak.


Dari output wawancara menggunakan beberapa aktivis, loka favorit mereka buat berlibur adalah pulang ke alam terbuka atau wilayah wisata alam seperti pegunungan, pantai, & bahari. Tujuannya pun majemuk, mulai dari menikmati estetika alam dan keagungan Tuhan, menikmati udara segar dan menenangkan jiwa. Menyaksikan keindahan alam yg ada dapat menciptakan kita merasakan kebesaran Tuhan menggunakan menyaksikan ciptaan-NYA.


Bila lokasi liburan menyesuaikan dengan permintaan anak, biasanya kriteria tempat yang dipilih adalah tempat yang nyaman dan aman untuk aktivitas anak. Ada arena bermain yang ramah anak, terutama yang mengandung  unsur edukasi untuk perkembangan anak. Contohnya mengajak anak ke museum, taman kota, taman hutan raya, outbond, dsb. Selain berwisata, anak-anak juga dikenalkan dengan budaya setempat termasuk potensi yang ada disana. Misalnya tentang jenis hewan dan tumbuhan yang ada, sejarah kawasan tersebut, dan sebagainya.


Pergi berlibur sanggup dilakukan bersama siapa saja. Bagi yg sudah memiliki pasangan atau famili, tentunya waktu libur mereka dihabiskan bersama pasangan atau keluarga. Sedang buat aktivis yg belum berkeluarga, umumnya mereka bersenang-senang beserta kerabat atau sahabat. Bahkan terdapat juga yang merasa nyaman menikmati liburan sendirian saja.






Tapi kita pula sanggup menikmati liburan di tempat tinggal menggunakan cara yg menyenangkan, diadaptasi menggunakan minat dan hobi masing-masing. Misalnya membuat kue, memasak bersama anak-anak,, berkebun, membuat karya seni atau membaca kitab beserta anak-anak. Jadi, berlibur tidak melulu menggunakan bepergian ke luar kota atau keliling kota. Kita pula sanggup melakukannya di rumah. Yang krusial kualitas beserta famili tetap menjadi prioritas.


Selamat berlibur!


























Rabu, 17 Juni 2020

[MEDIA] Media Internet dan Parenting

Oleh: Agustein Okamita
Di era internet ini, banyak kemudahan yang kita dapatkan dalam mengakses informasi. Kita bisa memperoleh informasi hanya dengan mengklikmouse di komputeratau menggeser jari dismartphone/tabletyang terhubung dengan internet. Mulai dari resep masakan sampai persoalan politik, semua ada di dalam genggaman kita.

Duniaparentingsaat ini juga tidak bisa dilepaskan dari internet. Sebelum era internet, media yang menyajikan informasi tentang keluarga danparentingmasih sangat terbatas. Salah satu contoh media yang saya ingat adalah majalah Ayah Bunda, yang terbit sekitar tahun 1980-an.Lalu ketika eratabloiddimulai pada akhir tahun 1990-an, mulai muncul beberapa media yang membahasparentingdi antaranya adalahtabloid Nakita,Mom and Kiddie,dan lain-lain. Ada juga beberapa majalah lain yang di dalamnya terdapat rubrik keluarga, tetapi tidak selalu berfokus pada tumbuh kembang anak.



Majalah Ayah Bunda.


Sumber: http://www.bimbingan.org/referensi-pilih-majalah-parenting-atau-ayah-bunda.htmInternet memungkinkan kita untuk memperoleh lebih banyak informasi mengenaiparenting. Jika informasi yang kita dapatkan dari media cetak masih terbatas, maka kita bisa mendapatkan informasi yang tidak terbatas dari mediaonline. Ada banyak media cetak tentangparentingyang juga membuatwebsite, agar informasi yang mereka berikan bisa diakses oleh lebih banyak orang. Media online berbahasa Indonesia yang membahas tentangparenting di antaranyaAyahbunda,tabloidNakita, dantabloid Parenting . Ada juga beberapawebsite atau blog pribadi yang membagikan hal-hal yang berkenaan denganparenting dan keluarga, misalnyaRumah Inspirasi,Parenting Ayah Edy, dan lain-lain. Jika informasi yang kita butuhkan tidak ada di media-media tersebut, kita bisa mencarinya dengan berbagai mesin pencari (search engine) seperti Google, Bing, Yahoo, dan lain-lain. Kita hanya perlu memasukkan beberapa kata kunci sesuai dengan kebutuhan kita, misalnya ‘potensi dan kecerdasan anak’, ‘penanganan anak autis’, ‘anak dangadget’, ‘memilih bacaan anak’, dan sebagainya.


Http://microsite.Tabloid-nakita.Com/newsletter/



Banyak manfaat yang bisa kita dapatkan sebagai orang tua yang melek internet. Informasi-informasi yang terkait denganparenting seperti pendidikan anak, kesehatan fisik dan emosi anak, pemanfaatangadget, dan masalah-masalah yang terkait dengan tumbuh-kembang anak, semua bisa kita dapatkan di internet.  Di kota besar, orang tua dengan tingkat kesibukan yang cukup tinggi dan waktu yang terbatas tetap bisa mendapatkan informasi yang berkaitan denganparenting melalui internet. Seminar-seminar tentangparenting yang dulu harus dihadiri secara fisik, sekarang bisa diadakan secaraonline. Dengan demikian para orang tua maupun pendidik bisa mengikutinya dari tempat mereka masing-masing tanpa terkendala oleh waktu dan lokasi.


Keuntungan lainnya dari kemajuan teknologi informasi ini adalah pengetahuan dan wawasan tentangparentingyang semakin kaya. Dulu orang tua kita mungkin belajar mengenaiparentinghanya dari orang tua mereka atau orang-orang tertentu. Pengetahuan mereka tentangparentingterbatas karena informasi yang mereka peroleh saat itu juga terbatas. Cara mereka membesarkan anak dan mengatasi berbagai persoalan tentang anak-anak dibatasi oleh informasi yang mereka dapatkan saat itu. Dengan adanya internet, orang tua bisa mendapatkan banyak wawasan dan berbagai pengetahuan yang lebih luas tentang cara membesarkan anak-anak mereka.


Internet tidak hanya memberikan informasi tentangparenting. Internet juga menjadi wadah para orang tua untuk saling berbagi berbagai masalah tentangparenting. Di media sosial , misalnyaFacebook, beberapa orang yang peduli tentang pengasuhan anak membentuk forum atau grup sebagai tempatsharingpengetahuan dan isu terkini tentangparenting.Keanggotaan forum tersebut bisa bersifat umum atau terbatas.Jika forum atau grup itu bersifat umum, semua orang bisa bergabung sebagaimemberdari grup itu. Jika keanggotaan bersifat terbatas, berarti grup atau forum tersebut hanya menerima anggota dari golongan tertentu. Beberapa contoh grup diFacebook yang berfokus padaparenting dan pendidikan anak secara umum antara lainKomunitas Charlotte Mason Indonesia,Indonesia Homeschoolers, dan lain-lain.


Setelah menjadimember,kita bisa mendapatkan informasi hanya dengan menggeserkan jari dismartphoneataumousedi komputer. Paramemberdi grup bisa membagikan masalah mereka tentang perkembangan anak, lalumemberlain bisa menanggapi, memberi masukan, atau bantuan solusi terhadap masalah tersebut. Selain itu, setiap orang di dalam grup juga bisa membagikan informasi mengenai isu-isu yang terkait denganparentingdan tumbuh kembang anak.


Mari simak diskusi di galat satu grup pada media sosial:
“...BuIbu, anak saya umurnya 3 tahun, tapi sampai saat ini masih belum bisa bicara. Sudah saya bawa ke terapis A di Jalan T, dan sudah diterapi 3 kali, tapi masih belum ada kemajuan. Ada yang bisa kasih saran?”(Ibu N di kota J)


“Saya membawa anak saya ke pusat terapi anak B di kota saya. Pelayanannya bagus dan orang tua juga diajari untuk menerapi anak sendiri. Alhamdulillah, sekarang sudah ada kemajuan meskipun masih satu dua kata yang keluar dari mulutnya.”(Ibu R di kota K)


 “Jeng @N, coba bawa ke dokter C di klinik X di Jalan W. Tahun lalu saya membawa anak saya ke sana dan setelah beberapa kali penanganan, sekarang anak saya sudah mulai lancar ngomong...”(Ibu P di kota J).


Dari dialog di atas kita bisa melihat bagaimana para orang tua mendapatkan warta dan masukan menurut orang tua lain yang ada pada gerombolan tersebut. Solusi bagi duduk perkara mereka tidak hanya satu, namun terdapat poly alternatif solusi yang mampu mereka pilih dengan adanya media sosial tadi.
Selain menambah informasi dan wawasan tentang isu-isu yang berhubungan denganparenting,para anggota grup tersebut merasakan manfaat lain, yaitu dukungan moral dan ikatan emosi yang lebih kuat di antara sesama orang tua yang memiliki persoalan yang sama. Mereka tidak lagi merasa sendirian dalam menanggung beban persoalan, karena ternyata di tempat-tempat lain ada juga para orang tua yang memiliki beban yang sama.


Di sisi lain kita juga perlu mewaspadai dampak negatif internet terhadapparenting. Dengan begitu banyak situs yang bertebaran di dunia maya, tidak tertutup kemungkinan bahwa orang tua menjadi bingung memilih tips yang tepat bagi anak-anak mereka. Jika salah memilih, anak-anak justru bisa menjadi korban.


Sebagaimana di dunia nyata, di media sosialonlinekita juga dihadapkan dengan cermin sosial. Ketika menjadi anggota suatu grup media sosial tertentu, penilaian dan pandangan dari anggota-anggota di dalam kelompok/grup media sosial mungkin menjadi salah satu tolok ukur bagi kita untuk bersikap atau bertindak. Terkadang untuk memutuskan sesuatu bagi anak-anaknya, bisa jadi orang tua tidak ingin terlihat berbeda dari kelompoknya. Akibatnya mereka tidak lagi menjadi dirinya sendiri atau tidak bisa memutuskan apa yang baik menurut mereka bagi anak-anak mereka. Padahal tuntutan atau penilaian anggota grup belum tentu sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut atau kebutuhan anak-anak kita.


Untuk itu, mungkin tips-tips berikut bisa menolong kita agar lebih bijaksana dalam memanfaatkan internet untuk melakukanparenting.


  1. Utamakan nilai-nilai yang kita pegang. Setiap informasi yang kita dapatkan, baik dari situs-situsonline maupun media sosial, perlu dibandingkan dengan nilai-nilai yang dianut oleh keluarga kita. Jika hal itu tidak bertentangan, kita bisa menerapkannya bagi anak-anak kita. Tetapi, kalau itu tidak sesuai dengan nilai-nilai keluarga kita, tentu saja kita tidak perlu menerimanya.
  2. Konsultasikan setiap saran atau informasi di dunia maya dengan pendapat para ahli atau pihak yang cukup mengenal anak-anak kita. Contoh: Untuk masalah kesehatan anak-anak, kita perlu tetap berkonsultasi dengan dokter yang cukup mengenal anak-anak kita atau yang selama ini menangani anak-anak kita, sebelum memutuskan memberi obat atau penanganan yang terbaik bagi mereka.
  3. Tetap berinteraksi dengan orang-orang di dunia nyata. Dunia maya memang tempat yang menarik dan memberikan banyak kesenangan, tetapi orang-orang di sekitar kita adalah keluarga nyata kita dan kita tetap perlu bersosialisasi dengan mereka. Jika perlu membangun komunitas dunia maya, sebaiknya tetap ada interaksi dengan mereka di dunia nyata.


Penutup
Seorang anak membutuhkan dukungan penuh agar bisa bertumbuh secara optimal. Proses mendukung pertumbuhan dan perkembangan seorang anak sejak bayi sampai menjadi seorang dewasa dikenal dengan istilahparenting.[1]


... It takes a whole village to raise a child (Dibutuhkan seisi desa untuk membesarkan seorang anak)...  African Proverb.


Menurut pepatah pada atas, tidak hanya orang tua yg bertanggung jawab pada membesarkan seorang anak. Dibutuhkan seisi kampung/desa agar seorang anak mampu bertumbuh secara optimal. Setiap orang di pada sebuah desa berkontribusi buat mendukung pertumbuhan dan perkembangan seorang anak sampai dia menjadi seseorang dewasa.



Sumber: http://www.bincangedukasi.com/menanti-ayah-bunda/
Konsep keluarga saat ini sudah mengalami banyak perubahan. Pada masa lalu, satu keluarga terdiri atas ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek, nenek, dan sepupu-sepupu. Mungkin saja di satu desa, seluruh warganya merupakan satu keluarga. Keluarga seperti ini disebut keluarga besar. Dulu ada banyak pihak di dalam keluarga besar yang ikut andil dalam membesarkan anak-anak.


Di zaman sekarang ini, hal itu masih bisa dilakukan dengan adanya internet. Kita bisa mendapatkan informasi dan memperkaya pengetahuan kita tentangparenting melalui internet. Kita juga bisa saling berbagi cara membesarkan anak dengan orang tua-orang tua lain di media sosialonline.  Sebagai orang tua, mari kita manfaatkan internet sebaik-baiknya, agar anak-anak kita bisa tumbuh dan berkembang secara optimal.


***


[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Parenting

































































[TIPS] Berbagi Waktu Antara Keluarga dan Aktivitas

Oleh: Any Sulistyowati

Sebagai manusia, kita tentu merupakan bagian dari sebuah keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar.  Posisi dan peran kita di dalam sebuah keluarga pun berbeda-bada, misalnya sebagai istri, suami, anak, menantu, kakek, nenek, paman dan bibi dan sebagainya. Setiap peran tentu menuntut perhatian kita yang kita berikan antara lain dalam bentuk waktu.


Sebagai aktivis, kita pula perlu melakukan kerja-kerja penting kita buat mewujudkan impian kita akan perubahan dunia ke arah yg lebih baik. Masalahnya, kerja-kerja penting kita tersebut poly sekali membutuhkan saat menurut kita. Jangankan mengembangkan waktu buat keluarga, poly aktivis bahkan kekurangan waktu buat mengurus dirinya sendiri.


Akibat situasi ini amatlah beragam. Banyak aktivis kemudian memilih untuk tidak menikah, sehingga mereka bisa fokus membaktikan diri mereka pada kerja-kerja penting untuk mewujudkan impian mereka. Ada yang menikah, tetapi memilih untuk tidak memiliki anak, agar masing-masing bisa fokus pada kerja-kerja aktivis mereka. Ada juga yang menikah, memiliki anak dan kemudian berbagi waktu dengan pasangannya agar masing-masing dari mereka dapat tetap beraktivitas dengan porsi waktu kerja yang lebih sedikit. Ada yang kebetulan cukup berada sehingga bisa membayar pembantu atau mengirim anaknya ke daycare, sehingga keduanya tetap bisa beraktivitas secara penuh. Apapun pilihan kita, semua memiliki konsekuensi.


Salah satu konsekuensi menurut pilihan berkeluarga dan berkarir menjadi aktivis merupakan pengelolaan waktu. Waktu merupakan sumberdaya yg sangat unik & berharga yang dimiliki sang setiap orang. Semua orang memiliki 24 jam sehari, tidak lebih, tidak kurang. Apabila nir dipakai, ketika akan berlalu begitu saja. Tidak sanggup kita simpan atau ditumpuk menjadi tabungan. Bagaimana dengan ketika 24 jam setiap hari tersebut kita bisa memenuhi semua tuntutan, baik untuk pekerjaan-pekerjaan penting kita maupun untuk keluarga yang kita sayangi.


Setiap orang tentu bebas untuk menggunakan waktunya. Hanya saja setiap dari kita tidak bebas dari konsekuensi dari pilihan kita tersebut, termasuk dari cara kita menggunakan waktu yang kita miliki. Berikut ini adalah beberapa tips yang mungkin dapat berguna bagi para aktivis untuk mengambil pilihan-pilihan dalam pengelolaan waktunya.  Di luar tips ini mungkin ada banyak tips lain yang bisa digunakan. Silakan dimanfaatkan jika dirasa berguna atau cocok dengan kebutuhan anda. Atau anggaplah sebagai tambahan pengetahuan, jika ternyata anda sudah memiliki tips lain yang lebih cocok untuk kondisi anda masing-masing.


Langkah 1: Sediakan waktu untuk diri sendiri
Sebagai aktivis, sering kita perlu bertindak tidak sinkron dari kebiasaan yang berlaku umum dan menjadi model supaya orang lain meniru tindakan kita buat mewujudkan global yg lebih baik. Kerja-kerja aktivis semacam ini menuntut tenaga yang besar , baik dari sisi fisik juga mental. Untuk itu, kita perlu memperkuat diri sendiri, baik dari sisi fisik, intelektual, mental juga spiritual. Untuk seluruh itu, kita membutuhkan waktu. Apabila kita tidak menyediakan saat buat itu, yang terjadi ibaratnya seperti gergaji yang tumpul yg dipaksakan buat memotong balok yg akbar dan keras.


Waktu buat diri sendiri ibarat kegiatan mengasah gergaji itu. Ada ketika yang diperlukan buat mengasah gergaji. Setelah diasah, gergaji sebagai tajam & pekerjaan memotong kayu menjadi lebih cepat dengan gergaji yang lebih tajam. Sebaliknya jika gergaji tidak diasah, gergaji sebagai tumpul, & akhirnya membutuhkan ketika yg lebih lama & energi yang lebih akbar buat memotong kayu yang besar dan keras itu.

Banyak orang merasa enggan meluangkan waktu untuk diri sendiri. Merasa sayang untuk meluangkan waktu 20 menit setiap hari untuk berolahraga, atau membaca buku, atau sekedar bersantai untuk kesenangan diri sendiri. Mereka selalu menghabiskan waktu untuk orang lain, entah di pekerjaan ataupun di keluarga. Tidak ada waktu untuk diri sendiri. Kalau kebetulan hubungan di dalam keluarga dan pekerjaan baik, mungkin tidak terlalu masalah; tetapi jika kondisi tersebut tidak didapatkan, kemungkinan kita akan merasa kelelahan (burnt out). Dalam kondisi seperti ini tentu sangat sulit bagi kita untuk fokus melanjutkan kerja-kerja pelayanan kita. Bahkan kalau kita kelelahan, keluargapun dapat terkena dampak dari kondisi kita. Khususnya untuk orang-orang terdekat seperti anak-anak dan pasangan.


Menyediakan Waktu untuk Diri Sendiri
Kondisi kelelahan dapat memunculkan stress dan berbagai bentuk emosi negatif yang dapat mendorong kita menjadi lebih tidak sabaran dan tidak dapat berpikir jernih, sehingga tindakan kita justru berdampak negatif baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, termasuk orang-orang yang kita layani. Jika hal ini terjadi, tentu kualitas kerja-kerja aktivis kita menjadi menurun. Kita akan menjauh dari impian kita. Demikian juga dengan hubungan kita dengan rekan-rekan sekerja dan juga keluarga kita kemungkinan akan ikut terpengaruh.


Diri kita merupakan aset terpenting pada mewujudkan virtual kita. Saya adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap diri saya. Begitu pentingnya diri kita, maka krusial sekali bagi kita buat merawat dan mencintai diri kita lebih berdasarkan kita mengasihi apapun pada dunia ini. Hal ini mungkin tampak egois dari berukuran moral yg berlaku di warga . Tetapi bila kita tidak mempunyai cinta buat diri kita sendiri, bagaimana kita dapat berbagi cinta yg tidak kita miliki kepada pekerjaan dan famili kita?


Bagaimana kita bisa mewujudkan cinta dalam diri kita sendiri? Salah satu bentuk cinta pada diri sendiri adalah memberi alokasi saat spesifik buat diri kita sendiri.


Pertama-tama, kita perlu mengenali diri kita sendiri dan kebutuhan-kebutuhannya. Kita perlu mencari hal-hal apa yang kita sukai. Ketika kita melakukan itu kita merasa bahagia. Tidak perkara apakah saat kita akan melakukannya dibayar atau tidak, diketahui orang atau tidak, berhasil atau tidak. Kita hanya merasa bahagia dan berenergi lagi saat sedang dan sudah melakukannya. Apabila ada aktivitas-aktivitas semacam itu yang bisa anda lakukan, mungkin anda perlu mengalokasikan saat buat melakukannya secara rutin sebagai cara buat mengisi ulang batere tenaga anda. Dengan pasokan tenaga internal yg tinggi, kita akan siap lagi untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan krusial kita & juga menaruh perhatian yang diperlukan oleh famili & orang-orang yg kita sayangi.


Berapa usang & berapa seringkali kita perlu mengalokasikan waktu buat diri sendiri, tentu berbeda-beda buat setiap orang. Kita perlu mengenal diri kita sendiri buat dapat tetapkan polanya. Ada orang yg mengambil saat buat diri sendiri setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun, setiap lima tahun & bahkan setiap sepuluh tahun.


Bentuk kegiatannya pun bermacam-macam. Ada yang mengambil banyak sekali jenis olah raga buat aktivitas buat diri sendiri harian, ikut klub hobi buat aktivitas mingguan, atau berkunjung ke loka-loka menarik buat belajar sesuatu buat kegiatan tahunan. Apapun bentuk aktivitas tersebut, pastikan bahwa aktivitas-aktivitas tadi memang kita sukai, kita inginkan, dengan alokasi waktu yg memang kita luangkan dan biaya yg memang kita rela untuk keluarkan. Jangan sampai waktu melakukan aktivitas tersebut kita justru kepikiran beban pekerjaan atau famili yg ditinggalkan atau merasa rugi karena membayar terlalu mahal. Jika ini terjadi, tujuan awal melakukan aktivitas justru berbalik menyebabkan stress baru bagi kita.


Langkah dua ? Tetapkan orang-orang kunci & alokasikan waktu buat mereka
Langkah kedua yg perlu dilakukan merupakan mengenali peran-kiprah kita. Peran-peran kita ini lahir berdasarkan virtual kita mengenai hayati seperti apa yg ingin kita wujudkan. Untuk mencapai virtual tadi, kiprah-peran apa yang perlu kita lakukan. Untuk setiap peran kita, kita perlu mengalokasikan waktu yang cukup supaya pelaksanaan kiprah tadi mampu berjalan menggunakan baik.


Misalnya, saya adalah aktivis yang berkeluarga. Peran saya waktu ini merupakan aktivis pada organisasi saya, mak buat kedua anak aku , pasangan hayati buat suami aku & anak buat orang tua saya. Dalam peran-kiprah itu saya menemukan bahwa orang-orang kunci bagi aku adalah: mitra-kawan di organisasi, anak-anak, pasangan & orang tua aku . Nah sesudah itu, kita perlu menciptakan daftar tentang hal-hal krusial apa yang perlu kita lakukan beserta dengan orang-orang kunci tadi. Misalnya, buat kawan-mitra di organisasi, aku perlu meluangkan saat buat mengerjakan aneka macam proyek impian beserta-sama. Saya perlu mendata kebutuhan waktunya dan mendistribusikannya pada dalam hari-hari saya. Demikian juga dengan anak-anak. Saya perlu mendata hal-hal penting apa yg perlu aku lakukan beserta menggunakan anak-anak dan kapan saya akan melakukannya bersama mereka. Hal yang sama berlaku buat orang-orang & kiprah-kiprah kunci lainnya.


Setelah semua terdata maka aku akan memasukkannya dalam kalender atau agenda. Dengan memasukkan semua daftar yang ingin aku lakukan berikut alokasi waktunya, saya akan memahami apakah ketika aku relatif buat melakukan semua hal penting yang ingin saya lakukan? Berdasarkan data tersebut, saya dapat menciptakan keputusan apakah saya perlu melakukan penjadwalan ulang, atau perlu membuat alokasi baru aktivitas-aktivitas yg aku anggap penting untuk setiap orang kunci & berbagai penyesuaian lainnya.


Dengan melakukan langkah pada atas, kita akan memastikan bahwa orang-orang yang terpenting pada pada hayati kita sudah mendapatkan alokasi waktu yang relatif berdasarkan diri kita. Orang-orang krusial tersebut termasuk famili yg kita sayangi, baik famili inti, juga keluarga akbar.



Menyediakan waktu untuk orang-orang kunci
Berapa banyak waktu dan seberapa sering waktu yang perlu kita alokasikan untuk masing-masing peran dan orang-orang kunci tentu berbeda-beda untuk setiap orang. Hal pertama yang dapat dijadikan pertimbangan adalah kebutuhan. Hal kedua yang menjadi pertimbangan adalah ketersediaan waktu. Pada akhirnya waktu yang kita alokasikan adalah optimasi antara kebutuhan dan ketersediaan waktu.


Kadang-kadang kita perlu melakukan banyak sekali penyesuaian terhadap rencana, karena galat satu aktivitas yang sudah dijadwalkan ternyata berubah waktunya, sehingga perlu menggeser aktivitas yang sudah ada pada saat tersebut. Ketika hal ini terjadi, kita perlu mengkomunikasikan menggunakan baik rencana perubahan tersebut pada pihak-pihak terkait. Hal krusial yang perlu kita pertimbangkan merupakan sikap hormat kita kepada pihak-pihak tadi yg mungkin sudah mengalokasikan waktunya untuk kita juga.


Pihak-pihak tersebut termasuk juga anak-anak kita yang masih kecil atau pasangan kita, jika kebetulan kita berkeluarga dan memiliki anak-anak. Kebanyakan anak-anak sangat mengharapkan menghabiskan waktu bersama orang tuanya. Mereka merasa disayangi ketika kita meluangkan waktu khusus untuk mereka. Ketika kita telah menjanjikan sesuatu, sangat penting bagi kita untuk memenuhi janji kita tersebut. Dan jika kita tidak dapat memenuhi janji tersebut, kita perlu berani meminta maaf dengan tulus kepada mereka. Dengan begitu, mereka dapat merasakan bahwa kita memang sungguh-sungguh menganggap mereka orang-orang penting di dalam hidup kita.  Banyak orang justru mengabaikan orang-orang terpenting dalam hidup mereka, karena mereka menganggap orang-orang terdekat tersebut otomatis mengerti dan memaklumi akan tindakan kita. Kalaupun memang demikian, tetaplah baik untuk memberitahukan perubahan jadwal kita yang menyangkut mereka kepada orang-orang penting tersebut.


Langkah 3 ? Fokus dalam saat sekarang




Ketika kita telah menetapkan pilihan buat melakukan apa pada setiap saat kita, yg perlu kita lakukan adalah fokus pada waktu sekarang. Jika kita telah memutuskan waktu buat menulis laporan, fokuslah pada laporan itu dan lupakan yg lain. Dedikasikan seluruh konsentrasi, energi dan perhatian kita buat sesuatu yang telah kita putuskan. Pasrahkan yang lain dalam perawatan Tuhan atau pemeliharaan alam semesta.

Hanya dengan cara demikian kita bisa menggunakan waktu kita secara efektif.  Akan sangat sulit ketika kita sudah memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak, tetapi pikiran kita melayang-layang ke pekerjaan yang belum selesai. Atau ketika kita sedang mengalokasikan waktu untuk bekerja, kita teringat anak-anak yang sedang ulangan umum. Dengan penggunaan waktu semacam itu, tentulah hasil yang kita capai malah tidak maksimal. Penggunaan waktu yang tidak maksimal artinya, kita akan perlu mengalokasikan waktu lagi untuk melaksanakan kegiatan yang terhutang. Bisa jadi akhirnya malah mengurangi waktu kita untuk mengurus hal-hal yang kita cemaskan.


Kemampuan berfokus dalam ketika kini adalah salah satu kunci keberhasilan banyak orang. Cara-cara untuk membantu kita serius tidak sama buat setiap orang. Ada orang yang memerlukan ketika tenang, tanpa suara buat bekerja. Ada yang memerlukan musik atau bunyi pengiring buat membantu fokus. Ada orang yang perlu kita tatap matanya saat kita bicara. Ada yg justru merasa nyaman ketika kita berbicara menggunakan mereka sembari melakukan sesuatu yg lain. Pilihan-pilihan buat bisa berfokus perlu dikenali baik buat kita sendiri juga buat orang-orang kunci. Dengan demikian, kita sanggup saling membantu buat penekanan di pada pertemuan-rendezvous kita dengan mereka. Praktis-mudahan dengan demikian, setiap saat yg kita luangkan untuk orang-orang kunci tersebut menjadi saat yg bermakna, baik bagi kita maupun bagi mereka.


Demikian beberapa saran berbagi saat antara famili dan aktivitas. Semoga berguna. Apabila anda tertarik buat mendalami lebih jauh tentang pengelolaan saat anda, anda dapat menghubungi KAIL buat mendapatkan layanan pembinaan dan pendampingan mengenai Pengelolaan Waktu Pribadi.











































































[OPINI] Visi Keluarga Transformatif - Visi yang Berpihak Pada Masyarakat

Oleh: Navita K. Astuti



Diskusi Keluarga
Sebuah keluarga terbentuk atas dasar ikatan dan komitmen bersama antara suami dan istri. Ikatan tersebut dilandasi oleh perasaan saling mengasihi, komitmen bersama untuk membentuk sebuah keluarga, serta memiliki tujuan bersama yang hendak dicapai oleh pasangan tersebut. Seringkali, komponen yang terakhir disebutkan jarang dibahas oleh pasangan suami istri yang saling mengikat diri dalam ikatan pernikahan. Kebanyakan, pernikahan  diartikan semata-mata sebagai takdir hidup semata, hanya agar masyarakat menilai bahwa dirinya berada pada status aman dan dapat diterima oleh masyarakat.



Sebagaimana layaknya sebuah pesawat yg hendak tanggal landas, pada sebuah pernikahan diperlukan arah yang hendak dituju beserta oleh pasangan suami istri. Mau ke mana arah keluarga kami? Akan menjadi seperti apa keluarga yg akan kami bentuk? Begitulah kira-kira pertanyaan yg perlu dijawab sebelum pasangan suami istri menciptakan keluarga.


Keluarga & Tantangan Jaman
Akhir-akhir ini, begitu sering kita menemui famili yg retak oleh beberapa karena. Pertengkaran yang berlarut-larut, sulitnya menemukan istilah rujuk, ketidakcocokan pada antara suami dan istri. Saling nir tahu asa satu sama lain. Merasa paling sahih sendiri. Semua itu berujung pada perpisahan dan perceraian.


Tuntutan hayati tinggi menciptakan setiap anggota keluarga mengejar materi. Anak-anak lebih tak jarang diasuh sang asisten tempat tinggal tangga, lantaran orang tua sibuk memenuhi kebutuhan materiil. Kedua orang tua sporadis berkumpul beserta dengan anak-anak mereka . Tujuan awal pembentukan famili menjadi terlupakan karena kesibukan masing-masing anggotanya.


Perkembangan teknologi menyebabkan kurangnya sentuhan fisik yg sesungguhnya diperlukan oleh seseorang anak atau anggota famili. Teknologi internet, personal komputer kecil & ringan yg mudah dibawa ke mana-mana, sampai tablet yang hanya segenggaman tangan, menciptakan orang-orang terlena menggunakan hiburan juga pelaksanaan online yang disajikan. Dengan fasilitas tadi, orang-orang mengabaikan pentingnya kebersamaan secara fisik. Dengan kecanggihan teknologi seperti itu, orang jua dapat semakin larut pada pekerjaan. Mereka lupa dalam orang-orang pada sekitarnya. Esensi penting dalam keluarga buat saling mengisi, mendukung dan membicarakan visi bersama menjadi terkesampingkan.



Membaca Bersama Keluarga
Ketika visi dan tujuan bersama yang menjadi pengikat kebersamaan dalam keluarga pudar, maka lahirlah ketidakcocokan, pertentangan, perselisihan antar anggota keluarga. Ada beberapa keluarga berujung pada perpisahan. Namun, keluarga lainnya ada pula yang mampu bertahan, memperbaiki diri, membina visi mereka kembali.


Sebuah Visi yg Transformatif bagi Keluarga dan Masyarakat
Visi bersama merupakan kondisi krusial keutuhan tempat tinggal tangga. Tak hanya itu, waktu sebuah visi beserta pada sebuah famili bisa dipelihara & dikomunikasikan pada antara setiap anggotanya, maka keluarga tersebut bisa memaknai maksud dan tujuan kebersamaan mereka dan dengan demikian, membuat hidup setiapanggota keluarga sebagai lebih berarti.


Sebagai bagian menurut warga , sebuah famili yg bisa menempatkan visi beserta mereka bagi kemajuan & kesejahteraan warga pada sekitar mereka adalah famili yang memiliki visi transformatif.


Visi bersama yg transformatif memampukan sebuah keluarga melihat posisi mereka pada tengah masyarakat. Visi tersebut menciptakan famili sanggup mendorong setiap anggotanya buat turut merogoh peran pada dalam masyarakat secara nyata sesuai bakat dan panggilan hayati mereka masing-masing.


Sepasang suami istri, Febry & Nat, keduanya mantan aktivis GMKI, menghidupi visi famili mereka : menyebarkan karunia dan bakat hadiah Sang Pencipta buat memuliakan Sang Pencipta menggunakan melayani sesama insan, tanpa membedakan latar belakang suku, kepercayaan , maupun ras.


Dalam keseharian, & pada disparitas karakter antara Febry yg cenderung cepat dalam merogoh keputusan & Nat yang penuh pertimbangan dan sangat hati-hati dalam menetapkan, mereka menjalani visi bersama tadi.


Visi tersebut mereka tanamkan pula pada buah hati mereka, Putra. Kepedulian Febry dan Nat terhadap masyarakat tercermin pada cara mereka mendidik Putra. Febry sebagai ayah berperan menumbuhkan karakter kepemimpinan pada diri Putra, sedangkan Nat sebagai ibu mendidik Putra dengan kelemahlembutan dan kepedulian kepada sesama dan lingkungan hidup. Visi yang mereka hidupi sederhana, namun transformatif sifatnya. Visi tersebut mampu keluar dari ruang kenyamanan pribadi dan mau peduli pada masyarakat maupun lingkungan hidup di sekitarnya.


Sepasang suami istri lainnya, Dien Fakhri Iqbal dan Permata Andhika adalah contoh keluarga yang memiliki visi transformatif. Mereka dipertemukan dalam visi keberpihakan bagi masyarakat korban bencana serta memiliki minat yang sama tentang terapi trauma dengan body movement. Atas dasar kesamaan visi tersebut, mereka bersepakat untuk menjalani hidup sebagai sebuah keluarga. Setelah keluarga mereka terbentuk, keberpihakan mereka bagi masyarakat korban bencana tetap terpelihara. Iqbal dan Mata (panggilan akrab mereka) saling dukung dalam aktualisasi diri masing-masing.


Tidak banyak keluarga memiliki visi transformatif misalnya yg dipegang oleh keluarga Febry-Nat juga Iqbal-Mata. Beberapa keluarga lain, mungkin terdiri menurut pasangan yg visinya bertolak belakang sebelum akhirnya mereka dipersatukan pada dalam mahligai perkawinan. Apakah yg terjadi pada visi mereka sebelumnya? Bisa jadi visi eksklusif berubah seiring perkembangan yg dialami dalam keluarga mereka. Namun, sejauh itu disepakati, dinikmati & mendukung aktualisasi diri setiap anggota famili, tetaplah merupakan visi beserta yg menguatkan sebuah famili.


Tantangan & Solusi
Visi transformatif lahir dari proses keberpihakan & keprihatinan keluarga akan rakyat pada lebih kurang mereka. Visi seperti ini tidak sporadis menerima tantangan berdasarkan aneka macam pihak, terutama pada jaman yg semakin menjunjung individualisme misalnya ketika ini. Visi transformatif cenderung menerima cemoohan, ejekan & pertentangan. Tak jarang jua timbul perilaku skeptis akan upaya yang diperjuangkan dalam visi transformatif tadi.


Hal ini dialami sang pasangan Iqbal dan Mata, yang mendapat ujian justru berdasarkan famili akbar mereka berdua. Namun, karena visi tadi lahir berdasarkan bunyi hati mereka yang terdalam, semua tantangan itu mereka hadapi dengan ketua dingin. Iqbal & Mata berupaya memberitahuakn pada famili besar bahwa mereka konsisten pada perjuangan yg mereka lakukan.Perlahan tetapi niscaya, famili besar menerima apa yang mereka perjuangkan.


Tantangan lainnya dapat muncul dari anggota keluarga inti itu sendiri, seperti yang dialami oleh Febry dan Nat.  Banyak faktor yang menjadi penyebab, antara lain latar belakang keluarga, perbedaan sifat hingga ego pribadi yang cukup kuat terbentuk sejak kecil. Juga, karena sudah membuka diri terhadap masyarakat sekitar, keluarga Nat dan Febry dituntut pula untuk banyak mendengar dan memahami permasalahan orang lain maupun masyarakat di sekitar. Dalam hal ini, dibutuhkan kesabaran dan pemahaman yang lebih terhadap orang lain, agar tidak tergesa-gesa menilai situasi maupun mengambil tindakan.


Oleh karenanya, visi transformatif perlu buat direfleksikan secara beserta-sama. Kualitas komunikasi perlu ditingkatkan buat merefleksikan capaian apa saja yang telah dihasilkan sang famili tadi. Penting jua buat melakukan apreasiasi satu sama lain atas apa yang telah dilakukan. Segenap anggota famili perlu mempunyai rasa syukur atas setiap langkah kecil yang sudah dicapai.


Merupakan tantangan bagi setiap pasangan buat mewujudkan sebuah famili yang dapat saling mengisi satu sama lain. Lantaran dalam dasarnya suami dan istri adalah sepasang pribadi menggunakan perbedaan sifat & karakter serta memiliki ego pribadi. Tetapi, diperlukan keyakinan kuat bahwa tenaga positif akan terbentuk dari peleburan ke 2 sifat & visi yg berbeda. Ini adalah kapital utama berdasarkan sebuah famili buat maju mewujudkan visi transformatif. Pada titik ini, setiap anggota keluarga akan saling mendukung ekspresi setiap anggotanya. Tentunya, aktualisasi diri yg dimaksud merupakan aktualisasi yang tidak hanya mementingkan diri sendiri. Aktualisasi diri yg dimaksud adalah ekspresi yang bermanfaat bagi masyarakat. Itulah visi transformatif di dalam famili.


 ***





























































Selasa, 16 Juni 2020

[MASALAH KITA] Keluarga Aktivis, Aktivisme, dan Kasih Sayang

Oleh: Kontributor Pro:aktif Online


Sumber gambar:
http://moeslema.com/kontes-my-familiy-my-inspiration/
Buat saya seorang aktivis adalah sesorang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadikan dunia ini lebih baik. Apa yang menjadi concern  seorang aktivis bisa bervariasi baik dari isu lingkungan, masalah keadilan sosial, isu pendidikan, dan sebagainya. Cara memperjuangkannya juga bisa berbeda-beda. Ada yang aktif di LSM, ada yang merancang gerakan politik, ada yang menjadi relawan di berbagai tempat, ada yang menulis melalui media, dan sebagainya.  Yang jelas, bagi seorang aktivis, apa yang diperjuangkannya  lebih dari sekedar untuk kebaikan diri sendiri dan keluarga, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas.


Saya sendiri nir tahu apakah mampu mendefinisikan famili saya sebagai keluarga aktivis atau bukan. Yang jelas, tidak semua anggota keluarga saya merupakan aktivis. Kedua saudara termuda saya merupakan profesional di bidang masing-masing. Yang satu jadi wiraswasta & yang lain bekerja menjadi seseorang arsitektur pada sebuah perusahaan. Namun, kentara kedua orang tua saya adalah seseorang aktivis. Tetapi aktivitas Bapak juga Ibu (Almh) sedikit tidak sinkron.


Ibu saya sebenarnya dulu seorang arsitektur profesional. Namun, sejak muda beliau punya ketertarikan terhadap bidang-bidang sosial. Ketika masih mahasiswa beliau menghabiskan waktu luang menjadi reader tuna netra, mengurus anak-anak di panti asuhan, mengumpulkan darah untuk donor darah, dan sebagainya. Ketika beliau sudah berkeluarga dan berkarir, beliau tetap menyempatkan waktu untuk berkegiatan sosial, baik dengan mengedarkan dan merancang sistem pendistribusian buku bacaan untuk anak jalanan, membantu mendirikan taman bacaan, menyumbang pemikiran untuk mengurus pengungsi di Poso, dan ikut terbang ke daerah konflik untuk menghibur anak-anak yang ada di sana.
Lalu, suatu hari beliau terkena kanker. Beliau kemudian  mendirikan Cancer support group untuk saling mendukung sesama penderita kanker baik dengan memberikan informasi mengenai kanker, saling menyemangati, ataupun menemani mereka saat akan melakukan kemoterapi. Meskipun bekerja sebagai seorang profesional, saya bisa mengatakan bahwa ibu saya adalah seorang aktivis karena dengan sengaja berpartisipasi aktif untuk menjadikan dunia lebih baik.

Bapak saya, jelas adalah seorang aktivis. Saat masih menjadi mahasiswa beliau sudah aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, mulai dari merancang balai pengobatan untuk mahasiswa, mengkampanyekan gerakan anti kebodohan, menuliskan buku putih untuk menentang pemerintahan Soeharto sampai akhirnya beliau dipenjara. Selama beliau dipenjara, ibu saya mengunjunginya setiap hari sambil membawa makanan dan kliping berisi tulisan dan gambar terkait isu-isu kemanusiaan dari koran untuk menghibur Bapak selama di penjara.  Setelah keluar dari penjara, beliau memilih menjadi akademisi dan peneliti. Namun, jiwa aktivismenya tidak pernah pudar. Sampai kini pun, beliau masih terus bergerak dengan berbagai cara (demonstrasi, menulis, mengorganisir gerakan, dsb) untuk menjadikan Indonesia lebih baik.


Seperti apa rasanya tinggal pada keluarga pada mana kedua orang tua merupakan aktivis? Menurut aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mungkin ada beberapa hal yg nir lazim terjadi pada keluarga lain, pada antaranya tamu yang terus menerus tiba ke rumah, adanya ancaman menurut pihak luar, dan ketika bersama famili yang terbatas.


 Teman aku menikahi seorang aktivis & pernah bercerita bahwa poly tamu di rumahnya. Saking seringnya terdapat orang yang menginap, anaknya yang berusia dua tahun sangat terbiasa tinggal beserta orang selain keluarga. Hal yg sama juga terjadi di keluarga saya. Ibu saya pernah bercerita, bahwa ketika aku bayi, tamu yg datang ke rumah nir habis-habisnya. Kopi, teh, & gula wajib selalu tersedia. Piring & gelas pun terus menerus harus dicucui. Tamu bukan hanya banyak, tetapi pula mampu berkunjung dari pagi sampai malam hingga pagi lagi, umumnya mereka tiba buat mendiskusikan aneka macam hal.


Ketika saya mulai remaja, bapak saya sudah punya kantor sendiri sehingga sebagian tamu beralih bertamu ke kantor tersebut. Sebagian lagi bertamu ke rumah.  Sebenarnya, kedatangan tamu-tamu tersebut sangat menyenangkan. Sejak kecil, saya terbiasa berhubungan dengan berbagai jenis orang dari berbagai latar belakang. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan politisi, wartawan, pemimpin organisasi (buruh, keagamaan, lingkungan, dsb), penulis, mahasiswa, dan sebagainya. Biasanya tamu-tamu tersebut diajak makan bersama keluarga saya. Di meja makan itulah mereka mendiskusikan berbagai hal dari isu kemanusaiaan, politik, ekonomi, sampai isu kenegaraan. Biasanya saya hanya jadi pendengar saja tapi itu saja menyenangkan. Tanpa disadari wawasan bertambah.


Tentu saja, meskipun banyak teman, seorang aktivis tidak selalu disukai orang lain. Kegiatan aktivisme seringkali dianggap mengancam penguasa. Waktu kecil dulu, beberapa kali saya mendapat telepon berisi ancaman pembunuhan. Usia saya masih 7 atau 8 tahun saat itu. Waktu itu tentu saja ada rasa takut pada pada hati. Tapi lama -lama aku cuek saja. Tetapi, secara umum, saya merasa ancaman yang terjadi pada keluarga saya tidak separah famili-keluarga aktivis lain. Saya pernah mendengar berdasarkan bapak, seorang temannya, perempuan beranak 2, rumahnya dilempari bangkai anjing. Itu masih belum parah, ada beberapa anak berdasarkan keluarga aktivis yang harus kehilangan orang tuanya karena diculik ataupun dibunuh penguasa. Karena memahami resiko-resiko semacam ini, ke 2 orang tua selalu meminta aku hati-hati, nir asal-asalan bicara. Mereka mengajari saya bahwa kadang insan sanggup menjadi kejam, tapi itu nir berarti kita harus kehilangan kemanusiaan.


Karena kedua orang tua bekerja sambil menjadi aktivis, sebenarnya mereka banyak berpergian dan kadang pulang larut malam. Hal itu wajar karena selain mencari nafkah, mereka juga banyak sekali kegiatan baik berdiskusi, berkegiatan bersama masyarakat, mengorganisir massa, melakukan aksi, berkeliling Indonesia, dan sebagainya. Mungkin bagi sebagian keluarga, hal seperti ini tidak wajar. Penting sekali untuk menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama keluarga. Namun, saya tidak melihatnya begitu. Meskipun ibu dan bapak tidak selalu di rumah, saya tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang mereka. Sejak saya kecil saya tahu bahwa mereka di luar rumah untuk melakukan kebaikan.  Saya selalu tahu, bahwa setiap langkah dalam hidup mereka selalu digerakkan oleh kasih sayang.



Sumber gambar: http://www.believeoutloud.com/latest/love-based-activism
Aktivisme selalu digerakkan oleh kasih sayang. Ketika kita melakukan kebaikan bagi sesama manusia, hati kita akan semakin dilimpahi dengan kasih sayang. Kasih sayang ini akan dirasakan oleh siapapun yang ada di sekitar kita, termasuk keluarga. Kedua orang tua saya adalah orang yang mendedikasikan hidup mereka untuk orang lain. Untuk orang lain saja, kasih sayang mereka melimpah, apalagi untuk anak-anaknya. Meskipun tak selalu di rumah, kasih sayang ini selalu terasa. Tidak habis-habisnya.


Rasanya akan sangat sulit menjadi aktivis kalau tidak punya rasa kasih sayang yang melimpah. Karena menyayangi alam, seorang aktivis lingkungan tidak akan lelah berjuang agar alam ini bisa terjaga keberlangsungannya. Karena menyayangi setiap manusia, seorang aktivis kemanusiaan rela berkorban agar keadilan dan kemanusiaan bisa ditegakkan.  Seorang aktivis bisa saja menjalani hidup yang ‘tidak selalu lazim’. Namun apa yang membuat bertahan adalah sesuatu yang sangat mendasar, kasih sayang.




























[PROFIL] Dinamika Keluarga Aktivis: Dialog, Komitmen, Pengaturan

Mbak Nophie dan Mas Black
Oleh: Deta Ratna Kristanti


Aktivis, umumnya punya segudang aktivitas. Ketika seorang aktivis memutuskan buat berkeluarga, akan muncul aneka macam dinamika baru terkait urusan famili & kegiatan-kegiatannya. Apakah aktivis harus selalu memilih keliru satu antara keluarga atau aktivitismenya? Dapatkah pasangan aktivis menjalankan ke 2 peran sekaligus, mengelola keluarga & permanen menjadi aktivis?


Kali ini, Pro:aktif Online mengangkat profil keluarga Elisabeth A.S. Dewi "Nophie"dan Antonius Sartono‘Black’, pasangan suami istri dengan dua orang anak, yang berbagi kepada KAIL tentang pengalaman hidup mereka dalam berkeluarga sekaligus menjalankan peran sebagai aktivis . Berikut petikan wawancaranya:


Sebelum menikah, Mbak Nophie dan Mas Black telah mempunyai poly kegiatan. Menyadari hal itu, apakah terdapat konvensi-kesepakatan yang dibuat sebelum menetapkan buat menikah?
Nophie (N): Mmm... tidak ada kayaknya ya, sambil jalan saja
Black (B): Sebelum menikah, kami sudah saling tahu, bahwa kami masing-masing sudah beraktivitas di mana-mana. Maka terjadi dialog antara kami, yang merupakan dialog dengan kesadaran, bahwa kami memang tidak bisa meninggalkan aktivitas yang dulu. Sekarang tinggal menyiasatinya saja, sambil prosesnya berjalan. Yang menjadi lebih enak adalah kami beraktivitas di bidang yang hampir sama, jadinya bisa saling melengkapi.


N: Lebih mengalir, kami jalani saja, lalu dilihat ada kebutuhan-kebutuhan apa. Ketika sudah punya anak, ada kebutuhan mengatur jadwal: siapa yang menemani anak, siapa yang mengurus ini dan itu, macam-macam. Pada akhirnya, kami harus bersiasat bikin skala prioritas. Tapi tidak ada yang melarang, mengekang. Ya diatur saja. Kalaupun sampai dua-duanya harus pergi karena ada tugas, seperti sekarang, kebetulan kami berdua panitia Sinode, maka kami bersiasat dengan keluarga besar. Eyang atau bude mana yang mau dititipi atau menemani anak-anak. Melibatkan keluarga besar, mau tidak mau.


B: Saya kira keberuntungan orang Indonesia salah satunya itu, kami masih punya keluarga besar yang “mengerti” aktivitas kami, menerima, walaupun dengan bahasa yang lain, tapi mereka tahu kami beraktivitas seperti apa. Intinya keluarga besar sangat terbuka untuk membantu dalam pola pengasuhan anak-anak.


N: Dan anak-anak, ketika mereka sudah bisa diajak berdiskusi, ya kami ajak diskusi. Mereka tahu apa yang kita lakukan. Kami ada di mana, dengan siapa, itu mereka tahu. Dan kadang-kadang ada waktunya juga kami beri pilihan kepada anak-anak, mau ikut atau tidak. Kalau mau ikut, nanti kondisinya begini, begini, begini. Siap atau tidak. Kalau tidak siap, ya sudah, di rumah saja. Kalau siap, ya ayo ikut. Sebenarnya dari anak-anak masih kecil ya, zaman kami baru punya anak pertama, kalau kami harus pergi berdua, ya anak-anak kami bawa. Digendong ya digendong, sambil pelatihan. Jadi dari kecil anak-anak sudah tahu keadaannya. Dari kecil sudah melihat aktivitas kami, jadi mungkin.. hmm, saya tidak tahu mereka suka atau tidak suka ya, tapi tampaknya, mereka bisa menyesuaikan dirilah dengan irama aktivitas orang tuanya.


Bagaimana menyebutkan kepada anak-anak agar mereka bisa tetapkan mau ikut pulang atau nir?
N: Jelaskan kondisinya seperti apa kalau kami tahu keadaannya. Tapi kalau kami tidak tahu ya kami jelaskan seburuk mungkin kemungkinannya. Lalu mereka mikir. Kami tidak pernah memaksa, karena kami tidak mau dipaksa juga.


Usia berapa anak-anak mulai diajak bicara?
N: Mulai dari usia sekolah, karena mau tidak mau urusannya dengan akademik. Ketika sudah sekolah, kami berusaha untuk tidak membuat mereka bolos. Mereka harus tahu bahwa ketika sudah bersekolah prioritas mereka itu sekolah. Kecuali kepepet banget mesti ikut, mungkin terjadi sekali dua kali lah sepanjang mereka sekolah, karena tidak ada pilihan lain dan jauh. Lalu mereka ikut. Tapi mereka sudah tahu konsekuensinya. Tantangan (istilah untuk PR sekolah) akan menumpuk, review (ulangan)  akan lewat, kami beritahu. Tapi waktu anak-anak belum sekolah, terutama ketika mereka masih disusui, mau tidak mau mereka ikut. Ketika sudah lepas ASI, mereka sudah mulai diberi pilihan.


Kalau pada bayangan Mbak Nophie & Mas Black, pengaturan pada famili aktivis idealnya misalnya apa?
B: Di dalam keluarga ada pembagian peran. Orang tua tetap punya peran orang tua, anak tetap punya peran anak, pada proses perjalanan itu terjadi sebuah dialog, dalam arti, ada kepentingan orang tua dan ada kepentingan anak.  Ini yang dijadikan proses diskusi untuk mengambil keputusan. Dalam konsep ideal saya, kepentingan anak maupun kepentingan orang tua ini bisa disepakati bila terjadi dialog.  Jadi pertama, perlu adanya dialog. Kedua, tidak ada pemaksaan. Ketiga, pilihan bebas. Saya boleh atau tidak pergi beraktivitas, itu dikembalikan pilihannya kepada masing-masing. Keempat, kesepakatan pada  jadwal yang dibuat. Mungkin juga orang lain lihat kami aneh. Keluarga kok diatur dengan jadwal. Tapi ya memang dengan begitu di keluarga kami prosesnya bisa berjalan.
Kalau keluarga lain, pengaturannya mungkin berbeda. Kadang-kadang ada orang tua yang satu aktivis, satu lagi bukan. Saya tidak tahu apakah itu keputusan mereka untuk memilih, satu tetap menjadi aktivis dan satu tidak lagi menjadi aktivis atau bagaimana.  Tapi untuk keluarga kami, kalau membuat janji salah satu (beraktivitas) di rumah (saja) kayaknya tidak bisa.


N: Tentang menjadi ibu. Dari hasil ngobrol dan studi saya tentang motherhood, yang paling sering melanda ibu-ibu adalah perasaan bersalah. Ketika mereka harus pergi meninggalkan anak mereka, karena alasan harus bekerja atau apapun, mereka seringkali didera perasaan bersalah. Nah, buat saya itu sangat tidak ideal. Maka saya mencoba tidak punya perasaan begitu. Karena buat saya, saya pergi bukan buat apa-apa kok.  Beda kalau saya pergi, misalnya, mabuk mabukan, lupa daratan, lupa lautan, mungkin jadi wajar ada perasaan bersalah itu. Tapi saya pergi karena saya bekerja, saya beraktivitas. Suami dan anak-anak tahu saya ada di mana, saya sedang apa. Kami saling tahu. Jadi buat saya tidak penting ada rasa bersalah.  Karena begitu kita merasa bersalah, anak juga akan tahu. Lalu adalah istilahnya, terjadi konflik-konflik batin sebagai orang tua. Buat saya yang ideal adalah, kalau kita sebagai orang tua pergi,tidak perlu merasa bersalah. Karena yang kita lakukan itu baik kok. Mungkin tidak baik untuk anak kita pada saat itu karena merasa ditinggalkan. Tapi kita berbuat baik untuk orang lain. Somehow, saya tidak tahu gimana caranya, saya merasa, ketika saya melakukan kebaikan untuk orang lain, saya juga sedang melakukan kebaikan untuk anak saya, secara tidak langsung. Jadi saya mau menambahkan poin itu.
Ambil contoh, orang lain pernah bertanya, di keluarga kami kok nggak pernah telpon-telponan sih, nggak pernah bertanya lagi apa. Itu tidak penting buat kami. Karena kami sama-sama tahu dia lagi ada di mana, sedang apa. Buat kami itu cukup. Tidak ada telpon artinya aman. Kalau ditelpon, malah jadi deg-degan, ada apa nih. Kenapa demikian, karena kami sudah saling percaya. Anak percaya ibu, ibu percaya bapak, bapak percaya sama anak-anak. Ya sudah, tinggal jalan aja.


Pernahkah terdapat situasi di mana, meskipun telah diatur sedemikian rupa, terdapat pihak-pihak yg perlu mengalah, misalnya pekerjaan ditinggalkan, atau anak mau nir mau mesti ikut ayah atau ibunya pergi bertugas?
N: Oh ya, jelas, ada. Saat anak sakit, kalau sudah anak sakit, bubar semua rencana. Lepas. Jadwal tidak ada artinya. Kalau pasangan sakit, ya sudahlah ya, sudah besar, yang penting dia beristirahat cukup. Tapi kalau anak sakit, tidak bisa. Atau kalau anak-anak ada acara di sekolah. Kalau orang tua tidak datang, mereka merasa sangat sedih. Mereka bilang, “Ya udah deh, nggak apa-apa nggak ada ibu dan bapak, tapi aku sedih.” Nah kan, ya kita juga harus mengerti. Ya sudah, akhirnya, kegiatannya nanti ditunda atau berubah jadwal atau diatur ulang, tapi kemudian kami datang untuk kepentingan anak. Mau tidak mau ya harus fleksibel juga.


B: Saya kira kata lain dari fleksibel ya “berkorban”. Dalam konteks “keluarga aktivis”, sebetulnya kunci yang harus muncul ya rela berkorban. Seperti tadi, anak sakit, ya mau tidak mau semua kegiatan harus dilepaskan, dijadwalkan ulang lagi. Saya kira salah satu syarat perkawinan ya rela berkorban juga ya, menurut saya. Tidak bisa tidak, gitu. Apalagi ditambah dengan aktivitas yang banyak.  Saya rasa ini salah satu hal yang penting juga: rela berkorban.


N: Dan jangan terlalu memikirkan apa kata orang. Karena kalau kita terlalu berpikir apa kata orang, pusing juga kita ya. Kadang-kadang ukuran orang itu beda dengan ukuran kita. Ukuran kebahagiaan, ukuran kesuksesan, beda-beda ya. Misalnya, kebahagiaan kita adalah bisa melakukan sesuatu untuk orang lain, ya, beda kan. Ya cuekin aja.Karena kalau mikirapa kata orang, stres juga kita. Padahal, tinggal prioritasnya dikompromikan. Mana yang jadi lebih penting, itu dikompromikan. Hasil dari kompromi itu sendiri yang dijalankan.


Apakah Mbak Nophie & Mas Black pula asal menurut famili yg orang tuanya aktivis?
B: Orang tua saya bukan aktivis, tapi PNS, pekerja. Dalam konteks pergi bertugas, dua-duanya memiliki jam terbang  tinggi. Bapak saya di bidang teknik, yang harus pergi pagi pulang malam, ibu saya seorang pendidik, dari pagi sampai sore. Kalau disebut aktivis seperti kami ya bukan, tapi memang dari dulu saya biasa lihat, bapak pulangnya sore atau malam.


N: Kalau bapak ibu saya kalau mau dibilang aktivis, ya aktivis sih, terutama aktivis di gereja ya. Bapak ibu dulu tim dari ME (Marriage Encounter), jadi mereka memberikan retret ME ke mana-mana. Zaman dulu mungkin sebulan sekali, dua bulan sekali, sering banget pergi. Lalu mereka juga aktivis kharismatik, sering juga ke mana-mana. Bapak saya dulu guru, pendidik, ibu saya ibu rumah tangga yang sibuk: berdagang, merias pengantin, menjadi penjahit. Karena saya keluarga besar, sudah biasa diasuh oleh banyak orang. Atau mengasuh diri sendiri. Dan saya merasa menjadi kaya dengan pengalaman, karena saya jadi tahu berbagai jenis orang dan situasi. Makanya anak-anak kami juga sekarang dicobakan dengan model seperti itu.  Masuk rumah nenek yang ini, di bude yang ini, yang itu. Bertemu orang mulai dari yang sangat biasa sampai yang sangat luar biasa. Mereka “terkontaminasi”, dengan sifat banyak orang,  dalam artian yang mudah-mudahan positif.


Dari pola pengasuhan keluarga yg diterapkan Mbak Nophie dan Mas Black ,apa imbasnya ke anak-anak?
N: Kalau kata orang lain, anak-anak kami mandiri ya. Kalau pakai ukuran yang rata-rata, mereka boleh dikatakan mandiri, karena mereka sudah biasa mengatur diri sendiri. Misalnya, kalau kamu lupa bawa baju ke rumah eyang, ya otomatis kamu tidak punya baju ganti. Mereka harus belajar resiko dan segala macamnya.


B: Kedua dari segi wawasan, mau tidak mau karena mereka berdua ikut ngobrol sama bapak ibunya. Memang lalu menjadi PR lagi bagi bapak ibunya untuk menerangkan istilah-istilah yang sebenarnya kita tahu dia belum tahu artinya apa. Jadi ada tambahan pekerjaan sih sebenarnya untuk kami. Macam-macam, sebab kami tidak menyangka juga kalau dia ikut menangkap pembicaraan kami. Meskipun saat itu dia kelihatannya lagi menggambar, misalnya. Kelihatannya sih baca buku, tapi ternyata kupingnya kebuka ya. Misalnya, pas pulang dia tiba-tiba bertanya, “Human traffic k ing tehapa?”. Itu yang menjadi resiko untuk kami, karena kami yang sudah memasukkan dia dalam “aktivitas orang dewasa”. Saya kira begitu. Orang sering bilang, nih anak umur berapa, kelas berapa, kok omongannya kayak gini. Mudah-mudahan sih tidak menjurus ke dewasa sebelum waktunya.. hahaha..


Adakah pengalaman paling mengesankan berkaitan menggunakan pengaturan menjadi famili aktivis atau sebagai famili aktivis?
N: Saya pernah lagi naik trem di tengah kota Melbourne, lalu ada orang manggil saya, “Mbak Nophie! Eh,  mbak,  masih ingat nggak, kita pernah ketemu waktu itu di Garut, lalu mbak Nophie ngasihtraining, bawa bayi, pakai ransel gitu. Saya tidak pernah lho, mbak,  lihat trainer bawa bayi pakai ransel. ” dan lalu dia cerita segala macam. Lucu ajaya, pengalaman unik. Orang mungkin tidak ingat materi yang saya saya sampaikan. Tapi saya membawakan training, sebagai trainer yang bawa bayi, buat dia menjadi hal yang mengesankan, sampai dia tidak lupa. Lalu bertemu berapa tahun setelahnya, di negara lain, dia masih ingat pengalaman itu. Dan kemudian orang tersebut bilang, “Saya mau lho, mbak, suatu saat seperti Mbak (Nophie).”
Buat saya sebagai seorang ibu, saya diingat. Setidak-tidaknya saya mencoba, mematahkan anggapan bahwa feminis itu tidak punya kepedulian terhadap keluarga, feminis itu terlalu mandiri, feminis itu tidak perlu laki-laki, feminis itu lesbian, feminis itu keluarganya hancur. Saya sebisa mungkin mematahkan lah anggapan negatif tersebut. Bahwa seorang feminis ternyata bisa kokpunya anak, punya suami dan baik-baik aja. Bisa kok tetap heteroseksual.
Buat saya, motheringitu harus menyenangkan, jangan jadi beban.
Saya kemarin baru mengobrolkan hal ini dengan anak saya sebelum melepas dia campingbeberapa hari, “Kalau saya diberi umur panjang, sepanjang hidup ibu, ibu akan jadi ibu. Dan seumur hidup kamu, kamu akan jadi anak. Jadi kalau kita nggak fun, kita nggak enjoy, capek bangetkan. Jadi ya enjoy aja, gitu.”


B: Pengalaman bertemu orang-orang. Kayak Nophie tadi, saya ngomong apa, mereka masih ingat. Buat saya, di balik ketemu orang-orang itu, saya jadi diingatkan oleh banyak orang, untuk menjalani yang saya omongkan. Pengalaman bertemu orang-orang ini jadi semacam “pagar”, untuk umpan balik bagi saya. Kadang-kadang orang mendengar apa yang saya omongkan, “Wah ini bisa jadi inspirasi.”. Padahal sebenarnya kelihatannya waktu itu cuma ngobrol biasa saja. Saya kira itu, berbagi pengalaman hidup, proses, karena kita hanya bisa berbagi pada tataran itu.


Menurut Mbak Nophie & Mas Black, hal apa yg perlu diingat & diperhatikan sang semua famili aktivis, atau oleh aktivis yg berniat berkeluarga?
N: Kita itu manusia biasa, dengan segudang aktivitas, dengan segudang rencana, dengan segudang mimpi yang kita punya. Kita tetap manusia dengan keterbatasan. Tetapi keterbatasan itu bukan sesuatu yang menghalangi langkah kita, tapi kita harus pintar-pintar bersiasat, berstrategi dengan keterbatasan kita dan jangan menganggap itu sebagai beban. Kalau beban, ujungnya akan berat ke kita. Having fun saja. Karena kita beraktivitas untuk manusia, bersama manusia. Manusia itu punya banyak dinamika, punya banyak hal yang tidak bisa kita duga, termasuk anak, pasangan dan keluarga besar kita, akan banyak dinamika, up and down-nya. Jangan stres. Bagaimana  kita bisa beraktivitas kalau kita stres? Nikmati saja, jalani saja. Jangan pernah merasa kita harus sempurna. Tidak.  Jadi kalau ada yang tanya, “saya ibu yang baik tidak ya, saya ibu yang benar tidak ya”. Jawabannya, tidak ada tuh, ibu yang baik, ibu yang benar. Semuanya tergantung, mau pakai definisi mana, tolok ukur siapa. Semua itu kan balik lagi ke kita. Selagi anak senang, pasangan bahagia, semua baik-baik saja, ya sudah. Di tengah segala keterbatasan, kalau kita diskusikan, pasti ada jalannya.


B: Kalau menurut saya, cuma dua. Pertama, kerendahan hati dan kedua, kesediaan untuk berkorban. Kalau dua hal ini tidak dimiliki, pasti akan muncul pertengkaran, terjadi kesalahpahaman, kecurigaan. Ini kan bibit dalam proses berkeluarga ya, kalau kita mengobrolkan bibit, proses dalam berkeluarga ya, kalau tidak diperhatikan pasti amburadul. Kerendahan hati ya, misalnya sekarang saya mesti mengasuh anak, karena dia harus pergi. Lain waktu dia yang harus di rumah, mengurus anak-anak, giliran saya yang pergi. Rela berkorbannya ya tadi, misalnya saya sudah punya rencana, tiba-tiba harus batal karena anak sakit, misalnya. Dalam prosesnya, ya itu tadi, saling menutupi itu bukan saling menutupi kelemahan, tapi saling melengkapi.


N: Dan tidak ada yang lebih hebat, tidak ada yang lebih tidak hebat ya. Bukan berarti yang di rumah lebih tidak hebat, yang pergi lebih hebat. Tidak. Karena yang di rumah juga “sakit kepala” juga, ngurus segala macam, dari A-Z.


B:   Satu lagi, yang kita perjuangkan, budaya kesetaraan. Ke mana-mana kita bicara soal kesetaraan, ya harus diaplikasikan, harus dipraktekkan. Ya seperti ini, kesetaraan itu begini. Tidak ada yang satu di atas, satu di bawah. Atau setara, tapi saling menutupi semuanya. Tidak begitu.


N: Dan itu kesetaraannya sampai di anak-anak, bukan hanya di kami saja. Karena generasi kami kan, generasi saya dan Black adalah generasi yang ngomongke mana-mana. Hasilnya kelihatan atau tidak itu di anak-anak kami. Itu juga salah satu tambahan pekerjaan kami ya. Kebetulan anak kami sepasang, laki-laki dan perempuan. Mereka punya tidak kesetaraan? Mereka punya atau tidak kesetaraan, punya tidak kesadaran, bahwa, nggak ada yang lebih hebat atau nggak ada yang lebih nggak hebat? Begitu.


Hmmm.. Ini pertanyaan epilog, sekaligus konfirmasi. Jadi dinamika yg paling mewarnai keluarga aktivis itu kebanyakan soal pengaturan waktu, atau ada yg lain?
B: Yang paling mewarnai sebenarnya adalah dialog. Dialog itu kadang-kadang dengan nada tinggi, nada sedang, nada rendah. Biarpun misalnya dengan kesal apa ya, tapi tetap ada semacam pemberitahuan, konfirmasi. Ada berita, meskipun dengan nada tinggi, tapi konsepnya pemberitahuan.
N: Kalau menurut saya, komitmen ya.  Seperti saya bilang tadi, kalau yang satu sedang pergi, satu lagi di dalam, ya yang di dalam harus membereskan semuanya kan. Bukan hanya masalah waktu ya. Karena, misalnya, Black yang harus di rumah ya, artinya Black juga kan harus mengatur antara komitmen pekerjaan dia di manapun dengan urusan di rumah. Itu juga butuh komitmen kan, anak-anak butuh di mana, perlu diatur. Karena kami tidak mau menghentikan segala macam aktivitas mereka hanya karena aktivitas kami. Buat kami itu tidak adil sama sekali. Misalnya,“Karena kami harus pergi maka kamu tidak bisa les renang.” Tidak, tidak boleh begitu. Semuanya harus berjalan. Menantangnya di situ. Aktivitas kami dua-duanya jalan, tapi aktivitas anak-anak tidak boleh terabaikan. Nah itu komitmen, pengaturan, melibatkan orang. Siapa yang mau dilibatkan. Kita punya ojek pribadi yang bisa menemani anak-anak berkegiatan, yang kami sudah percaya sekali. Semua harus diatur.




























































































[PIKIR] Menjadi Keluarga di Indonesia

Oleh : David A. Setiady


Sumber:pelajaranilmu.Blogspot.Com

Sebagai insan, kita semua terlahir berdasarkan sebuah famili, dalam bentuk yg paling sederhana yakni ayah & mak .


Keluarga?
Kita mengenal famili tertua di dunia ini merupakan keluarga Adam & Hawa, dari cerita yg ada pada pada kitab suci kepercayaan samawi (Kristiani, Islam, Yahudi), di mana diyakini bahwa mereka adalah insan pertama yang terdapat pada muka bumi ini. Adam & Hawa membangun keluarga menggunakan ke 2 anak mereka yg bernama Kain dan Habel, jadilah mereka famili pertama pada global. Tentunya menurut kisah buku suci tersebut.


Terlepas apa pun keyakinan Anda, kita tahu bahwa dengan komposisi yang membangun sebuah famili, tidak mempunyai poly perubahan berdasarkan jaman dahulu sampai sekarang. Sebuah famili pada umumnya terdiri berdasarkan seseorang ayah dan seseorang bunda, serta anak-anak, inilah yang dianggap sebagai famili inti.
Kemudian ada juga yang disebut keluarga Konjugal, di mana keluarga inti berinteraksi dengan kerabat lainnya dari salah satu atau kedua pihak orang tua, misalnya paman, bibi, kakek, nenek, dan seterusnya. Selanjutnya ada yang disebut sebagai keluarga luas yang ditarik berdasarkan garis keturunan yang ada di atas keluarga inti, artinya mencakup seluruh rantai keluarga dari ayah dan ibu.

Bentuk-bentuk famili demikian dihubungkan sang pertalian darah ataupun perkawinan.


Perubahan Bentuk Keluarga
Namun lalu seiring menggunakan perkembangan jaman ataupun pada praktek di masa kemudian, kita jua mengenal famili yang tidak melulu dikaitkan dengan pertalian darah ataupun perkawinan. Misalnya pengangkatan anggota keluarga, yang mungkin relatif lazim kita temukan adalah anak angkat-orang tua angkat. Pengangkatan di sini berbeda dengan adopsi, di mana proses adopsi melibatkan proses aturan sehingga terdapat persyaratan administratif yg wajib dipenuhi oleh calon orang tua. Sementara pengangkatan keluarga umumnya bersifat informal hanya berdasarkan pada kesepakatan lisan antara kedua belah pihak, yg (galat satunya) tercermin melalui panggilan.


Di sisi lain, faktor ekonomi sudah menggerakkan rakyat buat berubah, baik gaya hayati juga syarat keluarga yg membangun rakyat itu sendiri. Dulu, menggunakan pola pembangunan yg cenderung berpusat di pulau Jawa, maka banyak pemuda-pemuda menurut berbagai kampung merantau ke perkotaan yang ada pada pulau Jawa. Tidak sedikit juga, para ayah ada di dalam rombongan perantauan yg terpaksa meninggalkan keluarga mereka pada kampung demi mencari sesuap nasi ataupun merogoh peluang buat mengganti peruntungan keluarga. Bahkan mereka yang tinggal di kota-kota pun kadang merasa harus merantau ke kota yg lain karena nir menemukan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan diri mereka. Kondisi tersebut mensugesti bentuk keluarga yang terdapat, di mana anak-anak tidak merasakan kehadiran ?Ayah? Mereka pada galat satu episode hidup mereka. Di sini, syarat keluarga tanpa ayah sebagai hal yang relatif lumrah ditemukan.


Sementara di beberapa wilayah tertentu, famili-keluarga malah harus kehilangan sosok bunda yg merantau ke negeri jiran sebagai asisten tempat tinggal tangga yang kita kenal sebagai TKI. Ketiadaan sosok mak pada keluarga, terutama dalam proses tumbuh kembang oleh anak, tentu sangatlah berat pada mana mereka masih sangat membutuhkan kasih sayang dari oleh mak . Tetapi situasi yang sangat nir ideal ini dijalani pula sang sebagian keluarga pada Indonesia.


Komunitas, Sebuah Keluarga Baru
Satu bentuk keluarga yang lain adalah keluarga yg sebetulnya merupakan komunitas atas dasar kesamaan pada satu atribut eksklusif, contohnya daerah berasal, suku, hobi, pekerjaan, pendidikan, & sebagainya. Komunitas ini adalah bentuk famili yang ?Baru?, namun tidak sahih-benar baru, pada artian bahwa bentuk ini telah terdapat sebelumnya, tetapi semakin banyak pada hari-hari ini. Komunitas ini dianggap dengan keluarga karena dibuat atas dasar kekeluargaan, ataupun rasa kekeluargaan yg melingkupi para anggotanya. Di kota-kota tertentu, komunitas atas dasar suku ataupun wilayah asal merupakan gerombolan yang relatif jamak terbentuk. Contohnya pada kota-kota Sumatera mempunyai perkumpulan PUJAKESUMA yg merupakan singkatan berdasarkan Putra-putri Jawa Kelahiran Sumatera. Anggota-anggota menurut perkumpulan tersebut tampak sangat hangat jika berjumpa, laksana keluarga yang sudah usang tidak berjumpa. Yang mengikat mereka merupakan kecenderungan identitas suku Jawa yang hidup pada pulau Sumatera. Kelompok ini terbentuk, melalui sejarah panjang negeri ini, di mana dalam jaman penjajahan Belanda, orang-orang Jawa yg didatangkan ke Pulau Sumatera buat ?Dipekerjakan? Di perkebunan-perkebunan yg dibuka oleh Belanda.


Sementara kelompok-grup yang saat ini mulai banyak terbentuk adalah atas dasar kesamaan hobi atau selera akan sesuatu. Ada kelompok gamer, yakni orang-orang yg mempunyai selera akan game berbasis komputer. Ada juga grup pecinta anak-anak, yakni orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap nasib anak-anak. Ada pula grup pecinta lingkungan, yang herbi informasi pelestarian lingkungan. Dan masih banyak lagi grup-kelompok yg didasarkan pada kecenderungan hal yang disukai.



Sumber:djepok.Blogspot.Com

Kelompok seperti ini dapat dikategorikan menjadi sebuah famili pula di mana anggota-anggota di dalamnya merasakan ketenangan pada interaksi.
Keluarga di masa sekarang, di satu sisi masih sama dalam bentuk yang terdapat, namun di sisi lain jua memunculkan bentuk yg tidak selaras, yg tidak terkait menggunakan pertalian darah & perkawinan. Bentuk-bentuk keluarga tersebut berusaha menyediakan hubungan yg nyaman bagi para anggota yg tergabung di dalamnya. Seperti halnya keluarga pada umumnya, interaksi antar anggotanya belum tentu berfungsi sebagaimana mestinya. Pada syarat eksklusif, interaksi pada dalam famili bisa berjalan menggunakan dingin, sehingga menyebabkan pertarungan terselubung di antara anggotanya. Setiap keluarga pada umumnya berusaha memberikan kenyamanan bagi para anggotanya.


Dengan kenyamanan tersebut, anggotanya dapat bertumbuh dan berkembang sebagai langsung yang aporisma, terutama buat memenuhi panggilan hidupnya. Kenyamanan tadi terwujud pada dukungan yg dihasilkan oleh para anggotanya. Begitulah yg terjadi dalam orang yang sukses menjawab panggilan hidupnya, galat satu faktor yg memampukannya merupakan adanya dukungan yg diberikan sang keluarga kepadanya. Dukungan ini bisa didapatkan, baik dari famili biologis maupun berdasarkan famili komunitas.


Peran Keluarga Dalam Panggilan Hidup



Sumber:www.Kaskus.Co.Id

Setiap orang sangat membutuhkan dukungan dari keluarganya pada menghadapi apapun persoalan hidupnya. Walaupun keluarga belum tentu bisa menjamin tuntasnya duduk perkara yang kita hadapi, akan tetapi dukungan tadi akan menguatkan kita buat bertahan pada merampungkan problem yg dihadapi.


Seorang aktivis tentu pula memiliki famili, paling tidak, dari dari sebuah keluarga jua. Dalam menjalankan aktivismenya tentu menghadapi berbagai duduk perkara terkait menggunakan isu yg digeluti sehari-hari. Kadang info tersebut menjadi begitu pelik dan menguras begitu banyak energi sehingga seseorang aktivis sanggup merasa begitu lelah luar biasa. Belum lagi perkara hayati lain yang nir berkaitan pribadi menggunakan berita aktivismenya, misalnya saja buat memenuhi kebutuhan sehari-hari, belum lagi jika menjadi aktivis yg menikah & mempunyai anak, maka masalah tadi menjadi kian kompleks.


Dukungan keluarga bagi seseorang aktivis tentu laksana oase yg menyegarkan dan selalu bisa memulihkan semangat yang luntur karena kegiatan seharian. Percakapan yang intim menggunakan pasangan, bermain menggunakan anak, ataupun rendezvous dengan saudara/orang tua, tentu sebagai penghiburan tersendiri. Seorang aktivis akan semakin dikuatkan dengan dukungan dari famili, apa pun bentuknya.


Namun, kadangkala dukungan tersebut tidak selalu tersedia. Tidak seluruh keluarga berkenan menaruh dukungannya pada pilihan hidup sebagai seorang aktivis, terlebih apabila berita yg dikerjakan penuh menggunakan tekanan berdasarkan rakyat ketimbang dukungan. Belum lagi bila dihadapkan dalam kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, aktivisme mengalami tantangan terberatnya. Bayangkan, bilamana seorang aktivis terpaksa banting setir lantaran sang anak meminta buat dibelikan seragam sekolah ataupun famili masih wajib berpikir apa yg bisa dimakan besok. Atau saat aktivis sakit, tetapi nir memiliki porto buat berobat. Belum lagi hal-hal lain yang disebut menggunakan cermin sosial yg terpampang pada mana pun mata memandang. Keteguhan buat menjalankan aktivisme pun seolah menipis tanpa adanya dukungan famili.


Dukungan berdasarkan famili, baik orang tua maupun pasangan, akan membantu meringankan masalah yg dihadapi. Tetapi bagaimana apabila itu memang nir tersedia sama sekali?


Ada keluarga lain yg siap ditemukan dan mampu ?Menggantikan? Peran pendukung. Ya, komunitas. Komunitas adalah famili baru yang sanggup kita temukan dan akan mendukung kita lantaran kesamaan visi/misi dalam hayati. Menemukannya memang problem lain, tergantung bagaimana kita memilih jalan & pergaulan dalam hidup ini. Sederhananya, keliru pergaulan hanya akan menambah masalah yg nir bermanfaat pada kehidupan kita. Bahkan tidak jarang, komunitas sebagai famili yang sangat suportif terhadap pilihan hidup kita, maka tak heran bila komunitas berbasis gosip aktivisme sanggup sebagai penopang bagi keteguhan hati seseorang aktivis. Misalnya Walhi, yg menjadi galat satu corong pembela lingkungan Indonesia, bagaikan sebuah wadah bernaung bagi para pejuang lingkungan untuk permanen setia dalam panggilan aktivismenya. Keberadaan komunitas demikian sangatlah membantu menjaga aktivis buat tetap hayati pada tengah kondisi yang berat.


Lalu, bilamana kita adalah keluarga, apakah kita siap buat memberikan dukungan yg diperlukan bagi aktivis selanjutnya?


***

































































Senin, 15 Juni 2020

Editorial Pro:Aktif Online Agustus 2015



Http://www.Kidnesia.Com/Kidnesia/


Potret-Negeriku/Warisan-Nusantara/
Mengibarkan-Bendera-Merah-PutihSalam kemerdekaan!
Salam Informatif & Transformatif!


Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang merdeka, Pro:aktif Online ingin ikut mengambil bagian dalam mengisi kemerdekaan ini dengan menyajikan berbagai informasi yang memberikan perubahan positif bagi masyarakat. Perubahan-perubahan yang diharapkan dapat terjadi itu dimulai dari bagian terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Untuk itu, Pro:aktif Online edisi Agustus 2015 ini mengambil tema "Keluarga". Dalam edisi ini, kami mengangkat berbagai isu seputar keluarga.


Konsep famili mengalami perubahan makna berdasarkan masa ke masa. Mulai menurut famili besar pada masa kemudian, hingga keluarga inti pada masa sekarang. Saat ini keluarga dianggap sebagai satuan terkecil di rakyat. Di dalam famili terjadi proses transfer nilai-nilai yg ingin diwujudkan pada warga . Nilai-nilai tersebut yg dibutuhkan dapat diwariskan pada generasi mendatang.


Keluarga poly berperan pada kemunculan para aktivis. Banyak aktivis yg tumbuh dan berkembang lantaran ide & dukungan keluarganya. Banyak pula aktivis yg justru tumbuh karena berbagai perkara yang dihadapi pada dalam keluarganya..


Rubrik Profil Pro:aktif Onlinekali ini mengangkat profil keluarga aktivis Antonius Sartono (Black)dan Elisabeth A.S. Dewi (Nophie). Hasil wawancara penulis dengan keluarga ini dirangkum dalam sebuah tulisan menarik tentang bagaimana keluarga aktivis ini membagi waktu untuk menjalankan kegiatan keluarga dan aktivisme mereka.


Dalam rubrik Pikir , penulis memaparkan tentang perubahan definisi dan bentuk keluarga dari masa ke masa serta peran penting keluarga dalam proses penemuan panggilan hidup seorang aktivis.


“Aktivisme selalu digerakkan oleh kasih sayang,” demikian salah satu kalimat yang disampaikan oleh penulis rubrik Masalah Kita . Dalam rubrik ini, penulis menceritakan pengalaman masa kecilnya bersama kedua orang tuanya yang menjadi aktivis. Selain kisah suka dan duka, penulis menceritakan bagaimana aktivitas kedua orang tuanya menginspirasinya sehingga menjadi seorang aktivis seperti sekarang ini.


Terbentuknya sebuah keluarga bukan semata-mata disebabkan oleh takdir. Ikatan suami dan isteri di dalam keluarga terjalin karena komitmen dan visi bersama. Penulis Rubrik Opini menguraikan mengenai pentingnya visi bersama di dalam keluarga. Ia juga mengungkapkan bahwa visi bersama di dalam keluarga juga perlu diarahkan menjadi sebuah visi transformatif. Visi transformatif merupakan sebuah visi yang mampu menempatkan peran setiap anggota keluarga di tengah lingkungan dan masyarakat, guna mendukung perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.


Bagi seorang aktivis yang banyak melakukan kegiatan, pengelolaan waktu secara efektif merupakan salah satu kunci keberhasilan. Bagaimana cara aktivis mengelola waktu mereka? Bagaimana agar mereka bisa menjadi aktivis profesional sekaligus sungguh-sungguh memperhatikan kehidupan pribadi dan hubungan dengan anggota-anggota keluarga? Dalam rubrik Tips, penulis membagikan kiat-kiat pengelolaan waktu yang lebih efektif.


Rubrik-rubrik lain yang melengkapi sajian Pro:aktif Online Agustus ini adalah rubrik Media yang mengangkat tentang cara pemanfaatan media sebagai sarana parenting di era internet dan rubrik Jalan-jalan yang menceritakan bagaimana para aktivis mengisi waktu luang mereka dan tempat-tempat wisata yang mereka kunjungi bersama keluarga.


Semoga setiap rubrik yang kami hidangkan dalam edisi ini dapat menginspirasi terjadinya perubahan baik dalam kerangka berpikir maupun pada dalam cara kita mengisi kemerdekaan yang telah kita jalani selama ini.


Selamat menikmati!




































Cloud Hosting Indonesia