Tampilkan postingan dengan label Anton Waspo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anton Waspo. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 Juni 2020

[OPINI] Proklamasi Sudah, Berdaulat Belum Sepenuhnya! Ironi Negeri Agraris Pengimpor Bahan Pangan

Penulis: Anton Waspo

Tragedi Impor Pangan
Impor pangan telah menjadi candu bagi pelaku impor. Pernyataan seseorang anggota pakar dewan ketahanan pangan nasional ini ada benarnya[i]. Sementara produksi pangan mengalami surplus dibandingkan jumlah konsumsi namun impor permanen dilakukan. Mencermati data-data yg diolah sang Bappenas dalam dokumen RPJMN 2015 ? 2019[ii]maka pernyataan itu benar adanya. Pada periode tahun 2009 ? 2012, terdapat surplus beras, cabe dan bawang merah namun impor tetap terjadi. Sedangkan buat kedelai, gula & daging sapi produksi dalam negeri memang defisit.


Tabel 1. Produksi, Konsumsi & Impor Bahan Pangan 2009 - 2012




Perdebatan tentang data produksi, konsumsi dan impor kerap terjadi. Ini yang menjadi pangkal masalah pertama di tataran kebijakan dan pengambilan keputusan untuk impor. Data produksi pangan yang tidak akurat menjadi pintu untuk memuluskan impor produk pangan.  Ambil contoh produksi beras, bisa jadi uang negara yang sudah dihamburkan untuk membeli beras lebih banyak daripada untuk memperbaiki peningkatan produksi pangan. Sudah jamak dimaklumi, membeli itu lebih murah sehingga membuat malas untuk memproduksi sendiri. Perlu alasan kuat untuk berhenti membeli dan mulai memproduksi sendiri.


Harga Produksi Pangan
Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Kementan membeberkan fakta tentang harga produksi beras di beberapa negara Asia[iii].  Biaya produksi padi per ton pada tahun 2000 di China USD71, India USD 81 , Filipina USD 85, Thailand USD 129 dan Vietnam USD 64. Indonesia dengan kondisi yang relatif sama tetapi biaya produksi beras per ton mencapai USD 82. Hanya sedikit di bawah Filipina dan jauh lebih murah daripada Thailand. Perbedaan efisiensi ini ada pada kebijakan pemerintah dengan memberikan subsidi untuk produksi dan proteksi untuk perdagangan produk lokal.


Pangkal masalah kedua adalah biaya produksi pangan di negara lain memang lebih murah karena kebijakan pemerintahnya mendukung untuk itu.  Miris memang melihat kondisi ini menjelang 70 tahun usia kemerdekaan. Wajar saja jika impor jadi pilihan karena perbedaan harga produksi beras antara di Indonesia dan negara pesaingnya yang cukup lebar, misal dengan Vietnam. Keseriusan untuk memproduksi pangan tentu berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Memproduksi pangan sendiri berkaitan dengan kemandirian,kemudian barulah dapat berbicara kedaulatan.


Data yang dipublikasikan Kementan RI tentang Ekspor dan Impor tanaman pangan menunjukkan Indonesia belum menjadikan sektor pertaniansebagai sektor prioritas pembangunan ekonominya. Mestinya pemerintah memiliki kebijakan yang kuat di sektor pertanian, sehingga negara tidak selalu tergantungkepada impor.  Akibatnya devisa banyakkeluar, produk lokal sulit bersaing dengan produk impor dan tidak membuka lapangan kerja baru di sektor pertanian.








Pada sisi lain, kebijakan impor pangan dilakukan atas alasan menjaga stabilitas politik & keamanan. Apabila harga berbagai komoditas pangandibiarkan mahal masyarakat konsumen akan marah sebagai akibatnya bisa mengganggu stabilitas politik & keamanan dalam negeri dengan segala pengaruh negatifnya. Akan namun di negeri yang tingkat korupsinya sangatlah parah seperti Indonesia, kebijakan ini patutlah diperdebatkan. Pada waktu yg sama nir tampak ada upaya yg benar-benar memperbaiki syarat ketersediaan pangan.


Pendapat bahwa porto produksi pangan harus bersaing dengan pasar internasional bisa diikuti asalkan secara bersamaan ada perbaikan setidaknya di kebutuhan dasar yg lain. Bagaimana mungkin pada saat yg sama membeli harga pangan mahal namun wajib membayar biaya kesehatan & pendidikan pula mahal? Belum lagi di rakyat perkotaan yg masih wajib membayar air minum menggunakan harga mahal.


Pada saat usia Negara ini 100 tahun kelak. Artinya  30 tahun lagi, apa yang dapat dipersiapkan agar Indonesia mandiri mencukupi kebutuhan pangan dan berdaulat memproduksi pangan? Rentang antara tahun 1970-an sampai 2000-an menjadikan30 tahun lamanya waktu yang dapat kita pelajari dari dampak yang kita rasakan sekarang : impor pangan karena tidak melindungi lahan produksi dan petani yang memproduksi atas nama perdagangan internasional. Lalu, sekarang 15 tahun kemudian kita masih terbata-bata dan baru mempersiapkan kebijakan perlindungan petani dan perlindungan lahan pertanian.


Menguatkan Produksi Pangan menuju Kedaulatan Pangan
Perdebatan soal data produksi yang menjadi celah argumentasi impor mutlak harus diperbaiki, setidaknya saat ini bila melihat data statistik produksi Kementan sudah mulai ada perbaikan. Data yang ditampilkan selalu dua versi : versi BPS dan versi Kementan.  Tetapi ini bukan yang utama, yang utama adalah pijakan untuk produksi pangan yaitu lahan dan sarana produksinya yang menjadikan biaya produksi yang tidak efisien. Akan tetapi, tidak efisien di sisi produksi bukan jawaban untuk impor bila memperhitungkan kedaulatan pangan.


Perbaikan produksi pangan tentu harus dimulai dari ketersedian lahan untuk produksi. Rencana pemenuhan ketersediaan pangan yang dicanangkan di awal periode pemerintahan SBY untuk mendistrubusikan lahan kepada petani sampai 10 tahun kemudian tidak jelas keputusannya.  Jika ada petani dan buruh tani tidak mampu memproduksi pangan karena tidak ada lagi lahan, maka solusijangka panjangnya tentu penyediaan lahan. Impor pangan dengan harga murah bagi mereka adalah jawaban jangka pendek.


Pendistribusian pulang lahan pada buruh tani & petani kecil tidaklah relatif jika tidak dibarengi dengan perbaikan infrastruktur utama misalnya irigasi dan akses transportasi buat distribusi barang & wahana produksi. Pembatasan alih fungsi huma dari huma pangan ke huma komersial lain pula absolut dijalankan. Untuk itu UU tentang lahan pertanian tak pernah mati masih dapat diperlukan buat memproteksi serbuan impor pangan.


Selanjutnya,jika sehabis mempunyai lahan & dukungan infrastruktur tetapi semua wahana produksi wajib balik dibeli mengikuti harga pasar jua menjadi sia-sia. Pada titik ini petani hanya akan sebagai tukang tanam. Maka perlu dibarengi dengan kemauan pada menaikkan kemampuan petani buat menggunakan teknologi yang sesuai menggunakan kondisi alam yang dihadapi. Pengakuan akan kemampuan petani memproduksi & memperbaiki kualitas benih perlu diletakkan secara proporsional, janganlah buru-buru dicap pencurian hak milik intelektual atas benih. Atau dicap petani bukan ilmuwan sebagai akibatnya nir boleh memperbaiki kualitas benih.


Pada waktu yg bersamaan, pola konsumsi menjadi bagian berdasarkan budaya perlu jua diubahsuaikan kembali. Gandum bukan pangan orisinil Indonesia. Tiga puluh tahun sejak tahun 1970 dengan tumpuan pada riset pangan instan & pemasaran yang masif, sekarang kita lihat hasilnya. Gandum merupakan bagian berdasarkan budaya pangan kita. Sayangnya semua impor. Demikian juga beras, bersamaan menggunakan pendekatan bahwa makanan pokok Indonesia yg bernilai gizi tinggi adalah beras maka inilah jadinya waktu ini. Seberapa pun kencang kita ingin menghasilkan beras, kebutuhan beras akan selalu naik diiringi peningkatan jumlah penduduk.


Produksi beras yang bertumpu pada daya dukung alam ada batasnya. Sehingga kampanye diversifikasi pangan non beras memang mutlak dilakukan. Pilihan pangan dikembalikan pada kondisi alamnya. Sayangnya yang kita gunakan saat ini baru pendekatan kampanye. Bandingkan pendekatan iklan pemasaran mie instan & roti serta kue yang menjadikan gandum dan olahannya digemari masyarakat.


Pendekatan program pertanian yang represif sudah tidak akan memperoleh tempat di Indonesia, seperti periode sebelum tahun 2000. Membebaskan pilihan petani memproduksi bahan pangan dengan mengikuti selera pasar seperti saat ini juga tidak tepat. Petani yang tidak mampu akan kalah bersaing, konsumen pangan akan merana karena harga mahal. Maka dua sisi ini harus dilakukan berbarengan : (1) melindungi produksi dan produsen pangan dalam negeri untuk memproduksi keberagaman pangan serta (2) menciptakan kebutuhan atas pangan produksi sendiri dengan medium yang tepat.




[i]Khudori ( Kecanduan Impor Pangan Koran Sindo 8 Agustus 2011).
[ii]Studi Pendahuluan RPJMN Bidang pangan dan pertanian 2015 – 2019 Bappenas (2013)
[iii]Kebijakan proteksi dan promosi komoditi beras di Asia dan prospek pengembangannya di Indonesia, Analisis Kebijakan Pertanian Vol.02 No.04 2004 p340 -353
































































Cloud Hosting Indonesia