Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Oktober 2004. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Oktober 2004. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Agustus 2020

[MEDIA] Resensi Film: Membunuh Hari



Judul : Membunuh Hari (Killing the Days)
Tahun : 2002
Produksi : Institut Sosial Jakarta & Minima, 2002
Durasi : 31’26”
Direktur/Produser : J.Sudrijanta
Cameraperson : Adeline M.T.
Editor : Adeline M.T., Hendar Putranto
Editing operator : Hendra
Media : MiniDV, VCD, DVD
Film dokumenter yang dipersembahkan oleh Institut Sosial Jakarta ini mengajak kita untuk melihat secara langsung dan turut merasakan apa saja yang dialami oleh sebagian korban penggusuran di Teluk Gong, Jakarta.


Cerita diawali dengan kisah yang membawa mereka hingga tinggal di daerah tersebut. Sesungguhnya tinggal di bantaran sungai bukanlah pilihan yang menarik. Pekerjaan yang tidak tetap dan pendapatan yang begitu minim membuat mereka tidak memiliki pilihan yang lebih baik. Banyak dari mereka yang sudah tinggal di wilayah itu selama puluhan tahun.


Kebijakan Pemerintah Daerah untuk melakukan penggusuran semakin menghimpit warga Teluk Gong. Penggusuran yang dilaksanakan berdasarkan Perda No.11/Thn. 1988 tersebut benar-benar menjadi monster yang memporakporandakan hari-hari warga Teluk Gong. Warga Teluk Gong dianggap telah melanggar Perda tersebut karena mendirikan bangunan di pinggir kali.


Sekalipun mereka dianggap ilegal, bukan berarti pemerintah boleh melakukan penggusuran dan pembakaran tanpa ganti rugi seperti itu. Untuk kesekian kalinya warga Teluk Gong harus menyaksikan penghancuran dan pembakaran rumah dan harta benda mereka di depan mata mereka. Tidak banyak yang bisa diselamatkan karena penggusuran tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Perasaan marah, sedih, dan kecewa benar-benar memenuhi diri warga yang menjadi korban. Belum lagi ditambah tindakan aparat yang sering kali menggunakan kekerasan dalam melakukan tugasnya. Tidak cukup harta bendanya saja yang musnah, namun keselamatan warga Teluk Gong pun ikut terancam.


Perda yang dipakai sebagai alasan untuk melakukan penggusuran nyatanya hanya mempunyai kekuatan untuk menggempur gubuk-gubuk reyot di sekitar bantaran sungai tersebut. Gedung dan tempat tinggal mewah yang juga mengambil lokasi di sekitar bantaran sungai tidak pernah tersentuh Perda tersebut sedikit pun. Lebih hebatnya lagi, warga Teluk Gong yang digusur itu juga dijadikan kambing hitam ketika banjir terjadi. Sedangkan penghuni rumah megah di sekitar bantaran sungai tersebut tidak pernah diusik. Sungguh ironis melihat pembedaan perlakuan tersebut. Padahal warga Teluk Gong juga harus membayar pajak untuk tanah becek yang mereka tempati.


Satu pertanyaan yang kemudian muncul adalah untuk kepentingan siapakah penggusuran ini dilakukan? Kepentingan rakyat kecilkah (rasanya mustahil), kepentingan pemerintah, atau kepentingan para pemilik modal? Kasus penggusuran di Teluk Gong seperti memperlihatkan bahwa hak manusia diukur dari banyak sedikitnya harta atau modal yang dimiliki. Alangkah menyedihkan jika memang demikian adanya.


Warga Teluk Gong pun tiada habisnya meneriakkan suara mereka untuk meminta pertolongan atau sekedar meminta perhatian dari Pemerintah, aparat polisi, mahasiswa dan masyarakat umum mengenai nasib mereka. Perjuangan keras mereka untuk memperoleh hak-hak mereka, memperoleh simpati dari Komnas HAM dan beberapa elemen masyarakat. Mereka masih berjuang bersama untuk memperoleh hak ekonomi dan sosial atas perumahan yang layak sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB Pasal 15 mengenai dan Konvenan Internasional tentang hak ekonomi, sodial dan budaya, Pasal 11.


Wajar kalau warga Teluk Gong menuntut hak mereka. Menurut resolusi PBB No. 77/Thn. 1993 penggusuran paksa seperti yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga Teluk Gong itu dapat dimasukkan dalam kategori kejahatan berat melanggar HAM. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia pun telah membuat patokan yang sangat jelas berkaitan dengan hal ini yaitu untuk warga yang menempati tanah secara ilegal selama lebih dari 3 tahun, berhak untuk memperoleh ganti rugi untuk memperoleh pemukiman kembali serta kompensasi atas aset yang hilang. Sedangkan untuk yang kurang dari 3 tahun, jumlah ganti rugi disesuaikan dengan sifat kerugian yang dialami oleh setiap rumah tangga.


Terlepas dari itu semua, warga Teluk Gong harus mulai membangun kembali hidup mereka. Menanti hari depan yang tak pasti karena keputusan mengenai ganti rugi atau pun relokasi tak kunjung mereka dapati. Penggusuran yang terjadi berulang kali mungkin membunuh sebagian hari-hari warga Teluk Gong. Namun mereka tetap menjalani hidup mereka dan hari-hari panjang yang masih tersisa. Mungkin saja setelah warga Teluk Gong yang bertahan di lokasi tersebut berhasil mendirikan kembali gubuk-gubuk mereka, pemerintah akan melakukan penggusuran kembali.


Penggusuran tersebut bisa dikatakan tidak berhasil. Terbukti bahwa setelah penggusuran pun 85 % warga masih tinggal di daerah tersebut dalam radius 5 Km, 10 % warga menyingkir ke daerah pinggiran Jakarta, dan 5 % sisanya masih tinggal di tempat semula. Penggusuran tidak akan pernah berhasil selama pemerintah hanya melakukan penggusuran dan tidak melakukan penanganan paska penggusuran seperti pemenuhan hak-hak korban penggusuran.


Film yang berdurasi singkat ini cukup menarik untuk ditonton. Tontonan yang menampilkan kejadian riil saat penggusuran dan kesaksian langsung dari korban ini, mampu membuka mata kita tentang secuil ketidakadilan di negeri ini. Film ini menyajikan realita yang sangat dekat dengan kita namun sering kali luput dari perhatian kita. Melalui film ini kita dapat melihat bukti nyata bagaimana kebijakan pemerintah itu sangat tidak berpihak kepada rakyat kecil. Mungkin film dapat menjadi bahan refleksi yang baik untuk kita, seberapa besar perhatian kita untuk orang-orang dan lingkungan di sekitar kita. (Lisa Ekawati)








































Jumat, 31 Juli 2020

[PIKIR] Neoliberalisme Ketika uang makin digdaya …

“… neo-liberalisme tidaklah alamiah ... bisnis dan pasar memang punya tempat, tetapi tempat itu tidak bisa menjajah seluruh ruang hidup keberadaan manusia…”
—Susan George, dalam A Short History of Neoliberalism
pada Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Maret, 1999
Alkisah seorang perempuan karir bernama Yuni, asal Bandung, 29 tahun. Karena ingin selalu menjaga penampilannya, ia menuruti apapun kata iklan agar senantiasa tampil cantik, dengan membeli krim kulit yang mengandung vitamin E sebagai anti-ageing atau anti-penuaan karena sifatnya yang anti-oksidan sehingga kulit tetap halus dan shampoo yang juga diperkaya dengan vitamin E agar rambut makin subur. Sepanjang hari dan malam ia oleskan krim itu. Ia juga rajin keramas. Sebulan lebih, kulitnya tetap keriput di sini-sana, tak juga bertambah halus, dan rambutnya tetap kering serta tak subur. Ia pun ke dokter dan terpana mendengar jawaban jujur sang dokter itu: vitamin E, atau d-alfa tokoferol, hanya bisa diserap tubuh lewat pencernaan, bukan kulit, kulit kepala, apalagi rambut[1].
Kasihan Yuni. Demikian juga dengan ribuan atau jutaan Yuni yang lain di muka bumi ini.
Terlena oleh iklan sesat yang memancing basic instinctnya sebagai manusia lemah, mereka menjadi korban keserakahan penumpukan laba besar-besaran. Betapa tidak, majalah The Economist [2] yang dikutip oleh Noreena Hertz[3] memaparkan bahwa dalam periode 1975 hingga 1996 diklaim sudah ditemukan 1.223 jenis obat baru. Namun, hanya 13 di antaranya dibuat untuk menangani berbagai penyakit tropis yang merenggut jutaan jiwa seperti malaria, tipus-kolera-disentri, demam berdarah, dan lain-lain. Sisanya?, adalah obat anti gemuk, penghalus kulit wajah, penghilang kerut, dan berbagai obat kosmetik lainnya[4]. Lepas dari tingkat kemanjurannya, jelas pasar obat-obat seperti ini sebagian besar adalah mereka seperti Yuni, yang mudah terlena dan tergiur oleh iklan.
Bagaimana kita memahami gejala semacam ini?


Gejala Baru: Tata Ekonomi Politik Baru
Sebuah tata eknonomi politik baru sedang melaju. Ia bukan gejala alamiah, namun bukan pula gerak sejarah yang tak terelak. Gejala ini lahir dari revolusi ekonomi liberal. Jantungnya adalah dilepasnya hak istimewa atas modal d ari berbagai tata aturan teritorial maupun nasional . Gejala ini melahirkan sebuah monster baru dalam skala global, yaitu kekuatan bisnis internasional. Nama gejala ini adalah ‘neo-liberalisme’[5].
Apa neo-liberalisme itu?
Menurut seorang ekonom B-Herry Priyono, arti neo-liberalisme…
“ …dapat diringkas dalam dua lapis definisi. Pertama, neo-liberalisme adalah faham/agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo oeconomicus atas dimensi lain dalam diri manusia (homo culturalis, zoon politikon, homo socialis, dsb). Kedua, sebagai kelanjutan pokok pertama, neo-liberalisme kemudian juga bisa dipahami sebagai dominasi sektor finansial atas sektor riil dalam tata ekonomi-politik. Definisi yang pertama lebih menunjuk ‘kolonisasi eksternal’ homo oeconomicus atas berbagai dimensi antropologis lain dalam multi-dimensionalitas manusia, sedangkan definisi yang k
edua menunjuk ‘kolonisasi internal’ homo financialis atas aspek-aspek lain dalam multi-dimensionalitas tata homo oeconomicus itu sendiri.”[6]
Jelasnya, jantung neo-liberalisme adalah pada dua gagasan berikut. Pertama, manusia dilihat hanya sebagai homo oeconomicus. Artinya,cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah salah satu dari berbagai corak hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya corak yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia. Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi kita maupun tindakan dan hubungan legal, sosial dan politis kita hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi dalam transaksi ekonomi.
Kedua, gagasan ekonomi politik neo-liberal adalah argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu lintas modal yang dimiliki oleh pribadi (orang-perorangan) dilepaskan dari kaitannya dengan proses survival sosial dan ditujukan semata untuk akumulasi laba. Bagi mereka yang pernah sedikit belajar ekonomi, mungkin jelas bedanya dua hal ini. Bila dalam liberalisme klasik (misalnya menurut Adam Smith) kepemilikan privat masih dianggap punya tugas sosial untuk menyejahterakan seluruh masyarakat, dalam neo-liberalisme kepemilikan privat tersebut sudah demikian absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat (misalnya gagasan Milton Friedman)[7].
Maka, ketika kita berbicara mengenai globalisasi ekonomi, kita sesungguhnya tengah bicara mengenai tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal. Di dalamnya, ada tiga hal. Pada (1) tataran tindakan, tata kekuasaan global ini bertumpu pada praktek bisnis raksasa lintas negara, (2) pelakuutamanya adalah perusahaan-perusahaan transnasionaldan (3) proses kultural idelologis yang dibawa adalah konsumerisme. Bagaimana ia bekerja?
Dalam globalisasi, praktik perdagangan bisnis transnasional didorong dan didukung oleh regulasi/kesepakatan internasional, yang kerap disebut sebagai aturan baru seperti GATT (General Agreements on Tariffs & Trade), GATS (General Agreements on Trade in Services), TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights), TRIMs (Trade Related Investment Measures), AoA (Agreement on Agriculture), dll. Pada saat yang sama ideologi konsumerisme juga didorong oleh kekuasaan luar biasa dari bisnis periklanan dalam bentuk logo, merk, dan label. Di bawah sadar ditanamkan prinsip kenikmatan, prestise, status, kemewahan pada banyak individu. Karenanya, akan lebih mudah dipahami bahwa ketika berbagai aturan baru tersebut mendesak berbagai negara untuk menerima mantra deregulasi, liberalisasi, privatisasi. Pada saat yang sama gaya hidup global, budaya, identitas yang diiklankan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Lihat diagram di bawah ini.

Sumber: Yanuar Nugroho, Reinventing Globalisation, The Jakarta Post, 30 December 2002)
Ketiga hal ini berakar pada makin keramatnya hak pribadi untuk menumpuk laba . Untuk itulah, maka modal terus bergerak memburu kawasan-kawasan yang mendatangkan laba paling besar. Dan kawasan itu tidak saja berarti teritorial, melainkan semua bidang gerak. Maka disinilah kita berada pada periode dimana berbagai kawasan itu dijarah: kultur, hukum, politik, ilmu, tradisi, dan berbagai aspek dari kehidupan bersama secara intensif mengalami proses komersialisasi.
Maka, jelas jika agenda peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, demokrasi, perlindungan anak-anak, perempuan dan hak-hak asasi tidak menjadi prioritas. Artinya, kalau proses akumulasi laba ini juga diikuti peningkatan kesejahteraan, ya syukurlah. Tetapi kalaupun tidak, memang hal itu tidak pernah menjadi tujuan dari logika akumulasi laba. Meningkatnya kesejahteraan hanyalah akibat dan bukan tujuan dari gejala neo-liberalisme ini. Begitu juga dengan demokrasi dan hak-hak asasi manusia[8]. Dalam arus gejala ini, presiden boleh ganti, pemerintahan dan kabinet boleh berubah-ubah, bahkan dengan cara-cara yang sangat demokratis. Namun, yang lolos dari proses demokratisasi ini adalah kinerja akumulasi laba yang bebas keluar masuk suatu negara tanpa melalui pemilu. Dan akibatnya sungguh dahsyat. Kekuasaan rakyat (democracy) yang diwujudkan dalam pemerintahan negara telah digilas oleh kekuatan uang dalam wajah kekuasaan korporasi (corpocracy), seperti digagas oleh Alvaro J. de Regil (2003)[9].
Dicatat oleh Medard Gabel dan Henry Bruner dalam bukunya Global Inc. (2004), corpocracy itu berekspansi secara drastis dari 3.077 (tahun 1914), ke 39.463 (1994), menjadi 63.312 perusahaan transnasional di tahun 2000. Sekitar 85% persediaan gandum di dunia dikuasai 6 perusahaan transnasional; lima perusahaan transnasional menguasai 90% dari industri musik; 7 perusahaan menguasai 95% industri film dunia dan 75% industri mobil dunia ada di tangan 6 perusahaan mobil[10].

Gejala Baru – Refleksi Baru

Selama ini, pembicaraan mengenai demokrasi dilakukan dengan pengandaian bahwa negara (dalam rupa pemerintah) adalah pemegang kekuasaan tertinggi masyarakat. Namun ingat, bahwa gagasan ini muncul dari sejarah melawan monarki pada abad 17-18. Dalam tata kekuasaan waktu itu, demokrasi merupakan gerakan untuk mengontrol kekuasaan monarki, karena kekuasaan merekalah yang punya konsekuensi paling besar terhadap hidup bersama.
Namun apa yang konstan dari target demokratisasi bukanlah sultan, raja, presiden, kaisar atau bahkan militer, melainkan setiap penggunaan kekuasaan yang punya konsekuensi pada hidup bersama. Bahwa pada saat itu sosok kekuasaan tersebut berupa raja, presiden atau perdana menteri, adalah kontingensi historis(historical contingency) dan bukan keniscayaan logis (logical necessity).Tuntutan logisdari gerakan demokrasi adalah kontrol terhadap bentuk-bentuk praktek kekuasaan yang punya konsekuensi pada hidup bersama.
Saat ini, dalam kontingensi historis yang bertumpu akumulasi modal, muncul berbagai kekuasaan baru yang praktiknya punya konsekuensi besar pada hidup masyarakat. Salah satu yang terpenting adalah corpocracy tadi. Maka, pembicaraan mengenai tata dunia global tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis yang kini menggurita adalah wacana tanpa substansi. Namun, sebaliknya juga konsekuensinya: setiap wacana demokrasi tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis adalah wacana yang kekurangan isi[11]. Mengapa? Dalam benang ruwet kekusaan bisnis itu ada tersembunyi soal akuntabilitas yang tak tersentuh.
Mari kita lihat fakta sederhana berikut. Berapa besar gaji yang layak diterima seorang pimpinan puncak perusahaan (Chief Executive Officer, CEO) di Indonesia? Sementara benar bahwa pertanyaan ini secara normatif sulit djawab karena rumit, tergantung besar kecilnya perusahaan, jenis industri yang digeluti, kinerja perusahaan, dan sebagainya—Wall Street Journal punya jawaban itu. Per 5 Maret 2003, umumnya seorang CEO perusahaan besar di Indonesia rata-rata bergaji pokok Rp1,78 miliar per tahun. Kisaran gajinya, terendah Rp1,39 miliar dan paling tinggi Rp 4,8 miliar. Itu per tahun. Khusus di Jakarta, rata-rata gaji yang diterima para CEO lebih besar lagi. Data tersebut menyatakan bahwa umumnya para CEO di Jakarta menerima gaji pokok Rp1,98 miliar per tahun. Kisarannya, paling rendah per tahun seorang CEO di Jakarta menerima gaji pokok Rp1,55 miliar dan paling tinggi Rp5,37 miliar[12].
Maka, jika untuk gaji saja perusahaan mampu membayar setinggi itu, mengapa tidak hukum dan aturan dibeli untuk memuluskan sebuah praktik bisnis? Mengapa tidak kebutuhan masyarakat direkayasa? Maka soal pembuangan limbah, upah buruh atau hak konsumen mendapat informasi yang layak tentang sebuah produk, tak lebih rumit dari sebuah urusan bisnis biasa sehari-hari: jual-beli.
Catatan Akhir
Tahun 2002, WHO mengeluarkan laporan mengerikan. Empat juta orang mati karena infeksi saluran pernapasan; 2,2 juta kehilangan nyawa karena tipus, kolera, disentri; 1,7 juta jiwa melayang karena TBC; 1 juta tewas karena malaria dan 900.000 meninggal karena demam berdarah, sementara 3 juta lainnya mati karena AIDS[13]. Kehendak Tuhan? Di ujung refleksi, nampaknya tidak demikian. Kecuali kita mengakui bahwa seluruh hidup bersama kita, termasuk kesehatan adalah sebuah arena pencarian untung, kita tidak akan bisa memahami fenomena semacam itu, fenomena yang kini makin nampak seperti takdir tak terelak.
Gejala neo-liberal adala fakta tak terbantah dimana uang secara praktis sudah menjadi adidaya. Kepentingan politik bisa dibeli, hukum bisa ditekuk, aturan bisa ditarik ulur. Bahkan, hidup bisa diperjualbelikan. Maka, jangankan seorang Yuni, negara sebagai badan publik pun sudah tidak berdaya, bertekuk lutut di bawah kekuasaan kapital di jaman ini. (Yanuar Nugroho*)
***
*Pegiat sosial di The Business Watch Indonesia dan Uni Sosial Demokrat Jakarta
Mahasiswa pascasarjana pada PREST (Policy Research in Engineering, Science & Technology), The University of Manchester, Inggeris Raya



[1] Vitamin E hanya larut dalam lemak dan diserap bersamaan dengan lemak untuk kemudian masuk ke dalam darah dengan lipoprotein tertentu. Sebagai pelengkap, lihat Republika:
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=2&id=162555&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=204
[2] Lihat The Economist, 10 Nopember 2001
[3] Lihat Noreena Hertz, The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy, London: William Heinemann, 2001.
[4] Porsi terbesar dana untuk riset obat-obatan dilakukan untuk riset kosmetik, anti gemuk dan kecantikan. Tahun 1998, dari 70 milyar dollar alokasi riset obat, hanya 300 juta dollar (0,43%) diperuntukkan riset obat AIDS dan 100 juta dollar (0,14%) untuk riset obat malaria. Lihat Noreena Hertz, op.cit.
[5] Lihat B. Herry Priyono dan Yanuar Nugroho dalam Selamat Datang Jaman Baru, Sinar Harapan, dimuat bersambung 5-6 September 2001
[6] Lihat B. Herry-Priyono, ‘Marginalisasi a la Neo Liberal’, Basis, Mei-Juni, 2004. Lihat juga B. Herry-Priyono ‘Dalam Pusaran Neoliberalisme’ dalam I. Wibowo & F. Wahono (eds), Neoliberalisme, Yogyakarta: CPS, 2003, hlm. 47-84.
[7] Lihat B. Herry-Priyono, 2003, op.cit.
[8] Lihat B. Herry-Priyono dan Yanuar Nugroho (2001), op.cit.
[9] Lihat Alvaro J. de Regil, Neoliberalism and Its Dogma: The Implications of its Philosophical Postulates, The Jus Semper Global Alliance, 2003. Di sana ia menggambarkan corpocracy sebagai munculnya secara dramatis sentralitas sosok kekuasaan perusahaan-perusahaan raksasa dalam tata ekonomi politik global yang menentukan semakin banyak aspek kehidupan kita, mulai dari makanan, minuman, pakaian, kendaraan sampai film dan musik yang kita dengar.
[10] Medard Gabel & Henry Bruner, Global Inc.: An Atlas of the Multinational Corporation, New York: The New Press, 2003, hlm. 31.
[11] Lihat B. Herry-Priyono dan Yanuar Nugroho (2001), op.cit.
[12] Sumber: The Wall Street Journal (Career Journal), 5 Maret 2003. Catatan : [1]. Kisaran kompensasi ini disusun berdasarkan angka terendah ( low salaries) dan tertinggi (high salaries) serta angka rata-rata ( average) untuk masing-masing posisi jabatan. [2]. Angka gaji terendah merupakan angka rata-rata dari 1/3 sampling frame populasi dan angka gaji tertinggi merupakan angka rata-rata dari 2/3 sampling frame populasi. Angka rata-rata (average) merupakan rata-rata keseluruhan sampling frame populasi. [3]. Bonus merupakan insentif dalam bentuk tunai yang diberikan dalam jangka waktu kerja tertentu. Bonus bisa berupa opsi saham, variable pay, bonus, penghargaan, dan komisi. [4]. Benefit merupakan kompensasi bukan tunai yang diterima berdasarkan angka estimasi rata-rata total sampling populasi.
[13] Lihat di www.who.int


















































[MEDIA] Sinopsis Film: RODA RAKYAT



Pimpinan Produksi: J.Sudrijanta
Cameraperson/Editor: Adeline M.T.
Editing operator: Hendra
Produksi: Minima, 2003
Media: Mini DV, VCD, DVD
Bahasa : Indonesia dengan subjudul dalam bahasa Inggris.
Durasi: 43 mnt


Sebuah film dokumenter tentang mantan pengemudi becak dan usahanya buat bertahan hayati di Jakarta. Film ini mengambil lokasi di ?Teater Kecil? Taman Ismail Marzuki sang Dewan Kesenian Jakarta & Cinema Society dan dalam beberapa event/peristiwa lainnya.


Untuk Mamat, becak merupakan lebih menurut sekedar indera buat bekerja. Ia jatuh ke dalam lembah kemiskinan yg makin mendalam semenjak satu-satunya harta yg dimilikinya disita oleh Pemerintah DKI Jakarta. Bersama menggunakan rekan-rekannya para pengemudi becak, mereka menuntut & memperjuangkan hak mereka buat permanen bekerja. Becak jua lebih dari sekedar indera transportasi. Becak merupakan sebuah asa tentang masa depan kota yang bebas polusi. Sebagaimana roda terus berputar, mereka terus berjuang. Disatukan sang harapan & semangat yg sama: Rakyat wajib menang!













[MASALAH KITA] Tulang rusuk yang hilang? Refleksi hidup bersama seorang aktivis

Kami, tidak pernah bercita-cita jadi aktivis, tapi melihat kondisi yang ada di sini, kami terpanggil untuk itu. Pada akhirnya, teman-teman jugalah yang menyandangkan gelar aktivis itu ke bahu kami”.
(Seorang aktivis mahasiswa, Bandung, 1999)
Kami baru menikah bulan Februari yang lalu, pada saat dunia merayakan hari kasih sayang. Sebuah perhelatan sederhana namun meriah di halaman rumah orangtua saya menandai mulainya status saya sebagai seorang istri. Namun tak hanya itu. Istri dari seorang aktivis. Usai hingar-bingar perhelatan, mulailah kami menapaki hidup. Kami tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota Solo yang uang mukanya saja (bukan kreditnya) dicicil 13 kali oleh suami saya. Maklum, namanya juga aktivis, walau sudah lulus S1 sejak 1994, mana bisa membayar uang muka sekian belas juta sekaligus. Rumah ini, ketika Bapak saya berkunjung, diberi sebutan mewah-mabur, artinya, mepet sawah, madhep kuburan (dekat sawah dan menghadap kuburan). Geli juga, tapi itu sebutan yang tepat.

Rumah kecil ini tak jarang penuh dengan teman-sahabat yg seringkali berdiskusi dan bahkan bermalam disana. Wah, kadang aku senang berandai-andai buat membangun tempat tinggal ini jadi 2 lantai sehingga terdapat privasi bagi kami. Setidaknya agar begitu anak kami lahir, tidak perlu saling mengganggu antara asap rokok dengan tangis bayi. Tapi, mengingat pekerjaan suami, rasanya jua butuh waktu lama buat mewujudkan virtual itu. Lantaran buat makan sehari-hari saja, tak jarang aku harus lebih sering memutar otak kiri (buat belanja) daripada otak kanan (buat meracik hidangan) agar kebutuhan itu tercukupi. Sementara buat menghentikan kegiatan diskusi mereka, cita rasanya pula tak mungkin. Karena itulah jadwal malam hari kalau suami saya ada pada rumah selama 10 hari dalam sebulan. Yang 20 hari beliau bagikan buat teman-teman pada kota-kota lain dalam seminar-seminar, ceramah, lokakarya atau lainnya.
Itulah pengalaman saya menikah dengan seorang aktivis. Mungkin delapan bulan terlalu cepat untuk mengatakan bahwa saya tidak terlalu mempermasalahkan aktivitasnya. Atau, siapa tahu memang persoalan yang lebih pelik belum datang menimpa kami. Tapi melihat diri saya yang juga ‘sempat’ menjadi aktivis sebelum menikah (dan masih ingin tetap menggeluti aktivitas sosial setelah menikah), saya melihat setidaknya ada pengalaman berbeda yang dialami oleh kawan saya, yang notabene bukan aktivis, menikah dengan seorang aktivis. Dia seorang wanita karir yang cukup mapan secara ekonomi, namun pada akhirnya dia kesulitan mengikuti gaya hidup suaminya yang kelewat sederhana (sementara dia sangat trendy dan modis!). Untuk membeli barang baru pun ia harus berdiskusi panjang atau mendapat ceramah dari suaminya itu.
Lalu, apakah lalu menikah menggunakan aktivis (baik itu akhirnya menjadi sepasang aktivis juga satu aktivis dan satu bukan) menjadi penuh konsekuensi pada banyak sisi?
Apakah aktivis sosial itu? Apakah yg sebenarnya beliau lakukan? Apakah sebagai aktivis merupakan ?Panggilan?? Atau sekedar gengsi-gengsian? Saya pribadi mencatat, menurut pergumulan aku menggunakan aneka macam kegiatan sosial, aktivis dipandang menjadi sebuah ?Simbol kepahlawanan? Pada jaman ini. Ia timbul pada bentuk perlawanan, mulai dari sekedar merogoh loka sebagai oposisi sampai yang sangat radikal sekalipun, terhadap ketidakadilan. Tetapi ironisnya, juga pada catatan aku , aktivis yg selalu sebagai tumpuan semua pekerjaan melawan ketidakadilan itu nir pernah menerima apa-apa. Apakah ini kodrat sejatinya para aktivis sosial?
Aktivis Indonesia masih berkabung atas meninggalnya Munir, seorang pejuang HAM. Tetapi kematiannya masih menyisakan banyak pertanyaan saat orang mulai mengkaitkan peristiwa kematian ini dengan sejumlah aktivitas yg beliau jalani sebelumnya sebagai pilihan hidup. Sampai saat ini pun berbagai media seringkali diwarnai menggunakan berbagai tulisan mengenai hilangnya aktivis buruh, penculikan & penyiksaaan aktivis, teror & ancaman yang sedikit poly mengungkapkan situasi yang dihadapi oleh para aktivis tadi.
Namun sebagaimana kutipan pada awal tulisan ini, seingkali menjadi aktivis itu bukanlah impian sejak awal. Menjadi aktivis, acapkali dimulai berdasarkan sebuah ?Keterjebakan?, atau ?Kesadaran? Yg melahirkan ?Panggilan?. Suami aku bercita-cita menjadi masinis (saat masih mini ), insinyur teknik nuklir (sebelum kuliah) & bahkan seniman musik (saat kuliah). Saya sendiri juga bercita-cita sebagai insinyur yang bekerja di pertambangan minyak dan punya poly duit. Kini, tidak satupun berdasarkan ?Harapan? Kami itu tercapai.
Suami aku ?Tersadar? Pada bepergian hidupnya bahwa terdapat nilai yang lebih tinggi daripada sekedar menjadi insinyur teknik industri. Dia pun mengolah ?Panggilan? Itu (dan wajib rela berjarak menggunakan hobi musiknya) buat kemudian memilih jalan hayati sebagai aktivis sosial dan seorang pengajar hingga sekarang. Saya sendiri ?Terjebak? Waktu ingin mengenal dunia LSM lebih jauh. Bekerja menjadi peneliti pada LSM, mau tak mau aku dihadapkan pada segunung berita akan ketidakadilan dunia ini. Menutup mata? Tak mungkin. Itu hanya akan menipu hati nurani aku sendiri, yg sebenarnya sudah tergerak semenjak kuliah. Maka, ya sudah, aku terima ?Keterjebakan? Itu, & sekarang malah menghidupinya.
Secara generik saya temukan, baik ?Pencerahan? Juga ?Keterjebakan? Yg sekarang diolah menjadi ?Panggilan hayati? Aktivis itu bersumber lantaran melihat kondisi ketidakadilan tersebut merambat ke segala bidang. Dalam penelusuran data-data waktu saya sebagai peneliti, ketidakadilan itu melanda bidang politik, ekonomi, kepercayaan , pendidikan, kesehatan, & masih pada poly bidang hidup lain yang berkembang pada negara kita. Berikut ini hanya model berdasarkan apa yg mampu aku cerna secara terbatas: agama dijadikan institusi konfliktual, pendidikan hanya dimiliki anak-anak berduit, kesehatan hanya menjadi hak mereka yang beruang (betapa tidak, hanya orang kaya yg bsia membayar dokter-dokter terbaik dan mendapatkan perawatan kesehatan karena harga obat acapkali mencekik!). Itu baru sebagian. Belum lagi soal harga beras yg merugikan petani atau upah buruh yg demikian rendah.
Keprihatinan semacam ini baik secara intelektual, emosional dan bahkan dalam keseharian hidup, ditunjukkan dengan jelas oleh banyak aktivis. Menjadi aktivis tak bisa tidak harus ditunjukkan dalam sikap egaliter, demokratis dan partisipatoris, yang harus mereka hidupi. Karenanya tak heran jika sebutan aktivis itu dibarengi dengan gelar idealis. Kata idealis sendiri seharusnya berkonotasi baik. Cuma, pada tahap berikutnya, idealis diidentikkan dengan ‘mengambil pilihan untuk memperjuangkan cita-cita atau keyakinan, meski ganjarannya adalah kemiskinan, setumpuk masalah, penolakan, teror, dan ancaman’. Bahkan banyak aktivis kemudian melakukan ‘bunuh diri kelas’ untuk lebih dalam ‘mengalami’ penderitaan bagi yang didampingi dan meningkatkan solidaritas dalam perjuangannya.
Dari pengalaman aku & suami saya, perdebatan panjang & terkadang melelahkan pada membangun proyek-proyek perubahan sosial, seringkali melanda poly aktivis termasuk kami. Apalagi, saat teori yang dibicarakan dalam satu diskusi ke diskusi lainnya kadang tidak relevan atau nir secara konkret mengurangi jutaan orang yang sekarang semakin mengalami keterpurukan hidup. Perjuangan ini tentu tidaklah mudah untuk dijalani. Dan secara langsung, banyak aktivis mendapat penolakan baik berdasarkan orang terdekat juga famili. Tidak banyak orang bisa mengerti mengapa pilihan ini diambil dan bukan pilihan yang lebih baik, lebih mapan atau setidaknya lebih nir beresiko.
Keluarga atau pasangan aktivis, dalam banyak hal, tentu saja akan sangat merasa keberatan untuk ‘terlibat’ di dalam aktivitas yang dirasakan menjadi demikian menuntut. Menjadi sebuah dilema tersendiri bagi banyak aktivis ketika mengalami hal seperti ini. Bahkan saya sendiri, yang cukup merasa dekat dengan pesoalan-persoalan sosial, terkadang masih merasa sulit untuk juga untuk ‘merestui’nya. Karena konsekuensinya adalah hilangnya waktu bersama, atau hilangnya kenyamanan-kenyamanan yang sepantasnya saya dapatkan kalau saja saya tidak lebih jauh mengingat bahwa hidup kami juga satu dari bagian yang sedang diperjuangkannya. Namun dalam renungan saya, mungkin ini adalah sesuatu yang ‘menyatukan’ saya dengan apa yang diperjuangkan oleh suami saya, sehingga apa yang kami alami dalam suka-duka hidup perkawinan tidak menjadi meaningless dan sia-sia.
Belajar menurut pengalaman eksklusif, berelasi menggunakan seorang aktivis memang tidak selalu mudah & menyenangkan. Relasi selalu akan menuju pada proses melahirkan pemahaman yg terus menerus & integral tentang konflik dunia kerja masing-masing selain, tentu saja, duduk perkara relasi karakter interpersonal. Upaya buat menjadi pendorong perkembangan integritas & mendukung setiap pengembangan kompetensi pasangan pula seharusnya menjadi sebuah keseimbangan menggunakan pengembangan hayati famili itu sendiri. Menjadi aktivis atau pasangan aktivis, saya konfiden, bukanlah sesuatu yang gampang jikalau kita ingin, nilai usaha itu nir menjadi surut. Sekali ini menjadi pilihan hayati, siaplah buat menyanding tongkat konsekuensinya sampai akhir.
Melihat bepergian aku bersama suami dalam berkeluarga yg sebenarnya masih sangat pendek ini, saya telah sering bertanya: inikah jalan hidup saya seterusnya nanti? Benarkah aku ini ?Tulang rusuk yg hilang? Menurut suami saya yang merupakan seorang aktivis? Benarkah beliau orang yang sempurna bagi aku ? Benarkah ini hayati berkeluarga yg aku mau? Mungkin hanya saat yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, menyadari rumitnya ini semua, aku kini malah terdorong memberanikan diri punya keinginan baru: menulis novel. Ya, novel tentang hayati seorang aktivis. Ide yang bagus, bukan?
***
Dominika Oktavira Arumdati
Program Koordinator (2002-2004) dan Mitra Peneliti (sejak 2004) pada The Business Watch Indonesia dan calon ibu.


















Kamis, 30 Juli 2020

[TIPS] Daur Ulang Popok Sekali Pakai: Usaha Menghindari Kebangrutan dan Lebih Ramah Lingkungan

Bagi para orang tua yg mamiliki bayi, tentu menyadari bahwa popok sekali gunakan, yang dikenal dengan banyak sekali merek dagang, seperti pampers, huggies dsb, merupakan salah satu pengeluaran yang bisa membuat orang tua bangkrut. Bayangkan, sehelai popok sekali pakai homogen-homogen dijual menggunakan harga antara Rp. 1500,- hingga Rp. 2500,-. Menurut iklan salah satu merek terkemuka, popok mereka dapat menyerap sampai 6 kali pipis, tetapi tentu saja hanya buat satu kali buang air akbar.

Artinya, buat bayi yg baru lahir, yg pipis berkali-kali dan buang air akbar berkali-kali akan dibutuhkan setidaknya tiga-4 popok sekali gunakan pada sehari. Artinya orang tua harus mengeluarkan uang (ambillah harga termurah, Rp. 1500,-) sebesar Rp. 1500,- X tiga hingga 4 popok perhari X 30 hari per bulan, atau Rp. 135.000,- hingga Rp. 180.000,- per bulan. Bayangkan seseorang aktivis LSM yang bergaji Rp. 1 juta sebulan (inipun sudah adalah penghasilan yang besar buat kebanyakan aktivis LSM di Indonesia) harus mengeluarkan 18% gajinya hanya buat popok anaknya! Belum kuliner, belum susu, belum porto ke dokter anak yang tarifnya selangit bila kebetulan anak kita sakit!


Apa sih kelebihannya popok sekali pakai ini, sebagai akibatnya begitu populer? Pertama-tama, produsennya mengklaim bahwa adalah bukti cinta orang tua pada bayinya. Mengapa? Lantaran jikalau bayi pipis, pipisnya nir akan merembes ke mana-mana tentang baju dan selimutnya sebagai akibatnya tidurnya terganggu. Bayi akan tidur nyenyak & menggunakan demikian akan lebih tumbuh sehat. Selain itu mereka juga mengklaim bahwa popok mereka lebih higienis. Bayi akan bebas bergerak waktu tidur dan bermain tanpa harus bocor. Kedua, lebih simpel buat orang tua karena nir perlu acapkali mengganti popok dan sering berurusan menggunakan kotoran bayi. Ketiga, ramah lingkungan lantaran akan lebih menghemat penggunaan air dan mengurangi penggunaan deterjen yg mencemari saluran air.


Lalu, bagaimana tanggapan para penentang penggunaan popok sekali pakai ini? Terkait menggunakan si bayi. Pertama-tama, material yang dipakai dapat menyebabkan iritasi pada kulit bayi yang sensitif. Kedua, akan mengakibatkan bayi lebih lambat belajar menggunakan toilet lantaran terbiasa pipis di mana-mana tanpa resiko terkena basahan yg membuatnya tidak nyaman. Ketiga, popok ini mungkin jua tidak terlalu nyaman bagi bayi seperti yang diiklankan, lantaran meskipun nir bocor, sesudah terdapat pipisnya tentu popok sekali gunakan ini akan sebagai lebih berat. Tentu tidak terlalu nyaman, jikalau celana kita, meskipun kering permukaannya tetapi berat dan tebal lantaran pada dalamnya penuh cairan. Kecuali jikalau mau seringkali-sering diganti, dan berarti pengeluaran yg makin memeras kantung. Terkait dengan lingkungan, argumen yang diungkapkan pembuat memang sahih, namun mereka menyembunyikan informasi bahwa popok sekali pakai yg sudah digunakan pun adalah limbah, dan lebih parah berdasarkan deterjen yang masih sanggup diolah limbahnya apabila di bawah ambang batas, limbah popok sekali gunakan adalah 1 menurut sekian jenis limbah (10% dari total limbah) yg tidak bisa diuraikan. Artinya,begitu dibuang ia akan tetap tetap menjadi sampah selama-lamanya, atau setidaknya hingga sebuah teknologi baru buat memasak limbah ini ditemukan. Yang ke 2, meskipun berhemat air karena nir perlu dicuci, sumberdaya yg diguankan yg digunakan untuk menciptakan popok sekali pakai lebih banyak daripada popok yg bisa digunakan berulang kali. Jadi berdasarkan kedua sisi ini, popok sekali gunakan sama sekali nir ramah lingkungan.


Jadi satu-satunya klaim produsen yang mampu disetujui oleh para penentangnya merupakan kepraktisan bagi orang tua. Hanya saja kepraktisan ini wajib dibayar menggunakan biaya tinggi baik menurut segi finansial, pengaruh lingkungan dan bagi si bayi. Kepraktisan ini memang memudahkan terutama, contohnya dalam bepergian jauh. Tentu sulit buat acapkali mengganti popok apalagi jika menggunakan tunggangan generik pada mana tidak selalu tersedia fasilitas buat mengganti popok dan air yang memadai. Kedua, saat mengikuti acara penting yg membutuhkan konsentrasi penuh buat jangka ketika lama sehingga nir sempat mengubah popok dan membersihkan kotoran-kotoran bayi. Ketiga, buat tidur malam hari supaya orang tua dapat tidur nyenyak & beristirahat cukup tanpa gangguan tangisan bayi yg alas tidur & bajunya basah.


Apabila hal ini terjadi, dan pilihan menggunakan popok sekali gunakan terpaksa diambil; mungkin setelahnya anda merasa bersalah & bangkrut. Berikut ini merupakan tips buat mengurangi rasa bersalah anda dan mengurangi pengeluaran anda buat popok sekali gunakan sekaligus lebih ramah lingkungan menggunakan memperpanjang umur pakai popok sekali pakai.


1. Gunakan popok sekali gunakan yang baru hanya buat keperluan yg sangat mendesak, misalnya dalam perjalanan jauh, anak sakit diare sehingga tak jarang buang air dan mengganggu tidurnya sementara dia butuh poly istirahat & malam hari buat bayi mini yg masih amat seringkali pipis (buat bayi yg lebih akbar dan mulai bisa mengatur pipisnya/lebih jarang, popok sekali pakai nir perlu dipakai lagi).
Dua. Pilih popok sekali gunakan menggunakan jahitan yang kuat & perekat yg bisa dipakai lagi/nir rusak dalam sekali pemakaian.
3. Gunakan popok sekali gunakan berulang kali dengan cara:
a. Bersihkan popok sekali gunakan yan telah dipakai dengan cara membuang bagian popok sekali pakai yg menyerap cairan sehingga menjadi popok yang terdiri dari lapisan luar yang terbuat dari plastik dan lapisan dalam yang lebih lembut.
B. Cuci higienis popok sekali gunakan ini menggunakan sabun & jemur seperti sandang bayi lainnya hingga kemarau pada ke 2 permukaannya.
C. Lapisi permukaan dalam popok sekali gunakan yang telah dicuci dengan lapisan kain yg relatif tebal dan menyerap air. Sebaiknya pakai kain katun yg lembut & menyerap air.
D. Popok sekali pakai siap untuk dipakai sekali lagi.
E. Untuk pemakaian selanjutnya, cucilah popok itu sehabis kotor & bisa dipakai lagi berulang kali sampai perekatnya rusak atau terdapat bagian popok yang putus.


Selamat mencoba!


























[PROFIL] Munawiyah: Sosok Petani Perempuan

Pada pertemuan La Via Campesina (perkumpulan petani) Asia di Padang, 7 Mei 2004, Kail berkesempatan menghadirinya. Dari para tokoh petani se-Asia yang hadir di sana, adalah para mitra dari Indonesia. Satu diantaranya, & satu-satunya perempuan merupakan Munawiyah, seorang wanita petani dari Pidie, Aceh. Ia merupakan seseorang petani wanita yg sekaligus merupakan aktivis. Saat ini beliau dianggap menjadi kepala PERMATA (Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh).

Sosok dari profil kita kali ini menarik buat disimak bagaimana bepergian hidupnya dari seseorang petani yg sebagai korban, lalu malah sebagai aktivis petani & perempuan . Perjuangan ini tidak gampang lantaran wajib berhadapan budaya, kekuasaan negara & modal.
Bahkan nyawa sering kali jadi taruhannya. Bagaimana beliau mampu bertahan pada visi misinya ini? Bagaimana menjadi aktivis beliau bertahan hidup pada kesehariannya? Dalam diri Munawiyah, kita sanggup menemukan sebuah semangat radikalisme yg bergabung menggunakan kesederhanaan.


Berikut adalah cuplikan wawancara kami (H) menggunakan Munawiyah (M).
H : Sekarang profesi Muna apa?
M : Karena saya telah tak jarang pada lapangan mengorganisir warga , turun ke petani-petani yang korban, tidak mesti petani ya, masyarakat yg sebagai korban, yang menjauh di kita, ya?Kita mendampingi mereka sejauh kemampuan aku .


H : Korban yg umumnya ditangani korban apa?
M :Ya, korban kekerasan, baik yg dilakukan oleh famili, atau negara atau lingkungan. Itu yang tak jarang kita dampingi.
H : Ini lewat forum Permata ini ya?
M : Yang saya dampingi lewat lembaga itu khususnya petani. Tapi terdapat yang secara langsung aku tangani, yaitu terdapat yang korban kekerasan famili, terdapat yang negara. Itu yang secara pribadi, atau bekerjasama dengan forum-forum lain. Tapi tak jarang secara pribadi.
H : Kalau sehari-harinya ngapain aja?
M : Ya bila yang hari-hari rutinnya buat sementara karena sesudah konggres dua Permata kita dipercaya menjadi kepala umum di Permata, ya kita tinggal separuh bulannya pada tempat kerja, separuh bulannya pada lapangan. Bagi saat. Kalau contohnya minggu pertama itu kita di tempat kerja, minggu ke 2 di lapangan, minggu ke 3 di kantor, minggu ke empat lapangan.
H : Boleh crita ngak tentang Permata, kegiatannya apa aja? Kalau di lapangan ngapain?
M : Permata itu kan Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh, ya kentara gimana?Sekarang yang kita lihat, bukan hanya pada Aceh saja, semua jikalau kita lihat, kan banyak sekali hak-hak petani yang tidak terpenuhi, terutama kan akses pasar, kemudian berita-informasi nir sampai kepada petani. Kalaupun hingga informasinya merupakan berita yg keliru. Sekarang kita lihat di Indonesia yang sedang moneter (krisis moneter, red) ini, waktu petani-petani ini menggarap lahannya butuh kapital yang banyak. Butuh kapital yang besar . Sementara output produksinya ketika dijual itu sangat murah. Sementara menggarap huma, mengerjakan ladangnya atau sawahnya itu, pupuknya mahal. Serba mahal lah! Harganya (harga jual produk, red) cukup murah. Dan di situ masuknya renternir-rentinir, yg membuat petani-petani itu terlilit oleh hutang. Mau tidak mau beliau wajib ambil modalnya, karena tidak ada yang bantu. Kemudian barangnya pun atau hasil produksinya wajib dijual kepada renternir itu buat bisa membiayai hutangnya. Ternyata saat dijual ke renternir itupun masih pula nir sanggup, tidak mampu membayar hutangnya itu. Jadi pada situ kita mengorganisir mereka bagaimana caranya supaya mereka keluar, paling nir sedikit berkurang bebannya gitu.
H : Jadi konkretnya apa yg dilakukan pada lapang terhadap kasus-perkara petani? Apakah misalnya bentuk-bentuk pendampingan atau apa?
M : Ya konkretnya?Kalau contohnya kini petani, apakah dia tanam cabai, kacang, pokoknya jenis palawijaya, dulu ya yang acapkali palawijaya. Sekarang kan pupuknya, obat-obatannya sangat mahal. Petani kita kesulitan, apalagi Aceh kini wilayah permasalahan, jadi pada sini paling tidak kami sanggup buat membantu, tapi tidak mampu sepenuhnya. Paling tidak kami menaruh pengetahuan atau praktek-praktek buat mampu mengurangi beban mereka. Misalnya pada pertanian tadi, misalnya menggunakan pulang kepada budaya nenek moyang kita dulu, itu kita pakai pupuk organik itu, atau obat-obatan yang tradisional yg buat pertanian. Kemudian terdapat juga yang buat obat-obatan tradisional buat kesehatan. Paling tidak contohnya, karena banyak desa yg jauh berdasarkan kota, atau jauh menggunakan tempat tinggal sakit, misalnya seperti mak -ibu hamil atau yg lain, paling tidak di sekitar rumahnya menanamkan homogen tumbuhan yg buat mampu jadi obat-obatan. Buat sementara, sembari menunggu ke dokter. Lantaran tempatnya jauh dan transportasinya pun terbatas.
H : Mbak Muna sendiri boleh dibilang petani ya? Punya lahan, menanam gitu?
M : Iya.
H : Boleh cerita tentang kehidupannya menjadi petani selain sebagai aktivis?
M : Kalau saya gini, memang dari dulu, memang keluarga kami menurut petani seluruh, yaitu memang kami mengerjakan lahan sendiri. Lahannya nir luas, cuma sedikit. Kalau sementara ya kami nir punya lahan lagi, lahannya cuma tinggal separuh lagi. Separuhnya sudah untuk irigasi & pembangunanlah, tanpa ganti rugi. Dan waktu itu kita tidak tahu hak-hak kita apa, jadi kita nir perdebatkan. Ngak tahu. Orang mampu ambil dengan mudah.
H : Sekitar tahun berapa itu?
M : Kejadiannya sebenarnya telah tahun 80-an ke atas, tapi yang terakhir lahan, sawah kami diambil itu tahun 94. Th 94 itu buat bangunan sekolah, di gerung-gerung. Kalau contohnya profesi saya di petani itu, pengalamannya pada famili itu, eh..Kami paling tidak di pekarangan rumah mampu buat nanam pertaniannya itu buat kebutuhan keluarga. Selain untuk kebutuhan famili, ya kami pasarkan. Yang lebih berdasarkan untuk kebutuhan keluarga kami pasarkan gitu.
H : Tanam apa aja di tempat tinggal ?
M : Tanam apa, ya misalnya ada pisang, terdapat ubi, terdapat palawija misalnya kacang panjang, tomat, cabai. Untuk kebutuhan keluargalah. Kebutuhan dapur gitu.
H : Cukup ya?
M : Cukup. Praktis-mudahan?
H : Tidak perlu lagi beli keluar?
M : Ya, Untuk ad interim begitu.
H : Kalau berasnya?
M : Kalau berasnya kini kami beli, lantaran sawah kami udah ngak terdapat lagi, karena diambil buat irigasi, bangunan jalan raya itu, transportasi dan sekolah, ya sekarang berasnya kami beli.
H : Itu trus gimana ceritanya kok hingga dari yg tadinya belum tahu ya ketika hak-haknya diambil belum ngerti, hingga sekarang sanggup jadi aktivis yg memperjuangkan hak-hak petani, ceritanya gimana?
M : Ya pertama karena masuk sebuah lembaga mendampingi desa kami, kebetulan waktu itu kita sebagai pengurus desa, jadi tamu yg masuk itu apa?Kita kan perlu cari memahami informasinya apa sebenarnya yg mereka lakukan, apakah itu membawa hal-hal yg positif bagi warga atau negatif. Lantaran saat itu siapapun yg masuk waktu diberlakukan DOM di Aceh, yg kena pertama kali kan yang perseteruan Aceh Timur, Aceh Utara & Pidie kan. Jadi wajar jikalau kami curigai, siapapun. Jangankan yang berdasarkan luar, yang sesama keluarga pun saling menyangsikan. Jadi waktu itu masuklah sebuah forum swadaya masyarakat yg mendampingi kami (Flower Aceh). Trus tak jarang dibawa buat ikut-ikut pembinaan. Dari situ ikut pelatihan yang pertama, CO. CO yg diadakan sang Forum LSM Aceh. Ketika situ aku resah, lantaran kita bukan anak sekolahan gitu, memang benar -betul petani gitu kan. Apa yang dibicarakan bingung, ngak nyambung. Akhirnya apapun ceritanya aku terpaksa wajib belajar buat bisa. Lama-kelamaan ya?Lantaran Flower-pun banyak kali kegiatan, diundang ke Medan buat ikut HAM, yg ngadakan PBHI Medan. Di situ belajarlah, belajar, belajar? Kemudian 2 minggu kemudian diundang sang LP3ES ke Jakarta, Flower yg kirim kan. Flower Aceh yang kirim. Dari situ, ini?Kan HAM jua dua minggu, menurut situ saya memahami bahwa ini merupakan Hak hayati, ini adalah hak petani. Dari situ aku tertarik, tertarik untuk belajar. Kalau kita ngak merubah nasib kita sendiri, itu kentara orang lain ngak akan merubah kan. Kan ada niatnya berdasarkan aku , kehidupan aku ini ingin merubah. Kalau kita monoton seperti ini, ya tidak akan berubahlah kehidupan kita. Gimana dengan masa depan kita?
H : Dari situ ya terus ada semangat buat??
M : He-eh. Dan banyak diskusi menggunakan mitra-mitra. Ketika pada training itu aku diskusi menggunakan mitra-kawan yg banyak sekali wilayah kan. Tertarik menggunakan masalah-perkara yg diceritakan oleh-sang kawan. Dari situ aku tertarik. Sebenarnya saya alami, saya sendiri mengalami hal misalnya itu, kenapa saya wajib tinggal membisu. Kenapa aku harus berjuang. Ternyata saya pikir-pikir lagi, kalau aku berjuang sendiri, itu tidak berhasil. Saya akan membangun grup & membentuk aliansi atau jaringan, paling nir kita ya?Biarpun nir semua perkara terselesaikan, paling nir sedikitnya akan ringan bagi saya.
H : Trus, sebelumnya tuch, pengurus desanya itu apa maksudnya? Jadi ketua desa atau ..?
M : Sekretaris desa.
H : O, sekdesnya ya. Tapi memang semua harus lewat sekdes kalau masuk?
M : Tidak mesti lewat sekdes. Karena waktu itu kan kita?Gimana ya, bukan?Kita pulang dalam sejarah. Kalau wanita saja yg kerja nir berhasil, kalau pria saja nir berhasil. Maksudnya wajib kerjasama. Jadi seluruh kabar itu?Memang ketika itu biar ketua desa pria, tapi yg menguasai desa kami. Yang menguasai desa, seluruh peraturan desa, kami yang aturkan, kami yang wanita, bergabung dengan organisasi PKK.
H : Itu memang kulturnya pada sana seperti itu memang? Perempuan yang punya poly kekuasaan, kekuatan buat mengatur?
M : O tidak, sebenarnya wanita tidak diberikan peluang sedikitpun buat menguasai jabatan. Jangankan untuk menguasai jabatan, buat musyawarah saja ngak bisa. Saya berjuang. Waktu itu, pada situ memang di desa, spesifik desa saya & banyak desa-desa yg lain, wanita kelas 6 SD telah dikawinkan. A, aku berjuang pada situ. Memang aku tamat PGA kan. Tamat PGA berjuang. Saya berjuang wajib mampu kuliah gitu, wajib sekolah. Waktu saya berjuang, macam-macam simbol (cacat, red) yang diberikan oleh masyarakat, tapi saya ngak open, yg penting saya wajib sekolah, harus memperbaharui desa saya. Akhirnya sesudah saya mensugesti orang-orang tua di situ, pada desa itu, kini udah poly wanita yg sekolah. Malah terdapat yg udah kuliah, kerja. Biarpun aku ngak sempat kuliah, tapi saya mensugesti mitra-kawan buat kuliah.
H : Sampai berapa usang usaha itu akhirnya baru sanggup berhasil?
M : Saya SMP, itu tergantung gimana ya, strategi apa yang kita gunakan. Saya masuk Sekolah Menengah pertama, kelas 1 SMP, itu yang lain udah..Kelas dua SMP udah ada yg ikutan saya buat masuk SMP, yang sekolah. Sampai kini .
H : Jadi sekarang boleh dibilang posisi perempuan pada desa situ sudah cukup lumayan setara ya?
M : he-eh.
H : Kenapa sich motivasinya mbak Muna, kok bisa sampai jadi aktivis, berjuang misalnya itu?
M : Lantaran kita merasa diri kita, hak-hak kita tidak diinikan..Jadi kita berjuanglah buat mendapat hak-hak kita, gitu.
H : Ada hambatan atau apa sich, sebagai aktivis selama ini hambatan terbesarnya apa?
M : Ya hambatan terbesarnya, karena kita bekerja di wilayah perseteruan, malah nyawa aku terancam. Ada desa, ada berapa kecamatan yang aku tinggalkan, saya nir mampu masuk lagi, lantaran aku memang orangnya keras gitu. Saya ngak mau? Keras kan kita lihat situasinya. Karena kita kan minta ini itulah sang pihak-pihak eksklusif. Kita ngak mau memenuhinya. Kalau kita udah penuhi sekali, niscaya orang itu akan minta lagi. Jadi aku dari pertama ngak akan memberikannya. Sampai sekarang ya?
H : Ngak menyerah gitu ya?
M : Ya.
H : Takut ngak sich waktu nyawa jadi taruhan, pada daerah perseteruan seperti itu?
M : O, bila bagi saya itu ngak. Hidup sekali, mangkat sekali. Itu, ngak terdapat istilah kata takut ini itu ngak terdapat bagi saya ya.























































Editorial Edisi 4

Kehidupan seseorang aktivis selalu sebagai topik yg menarik buat didiskusikan, baik dalam hal kehidupan pribadinya, kehidupan aktivitasnya, kehidupan sosialnya, juga pada hal kebutuhan-kebutuhan dasar hidupnya. Dalam Pro:aktif kali ini kami secara khusus mengangkat tema seputar aktivis & kebutuhan-kebutuhan dasarnya.

Tulisan-goresan pena yang dapat dinikmati pada edisi kali ini antara lain Bagaimana Melakukan Proses Daur Ulang buat Penggunaan Popok Sekali Pakai, bisa Anda rasakan dalam rubrik Tips; rubrik MEDIA kali ini menyajikan dua butir film dokumenter. Pertama, sebuah resensi film bertajuk Membunuh Hari (Killing the Days) yakni sebuah film yang mendeskripsikan dinamika duduk perkara penggusuran yang dialami oleh rakyat Teluk Gong pada Jakarta. Kedua, anda bisa menikmati sebuah film dokumenter berjudul Roda Rakyat (People?S Wheels) sebuah film yg menggambarkan kerasnya perjuangan kehidupan seseorang tukang becak. Sementara dalam rubrik PIKIR kali ini menyajikan Neoliberalisme: Ketika Uang Makin Digdaya dan buat rubrik masalah kita, dibagikan refleksi hidup seseorang aktivis, berjudul Tulang rusuk yg hilang? Rubrik Profil kali ini mengangkat Munawiyah: kisah usaha seseorang petani perempuan yang mengalami berbagai macam bentuk penindasan, & itu juga yang kemudian menggerakkannya buat menjadi galat satu dari sekian aktivis wanita yg secara konsisten menentang berbagai bentuk penindasan.


Kegiatan-aktivitas KaIL dalam bulan Juni-September 2004 yang diangkat dalam rubrik Bagi-bagi Cerita merupakan pertemuan Jaringan Aktivis Lintas Bidang Garap yg telah diadakan buat yang ketiga kalinya dan Pelatihan Penggunaan Permainan menjadi media buat Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat (buat Pemula) angkatan pertama yang diikuti oleh 32 orang berdasarkan berbagai daerah di Indonesia. Serta jangan lewatkan INFO Associates dan Agenda KaIL beberapa bulan ke depan.


Selamat Menikmati !







Cloud Hosting Indonesia