Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online April 2017. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online April 2017. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 Juni 2020

[OPINI] Aktivis Sebagai Pelaku Gerakan Sosial

Oleh: Dadan Ramdan

Merdeka atau mati adalah jargon bersama yang menyemangati, disuarakan, ditulis di tembok-tembok rumah, kantor pemerintahan, pagar dan kain bekas yang usang oleh kaum muda yang belum mengenal istilah aktivis atau aktivisme. Mereka bergerak dan berjuang atas kesadaran pada keadaan penindasan penjajahan pemerintah Hindia Belanda di tanah Nusantara.

Kaum muda tanpa membedakan status sosial terus berjuang tanpa pamrih dengan visi, keterampilan, tenaga, keringat, darah, penjara hingga nyawa demi sebuah kehormatan “terbebas” dari penindasan sistem sosial, ekonomi dan politik kolonial Belanda masa itu. Hingga akhirnya, kemerdekaan politik dapat diraih dengan pembacaan naskah proklamasi oleh Sukarno-Hatta tahun 1945.

Kemerdekaan politik memang diraih, terbebas dari kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, negara dan bangsa Indonesia terbentuk, sistem pemerintahan dibangun dengan fondasi konstitusi negara Republik Indonesia. Namun, hingga usia kemerdekaan Indonesia menginjak 71 tahun, kemerdekaan sejati sebenarnya belum diperoleh sepenuhnya. Bangsa Indonesia sejatinya belum merdeka sejak kemerdekaan itu sendiri diproklamasikan.

Belum Merdeka

Merekam sejarah dan fakta yang ada, dari tahun 1945 hingga sekarang, bangsa ini masih terjajah, bangsa ini tetap menjadi budak di tanahnya sendiri, menjadi boneka dari kekuasaan modal dan sistem sosial dan politik pemerintahan yang tidak adil. Sistem modern yang tidak memerdekaan bangsanya. Sistem ekonomi politik yang menghamba pada kekuasaan modal global dari imperialis modern yang melestarikan sistem oligarki kekuasaan yang menguntungkan segelintir orang.

Merdeka yang sejati adalah terbangunnya sistem sosial, ekonomi dan politik yang memastikan keadilan bersama dalam kehidupan bersama baik di komunitas dan sistem masyarakat dalam organisasi negara dicapai. Merdeka ketika setiap individu tidak berpikir dan bertindak untuk dirinya sendiri, tapi mau berbagi dan berkontribusi untuk orang lain komunitas dan masyarakat luas tanpa paksaan dan tekanan siapapun, sehingga terbangun sistem dan tatanan kehidupan bersama yang adil dan makmur dalam berbagai skala kehidupan.

Dalam kehidupan sosial yang berada dalam cengkeraman sistem sosial, ekonomi dan politik negara yang melanggengkan oligarki kekuasaan era modern saat ini, peran dan posisi individu aktivis (istilah ini baru muncul tahun 80-an) menjadi penting, karena tidak semua orang kemudian mau memposisikan dan memerankan sebagai aktivis. Individu aktivis adalah pelaku gerakan sosial, bukan hanya sekedar pengrajin sosial. Inilah yang bisa kita pelajari, dari aktivis era kolonial.

Peran aktivis dalam perubahan sosial Belajar dari sejarah bangsa ini, dalam konteks merawat visi perubahan sosial untuk kehidupan bersama, setiap individu aktivis sebagai pelaku perubahan atau gerakan sosial bisa memerankan peran diantaranya:

a. Organizer

Sebagai organizer, individu aktivis bisa melakukan kerja perubahan sosial seperti mengorganisir rakyat, bersama rakyat membangun basis produksi (kekuatan ekonomi) sebagai alternative sekaligus antitesa dari sistem sosial dan ekonomi saat ini serta membangun agen dan kader-kader perubahan sosial ke depan untuk melestarikan gerakan sosial itu sendiri.

b. Media Maker

Seorang aktivis harus memerankan kerja media maker seperti menyuarakan kepentingan-kepentingan kaum marjinal/tersisihkan, mempromosikan praktik-praktik baik komunitas, mengembangkan dan menyebarluaskannya kepada individu, komunitas di wilayah lain. Seorang aktivis mampu menyampaikan gagasan-gagasan /ide dan karya-karya kepada fungsionaris negara seperti kepala desa, bupati/walikota, gubernur dan presiden serta parlemen.

c. Leader

Seorang aktivis bisa memerankan sebagai leader, sebagai pemimpin yang memiliki kemampuan dan keterampilan mengerakkan massa dan membawa ide serta gagasan perbaikan dalam ruang-ruang politik. Sebagai leader, seorang aktivis memang dituntut menjadi tauladan bagi komunitas/massa. Dalam konteks sosial politik kekinian, aktivis yang matang secara ekonomi dan memiliki keterampilan politik berani merebut ruang-ruang politik yang ada.

Perubahan yang terjadi

Belajar dari sejarah dan pengalaman yang ada, memang ada dampak dari kerja-kerja sosial yang dilakukan oleh aktivis. Ada kencenderungan, saat ini komunitas-komunitas dan organisasi rakyat tumbuh subur terutama di isu lingkungan baik di perkotaan dan perdesaan. Namun, keberadaan komunitas dan organsisasi rakyat yang ada belum sepenuhnya bisa membawa perubahan tatanan sistem sosial yang lebih luas dan perbaikan kebijakan negara.

Dari kondisi objektif, dalam situasi sekarang yang semakin kompleks, memang tidak mudah kita mengubah keadaan sosial yang terjadi. Apalagi sistem politik pemerintahan di negara ini juga belum memberikan ruang yang luas bagi terakomodasinya ide-ide perbaikan kehidupan sosial dalam tatanan politik yang menjamin keadilan dan kehidupan bersama.

Kemudian dari kondisi subjektif, khususnya kapasitas aktivis. Walaupun saat ini, aktivis masih ada yang terus bekerja untuk perubahan sosial, bekerja di akar rumput/basis massa dan komunitas dan mampu beradaptasi dengan perkembangan keadaan yang ada, namun, belajar dari pengalaman masih terdapat kelemahan aktivis saat ini. Kelemahan ini menunjukan bahwa aktivis sejatinya belum merdeka. Kelemahan aktivis bisa dijelaskan sebagai berikut :

Tantangan saat ini

Tentu situasi kekinian sangat berbeda dengan situasi dulu, masa kolonial, masa orde baru walaupun sistem ekonomi politiknya tidak berubah. Keadaan sosial yang dihadapi pelaku gerakan sosial saat ini dengan di masa lalu jauh berbeda. Perkembangan pengetahuan, teknologi dan media informasi sangat mempengaruhi kehidupan kita, dalam komunitas, masyarakat, pengusaha dan fungsionaris negara.

Perkembangan teknologi dan media telah mampu mengubah sikap, perilaku dan tindakan individu, komunitas dan masyarakat, apalagi di masyarakat perkotaan. Pilihan-pilihan hidup bukan lagi pilihan bersama atas dasar kebutuhan bersama. Namun sudah ditentukan oleh iklan di media massa baik cetak dan elektronik, Saat ini, kita berhadapan dengan situasi masyarakat yang individualis, konsumtif, Ini menjadi tantangan bagi aktivis yang harus dihadapi tanpa harus segera menyerah. Para aktivis pada akhirnya harus memiliki kemampuan lebih untuk menjawab tantangan kehidupan sosial saat ini.

Aktivis ke depan

Berefleksi dari sejarah, kenyataan objektif, subjektif dan tantangan yang terjadi, pertama harus terbangun kesadaran bahwa aktivis adalah pelaku perubahan/gerakan sosial transformatif. Kedua, sebagai subjek perubahan transformatif maka harus ada perbaikan kualitas aktivis. Minimalnya, ada tiga kualitas kemampuan aktivis merdeka yang perlu dibenahi yaitu kemampuan sosial dan ekonomi, kemampuan teknologi dan kemampuan memproduksi karya secara merdeka, mandiri, kreatif dan inovatif.

Pada akhirnya memang kita perlu menjawab dan berani menjawab dan meminimalkan kekurangan-kekurangan aktivis itu sendiri. Aktivis ke depan harus terus belajar dari keberhasilan aktivis lain, mengasah kemampuan dan pengalaman dengan telaten. Jika kita mampu menjawab kekurangan-kekurangan tersebut maka kapasitas aktivispun akan semakin meningkat dan teruji. Sebangun perubahan kapasitas, aktivis pun secara transpormatif mampu mengubah dirinnya dan keadaan sosial sehingga tatanan kehidupan bersama yang merdeka dapat diraih.

Sumber: indocropcircles.wordpress.com

[MASALAH KITA] Refleksi 71 tahun HUT RI : Sudahkah Indonesia Merdeka?

Oleh: Any Sulistyowati

Latar Belakang

Untuk menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-71, Proaktif Online melakukan survey online untuk menggali Refleksi mengenai Kemerdekaan Indonesia. Dua puluh lima orang mengisi survey tersebut. Mereka adalah para aktivis dari berbagai bidang dengan komposisi sebagai berikut: Alam dan Lingkungan (13 orang), Pendidikan (sembilan orang), Seni, Sastra dan Budaya (delapan orang), Teknologi (empat orang), Pertanian dan Pangan (tiga orang), Hukum dan HAM (dua orang), Ekonomi (dua orang), dan bidang lainnya (empat orang). Satu orang responden dapat mengisi lebih dari satu bidang garap.

Pertanyaan-pertanyaan refleksi pada kuesioner ini terdiri atas beberapa bagian primer, yaitu: sejauh mana Indonesia telah merdeka di aneka macam bidang, ancaman yang dihadapi dan bagaimana cara mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Survey ditutup menggunakan pertanyaan apa yang ingin disampaikan para aktivis seputar kemerdekaan Indonesia.

Rangkuman Persepsi Responden mengenai Tingkat Kemerdekaan Indonesia

Menurut para responden, secara umum hingga ketika ini Indonesia belum sepenuhnya merdeka di aneka macam bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Ringkasan pendapat mereka dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Secara holistik hanya 2 orang mengganggap Indonesia telah merdeka 100%, yaitu satu orang buat bidang Agama dan satu orang buat bidang seni & budaya. Sebaliknya selalu ada responden yg menjawab Indonesia sama sekali belum merdeka (0% merdeka) di berbagai bidang, kecuali di bidang Seni & Budaya tidak terdapat responden yg memilih Indonesia baru 0% merdeka. Di bidang-bidang lain, yang menjawab Indonesia masih 0% merdeka adalah di bidang Agama (tiga orang), Ekonomi (tiga orang), Kesehatan (dua orang), Lingkungan (2 orang), Pangan (satu orang), Pendidikan (2 orang), Perumahan (2 orang), Politik (satu orang), Sandang (dua orang), Sosial (satu orang) dan Teknologi (2 orang).

Jika pada lihat di masing-masing bidang, maka di bidang Agama, hanya satu dari 25 orang yang menduga Indonesia sudah merdeka 100%. Sebaliknya 3 menurut 25 orang menganggap belum merdeka sama sekali (0%). Sisanya tersebar 2 orang menganggap telah merdeka 80%, delapan orang menganggap sudah merdeka 60%, lima orang mengganggap telah merdeka 40% dan enam orang mengganggap sudah merdeka 20%.

Di bidang Ekonomi, satu orang menganggap Indonesia sudah merdeka 80%, tiga orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, sembilan orang menganggap Indonesia sudah merdeka 40%, sembilan orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 20% dan tiga orang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Kesehatan, satu orang menganggap Indonesia sudah merdeka 80%, tujuh orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, delapan orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, tujuh orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 20% & 2 orang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Lingkungan, nir ada responden yg menjawab Indonesia telah merdeka lebih menurut 60%. Mereka menjawab menggunakan komposisi sebagai berikut: empat orang menjawab Indonesia sudah 60% merdeka pada bidang lingkungan, sembilan orang menjawab 40% merdeka, sepuluh orang menjawab 20% merdeka & dua orang menjawab belum merdeka sama sekali. Seperti pada bidang Lingkungan, di bidang Pangan pula nir ada responden yg menjawab Indonesia telah merdeka lebih dari 60%. Di bidang ini enam orang menjawab Indonesia telah 60% merdeka pada bidang lingkungan, sepuluh orang menjawab 40% merdeka, delapan orang menjawab 20% merdeka dan satu orang menjawab belum merdeka sama sekali.

Di bidang Pendidikan, dua orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, empat orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 60%, sebelas orang menganggap Indonesia sudah merdeka 40%, enam orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% & dua orang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Perumahan, tiga orang menduga Indonesia telah merdeka 80%, empat orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 60%, 3 belas orang menduga Indonesia telah merdeka 40%, tiga orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan 2 orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Politik, dua orang menduga Indonesia sudah merdeka 80%, satu orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 60%, dua belas orang menduga Indonesia telah merdeka 40%, sembilan orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 20% dan satu orang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Sandang, empat orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, enam orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, sebelas orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, dua orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan dua orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Seni & Budaya, satu orang menduga Indonesia sudah sepenuhnya merdeka, lima orang menganggap Indonesia sudah merdeka 80%, enam orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 60%, sepuluh orang menduga Indonesia sudah merdeka 40% & tiga orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20%. Tidak ada yang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka pada bidang Seni dan Budaya.

Di bidang Sosial, tiga orang menduga Indonesia telah merdeka 80%, sembilan orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 60%, delapan orang menduga Indonesia telah merdeka 40%, empat orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 20% dan satu orang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Teknologi, dua orang menganggap Indonesia sudah merdeka 80%, enam orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 60%, tujuh orang menduga Indonesia telah merdeka 40%, delapan orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan 2 orang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka.

Persoalan-persoalan Seputar Kemerdekaan IndonesiaMeskipun sudah secara resmi 71 tahun merdeka, Indonesia belum sepenuhnya dianggap merdeka oleh para responden. Ada banyak persoalan, tantangan dan ancaman yang dihadapi negeri ini untuk memperjuangkan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Anilawati Nurwakhidin dari YPBB menyatakan bahwa sebenarnya secara status Indonesia memang merdeka, akan tetapi ancaman datang berdasarkan aneka macam sisi dan menurut aneka macam bidang. Masalahnya ancaman-ancaman ini acapkali tidak disadari. Sementara itu, Huyogo beropini bahwa merdeka sepenuhnya memang mungkin nir terdapat. Masih banyak pengaruh berdasarkan luar. Kukuh Samudra berdasarkan Unit Tenis ITB berpendapat bahwa dalam hampir seluruh bidang, Indonesia masih dikendalikan oleh orang lain. Barangkali secara deklaratif, secara aturan Indonesia telah merdeka. Hal yang sama pula dinyatakan oleh Melly Amalia menurut KAIL & YPBB bahwa persentase kemerdekaan Indonesia di segala bidang masih pada bawah 80%. Indonesia masih poly disetir atau diarahkan oleh pihak ketiga. Ivan Sumantri Bonang menurut Komunitas Dongeng Dakocan, Bandar Lampung menyatakan masih diharapkan banyak waktu buat merdeka pada banyak sekali bidang tadi.

Fransiska Damarratri (Siska) berdasarkan ASF ID beropini bahwa seluruh hal tersebut terkait, terutama budaya & sistem, mensugesti kemerdekaan. Merdeka selayaknya dimulai semenjak berdasarkan pikiran. Namun terkadang sistem yg langgeng membatasi hal tsb dan aksi-aksi insan.

Pesa Pecong dari Front Api, Bandung, menganggap bahwa merdeka, atau yg dianggap sebagai sebuah negara sendiri nir merubah keadaan menurut bentuk negara sebelumnya yaitu Hindia Belanda. Menumpuknya harta dalam segelintir orang, institusi pendidikan hanya mencetak calon buruh buat perusahaan, poly rakyat yang tidak memiliki tanah, bahkan tanahnya dirampas negara, warga dibuat tak berdaya dan poly terjadi perampasan-perampasan hak kemanusiaan yg dilakukan oleh negara dan aparatnya merupakan bukti-bukti bahwa kemerdekaan belum dirasakan sang masyarakat Indonesia. Kukuh pula menekankan bahwa bentuk penjajahan senantiasa berkembang dari saat ke waktu. Indonesia waktu ini tidak memiliki kepercayaan -diri (mental negara terjajah). Semua yg baik seolah-olah dari bukan menurut diri sendiri. Mental yang seperti ini dalam akhirnya mensugesti sistem produksi yg pada akhirnya mensugesti kembali ke mental. Mulai berdasarkan pangan. Indonesia mempunyai bahan pangan pokok beraneka macam. Tapi mengapa harus nasi & kentang? Toh, keripik singkong pun bila diolah dengan benar tidak kalah cita rasanya. Sementara sandang, mengapa pakaian menurut Bandung atau kota sentra garmen perlu melewati benua biru sekedar buat mendapatkan label garis-3 atau centrang?

Seperti Kukuh, Navita K.Astuti dari KAIL pula menyampaikan keliru satu bentuk ketidakmerdekaan menurut aspek pangan yaitu tidak merdeka berdasarkan jenis pangan sehat & bergizi. Orang-orang tergoda (terjajah) oleh ekspresi dominan masa kini , seperti kuliner instan maupun makanan cepat saji. Sementara buat pakaian, tampak pola konsumtif orang ketika berbelanja baju. Mereka masih terjajah oleh pandangan, contohnya, wajib membeli baju baru ketika lebaran.

Menurut Ajat Sutarja (Mang Ayut), pemerintah masih berpihak dalam korporasi-korporasi dibanding dalam kepentingan hajat hidup masyarakat yg sejati, kurang mendukung sektor produksi ekonomi lemah dan menengah terbukti menggunakan lebih banyaknya import barang-barang jadi.

Abrori berdasarkan Turun Tangan, Bandung, jua memberi catatan mengenai produk pangan impor. Sebetulnya bukan kita nir bisa menghasilkan produk-produk pangan yang baik, sampai pemerintah merogoh langkah impor. Dalam beberapa hal, tentu memang baik impor sesuatu. Tapi apa betul output produksi terbaik kita memang mandul sebagai akibatnya harus impor ataukah hasil produksi terbaik kita belum terjaga menggunakan baik? Sehingga podusen pangan kita lebih memilih mendistribusikannya ke luar daripada mengutamakannya buat distribusi dalam negeri? Sejauh apa evalusi yg dilakukan pemerintah? Kita bahkan tidak pernah memahami sejauh apa daya kita pada memberi makan bangsa sendiri. Kita tidak mampu merdeka sepenuhnya sebelum upaya pada memproduksi pangan buat bangsa sendiri dilakukan menggunakan semaksimal mungkin. Melakukan riset-riset dan membangun kualitas-kualitas unggulan buat diutamakan dikonsumsi oleh warga Indonesia.

Selain pangan dan sandang, ketidak merdekaan jua terjadi pada pelayanan kesehatan & berbagai bidang sosial. Abrori menyatakan bahwa semua sangat terpengaruh oleh politik. 'Parapelaku' politik kepentingan selalu berbicara mengatasnamakan masyarakat. Korupsi ketika mengurusi banyak sekali 'proyek buat masyarakat', dampaknya artinya pandangan sini warga terhadap segala pemugaran yg dilakukan oleh pemerintah. Baik infrastruktur, atau apa pun. Masyarakat seolah diutamakan, padahal nyatanya 'sinisitas' mereka semakin beranggapan bahwa mereka semakin ditinggalkan sang keputusan-keputusan yg mengutamakan rakyat.

Wisnu berdasarkan Bandung menyatakan bahwa kasus terbesar adalah perkara pendidikan. Abrori menyoroti layanan pendidikan yg semakin komersil. Sektor pendidikan yang semula sebagai andalan buat membebaskan masyarakat dari kebodohan & kemiskinan ternyata menjadi asal kesenjangan sosial. Yang kaya bisa mengakses pendidikan yang rupawan & mahal, ad interim si miskin relatif puas menggunakan pendidikan ala kadarnya. Pendidikan sebagai sumber pengelompokkan rakyat menurut kelas ekonomi. Belum lagi pendidikan menjadi ajang adu gengsi antar orang tua atau sebagai tempat bagi para pengajar buat mendapatkan penghasilan tambahan. Sekolah menjadi bentuk penjajahan baru, pada mana orang tua & anak didik terjajah sang harga pendidikan yang ditetapkan oleh sekolah. Abrori jua menyoroti soal teknologi. Ia mempertanyakan, sejauh apa pemerintah berani mengambil risiko memberi modal pada developer-developer pada negeri, memberikan keleluasaan dan memfasilitasi para pakar dengan fasilitas yg nir setengah-1/2, serta mewadahi paraahli buat mencurahkan ide dan ciptaan mereka. Ia melihat bahwa sejauh ini teknologi kita didominasi oleh pembuat asing. Produksi dalam negeri sepertinya sulit sekali menghasilkan sesuatu. Proses birokrasi, tes uji kelayakan, surat izin edar, & langkah-langkah lain nampaknya dirasa menyusahkan. Apalagi kadang terdengar selintingan yg melibatkan perut-perut profesi lain yg terancam terambil pangsa pasarnya.

Ancaman-ancaman terhadap Kemerdekaan Indonesia

Ancaman yang dirasa paling akbar saat ini merupakan kesenjangan antara yg kaya dan miskin (dipilih oleh 17 orang) dan Perubahan Hutan menjadi Perkebunan Sawit (dipilih oleh 15 orang). Ancaman yg dirasa relatif besar , yaitu dipilih sang 12 orang merupakan Putus Sekolah & Buta Huruf serta Polusi Udara dan Air. Diikuti dengan rawan Pangan yang dipilih sang sebelas responden. Sembilan orang memilih Permasalahan antar Suku, Etnis & Agama dan Bencana Alam terkait Perubahan Iklim menjadi ancaman utama. Sementara Kekisruhan Politik pada negeri dipilih oleh delapan orang. Ketergantungan dalam Gadget dan Intrusi Budaya barat pada kalangan kaum muda dipilih oleh tujuh orang sebagai ancaman utama terhadap kemerdekaan Indonesia.

Lima orang menduga Menumpuknya Sampah di TPA sebagai ancaman terhadap kemerdekaan, disusul ancaman-ancaman yang dipilih sang empat orang adalah Penjarahan hasil Laut Indonesia sang kapal asing, Naiknya nilai tukar dolar terhadap rupiah dan Meningkatnya Jumlah rakyat Miskin di Perkotaan. Sisanya beragam ancaman dipilih sang satu hingga tiga orang menggunakan total 12 pilihan.

Bagaimana Cara Mengatasi Ancaman-Ancaman terhadap Kemerdekaan? Debby Josephine berdasarkan Rumput Kecil menyatakan bahwa mengatasi ancaman terhadap kemerdekaan bagaikan mencari cara buat membangunkan orang yang pretensi tidur. Anilawati menurut YPBB berpendapat bahwa buat menghadapi ancaman-ancaman tadi, kita perlu mengusut dan menyadari masalah-masalahnya dan mulai memecahkannya sedikit-sedikit. Sementara Pesa Pecong menurut Front API berpendapat bahwa Rakyat harus beranjak buat melawan; Abrori menambahkan pentingnya gotong-royong buat mengatasi ancaman-ancaman tersebut.

Navita Kristi Astuti dari KAIL menyatakan bahwa buat membentuk Indonesia diperlukan niat baik & saling percaya satu sama lain baik dalam komunitas mini RT/RW juga dalam lingkup besar kabupaten, provinsi hingga lingkup negara. Bukik Setiawan dari Kampus Guru CIKAL, Serpong menyatakan pengakuan terhadap keragaman dan penghargaan terhadap potensi lokal sangat penting buat mengatasi ancaman-ancaman di atas.

Menurut Fransiska Damarratri dari ASF-ID, cara mengatasi ancaman-ancaman terhadap kemerdekaan perlu dimulai menurut pendidikan. Aksi-aksi tersebut perlu digerakkan secara merata, pada desa dan pada perkotaan. Aksi & pendidikan wajib diorganisasi, dicatat, dikombinasikan. Literasi bangsa sangatlah rendah saat ini. Bangsa yg tidak membaca bisa jadi nir berpikir - secara merdeka. Senada dengan Siska, Melly Amalia berdasarkan KAIL & YPBB menyatakan perlunya upaya terus menerus buat melakukan edukasi lewat penyuluhan & pelatihan. Juga kampanye ke berbagai lini rakyat menggunakan perubahan kerangka berpikir yg tepat. Ia berharap rakyat Indonesia sanggup berdikari, kreatif, berkarya & berafiliasi (kerja sama) lewat komunitas-komunitas terkecil.

Masih pada bidang pendidikan, Wisnu menyatakan pentingnya perubahan sistem pendidikan dasar. Dhika Pranastyasih dari Yahintara dan Yayasan Sadagori Indonesia menekankan pentingnya edukasi sejak dini pada famili. Ivan Sumantri Bonang dari Komunitas Dongeng Dakocan, Bandar Lampung menyatakan bahwa untuk mengatasi ancaman-ancaman pada atas pendidikan harus diperbaiki secara mendasar. Ia menyatakan bahwa selama ini pendidikan yg berkembang di Indonesia nir membebaskan. Krisna berpendapat bahwa pendidikan yang perlu dikembangkan merupakan mengedepankan pemakaian akal. Tien Widyaningrum menurut WSDK, Bandung menganggap perlunya pendidikan & berbagai media buat menguatkan konsep tentang Indonesia dalam diri masing-masing.

Shintia Arwida dari CIFOR menyatakan perlunya investasi & perombakan besar -besaran di bidang pendidikan & penegakan hukum. Ia menyatakan bahwa selama ini penegakan aturan di Indonesia masih sangat lemah. Hal yg sama ditekankan oleh Abrori berdasarkan Turun Tangan Bandung. Ia menyatakan perlunya penegakkan hukum yang sangat tegas buat mengatasi ancaman-ancaman terhadap kemerdekaan. Ajat Sutarja (Mang Ayut) berdasarkan Bandung menyatakan vahwa buat mengatasi lemahnya penegakkan hukum di segala sektor, maka sangat krusial pencerahan warga & pemerintah terutama penegak hukum untuk berbuat yg terbaik menurut lingkup terkecil

Selain penegakan aturan, Willy Hanafi menekankan perlunya peningkatan pemahaman warga akan haknya sebagai warga negara buat mendapatkan akses keadilan & kesejahteraan. Mang Ayut menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan antara kota dan desa serta Jawa & luar Jawa masih menjadi perkara yg sangat penting di era kemerdekaan ini. Willy merasa prihatin akan banyaknya investasi kapital akbar yang datang ke Indonesia yg nir di imbangi sang niat baik pemerintah buat mendapatkan akses keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Raden Rhea menurut LISES UNPAD mengatakan bahwa hal yang paling mengancam kemerdekaan Indonesia merupakan yg terkait ketersediaan bahan pokok. Ia meyakini bahwa apabila kasus pakaian pangan papan & pendidikan sudah terpenuhi, perkara lain mampu teratasi. Seandainya rakyat sudah berpendidikan dan kebutuhan pokok mereka sudah terpenuhi, maka mereka tidak mempunyai emosi negatif yang umumnya disalurkan dgn pergaulan bebas, atau mabok-mabokan yg berujung dalam bentrok antar gerombolan . Untuk menjawab hal tersebut Abrori berdasarkan Turun Tangan Bandung menyatakan bahwa Indonesia wajib berdikari. Hal ini akan memunculkan kepercayaan diri bangsa. Ia beropini bahwa selama ini Indonesia sudah dijajah sang Neo-kolonialisme. Hanya kita yang tidak sadar dan sudah terlanjur nyaman dengan kondisi yang terlalaikan ini. Untuk keluar berdasarkan situasi ini, dibutuhkan kiprah yg serius dari 2 belah pihak; pemerintah dan pergerakan masyarakat. Tidak bisa jalan hanya keliru satunya saja. Kita perlu mengembalikan integritas bangsa, barulah sanggup merdeka. Indonesia harus berupaya semaksimal mungkin supaya sanggup mandiri dan berkedaulatan warga . Tentunya dengan mengesampingkan perut sendiri & mengutamakan kemaslahatan umat.

Mendukung hal tersebut, Huyogo menurut AJI Bandung menyatakan perlunya Indonesia sebagai bangsa yg mandiri, bukan pemalas supaya dapat mengatasi ancaman-ancaman tadi. Raden Rhea berdasarkan LISES UNPAD, Bandung, menekankan berdikari pangan, jaga lingkungan & bijak pengelolaan sumberdaya manusia menjadi hal-hal krusial buat mengatasi ancaman terhadap kemerdekaan.

Selain itu Shintia Arwida dari CIFOR menyatakan perlunya perubahan sistem ekonomi dan pertanian yg lebih berdaya ke pada. Untuk itu, Daniel Mangoting dari Koperasi Lestari menekankan pentingnya pembangunan gerakan pada tingkat komunitas. Ia menyatakan bahwa Indonesia ini masih setengah merdeka karena masih jauh menurut maju dan berdaulat.

Dewi Amelia melihat bahwa telah terjadi pelaksanaan kebijakan neoliberal di dalam negeri & semakin berkembangnya monopoli & perampasan tanah masyarakat. Ia menekankan pentingnya pelaksanaan reforma agraria sejati dan pembangunan industri dasar nasional.

Ismail Agung menekankan pentingnya pemimpin yang baik & warga yg baik pada dalam upaya mengatasi ancaman-ancaman tadi. Muhammad Habibullah berdasarkan ITB menyatakan bahwa keliru satu bentuk nyata yg perlu dilakukan adalah menghapus budaya korupsi di pemerintahan. Hal senada disampaikan oleh Abrori menurut Turun Tangan Bandung yg menekankan pentingnya Pembasmian hama-hama koruptor & mafia peradilan. Krisna berpendapat contoh konkretnya merupakan penghapusan Departemen Agama.

Dari aspek Bahasa & Budaya, Ismail Agung menekankan minimnya pencerahan generasi belia terhadap integritas bangsa. Selain itu, Huyogo & Dhika jua mencatat bahwa agama diri dalam identitas bangsa mulai hilang, khususnya di kalangan generasi belia. Seperti yg diungkapkan sang Muhammad Habibullah bahwa bangsa kita belum punya rasa memiliki bangsanya sendiri. Untuk itu, Abrori menyatakan perlunya mengembalikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa pergaulan tanpa ada embel-embel Bahasa Inggris lantaran dinilai lebih modern & kekinian sang anak belia. Kontrol berdasarkan pemerintah terhadap media pemberitaan & hiburan terutama televisi pula dibutuhkan. Selain itu perlu dihidupkan pulang aktivitas-kegiatan pesta warga .

Selain bidang-bidang di atas, Kukuh Samudra berdasarkan unit Tenis ITB menyatakan bahwa Indonesia juga perlu membuatkan olah raga. Melalui olah raga, Indonesia bisa mengembangkan kesehatan fisik rakyatnya. Selain untuk mencari sehat atau mencari kesejukan tubuh & jiwa. Lebih jauh lagi, olahraga merupakan juga dapat menjadi kebanggaan. Misalnya pada masa kemudian, konon, Indonesia terkenal lantaran 3 hal, yaitu: Sukarno, Bali dan Bulutangkis. Indonesia pula pernah begitu perkasa di level Asia Tenggara bahkan taraf Asia. Sayangnya hal tersebut nir lagi terjadi pada masa kini . Padahal hal-hal tadi sanggup sebagai asal kebanggaan menjadi orang Indonesia.

Lepas dari berbagai ancaman yang dihadapi kemerdekaan Indonesia, Krisna menekankan bahwa Indonesia masih perlu bersyukur melihat peluang hayati di Indonesia. Potensi Indonesia sangat luar biasa, yang belum tentu dimiliki sang negara lain. Untuk itu, marilah kita peringati hari ulang tahun RI ke 71 ini dengan penuh rasa syukur, sembari tak lupa menyiapkan diri buat memperjuangkan kemerdekaan sejati !

***

Sabtu, 06 Juni 2020

[PIKIR] Terus Memaknai Kemerdekaan

Oleh: P. Krismastono Soediro

Mahatma Gandi - Menginspirasi

gerakan tanpa kekerasanProklamasi Kemerdekaan Indonesia dalam tahun 1945 adalah bagian dari arus sejarah besar dunia abad ke-20 seiring dengan kehendak bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia buat melepaskan diri dari kolonialisme. Waktu itu habislah sudah kesabaran bangsa-bangsa itu setelah hayati menjadi koloni dalam belenggu kekuasaan bangsa lain yang melakukan kontrol politik-ekonomi-sosial-budaya.

Kolonisasi dan Dekolonisasi

Praktik kolonisasi sudah terjadi sejak zaman kuno, seperti oleh bangsa Mesir, bangsa Funisia, bangsa Yunani, dan bangsa Romawi. Kolonialisme modern dimulai setelah orang-orang Portugis dan Spanyol menjelajahi wilayah-wilayah di lepas pantai mereka. Berbagai penemuan dan revolusi perdagangan mendorong bangsa-bangsa lain Eropa mengikuti jejak Portugis dan Spanyol, menguasai wilayah-wilayah lain, dan saling berebut kekuasaan atas wilayah-wilayah tertentu.

Marxisme memandang kolonialisme sebagai bagian dari kapitalisme. Melalui kolonialisme, dilakukan pemaksaan dan ekploitasi demi keuntungan kaum kapitalis yang mencari bahan mentah secara murah dan/atau mencari kesempatan berinvestasi dengan imbal hasil yang sangat tinggi. Akibatnya, terjadilah ketidaksetaraan, bahkan kebergantungan. Kaul liberal pun mengkritik kolonialisme; mereka tidak menyukai pandangan para pedagang yang picik dan curang; mereka memiliki filosofi perdagangan bebas (free trade) di antara para pelaku pasar, dan menginginkan fair play bagi semua pemain (a level playing field). Ide dekolonisasi bermula sejak Revolusi Amerika (1776) ketika 13 koloni Inggris memerdekakan diri. Proses dekolonisasi kemudian terjadi di Amerika Latin sejak abad ke-19. Dekolonisasi juga berlangsung di sejumlah wilayah di Eropa Tenggara pada abad ke-19. Gagasan dan gerakan dekolonisasi terus menyebar hingga Asia dan Afrika. Gerakan tentang Indonesia yang lebih sejahtera mulai bertumbuh pada awal abad ke-20.

Perang Dunia I (1914-1918) dan Great Depression (1930-an) melemahkan kaum kolonial, sekaligus menguatkan gerakan dekolonisasi. Kaum sosialis maupun liberal di negeri-negeri maju terus mengkritik praktik-praktik kolonialisme.

Perang Dunia II di Eropa antara lain didorong oleh motif kolonialisme Nazisme-Adolf Hitler dan Fascisme-Benito Mussolini buat meguasai daerah-wilayah yg bisa menyediakan bahan-bahan buat kepentingan industri. Di Asia Pasifik, militerisme-Jepang ingin membangun ?Asia Raya? Menggunakan berusaha menguasai koloni-koloni Inggris, Prancis, Belanda, dan Amerika Serikat pada Asia Pasifik.Akhir Perang Dunia II memperbesar arus dekolonisasi, terutama di Asia dan Afrika. Satu demi satu bangsa-bangsa menyatakan kemerdekaan mereka: Indonesia (1945), Vietnam (1945), Filipina (1946), India (1947), Burma (1948), Srilanka (1948), dan seterusnya. Kerajaan Belanda nir mendapat begitu saja Kemerdekaan Indonesia hingga Konferensi Meja Bundar pada Den Haag (1949). Di berbagai belahan dunia proses dekolonisasi hanya diterima dengan terpaksa, dengan berat hati, sang para kolonialis yg kehilangan laba mereka atas koloni-koloni.

Indonesia Pascakolonial

Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
Revolusi Kemerdekaan Indonesia berakhir dengan Konferensi Meja Bundar pada ujung tahun 1949. Mulailah babak baru sebuah bangsa yang masih begitu muda, dengan wilayah yang begitu luas, yang menjadi sebuah bangsa karena merasa senasib-sepenanggungan dalam ketidakadilan sistem kolonial. Sepanjang dasawarsa 1950-an bangsa Indonesia melakukan eksperimen-eksperimen kehidupan berbangsa dan bernegara. Eksperimen pertama berlangsung dalam periode yang dijuluki sebagai periode demokrasi liberal (1950-1959). Kemerdekaan diisi dengan menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Aspirasi-aspirasi bertaburan, saling bergesekan, bertabrakan, menimbulkan perbedaan, perselisihan, bahkan pemberontakan. Presiden Soekarno tidak tahan dengan situasi yang dinilai membahayakan persatuan nasional. Pada tahun 1959 ditetapkanlah Dekrit Presiden, yang membawa Indonesia pada periode demokrasi terpimpin, dalam panduan “Pemimpin Besar Revolusi”, “Penyambung Lidah Rakyat”. Kemerdekaan diisi dengan memompa semangat nasionalisme dan kebanggaan nasional. Politik menjadi panglima, yang berorientasi kekiri-kirian, tetapi ekonomi kurang mendapat perhatian, inflasi membubung tinggi.

Tragedi Nasional 1965 & rentetannya membalikkan situasi nasional, dengan memakan begitu poly korban jiwa, tahanan politik, dan trauma yg begitu mendalam. ?Orde Baru? Pada kepemimpinan Presiden Soeharto mengusung pembangunanisme ekonomi yang cenderung otoriter. Kemajuan dalam bidang makroekonomi & fisik kurang disertai dengan ? Bahkan mengorbankan -- kemajuan pada bidang sosial-politik dan bidang sosial-budaya. Pembangunan disertai menggunakan peningkatan luar biasa utang nasional, & ad interim itu korupsi merebak pada lingkungan kroni-kroni penguasa.

Reformasi Nasional pada tahun 1998 bermaksud mengisi kemerdekaan dengan melakukan perubahan-perubahan struktur & proses kehidupan nasional sebelumnya. Krisis multidimensional yg bermula dalam tahun 1997/1998 sedikit demi sedikit dapat diatasi. Setiap presiden ? Semenjak Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnopoetri, Presiden Susilo Bambang Yudoyono, & kini Presiden Joko Widodo ? Berupaya menjaga kemajuan bidang sosial-ekonomi sambil juga memperbaiki bidang sosial-politik dan sosial-budaya.

Terus Memaknai Kemerdekaan

Apakah Indonesia – dan kita masing-masing – benar-benar sudah merdeka? Inilah pertanyaan reflektif yang sering dilontarkan. Para pemikir membedakan dua macam kemerdekaan (kebebasan, freedom, liberty), yaitu “kemerdekaan dari (freedom from) hal-hal negatif” dan “kemerdekaan untuk (freedom to) melakukan hal-hal positif”. Freedom from bersifat dari luar ke dalam (outside in), sedangkan freedom to bersifat inside out (dari dalam ke luar).

Kemerdekaan dari (freedom from) hal-hal negatif-lah yang sering disorot pada tataran publik. Sebagai contoh, apakah kita sudah merdeka dari kemiskinan? Jawabannya barangkali tidak hitam-putih. Lebih baik bila kita antara lain melihat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI) Indonesia dari waktu ke waktu. Memang terjadi trend peningkatan HDI dari tahun ke tahun sejak tahun 1990 hingga kini walaupun masih di bawah rata-rata dunia maupun rata-rata Asia Pasifik. Tentu saja HDI perlu dilihat secara lebih rinci, dan ini pun perlu dilengkapi dengan indikator-indikator lain. Contoh lain, apakah kita sudah merdeka dari korupsi? Jawabannya barangkali lebih baik bila kita antara lain melihat Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index, CPI) Indonesia dari waktu ke waktu. Memang terjadi persepsi yang lebih baik terhadap upaya pemeberantasan korupsi di Indonesia. Tentu saja jalan menuju kemerdekaan dari korupsi masih sangat terjal.

Kemerdekan untuk (freedom to) melakukan hal-hal positif lebih bersifat privat/individual. Terutama anak-anak memang hendaknya memperoleh freedom from hal-hal negatif dengan derajat yang tinggi. Seiring dengan usia seseorang, hendaknya dia mampu mengembangkan freedom to melakukan hal-hal positif. Semakin dewasa seseorang, hendaknya semakin mampu pula dia proaktif dalam menentukan arah hidupnya dan berkontribusi kepada orang-orang di sekitarnya. Inilah pentingnya budaya dan edukasi. Budaya dan edukasi yang bagus akan mendorong seseorang mengembangkan freedom to.

Adakah manusia yg benar-sahih merdeka? Apa pun situasinya, tanpa perlu menuntut syarat apa pun, batin insan semacam itu selalu merdeka buat bersikap proaktif, buat menentukan pilihan. Manusia semacam itu nir menuntut syarat ini-itu buat melakukan sesuatu yang dianggapnya baik, buat berkontribusi demi kebaikan beserta. Barangkali itulah manusia yang telah mengalami kesadaran.

Selamat terus memaknai kemerdekaan. ?

[PROFIL] Mengikatkan Diri untuk Memerdekakan Masa Depan

Oleh: Deta Ratna Kristanti

Prof. Hendra Gunawan
Jika kita berbicara tentang kemerdekaan, biasanya kita mengaitkannya dengan kebebasan. Kebebasan berpikir, berbicara, bertindak merupakan tiga hal yang sering digadang-gadang sebagai indikator kemerdekaan. Kemerdekaan juga digambarkan sebagai situasi di mana orang tidak terbelenggu oleh tekanan atau tuntutan dari pihak lain terhadap dirinya.

Kemerdekaan seringkali diidentikkan dengan situasi tanpa keterikatan, lantaran keterikatan tak jarang diartikan menjadi belenggu yang membatasi kebebasan. Apakah orang yg mengikatkan diri berarti menanggalkan kemerdekaannya? Bagi seorang Hendra Gunawan, seorang matematikawan & inisiator anakbertanya.Com, kesediaannya mengikatkan diri pada tujuannya justru sebagai kunci keberhasilan buat mewujudkan mimpi-mimpinya.

Anak-Anak yg Merdeka: Siap Menghadapi Tantangan Zaman dengan Budaya Bernalar

Apa mimpi Pak Hendra? Salah satu mimpi Pak Hendra adalah mewujudkan anak-anak yang siap menghadapi tantangan pada zamannya, sekitar 30 tahun ke depan. “Tiap anak itu punya potensi untuk memecahkan masalah, mereka punya potensi untuk mencipta. 30 tahun ke depan, anak-anak ini berada di puncak karier, dan mereka yang akan menjadi pemimpin. Yang kita lakukan itu bertujuan menggugah anak-anak untuk mau membekali diri mereka dengan kemampuan bernalar dan mencipta. Dan apa yang diciptakan anak-anak itu bisa baru, orisinil dari mereka” tutur Pak Hendra. Bagi Pak Hendra, kemerdekaan berarti bebas dari kungkungan pihak lain/ aturan yang dibuat turun temurun baik yang tertulis maupun tidak, leluasa melakukan apa yang ingin dilakukan, termasuk yang selama ini ia perjuangkan bersama teman-temannya: kemerdekaan berpikir, bertanya, dan mendefinisikan sesuatu yang baru.

Dalam kurun saat 71 tahun kemerdekaan Indonesia dan pada masa yang akan tiba, kemerdekaan buat anak masih krusial buat terus disuarakan dan diupayakan lantaran tantangan setiap zaman tidak sinkron. Pada saatnya, pengetahuan dan konsep yg kita anut akan lama juga. Perlu konsep baru, perlu upaya tidak sinkron. Karena itu, anak-anak perlu merdeka buat berpikir & bertindak, nir boleh terkungkung sang pengajar atau orang tuanya, sebagai akibatnya bisa berbagi kualitas dirinya. Mahasiswa jangan hingga merasa dikungkung kebebasan berpikirnya sang dosen. Pengajar-guru menjadi pendidik juga tidak boleh terkungkung perkembangannya lantaran terbentur kurikulum, sebagai akibatnya ada peningkatan & pengembangan kualitas pengajar. Kemerdekaan bernalar tidak boleh sampai tertindas sang regulator, atau orang yg (merasa) lebih senior. Menurut Pak Hendra, kemerdekaan krusial untuk peningkatan kualitas, karena adalah solusi atas ketika dan zaman yg berkiprah terus. Kurikulum Indonesia, dari Pak Hendra, membuat anak tidak merdeka dan cenderung ketinggalan zaman. Kurikulum di Indonesia cenderung membuat anak & pengajar terjebak pada urusan administrasi, tidak membuka ruang bagi anak buat berbagi budaya bernalar, & nir memberi ruang pada guru buat berkembang & menaikkan kualitasnya.

"Anak-anak yang sebagai ?Boneka? Itu mekanis, jadi seperti robot, karena terdapat pengendalinya, dikendalikan sang pihak lain, dalam hal ini kurikulum. Anak-anak hanya memahami kulitnya, misalnya hanya tahu rumusnya saja. Mereka nggak bisa berbuat apa-apa bila nggak pada-input, Hanya anak-anak yang sanggup mempertahankan kemerdekaan berpikir yg sanggup memimpin, sanggup lepas menurut kungkungan zamannya. Tokoh seperti Sukarno bisa melampaui tantangan zamannya, lantaran memiliki penemuan, daya kreatif,", istilah Pak Hendra tentang kemerdekaan anak.

Kemerdekaan juga terkait berani mewujudkan. Dalam hal ini keberanian dalam arti “courage” bukan “brevity”, yaitu mewujudkan apa yang dia pikir menjadi masalah di masa depan. Misalnya orang-orang yang menciptakan ponsel pintar, dia bisa berpikir sejak10 tahun sebelumnya. Orang yang tidak merdeka adalah yang bilang bahwa hal itu tidak mungkin (ada). Kemerdekaan itu dibutuhkan untuk melompat, melampaui zamannya. “Anak-anak perlu didorong untuk membuat sesuatu, bukan sekedar untuk Indonesia, tapi hingga menyumbang karya untuk peradaban, Karya harus terus bermunculan. Saya rasa salah satu bentuk kemerdekaan ya bisa berpikir out of the box. Tidak semua orang bisa seperti Soekarno, hanya orang-orang tertentu yang bisa membuat prediksi untuk 50 tahun yang akan datang.”

Pada tanggal 18 Mei 2013, Prof. Hendra Gunawan dan Prof. Iwan Pranoto dari ITB, Gustaff Hariman Iskandar dari Common Room, Alexander Iskandar dari Eureka, Avivah Yamani dari Langit Selatan dan beberapa rekan lainnya mengadakan STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts and Mathematics) Festival dengan tujuan mengampanyekan budaya bernalar. Setelah festival diadakan, Pak Hendra merasa misi yang dibawa harus dilanjutkan dalam bentuk lain. “Membangun budaya bernalar itu sesuatu yang penting. Maka saya mengikatkan diri dengan tujuan tersebut, karena ini penting untuk dilanjutkan, dilakukan, juga terutama bagi anak-anak” Awalnya Pak Hendra memiliki ide membangun sekolah virtual, “Sudah sempat mengonsep dan mencari orang-orang yang bisa berkontribusi pada produknya. Namun kemudian ternyata saya lihat, tidak mudah juga.” Pak Hendra lalu berdiskusi dengan salah satu temannya, Bapak Hadi Nitiharjo, Kepala SOS Desa Taruna Kinderdorf, Lembang. Setelah berdiskusi panjang, kemudian keluarlah ide untuk mengetahui: Sebenarnya apa yang dibutuhkan anak-anak? Apa yang ingin anak-anak ketahui? Apa yang ingin mereka pelajari?

Berangkat dari hasil diskusi tersebut, Pak Hendra lalu menggagas Anak Bertanya Pakar Menjawab (www.atpj.com, sekarang menjadi www.anakbertanya.com), sebuah pintu atau media virtual yang disediakan bagi anak untuk menanyakan berbagai hal menarik yang ingin diketahuinya. Dari pertanyaan yang diajukan, tim anakbertanya.com mencarikan jawaban dari para ahli, atau orang yang berkemampuan menjawab sesuai dengan bidangnya. “Ada misi lain yang ingin diwujudkan oleh anakbertanya.com, yaitu mempertemukan anak dengan tokoh yang menjawab pertanyaannya. Mudah-mudahan, orang yang menjawab pertanyaan dapat menjadi sosok panutan atau tokoh idola dari anak-anak itu” Pak Hendra melihat, di Indonesia, anak-anak kekurangan sosok panutan. “Seolah-olah, orang hebat itu harus politisi, artis atau pengusaha yang punya jabatan atau ngetop. Dan sayangnya, banyak di antara mereka yang menjadi terkenal atau memperoleh jabatannya bukan karena kepakaran mereka dalam ilmunya. Memangnya bangsa ini bisa besar jika dikawal tiga golongan itu? Sementara di luar banyak orang hebat yang modal utamanya ilmu mereka. Mereka-mereka inilah yang dapat menjadi panutan bagi anak-anak” tutur Pak Hendra. Pak Hendra juga mengumpulkan profil-profil tokoh-tokoh hebat dunia dalam laman www.indonesia2045.com

Lewat anakbertanya.com, Pak Hendra ingin menggabungkan 3 hal: sosok – bidang keilmuan dan dunia kerja/ profesi. “Dunia sekolah itu inginnya menyiapkan anak untuk punya profesi, tapi ya mesti ditopang oleh keilmuan. Anak-anak harus punya cita-cita supaya tahu dan bisa memilih profesi sesuai dengan minatnya.”

Pak Hendra juga memiliki alasan personal ketika menggagas gerakan Anak Bertanya. “Saya punya anak. Beberapa teman yang bersama saya menggagas ini juga. Saya bisa saja hanya membekali anak saya dengan kemampuan bernalar yang baik. Namun, kalau saya hanya memikirkan anak saya, anak saya nantinya juga tidak akan hidup, karena nanti ia akan hidup dengan anak-anak lainnya. Saya juga harus memerdekakan anak-anak yang lain. Kalau kita memikirkan sesuatu secara intens, pasti nanti ada jalannya.. Misalnya saja, ide tentang menampilkan sosok panutan. Ketika saya punya anak, saya juga perlu bacaan untuk anak saya. Suatu saat, kebetulan ada Seri Buku Tokoh Dunia untuk anak. Ada tokoh-tokoh hebat yang ditampilkan. Dari Indonesia siapa? Saya terinspirasi oleh penulisnya yang mengatakan, 'Saya bukan orang besar tapi ingin menghadirkan orang-orang besar'.”

Dari Online ke Offline: Memperluas Kesempatan Berjumpa Panutan

Gerakan Anak Bertanya memang berbasis dari blog, yang tujuannya mempertemukan pakar dengan anak-anak di dunia maya. “Nah, jadi tantangan juga buat pakar, bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak. Menjawab pertanyaan anak-anak lewat tulisan di blog.”

sumber foto: http://semipalar.sch.id/?p=2941)
Pak Hendra juga membuat acara offline Anak Bertanya Pakar Menjawab. Acara pertama diadakan bulan November 2013 di SOS Kinderdorf Lembang berbarengan dengan peluncuran gerakan Anak Bertanya Pakar Menjawab. Acara yang kedua diadakan di Rumah Belajar Semi Palar, Jalan Sukamulya, Bandung. Di kedua acara tersebut, tim Anak Bertanya mengumpulkan banyak pertanyaan dari anak-anak yang kemudian diunggah ke laman Anak Bertanya setelah dijawab oleh pakar yang tepat. Selain mengumpulkan pertanyaan, Pak Hendra juga menggandeng beberapa komunitas yang terbiasa berkegiatan dengan anak-anak untuk menampilkan berbagai kegiatan menarik bagi anak-anak, di antaranya mencoba roket air, membuat kacamata 3D dan awan di dalam botol, dan berbagai percobaan sains. Pertanyaan-pertanyaan anak-anak ini juga sudah dibukukan dalam beberapa jilid buku Anak Bertanya Pakar Menjawab.

Langkah selanjutnya, Anak Bertanya menyelenggarakan Festival Anak Bertanya di tahun 2015 dan 2016. “Di Festival Anak Bertanya, anak-anak dipertemukan langsung dengan pakar dari lembaga-lembaga dengan tema yang berbeda-beda. Penyelenggara perannya menjadi “toko serba ada”. Anak-anak bisa bertanya di booth-booth lembaga, komunitas-komunitas juga masih ada yang perlu memperkenalkan diri. Jadi win-win untuk semua,” kata Pak Hendra.

Dalam keseharian, Pak Hendra lebih banyak berjumpa dengan orang dewasa, karena itu untuk menghadapi anak-anak, ia memiliki trik tersendiri. “Tidak serta merta saya langsung berinteraksi dengan anak-anak. Seperti saat acara pertama Anak Bertanya Pakar Menjawab di SOS Kinderdorf Lembang, saya bawa “pasukan” teman-teman yang biasa berinteraksi dengan anak-anak, seperti Kak Avivah Yamani dari Langit Selatan, Kang Robi DC dari Ensembel Tikoro , Karina Adistiana dari Peduli Musik Anak, waktu itu ikut juga. Ini salah satu ciri khas Anak Bertanya, crowded funding, melibatkan teman-teman dari banyak komunitas yang biasa berinteraksi dengan anak. Kalau saya lebih berperan menggagas saja.”

Memerdekakan Masa DepanPak Hendra membayangkan di tahun 2045, kalau Indonesia masih tetap eksis (itu masih peluang juga, katanya) dan menjadi lebih baik, orang-orang yang mengawal negeri ini terinspirasi, tercerahkan dan memiliki cita-cita tinggi, maka itulah kontribusi laman anakbertanya.com. Misalnya seorang anak menjadi ilmuwan hebat karena terinspirasi datang ke seminar misalnya dan bertemu dengan ilmuwan idolanya. Seperti Neil Tyson, seorang astrofisikawan dunia yang tertarik mempelajari bidang astrofisika karena pengalaman belajarnya bersama Mark Chartrand III, direktur Planetarium dan Carl Sagan, seorang astronomer dari Cornell University. Di bidang lain, ada Joseph Schooling seorang perenang yang mengalahkan idolanya, perenang Michael Phelps pada pertandingan 100 meter gaya kupu-kupu di Olimpiade Rio beberapa minggu yang lalu. Pada tahun 2008, Schooling masih menjadi anak sekolah yang ngefans dengan Phelps. Namun delapan tahun kemudian, Schooling bahkan memenangkan medali emas mengalahkan Phelps di kejuaraan tingkat dunia.

Masa mini dari Pak Hendra krusial lantaran memungkinkan seorang anak bertemu sesuatu yang sanggup berkaitan dengan bakatnya, juga tokoh panutannya. Sementara kini ini di Indonesia masih banyak anak yg tidak berkarya sinkron dengan bakatnya, karena kesempatan itu belum poly tersedia juga belum difasilitasi orang dewasa di sekitar anak. ?Terhadap Joey Alexander, aku kagum, akan tetapi aku lebih kagum lagi pada orang tuanya, karena memberi ruang, bahkan berani pindah mengikuti talenta si anak. Sementara, pada sisi lain, kini poly guru atau ortu jadi ?Pagar? Anak. Pagar diharapkan akan tetapi jangan sampai membatasi anak, Guru & orang tua mestinya membuat anak justru bisa melampaui dirinya dengan kemampuannya.?

Sementara itu, mahasiswa yang dihadapinya sehari-hari punya karakter yang berbeda dari anak-anak. “Untuk level mahasiswa, saya ingin menantang anak-anak muda, bisa apa dengan gadget yang kamu punya, bisa berbagi sesuatu yang original/ ide dari diri sendiri, Untuk apa punya gadget canggih kalau penggunaannya tidak optimal. Janganlah bertanya sesuatu yang jawabannya sudah ada di Google. Kita harus berpikir satu langkah ke depan daripada Google. Tingkat mahasiswa seharusnya sudah bisa produksi game sendiri” imbuh Pak Hendra.

Menyiapkan anak untuk tantangan masa depan acapkali dikaitkan dengan kehidupan berkompetisi dan berkolaborasi. Bagi Pak Hendra, sangat disesalkan bila kemampuan kita digunakan buat berkompetisi dengan orang lain. Baginya, kompetisi merupakan upaya kerja keras untuk melawan diri sendiri, berjuang buat mencapai misi eksklusif. Misi langsung kita mestinya mendukung misi besar & menggunakan demikian kita perlu berkolaborasi. Makanya, anak perlu punya hasrat, sebagai akibatnya memahami langkah-langkah yang harus dilakukan. Sehingga jikalau orang tua memasukkan anaknya ikut les, kursus dan sebagainya, lesnya itu menjadi bermakna.

Mimpi-mimpi Pak Hendra yang lain ia wujudkan dalam dua buah buku yang telah ditulisnya: Lingkaran dan Menuju Tak Terhingga. Dalam kedua buku tersebut, Pak Hendra menulis dengan bercerita. “Jadi tidak seperti textbook, tapi ada sejarahnya juga. Seperti di buku Lingkaran, saya sebut “hantu” Lingkaran, tapi ini “hantu” yang kita mau pecahkan misterinya bersama-sama.” Tambahnya,”Selain menjadi dosen, saya punya tujuan-tujuan lainnya, menulis buku, mengisi blog.”

Sekali lagi, Pak Hendra menekankan , buat mewujudkan mimpi kita perlu punya cita-cita kuat & mengikatkan diri dalam tujuan tersebut. ?Makanya saya tidak terlalu terpengaruh pada penggantian-penggantian menteri, mau pejabatnya ganti, presidennya ganti, aku telah punya tujuan aku , yang penting untuk aku wujudkan.?

Profil:

Prof. Hendra Gunawan

Dosen Matematika ITB 1988 ? Kini

Blogger sejak 2013:

www.Indonesia2045.Com, www.Anakbertanya.Com, www.Bersains.Wordpress.Com, www.Bermatematika.Net

Inisiator Anak Bertanya 2013: Blog ditampilkan sejak Mei 2013, Peluncuran gerakan di November 2013

[OPINI] Membaca dan Berpikir Kritis

Penulis : Umbu Justin

Membaca demi memanusia

Segala sesuatu membaca. Membaca merupakan pusat eksistensi segala sesuatu, masing-masingnya dan totalitasnya. Berhenti membaca, berhenti sebagai sesuatu; berhenti mengada, hilang begitu saja ?

Salah satu syair kuno Yunani tentang penciptaan bertutur bahwa Sang Pencipta itu, yakni Dia yg mula-mula adalah Kata. Kata merupakan bacaan.

Semesta adalah peristiwa membaca yang tak pernah usai. Berhenti membaca, semesta pun berakhir. Daya-daya purba semesta membaca kepadatan gravitasi tak berhingga, membaca menggunakan bunyi ledakan keras, dentuman purba, big-bang, tanggal memancar, meluas menciptakan ruang tak bertepi sampai sekarang. Semesta, cerita mengenai pembaca setia, membaca pesan intrinsik dalam dirinya dan membacakan lahirnya kejadian-peristiwa baru, semesta-semesta baru, daya-daya baru, pusaran-pusaran cakram galaksi baru; berada, melenyap dan berpendar mengada lagi, semesta yang terus lahir, menjadi remaja, dewasa, menua & tewas menggunakan letusan brilian sebagai hembusan kabut gas warna-warni & kepingan-kepingan mineral, emas, perak, besi, tembaga dan air raksa sebelum melapuk hanyut pada lautan luas ruang tak berbatas atau berlanjut ditarik ke dalam pusaran-pusaran galaksi baru.

Terjadinya semesta tidak seperti narasi penciptaan biasa di mana sang pencipta sanggup kemudian memberikan karyanya pada etalase, memajang pada dinding atau menjualnya lalu melupakannya begitu saja. Semesta bertumbuh bagai pohon besar , meruang-luas, & akarnya menjangkau jauh ke pada hakekatnya sendiri, menimba pesan untuk terus berada menggunakan berevolusi memperbaharui diri.

Evolusi berarti mengatasi krisis, karena interaksi antar bentuk-bentuk usang nir lagi aktual, perlu adaptasi dan antisipasi buat menghadirkan bentuk-bentuk interaksi baru. Membaca bagi semesta berarti tindakan menjawab krisis, berubah menuju dinamika relasional baru.

Lahirnya kehidupan, dalam konteks kita, adalah narasi beragam. Bumi memiliki kemiringan sumbu dan jeda yg pas terhadap mentari , sehingga air padanya senantiasa cair, sebagai akibatnya bisa tercipta arus & pasang-surut akibat gravitasi bulan. Pembacaan berulang kali berjuta tahun, pasang-surut, arus samudera , rotasi, revolusi, siang-malam, pergantian demam isu, membacakan narasi baru: pemunculan kehidupan, sebuah narasi dengan intrikasi tenunan sebab dampak yg sangat kompleks; menurut situ tak ada yang bisa diurai, dilepaskan sebagai kalimat tunggal buat berdiri sendiri.

Dinamika semesta raya terus berubah menuju pembacaan yang semakin kompleks, berevolusi menuju kesadaran, conscientia, kehidupan berbudaya, sebuah pencapaian kesetimbangan baru dengan hadirnya mahluk berbudi bahasa…

Manusia, pengeja kesadaran, muncul menurut jalan panjang evolusi, berkutat membaca pesan semesta pada dirinya: mempertahankan hidup, bersosialisasi, bermigrasi, merespon bahaya, mengatasi permasalahan & seterusnya melalui kecakapan membaca intrinsik. Pada jutaan tahun pertama, setiap pengalaman insan merupakan reaksi pribadi, pada mana pengalaman nyata melekat erat dalam seluruh penginderaannya & dengan tubuhnya insan mengambil respon yg sinkron buat mempertahankan hidup.

Ia hadir dengan canggung sebab tubuhnya tidak 'selengkap' mahluk lain yang leluasa berhadapan dengan tantangan alam liar, tak berbisa, tidak ber-mimicri, tidak bertanduk atau memiliki cakar, tidak secepat , selincah yang lain. Manusia membutuhkan kecakapan sosial, kemampuan berinteraksi dalam keluarga, suku dan jaringan kebersamaan yang lebih kompleks. Manusia awal membutuhkan jenis pembacaan yang mendampingi pembacaan intrinsiknya, yakni daya baca abstrak, ekspresi dari conscientia, berupa tutur bahasa.

Beruntung insan awal berlindung pada gua-gua alam yg menjorok ke dalam perut tebing-tebing batu. Kegelapan gua sanggup 'mematikan' indera, melepaskan insan dari global luar yg sangat menyita perhatian. Manusia 'melihat' kegelapan, meraba kekosongan & mendengarkan keheningan. Kegelapan, loka berhenti bereaksi, tempat tetirah & merasakan global lain yang lebih luas, alam batiniah, tempat roh merogoh alih daya-daya jasmani menggunakan dinamika yang jauh lebih beraneka rona: refleksi, imajinasi & abstraksi.

Dalam kegelapan, mimpi dan imajinasi mendapatkan tempat, merasuk jauh ke pada dasar batin. Pengalaman luar gua, penginderaan total yg serba nyata, ada pulang menjadi gambar-gambar reflektif, tidak konkret, imajiner. Kegelapan gua menjadi jelas paling brilian bagi insan: ruang kesadaran baru, abstraksi, imajinasi, pelepasan diri dari kejasmanian menuju yang spiritual. Manusia mulai membaca dengan bahasa, reflektif, tanpa terikat pengalaman nyata global luar.

Gambar-gambar hewan dan grafis perburuan pada dinding gua-gua purba misalnya pada Altamira, adalah aktualisasi diri reflektif itu, lompatan akbar pada sejarah membaca. Kita melihat bison-bison di dinding gua berderap di padang-padang terbuka di batin kita. Imajinasi menjadi yg aktual.

Dalam gua gelap kita butuh konkretisasi pengalaman batin. Maka lahirlah gambar, simbolisasi yg melepaskan kita menurut persentuhan langsung dengan global luar dan sekaligus mengkonkretkan global batin. Simbol tidak terikat pada fenomena namun simbol sanggup mengarahkan respon manusia buat mengatasi krisis pada situasi nyata dengan lebih terjadwal. Simbol menyimpan fenomena dengan lebih aktual dibandingkan dengan peristiwanya sendiri. Simbol bison pada dinding gua menyimpan dan menghadirkan kesan tentang semua bison pada padang mana pun, yang sudah terdapat atau pun yg belum ada. Bagi para pemburu purba, gambar bison itu adalah seruan panggilan buat menghadirkan balik perburuan kawanan bison itu dalam saatnya, sebuah ujud pengharapan, doa atau mantra.

Sebelumnya kecerdasan membaca hanya berlangsung secara intrinsik, genealogis, dalam riwayat biologis badan kita, contohnya dalam tubuh yang berjalan tegak, penglihatan panoramik, tangan yang bebas untuk bisa menciptakan peralatan. Sementara abstraksi merupakan daya membaca yg baru, kita dapat berbahasa, menciptakan simbol-simbol & pertanda-pertanda, memberi nama dalam sesuatu, generalisasi, menghitung, menyimpulkan dan menciptakan prediksi. Yang terpenting, kita mampu membahasakan pengalaman supaya pengalaman itu bisa direka-ulang, diceritakan pulang.

Kemampuan menceritakan kembali, menghadirkan pengalaman konkret atau imajiner, merupakan perayaan sosial yg dulu sangat dihargai. Di kurang lebih barah unggun, pada bawah fresko bison & kuda-kuda purba rona-warni ataupun di verbal gua, pada bawah selimut bintang-bintang abadi, nenek moyang kita mendengarkan shaman atau tetua bercerita tentang riwayat kehidupan. Saat inilah daya membaca kita merumuskan arah & orientasi baru, yakni kebebasan dan kreativitas yang sungguh hidup menurut global batin kita. Membaca dengan bahasa membuat hayati tidak terikat pada urusan respon demi keamanan fisik, nafsu, makan atau kelaparan. Membaca menjadi perayaan, menjadi representasi kemanusiaan yang berbudi bahasa. Hidup datang-tiba sebagai lebih luas dari sekedar keberlangsungannya.

Kita mungkin lupa dalam daya baca intrinsik yang tersimpan pada memori jasmani kita, namun kita sudah mengangkat memori itu ke dalam daya ungkap bahasa & melahirkannya sebagai budaya. Beribu-ribu tahun sesudah api unggun di bawah fresko kawanan bison dan ringkik kuda purba, bahasa sudah sebagai semakin kompleks. Semesta tetap membaca secara dinamis, bintang-bintang dan galaksi akbar-mini masih mengalir deras, meruang dalam arus sungai penciptaan yg abadi, dan pilihan terhadap manusia menjadi mahluk simbolik atau mahluk berakal budi sebagai narasi yang paling menakjubkan.

Membaca Kritis : Antara Alice dan Pinocchio

Kita tidak pernah bisa membaca hal yang sama dua kali tetapi kita selalu membaca buat mencari memahami tentang satu hal saja, yakni kebenaran eksistensi kita.

"Segala sesuatu mengalir, semua berlaludanquot;, istilah Heraclitus, filsuf dari kota Efesus, Yunani kuno, "kita tidak pernah sanggup menginjakkan kaki di sungai yg sama."

Yang tak berubah adalah perubahan itu sendiri...

Parmenides, filsuf Yunani antik menurut Elea membaca bahwa semesta tidak bisa berubah, hanya kesan pada kita saja yang berubah, seluruh hal sama saja, pada kembali tampilan yg bervariasi dan berubah-ubah, terdapat hanya yg sama senantiasa.

Kita hidup saat ini, lebih dari 2500 tahun setelah Heraclitus dan Parmenides, di antara kedua kutub tersebut, antara mengejar perubahan yang sedemikian cepat dan kecenderungan untuk mempertahankan kenyamanan, keyakinan, nilai, kebenaran, dogma dan seluruh kehidupan. Dan dengan terjebak di antara kedua kutub tersebut kita sama sekali tidak sempat membaca dengan benar. Pada kutub Heraclitus, pembela perubahan, kita dikepung oleh tuntutan untuk meng-update pengetahuan dan cara hidup. Pengetahuan kita menjadi sangat ephemeral, berumur pendek, gampang kadaluarsa. Kita mengejar percepatan dengan bekerja lebih efisien, lebih mudah, lebih singkat namun tetap tak terpuaskan. Meski akses pada pengetahuan menjadi sangat mudah,semua menjadi tidak bernilai, tak sempat berakar, hati kita terganggu untuk mengejar percepatan.

Di kutub Parmenides, pembela kemapanan, lantaran hati kita goyah dan was-was, takut pada arus perubahan yang menyapu semua milik kita, maka kita menegaskan kemurnian iman, keyakinan, adat norma, nilai-nilai & dogma-dogma menantang semua percepatan perubahan.

Mari kita kembali ke gua-gua purba kita, ketika kegelapan membutakan mata kita dan membuka mata batin kita, memandang gambar-gambar polychromos: bison-bison dan kuda-kuda yang berlarian di savana hati kita, mencari keniscayaan jadinya suatu lingkupan dunia yang sungguh bisa dilepaskan dari gejala badaniah kita kita melalui proses kebahasaan. Bison di dinding gua, apakah ia sungguh mewakili semua bison yang pernah ada, yang akan ada, bison dari tanah liat, atau awan berbentuk bison di mata kanak-kanak dan semua yang kita anggap bison? Sebuah gambar, sebuah simbol, sebuah kata, sebuah nama, apakah sungguh menunjuk pada realitasnya?

Filsuf Plato dalam dialognya yang terkenal 'Cratylus' mengungkapkan: "Dalam kata Mawar, terkandung seluruh mawar?" Dalam kata Nil, membentang seluruh alur-genre sungai besar tersebut, semua keloknya yang mengukir tanah tandus afrika utara, seluruh bangsa yg mengikatkan sejarah mereka pada kesuburannya & timbul tenggelamnya dinasti-dinasti perkasa pembangun piramida. Sebuah istilah, benar-benar penuh daya cipta menakjubkan. Maka bahasa adalah mantra pemanggil global & setiap buku adalah semesta yang siap dilahirkan.

Tetapi pada pulang keajaiban kata, nama, gambar, simbol, masih ada sebuah dinamika kontras, meski mengikat & menghadirkan realitas, bahasa pun ternyata segera memisahkan insan dari semesta. Di luar gua manusia berhadapan menggunakan kesamaan pragmatis, buat menjamin keberlangsungannya, insan membutuhkan jarak yang memadai terhadap semesta, untuk bisa menghindari ketak-terdugaan peristiwa, & mengendalikan peristiwa-peristiwa, menciptakan prediksi, menciptakan perencanaan agar hanya yg diinginkan yg sanggup bermetamorfosis sebagai insiden. Manusia memisahkan diri berdasarkan totalitas semesta, menjadi individu dengan membentuk lingkungan yang bisa dikendalikan. Caranya merupakan menggunakan menciptakan bahasa menjadi sebuah instrumen. Gambar & simbol disederhanakan sebagai tulisan & pertanda. Lambang-lambang fragmental segera menjadi pengubah cara hidup. Manusia berani keluar gua, membangun kota dan peradaban, membarui semesta menjadi landskap tekstual yg mampu dibaca, dikendalikan & ditata.

Manusia berkebudayaan sudah membarui pengalaman membaca yang intuitif pada gua-gua sebagai instrumen komunikasi. Membaca lalu kehilangan spontanitasnya, juga kehilangan kekuatan intuitifnya yg sanggup memanggil semesta. Masyarakat bukanlah kelompok pemburu gua yang berkumpul pada sekeliling api unggun. Masyarakat dibangun sang daya-daya artifisial, kepercayaan , politik, kebudayaan, kenangan-kenangan akan peperangan, batas-batas geografis, kepentingan-kepentingan ideologis, ekonomi, konstitusi, menggunakan konsekuensi yg efektif menafikan nilai individu. Konstituen rakyat bukanlah individu melainkan daya-daya artifisial tersebut. Individu wajib bisa membaca, menginternalisasi daya-daya artifisal tadi untuk mampu terhindar berdasarkan ketiadaan; suatu ketiadaan artifisial, non person, kehilangan pengakuan apabila individu nir mampu membaca teks konstituen masyarakat: kepercayaan , politik, ideologi dan seterusnya.

Membaca yang sebenarnya

Alberto Manguel yang memperkenalkan dirinya sebagai pembaca, menulis tentang perbedaan antara Pinocchio (Collodi 1883) dan Alice (Lewis Carroll, 1865) dalam membaca. Pinocchio boneka kayu miskin namun bercita-cita tinggi dengan segala nasib buruknya ia berusaha bersekolah supaya bisa membaca dan pada gilirannya bisa hidup layak dan diakui resmi dalam masyarakat. Alice di lain pihak adalah gadis kecil yang bertualang karena rasa penasaran yang kuat terhadap kelinci sedang bergegas. Petualangan Pinocchio tidak menyuguhkan cerita tentang pengalaman membaca selain prestasi belajarnya yang baik dan membuat teman-temannya iri hati. Alice sebaliknya berkutat dengan pengalaman eksistensial tentang kebenaran dan realitas dirinya akibat permainan makna kata dan tutur bahasa yang begitu majemuk, non-singular dan tidak stabil.

Pinocchio mewakili hampir seluruh anak korban metodologi pembelajaran saat ini, yakni sekadar buat melaksanakan transfer ilmu pengetahuan. Kita bersekolah & mengambil spesialisasi buat mampu membaca dengan keterampilan tertentu & menerima kiprah yg sesuai pada masyarakat. Menjadi juara, memenangkan medali olimpiade matematika atau fisika adalah kemewahan yg sangat diharapkan orang tua dalam anaknya. Pinocchio yg sebagai brutal & nakal kemudian mengalami banyak sekali nasib tidak baik lantaran menghindari sekolah yang memberi pesan moral buat beretika terpelajar pada anak-anak.

Kisah Alice pada lain pihak menggemakan kembali pengalaman kebahasaan yang sangat imajinatif pada dalam gua-gua purba nenek moyang kita. Berbahasa merupakan berdaya cipta, berkreasi, bermain menggunakan pengalaman, mengembangkan kekayaan batin & memperkaya ruang-ruang simbolik pada pada kehidupan.

Bagi Pinochio, membaca adalah mengeja pertanda, lambang-lambang yang diturunkan masyarakat ke kitab -kitab sekolah agar ia mampu sebagai seperti yang diperlukan, sebagai person, eksklusif yg diterima pada rakyat.

Bagi Alice, membaca itu intuitif, menebak, mencari pada kegelapan gua loka bahasa dilahirkan. Membaca bukanlah buat menjadi individu pandai , berkepribadian dan terpelajar, melainkan buat bermain menggunakan semesta, menemukan kembali khayalan, mencari makna-makna yg tak terhingga pada balik kata-istilah berdaya cipta. Alice nir memperoleh tugas apapun untuk sebagai anak insan, nir misalnya Pinocchio. Membaca berarti berada secara spontan pada hadapan rahasia semesta.

Ketegangan antara dunia Parmenides dan global Heraclitus, kecemasan akan runtuhnya nilai-nilai dampak perubahan pesat, merupakan kecemasan masyarakat. Membaca ala Pinocchio akan menenangkan masyarakat namun merugikan humanitas yang bebas. Membaca seperti Alice, adalah menelusuri daya naratif humanitas kita. Manusia bukanlah elemen ideologis, pion kepercayaan , unsur kebudayaan atau obyek ekonomi yang membangun warga . Manusia itu, tiap-tiap kita adalah sebuah buku, narasi, dinamis & berharga sebagai bacaan yang senantiasa baru. Individu naratif inilah yang mengatasi polemik Heraclitus & Parmenides. Narasi senantiasa berubah & senantiasa mengenai kebenaran keberadaan kita dalam semesta.

Caption :

Siapa engkau..

realitas diri dan semesta yang senantiasa berubah..

metamorphing

Jumat, 05 Juni 2020

Editorial Pro:aktif Online Edisi Agustus 2016

71 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Merdeka atau Boneka?

17 Agustus 1945 dapat digambarkan sebagai momentum berakhirnya catatan tragis sebuah bangsa yang menjadi budak atas tanahnya sendiri. Raungan ”Merdeka atau Mati” dari para pejuang, pemuda, rakyat, pos-pos pertahanan terdengar di tiap pelosok negeri ini, hingga akhirnya kemerdekaan itu dapat direbut, benarkah bangsa ini sudah betul merdeka?

20 Tahun selesainya Proklamasi Kemerdekaan 1945 bangsa ini mengalami periode keterbukaan politik yg diakhiri menggunakan perebutan kekuasaan sang Soeharto dalam 1965. Terulang lagi sebuah luka akibat jatuh pada periode kediktatoran selama 33 tahun lamanya, sampai ada gerakan bak bulir-bulir didih dari bawah menuju bagian atas & manunggal menjadi pergolakan hebat dampak barah yang ditebar sendiri oleh orde tadi.

Proaktif kali ini akan mengulas 71 tahun setelah hari kemerdekaan Bangsa Indonesia, benarkah kita telah merdeka? Untuk itu dalam rubrik Pikir, penulis memaparkan catatan sejarah yang telah kemudian hingga saat ini dan merefleksikan makna berdasarkan kemerdekaan itu sendiri. Dalam rubrik Masalah Kita, penulis menghadirkan sudut pandang beberapa aktivis tentang sejauh mana Indonesia sudah merdeka dalam banyak sekali bidang, ancaman yang sedang dihadapi serta cara mengatasi ancaman-ancaman tadi.

Lalu apa saja aktivitas-aktivitas aktivis dalam memaknai kemerdekaan dan apa peran aktivis menjadi pelaku gerakan sosial? Hal tadi akan dipaparkan dalam rubrik Opini. Rubrik Profil Pro:aktif Online kali ini mengangkat profil Hendra Gunawan, seseorang matematikawan dan inisiator Anak Bertanya.Com. Hasil wawancara penulis dengan Pak Hendra dirangkum menjadi sebuah goresan pena menarik tentang pentingnya kemerdekaan dalam peningkatan kualitas & membangun budaya bernalar agar siap menghadapi tantangan zaman.

Pembahasan kemerdekaan pun dibahas menurut sisi terdekat pada kehidupan kita sehari-hari, bagaimana kita dapat merdeka menurut penjajahan saat dan penggunaan gadget, rubrik Tips akan memberikan kiat-kiat terbebas menurut penjajahan waktu & belenggu pemakaian gadget.

Rubrik-rubrik lain yg melengkapi sajian Pro:aktif Online Agustus ini merupakan rubrik Media yg mengangkat mengenai narasi dalam kitab yang merekam bepergian lahirnya sebuah bangsa dan bagaimana kitab tadi pula yang bisa menciptakan sebuah bangsa bertahan. Rubrik Jalan-jalan yg menceritakan mengenai ruang publik yang dapat memerdekakan aktivitas-aktivitas para aktivis. Semoga setiap rubrik yang kami hidangkan pada edisi ini bisa menginsipirasi sehingga bersama kita dapat terus memaknai kemerdekaan. Merdeka!

[JALAN-JALAN] Membangun Mimpi lewat Membaca

Penulis: Yosepin Sri

Indonesia dan membaca, adalah tema dasar dari tulisan ini. Indonesia terdiri dari gugusan kepulauan yang membentang di garis khatulistiwa diapit oleh dua benua dan samudra luas, menjadikan negara ini begitu cantik dan menarik akan bentang alam serta keanekaragaman sukunya. Lalu bagaimana dengan masyarakatnya yang tinggal tersebar di pulau-pulau tersebut? Apakah mereka semua suka membaca?

Buku merupakan sumber informasi dari hasil pemikiran penulisnya, baik itu buku yang berisi kumpulan cerita pendek, dongeng-dongeng, maupun buku yang berisi pengalaman langsung sang penulis, semuanya sama-sama membutuhkan usaha yang tidak mudah untuk menerbitkannya sebagai sebuah buku. Melalui buku, pembaca dapat mengembangkan imajinasinya serta membuka pintu-pintu di kepalanya akan pengetahuan baru yang telah ada di belahan dunia lain. Melalui buku, kita juga dapat mengetahui bagaimana cerita Indonesia bisa merdeka, usaha dari para tokoh di daerah yang bersatu melawan penjajah, hingga usaha dari berbagai ilmuwan untuk menciptakan peralatan yang ada sekarang ini seperti pesawat terbang, lampu, jam tangan, kamera, televisi hingga teknologi informasi seperti internet. Sehingga melalui buku, seorang anak akan bisa membangun mimpinya.

Lahir dan tumbuh di kota besar seperti Jakarta, membuat penulis hidup dalam kemudahan mengakses buku. Toko-toko buku, baik itu bekas maupun baru, banyak terdapat di kota, perpustakaan keliling, perpustakaan di sekolah, hingga café-café cantik yang menyediakan buku menarik sekaligus akses internet tersedia di berbagai sisi jalan Ibu Kota. Namun bagaimana dengan kondisi daerah-daerah lainnya di Indonesia, khususnya daerah-daerah yang terletak di luar pulau Jawa, apakah masyarakat di sana juga mendapatkan fasilitas yang sama?

Pengetahuan penulis akan kegiatan membaca di Indonesia banyak diberikan oleh tokoh-tokoh pustaka yang berkegiatan di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tokoh tersebut adalah Nirwan Arsuka yang melakukan ekspedisi dengan berkuda membawa berbagai buku menarik ke daerah-daerah di Pulau Sumba hingga Papua, tidak terbayang sang kuda bisa berjalan menempuh ratusan kilometer dan menyeberang lautan dengan kapal sambil membawa buku-buku di sisi punggungnya. Aldo, kuda jantan Sumbawa bersama Asep sang pemilik, berkeliling 3 kali dalam seminggu membawa buku-buku di daerah Lebak, Banten. Juga Ontel Pustaka yang terdapat di Majene, Sulawesi Barat dan Sidoarjo, Jawa Timur, bersepeda sembari membawa buku-buku dan berhenti di desa-desa hingga dikerumuni anak-anak yang penasaran ingin melihat buku. Serta perahu pustaka yang berlayar ke pulau-pulau terpencil, membawa berbagai macam buku menarik penuh warna menghadirkan senyuman bagi anak-anak yang tinggal di pesisir pantai Sulawesi.

Meskipun jenis kendaraan yang digunakan bervariasi namun tetap memiliki kesamaan tujuan, yakni memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses berbagai buku menarik. Di balik tujuan tersebut, terdapat keunikan akan setiap jenis kendaraan yang digunakan. Dengan menunggang kuda pergerakan akan lebih perlahan melalui daerah pegunungan dan lembah, dengan bersepeda dapat melewati jalan kecil di kampung-kampung, dan dengan perahu layar akan dapat menjangkau pesisir-pesisir di pulau-pulau kecil di Indonesia.

https://www.facebook.com/pg/Onthel-Pustaka-Majene-1368463523171103/photos/?ref=page_internal
https://www.facebook.com/pg/Onthel-Pustaka-Sidoarjo-RIM-605558259594452/photos/?ref=page_internal

https://www.facebook.com/aldo.tea.3511

http://www.bbc.com/travel/story/20161013-a-library-that-brings-books-by-sailboat
Pada artikel ini, karena sifatnya online, maka para pembacanya mungkin akan lebih banyak berada di kota-kota besar sehingga kurang mendapat bayangan akan kegiatan filantropi di daerah yang seringkali jauh dari akses baik itu listrik apalagi internet. Dengan alasan ini maka penulis akan lebih menceritakan tentang perahu pustaka yang digagas oleh salah satu tokoh literasi Indonesia yakni Nirwan Arsuka dan pergerakannya dalam memanfaatkan wilayah laut sebagai pemersatu pulau-pulau di Indonesia, karena sering kali ‘orang kota’ memandang laut sebagai pemisah pulau-pulau ini.

Perahu Pustaka bernama Pattingalloang ini sering disingkat dengan P3, dikelola oleh Muhammad Ridwan Alimuddin, yang memutuskan untuk berpindah dari pekerjaan tetapnya sebagai jurnalis berita lokal menjadi pekerja ‘fulltime’ berlayar membawa buku dengan perahu jenis ba’go khas Mandar. Muhammad Ridwan Alimuddin yang kerap disapa dengan Ridwan dalam berbagai tulisan yang mengulas pelayarannya, telah lama aktif melakukan penelitian terkait dengan topik maritim dan menulis 10 buku mengenainya. Ridwan memilih jenis perahu ba’go dengan pertimbangan bentuk dan ukurannya, “Jenis perahu ba’go, kalau masuk sungai lebih aman, bentuk lambung perahu lebar, sehingga tidak khawatir kandas” ungkap Ridwan dalam artikel berjudul ‘Perahu Pustaka Menyediakan Buku ke Pulau-Pulau’ oleh BBC Indonesia. Perahu berukuran panjang 10 m dan lebar 3 m ini pun dibuat dengan menggunakan jenis kayu Tipuluh yang ditebang di hutan, ditunggu kering, lalu dilanjutkan dengan upacara membuat perahu tradisi Mandar. Upacara ini berisikan harapan dan doa, agar proses pembuatan perahu berjalan dengan baik dan juga perahu dapat berlayar dengan selamat bersama nahkodanya sesuai dengan kegunaannya yakni sebagai perahu pustaka.

Sumber: artikel berjudul ‘Nahkodai Perahu Pustaka bawa 4000 Buku’ pada https://perahupustaka.com/page/2/
Setelah melalui proses pembuatan dengan menjaga tradisi Mandar, Perahu Pustaka Pattingalloang mulai berlayar pada Juni 2015. Perahu yang dapat mengangkut sekitar lima ribu buku ini, selain berfungsi sebagai perpustakaan perairan, juga dapat berfungsi sebagai sarana edukasi maritim, khususnya bagi wilayah Sulawesi yang sebagian besar terdiri dari wilayah perairan. Dengan melihat perahu yang membawa buku-buku bacaan berkualitas, anak-anak semakin tertarik, sebab perahu yang mungkin biasanya membawa ikan ataupun sebagai alat angkutan, ternyata juga bisa membawa sumber pengetahuan, dengan laut sebagai jalur transportasinya. Mengelola perpustakaan berwujud perahu tentunyamembutuhkan skill yang tidak gampang , pengelola perlu memiliki pengetahuan akan perahu sebagai alat transportasi sekaligus tempat tinggalnya ketika di perairan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah jam terbang dalam pelayarannya. Seorang nelayan Mandar sudah sangat awam dengan arah mata angin, arah angin berhembus sesuai waktu dan tempatnya, hingga pengetahuan akan rasi bintang. Walaupun telah melakukan penelitian selama 17 tahun akan kemaritiman, dan dapat mengoperasikan GPS serta kompas, Ridwan masih terus mempelajari cara berlayar lewat bertambahnya jam palayaran dengan Perahu Pustaka Pattingalloang.

Perahu Pustaka yang telah lama digagas dan mulai dibangun semenjak awal 2015, telah menjadi isu menarik sedari acara MIWF (Makassar International Writers Festival) yang diadakan setahun sekali di Makassar. Pada tahun 2015 tersebut, MIWF mengangkat tema ‘Karaeng Pattingalloang: Knowledge and Universe’ yang juga sesuai dengan nama perahu pustaka yakni Perahu Pustaka Pattingalloang. Nama Pattingalloang sendiri dipilih dengan alasan bahwa beliau adalah salah satu pahlawan ilmu pengetahuan yang berasal dari Sulawesi. Kecintaan akan ilmu pengetahuan mendorong Pattingalloang untuk dapat terus mengakses pengetahuan terbaru yang saat itu masih terpusat di Eropa. Bernama lengkap I Mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang yang disebut sebagai ‘The Galilleo of Macassar’, mampu berbicara dalam delapan bahasa asing : Latin, Yunani, Italia, Prancis, Belanda, Portugis, Denmark, Arab, serta memiliki perpustakaan pribadi yang menyimpan hampir semua buku pengetahuan pada zaman itu yang terbit di Eropa. Beliau juga merupakan orang yang memesan teleskop pertama setelah ditemukan oleh Galileo, serta globe terbesar dengan diameter 4 m, sehingga jarak dan waktu tidak menjadi penghalang bagi kekuatan niat Pattingalloang untuk dapat membaca serta memiliki berbagai buku dan peralatan.

https://www.facebook.com/pg/Perahupustaka-Pattingalloang-369475573245045/photos
http://www.bbc.com/travel/story/20161013-a-library-that-brings-books-by-sailboat

Berbagai tantangan ke depan, terutama pendanaan akan pelayaran P3 terus dihadapi oleh Ridwan dengan sikap optimistik. Buku-buku yang ia bawa sebagian merupakan hasil koleksi pribadi, sebagian berasal dari donasi. Begitupun dengan dana operasional pelayaran P3, donasi berdatangan dari pengusaha, teman-teman, serta dari orang-orang yang telah melihat kegiatan P3, baik secara langsung maupun via sosial media. “Dengan melihat wajah anak-anak tersenyum lalu membuka buku, semua perasaan akan kekhawatiran mendadak lenyap”, tutur Ridwan dalam artikel BBC berjudul Library that Brings Books by A Sail Boat.

Upaya yang dilakukan oleh Ridwan merupakan salah satu dari sekian filantropi lainnya. Menyebarkan budaya literasi, semangat membaca, dan membuka berbagai jalan baru akan akses terhadap dunia pengetahuan adalah ikhtiar dari Muhammad Ridwan Alimuddin sebagai pengelola perahu pustaka. Selagi mewujudkan mimpi, di lain pihak, kegiatan ini juga memunculkan mimpi-mimpi baru dalam diri anak-anak yang mendapatkan kesempatan melihat buku-buku dari perahu pustaka. Sangat mungkin, setelah melihat berbagai buku yang ada, cita-cita mereka menjadi lebih beragam akan profesi yang belum mereka ketahui sebelumnya.

Tulisan merupakan hasil olahan dari berbagai sumber:

https://perahupustaka.com/

http://www.bbc.com/travel/story/20161013-a-library-that-brings-books-by-sailboat

[TIPS] Membangun Kebiasaan Membaca Aktivis

Penulis: Any Sulistyowati

Adakah waktu yang rutin anda luangkan untuk membaca? Apakah bacaan tersebut berkontribusi pada peningkatan efektivitas kerja-kerja yang anda lakukan? Jika anda menjawab ya untuk kedua pertanyaan di atas, maka saya mengucapkan “SELAMAT” karena berarti anda telah memiliki kebiasaan membaca yang bermanfaat untuk peningkatan efektivitas kerja-kerja aktivis anda. Jika anda menjawab belum, maka tulisan ini mungkin bermanfaat untuk anda dalam membangun kebiasaan membaca.

Hambatan-hambatan pada membangun norma membaca

Ada banyak hambatan yang dihadapi banyak orang dalam membangun kebiasaan membaca. Hambatan-hambatan tersebut di antaranya adalah: kemauan , waktu, ketersediaan bacaan, ketersediaan sumberdaya untuk mengakses bacaan, berbagai hambatan teknis terkait ketrampilan membaca, masalah fisik dan tidak ada teman. Dalam tulisan ini, akan diulas masing-masing hambatan dan beberapa alternatif penyelesaiannya satu per satu.

Kemauan

Hal pertama yg diperlukan untuk menciptakan kebiasaan membaca merupakan kemauan. Sebagaimana istilah pepatah, ?Bila terdapat kemauan, pada situ ada jalan?; hal yang sama berlaku dalam kemauan menciptakan norma membaca. Masalahnya, bagaimana membentuk kemauan?

Untuk menciptakan kemauan, pertama-tama dibutuhkan kesadaran. Kesadaran yg kemungkinan akan menumbuhkan kemauan diantaranya pencerahan akan manfaat apa yang akan diperoleh melalui kebiasaan tersebut. Hal yg sama berlaku buat kebiasaan membaca.

Coba anda bayangkan manfaat apa yg anda akan dapatkan apabila anda meluangkan saat secara rutin buat membaca. Tuliskan semua manfaat itu di dalam sehelai kertas & renungkanlah sejauh mana anda menginginkan manfaat tadi anda peroleh.

Jika Anda merasa manfaat-manfaat tersebut sangat penting buat keberhasilan kerja-kerja aktivis anda, buatlah strategi mengenai bagaimana Anda dapat mewujudkan niat Anda tadi. Strategi yg Anda pilih perlu dibuat realistis. Artinya, strategi tersebut perlu mempertimbangkan kebiasaan Anda yang lain. Sebagai contoh, mungkin anda perlu mempertimbangkan langkah-langkah sedikit demi sedikit buat membangun norma membaca. Misalnya, pertama-tama Anda dapat menargetkan membaca satu artikel per bulan. Kemudian secara bertahap, jumlah tadi bertambah menjadi satu artikel per minggu & hingga akhirnya mungkin sebagai satu artikel perhari.

Ketika taktik telah ditetapkan, Anda perlu memperhitungkan bagaimana Anda dapat menerapkan taktik tadi secara konsisten. Untuk itu Anda mungkin perlu mempertimbangkan ketersediaan ketika dan sumberdaya-sumberdaya lainnya misalnya yang akan di bahas pada bagian selanjutnya menurut artikel ini.

Waktu

Setiap orang memiliki akses terhadap jumlah waktu yang sama setiap hari. Dua puluh empat jam sehari. Tidak lebih. Tidak kurang. Yang berbeda adalah bagaimana masing-masing memanfaatkan waktu yang dimilikinya. Jika Anda merasa kesulitan memperoleh waktu untuk membaca, maka yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama-tama, Anda perlu memahami dulu pola penggunaan waktu Anda. Setelah itu barulah Anda mencari kemungkinan-kemungkinan di waktu mana Anda memiliki peluang melaksanakan kegiatan membaca sebagai kebiasaan baru Anda.

Untuk memahami pola penggunaan waktu Anda, Anda mungkin bisa terbantu menggunakan memakai kerangka dari Stephen Covey, penulis kitab best seller, Seven Habits of Highly Effective People. Menurut Covey, penggunaan saat bisa dikategorikan ke pada empat kuadran. Yang termasuk kategori kuadran pertama adalah kegiatan-aktivitas yang penting & mendesak. Contoh aktivitas-aktivitas kuadran satu di antaranya: mengejar batas akhir pengumpulan tugas. Termasuk dalam kategori kuadran 2 adalah aktivitas-aktivitas yang penting namun nir mendesak, contohnya berolah raga setiap hari buat menjaga kesehatan tubuh. Kuadran tiga berisi kegiatan-aktivitas yang tidak penting tetapi mendesak, contohnya mengangkat telepon yang ternyata berisi iklan atau tawaran produk-produk yg nir berguna untuk hayati kita. Sementara yang termasuk dalam kuadran keempat merupakan kegiatan-aktivitas yg tidak krusial dan tidak mendesak. Contoh aktivitas-aktivitas kuadran empat adalah menghabiskan saat buat menonton film-film nir bermutu dan banyak sekali aktivitas tidak berguna lainnya. Stephen Covey menyarankan bahwa apabila kita ingin hayati kita efektif, maka kita perlu mengatur supaya aktivitas-kegiatan kita sebesar mungkin terdapat di kuadran dua. Untuk memperoleh waktu buat kegiatan-kegiatan kuadran dua maka kita perlu mengurangi kegiatan-kegiatan yang berada pada kuadran lainnya, khususnya kuadran empat & kuadran tiga.

Kuadaran Waktu - Stephen Covey

Kebiasaan membaca yang dimaksud dalam artikel ini merupakan kegiatan yg termasuk di dalam kuadran dua. Agar dapat memperoleh ketika buat norma membaca ini, maka kita perlu mendata kegiatan-kegiatan apa saja yang kita lakukan yg termasuk pada kuadran empat dan 3. Setelah kegiatan-kegiatan tadi terkumpul, kita pilih kegiatan-aktivitas mana saja yg usahakan kita tinggalkan dan kita gantikan menggunakan norma membaca ini.

Terutama bagi orang-orang yg sangat sibuk, sebagai akibatnya tidak mempunyai waktu lagi buat aktivitas-kegiatan kuadran tiga dan empat, maka yg perlu dikurangi adalah kegiatan-kegiatan kuadran satu. Perlu dipahami, waktu untuk membaca tidak harus berupa blok ketika yg panjang. Jika Anda hanya memiliki ketika seperempat jam setiap hari sebagai waktu yg mungkin, maka pakai itu. Seperempat jam sehari, berarti satu jam dalam empat hari, satu 3 perempat jam dalam seminggu, tujuh 1/2 jam dalam sebulan, sembilan puluh satu 1/4 jam dalam setahun. Dalam seperempat jam, mungkin Anda hanya dapat membaca setengah halaman. Tetapi pada sembilan puluh satu 1/4 jam, mungkin Anda dapat menyelesaikan satu kitab hampir 2 ratus halaman. Intinya manfaatkan sumberdaya saat yang anda miliki sebaik mungkin. Anda dapat memulai kebiasaan membaca menurut ketika yang terdapat.

Ketersediaan bacaan

Di zaman modern ini, bahan bacaan tersedia dari berbagai sumber. Anda dapat pergi ke toko buku dan membeli buku kesukaan Anda. Anda juga dapat pergi ke perpustakaan. Anda bahkan dapat menjelajahi dunia maya untuk memperoleh berbagai artikel dan buku elektronik yang dapat diunduh secara gratis. Anda juga dapat masuk ke klub membaca dan saling bertukar bahan bacaan.

Ketersediaan sumberdaya buat mengakses bacaan

Masalahnya, untuk mengakses bahan bacaan tersebut Anda memerlukan sejumlah sumberdaya lainnya. Misalnya untuk mendapatkan buku kesayangan di toko buku, Anda membutuhkan sejumlah uang. Untuk pergi ke perpustakaan Anda memerlukan transportasi. Anda mungkin juga memperlukan uang untuk membayar iuran anggota atau biaya peminjaman buku di perpustakaan tersebut. Untuk mengunduh artikel atau buku elektronik Anda membutuhkan akses internet. Bagaimana jika kepemilikan Anda akan sumberdaya-sumberdaya tersebut sangat terbatas?

Langkah pertama, Anda perlu mencari kabar bacaan yg Anda inginkan tadi dapat diperoleh dari mana saja. Langkah kedua, pilihlah sumber yg paling sedikit membutuhkan sumberdaya. Misalnya buat menerima akses internet, Anda bisa pergi membawa laptop atau android Anda ke tempat-tempat generik yang menaruh layanan wifi perdeo. Jika ada tidak mempunyai laptop atau android Anda bisa pulang ke warnet. Jika Anda sedang nir mempunyai uang buat membeli buku, anda dapat pergi ke perpustakaan atau permanen ke toko buku dan membaca di sana. Anda juga bisa pulang ke kios kitab bekas buat mendapatkan harga buku yang lebih murah. Atau mencari sahabat yang rela meminjamkan bukunya atau menjual kitab yang telah selesai mereka baca menggunakan harga lebih murah.

Berbagai hambatan teknis terkait ketrampilan membaca

Berbagai hambatan teknis di sini antara lain adalah kecepatan membaca, kemampuan konsentrasi ketika membaca, durasi rasa nyaman dalam membaca, serta kemampuan berbahasa. Sebagaimana berbagai ketrampilan lainnya, ketrampilan membaca dapat dibangun dengan latihan sehingga menjadi kebiasaan. Ketrampilan ini dapat meningkat seiring dengan frekuensi latihan, tetapi juga dapat menurun apabila tidak digunakan setelah kurun waktu tertentu.

Jika Anda mengalami kendala-kendala teknis semacam ini, jangan putus harapan. Langkah pertama, pilihlah bacaan-bacaan yang Anda sukai, sebagai akibatnya anda termotivasi bertenaga buat permanen membaca di tengah segala kendala teknis tadi. Setelah Anda relatif nyaman dalam membaca barulah memilih bahan bacaan yg lebih sulit dipahami dan membutuhkan konsentrasi dan upaya lebih tinggi buat mencernanya.

Apabila masih ada kendala bahasa atau kata-istilah sulit, kamus mungkin dapat membantu. Sekarang bahkan tersedia kamus elektronik dan layanan penelusuran liputan yang berbasis internet. Anda tinggal mengetikkan istilah-istilah yg sulit tersebut pada layar personal komputer , kemudian Anda akan terhubung menggunakan situs berisi fakta mengenai kata-kata sulit tadi. Dengan menggunakan fasilitas internet, poly saat bisa dihemat & liputan dapat dicari secara simultan & ketika yang relatif singkat.

Masalah fisik

Yang termasuk dalam masalah fisik di sini antara lain: kondisi mata, daya konsentrasi, kondisi punggung dan berbagai persoalan fisik lainnya. Masalah fisik kebanyakan terkait dengan usia. Dengan bertambahnya usia seseorang, apalagi setelah melampaui umur 40, biasanya ada kemunduran fisik di sana sini. Kemunduran ini bisa dicegah dengan cara membangun kebiasaan hidup sehat, baik dari aspek konsumsi makanan, kecukupan istirahat dan olah raga. Sikap duduk juga berpengaruh terhadap kondisi punggung dan kenyamanan membaca.

Selain pola hidup sehat, ketenangan membaca pula bisa didukung menggunakan banyak sekali fasilitas misalnya kacamata bagi mereka yang bermasalah menggunakan mata, kursi atau sofa nyaman untuk membaca, lampu yg relatif terang dan berukuran huruf yang nyaman dipandang mata.

Dengan norma hidup sehat & fasilitas pendukung membaca yang memadai dibutuhkan aktivitas membaca sebagai aktivitas yang menyenangkan dan menyehatkan.

Tidak terdapat teman

Untuk mencari teman Anda dapat pergi ke klub membaca atau Anda membuat sendiri perkumpulan membaca tersebut. Dengan berada di dalam kelompok, Anda dapat memperoleh dukungan dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah bertambahnya akses buku melalui proses pertukaran dan peminjaman. Dengan peminjaman dan pertukaran, Anda dapat menghemat uang. Dengan uang yang ada, Anda dapat membeli buku yang lain, khususnya yang tidak dimiliki oleh teman-teman Anda. Jadi dengan jumlah uang yang sama, Anda dapat membaca lebih banyak buku.

Keberadaan sahabat jua memotivasi kita buat terus membaca. Ketika kita & sahabat menyukai kitab yg sama, kita mempunyai sahabat berdiskusi tentang kitab tadi. Kita punya sahabat yang memotivasi kita buat terus membaca. Atau teman buat membaca beserta.

Penutup

Berbagai hambatan dalam membangun kebiasaan membaca, yaitu kemauan , waktu, ketersediaan bacaan, ketersediaan sumberdaya untuk mengakses bacaan, berbagai hambatan teknis terkait ketrampilan membaca, masalah fisik dan tidak ada teman telah dibahas di atas. Sekarang Anda sudah mengetahui berbagai hambatan dalam membangun kebiasaan membaca dan cara-cara mengatasinya. Semoga informasi tersebut dapat membantu Anda membangun kebiasaan membaca yang dapat meningkatkan efektivitas kerja-kerja perubahan yang Anda lakukan. Dengan berjalannya waktu, mungkin Anda akan menemui berbagai hambatan lainnya yang masih perlu Anda atasi. Semoga dengan terbiasa mengatasi hambatan-hambatan yang dibahas di atas, Anda tetap bertahan dalam membangun kebiasaan membaca. Keberhasilan Anda membangun kebiasaan membaca akan tergantung dari sejauh mana anda dapat mengatasi hambatan-hambatan tersebut dan tetap konsisten melaksanakan kebiasaan membaca di tengah segala hambatan yang anda hadapi. Selamat menikmati membaca.

***

Cloud Hosting Indonesia