Selasa, 14 Juli 2020
[Jalan-jalan] Belajar Tentang Index Kebahagiaan dari Bhutan
Tiga puluh enam tahun sebelum Komisi Stiglitz dibentuk, seorang muda dari sebuah negeri yang berada di “atap dunia”, yang berbatasan dengan Tibet, Cina dan India, serta jauh dari hiruk pikuk lalu lintas ekonomi mainstream, telah melakukan kritik terhadap Produk Domestik Bruto. Dia adalah Jigme Singye Wangchuck, raja keempat dari Kerajaan Bhutan. Dia menciptakan istilah Gross National Happiness (GNH) atau Kebahagiaan Nasional Bruto sebagai upaya menentukan indikator untuk mengukur kualitas hidup atau kemajuan sosial secara lebih holistik daripada sekedar capaian ekonomis seperti Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut Wangchuck, pertumbuhan ekonomi tidak selalu mengarah pada kepuasan warga negara. Baginya, ada hal lain yang lebih penting daripada pertumbuhan ekonomi, yakni kebahagiaan. Gagasan ini berangkat dari semangat ajaran Budha, yang menekankan bahwa kebahagiaan tidak tergantung dari apa yang kita miliki, tapi kualitas diri.
Konsep GNH melingkupi empat pilar, yakni pemerintahan yang baik dan akuntabel, pembangunan sosial-ekonomi yg berkelanjutan, pelestarian budaya, & konservasi lingkungan. Empat pilar ini lalu diperinci sebagai sembilan domain, yg meliputi : kesejahteraan (kualitas) psikologis, kesehatan, pendidikan, penggunaan saat, keragaman & ketahanan budaya, pemerintahan yg baik, vitalitas rakyat, keragaman & ketahanan ekologi, & baku hidup. Sembilan domain ini dianggap mewakili komponen kebahagiaan di Bhutan, & semuanya memiliki posisi sama krusial & seimbang. Dari sembilan domain ini, diurai pulang sebagai 33 indikator & pada penghitungannya nanti, 33 indikator tadi diurai lagi dalam beberapa sub-indikator dan pertanyaan-pertanyaan kunci.
Menurut The Centre for Bhutan Studies, yang termuat dalam website GNH (www.Grossnationalhappiness.Com), indeks GNH secara umum merefleksikan kebahagiaan & kualitas hayati yg lebih akurat & luas daripada pengukuran secara moneter. Lantas, bagaimana mengukurnya? The Center for Bhutan menguraikannya menjadi berikut.
GNH dikonstruksi dalam dua langkah. Langkah pertama adalah melakukan Identifikasi, sedang langkah kedua adalah melakukan Agregrasi. Identifikasi, adalah langkah untuk menentukan apakah setiap rumah tangga telah mencapai kecukupan di masing-masing sembilan domain. Hal ini dilakukan dengan menetapkan titik batas (cut-off) di setiap domain. Seperti dalam mengukur kemiskinan, yang menggunakan garis kemiskinan, dimana ada keluarga yang berada di atas garis dan ada yang di bawah garis kemiskinan. Untuk menentukan kecukupan di setiap domain juga begitu. Garis kecukupan diatur lebih tinggi dari garis kemiskinan. Dalam beberapa indikator, telah dipasang level teratas pencapaian dari indikator tersebut. Seseorang diidentifikasi memiliki kualitas hidup yang cukup jika capaiannya dalam indikator melebihi titik batas. Jika capaiannya melebihi titik batas, maka capaian yang sebenarnya orang tersebut diganti oleh tingkat 'kecukupan', atau dipatok dalam tingkat kecukupan. Misalnya, jika seseorang itu pendapatan sebenarnya 1000, dan titik batas kecukupan adalah 150, maka seseorang itu diperlakukan pendapatannya 150. Dengan demikian, capaian di atas titik batas kecukupan tidak kemudian meningkatkan skor GNH seseorang. Penetapan titik batas kecukupan mungkin bisa saja problematik dan sulit, tapi ini bisa dijadikan topik diskusi publik. Yang penting, jangan sampai mengaburkan pengukuran titik batas kecukupan yang wajar.
Pertanyaan yang muncul kemudian, lantas bagaimana mengidentifikasi siapa yang bahagia? Indeks GNH ingin menghormati keragaman dan kebebasan pilihan dan mengakui keterbatasan ukuran kuantitatif. Untuk itu, ukuran siapa yang bahagia itu tidak harus memenuhi kecukupan dalam 9 domain, tapi cukup 6 dari 9 domain, atau 66% dari indikator yang telah ditetapkan. Ini mengisyaratkan keragaman dalam jalan yang berbeda-beda. Pertama, tidak semua indikator relevan untuk setiap orang. Kerusakan satwa (kehidupan) liar untuk dijadikan lahan pertanian atau tanaman lain mungkin tidak relevan untuk penduduk kota. Kedua, setiap orang mungkin tidak perlu mencapai kecukupan 100% dari semua indikator untuk menjadi bahagia, mereka dapat fokus pada beberapa area saja, tergantung pada nilai-nilai mereka sendiri dan keterampilan. Ketiga, jika orang telah memiliki inti dari pencapaian, mereka mungkin dapat mengompensasi secara internal untuk defisit lainnya. Seseorang tanpa pendidikan atau listrik dapat menemukan rute lain untuk GNH.
Langkah kedua, melakukan agregasi terhadap data populasi ke dalam sebuah ukuran yang terperinci yang sensitif terhadap kedalaman dan keluasan dari capaian. Indeks GNH didesain untuk memberikan insentif kebijakan 1) meningkatkan kebahagiaan dan 2) meningkatkan tingkat kecukupan yang dinikmati warga yang belum bahagia. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah (melalui The Centre for Bhutan Studies) menghitung indeks GNH dengan melihat kekurangan-kekurangan GNH.
Secara sederhana, rumus indeks GNH adalah GNH=1-HA. H adalah warga dan direpresentasikan dengan persentase warga yang tidak menikmati kecukupan dari 6 domain atau lebih. Sedangkan A adalah proporsi rata-rata domain warga yang belum berbahagia yang tidak berkecukupan. Ini memperlihatkan keluasan dari kekurangan. Agar pengukuran bisa komprehensif dan memberi masukan pada kebijakan apa dan dimana akan dilakukan, maka perlu dibandingkan GNH satu kabupaten dengan kabupaten lain. Juga perlu diukur GNH lintas waktu, agar diketahui apakah menurun atau naik.
Dari waktu ke waktu, GNH di Bhutan telah mengalami berbagai perbaikan dalam metodologinya. Bahkan pada tahun 2007 telah dilakukan survey pertama secara nasional dengan menggunakan variabel-variabel yang telah disempurnakan dan kuisoner yang telah diperbaiki. Dalam survey ini, setiap enumerator membutuhkan sekitar 5-6 jam untuk menyelesaikan kuesionernya. Pada tahun 2010 juga dilakukan survey secara nasional dan kali ini waktu yang dibutuhkan oleh enumerator lebih sedikit, hanya sekitar 3 jam untuk menyelesaikan kuesioner. Perbaikan dari tahun ke tahun ini akan menjadikan GNH semakin mudah dioperasionalkan dan direplikasi,serta secara teknis menjadi solid.
Prakarsa Bhutan tentang GNH yang telah berumur empat puluh tahun itu, sekarang menjadi pandangan baru poly negara. GNH telah menjadi sebuah perangkat bagi pemerintah buat melakukan sebuah tindakan atau kebijakan agar kualitas hidup dan kebahagiaan warganya semakin tinggi. Awalnya memang banyak pihak yang nir peduli dengan gagasan ini bahkan menganggapnya nir mampu sebagai ukuran. Tapi pada sepuluh tahun terakhir, berbagai pimpinan negara Barat, seperti Inggris, Perancis, Jerman, dan praktisi bisnis di Amerika mulai membicarakannya. Mereka mulai menyadari perlunya instrumen dan tolok ukur lain bagi sebuah kesejahteraan atau kemajuan.
Memang jika diukur menurut ekonomi mainstream, Bhutan dimasukkan sebagai negara yang relatif miskin, atau negara berkembang yang basis ekonominya disandarkan pada hasil hutan, hewan ternak, pertanian subsisten, hasil bumi dan turisme. Tapi, menurut Happy Planet Index, Bhutan masuk dalam 20 negara yang berbahagia pada tahun 2006-2009. Walaupun begitu, ada hal yang mengkhawatirkan yang perlu dicermati, karena setelah televisi dibiarkan masuk, peringkat Bhutan menjadi turun, bahkan di tahun 2009 kalah dengan Indonesia. Kehadiran televisi dianggap telah memicu meningkatnya konsumsi warga Bhutan sehingga indikator-indikator di berbagai domain menurun.
Belajar dari apa yang dilakukan Bhutan, untuk menjadi negara yang warganya berbahagia, perlu keseimbangan di berbagai sisi kehidupan. Negara yang dikatakan maju dengan konsumsi yang tinggi tidak menjamin warga negaranya akan bahagia. Dengan demikian, sudah selayaknya pencapaian dan fokus pada kualitas hidup serta pencarian kebahagiaan lebih diutamakan dari kepemilikian materi, konsumsi dan produksi.
(Arie Ujianto)
Kamis, 09 Juli 2020
[OPINI] Pentingnya Relawan Bagi Gerakan Sosial
Kerelawanan menggerakkan seseorang untuk melakukan kerja-kerja bagi perubahan sosial dengan tulus, tanpa pamrih dan kepentingan individu. Ada tujuan-tujuan besar yang melandasi kerelawanan tersebut, seperti untuk kemanusiaan, terciptanya keadilan sosial, dan sebagainya. Beberapa gerakan mahasiswa disinyalir didorong oleh prinsip ini, karena mahasiswa dianggap belum mempunyai pamrih kekuasaan politik atau keuntungan materi. Tetapi tentu ini perlu dilihat secara lebih teliti mana saja yang benar-benar mempunyai tujuan mulia tersebut.
![]() |
Relawan mengajar anak-anak korban gempa 2006, Yogyakarta |
Sumber : http://www.asiapacificymca.org
Persoalan mengemuka ketika fenomena kerelawanan tidak bertahan lama. Karena, setelah lulus kuliah, berbagai orientasi lain seperti kekuasaan di bidang politik dan keberlimpahan materi pelan-pelan menggusur nilai kerelawanan tersebut. Sudah jamak kita dengar cerita tentang mantan aktivis mahasiswa yang dulunya demikian lantang menyuarakan keadilan sosial dan pentingnya kepedulian terhadap rakyat yang tertindas, tapi sekarang terbenam dalam ketiak kekuasaan dan keberlimpahan materi. Jiwa kerelawanan telah menguap. Padahal, kebutuhan terhadap relawan selalu dibutuhkan sepanjang waktu.
Walau kebutuhan akan relawan terus ada, tapi relawan sekarang ini seperti spesies langka. Organisasi-organisasi sosial tidak mudah mencarinya. Dulu, pasokan relawan maupun aktivis sosial berasal dari mantan aktivis mahasiswa, tapi kini tidak semudah dulu mendapatkannya. Ini terkait dengan tidak adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengkader relawan di satu sisi. Sementara di sisi lain terdapat tarikan yang demikian kuat dari dunia dengan kelimpahan materi. Padahal, keberadaan relawan bagi perubahan sosial tidak bisa diremehkan.
Dalam gerakan sosial, peran relawan menjadi demikian penting. Beberapa dari mereka terlibat dalam urusan keorganisasian dan banyak juga yang bekerja secara individual alias tidak terikat di dalam organisasi tertentu. Ini sejalan dengan pemahaman gerakan sosial sebagai arus kepedulian yang melibatkan orang atau organisasi yang diikat oleh visi untuk melakukan perubahan di masyarakat, baik nilai-nilai, struktur, adat istiadat maupun aturan-aturan yang dianggap keliru dan tidak adil. Jadi, keterlibatan dalam gerakan sosial untuk tujuan-tujuan mulia bisa dilakukan dalam organisasi maupun secara sendiri-sendiri yang terkoneksi dengan organisasi atau individu lain, yang penting ada “arus kepedulian”. Bisa saja arusnya kecil, tapi bila arus yang kecil-kecil saling terhubung bisa menjadi air bah yang “membahayakan” dalam bentuk gerakan sosial.
![]() |
Relawan membantu korban bencana |
Sumber foto : http://sblog-susi.blogspot.com/2011/09/penelitian-menunjukkan-relawan-lebih.html
Salah satu gerakan sosial yang didukung oleh banyak relawan yang berasal dari jaringan global adalah gerakan anti-globalisasi. Kelompok relawan tersebut melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di Seattle pada November 1999, bertepatan dengan Pertemuan World Trade Organization (WTO) yang diselenggarakan di kota tersebut. Banyak organisasi, relawan, individu dari penjuru dunia terlibat dalam aksi di Seattle pada November 1999 tersebut. Gerakan ini berlanjut dengan World Sosial Forum (Forum Sosial Dunia) sebagai tandingan dari World Economic Forum (WEF) yang selama ini dianggap justru menciptakan ketimpangan dan kemiskinan di negara-negara selatan, memperkaya negara utara, khususnya para pemilik korporasi besar. Gerakan ini tidak sekedar anti terhadap globalisasi neoliberal, tapi juga memberi alternatif terhadap sistem ekonomi, politik dan kebudayaan yang adil dan lestari.
Senada dengan di muka, gerakan sosial di Indonesia, baik gerakan perempuan, lingkungan, petani, buruh, rakyat miskin kota, juga melibatkan banyak organisasi dan individu, termasuk para relawan. Gerakan ini mengalami pasang naik dan surut, ada organisasi yang terus bertahan dan ada pula yang tenggelam, sebagai dampak dari perkembangan eksternal sekaligus internal dari mereka yang terlibat dalam gerakan sosial ini. Keberadaan relawan tentu memengaruhi pasang naik dan surut organisasi sosial tersebut. Walau demikian, sudah dapat dipastikan, peran relawan tak bisa dikesampingkan dalam gerakan sosial yang terjadi di Indonesia maupun di dunia.
![]() |
Relawan PMI |
Sumber foto : http://sentanaonline.com/detail_news/main/707/1/12/02/2011/index.php
Tiga Peran Penting Relawan
Setidaknya ada tiga peran penting relawan dalam gerakan sosial. Pertama, relawan berperan dalam menambah energi bagi gerakan sosial. Mereka bekerja dengan komitmen tinggi, tanpa pamrih pribadi dan memiliki daya tahan tinggi, karena dipandu oleh nilai dan visi. Jika relawan seperti ini melibatkan diri dalam sebuah organisasi, maka daya juang dan daya tahan para aktivis dalam organisasi tersebut juga akan terpengaruh, walaupun untuk keterampilan atau kompetensi belum tentu memadai. Tetapi, biasanya relawan tidak terikat lama dalam sebuah organisasi secara formal, atau dengan kata lain tidak terus-menerus terlibat dalam sebuah organisasi. Berbeda dengan staf atau aktivis organisasi.
Kedua , relawan berperan dalam menyebarkan nilai-nilai, visi dan gagasan untuk perubahan. Relawan seperti ini biasanya bukanlah relawan pemula, tapi memang sudah terbiasa melakukan hal-hal sesuai dengan kompetensinya untuk mendukung perubahan, walau tidak terlibat dalam sebuah organisasi. Karena, walaupun tidak terlibat dalam organisasi, relawan bisa bekerja secara individu dalam menyebarkan nilai-nilai, visi, serta gagasan melalui tulisan, media visual atau audio-visual. Melalui berbagai media tersebut, relawan ikut andil dalam peningkatan kepedulian dan kesadaran warga tentang sebuah isu, misalnya kerusakan lingkungan, kemiskinan atau epidemi korupsi. Seniman yang terlibat dengan rakyat serta intelektual organik bisa dimasukkan dalam kategori ini.
Ketiga , relawan juga mempunyai peran dalam menggerakkan komunitas. Banyak individu-individu melebur ke komunitas akar rumput; seperti komunitas buruh, petani, rakyat miskin kota, masyarakat adat; untuk melakukan pemberdayaan. Upaya yang dilakukan misalnya meningkatkan kesadaran kritis rakyat, meningkatkan kohesi sosial dan solidaritas antar rakyat, melakukan advokasi, dan membentuk organisasi akar rumput tanpa harus masuk dalam organisasi tersebut. Peran seperti ini biasa juga disebut juga community organizer, atau ada juga yang menyebutnya penggerak komunitas. Penggerak komunitas tidak harus berasal dari luar komunitas, dia bisa berangkat dari komunitas atau bagian dari pemilik masalah. Tapi mereka bekerja secara sukarela untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi komunitas tersebut.
Langkah yang harus dilakukan kemudian adalah bagaimana tiga peran penting relawan tersebut bisa selalu ada dalam sebuah gerakan. Atau, minimal relawan dengan peran-peran seperti tersebut di muka bisa saling terkoneksi atau berjejaring. Karena perannya penting, sedangkan keberadaannya langka, maka perlu upaya-upaya ‘menciptakan’ relawan-relawan baru bagi transformasi sosial. Salah satu upaya menciptakan relawan ini bisa melalui berbagai kegiatan yang menarik bagi kalangan muda, tapi tetap dengan nilai-nilai dan visi untuk transformasi sosial. Jika upaya ini terus menerus dilakukan, apalagi dilakukan oleh banyak organisasi sosial, maka kelangkaan tersebut dapat diatasi dan proses transformasi sosial melalui gerakan sosial semakin cepat terjadi, dengan dukungan relawan-relawan yang tangguh.
Ari Ujianto
(Penulis adalah Direktur Yayasan Desantara dan Associate KAIL)
Jumat, 15 Mei 2020
[OPINI] TANTANGAN PEMENUHAN HAK ATAS TEMPAT TINGGAL LAYAK DI PERKOTAAN
Oleh: Ari Ujianto
Masalah pemenuhan hak atas loka tinggal yg layak bukanlah masalah sederhana yg bisa dijelaskan pada beberapa halaman goresan pena saja lantaran ada keterkaitan antara masalah perumahan menggunakan kasus lain, seperti kebijakan pengadaan tanah, rencana rapikan ruang & daerah, & tentu saja persoalan pembiayaan supaya mampu terjangkau oleh masyarakat miskin (pemerintah biasanya memakai kata Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Selain itu juga terdapat perbedaan antara yg dihadapi masyarakat pada perkotaan menggunakan yg pada pedesaan. Tulisan ini mencoba mendedah masalah yang biasa dihadapi rakyat perkotaan, dan mencoba memberikan cara lain penyelesaian dari perkara tersebut.
Masalah Pemenuhan Hak Atas Perumahan
Kegagalan negara dalam pemenuhan hak atas loka tinggal di Indonesia, khususnya bagi rakyat berpenghasilan rendah atau miskin sudah sebagai rahasia generik. Alih-alih memenuhi hak atas perumahan, tak jarang justru menghancurkan upaya yang dilakukan oleh warganya sendiri pada memenuhi kebutuhan akan loka tinggal melalui penggusuran. Kondisi penuh bertentangan dengan harapan ini terus berlanjut berdasarkan tahun ke tahun, berdasarkan pemerintahan satu ke pemerintahan selanjutnya.
Salah satu kerumitan masalah perumahan bisa dilihat dari data backlogkepemilikan rumah di Indonesia. Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016, angka backlog kumulatif sebesar 11,4 juta unit[1]. Dari jumlah backlog tersebut, pemerintah dan pengembang swasta rata-rata hanya bisa memenuhi 400.000 unit setiap tahun, sedangkan pertambahan kebutuhan rumah setiap tahun mencapai 800.000 sampai 1 juta unit. Dengan melihat data ini, amatlah mustahil negara bisa memenuhi kebutuhan warga akan rumah yang layak dengan menggunakan cara-cara atau tindakan seperti yang biasa dilakukan.
Beberapa karena menurut gagalnya penyediaan rumah layak bagi warga , khususnya yg berpendapatan rendah adalah alasan pembiayaan dan penyediaan huma. Berbagai kebijakan buat mendukung pembiayaan perumahan masyarakat sudah dimuntahkan, sejak jaman Soeharto hingga SBY & semuanya gagal menyelesaikan masalah. Bahkan beberapa kebijakan yang awalnya buat membantu warga miskin menerima perumahan warga justru ditunggangi sang pemodal buat mengeruk laba, sedangkan masyarakat miskin yang menjadi sasaran penghuni perumahan tersebut malah tersingkir.[2]
Pembiayaan pengadaan perumahan yg layak akan semakin tinggi apabila pembangunan perumahan tidak terdapat perubahan atau keberanian politik pada kebijakan pengadaan lahan. Lokasi-lokasi strategis pada pusat kota-kota dan pinggiran telah dikuasai sang korporasi pengembang properti. Sudah sebagai rahasia generik bahwa huma-huma ribuan hektar pada daerah Jabodetabek dikuasai oleh pengembang kelas kakap seperti Sinarmas Land Group, Ciputra Group, Lippo Karawaci, PT. Alam Sutera Tbk, & PT. Summarecon Agung Tbk[3]. Para pengembang tersebut kemudian menciptakan kota-kota baru pada kawasan tadi dan perumahan yang dibangun di kawasan-daerah tersebut harganya sudah tidak mampu dijangkau sang kalangan warga berpenghasilan rendah. Kita mampu ketahui bersama bahwa hingga kini tidak ada rejim pemerintahan yg berani merogoh risiko politik buat mengubah ketimpangan & ketidakadilan ini.
Selain soal penyediaan lahan yang mahal, penyediaan perumahan layak jika masih mengandalkan bahan-bahan bangunan seperti yang dilakukan para pengembang atau Perumnas, maka tak pelak harganya juga semakin tinggi. Bahan-bahan bangunan rumah seperti semen, kayu, batu, batu bata, baja akan semakin langka dan mahal harganya. Bahan-bahan tersebut diambil dari alam dan bukan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Sedangkan upaya menggunakan bahan-bahan daur ulang tidak kunjung menjadi kebijakan dan semakin hilang dari tradisi. Jadi, dilema yang terjadi dengan upaya mengurangi backlog kepemilikan rumah akan mempercepat pula kerusakan alam.
Masalah pemenuhan perumahan yang layak semakin rumit dengan kebijakan pemerintah yang keliru, khususnya pemerintah daerah, yang demikian mudah melakukan penggusuran dengan berbagai alasan, seperti untuk ketertiban umum, keindahan kota, alih fungsi lahan, dan sebagainya. Penggusuran yang terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, telah menyebabkan banyak warga kehilangan tempat tinggal. Menurut laporan LBH Jakarta tahun 2016, ada 5.726 keluarga di Jakarta yang kehilangan tempat tinggal karena penggusuran di tahun 2016 (LBH Jakarta, 2016 : 30). Sebagian dari mereka ditempatkan di rumah susun sewa, sebagian pulang kampung, dan banyak pula yang mencari lahan-lahan informal baru untuk ditempati. Kebijakan penggusuran ini telah menghancurkan upaya mandiri warga dalam membangun dan mengembangkan rumah yang layak yang dilakukan bertahun-tahun. Tentu saja tidak hanya rumah atau tempat tinggal yang hilang, tapi juga pekerjaan, ikatan sosial, budaya, dan sejarah komunitas.
Terobosan dari Dua Aras
Untuk memenuhi hak atas perumahan yang layak bagi seluruh masyarakat, khususnya yg berpendapatan rendah, beberapa terobosan perlu dilakukan, baik sang negara maupun kalangan warga sipil. Seperti yang telah dipaparkan pada muka, bahwa kebijakan terkait penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah telah dilakukan semenjak era Soeharto sampai sekarang sudah terbukti gagal. Untuk itu nir mampu hal ini hanya mengandalkan negara sendiri, tapi terdapat sinergi terobosan dari dua aras : negara dan warga sipil.
Dari aras negara, kebijakan perlu dilakukan, pertama, menghentikan penggusuran dan mencari alternatif-alternatif penataan perumahan rakyat. Penggusuran yang banyak dilakukan seringkali tidak menyelesaikan masalah, justru memperparah masalah, khususnya dalam pemenuhan hak atas perumahan. Mereka yang tergusur tidak semua bisa ditampung di rumah susun sewa, sebagaimana kebijakan yang pernah dilakukan di Jakarta. Beberapa alternatif yang dikemukakan oleh United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific dan United Nations Human Settlement Programme (selanjutnya ditulis UN ESCAP & UN Habitat) tahun 2008 bisa dijadikan rujukan. Menurut UN ESCAP & UN Habitat, ada 3 alternatif selain penggusuran : (1) membiarkan warga tetap di tempat tinggalnya sekarang dengan memberikan kepastian hukum dan perbaikan permukiman; (2) berbagi dalam penggunaan lahan; dan (3) melakukan permukiman kembali.
Alternatif dengan membiarkan warga tetap tinggal di lokasi sekarang dan diberikan kepastian hukum membutuhkan keberanian politik dan keberpihakan anggaran untuk masyarakat miskin. Lokasi yang ditempati warga yang terancam gusuran biasanya berada di kawasan strategis, kalau di Jakarta seperti kampung Bukit Duri, kampung Aquarium. Sedangkan di daerah-daerah lain biasanya di lokasi yang terkait dengan pembangunan infrastruktur (bandara, pembangkit listrik, jalan tol, dll). Upaya membiarkan warga tetap tinggal di lokasi dengan dilakukan penataan dan menjamin kepastian hukum kini sedang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta melalui Community Action Plan (CAP), setelah adanya desakan dari berbagai kalangan, khususnya Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) yang didukung oleh berbagai organisasi non-pemerintah dan kalangan akademisi serta professional.
|
Pertemuan jaringan kampung JRMK Jakarta membicarakan program CAP (community action plan) untuk menata permukiman rakyat miskin kota di Jakarta. Sumber foto : https://web.facebook.com/photo.php?fbid=1109669345854140&set=pcb.1109689605852114&type=3&theater
Alternatif lain dengan berbagi dalam penggunaan lahan juga jalan yang layak dilakukan. Apalagi sudah ada preseden soal ini di Makassar, yakni di Kampung Pisang. Warga dipindah dari lokasi yang sebelumnya ke lokasi yang jaraknya sangat dekat, dan di situ warga berbagi dengan pengusaha. Pemerintah memfasilitasi dan memediasi pembagian lahan dan kemudian membantu dalam penyediaan fasilitas-fasilitas permukiman.
Terkait dengan alternatif-alternatif selain penggusuran, kebijakan yang kedua yang perlu dilakukan adalah negara perlu mendukung pembangunan perumahan swadaya yang menyeluruh, khususnya dalam penyediaan lahan. Sebagian besar rumah-rumah di negeri ini dibangun secara swadaya oleh warga. Mereka dengan kemampuan diri maupun komunitas membangun rumah sendiri dengan berbagai siasat, yang kadang mulai dari sangat sederhana dan pelan-pelan dibenahi menjadi semakin layak. Selama ini memang sudah ada kebijakan untuk mendukung pembangunan rumah swadaya, misalnya pembiayaan perumahan swadaya di pemukiman kumuh. Tapi ini belumlah cukup, hanya sporadis menjangkau warga. Dibutuhkan kebijakan tidak sekedar pembiayaan, tapi juga penyediaan lahan atau memberikan kepastian hukum terhadap lahan-lahan yang sekarang ditempati rakyat miskin,baik di kota maupun di desa. Untuk itu diperlukan keberanian politik bagi pemerintah yang berkuasa, karena biasanya lahan-lahan, di kota khususnya, menjadi incaran dan perebutan korporasi properti atau pemilik modal yang menggunakan berbagai cara dalam menguasai sebuah lahan di lokasi strategis di kota. Dan diketahui bahwa para “Naga” properti tersebut acapkali menjadi sumber pendanaan bagi kekuatan politik yang bertarung dalam pemilu (Jo Santoso dalam Abidin Kusno, 2012: 151).
Kebijakan penyediaan lahan yang harus dilakukan negara ini sebaiknya tetap mengacu pada syarat-syarat tempat tinggal yang layak, khususnya tentang lokasi yang mempunyai akses terhadap berbagai pilihan tempat kerja, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan fasilitas sosial lain. Pilihan lokasi ini yang kadang menjadi alasan utama rakyat miskin perkotaan untuk bertempat tinggal di kawasan kumuh, informal, dan berbahaya tapi dekat dengan tempat kerja mereka, yang biasanya ada di tengah kota.
Dari aras masyarakat sipil, khususnya dari kelompok-kelompok masyarakat marjinal yang selama ini kesulitan memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal yang layak juga dibutuhkan upaya-upaya yang tekun dalam melakukan pengorganisasian dan advokasi. Rakyat miskin kota yang tinggal di kawasan informal dengan kondisi perumahan sangat tidak layak dan terancam dari penggusuran seringkali dalam kondisi yang mudah dipecah-belah, dan baru bergerak ketika ancaman sudah ada di depan mata. Kondisi seperti itu akan memudahkan kelompok yang mempunyai kekuatan ekonomi maupun politik meminggirkan mereka dan memanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya lokasi yang dulunya ditempati warga miskin perkotaan dan setelah mereka digusur kemudian dibangunlah pusat perbelanjaan, dan permukiman kaum elit.
Melalui pengorganisasian setidaknya rakyat yang selama ini ringkih dan terpecah belah mulai menyatukan diri, mempunyai kepedulian terhadap situasi dan kondisi lingkungan atau kampung mereka, dan mencoba memahami masalah dan menyelesaikan secara bersama-sama. Termasuk di sini adalah masalah pemenuhan atas rumah yang layak. Tentu dibutuhkan pula kerjasama dengan masyarakat sipil lainnya yang mempunyai kepedulian tulus untuk mewujudkan pemenuhan hak atas rumah yang layak, misalnya organisasi non pemerintah, akademisi, para profesional, dan sebagainya.
Selama ini sudah terlalu banyak para profesional atau akademisi yang direkrut para pengembang properti untuk menjadi konsultan, tapi masih terlalu sedikit yang mau menjadi mitra bagi rakyat miskin. Beberapa yang sedikit misalnya kerjasama dalam pembangunan permukiman rakyat miskin di Kampung Pisang, Makassar, yang dilakukan oleh warga Kampung Pisang, Komite Pembebasan Rakyat Miskin (KPRM), Urban Poor Consortium (UPC), Arsitek Komunitas (ARKOM), dan lain-lain. Selain itu juga mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat melalui Kementerian Sosial dan Pemerintah Kota Makassar.
Proses pertemuan warga untuk penataan pemukiman di Kampung Pisang (Makassar)
Pengorganisasian perlu dibarengi dengan advokasi yang disokong dengan konsep atau pemecahan alternatif dalam pemenuhan atas perumahan yang layak. Dalam hal ini kriteria dari UN Habitat tentang tempat tinggal yang layak bisa menjadi panduan bagi advokasi kebijakan dalam pemenuhan atas tempat tinggal bagi rakyat miskin. Ada tujuh kriteria yang menentukan tempat tinggal disebut layak, yakni: (1) adanya jaminan kepemilikan lahan, (2) adanya pelayanan dasar dan infrastruktur, (3) harus terjangkau dari segi biaya, (4) dapat ditinggali, (5) bisa diakses oleh semua kelompok, (6) lokasi memiliki akses terhadap berbagai pilihan tempat kerja dan fasilitas sosial, (7) serta mencerminkan budaya penghuninya (UN ESCAP & UN Habitat, 2008:11).
Kasus yang disebutkan sebelumnya yang terjadi di Jakarta (CAP) dan di Makassar (Berbagi Lahan), tidak akan terjadi jika tidak ada upaya advokasi yang dilakukan dengan konsep alternatif yang matang. Konsep alternatif tersebut terkait dengan lokasi, desain, bahan bangunan, dan proses pembangunan, yang selain memenuhi kriteria layak juga dilakukan secara partisipatif dan berkelanjutan. Di dua kota tersebut advokasi yang dilakukan sampai dalam tahap kontrak politik antara warga dengan calon kepala daerah.
Peletakan batu pertama pembangunan Kampung Pisang (Makassar) dengan Konsep Terpadu
Terakhir, proses pengorganisasian dan advokasi yang dilakukan harus berbarengan dengan upaya mengembangkan jaringan baik horizontal maupun vertikal agar kekuatan warga semakin besar dan konsep alternatif yang ditawarkan bisa diterima dan menjadi kebijakan daerah.
Jika dua aras ini bisa berpadu, setidaknya ada harapan bahwa pemenuhan terhadap hak atas tempat tinggal yang layak akan terwujud. Tinggal selanjutnya dibutuhkan kebijakan yang komprehensif agar penduduk desa tidak terus berbondong-bondong datang dan tinggal di kota besar. Jika tidak ada keseimbangan populasi warga dengan daya dukung ruang dan daya dukung alam, tentu tempat tinggal yang layak juga tidak bisa terwujud. Dibutuhkan sebuah kebijakan negara dan upaya masyarakat sipil yang terpadu pula sehingga penduduk desa juga punya hak untuk tetap tinggal di desa dengan sejahtera dan kualitas hidup yang terus meningkat.
[1]https://properti.kompas.com/read/2017/09/29/073058721/september-2017-realisasi-program-sejuta-rumah-capai-623344-unit
[2] Program 1000 Tower atau 1000 rusunami (rumah susun milik) yang dicanangkan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2006 ini akhirnya berakhir dengan kegagalan. Rusunami tidak terjadi malah akhirnya menjadi apartemen untuk kelas menengah. (Lihat Abidin Kusno, 2012 :51)
[3] Sejumlah Naga Properti Kuasai Ribuan Hektar Lahan di Jadebotabek, http://properti.kompas.com/read/2015/10/05/220000721/Sejumlah.Naga.Properti.Kuasai.Ribuan.Hektar.Lahan.di.Jadebotabek?page=all