Tampilkan postingan dengan label Yosepin Sri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Yosepin Sri. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Juni 2020

[JALAN-JALAN] Membangun Mimpi lewat Membaca

Penulis: Yosepin Sri

Indonesia dan membaca, adalah tema dasar dari tulisan ini. Indonesia terdiri dari gugusan kepulauan yang membentang di garis khatulistiwa diapit oleh dua benua dan samudra luas, menjadikan negara ini begitu cantik dan menarik akan bentang alam serta keanekaragaman sukunya. Lalu bagaimana dengan masyarakatnya yang tinggal tersebar di pulau-pulau tersebut? Apakah mereka semua suka membaca?

Buku merupakan sumber informasi dari hasil pemikiran penulisnya, baik itu buku yang berisi kumpulan cerita pendek, dongeng-dongeng, maupun buku yang berisi pengalaman langsung sang penulis, semuanya sama-sama membutuhkan usaha yang tidak mudah untuk menerbitkannya sebagai sebuah buku. Melalui buku, pembaca dapat mengembangkan imajinasinya serta membuka pintu-pintu di kepalanya akan pengetahuan baru yang telah ada di belahan dunia lain. Melalui buku, kita juga dapat mengetahui bagaimana cerita Indonesia bisa merdeka, usaha dari para tokoh di daerah yang bersatu melawan penjajah, hingga usaha dari berbagai ilmuwan untuk menciptakan peralatan yang ada sekarang ini seperti pesawat terbang, lampu, jam tangan, kamera, televisi hingga teknologi informasi seperti internet. Sehingga melalui buku, seorang anak akan bisa membangun mimpinya.

Lahir dan tumbuh di kota besar seperti Jakarta, membuat penulis hidup dalam kemudahan mengakses buku. Toko-toko buku, baik itu bekas maupun baru, banyak terdapat di kota, perpustakaan keliling, perpustakaan di sekolah, hingga café-café cantik yang menyediakan buku menarik sekaligus akses internet tersedia di berbagai sisi jalan Ibu Kota. Namun bagaimana dengan kondisi daerah-daerah lainnya di Indonesia, khususnya daerah-daerah yang terletak di luar pulau Jawa, apakah masyarakat di sana juga mendapatkan fasilitas yang sama?

Pengetahuan penulis akan kegiatan membaca di Indonesia banyak diberikan oleh tokoh-tokoh pustaka yang berkegiatan di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tokoh tersebut adalah Nirwan Arsuka yang melakukan ekspedisi dengan berkuda membawa berbagai buku menarik ke daerah-daerah di Pulau Sumba hingga Papua, tidak terbayang sang kuda bisa berjalan menempuh ratusan kilometer dan menyeberang lautan dengan kapal sambil membawa buku-buku di sisi punggungnya. Aldo, kuda jantan Sumbawa bersama Asep sang pemilik, berkeliling 3 kali dalam seminggu membawa buku-buku di daerah Lebak, Banten. Juga Ontel Pustaka yang terdapat di Majene, Sulawesi Barat dan Sidoarjo, Jawa Timur, bersepeda sembari membawa buku-buku dan berhenti di desa-desa hingga dikerumuni anak-anak yang penasaran ingin melihat buku. Serta perahu pustaka yang berlayar ke pulau-pulau terpencil, membawa berbagai macam buku menarik penuh warna menghadirkan senyuman bagi anak-anak yang tinggal di pesisir pantai Sulawesi.

Meskipun jenis kendaraan yang digunakan bervariasi namun tetap memiliki kesamaan tujuan, yakni memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses berbagai buku menarik. Di balik tujuan tersebut, terdapat keunikan akan setiap jenis kendaraan yang digunakan. Dengan menunggang kuda pergerakan akan lebih perlahan melalui daerah pegunungan dan lembah, dengan bersepeda dapat melewati jalan kecil di kampung-kampung, dan dengan perahu layar akan dapat menjangkau pesisir-pesisir di pulau-pulau kecil di Indonesia.

https://www.facebook.com/pg/Onthel-Pustaka-Majene-1368463523171103/photos/?ref=page_internal
https://www.facebook.com/pg/Onthel-Pustaka-Sidoarjo-RIM-605558259594452/photos/?ref=page_internal

https://www.facebook.com/aldo.tea.3511

http://www.bbc.com/travel/story/20161013-a-library-that-brings-books-by-sailboat
Pada artikel ini, karena sifatnya online, maka para pembacanya mungkin akan lebih banyak berada di kota-kota besar sehingga kurang mendapat bayangan akan kegiatan filantropi di daerah yang seringkali jauh dari akses baik itu listrik apalagi internet. Dengan alasan ini maka penulis akan lebih menceritakan tentang perahu pustaka yang digagas oleh salah satu tokoh literasi Indonesia yakni Nirwan Arsuka dan pergerakannya dalam memanfaatkan wilayah laut sebagai pemersatu pulau-pulau di Indonesia, karena sering kali ‘orang kota’ memandang laut sebagai pemisah pulau-pulau ini.

Perahu Pustaka bernama Pattingalloang ini sering disingkat dengan P3, dikelola oleh Muhammad Ridwan Alimuddin, yang memutuskan untuk berpindah dari pekerjaan tetapnya sebagai jurnalis berita lokal menjadi pekerja ‘fulltime’ berlayar membawa buku dengan perahu jenis ba’go khas Mandar. Muhammad Ridwan Alimuddin yang kerap disapa dengan Ridwan dalam berbagai tulisan yang mengulas pelayarannya, telah lama aktif melakukan penelitian terkait dengan topik maritim dan menulis 10 buku mengenainya. Ridwan memilih jenis perahu ba’go dengan pertimbangan bentuk dan ukurannya, “Jenis perahu ba’go, kalau masuk sungai lebih aman, bentuk lambung perahu lebar, sehingga tidak khawatir kandas” ungkap Ridwan dalam artikel berjudul ‘Perahu Pustaka Menyediakan Buku ke Pulau-Pulau’ oleh BBC Indonesia. Perahu berukuran panjang 10 m dan lebar 3 m ini pun dibuat dengan menggunakan jenis kayu Tipuluh yang ditebang di hutan, ditunggu kering, lalu dilanjutkan dengan upacara membuat perahu tradisi Mandar. Upacara ini berisikan harapan dan doa, agar proses pembuatan perahu berjalan dengan baik dan juga perahu dapat berlayar dengan selamat bersama nahkodanya sesuai dengan kegunaannya yakni sebagai perahu pustaka.

Sumber: artikel berjudul ‘Nahkodai Perahu Pustaka bawa 4000 Buku’ pada https://perahupustaka.com/page/2/
Setelah melalui proses pembuatan dengan menjaga tradisi Mandar, Perahu Pustaka Pattingalloang mulai berlayar pada Juni 2015. Perahu yang dapat mengangkut sekitar lima ribu buku ini, selain berfungsi sebagai perpustakaan perairan, juga dapat berfungsi sebagai sarana edukasi maritim, khususnya bagi wilayah Sulawesi yang sebagian besar terdiri dari wilayah perairan. Dengan melihat perahu yang membawa buku-buku bacaan berkualitas, anak-anak semakin tertarik, sebab perahu yang mungkin biasanya membawa ikan ataupun sebagai alat angkutan, ternyata juga bisa membawa sumber pengetahuan, dengan laut sebagai jalur transportasinya. Mengelola perpustakaan berwujud perahu tentunyamembutuhkan skill yang tidak gampang , pengelola perlu memiliki pengetahuan akan perahu sebagai alat transportasi sekaligus tempat tinggalnya ketika di perairan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah jam terbang dalam pelayarannya. Seorang nelayan Mandar sudah sangat awam dengan arah mata angin, arah angin berhembus sesuai waktu dan tempatnya, hingga pengetahuan akan rasi bintang. Walaupun telah melakukan penelitian selama 17 tahun akan kemaritiman, dan dapat mengoperasikan GPS serta kompas, Ridwan masih terus mempelajari cara berlayar lewat bertambahnya jam palayaran dengan Perahu Pustaka Pattingalloang.

Perahu Pustaka yang telah lama digagas dan mulai dibangun semenjak awal 2015, telah menjadi isu menarik sedari acara MIWF (Makassar International Writers Festival) yang diadakan setahun sekali di Makassar. Pada tahun 2015 tersebut, MIWF mengangkat tema ‘Karaeng Pattingalloang: Knowledge and Universe’ yang juga sesuai dengan nama perahu pustaka yakni Perahu Pustaka Pattingalloang. Nama Pattingalloang sendiri dipilih dengan alasan bahwa beliau adalah salah satu pahlawan ilmu pengetahuan yang berasal dari Sulawesi. Kecintaan akan ilmu pengetahuan mendorong Pattingalloang untuk dapat terus mengakses pengetahuan terbaru yang saat itu masih terpusat di Eropa. Bernama lengkap I Mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang yang disebut sebagai ‘The Galilleo of Macassar’, mampu berbicara dalam delapan bahasa asing : Latin, Yunani, Italia, Prancis, Belanda, Portugis, Denmark, Arab, serta memiliki perpustakaan pribadi yang menyimpan hampir semua buku pengetahuan pada zaman itu yang terbit di Eropa. Beliau juga merupakan orang yang memesan teleskop pertama setelah ditemukan oleh Galileo, serta globe terbesar dengan diameter 4 m, sehingga jarak dan waktu tidak menjadi penghalang bagi kekuatan niat Pattingalloang untuk dapat membaca serta memiliki berbagai buku dan peralatan.

https://www.facebook.com/pg/Perahupustaka-Pattingalloang-369475573245045/photos
http://www.bbc.com/travel/story/20161013-a-library-that-brings-books-by-sailboat

Berbagai tantangan ke depan, terutama pendanaan akan pelayaran P3 terus dihadapi oleh Ridwan dengan sikap optimistik. Buku-buku yang ia bawa sebagian merupakan hasil koleksi pribadi, sebagian berasal dari donasi. Begitupun dengan dana operasional pelayaran P3, donasi berdatangan dari pengusaha, teman-teman, serta dari orang-orang yang telah melihat kegiatan P3, baik secara langsung maupun via sosial media. “Dengan melihat wajah anak-anak tersenyum lalu membuka buku, semua perasaan akan kekhawatiran mendadak lenyap”, tutur Ridwan dalam artikel BBC berjudul Library that Brings Books by A Sail Boat.

Upaya yang dilakukan oleh Ridwan merupakan salah satu dari sekian filantropi lainnya. Menyebarkan budaya literasi, semangat membaca, dan membuka berbagai jalan baru akan akses terhadap dunia pengetahuan adalah ikhtiar dari Muhammad Ridwan Alimuddin sebagai pengelola perahu pustaka. Selagi mewujudkan mimpi, di lain pihak, kegiatan ini juga memunculkan mimpi-mimpi baru dalam diri anak-anak yang mendapatkan kesempatan melihat buku-buku dari perahu pustaka. Sangat mungkin, setelah melihat berbagai buku yang ada, cita-cita mereka menjadi lebih beragam akan profesi yang belum mereka ketahui sebelumnya.

Tulisan merupakan hasil olahan dari berbagai sumber:

https://perahupustaka.com/

http://www.bbc.com/travel/story/20161013-a-library-that-brings-books-by-sailboat

Rabu, 13 Mei 2020

[JALAN-JALAN] DARI MANA BAJU KITA

Oleh: Yosepin Sri

Pernahkah kita mengetahui dari manakah asal baju yang kita kenakan? Atau pernahkah kita menanyakan bagaimana baju yang kita pakai dihasilkan dan bisa dijual dengan harga yang sangat murah ketika sedang ada diskon besar-besaran di pusat perbelanjaan, pameran, atau toko-toko baju pinggir jalan.

Baju yang kita kenakan terbentuk menurut banyak sekali macam tekstil, yakni tekstil yg terbuat dari jalinan benang/serat dan terdapat juga tekstil yang dicetak misalnya bahan plastik & karet yang dibuat buat baju-baju tahan air, tahan angin atau keperluan khusus lainnya. Berdasarkan tampilannya, jenis tekstil dapat terbagi menjadi tiga yakni reka latar, reka rakit, dan adonan keduanya. Reka latar merupakan cara menampilkan corak pada tekstil sesudah bahan tekstil telah tersedia seperti batik, lukis kain, celup ikat, sablon dan printing mesin. Reka rakit adalah cara menampilkan corak pada kain bersamaan menggunakan proses pembentukan kainnya seperti tenun, rajut, anyam, macram?, dan tapestri. Berdasarkan material penyusunnya tekstil bisa terbagi menjadi tekstil organik & anorganik. Tekstil organik yakni tekstil yang terbuat dari serat alami seperti sutera, katun, linen, rami, kulit, dan serat alami lainnya. Sedangkan tekstil anorganik merupakan tekstil yang terbentuk dari material protesis seperti polyester, lycra, plastik, karbon, dan material rekayasa lainnya. Selanjutnya tekstil tersebut diolah oleh para penjahit buat dijadikan sebagai busana dan didistribusikan ke para penjual.

Sebelum ditemukannya mesin pintal pada era revolusi industri di Inggris abad ke 17 oleh Richard Arkwright (mesin pintal dengan tenaga air), James Hargreaves (spinning jenny), dan Samuel Crompton (spinning mule), pembuatan busana masih membutuhkan waktu lama dan mahal karena pembuatannya masih manual. Setelah ditemukannya mesin pemintal maka bahan-bahan tekstil dapat dipintal dalam jumlah yang lebih besar dan kecepatan produksi busana meningkat. Semenjak era revolusi Industri mesin-mesin berperan dalam menggantikan tenaga manusia dan produksi menjadi semakin murah.

Perkembangan di dunia fashion dari abad ke abad terus meningkat dengan penemuan mesin jahit dan pola kertas pada abad ke-19. Dengan penemuan ini produk busana dapat dibuat dalam skala besar dengan tampilan yang persis sama. Hal tersebut menjadi pendorong munculnya industri busana dengan produksi massal. Salah satu produk massal pertama untuk jenis busana perempuan adalah shirtwaist yang diproduksi oleh lebih dari 450 pabrik yang mempekerjakan 40.000 orang. Namun dengan adanya produk massal, tidak semua perempuan membeli busananya, masih terdapat perempuan-perempuan yang menjahit sendiri dengan membeli mesin jahit rumahan. Skill menjahit menjadi skill rumahan yang diturunkan dari generasi ke generasi, disinilah tradisi membuat busana berubah yang tadinya manual dengan metode pintalan dan jahit tangan menjadi membeli kain di toko dan menjahitnya dengan mesin di rumah. Kemunculan industri busana juga membawa perubahan seperti tersedianya lapangan kerja baru bagi perempuan dan juga disiplin ilmu yakni ilmu tata busana. Salah satu sekolah yang mengajarkan tata busana yakni Iowa State College berdiri pada tahun 1871 yang mengajarkan para perempuan tentang Kurikulum Ekonomi Rumah yang mengajarkan memasak dan menjahit bagi para perempuan.

Desain Shirtwaist yg terkenal abad ke-19 (Fashioning Yourself: A Story of Home Sewing, National Women?S History Museum)

Penemuan teknologi dan sistem kerja industri busana massal tersebut berkembang di Eropa dan Amerika dan kemudian menyebar ke negara-negara jajahan sebagai lokasi produksi dengan upah tenaga kerja yang lebih murah. Perkembangan tersebut  memunculkan Tiongkok sebagai negara dengan potensi ekonomi terbesar saat ini karena mereka mampu memproduksi dalam skala yang lebih banyak dan upah yang paling rendah. Situasi ini dikenal dengan istilah fast fashion, situasi di mana busana dihasilkan dalam waktu cepat dan harga busana menjadi sangat murah agar bisa terjual dengan mudah. Ini merupakan jawaban dari pertanyaan di awal, busana bisa dijual dengan harga kurang dari Rp 50.000,- dengan corak batik di pasar-pasar grosir di Indonesia. Selama lebih dari satu abad, konsumen dididik untuk menjadi konsumtif tanpa melihat bagaimana produk yang mereka kenakan bisa sampai ke tubuh mereka sementara pusat-pusat perbelanjaan terus gencar memberikan promo-promo diskon banting harga tanpa memberikan informasi lebih akan produknya selain harga dan merk busana.

Gambar (kanan) diskon kostum pada keliru satu sentra perbelanjaan dalam artikel berjudul ?Cari Diskon Pakaian Anak di Bogor, disini Tempatnya? Oleh Lingga Arvian Nugroho dalam 11 Desember 2015;(kiri) diskon kostum corak batik dalam artikel berjudul ?8 hal menarik pada INACRAFT 2015? Sang Johana Purba dalam 9 April 2015.

Sumber kiri ke kanan:

http://bogor.Tribunnews.Com/2015/12/11/cari-bonus-pakaian-anak-pada-bogor-pada-sini-tempatnya

https://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/89434-8-hal-menarik-di-inacraft-2015

Bagaimana dengan dampak dari fast fashiontersebut? Industri busana adalah industri kedua dengan dampak polusi terbesar di dunia. Sisa pewarnaan busana yang dibuang ke tanah dan air menjadi racun bagi ekosistem di dalamnya dan selanjutnya berdampak ke manusia yang mengkonsumsi air serta tanaman yang tumbuh di area tersebut. Kebutuhan akan kain secara cepat memaksa lahan untuk dapat menumbuhkan pohon kapas sebagai bahan utama katun. Hewan seperti domba, sapi dan kambing menjadi hewan industri yang digunakan kulit dan bulunya untuk produksi berbagai produk seperti wool dan kulit. Hasil industri minyak dalam skala besar digunakan untuk menciptakan alternatif tekstil non-organik yakni polyester, meskipun hemat air, namun material ini membutuhkan minyak bumi dan ketika dibuang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk dapat terurai oleh bumi. Selain produk, industri fashion juga menimbulkan permasalahan lain seperti kemasan yang tidak ramah lingkungan serta isu-isu sosial seperti mempekerjakan anak di bawah umur untuk menekan biaya produksi dan juga memunculkan fenomena anoreksia yakni keadaan tubuh para model yang kurang gizi sebagai akibat tuntutan pola tubuh ideal menurut industri mode dalam menampilkan koleksi busana mereka.

Gambar (kiri) situasi ruang pemintalan kapas pada galat satu pabrik tekstil di India, (kanan) foto gambaran satelit danau Aral dalam tahun 1989 & 2014. Kedua gambar diperoleh menurut artikel berjudul ?Crisis in our closets: The Environmental Impact of Fast Fashion? Sang prospectjournalucsd pada 24 Mei 2017.

Sumber:

https://prospectjournal.Org/2017/05/24/crisis-in-our-closets-the-environmental-impact-of-fast-fashion/

Sebagai respon terhadap situasi ketidakberlanjutan ini, muncullah orang-orang dari berbagai background mencoba mengangkat isu ini ke permukaan dan mengembangkan disiplin ilmu dalam dunia fashion dikaitkan dengan isu lingkungan yakni Sustainable Fashion. Dalam keilmuan ini para ilmuwan mencari berbagai alternatif tekstil pengganti katun, seperti hemp, kain dari selulosa, kain dari endapan teh dan berbagai material lainnya. Pewarnaan dilakukan dengan cara eco-print yakni memanfaatkan warna-warna yang berasal dari alam seperti warna biru dari indigofera/ pohon tarum, warna merah dari akar mengkudu, warna kuning dari kunyit, warna hijau dari daun mangga, dan masih banyak pewarna alami lainnya yang ternyata sudah ada sejak lama namun tidak diketahui oleh masyarakat saat ini karena informasi tersebut tenggelam oleh industrialisasi selama berabad-abad. Bentuk respon terhadap isu negatif dunia busana terbagi menjadi dua yakni upaya penelitian dengan teknologi-teknologi dari negara maju dan pola hidup kembali ke alam bagi negara-negara yang masih memiliki tradisi pembuatan tekstil dan busana secara manual.

Sebagai bentuk kelanjutan dari respon tersebut, dalam beberapa dekade terakhir berkembanglah industri busana yang menyertakan informasi sebagai bagian dari penjualan produk mereka akan pembuatan produk yang lebih ramah lingkungan dan sosial, dimana para pekerja dipekerjakan dengan sistem yang sangat berbeda yakni memberdayakan masyarakat sekitar, pola produksi sesuai dengan ritme alam, serta menggunakan model seperti normalnya ukuran tubuh manusia. Industri busana ini tentunya tidak dapat menghasilkan busana secara massal dan bahkan tidak bisa sama persis tingkat kepekatan warna antar produk tekstilnya. Harga dari produknya dapat dihitung berdasarkan harga produksi normal satuan busana sebagai akibat dari pembayaran upah yang sesuai bagi para pekerjanya. Industri-industri ini muncul dengan skala rumahan dengan jumlah pekerja yang sedikit dan produk yang lebih eksklusif. Beberapa brand pelopor dari industri ini di Indonesia adalah Kana Goods dan Bixa Batik.

KANA  Goods muncul pada tahun 2007 dengan label awal bernama Kanawida dengan latar belakang mengisi waktu luang anak muda dengan kegiatan yang lebih berguna sekaligus dapat melestarikan warisan budaya. Dari inisiator Sancaya Rini yang biasa dipanggil Ibu Rini, mencoba mengajak anak muda di sekitaran rumahnya untuk mengisi waktu luang mereka dengan kegiatan membatik dengan gambar-gambar yang sederhana agar dapat dikerjakan lebih mudah oleh anak muda namun menggunakan pewarna alam indigo/ daun tarum. Pada tahun 2009, brand ini mendapatkan penghargaan KEHATI Awardkarena  hanya menggunakan warna-warna alam, kemudian label ini banyak hadir dalam berbagai pameran dan mendapatkan respon yang sangat positif dari masyarakat.

Pada tahun 2011, Kana Goods mengikuti ajang Indonesia Fashion Week dan menambah jenis produk mereka yang tadinya hanya menjual kain-kain saja menjadi label dengan produk ready-to-wear/ busana siap pakai. Inspirasi produknya berasal dari hal-hal yang sederhana seperti daun jatuh di halaman lalu dijiplak dan dikembangkan oleh anak-anak muda menjadi corak yang lebih variatif. Kana Goods semakin berkembang karena dapat melihat peluang bahwa Indonesia kaya akan potensi budaya dalam corak dan warna alamnya. Dengan target market lebih ke anak muda dengan tujuan mengedukasi anak muda dari sisi budaya dan lingkungan, label ini menawarkan produk dengan ciri khas corak sederhana yang dapat dengan mudah diterima oleh anak muda dan label Kanawida kemudian merubah namanya menjadi Kana Goods pada tahun 2013. Kana sendiri bila diartikan dalam berbagai macam bahasa sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu cantik. Keunggulan dari label ini selain ramah budaya dan lingkungan, label ini dibangun dengan berbagai keterbatasan yang dapat diolah sebagai keunggulan. Keterbatasan produksi dalam slow fashiondiolah kedalam desain-desain yang eksklusif dan bisa memberikan keunikan di setiap produknya hingga menambah nilai jual dari produk-produk Kana.

Contoh produk Kana Goods(https://www.Instagram.Com/kanagoods/?Hl=en)

Label lainnya merupakan Bixa Batik, yg diinisiasi oleh Hendri Suprapto menggunakan latar belakang peneliti pewarna alam pada Balai Besar Batik. Dengan profesi tersebut Hendri Suprapto berkesempatan buat mengunjungi banyak daerah di Indonesia dan melakukan riset terhadap tumbuhan-tumbuhan lokal yg berpotensi sebagai pewarna alam tekstil. Setelah melakukan penelitian, Ia bertugas jua dalam melatih para pengrajin lokal supaya dapat balik menggunakan pewarna alam seperti kain-kain yang terdahulu sebelum ditemukannya pewarna kimia. Dalam riset-risetnya Hendri Suprapto melakukan aneka macam eksperimen menggunakan penggolongan tipe pewarna alam buat menemukan zat mordan/ zat yg berfungsi untuk mengikat warna dengan tekstil agar rona mampu tahan usang selayaknya tekstil dengan pewarna kimia. Sesuai menggunakan latar belakang tersebut, Hendri Suprapto yg awalnya menciptakan tempat pelatihan bagi anak muda di Yogyakarta yang tergabung pada karang taruna buat belajar membatik dengan proses pewarnaan dari bahan alami, kemudian berkembang menjadi industri yang menghasilkan kain-kain batik dan tenun dengan pewarna alam menurut banyak sekali tumbuhan pada Indonesia. Di dalam tempat tinggal yg berlokasi pada wilayah Bantul, Yogyakarta tersebut siapapun sanggup tiba dan belajar mengenai pewarna alam yang berasal berdasarkan tumbuh-flora. Hingga waktu ini tamu-tamu yang tertarik buat belajar nir hanya berdasarkan Indonesia tetapi juga dari banyak sekali negara seperti Inggris, Polandia, Jepang, & banyak sekali negara lainnya. Nama Bixa pada label Bixa Batik sendiri berasal menurut nama tumbuhan Bixa orellana yang bisa membuat rona merah pada tekstil & dulunya poly tumbuh di wilayah Pulau Jawa.

Gambar pelatihan yg dilakukan sang Bixa Batik buat para pengrajin songket di Sentra Industri Tenun Nagari Tigo Jangko, Lintau Buo, Tanah Datar, Sumatera Barat (https://www.Instagram.Com/bixabatik/?Hl=en)

Berkat adanya label-label yang tidak hanya sekedar menjual produk namun juga mengedukasi pasar memunculkan semangat baru dalam industri busana di Indonesia. Label serupa sebenarnya tidak hanya muncul di Indonesia, namun juga muncul di negara-negara lainnya karena latar belakang yang sama, yakni kekhawatiran terhadap dampak dari industri fast fashion. Label-label ini selain menjual produk juga berbagi keterampilan dalam menghasilkan produknya lewat pelatihan yang diadakan baik di tempat produksinya maupun di tempat-tempat lain seperti pusat-pusat pelatihan yang sekarang marak disebut dengan maker’s space. Keuntungan dari adanya maker’s space adalah masyarakat bisa mendapatkan akses untuk belajar membuat berbagai hal dari masing-masing ahlinya. Para ahli diundang dan memberikan workshop sesuai waktu yang dibutuhkan dalam menghasilkan produk/ mempelajari suatu teknik dan disiplin ilmu. Dengan mengetahui cerita dibalik proses pembuatan produk apapun tidak hanya fashion, masyarakat menjadi lebih menghargai keberadaan suatu produk serta dampak yang ditimbulkannya bagi bumi.

Sumber:

Fashioning Yourself: A Story of Home Sewing, National Women?S History Museum

https://artsandculture.Google.Com/exhibit/8wLy0a87fbE9LA

CRISIS IN OUR CLOSETS: THE ENVIRONMENTAL IMPACT OF FAST FASHION

https://prospectjournal.Org/2017/05/24/crisis-in-our-closets-the-environmental-impact-of-fast-fashion/

Fast fashion: Inside the fight to end the silence on waste

https://www.Bbc.Com/news/world-44968561

Sancaya Rini: Lestarikan Budaya Lewat Personal Branding

https://titikdua.Co/2017/08/07/sancaya-rini-lestari-budaya-lewat-personal-branding/

http://www.batik-bixa.com/

Cloud Hosting Indonesia