Oleh: Fitri Kusnadi
Sudahkah Anda pernah mendengar tentang homeschooling? Homeschooling adalah bentuk kemandirian dalam bidang pendidikan yang saya dan keluarga pilih. Homeschooling sendiri berarti pendidikan berbasis keluarga, di mana keluarga tersebut, baik orangtua maupun anak belajar mengenal dirinya sendiri sebagai individu dan sebagai sebuah keluarga. Perkenalan saya dengan homeschooling dimulai ketika anak saya memasuki usia 3 tahun. Saat itu, seperti pada umumnya anak mulai bersekolah sejak usia 3 tahun, maka kamipun bersiap-siap mencari sekolah yang baik untuk anak kami.
Dorongan rasa ingin tahu saya untuk menemukan pola pendidikan yang baik justru membawa saya pada kesimpulan bahwa sekolah menjadi salah satu penyebab matinya semangat belajar anak, Di sekolah yang saya jumpai, anak belajar bukan berdasarkan rasa ingin tahunya, tapi berdasarkan motivasi untuk mendapatkan nilai tinggi dalam pelajaran di sekolah. Sementara itu, sekolah dengan pola pendidikan yang cukup ramah anak, biayanya cukup membebani kantong kami. Dalam pencarian, saya mulai mendengar istilah homeschooling dan berkenalan dengan komunitas homeschooling di Bandung. Melalui teman-teman, saya mendapat masukan dan mulai memahami apa itu homeschooling.
![]() |
Demografi sekolah tempat tinggal pada Bandung |
Di Indonesia, nama homeschooling sering sekali rancu dengan pendidikan yang dilakukan seorang anak di lembaga selain sekolah. Ada lembaga-lembaga kursus yang menggunakan nama homeschooling dan dalam prakteknya anak mengikuti kegiatan bimbingan belajar di mana orang tua sepenuhnya menyerahkan seluruh proses pembelajaran dan standar nilai kepada guru bimbingan belajar. Namun, di sini saya tegaskan kembali, homeschooling yang keluarga saya lakukan murni kami kelola sendiri. Jika anak kami memiliki keinginan mempelajari sesuatu dan saya atau suami tidak mampu membimbingnya maka kami akan mencari bantuan dari luar, tetapi kami akan tetap memantau perkembangan dari anak kami.
![]() |
Kegiatan anak-anak homeschooling. Sumber foto: Koleksi pribadi. |
Ketika kami mengambil keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan mandiri, atau - istilah yang lebih umum -homeschooling, maka hal yang paling utama adalah saya, sebagai orang tua harus belajar merubah pola pikir terhadap pendidikan itu sendiri. Banyak hal yang sudah bertahun-tahun saya anggap benar harus kami pertanyakan kembali. Beberapa yang kami pertanyakan kembali, antara lain: Jika mau jadi pintar dan sukses, apakah jalannya harus dengan bersekolah? Apakah guru adalah orang yang selalu tahu jawaban yang tepat? Bertanya itu, apakah berarti tidak tahu, dan apakah tidak tahu berarti bodoh? Apakah semua orang harus diukur berdasarkan standar nilai yang sama? Apakah semakin bagus fasilitas sekolah semakin besar kemungkinan kita untuk sukses?
Pandangan yang sudah ditanamkan kepada kita sejak dari taman kanak kanak sampai perguruan tinggi, kadang-kadang sudah kita anggap sebagai satu-satunya kebenaran yang mutlak. Ini sudah menjadi kebiasaan kita yang sangat sulit diubah. Ketika I + I = 2 adalah sesuatu yang diajarkan sebagai kebenaran mutlak, maka jika ada yang menjawab I + I = IIII, reaksi yang umum ditemui di lingkungan sekitar kita adalah menganggap jawaban tersebut salah, dan langsung akan muncul stigma bahwa yang memberi jawaban tidak mengerti atau bahkan dianggap bodoh. Pemikiran kita menjadi sempit dan tidak memberi ruang pada perbedaan pola pandang terhadap suatu masalah. Padahal jika kita melihatnya sebagai garis bukan sebagai angka maka jawaban kedua adalah benar. Memiliki pandangan berbeda menjadi hal yang tabu dan kita menjadi takut untuk berbeda dan ketakutan tersebut akan menjadi racun yang pelan-pelan membunuh kreativitas.
Perubahan pola pikir tidak akan datang tiba-tiba dan dapat dilakukan semudah membalikkan telapak tangan. Perubahan itu harus muncul dari dalam diri kita sendiri, tidak bisa hanya karena ikut-ikutan semata. Jika kita hanya ikut-ikutan maka kita akan mudah terombang-ambing akan berbagai pilihan metode atau kurikulum homeschooling, juga tergiur dengan berbagai penawaran produk-produk pendidikan yang menjanjikan suatu hasil yang instan. Dan kita akan kembali menjadi konsumen pendidikan. Tapi, teman-teman jangan berkecil hati, pada saat saya memulai, saya juga banyak terombang-ambing antara berbagai pilihan lembar kerja gratis yang banyak tersedia online dan juga berbagai e-book. Jika saya menemukan laman internet yang memberikan lembar kerja yang terlihat menarik dan gratis tentunya, saya langsung mengunduhnya, mencetaknya dan memberikannya kepada anak saya untuk dikerjakan. Baru beberapa hari anak saya mengerjakan lembar kerja dari laman tadi, saya sudah menemukan laman lain yang memberikan lembar kerja gratis dan sepertinya lebih menarik dari yang sebelumnya. Lalu saya mengulangI hal yang sama yaitu mengunduh, mencetak, dan memberikannya kepada anak saya untuk dikerjakan. Begitu seterusnya. Akibatnya, anak saya menjadi kebingungan karena terlalu bervariasinya lembar kerja. Namun, semuanya akan perlahan-lahan berubah jika kita terus belajar.
Jadi kunci selanjutnya adalah terus belajar. Belajar melalui membaca adalah salah satu cara. Cara lainnya adalah: mencari buku-buku, artikel-artikel, laman internet, dan forum diskusi. Bukalah wawasan seluas-luasnya karena dengan begitu perbendaharaan referensi kita akan semakin banyak. Selain membaca kita juga sebaiknya bergabung dengan komunitas homeschooling karena di komunitaslah kita mendapatkan info, mendengar pengalaman sesama homeschooler dan juga berbagi pengalaman. Mengikuti seminar, kulwap ( kuliah via Whatsapp) atau lokakarya juga dapat memperkaya wawasan kita. Referensi yang banyak memungkinkan kita untuk mengkombinasikan berbagai metode atau cara sehingga homeschooling yang kita jalankan adalah homeschooling ala keluarga kita. Jika kita sudah menemukan homeschooling ala keluarga kita, kegiatan kita menjadi semakin spesifik dan semakin mandiri dalam menentukan arah dan menyediakan sarana pendidikan yang dibutuhkan anak anak kita.
![]() |
Proses belajar pada rumah. Sumber foto: Koleksi pribadi. |
Kita jua harus selektif memilih. Membeli berbagai kitab tapi kita tidak menyempatkan diri atau kehabisan ketika buat membacanya, maka semua kitab yang kita beli malah menjadi pemborosan. Mengikuti berbagai lembaga, mengikuti terlalu banyak komunitas, seminar atau kulwap jua malah membuat kita terlalu sibuk sehingga nir punya ketika buat mengamati & mengenali famili kita sendiri. Semua itu berproses & perlu ketekunan.
Saya juga berproses beserta seluruh anggota keluarga buat mencari solusi buat berbagai permasalahan. Kita sebagai orang tua wajib mau diproses sang anak kita sendiri. Pandangan bahwa orangtua lebih tahu berdasarkan anak wajib mulai kita singkirkan. Apabila kita berbuat keliru & anak kita menegur atau protes, kita belajar menunda diri buat tidak marah, belajar meminta maaf & berterima kasih karena telah diingatkan. Yang kita wajib ajarkan dan contohkan adalah cara menegur atau mengungkapkan kritik menggunakan baik. Apabila anak bertanya & kita nir tahu jawabannya maka kita belajar mengatakan jujur mengatakan ?Maaf Nak , saya nir tahu. Apakah kamu mau Mama bantu cari memahami??
![]() |
Proses belajar bersama di tempat tinggal , bersama-sama mencari memahami. Sumber foto: Koleksi eksklusif. |
Pada hakikatnya, manusia akan belajar karena dua hal, yaitu karena kebutuhan dan ketertarikan. Saya mempelajari homeschooling karena kebutuhan informasi tentang pendidikan anak dan kebutuhan itu menimbulkan ketertarikan untuk mencari tahu lebih dalam tentang pendidikan yang merdeka. Semoga pengalaman saya menjalani homeschooling bisa menjadi sarana untuk lebih bijaksana dalam menentukan pendidikan untuk keluarga kita. Tidak ada satupun metode pendidikan yang cocok untuk semua keluarga di dunia ini. Maka tugas pribadi kita masing-masing untuk menemukan metode pendidikan yang sesuai untuk keluarga kita. Dengan demikian, kita berdaulat atas pemenuhan kebutuhan pendidikan kita.