Tampilkan postingan dengan label Reina Ayulia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Reina Ayulia. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Mei 2020

[JALAN-JALAN] GEDUNG INDONESIA MENGGUGAT : RUMAH BAGI SEMUA

Oleh : Reina Ayulia

Berkunjung ke Kota Bandung tak lengkap cita rasanya jika nir beromantisria dengan bangunan bersejarah dan aneka macam peristiwa krusial di dalamnya yang bisa menumbuhkan kecintaan kita terhadap Indonesia. Banyak sekali peristiwa yang terjadi dalam masa sebelum kemerdekaan yg begitu inspiratif & bisa diaktualisasi ke kehidupan kita dewasa ini. Kota Bandung selalu mengingatkan kita pada seseorang proklamator kemerdekaan Indonesia yang tumbuh & berkembang di tatar Priangan ini, siapa lagi bila bukan Presiden RI yg pertama, Soekarno.

Pada tahun 1930 terjadi sebuah peristiwa penting yang sebagai nafas baru konvoi kemerdekaan Indonesia. Empat anak muda Indonesia bernama Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Maskoen, & Soepriadinata diadili pada muka pengadilan Landraad di Bandung atas tuduhan yg serius yakni makar, sebuah upaya merobohkan kolonialisme Hindia Belanda yang berkuasa dalam masa itu. Soekarno menciptakan sebuah naskah pledoi yg mendeskripsikan situasi politik internasional dan akibatnya dalam warga Indonesia pada bawah penjajahan kolonialisme. Naskah tersebut diberi judul ?Indonesia Menggugat?, naskah pledoi yang luar biasa hebat dalam analisisnya. Umurnya saat itu tidak lebih berdasarkan 29 tahun, beliau tulis pada sempitnya dinding penjara Banceuy, Bandung buat beliau bacakan di depan para pengadil Belanda.

Gedung ini sudah ada sejak tahun 1907 yg berfungsi sebagai tempat tinggal (Hartono, 2006). Pada tahun 1917 atas instruksi pemerintah kolonial Hindia-Belanda tempat tinggal tinggal ini beralih fungsi menjadi pengadilan (landraad) sampai Jepang merebut Bandung dari Belanda. Pada masa Kemerdekaan Indonesia gedung ini sempat dipakai menggunakan aneka macam fungsi misalnya kantor Palang Merah Indonesia (1947-1949), kantor KPP Pusat (1949-1955), Bagian Keuangan Kantor Pelayanan & Kas Otonom, Sekretariat Provinsi Jawa Barat (1955-1970) & Bidang Metrologi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat (1970-2003). Setelah kosong satu tahun kemudian pada tahun 2004 dilakukan pemugaran & selesai tahun 2005 (Hartono, 2006).

Gedung ini berstatus menjadi aset Pemprov Jabar dan adalah Bangunan Cagar Budaya Kota Bandung yang pengelolaannya di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat (Disbudpar). Atas inisiatif menurut sekelompok warga , gedung ini diajukan buat mampu diaktivasi sang publik menjadi monumen bersejarah, museum dan ruang publik. Di tahun 2005 ini jua menandai anugerah nama Gedung Indonesia Menggugat (GIM), hadiah nama ini nampaknya buat tetap menjaga bara semangat usaha & perlawanan atas kesewenang-wenangan.

GIM sendiri terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5, letak gedung yang agak menjorok ke dalam terkadang bisa mengecoh siapapun yang hendak datang namun tak awas pada plang yang terdapat di muka gerbang masuk. Di GIM ada sebuah ruangan yang tata ruangnya disesuaikan dengan saat Soekarno membacakan pledoi, kemudian agak masuk ke dalam ada sebuah ruang mirip aula besar yang sering digunakan untuk diskusi dan berbagai kegiatan lainnya. Sebenarnya jika sedang tidak terburu-buru mengejar agenda diskusi, di kiri-kanan menuju aula ada petikan-petikan pledoi Soekarno, lalu apabila sedikit cermat dalam membaca pledoi kita akan menemukan Soekarno muda gemar baca buku kiri. Sedang di sebelah kanan bangunan terdapat kafetaria kecil untuk sekedar mengisi perut jika jumud dengan diskusi formal di aula atau sekedar ngopi murmer ala sachetan yang bisa menjadi penghangat tukar wacana bersama kawan.

Muka bangunan Gedung Indonesia Menggugat Sumber : Koleksi Pribadi, 2017

Sebenarnya jika dibandingkan menggunakan diskusi di aula, kafetaria GIM lebih bisa menawarkan keakraban yg intens buat bertukar pikiran & menggagas sebuah aktivitas, bahkan tak sporadis sebagai awal mula kisah asmara. Beragam topik pembicaraan yg mengemuka dari hal yg berbau kanan hingga ke kiri-kirian, berdasarkan yg tradisional hingga yg terkini. Tanpa sekat, inklusif, dan hanya jam tutup yg mampu membatasi. Melalui diskusi terbentuk proses pembelajaran & proses lahir gagasan baru, generasi belia yg berpikir luas, kritis dan semakin tahu budaya bangsanya.

Tahun 2011 sebagai kali pertama saya ke GIM, belakangan kunjungan itu saya refleksikan sebagai kali pertama aku bersentuhan dengan kawan-mitra yang berbeda lintas ilmu. Sebagai mahasiswa jurusan pendidikan arsitektur, menyimak ihwal-tentang yang berkembang pada obrolan yg terdapat di sana ibarat membukakan kotak pandora dalam diri saya.

Kegiatan Komunitas Aksakun di Aula Utama GIM Sumber Foto : Koleksi Pribadi, 2011
Selain diskusi-diskusi, beberapa komunitas sempat hidup di sana, satu diantaranya Komunitas Aksara Sunda Kuna yang disingkat menjadi Aksakun, komunitas yang juga sempat saya ikuti. Di komunitas tersebut saya berjumpa dengan mahasiswa lain yang berbeda jurusan seperti sejarah, sastra, geografi atau seniman, penyiar radio, budayawan, aktivis, dll. Intensnya saya bersentuhan dengan teman-teman yang berbeda latar belakang di dalam komunitas membangun kesadaran jika sinergitas itu penting! Hari-hari selanjutnya di luar jadwal Kelas Aksakun, saya sering datang ke GIM karena banyak kegiatan-kegiatan yang menarik untuk menambah wawasan. Tak jarang jika sedang jenuh kuliah, saya sering ‘kabur’ ke GIM. Selalu ada hal yang baru dan orang-orang baru yang bisa untuk diajak berbincang dan selalu saja ada pembicaraan yang sangat inspiratif dan menggugah semangat saya sebagai mahasiswa untuk melakukan suatu perubahan. Keasyikan ini mulai meredup seiring hutang akademik yang harus dilunasi. Tahun 2016 saya datang kembali ke GIM kali ini bukan sebagai mahasiswa, tapi sebagai anggota Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung atau yang lebih dikenal sebagai Bandung Heritage. Meski sudah sekitar dua tahun berselang, saya tidak merasakan perubahan yang kentara. Kopi sachet masih setia menemani diskusi. Pemilihan meja bundar rasanya pilihan tepat. Dengan bentuk meja seperti itu, tidak ada sudut yag bisa menutup ruang diskusi, di antara kawan yang mengobrol kita bisa saling melirik. Saya bisa duduk sendirian di kursi bulat yang ada di kafetaria itu, tapi tak lama berselang ada saja yang ikut duduk di sana kemudian saling menyapa, berkenalan dan berbincang-bincang. Anehnya tak pernah ada rasa canggung, meskipun saya sendiri baru kenal hari itu.

Suasana diskusi pada kafetaria GIM Sumber Foto : Koleksi Pribadi,2011 & Facebook Nunun Nurhayati, 2017

Sempat terjadi perubahan pengelolaan pada lingkungan GIM yg semula dikelola oleh komunitas lalu diambil alih balik oleh Disbudpar Jawa Barat. Tetapi semangat penggunaan ruang tidak berubah, Bu Nunun ?Staff Disbudpar, menganalogikan GIM ini menjadi rumah bagi semua orang, mereka mampu datang buat berkegiatan, berbicara dan mengembangkan. Dan fungsi dia menjadi pelayan publik misalnya selayaknya bunda pada rumah yang wajib bisa mendengarkan, mengarahkan & memahami banyak sekali keberagaman yang ada. Beliau meyakini bahwa generasi muda jangan dibatasi pemikirannya apalagi dicekal buat menyelidiki sesuatu hal tetapi wajib selalu didukung & diarahkan agar berkembang ke jalan yang lebih baik. Semakin banyak tahu, anak muda akan tumbuh menjadi langsung yg lebih bijaksana.

Itulah yang menciptakan aku mengerti, mengapa setiap datang ke GIM aku tidak pernah merasa asing, selalu ada senyum-senyum ramah menggunakan tangan yang terbuka lebar. GIM memang rumah loka berkumpulnya segala pemikiran dan keberagaman. Nilai-nilai kebangsaan selalu sebagai nafas dalam berbagai kegiatan yg tersaji oleh GIM. Kemudian saya sebagai teringat dengan kata-istilah Soekarno dalam naskah Indonesia Menggugat :

?Fadjar itu makin lama makin terperinci, & walau dihalang-halangi sang kekuatan manusia jang bagaimana djuga, walau ditjegah oleh kekuatan-wadag dari negeri manapun jua, walaupun ditjegah sang kekuatan-duniawi menurut dalam segenap negeri di atas segenap bumi ini, beliau tidak boleh tidak wajib , tentu, niscaya akan diikuti oleh terbitnja mentari jang meng-hidupkan segala sesuatu jang harus hayati dan mematikan segala sesuatu yang wajib mangkat .?

Daftar Pustaka Hartono, D.(2006).Indonesia Menggugat, Pemugaran sebuah Monumen Perjuangan Bangsa.Geger Sunten :Bandung NN. (2005). Indonesia Menggugat, Pidato Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial, Bandung.

Cloud Hosting Indonesia