Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Agustus 2017. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Agustus 2017. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Mei 2020

[PROFIL] PEACE GENERATION : MENYEBARKAN NILAI-NILAI PERDAMAIAN DI DALAM KEBERAGAMAN

Oleh : Navita Kristi Astuti

Sebuah negara berdiri atas keputusan bulat warganya menyatukan diri & aspirasi di pada satu kesatuan bangsa, bahasa & tanah air. Tetapi, layaknya sebuah keluarga, para anggota saling berbeda sifat dan selera, hal yang sama dihadapi oleh setiap bentuk kesatuan yg menyatakan diri menjadi negara. Negara terdiri dari beragam sifat & karakter warganya.

Sifat dan kesukaan yang saling tidak selaras dari setiap warga dapat menyebabkan tabrakan juga perselisihan bila nir dikelola menggunakan baik. Kita dapat belajar dari pengalaman konflik yang terjadi di Ambon, Poso, Papua, Kalimantan (permasalahan Dayak-Madura), Aceh juga Timor Leste. Perbedaan yang ada, baik berdasarkan aspek suku, kepercayaan , istiadat norma nir disadari sebagai kekuatan, melainkan sudah menjadi bumerang bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Ketika sebuah bangsa dapat menyadari kekuatan berdasarkan disparitas yg terdapat pada antara mereka, maka perbedaan tersebut justru dapat membangun energi positif buat kemajuan negara.

Salah satu dari segelintir komunitas yang memiliki pencerahan buat merawat dan mempromosikan nilai-nilai perdamaian pada pada keberagaman negara Indonesia adalah Peace Generation (selanjutnya diklaim PeaceGen). Didirikan sang 2 orang dengan latar belakang tidak selaras, Irfan Amalee yang adalah masyarakat Indonesia dan Eric Lincoln yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, PeaceGen berdiri dalam tahun 2007. Kegiatan PeaceGen sehari-hari beralamat pada Jalan Suling no. 17, Turangga, Bandung, Jawa Barat.

Pendiri Peace Generation : Irfan Amalee dan Eric Lincoln

Sumber foto : www.Peace-generation.Org

Fokus Utama : Pendidikan Perdamaian

Sesuai dengan tagline mereka yang tercantum di alamat website www.peace-generation.org  , yang berbunyi : To reach peace. Teach Peace. Promoting peace education throughout the globe, PeaceGen menyebarkan nilai-nilai perdamaian di dalam keberagaman melalui pendidikan. Irfan Amalee dan Eric Lincoln memulai misinya dengan membuat modul pendidikan perdamaian. Ide besarnya muncul dari mereka berdua, yang kemudian dikembangkan secara bersama-sama di dalam tim PeaceGen. Urat nadi utama dari modul tersebut adalah pendidikan tentang 12 nilai dasar perdamaian, yaitu : Menerima Diri, Prasangka, Sukuisme, Perbedaan Agama, Perbedaan Jenis Kelamin, Perbedaan Status Ekonomi, Perbedaan Kelompok atau Geng, Memahami Keragaman, Memahami Konflik, Menolak Kekerasan, Mengakui Kesalahan dan Memberi Maaf.

Modul tersebut kini sudah terbit dalam berbagai bahasa, antara lain versi Bahasa Indonesia untuk muslim dan kristiani, versi Bahasa Inggris, dan PGKids untuk balita. Modul tersebut juga sudah diterbitkan dalam Bahasa Filipina oleh cabang PeaceGen di sana dan sedang disusun versi Bahasa Malaysia oleh Peace Gen Malaysia. Modul ini sudah diterapkan pada 40.000 lebih siswa.

Pembelajaran Berbasis 12 Nilai Dasar Perdamaian

Dua belas nilai dasar perdamaian dijabarkan lagi ke dalam 6 langkah praksis, yaitu: Kata Kunci dan Hikmah, Pemanasan, Inti Pelajaran, Model dan Praktik, Evaluasi atau Penugasan (Peace di Rumah) dan ditutup dengan doa. Dimana isi modulnya sendiri berisi pembelajaran yang full color, berisi games dan komik. Dengan demikian, modul pendidikan perdamaian ini dapat langsung dijadikan pembelajaran yang menyenangkan.

PeaceGen memang nir berhenti pada pembuatan modul saja. Aksi nyata berupa praktik pembelajaran berdasarkan modul perdamaian adalah aktivitas berikutnya. Pelatihan demi pembinaan bernapaskan perdamaian sudah dan akan terus digulirkan. Salah satu saran primer pembelajaran modul perdamaian ini merupakan para guru maupun aktivis, agar pada kemudian hari pembelajaran mengenai perdamaian ini bisa diajarkan pulang ke sekolah & komunitas masing-masing.

Pelatihan untuk para guru (Training for Teachers) sudah diadakan oleh PeaceGen baik secara mandiri juga pada aneka macam bentuk kerjasama diantaranya: Sekolah CERDAS (Ceria, Damai & Siaga Bencana) yang merupakan kerjasama PeaceGen menggunakan Lazismu (Lembaga Amil Zakat Infaq Shodaqoh Muhammadiyah) dan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center). Kerjasama ini adalah pembinaan terhadap para pengajar Sekolah Menengah pertama & SMU menggunakan peserta berasal menurut 16 sekolah Muhammadiyah, 1 sekolah negeri dan tiga sekolah Kristen di Jawa Tengah. Rangkaian kegiatan Sekolah CERDAS dimulai dari ToT pengajar selama dua hari, dilanjutkan dengan pendampingan, pembentukan duta Sekolah Cerdas, implementasi pengajaran, pembangunan budaya & kebijakan sekolah selama enam bulan. Hasil menurut proses penerapan Sekolah Cerdas di 20 sekolah ini akan sebagai contoh percontohan untuk 100 Sekolah Cerdas, hingga tahun 2018.

Kegiatan lanjutan pasca Sekolah CERDAS, pengajar--guru mengadakan training perdamaian pada murid-siswinya pada MTs Muhammadiyah 1 Magelang

Sumber foto : www.Peace-generation.Org

Sekolah Pembaharu Muda, adalah kerjasama PeaceGen dengan Surya Institute dan Ashoka. Di kegiatan ini, para guru diajak belajar tentang 12 nilai perdamaian dari PeaceGen, nilai-nilai changemaker dari Ashoka dan metode matematika Gasing dari Surya Institute.

Kegiatan training nilai-nilai dasar perdamaian buat para pengajar

Sumber foto : www.Peace-generation.Org

Kick for Peace merupakan aktivitas lainnya yg adalah kerjasama PeaceGen dengan Papua United, berlokasi pada Lapas Anak Bandung. Kegiatan ini melibatkan beberapa anak muda lintas agama, pembina lapas & anak-anak binaan. Pelaksanaan aktivitas berupa rangkaian pertandingan sepak bola yang dilanjutkan menggunakan kampanye pemugaran lapangan sepak bola di Lapas Anak Bandung.

Kegiatan Kick For Peace di Lapas Anak Bandung

Sumber foto : www.Peace-generation.Org

Peacesantren adalah kegiatan PeaceGen lainnya yang menggunakan modul 12 nilai dasar perdamaian. Kegiatan ini dilakukan untuk anak-anak muda usia SD, SMP dan SMA sebagai alternatif pesantren kilat saat Ramadhan. Uniknya, pembelajaran nilai-nilai dasar perdamaian ini bisa dilakukan secara bertingkat, yaitu dari guru-guru yang telah memahami 12 nilai dasar perdamaian mengajarkan kepada anak didik usia SMA, kemudian anak-anak SMA tersebut mengajarkan adik-adiknya di SMP, dan anak-anak SMP mengajarkan adik-adiknya yang berada di SD.

Kegiatan pembinaan nilai-nilai dasar perdamaian untuk siswa sekolah

Sumber foto : www.Peace-generation.Org

PeaceGen juga sering mengadakan kegiatan seru lainnya dalam rangka menyebarkan nilai perdamaian. Diantaranya PeaceTival, yaitu festival perdamaian pertama yang dilakukan hampir setiap tahun. Acara Peace Camp, Talk The Peace, Walk The Peace, Eat for Peace yang dikemas sesuai tema perdamaian. Yang terbaru adalah PeaceZone, yaitu arena bermain permainan-permainan pertama di dunia yang bertemakan perdamaian.

Kegiatan PeaceTival yg diadakan di Makassar, tanggal 12 Februari 2017, adalah event musik, pameran & aktivitas seru dan mengasyikkan seputar perdamaian.

Sumber foto : www.Peace-generation.Org

Ajakan Terbuka buat Menjadi Agen Perdamaian

Bentuk berjejaring lainnya yang diinisiasi oleh PeaceGen adalah ajakan untuk menjadi Agen Perdamaian (Agent of Peace, selanjutnya disebut AoP). Dengan meniru struktur penyebaran virus, PeaceGen bermaksud mendorong peningkatan penyebaran nilai-nilai perdamaian di masyarakat melalui ajakan untuk menjadi agen perdamaian. Untuk menjadi AoP bisa dengan berbagai cara, diantaranya dengan belajar 12 nilai dasar perdamaian, menjadi volunteer, berdonasi dan sebagainya.

Para AoP diminta untuk mengajarkan 12 nilai dasar perdamaian ke komunitasnya masing-masing. Sedikitnya, setiap AoP membina 2 orang calon AoP. Dari setiap calon AoP yang sudah dibina, melanjutkan membina dua orang calon AoP, begitu seterusnya.

Saat ini, beberapa AoP yg sudah memahami 12 nilai dasar perdamaian membangun beberapa gerombolan lainnya buat semakin menyebarluaskan nilai-nilai perdamaian. Seperti misalnya, Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia yang berfokus dalam kerjasama antar orang-orang belia lintas kepercayaan .

Permainan ular tangga perdamaian, sembari bermain, anak-anak dapat tahu nilai-nilai perdamaian

Sumber foto : www.Peace-generation.Org

Penutup

PeaceGen adalah bentuk nyata berjejaring di dalam keberagaman. Hal ini dipahami menggunakan sangat baik oleh para pendiri maupun tim yang mendukung keberlangsungan kegiatan PeaceGen semenjak dahulu sampai ketika ini. Berbekal keyakinan bahwa ?Kekerasan diawali dengan syarat nir saling memahami? Maka koridor utama PeaceGen dalam penyebaran nilai-nilai perdamaian adalah melalui pendidikan. Karena melalui pendidikan perdamaian, semakin poly orang menjadi tercerahkan, terinspirasi & tergerak buat membuatkan kepada lebih poly orang lainnya. Selain itu, PeaceGen pula menyadari bahwa penyebaran nilai perdamaian tidak dapat dilakukan sendiri. PeaceGen banyak melakukan kegiatannya menggunakan berjejaring dan berafiliasi menggunakan banyak komunitas maupun organisasi yang mendukung nilai-nilai perdamaian.

Dengan demikian, harapannya perdamaian senantiasa terjaga pada bumi pertiwi kita, Indonesia. Salam perdamaian!

Kegiatan terkini berdasarkan PeaceGen, adalah arena bermain dan belajar nilai perdamaian untuk anak-anak

Sumber foto : www.Peace-generation.Org

Jumat, 29 Mei 2020

[RUMAH KAIL] KERAGAMAN DI KEBUN KAIL

Oleh : Any Sulistyowati

Sejak tahun kemudian KAIL telah membuatkan halamannya sebagai sebuah kebun. Kebun tersebut berisi beraneka ragam tanaman . Ada tumbuhan sayuran, butir-buahan, umbi-umbian, bunga-bungaan dan banyak sekali pohon kayu. Kebun tadi dibuat menggunakan memakai prinsip-prinsip Permakultur.

Beragam flora di kebun KAIL. Sumber foto : KAIL

Mengapa Permakultur?

Menurut wikipedia, https://en.wikipedia.org/wiki/Permaculture , permakultur adalah sebuah sistem pertanian yang memanfaatkan pola-pola dan bentuk-bentuk yang ada di alam. Pola-pola dan bentuk-bentuk ini kemudian diadaptasi untuk perancangan berbagai sistem yang dibutuhkan manusia, seperti pertanian, pembuatan bangunan, dan bahkan sistem ekonomi. Hasil akhir yang diharapkan dalam jangka panjang adalah sebuah sistem pertanian yang kompleks dengan produksi pangan dan materi yang tinggi tetapi dengan input yang minimal.

Sistem ini mula-mula dikembangkan oleh David Holmgren dan Bill Molisson sejak tahun 1978. Pada awalnya istilah permakultur mengacu pada permanen agrikultur (pertanian permanen), tetapi kemudian berkembang dan meluas menjadi permanen kultur, yang mencakup pula aspek sosial dan ekonomi.

Dalam permakultur digunakan pendekatan cara berpikir sistem yang menyeluruh ( https://permacultureprinciples.com/ ). Pendekatan ini tidak hanya memperhatikan elemen-elemen, tetapi juga sangat menekankan pada hubungan antar elemen. Dengan pendekatan ini diharapkan akan dihasilkan sinergi, yaitu hasil keseluruhannya lebih besar daripada penjumlahan masing-masing bagian-bagian.

Sistem permakultur dikembangkan dengan menggunakan tiga prinsip utama, yaitu (1) peduli pada bumi/alam, (2) peduli pada sesama manusia, (3) pembagian keuntungan yang adil. Tiga prinsip utama ini kemudian diturunkan menjadi prinsip-prinsip perancangan permakultur yang lebih praktis, dalam bentuk strategi perancangan dan pengelolaan lahan. Strategi-strategi yang digunakan di dalam permakultur sangat bervariasi sesuai dengan kondisi alam dan budaya masing-masing. ( https://permacultureprinciples.com/ ).

Zonasi pada kebun KAIL

Salah satu keunikan permakultur adalah adanya sistem zonasi. Sistem zonasi dibuat untuk memaksimalkan hasil dengan minimum upaya pengelolaan. Zonasi dibuat dengan nomor 0 sampai 5, yang didasarkan pada intensitas pengelolaan dan jaraknya dari rumah sebagai pusat pengelolaan permakultur. Semakin jauh dari rumah, semakin besar nomor zonasinya.

Rancangan awal pengembangan zonasi pada kebun KAIL. Sumber foto : KAIL

Rumah dan kebun KAIL berusaha berbagi sistem zonasi tadi dengan cara sebagai berikut:

Zona 0, yaitu Rumah KAIL

Rumah KAIL dirancang dengan menggunakan sebanyak mungkin prinsip-prinsip selaras alam. Bahan kayu yang merupakan sumberdaya yang dapat diperbarui dipilih sebagai elemen desain utama rumah. Untuk meningkatkan nilai keberlanjutannya dipilih kayu-kayu bekas dari bongkaran rumah-rumah yang tidak terpakai. Untuk meminimalisir dampak pembuatan rumah terhadap alam, sumberdaya yang tidak diperbarui digunakan sesedikit mungkin. Penggunaan semen, pasir, besi dan bahan-bahan tambang lainnya diminimalisir. Penggunaan bahan-bahan tersebut terutama untuk memenuhi fungsi keamanan dari rumah yang sulit digantikan dengan bahan yang lain. Untuk komponen-komponen yang memungkinkan menggunakan bahan bekas, maka penggunaan bahan bekas lebih diutamakan daripada bahan yang baru. Keramik, kaca dan kloset yang ada di Rumah KAIL merupakan bahan-bahan bekas.  Rumah KAIL juga meminimalisir penggunaan energi dengan cara menggunakan banyak bukaan untuk mengurangi penggunaan listrik untuk penerangan dan AC.

Zon a  1 , yaitu bagian kebun yang terdekat dengan Rumah KAIL.

Di zona-zona ini ditanam berbagai tanaman yang paling membutuhkan perawatan intensif. Termasuk di dalamnya adalah aneka sayuran dan bumbu yang sering dimanfaatkan sebagai bagian dari konsumsi kegiatan-kegiatan di Rumah KAIL. Dalam bed-bed di zona ini terdapat rumah-rumah cacing untuk mengolah sisa-sisa makanan dari Rumah KAIL. Diharapkan tanah di sekitarnya akan menjadi gembur dan subur secara alami. Di dekat zona ini juga terdapat kolam ikan.

Menara cacing pada bed kebun KAIL. Sumber foto : KAIL

Zona 2, yaitu zona yang berisi tanaman-tanaman tahunan yang membutuhkan perawatan yang tidak intensif, seperti berbagai jenis tanaman buah-buahan, sayur dan bumbu yang dipanen musiman. Di zona ini terdapat lubang-lubang kompos untuk memproses daun kering dan ranting-ranting yang gugur.

Zona 3, yaitu zona yang berisi berbagai tanaman yang kurang membutuhkan perawatan. Di zona ini mulai ditempatkan unggas, yaitu bebek yang menghasilkan telur untuk memenuhi sebagian kebutuhan protein di Rumah KAIL.

Zona 4, berisi berbagai  tanaman kayu yang menghasilkan stok kayu bakar dan bahan bangunan.

Zona 5 adalah zona liar yang dalam jangka panjang tidak memerlukan campur tangan manusia. Di Rumah KAIL, zona ini terletak di tebing dekat sungai. Dalam jangka panjang diharapkan zona ini berkembang secara alami dan tidak memerlukan perawatan sama sekali. Saat ini, kami masih melakukan intervensi berupa penanaman kayu dan perdu untuk mencegah longsor.

Di Rumah KAIL, batas-batas antar zona tidak terlalu kentara terlihat. Hal ini disebabkan karena (1) terdapat jenis flora yang cocok ditempatkan di lebih dari satu zona; & (2) luas huma Rumah KAIL yg nisbi kecil sehingga relatif sulit dibuat batas zonasi yg tegas. Kami pula membuat integrasi antar zona dengan menciptakan jalan setapak yg bisa digunakan buat jalur lari atau jalan kaki. Ini juga menambah fungsi kebun menjadi tempat rekreasi dan bermain anak-anak, di samping fungsi utamanya sebagai asal pangan dan materi.

Beragam flora di bed kebun KAIL bagian depan. Sumber foto : KAIL

Pengelolaan kebun KAIL

Sebelum melakukan perancangan, kami melakukan beberapa proses lokakarya untuk mendalami metode permakultur. Setelah itu, kami mengambil waktu untuk mengamati pola di alam dan di masyarakat. Dari proses tersebut, kami mencari inspirasi untuk perancangan kebun.

Pak Enjang, koordinator kebun KAIL panen kacang tanah. Sumber foto : KAIL

Di kebun KAIL, setiap staff dapat mengelola minimal satu bed. Bed adalah unit terkecil satuan ruang yang digunakan untuk bercocok tanam. Bentuk bed bisa bermacam-macam, sesuai ketersediaan lahan dan kreativitas pembuat. Kami dapat memilih lokasi, mengamati karakteristik lokasi tersebut dan memilih tanaman-tanaman yang cocok untuk ditanam di sana. Adakalanya sebuah bed mengalami pembongkaran berkali-kali. Biasanya hal ini terjadi karena kami salah memperkirakan karakteristik bed dengan kebutuhan tanaman. Akibatnya tanaman-tanaman tidak berkembang dengan baik atau mati. Kemudian kami memindahkan tanaman-tanaman tersebut ke bed lain yang lebih cocok serta menanam tanaman-tanaman baru yang lebih cocok ditanam di bed kami. Dari proses ini kami membuat perbaikan rancangan sehingga kualitas masing-masing bed semakin lama semakin baik, semakin permanen dan semakin berkurang kebutuhan perawatannya.

Pembuatan bed. Sumber foto : KAIL

Di Kebun KAIL kami menanam majemuk jenis tanaman . Selain buat mendapatkan majemuk output panen, hal ini juga kami lakukan buat mengurangi kerentanan terhadap agresi hama dan penyakit. Kami mengutamakan spesies-spesies lokal yang poly pada temukan pada Jawa Barat. Kami mempunyai koleksi beraneka tumbuhan kayu yang berasal dari hutan alam Indonesia, tumbuhan umbi-umbian, tumbuhan bumbu & sayuran yg bermanfaat. Dari jenis-jenis tadi, terdapat yg telah kami ketahui cara pemanfaatannya, ada pula yg masih pada tahap eksplorasi. Ada juga beberapa spesies asing yang kami tanam tetapi terbatas dalam jenis-jenis yg memang kami konsumsi buat keperluan pangan atau bumbu di Rumah KAIL.

Rumah dan kebun KAIL juga menerapkan sebanyak mungkin siklus materi tertutup. Untuk itu kami menerapkan biodigester untuk toilet, yang hasilnya adalah biogas yang dapat digunakan untuk memasak, serta slurry yang dapat digunakan sebagai pupuk cair. Penggunaan biogas ini juga sejalan dengan semangat untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.

Kegiatan anak-anak di tengah kebun KAIL. Sumber foto : KAIL

Kebun KAIL pula berkontribusi dalam pengelolaan sampah organis di Rumah KAIL. Semua sampah organis berdasarkan Rumah KAIL disalurkan ke kebun, antara lain buat pakan kelinci, marmut, pakan bebek, atau diurai pada rumah cacing, bak kompos & biodigester. Hasilnya merupakan sumber nutrisi bagi kebun dalam bentuk pupuk sangkar, pupuk cair & kompos.

Saat ini Kebun KAIL belum bisa membentuk 100% bahan pangan yang kami butuhkan. Sebagian besar masih dibeli menurut pasar atau tetangga lebih kurang. Waktu panen pun acapkali tidak sesuai menggunakan jadwal kegiatan. Kami masih perlu memperbaiki penjadwalan dan mencari cara-cara pengolahan hasil panen sebagai akibatnya bisa dipakai dalam jangka panjang.

Lepas dari aneka macam persoalan yg ada, kebun KAIL sudah memberikan banyak sekali manfaat bagi kami semua. Selain menjadi sumber pangan yg sehat dan ramah lingkungan, ada jua aneka macam manfaat lainnya misalnya: ketenangan dan estetika, tempat buat melakukan berbagai kegiatan pada luar ruangan, udara yang lebih segar & higienis, serta kesempatan buat menyalurkan kegemaran berkebun. Kebun KAIL pula telah sebagai media buat menjalin silaturahmi dengan tetangga pada bentuk menyebarkan output panen.

Demikian cerita singkat mengenai kebun KAIL. Jika tertarik untuk menilik prinsip permakultur atau bergabung sebagai relawan, silakan berkunjung ke Rumah KAIL.

Menikmati roti bakar di kebun KAIL. Sumber foto : KAIL

***

[JALAN-JALAN] GEDUNG INDONESIA MENGGUGAT : RUMAH BAGI SEMUA

Oleh : Reina Ayulia

Berkunjung ke Kota Bandung tak lengkap cita rasanya jika nir beromantisria dengan bangunan bersejarah dan aneka macam peristiwa krusial di dalamnya yang bisa menumbuhkan kecintaan kita terhadap Indonesia. Banyak sekali peristiwa yang terjadi dalam masa sebelum kemerdekaan yg begitu inspiratif & bisa diaktualisasi ke kehidupan kita dewasa ini. Kota Bandung selalu mengingatkan kita pada seseorang proklamator kemerdekaan Indonesia yang tumbuh & berkembang di tatar Priangan ini, siapa lagi bila bukan Presiden RI yg pertama, Soekarno.

Pada tahun 1930 terjadi sebuah peristiwa penting yang sebagai nafas baru konvoi kemerdekaan Indonesia. Empat anak muda Indonesia bernama Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Maskoen, & Soepriadinata diadili pada muka pengadilan Landraad di Bandung atas tuduhan yg serius yakni makar, sebuah upaya merobohkan kolonialisme Hindia Belanda yang berkuasa dalam masa itu. Soekarno menciptakan sebuah naskah pledoi yg mendeskripsikan situasi politik internasional dan akibatnya dalam warga Indonesia pada bawah penjajahan kolonialisme. Naskah tersebut diberi judul ?Indonesia Menggugat?, naskah pledoi yang luar biasa hebat dalam analisisnya. Umurnya saat itu tidak lebih berdasarkan 29 tahun, beliau tulis pada sempitnya dinding penjara Banceuy, Bandung buat beliau bacakan di depan para pengadil Belanda.

Gedung ini sudah ada sejak tahun 1907 yg berfungsi sebagai tempat tinggal (Hartono, 2006). Pada tahun 1917 atas instruksi pemerintah kolonial Hindia-Belanda tempat tinggal tinggal ini beralih fungsi menjadi pengadilan (landraad) sampai Jepang merebut Bandung dari Belanda. Pada masa Kemerdekaan Indonesia gedung ini sempat dipakai menggunakan aneka macam fungsi misalnya kantor Palang Merah Indonesia (1947-1949), kantor KPP Pusat (1949-1955), Bagian Keuangan Kantor Pelayanan & Kas Otonom, Sekretariat Provinsi Jawa Barat (1955-1970) & Bidang Metrologi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat (1970-2003). Setelah kosong satu tahun kemudian pada tahun 2004 dilakukan pemugaran & selesai tahun 2005 (Hartono, 2006).

Gedung ini berstatus menjadi aset Pemprov Jabar dan adalah Bangunan Cagar Budaya Kota Bandung yang pengelolaannya di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat (Disbudpar). Atas inisiatif menurut sekelompok warga , gedung ini diajukan buat mampu diaktivasi sang publik menjadi monumen bersejarah, museum dan ruang publik. Di tahun 2005 ini jua menandai anugerah nama Gedung Indonesia Menggugat (GIM), hadiah nama ini nampaknya buat tetap menjaga bara semangat usaha & perlawanan atas kesewenang-wenangan.

GIM sendiri terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5, letak gedung yang agak menjorok ke dalam terkadang bisa mengecoh siapapun yang hendak datang namun tak awas pada plang yang terdapat di muka gerbang masuk. Di GIM ada sebuah ruangan yang tata ruangnya disesuaikan dengan saat Soekarno membacakan pledoi, kemudian agak masuk ke dalam ada sebuah ruang mirip aula besar yang sering digunakan untuk diskusi dan berbagai kegiatan lainnya. Sebenarnya jika sedang tidak terburu-buru mengejar agenda diskusi, di kiri-kanan menuju aula ada petikan-petikan pledoi Soekarno, lalu apabila sedikit cermat dalam membaca pledoi kita akan menemukan Soekarno muda gemar baca buku kiri. Sedang di sebelah kanan bangunan terdapat kafetaria kecil untuk sekedar mengisi perut jika jumud dengan diskusi formal di aula atau sekedar ngopi murmer ala sachetan yang bisa menjadi penghangat tukar wacana bersama kawan.

Muka bangunan Gedung Indonesia Menggugat Sumber : Koleksi Pribadi, 2017

Sebenarnya jika dibandingkan menggunakan diskusi di aula, kafetaria GIM lebih bisa menawarkan keakraban yg intens buat bertukar pikiran & menggagas sebuah aktivitas, bahkan tak sporadis sebagai awal mula kisah asmara. Beragam topik pembicaraan yg mengemuka dari hal yg berbau kanan hingga ke kiri-kirian, berdasarkan yg tradisional hingga yg terkini. Tanpa sekat, inklusif, dan hanya jam tutup yg mampu membatasi. Melalui diskusi terbentuk proses pembelajaran & proses lahir gagasan baru, generasi belia yg berpikir luas, kritis dan semakin tahu budaya bangsanya.

Tahun 2011 sebagai kali pertama saya ke GIM, belakangan kunjungan itu saya refleksikan sebagai kali pertama aku bersentuhan dengan kawan-mitra yang berbeda lintas ilmu. Sebagai mahasiswa jurusan pendidikan arsitektur, menyimak ihwal-tentang yang berkembang pada obrolan yg terdapat di sana ibarat membukakan kotak pandora dalam diri saya.

Kegiatan Komunitas Aksakun di Aula Utama GIM Sumber Foto : Koleksi Pribadi, 2011
Selain diskusi-diskusi, beberapa komunitas sempat hidup di sana, satu diantaranya Komunitas Aksara Sunda Kuna yang disingkat menjadi Aksakun, komunitas yang juga sempat saya ikuti. Di komunitas tersebut saya berjumpa dengan mahasiswa lain yang berbeda jurusan seperti sejarah, sastra, geografi atau seniman, penyiar radio, budayawan, aktivis, dll. Intensnya saya bersentuhan dengan teman-teman yang berbeda latar belakang di dalam komunitas membangun kesadaran jika sinergitas itu penting! Hari-hari selanjutnya di luar jadwal Kelas Aksakun, saya sering datang ke GIM karena banyak kegiatan-kegiatan yang menarik untuk menambah wawasan. Tak jarang jika sedang jenuh kuliah, saya sering ‘kabur’ ke GIM. Selalu ada hal yang baru dan orang-orang baru yang bisa untuk diajak berbincang dan selalu saja ada pembicaraan yang sangat inspiratif dan menggugah semangat saya sebagai mahasiswa untuk melakukan suatu perubahan. Keasyikan ini mulai meredup seiring hutang akademik yang harus dilunasi. Tahun 2016 saya datang kembali ke GIM kali ini bukan sebagai mahasiswa, tapi sebagai anggota Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung atau yang lebih dikenal sebagai Bandung Heritage. Meski sudah sekitar dua tahun berselang, saya tidak merasakan perubahan yang kentara. Kopi sachet masih setia menemani diskusi. Pemilihan meja bundar rasanya pilihan tepat. Dengan bentuk meja seperti itu, tidak ada sudut yag bisa menutup ruang diskusi, di antara kawan yang mengobrol kita bisa saling melirik. Saya bisa duduk sendirian di kursi bulat yang ada di kafetaria itu, tapi tak lama berselang ada saja yang ikut duduk di sana kemudian saling menyapa, berkenalan dan berbincang-bincang. Anehnya tak pernah ada rasa canggung, meskipun saya sendiri baru kenal hari itu.

Suasana diskusi pada kafetaria GIM Sumber Foto : Koleksi Pribadi,2011 & Facebook Nunun Nurhayati, 2017

Sempat terjadi perubahan pengelolaan pada lingkungan GIM yg semula dikelola oleh komunitas lalu diambil alih balik oleh Disbudpar Jawa Barat. Tetapi semangat penggunaan ruang tidak berubah, Bu Nunun ?Staff Disbudpar, menganalogikan GIM ini menjadi rumah bagi semua orang, mereka mampu datang buat berkegiatan, berbicara dan mengembangkan. Dan fungsi dia menjadi pelayan publik misalnya selayaknya bunda pada rumah yang wajib bisa mendengarkan, mengarahkan & memahami banyak sekali keberagaman yang ada. Beliau meyakini bahwa generasi muda jangan dibatasi pemikirannya apalagi dicekal buat menyelidiki sesuatu hal tetapi wajib selalu didukung & diarahkan agar berkembang ke jalan yang lebih baik. Semakin banyak tahu, anak muda akan tumbuh menjadi langsung yg lebih bijaksana.

Itulah yang menciptakan aku mengerti, mengapa setiap datang ke GIM aku tidak pernah merasa asing, selalu ada senyum-senyum ramah menggunakan tangan yang terbuka lebar. GIM memang rumah loka berkumpulnya segala pemikiran dan keberagaman. Nilai-nilai kebangsaan selalu sebagai nafas dalam berbagai kegiatan yg tersaji oleh GIM. Kemudian saya sebagai teringat dengan kata-istilah Soekarno dalam naskah Indonesia Menggugat :

?Fadjar itu makin lama makin terperinci, & walau dihalang-halangi sang kekuatan manusia jang bagaimana djuga, walau ditjegah oleh kekuatan-wadag dari negeri manapun jua, walaupun ditjegah sang kekuatan-duniawi menurut dalam segenap negeri di atas segenap bumi ini, beliau tidak boleh tidak wajib , tentu, niscaya akan diikuti oleh terbitnja mentari jang meng-hidupkan segala sesuatu jang harus hayati dan mematikan segala sesuatu yang wajib mangkat .?

Daftar Pustaka Hartono, D.(2006).Indonesia Menggugat, Pemugaran sebuah Monumen Perjuangan Bangsa.Geger Sunten :Bandung NN. (2005). Indonesia Menggugat, Pidato Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial, Bandung.

[MEDIA] MENGURAI BERAGAM RASA DI TABULA RASA

Tahun            : 2014

Durasi           : 107 menit

Sutradara      : Adriyanto Dewo

Produksi       : Lifelike Pictures

            Pemeran        : Dewi Irawan, Jimmy Kobagau,

Yayu Unru, Ozzol Ramdan

“Bawangnya bawang impor. Dia murah tapi hambar. Ah, kalau ini bawang lokal, rasanya tajam. Cium! Hasil dari tanah kita sendiri. Kamu bingung kenapa bawang impor itu lebih murah daripada bawang lokal? Mak juga bingung."

Itulah sepenggal percakapan Mak & Hans waktu subuh-subuh berbelanja pada sebuah pasar kota Jakarta. Hans, berkulit legam & berambut keriting, sedang memakai kaos berpola celup-ikat rona-warni, yg baru dibeli berdasarkan uang saku Mak. Selanjutnya mereka pulang membawa majemuk barang. Hans memikul beras di pundaknya. Ia bersikeras nir mau memanggil becak. ?Ah nir usah Mak! Kita wajib hemat,? Serunya sambil menyeberang jembatan.

Gambar 2 Hans tergeletak semalaman di atas jembatan penyeberangan kereta. Sumber: tabularasafilm.com

Jembatan seakan menjadi perumpaan visual yang kerap muncul di film Tabula Rasa (2014) besutan Adriyanto Dewo. Jembatan menjadi jalur para karakter menuju pengalaman-pengalaman baru. Hans, yang dimainkan dengan menyentuh dan jenaka oleh aktor dari Wamena, Jimmy Kobogau, beberapa kali beradegan di atas jembatan. Pertama kali, kita menjumpai Hans memanjat pagar jembatan dan hendak melompat menjelang serangkaian kereta commuter yang sedang melaju. Kedua, Hans ternyata terjatuh ke belakang dari percobaan bunuh diri tersebut dan terlelap hingga pagi. Di situ lah Mak dan Uda Natsir menemukannya.

Dengan kepala terluka, Hans dibawa oleh Mak (Dewi Irawan) ke Takana Juo, rumah makan masakan Padang miliknya. Di sana Mak bekerja sama dengan Uda Natsir (Ozzol Ramdan) dan Uda Parmanto (Yayu Unru). Ketiganya mengungsikan diri dari tanah Minang ke Jakarta pada 2009. Gempa meluluhlantakkan desa mereka. Hanya berbekal ‘delapan tulang’ mereka merintis Takana Juo. Parmanto menjadi juru masak pengeksekusi resep-resep Mak. Natsir membantu mengurus operasional.

Hans sendiri adalah seorang putra daerah Serui, Papua, yang mahir bermain sepakbola. Dahulu di panti asuhan tempatnya tinggal, dialah sang pemimpin doa makan untuk 14 saudara angkatnya.  Namun dia memilih merantau ke Jakarta setelah seorang agen nasional memuji kepiawaiannya. “Kenapa tidak ke Persipura atau Perssidafon saja?” tanya mama angkat Hans suatu malam. Hans pun menukas, “Di Jakarta nanti, saya akan jadi orang hebat.”

Namun nasib jelek bagi Hans, kariernya kandas. Ia menjadi gelandangan yang bertahan hidup dengan memunguti beras pada lantai gudang saudagar. Saat berlari mengejar truk, Hans kalah sang anak-anak muda. Kakinya sekarang terseok-seok.

Suatu malam, Hans membuka kotak sepatu sepakbola di loka bernaungnya, sebuah rongga di bawah rumah berdinding dengan kardus. Setelahnya kita diajak melihat sebuah memori permainan sepakbola antara Hans & rekan-rekannya berdasarkan Papua. Mereka bermain di antara tumpukan kontainer yg identik menggunakan area pelabuhan. Kaki Hans pun telanjang tanpa alas kaki. ?Gol!!!? Teriak mereka. Hans pun pulang menggunakan senyuman. Sembari mengeringkan keringat, kita melihat rosario bersalib tergantung di lehernya.

Gambar 3 Hans membantu Mak berbelanja ke pasar setiap harinya.

Sumber: tabularasafilm.com

Pasar, kereta, gudang, jalanan, dan truk. Itulah latar cerita film ini. Jakarta ditampilkan apa adanya, tempat di mana banyak orang dari berbagai penjuru datang mencari peruntungan. Mak menunjukkan rantai produksi ibukota dengan berbelanja ke pasar setiap subuh lalu naik becak pulang. Rumah makan mereka sederhana di pinggiran kota, membumi dengan tungku kayu, gilingan cabai, alat pemarut dan pemeras santan dari kayu.

Gambar 4 Dapur Takana Juo yang sangat sederhana dan penuh dengan sensasi sensori menjadi ruang interaksi.

Sumber: tabularasafilm.com

Serangkaian pertarungan timbul setelah mereka seluruh berinteraksi. Perbedaan logat & bahasa nir membantu. Sepanjang film, tiga karakter Minang menampilkan dialog bahasa daerahnya yang kental. Akan namun intonasi dan gerak tubuh tak jarang memberi isyarat tentang apa yang sedang dibicarakan.

Gambar 5 Gulai kepala ikan.

(Sumber: erieknjuragan.com: Tabula rasa, makanan adalah itikad baik untuk bertemu.)

Di antara pertarungan-permasalahan itulah masakan khas seperti ayam balado, rendang, dendeng batokok lado hijau, papeda, ikan kuah kuning, gulai ketua ikan berhasil mengurai rasa dan pikiran para karakter. Momen-momen kebebasan timbul dari aksi bersama menyebarkan ataupun meramu masakan. Seringkali penguraian rasa hati ada menurut proses mengurai rasa di pengecap. Adegan penyadaran ada setelah sesuap-2 suap tersantap. Proses meracik bahan & bumbu pun sebagai papan komunikasi antar tradisi & pengalaman. Magisnya, semua seakan terjadi lantaran idealisme Mak menentukan bahan-bahan alami Indonesia.

Gambar 6 Hans dan Mak menikmati ikan kuah kuning dan papeda protesis Hans.

Tidak ada plot cerita yang berliku-liku. Terkadang ada flashbackyang diberikan. Namun, sedikit sekali yang disajikan tentang latar belakang Serui dan Papua. Sedangkan gambaran tentang tanah asal Mak dan kawan-kawannya hanya muncul dari bingkai foto maupun lukisan. Yang kita tahu, daerah tersebut dilanda gempa tahun 2009. Apabila merujuk kejadian nyata, maka bisa jadi Mak dan kawan-kawan berasal dari kota Padang atau sekitarnya.

Film ini fokus bercerita tentang hal-hal aktual dan dekat. Selain cerita latar yang minim, kita lebih banyak diberikan visual-visual Jakarta sehari-hari yang jauh dari hingar-bingar. Rutinitas kota dimunculkan dari kereta commuter yang rutin lewat saat hari gelap. “Jam berapa kereta yang paling akhir lewat?” tanya Mak ketika khawatir terhadap Hans. Setiap kali Takana Juo tutup, rutinitas bersih-bersih dimulai. Neon temaram berpendar menerangi ruangan.

Gambar 7 Para karakter Tabula Rasa (Sumber: erieknjuragan.com)

Mungkin itulah latar yg sinkron, tanpa bumbu-bumbu kepalang rumit. Interaksi mereka pun kadang canggung, layaknya orang-orang yang tidak sama namun saling ingin mengembangkan. Kita tampaknya diperbolehkan menebak-nebak sesuai dengan rasa hati kita. Yang kentara, mereka sebagai dekat sahih-benar karena mengalami pengalaman berbagi. Meski perbedaan dan prasangka menjadi ganjalan pada awal, pengalaman-pengalaman itu membantu mereka mengurai rasa yang mereka miliki.

Di akhir cerita kita melihat Hans memakai kaos biru polos. Kontras dengan bajunya di awal cerita: merah dan compang-camping. Ia menyusuri jalanan melawan arus motor, mobil, dan truk kota Jakarta.

[i] Tabula Rasa. Https://en.Wikipedia.Org/wiki/Tabula_rasa#Philosophy. Diakses 25 Juli 2017.

Kamis, 28 Mei 2020

[MASALAH KITA] MENGHADAPI KEBERAGAMAN SESAMA AKTIVIS

Oleh: Dhitta Puti Sarasvati

Tasya sangat tertarik dengan isu perempuan. Ketertarikannya ini membuatnya bekerja di sebuah LSM yang fokus pada pemberdayaan perempuan, khususnya dalam bidang ekonomi. Sehari-hari Tasya menghabiskan waktunya untuk melatih sekelompok ibu di sebuah kampung untuk menghasilkan produk yang bisa dijual seperti keset dari kain bekas, agenda yang dibuat dari kertas daur ulang, dan sebagainya. Kebetulan, Tasya memperoleh dukungan dari sebuah supermarket retail. Tasya boleh menitipkan karya-karya ibu-ibu di supermarket tersebut. Tasya berasumsi bahwa dengan mendukung ibu-ibu agar memiliki penghasilan sendiri, maka ibu-ibu tersebut akan lebih berdaya.

Suatu hari ada sebuah forum di mana aktivis-aktivis isu perempuan berkumpul. Tasya berkenalan dengan Juwita. Dengan semangatnya Tasya menceritakan apa yang dikerjakannya bersama ibu-ibu di kampung.

Juwita pun menanggapi, “Punya penghasilan tambahan tidak serta merta membuat perempuan berdaya. Saya pernah menemukan kasus di mana perempuan menghasilkan uang lebih banyak dari suaminya. Uangnya diambil, lalu digunakan untuk mabuk-mabukan. Perempuan tetap menderita. Lagi pula, dengan menitipkan produk itu di supermarket, yang diuntungkan adalah supermarket-supermarket itu. Mereka dapat produk dengan biaya murah, lalu dijual dengan harga yang cenderung tinggi. Yang untung? Pemilik modal. Perempuan perlu dibekali pengetahuan yang memungkinkannya melawan sistem patriarkisme dan kapitalisme yang mengekang mereka.” Ilustrasi di atas menggambarkan contoh dua orang aktivis yang merasa bergerak di isu yang sama, tapi sebenarnya berbeda. Walau keduanya sama-sama peduli pada isu pemberdayaan wanita, namun berbeda pandangan mengenai cara untuk membuat mereka lebih berdaya. Hal yang sama bisa terjadi di bidang lain. Ada aktivis pendidikan yang sangat peduli pada pengajaran nilai moral. Baginya, anak harus dibekali dengan kisah-kisah yang mencontohkan kebaikan. Di sisi lain, ada aktivis pendidikan yang merasa anak boleh dibekali dengan bacaan apa saja, yang penting anak diajak berpikir kritis sehingga bisa mengkritisi apapun yang bisa dibaca. Ada aktivis lingkungan yang tidak keberatan memperoleh pendanaan dari lembaga-lembaga internasional untuk kampanye menyelamatkan lingkungan. Di sisi lain, ada aktivis lingkungan yang lebih percaya untuk membangun kekuatan lokal dengan mengajak masyarakat hidup dari apapun yang dimilikinya, meskipun tanpa ‘bantuan luar’.

Dulu, ketika awal menjadi aktivis, dengan lugunya saya pikir semua aktivis sama saja. Yang membedakan hanya ‘fokus isu yang diperjuangkan’. Ada aktivis pendidikan, lingkungan, perempuan, kesehatan, dan banyak lagi. Tujuan yang mau dicapai sama saja. Semua ingin menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik.

Belakangan, saya baru sadar bahwa ‘dunia yang lebih baik’ bagi satu orang bisa sangat berbeda dari ‘dunia yang lebih baik’ menurut orang lain. Ada juga aktivis-aktivis yang punya gambaran serupa tentang ‘dunia yang lebih baik’. Tujuan yang mau dicapai serupa tetapi pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sangat berbeda. Misalnya, ada yang percaya pada peran negara. Sebaliknya, ada yang cenderung mengabaikan peran negara.

Suasana pertemuan peningkatan kapasitas LSM-LSM di Sumba, bulan Mei 2015, yang difasilitasi oleh KAIL bekerjasama dengan HIVOS. Beragam jenis aktivis, beragam tujuan dan cara masing-masing dalam memperjuangkan keberpihakan mereka. Sumber foto : KAIL

Menghadapi aktivis-aktivis yang berbeda tujuan, ideologi ataupun cara, bukanlah hal yang mudah. Sebagai contoh, dari dulu saya tidak bisa menerima penggusuran paksa. Ini berpengaruh pada pilihan politik saya ketika pilkada belakangan ini. Saya tidak setuju dengan calon pemimpin yang melakukan penggusuran paksa tetapi juga tidak percaya dengan calon lainnya. Saya memilih menjadi golput. Beberapa teman aktivis menuduh saya tidak berpihak pada rakyat karena tidak memilih pemimpin yang dianggap bisa membuat Jakarta lebih baik. Terlepas benar atau tidaknya, pilihan politik saya dilakukan dengan sadar. Tapi, mungkin tidak semua orang bisa mengerti.

Memilih menjadi aktivis, berarti berani untuk menghadapi perbedaan. Kita pasti akan bertemu atau berhadapan dengan orang-orang yang menentang pandangan kita, termasuk sesama aktivis. Bagaimana menghadapinya?

Pertama, berdialoglah dengan terhormat. Berdebat tentang isu yang kita pedulikan di forum diskusi itu sah-sah saja. Namun, biasakan fokus pada isu. Perkaya argumen kita dengan data dan analisis. Jangan menyerang pribadi lawan. Berdialoglah dengan terhormat. Sekalipun perdebatan akhirnya menjadi panas, namun tetap gunakan bahasa yang sopan dan tidak merendahkan lawan bicara Kedua, ada kalanya kita harus bersepakat untuk tidak bersepakat. Ketika dialog hanya menghasilkan jalan buntu, mungkin kita harus menyimpan energi kita untuk hal-hal lain yang lebih penting. Tidak semua dialog harus berakhir dengan para peserta memiliki sikap dan pandangan yang sama. Dialog sekalipun harus tetap memberi tempat pada adanya perbedaan. Pilih untuk bersepakat untuk tidak bersepakat tapi teruskan perjuangan dengan strategi berbeda.

Berjejaring antar aktivis membutuhkan dialog. Dialog memberi tempat pada keberagaman pendapat dan pikiran.

Sumber foto : KAIL

Ketiga, akui bahwa kita tidak tahu segalanya lalu belajar lagi. Tidak ada manusia yang tahu segalanya. Akui ini. Berendah hati bahwa ‘kita tidak tahu’ memungkinkan kita untuk belajar kembali. Buka lagi berbagai bacaan terkait, berdialoglah dengan orang yang sejalan maupun berseberangan dengan kita. Ujilah apa yang selama ini kita percaya. Ketika ada yang berbeda dengan kita, anggap itu kesempatan untuk memperdalam pemahaman.

Terakhir, perbedaan tidak boleh membuat kita memperlakukan orang lain semena-mena. Tetaplah baik hati. Seperti yang dikatakan oleh Dalai Lama ke-14, “Baik kepada orang yang percaya pada agama atau tidak, kepada orang yang percaya reinkarnasi atau tidak, tidak ada satupun [manusia] yang tidak menghargai kebaikan hati dan belas kasih.”

Beragam cara aktivis dapat dilakukan untuk memperjuangkan keberpihakan, salah satunya adalah melalui musik. Grup Rupa Bumi, saat memainkan musik mereka di kegiatan Ulang Tahun KAIL 2016.

[TIPS] BEROLAHRAGA : MENJAGA KEBUGARAN DAN MEMAHAMI KEBERAGAMAN

Oleh : Kukuh Samudra

Kita telah sepakat bahwa olahraga bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran. Dari tubuh yang sehat, lantas berpengaruh terhadap jiwa yang sehat. Seperti adagium Yunani yang terkenal, “Mens sana in corpore sano” yang artinya, “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”.

Manfaat lain menurut olahraga yg tidak banyak orang sadari adalah olahraga dapat memperluas pergaulan. Dengan semakin luas pergaulan, semakin poly orang yang kita temui & semakin besar peluang kita bertemu dengan bermacam jenis orang. Dari interaksi menggunakan beragam jenis manusia itulah yg mendorong kita buat memahami keberagaman. Bagi teman-sahabat yang hendak atau baru memulai berolahraga, pada bawah ini beberapa tips agar kita menerima manfaat optimal berdasarkan olahraga. Baik yang berkaitan dengan kebugaran jasmani, juga yg berkaitan dengan sosial.

1. Pilih olahraga yang sesuai menggunakan minatmu

Saat ini banyak sekali macam olahraga bersama fasilitas sudah tersedia. Olahraga tersebut ada yg bersifat individu, gerombolan , permainan, atau yang bersifat non-permainan. Beberapa orang lebih gemar olahraga grup seperti futsal, tetapi beberapa lebih enjoy melakukan olahraga individu seperti bersepeda atau lari. Olahraga permainan umumnya lebih asyik dilakukan, namun kita perlu mencari sahabat atau versus tanding yang terkadang susah-susah gampang. Contohnya merupakan tenis. Sementara terdapat jua olahraga yang sifatnya bukan permainan seperti lari atau yoga.

Foto 1 - Lari pagi di GOR Saparua, Bandung (dokumen pribadi)

Kegiatan lari (jogging) dapat dilakukan sendiri maupun berkelompok. Dengan berkelompok, kegiatan lari menjadi sarana mengenal keberagaman serta meningkatkan motivasi untuk menyehatkan raga.

Ada beberapa olahraga yg dapat dipelajari dengan mudah misalnya lari, ada yg perlu ketika usang buat bisa mahir melakukannya misalnya basket atau bulutangkis. Pertimbangkan ketersediaan ketika, budget, dan tujuan anda pada berolahraga. Apabila anda tidak mempunyai banyak saat & ingin segera menerima manfaat dari olahraga, pilihlah olahraga yang gampang & terjangkau. Apabila anda merasa cocok dan enjoy dengan sebuah olahraga eksklusif jangan ragu buat ikut komunitas & berlatih secara giat. Bahkan jika anda kebetulan memiliki rejeki berlebih, tidak terdapat salahnya ikut kursus atau membayar pelatih.

Dua. Bergabung pada komunitas olahraga

Olahraga misalnya lari atau bersepeda, yang sebetulnya lebih menekankan dalam ?Kompetisi? Melawan diri sendiri, umumnya membutuhkan determinasi diri yang lebih tinggi. Tidak jarang orang yg baru pertama mencoba olahraga akan semangat di awal, kendor di tengah, & bahkan berhenti sama sekali sehabis melakukannya tidak lebih berdasarkan hitungan jari. Salah satu cara buat mengatasi kendala ini adalah mencari komunitas atau sahabat dengan hobi yang sama.

Untuk olahraga permainan, hambatan umumnya merupakan dalam mencari sahabat. Beberapa olahraga membutuhkan minimum peserta supaya bisa bermain menggunakan enjoy.

Apapun jenis olahraganya, mencari teman atau komunitas dengan minat yang sama adalah menguntungkan. Anda mampu menemukannya di sekolah, kampus, lingkungan kerja, klub olahraga atau melalui media daring yang saat ini gampang diakses. Untuk 2 yg terakhir, umumnya anggota klub asal berdasarkan bermacam jenis latar belakang yang tentu saja lebih menarik.

Tiga. Berinteraksi menggunakan sesama anggota komunitas

Foto 2 - Olahraga sebagai sarana mencairkan suasana (dokumen KAIL)

Sebagai awal mula sebuah kegiatan, olahraga dapat menjadi sarana untuk mencairkan suasana, seperti yang dilakukan oleh kakak pendamping dan adik-adik di Hari Belajar KAIL di gambar ini.

Olahraga adalah momen ketika orang hendak santai dan ingin lepas sejenak berdasarkan rutinitas. Saat istirahat atau menunggu giliran, coba ajak anggota komunitas atau versus bermain buat berbincang-bincang. Olahraga juga membantu buat mencairkan suasana. Dosen killer atau atasan yang galak nir jarang menunjukkan sifat berlawanan sama sekali saat olahraga dibandingkan keseharian. Dengan berbincang, kita mampu lebih mengenal satu sama lain. Apalagi pada sebuah komunitas dengan latar belakang yang majemuk, kita sanggup memahami insan secara lebih luas. Apabila terdapat rejeki berlebih, nir terdapat salahnya buat sekadar membawa kudapan sehat supaya komunitas lebih akrab.

4. Mengadakan Latih Tanding atau Latihan Bersama

Sekadar latihan rutin terkadang membosankan. Perlu suasana supaya semangat latihan permanen terjaga. Kegiatan latih tanding sanggup sebagai pilihan. Selain itu dengan latih tanding, kita bisa memperluas pergaulan.

Yang perlu diingat waktu latih tanding merupakan:

a. Atur jadwal dan konvensi menggunakan mitra latihan. Bicarakan secara terbuka mengenai waktu, tempat, konsumsi, dan pembagian porsi finansial jika dibutuhkan.

B. Sebagai tuan tempat tinggal , kita harus buat melayani tamu menggunakan sebaik-baiknya. Beri liputan dan kemudahan kepada tamu kita semisal mereka baru pertama kali berkunjung. Mengacu dalam poin (a) pada hal finansial, tuan rumah lazimnya memberi jamuan pada tamu. Namun, sesuaikan menggunakan budget klub Anda. Seringkali masalah perjamuan bukan berarti harus glamor, namun setidaknya memenuhi kebutuhan dasar dalam berolahraga misalnya air mineral.

C. Sebagai tamu, kita harus bertanggung jawab & menghormati lawan tanding kita. Hadir lebih awal di lokasi adalah galat satu model. Selain itu, terkadang ada beberapa kesepakatan atau aturan yg tidak sama di lingkungan tuan rumah yang perlu kita jaga. D. Pergunakan latihan bersama atau latih tanding buat saling belajar, saling berkomunikasi, dan membina rekanan. Belajar pada hal ini bukan sekadar urusan teknis olahraga. Namun, sanggup pula mengenai manajamen latihan, tips-tips finansial, dll.

5. Mengikuti atau Mengadakan Turnamen

Latih tanding memiliki cakupan yg lebih terbatas pada dua klub. Apabila ingin mendapatkan jaringan yang lebih luas pada satu waktu, kita bisa mencoba mengikuti turnamen atau bahkan mengadakan turnamen sendiri. Atmosfer turnamen akan terasa lebih menantang dan bergelora dibandingkan sekadar latih tanding. Dengan atmosfer yg lebih menantang, akan menarik peserta yang lebih luas.

Yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan turnamen adalah:

a. Kita perlu mengukur sumber daya. Jangan hingga turnamen yg kita selanggarakan memiliki kualitas yg jelek & menciptakan kapok peserta.

B. Menjaga sportivitas merupakan hal yang absolut. Jika tidak, alih-alih mendapatkan teman baru dan membina keberagamaan, yg sanggup terjadi merupakan sebuah bibit permusuhan.

C. Esensi menurut turnamen merupakan kompetisi. Namun, kompetisi usahakan hanya terjadi pada lapangan atau saat pertandingan berlangsung. Manfaatkan ketika jarak sebagai ajang silaturahmi.

6. Sportif

Sportif mampu berarti amanah & bertanggung jawab. ?Bermainlah, tapi jangan pernah bermain-main menggunakan permainanmu,? Demikian kata seseorang bijak. Artinya, waktu kita bermain atau olahraga kita dituntut buat fokus & mengerahkan upaya aporisma. Bermain-main dengan permaian, bisa berarti tidak amanah, berlaku licik, atau tidak mengerahkan energi secara aporisma hanya akan menghambat tujuan yang hendak kita capai menurut olahraga.

Dari Tenis buat Menjadi Semakin Dinamis

Penulis sendiri pada olahraga memilih tenis menjadi hobi. Sejak mini penulis telah didorong berolahraga buat belajar dan menekuni paling tidak satu bentuk olahraga permainan. Hingga kini , penulis masih aktif bermain tenis & masih terus belajar buat berbagi permainan.

Foto 3 - Penulis dan Olahraga Tenis

Melalui tenis, penulis mendapatkan beragam manfaat, salah satunya adalah pengembangan karakter pantang menyerah serta kesempatan untuk mengenal sifat-sifat orang yang berbeda melalui kegiatan turnamen atau pertandingan persahabatan
Lebih dari 10 tahun penulis berlatih tenis, ada beberapa nilai dan manfaat yang penulis dapat petik:

1. Olahraga membantu dalam belajar Di saat suntuk & penat, olahraga dan berkeringat mengakibatkan tubuh dan pikiran lebih segar. Penulis yang rutin tenis 1-2 kali per pekan pernah mencoba nir tenis selama 1 bulan. Yang terjadi badan justru tak jarang pegal & lesu. Beberapa penelitian terkenal bahkan menyebutkan dengan berolahraga, kemampuan otak dalam memasak kabar akan semakin tinggi. Hal ini karena otak kita sebetulnya membutuhkan suplai oksigen yg lancar. Sementara olahraga bisa membantu melancarkan sirkulasi oksigen ke otak.

2. Olahraga mengajarkan untuk bekerja keras

Dosen pembina UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa)-Tenis penulis pernah bercerita bahwa beliau mengajarkan anaknya olahraga agar anaknya belajar kerja keras. Dalam global akademik, mencontek adalah jalan pintas seorang pelajar buat mendapatkan skor yg baik. Namun, dalam olahraga, mencontek menjadi nir relevan. Kemampuan atlet seratus persen adalah buah kerja keras beliau dalam berlatih. Anda sanggup ?Mencontek? Gaya pukulan Roger Federer, atlet tenis terbaik global, menggunakan melihat videonya berulang kali. Namun, buat sebagai juara dunia seperti Roger Federer tanpa kerja keras adalah tidak mungkin.

3. Olahraga memberikan kesempatan buat mengenal begitu poly orang

Tenis selalu mempunyai stereotip menjadi olahraga yg mahal. Saya tidak menampik pendapat demikian. Namun, penulis yang besar pada kota kecil seperti Karanganyar, menemui kenyataan bahwa hampir semua lapangan masih gratis. Oleh karena itu, dengan porto yg jauh lebih murah dibandingkan di kota, tenis di kota kecil masih terjangkau bagi kalangan kelas menengah bawah. Di kota mini , tidak jarang seorang pejabat tingkat kabupaten bermain menggunakan tukang becak yang secara strata sosial termasuk pada bawah. . Dalam kesempatan lain penulis mengikuti turnamen alumni perguruan tinggi tempat penulis kuliah. Dari situ penulis bisa berinteraksi dengan para alumni yang sudah bekerja dan jauh lebih mapan secara finansial daripada tukang becak yang penulis temui. Mereka rata-homogen mempunyai cerita yg unik dengan topik yg beragam. Meski demikian, topik yg mereka bincangkan kebanyakan tidak selaras dibandingkan menggunakan klub tukang becak berada. Kalaupun katakanlah kita ambil satu pijakan tema, yaitu ekonomi, sudut pandang antara para alumni perguruan tinggi sangat jauh tidak sinkron.

Dari berbagai klub tenis yang diikuti, kita jadi lebih paham mengenai cara berpikir orang yang beragam. Meski harus diakui, tidak semuanya baik. Tetapi, dengan demikian kita akan lebih cerdik & bijaksana pada melihat sebuah persoalan.

4. Latih tanding dan mengadakan turnamen menjadi sarana buat belajar berorganisasi

Penulis pernah bertanggung jawab mengadakan sebuah latin tanding dengan universitas lain saat masih mahasiswa. Dari situ kami saling berinteraksi & bertukar keterangan. Tiap organisasi atau klub, kasus yg dihadapi terdapat yg tidak sinkron terdapat pula yang mirip. Dari situ kita mampu saling berdiskusi dan bertukar pengalaman. Wawasan kita kita juga lebih terbuka, bahwa buat tiap organisasi buat kasus yang sama sanggup jadi penanganannya tidak sama.

Beda lagi pengalaman ketika didapuk menjadi kepala turnamen. Mengadakan turnamen ternyata nir semudah yang dipikir. Meski memiliki banyak rencana & pandangan baru di ketua, melakukan hukuman bagi penulis yang minim pengalaman organisasi ternyata cukup sulit. Saat itu penulis poly mengalami hambatan bahkan turnamen yg direncanakan terancam gagal. Tetapi, dari proses itu penulis belajar banyak terutama pada hal memecahkan perkara, berinterksi, dan berkomunikasi menggunakan orang lain.

Empat manfaat bermain tenis yg penulis sebutkan di atas tentu saja sangat subjektif. Pembaca pasti memiliki pengalaman & memperoleh manfaat yg berbeda-beda pada berolahraga. Selain bahwa olahraga berguna bagi kebugaran, olahraga sarana yang baik untuk memperluas pergaulan dan memperluas sudut pandang.

SALAM OLAHRAGA!

[OPINI] KE-BHINNEKA-AN DI DALAM BINGKAI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

Oleh: Umbu Justin

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu merupakan hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan pada atas global harus dihapuskan karena nir sesuai dengan peri kemanusiaan & peri keadilan."

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan kemerdekaan sebagai dasar terpenting bagi terbangunnya Bangsa Indonesia. Kata 'kemerdekaan' merupakan titik berat dalam setiap paragraf, terus menerus diingatkan dan ditulis berulang supaya menjadi catatan bagi seluruh konvoi kita menuju sebuah negara yang manunggal, berdaulat, adil & makmur. Gagasan kemerdekaan ini lalu dimeterai dengan dasar negara, Pancasila, yang dalam dasarnya mengandung kedalaman filosofi tentang humanisme universal suatu bangsa Indonesia yg merdeka.

Kemanusiaan yang universal. Sumber foto : KAIL

Menggali Makna Kemanusiaan Universal di Dalam Indonesia Merdeka

Lantas apakah itu suatu kemanusiaan universal yang akan ditumbuhkan pada Indonesia yg merdeka?

Para Bapak Bangsa, pejuang kemerdekaan dan kaum konvoi sejak RM Tirto Adhi Soerjo, dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Soetomo & mitra-kawan dari Boedi Oetomo, hingga kepada para penyusun Pembukaan UUD 1945 merupakan para perenung humanisme universal tersebut. Sebelum negara Indonesia lahir melalui proklamasi, sejarah negeri kepulauan ini senantiasa menghujani benak para pioner tadi menggunakan riwayat kemanusiaan yang tertindas sang kolonialisme, intimidasi, intrik kekuasaan, politik kotor adu domba, kerja paksa, dan banyak sekali cerita yang memberi beban berat bagi bangsa kita. Dari situ tumbuh hasrat buat mengganti arah oleh sejarah, dari perbudakan menuju kemerdekaan; Para Bapak Bangsa mulai menuliskan masa depan, suatu doa dan pengharapan akan humanisme universal Indonesia yg merdeka.

Kemanusiaan universal Indonesia bukan sekedar definisi atau ketetapan misalnya sebuah nama yang tercantum pada KTP maupun akta kelahiran, melainkan adalah pengalaman konkret insan-insan yang hayati, bernapas dan berjuang pada bumi Indonesia. Kemanusiaan yg demikian lahir menurut sejarah yang kaya akan pengalaman & perenungan, otentik & berdenyut beserta jatuh bangunnya para pelakon. Itulah warga yg sebenarnya, Marhaen, kata Bung Karno, menunjuk dalam seorang petani belia berpeluh di tanah Jawa, ?Saidjah dan Adinda?, karya Multatuli, ?Minke? Atau ?Kartini? Dalam karya Pramoedya, semua yang ditindas sang permainan politik kaum oportunis, satu rakyat yg disatukan bukan atas dasar apa pun selain penderitaan.

Pesan kemerdekaan bagi warga Indonesia. Sumber foto : www.Gmniunp.Blogspot.Co.Id

Itulah rakyat satu bangsa yang ditindas, dari satu tanah air yang dijajah, suatu daya bahasa yang dibungkam. Bagi para pemuda yang bersatu menyatakan Soempah Pemoeda 1928, Indonesia adalah pengalaman konkrit, adjective realistis, berupa harapan kemerdekaan bagi warga , tanah air dan bahasa yg dibungkam. Indonesia adalah situasi murung yg disatukan dalam penderitaan & pembisuan. Indonesia pun merupakan tenaga yg berangkat bangun untuk menempuh jalannya, membarui takdir dan merancang peluangnya sendiri. Inilah Indonesia yg darinya semua titik berat makna kemerdekaan dikontemplasikan ke dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Suatu humanitas yg berbagi penderitaan, yang harus dipulihkan ke dalam prestise asali yg universal, bebas dan merdeka, setara menggunakan segenap bangsa di dunia.

Lebih menurut 70 tahun Indonesia merdeka, integritas kebangsaan ternyata perlu dinyatakan pulang pada konkretisasi yang cukup tidak sama: pertanyaan mengenai humanitas universal kita datang menurut tantangan terpenting, apa itu bukti diri Indonesia? Sejarah kemerdekaan dicatat dengan berbagai kesedihan kendati begitu poly kemajuan sudah dicapai. Kita telah menyaksikan begitu banyak penyalahgunaan kekuasaan, penganiayaan oleh penguasa pada masyarakat atas nama negara, korupsi yg begitu merajalela, impian berkuasa yg vulgar & degradasi karakter politik mencapai tingkat paling rendah: hilangnya pola pikir kritis negarawan. Tetapi sebuah gejala pula sudah ada seakan tanpa preseden, pengingkaran kebhinnekaan, fragmentasi identitas kebangsaan ke pada pecahan-pecahan egoisme narsistik yg akut. Pertanyaan yg konyol & menguras nalar sehat sekarang berkumandang: siapa-siapa saja, ras mana saja, kepercayaan mana saja, gerombolan mana saja, & seterusnya, yg pantas menyandang atribut Indonesia?

Indonesia yg diproklamasikan dulu, merupakan masyarakat tertindas yang berkecimpung merdeka dan berdaya independen merintis harkat & martabat kemanusiaannya sebagai komunitas bangsa - negara yg mengembangkan ruang humanitas di antara segenap bangsa di dunia mudun. Kita dibangun sang penderitaan dan perjuangan yang sama, bukan sang perkumpulan sesama jenis manusia, sesama ras, sesama kepercayaan atau sesama suku dalam suatu keadaan normal yang relaks buat membuat kategorisasi. Humanitas para pendiri bangsa, & para pejuang, adalah kemanusiaan yang menolak ditindas, sejarah yang berkiprah mengubah nasib pelakonnya. Mengingkari kebhinnekaan kita adalah sama absurdnya menggunakan mengingkari riwayat humanisme Indonesia.

Ketika para bapak bangsa merumuskan haluan bangsa ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, mereka memahami humanisme Indonesia merdeka dalam perspektif humanitas universal yg memberi loka dalam harkat martabat manusia di atas golongan, pandangan politik, dari-usul geografis, kepercayaan , ras, suku-bangsa dan sebagainya. Hanya dengan begitu bangsa Indonesia mampu sejajar dan merogoh kiprah pada persaudaraan bangsa-bangsa buat menciptakan tatanan dunia yg berperikemanusiaan dan berkeadilan.

Indonesia yang Merdeka, Indonesia yg Bhinneka

Kebhinnekaan atau pluralitas adalah fakta inheren dalam keseluruhan semesta. Setiap unit utuh kehidupan, setiap anasir keberadaan, pasti saling berbeda, Pluralisme adalah pergerakan menuju unitas yang dinamis, paham untuk menghargai pluralitas dan memberi tempat bagi kebersamaan. Bhinneka Tunggal Ika yang dikutip dari kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular (Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa = Berbeda-beda manunggal, menyatu, sebab kebenaran tiada mendua) yang dijadikan metafor keutuhan bangsa pada lambang negara mengisyaratkan pemahaman yang jauh lebih mendalam dari sekadar memberi ruang bagi pluralitas.

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan untuk melakukan satu perjalanan beserta, menjadi manusia bersaudara menuju kebaikan beserta. Semboyan ini melampaui isi istilah toleransi yg selama ini kita andalkan sebagai medium kebersamaan. Toleransi hanya memberi ruang secukupnya buat sekadar ada beserta, saling menghormati & nir saling menggangu. Sekadar demikian nir kan cukup buat meniupkan tenaga kebangsaan, lantaran kebersamaan sebagai bangsa meminta kerelaan untuk saling membantu, bekerjasama bahu-membahu demi asa bersama. Bhinneka Tunggal Ika merupakan slogan dengan energi yang bertenaga, dengan perbedaan kita manunggal menjadi pernyataan humanisme yang bersaudara, sebangsa, setanah air & seia-sekata sebahasa.

Lantas apa yg perlu kita lakukan dengan disparitas? Bukankah pada masa ini perbedaan, pluralitas, diversitas sebagai senjata, dan sekaligus duri dalam daging?

Perbedaan adalah alamiah, aturan dasar keberlangsungan hayati. Setiap organisme, setiap spesies, setiap individu melakukan diferensiasi, diverting, mengganti jalannya supaya bisa menjawab tantangan perubahan dalam hidup. Dinamika adaptasi yg menggerakkan daya kreatif semesta adalah bentuk kehidupan itu sendiri. Kehidupan berjalan menuju diversifikasi, sebagai kaya dan bervariasi, majemuk. Diversitas, keberagaman melalui diferensiasi cara hayati, itulah yang memperluas horison kehidupan pada semesta raya.

Diversitas dalam bahan pembuatan jamu. Sumber foto : KAIL

Melawan keberagaman merupakan melawan daya hayati. Kelompok insan zombie yg berusaha melakukan radikalisasi diri menggunakan melawan diversitas sebetulnya sedang melakukan regresi menuju kehampaan. Perbedaan begitu gampang dihadirkan, itulah warta kehidupan yg memenuhi segenap semesta. Melawan adanya perbedaan adalah mereduksi kabar hayati terus menerus hingga dalam absurditas.

Indonesia adalah atribut penuh kenangan sejarah, bertabur mimpi & harapan, sebuah kata yg menampakan jati diri yg kaya menurut komunitas manusia merdeka menurut Sabang sampai Merauke. Itulah untaian kepulauan pada tenggara semenanjung Asia, Nusantara, Insulinde, Indische Archipel, Zamrud Khatulistiwa, Ibu Pertiwi, Indonesia (sebutan sang James Richardson Logan, 1847), begitu poly nama buat sebuah kebenaran humanisme yg menderita di tanah air yg sedemikian latif & kaya -- nama yg lalu menggerakkan para pemuda, para perintis kemerdekaan dan para proklamator buat menegaskan kemerdekaan. Kita sekarang, pelanjut semangat mereka, harusnya berjuang jua. Membangun, memajukan kehidupan, meluaskan wawasan, merayakan humanisme dan merencanakan hari esok.

Kita memang direpotkan oleh para koruptor, politisi rendah kualitas, & kaum oportunis yang tidak pernah surut. Tetapi melawan arus radikalisasi narsistik yg meneror diversitas merupakan tantangan yg melelahkan lantaran sangat mengikis moril dan nalar sehat. Kita harus berangkat terus menerus, berdasarkan pluralitas menuju pluralisme, menegaskan pulang slogan kakawin Sutasoma: Bhinneka Tunggal Ika sebagai kebenaran kehidupan. Kita seyogianya terus menerus menjadi Indonesia; mengenakan nama itu sebagai atribut yg inheren dalam energi kebangsaan kita yg bersatu berdasarkan beribu suku, majemuk kepercayaan & agama, poly ras, banyak cerita, legenda geografis & dongeng berasal-usul; dalam pencerahan bertanah air satu yg terdiri menurut mosaik beribu pulau, beratus gunung, jutaan tanjung - teluk, yg menyimpan limpahan kekayaan ratna mutu manikam; satu ungkap kata, satu budi bahasa dari bermacam langgam bahasa budaya yang tak mungkin lagi dibungkam: Indonesia.

***

Rabu, 27 Mei 2020

[OPINI] DEWASA DALAM MENYIKAPI INFORMASI

Oleh : Canggih Hawari

Keresahan menjalari indera

Ketika sengketa di mana-mana

Lupa akan kebersamaan

Seakan mengubur rekam historis

Mungkin, persatuan kita

Ada di penghujung tanduk.

Tidak mampu dipungkiri bila akhir-akhir ini memang kerap terjadi gesekan-tabrakan di sekeliling kita, ketika hidup berjejaring dalam satu kesatuan. Indonesia. Padahal usia Negara ini sudah tidak dapat dikatakan muda lagi, tahun ini Negara kita berusia 72 tahun. Tapi bukannya persatuan yang dirasa, melainkan konflik ini dan itu yg dialami.

Nyatanya memang hal-hal tersebut pasti terjadi, mengingat perbedaan akan selalu ada diantara kita. Kemudian, kemudahan penyebaran informasi dengan adanya media sosial dan keyakinan bahwa haknya untuk berbicara dilindungi oleh undang-undang, yang tidak diikuti dengan kedewasaan kita dalam menggunakannya menyulut berbagai konflik di antara kita.

Pertanyaannya adalah apakah memang perseteruan ini tidak dapat dihindari ? dengan memandang persatuan dan rekam historis bangsa ini, maka hal-hal seperti ini seharusnya dapat dihindari. Kebebasan untuk menyatakan pendapat di sini harus diikuti dengan secara bertanggung jawab. Dan bertanggung jawab di sini berkaitan erat dengan kedewasaan. Sehingga gesekan-gesekan yang terjadi di sekitar kita seharusnya dapat dihindari, karena memang perbedaan akan selalu ada.

Masyarakat & warta. Sumber foto : www.Pastiguna.Com

Ketidakdewasaan kita dalam berinteraksi dan bermasyarakat yang menurutku menyebabkan gesekan-gesekan seperti ini sangat mungkin terjadi. Kemudahan untuk menekan tombol share di media sosial tanpa menelisik lebih dalam, apakah informasi tersebut benar adanya atau tidak, serta ketidakmampuan kita dalam menempatkan diri ketika melihat informasi tertentu, dan keengganan kita untuk belajar memahami menjadi beberapa penyebab dari keadaan yang ada saat ini. Sekali lagi aku tekankan, ketidakdewasaan kita.

Cepatnya arus informasi dan kemudahan untuk menjadi bagian dalam penyebarannya memberi sumbangsih yang besar. Begitu melihat informasi-informasi yang menarik menurut kita, dengan mudahnya kita menekan tombol share dan membagikannya kepada banyak orang. Tidak hanya informasi informasi yang jelas sumbernya, tetapi juga informasi yang hanya berupa pesan berantai pun tidak jarang kita sebarkan dengan mudahnya, membuatnya diketahui oleh banyak orang dan hingga di titik dimana pembuatnya sudah tidak dapat ditemukan lagi. Lalu di mana kedewasaannya jika apa yang kita tulis tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi ? Permasalahan akan menjadi-jadi ketika berita tersebut ternyata hanyalah sebuah kebohongan, atau informasi yang telah dibumbui sana sini, sehingga memancing emosi pembacanya. Kemudian pilihan kita yang menjadi bagian dari proses penyebaran berita itu ikut menentukan permasalahan ini. Terlepas dari benar atau tidaknya berita, kebanyakan dari kita memang dengan mudah tergoda untuk menyebarkannya begitu saja tanpa pernah memikirkan apa dampak secara langsung maupun tidak langsung yang dihasilkan ketika kita menyebarkan informasi ini.

Berikutnya merupakan keengganan kita buat tahu pendapat dan warta keterangan yang berseberangan dengan kita. Secara alamiah memang manusia akan lebih menyukai orang orang yg mempunyai kemiripan dengan dirinya. Begitu juga dengan pemikiran. Setiap orang akan menentukan buat berkumpul bersama dengan orang orang yang memiliki pemikiran yg sama dengannya. Dan hal ini otomatis akan membuat kita nir tahu secara menyeluruh menurut pemikiran dan pendapat lain yang berseberangan dengan kita. Kita nir memahami karena kita nir mengenal menggunakan baik.

Teknologi semakin canggih, memudahkan manusia membagi informasi.  Sumber foto : maxpixel.com

Dari keseluruhan hal tersebut, sudah barang tentu sebagian dari kita pernah melakukannya. Dan jangan khawatir, karena memang ini bukanlah perilaku yang muncul begitu saja. Perkembangan teknologi, tren generasi milenial dan berbagai efek seperti filter bubble di Facebook dan lain sebagainya turut membentuk perilaku kita saat ini.

Tapi pulang lagi, ketika memang kita sudah menyadari ada yang keliru dengan hal ini, apa kita hanya akan duduk membisu dan terus menerus mencari pembenaran dari prilaku prilaku kita ?

Tentu saja nir. Karena mengetahui kasus & permanen membisu akan menjadikan kita bagian dari pertarungan itu.

Hal-hal sederhana, seperti menelisik kebenaran sebelum menyebarkan informasi, lalu bijak memposisikan diri ketika hendak menyebarkannya serta usaha untuk keluar dari zona nyaman dan berdiskusi, berinteraksi dan mencoba untuk mengenal lebih dekat orang-orang yang berbeda paham dan memastikan kebenaran informasi adalah langkah awal dari usaha menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat.

Lantaran setiap perubahan berawal menurut diri sendiri.

[PIKIR] MASA DEPAN ADA DI KOMUNITAS

Oleh: Sylvania Hutagalung

Menarik atau tidaknya hayati berbanding lurus menggunakan menarik atau tidaknya pertanyaanmu

Tahun 2016 menjadi tahun istimewa dalam dunia arsitektur, dimana seorang Alejandro Aravena, berturut-turut, tampil dalam dua panggung prestisius arsitektur dunia, yaitu dengan menjadi kurator Venice Architecture Biennale 2016 dan menerima penghargaan Pritzker dalam waktu yang berdekatan. Hal ini cukup mengejutkan karena baru kali ini seorang arsitek yang mempunyai pandangan sosialis mendapat kepercayaan setinggi itu. Apalagi di tengah konteks praktik berarsitektur yang masih didominasi pengaruh neoliberalisme. Dunia arsitektur global seperti mendapat kegairahan baru dengan pertanyaan-pertanyaan kritis Araven yang mencoba “menggoyang” karakter praktik arsitektur hari ini, yang steril dan elit. Tema kuratorialnya pun cukup mengigit dengan mengambil judul, “Reporting from the front.”

Poster utama menurut Arsitektur Biennale pada Venesia 2016 menceritakan mengenai tantangan global praktik arsitektur yg semakin kompleks & dorongan untuk berkolaborasi lintas batas.

Poster diunduh dari www.Labiennale.Org/en/architecture/exhibition/

Reporting from the front, atau memberitakan dari garis depan, mempunyai makna bahwa arsitektur, di tengah globalisasi dan keterhubungan nir batas, harus mampu menjadi ‘alat’ yang merekam dan memberitakan kondisi-kondisi nyata yang ada di sekitarnya. Dengan mengambil analogi jurnalistik, arsitek dan kegiatan berarsitekturnya didorong untuk punya keberanian memberitakan, ketajaman dalam mengkritik, juga integritas dalam mengungkapkan fakta dan data. Analogi jurnalistik juga mengandung arti penting, yaitu arsitek menjadi “agen” yang kemudian harus berjejaring untuk bisa melakukan produksi pengetahuan bersama. Hal ini menjadi kunci karena tanpa produksi pengetahuan bersama, kegiatan berjejaring tidak akan memberikan terobosan apapun. Tema kuratorial yang digagas Araven memang banyak dikritik sebagai usaha melebarkan batas arsitektur konvensional. Ilmu arsitektur masih dianggap berada di domain ilmu keteknikan, bukan ilmu sosial atau ilmu budaya. Dengan mendorongnya ke arah ilmu sosial, banyak ahli yang khawatir arsitektur akan kehilangan “giginya”. Aravena juga dicap terlalu ambisius dengan berusaha menjawab tantangan global melalui arsitektur. Seakan arsitektur bisa menjadi pahlawan. Namun, terlepas dari semua pro dan kontra, kita harus mengakui bahwa, inilah, untuk pertama kalinya, perbincangan lintas batas terjadi di atas panggung arsitektur sekelas Venice Biennale.

Tentu, sebuah pameran tidak serta merta menjawab semua permasalahan global saat ini. Meskipun tema biennale menyerukan ajakan untuk berjejaring, pada kenyataannya jejaring justru adalah alat yang dipakai sistem neoliberalisme untuk mengakumulasi semua sumber daya ke puncak-puncak piramida. Seorang kritikus seni dari Perancis, Nicolas Bourriaud, menulis dalam bukunya Relational Aesthetics (1998) mengenai fenomena globalitas beserta eksesnya, yaitu matinya relasi-relasi sosial dalam masyarakat akibat komodifikasi. Ya, kita harus mengakui bahwa di masyarakat modern seperti sekarang pun, sekat dan kelas sosial itu masih begitu nyata. Perbincangan dan kolaborasi lintas batas masih menyisakan pertanyaan besar yang belum bisa dijawab dengan terbuka, mengenai siapakah yang diuntungkan dan siapakah yang dirugikan. Pertanyaan ini seringkali enggan dijawab karena kita sering kali terjebak pada batas, baik batas secara fisik maupun batas-batas imajiner secara sosial.

Dalam Relational Aesthetics (1998), Bourriaud berargumen bahwa praktik “seni tinggi” cenderung menjadi monopoli elit dan rawan komodifikasi. Seni partisipatoris menawarkan cara lain, yaitu memperbaiki relasi-relasi sosial yang rusak karena praktik ini melibatkan komunitas sebagai pelaku dan hanya bisa terjadi sekali, yang artinya tidak bisa dikomodifikasi.

Foto Nicolas Bourriaud diunduh dari http://www.philomonaco.com/intervenant/nicolas-bourriaud/

Kolaborasi dalam konteks masyarakat informasi bukanlah hal yang baru. Kolaborasi menjadi syarat mutlak mengingat spesialisasi keahlian adalah roda-roda kecil yang menggerakkan inovasi selama ini. Semakin spesifik sebuah keahlian semakin kecil cakupannya dan semakin dalam penggaliannya. Dengan kata lain, untuk bisa bersinergi, berjejaring menjadi syarat. Dalam tren maker semua orang bisa mempelajari apa saja, dan menjadi maker apa saja, secara MANDIRI. Keran informasi terbuka lebar, akses dan konektivitas ada dalam “jangakauan”. Kita bisa mengambil peran apapun, kapanpun, dan dimanapun. Di sisi lain kondisi ini menyisakan sebuah masalah baru dimana para spesialis tidak mampu berelasi dengan masalah-masalah di luar spektrum kerjanya. Ada keterputusan konteks yang membuat setiap orang berada dalam “gelembungnya” masing-masing. Spesialisasi tidak memungkinkan kita untuk menciptakan mesin yang besar, tapi kita bisa menciptakan sebuah komponen kecil dari mesin besar itu. Patrik Schumacher, seorang arsitek yang mendalami desain parametrik, pernah menganalogikan fenomena maker sebagai “satu komponen kecil dari sebuah mesin yang besar.” Seperti halnya tujuan globalisasi, kita semua berada di dalam “mesin besar” ini untuk tujuan-tujuan berproduksi, tanpa nilai-nilai yang signifikan terhadap relasi-relasi personal di antara para “komponennya”. Kita bergerak bersama dan membangun bersama atas nama “pertumbuhan ekonomi” tanpa pernah mengerti ke mana kita bergerak dan untuk siapa sebenarnya pertumbuhan yang sedang diusahakan ini.

Ephemeral architecture atau arsitektur yang sementara, menjadi salah satu isu yang panas di ajang Venice Biennale 2016. Arsitektur yang sementara erat kaitannya dengan kondisi kritis, perang, kebencanaan, juga kondisi alam yang ekstrim. Sekolah terapung Makokok di Lagos, Nigeria, menjadi salah satu respon terhadap tantangan perubahan iklim global. Karya ini mendapat penghargaan medali perak dalam Biennale Arsitektur di Venesia 2016.

Makoko Floating School di Lagos, Nigeria. Foto berasal dari NLÉ Facebook page untuk artnet.com, diunduh dari https://news.artnet.com/art-world/makoko-floating-school-collapses-architecture-522287

Mungkin kesadaran akan peran dan tujuan dari “komponen” inilah yang membuat tema kuratorial pada Biennale di Venesia tahun 2016 menjadi berbeda. Kolaborasi yang tadinya ditujukan bagi pertumbuhan industri dan ekonomi global, coba digeser sehingga lebih menyentuh tujuan-tujuan sosial dan pembangunan komunitas. Lalu, apakah yang harus kita bicarakan ketika kita berbicara komunitas? ‘Komunitas’ adalah topik yang asing bagi masyarakat modern yang terbiasa dengan kemudahan, dan ruang privasi yang besar. Keterhubungan tidak berbanding lurus dengan kedekatan dan relasi yang baik. Komunitas adalah antitesis dari tujuan globalisasi. Dengan memaksimalkan peran komunitas, kita sebenarnya sedang mendorong pemerataan dan akses ke sumberdaya alih-alih mengakumulasikannya ke puncak piramida. Keterhubungan dalam konteks global tidak lagi dipandang sebagai jalan untuk berproduksi lebih (to produce more) sebagaimana pola pikir masyarakat industri, namun menjadi jalan untuk memberdayakan dan menghadirkan kemandirian. Saat ini banyak bidang ilmu yang mulai berani menyentuh topik mengenai komunitas, walau sering kali masih gagap ketika harus mengurai intensi dan tujuan berkomunitas.

Peristiwa Tsunami di Aceh pada Desember 2004 menjadi titik awal kebangkitan kembali gerakan arsitektur berbasis komunitas. Karakter praktik seperti ini dahulu pernah dimulai oleh tokoh seperti Romo Mangunwijaya, dengan praktiknya di Kampung bantaran Kali Code. Saat ini, motif yang terkait kebencanaan, kekerasan, dan ketidakadilan ruang dalam lingkup urban, menjadi motif utama gerakan arsitektur berbasis komunitas di Indonesia.

Tsunami di Aceh diunduh dari https://weather.com/news/news/tsunami-debris-indonesia-10-year-anniversary

Hal ini pula terjadi pada global arsitektur. Ketika insiden berarsitektur harus melibatkan komunitas, yang terjadi justru komunitas berakhir ?Sebagai? Objek, sesuatu yang harus dibantu, perkara yang wajib dipecahkan, sebuah tujuan. Komunitas jarang dilihat menjadi pelaku berdasarkan kolaborasi itu sendiri. Arsitektur pada era modern hanya percaya diri saat dia dibicarakan menjadi kerja-kerja keteknikan. Dengan istilah lain arsitektur dibatasi hanya buat arsitek. Di sini arsitektur sebagai sebuah ilmu yang sangat elit, punya bahasa yg tinggi, juga sangat otonom. Arsitektur menjadi monopoli arsitek, seakan tidak ada orang lain yang mampu mengerti & menguasainya selain arsitek. Dan ini sebenarnya sangat aneh mengingat ilmu ini adalah sintesa dari seni dan keteknikan, yg merupakan pada pada ilmu ini terkandung aspek-aspek sebagai ilmu sosial sebagaimana juga aspek-aspeknya sebagai ilmu terapan.

Di dunia arsitektur Indonesia sendiri, karakter praktik berbasis komunitas ini cukup poly menerima perhatian, baik dari kalangan mahasiswa & kalangan praktisi. Arsitek dan organisasi yg memilih jalur ini juga bentuknya sangat cair & lebur menggunakan organisasi kemasyarakatan. Kita bisa melihat model di Ciliwung Merdeka, yang lebih banyak bergiat pada jalur advokasi & politik. Juga ada Arkom Yogya yg memilih bergiat di jalur fasilitasi & pendampingan warga . Tak ketinggalan ASF-Indonesia yang masih setia berkiprah di jalur arsitektural, walau karakter praktiknya sangat lentur & mensyaratkan kemandirian dan partisipasi aktif dari komunitas yg dilayaninya.

Kegairahan misalnya ini tentu mendapat respon yg beragam. Sebuah gerombolan riset arsitektur berdikari, REMBUK!, pernah melakukan pemetaan terhadap jejaring praktik dengan karakter partisipatoris, salah satunya adalah praktik arsitektur yg berbasis komunitas. Dari penelitian pada 3 kota, Bandung, Solo, dan Jakarta, terlihat bahwa praktik arsitektur komunitas ini lahir menggunakan dilatari sang beberapa karena, yaitu peristiwa bala tsunami pada Aceh, penggusuran yg semakin marak, & krisis perumahan yg semakin nir terkendali. Ketiga motif ini jua yang menjadi alasan mengapa praktik arsitektur komunitas lebih poly ditemui di kota-kota besar pada wilayah Jawa.

Dari kalangan arsitek belia, tawaran buat terjun ke masyarakat menjadi suntikan semangat di tengah kejenuhan karakter praktik spesial biro. Ada sebuah ?Ruang main? Baru yang sangat cocok dengan darah belia mereka. Pun begitu dengan asosiasi misalnya IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) yg mulai melirik karakter praktik seperti ini menjadi sebuah industri baru, yang diperkirakan akan lebih poly mengambil peran di global rancang bangun di masa depan.

Meski demikian, kekhawatiran tidak urung hadir, terutama dari kalangan akademisi, yang melihat bahwa praktik ini menjadi ekses dari ilmu arsitektur yang ekspansif. Tidak adanya batas jelas tentang ?Kapan arsitek masuk dan kapan arsitek berhenti? Menciptakan seluruh kiprah seakan diambil sang arsitek. Alih-alih membuatkan tugas & berkolaborasi, arsitek & rakyat menjadi satu entitas yang sama, tanpa terdapat keragaman keahlian yang sebenarnya disyaratkan pada partisipasi aktif pada praktik arsitektur komunitas. Konsekuensinya, seluruh hal yang dilakukan oleh arsitek dipercaya sebagai arsitektur. Dan warga yg ikut membangun pula dipercaya menjadi arsitek. Etik pada gelar ?Arsitek? Lalu sebagai sumir lantaran tidak adanya justifikasi mengenai ?Apakah arsitektur? & ?Siapakah arsitek?.

Kendala lain yang juga mengemuka merupakan kecenderungan dunia rancang bangun buat menstandarkan praktik berarsitektur yang terdapat. Kecenderungan dari globalisasi memang akhirnya akan mendorong arsitektur komunitas untuk menjadi sebuah industri baru di masa depan. Ini pula terlihat berdasarkan bisnis IAI yg mulai memasukkan pola dari praktik ini ke dalam materi penataran tingkatan. Usaha ini dipandang oleh poly kalangan menjadi sebuah pembacaan yang hiperbola mengingat motif ?Kebangkitan? Kembali praktik ini merupakan sebuah kebutuhan yg sementara (kebencanaan, dan ketidakadilan ruang). Dengan memaksakannya menjadi sebuah industri, secara tidak eksklusif kita pula memelihara motifnya untuk terus terdapat demi keberlangsungan indutrinya, hal yang akhirnya menjadi sesuatu yg ironis.

Andrea Fitrianto, galat seorang arsitek yang banyak terjun beserta masyarakat, pernah menyampaikan bahwa keragaman karakter praktik dalam arsitektur di Indonesia waktu ini seharusnya dipandang menjadi perluasan ?Ruang main? Saja, tanpa wajib ?Menggoyang? Dasar-dasar etika praktik arsitek konvensional. Ketika di masa depan, karakter praktik ini tidak relevan lagi, maka dasar-dasar etik seseorang arsitek seharusnya nir wajib ikut berubah. Yang perlu diapresiasi adalah, praktik arsitektur komunitas sanggup memperkaya perspektif berarsitektur, yg tadinya sangat otonom menjadi egaliter, yang tadinya sempit (menjadi ilmu menciptakan) menjadi luas (sebagai ruang partisipasi dalam pembangunan), dan yang paling penting, arsitektur kembali ke fitrahnya, sebagai ilmu yg mengakomodasi kebutuhan semua pihak. Arsitektur wajib kembali dilihat menjadi platform yg memungkinkan orang-orang berpartisipasi dan berkolaborasi secara aktif. Arsitektur merupakan indera, bukan tujuan.

Dengan kompleksitas permasalahan yang kita hadapi sekarang, dimana satu perkara berpilin erat menggunakan masalah lain, sulit buat melihat masa depan yg lestari jika kita masih bergantung pada satu sosok pahlawan buat menuntaskan semua konflik kita. Kita adalah bagian menurut perkara, & dengan pencerahan ini pula kita mengakui bahwa kita adalah bagian berdasarkan solusinya. Kita seluruh, menjadi bagian berdasarkan komunitas.

Ironi warga warta merupakan, keterhubungan tidak berbanding lurus dengan kedekatan. Peristiwa ?Terhubung satu sama lain? Bukanlah insiden yang didasari oleh inisiatif individunya, akan tetapi sebagai kondisi yang tak terhindarkan. Kualitas relasi tidak semakin baik karena nir terdapat tujuan-tujuan beserta yang ingin dicapai. Globalisasi menjadi keniscayaan & kita semua ikut bergulir bersamanya. Banyak pakar berpendapat bahwa masa depan terdapat pada komunitas. Komunitas bukan saja sebuah bentuk ?Perlawanan? Terhadap sistem dunia. Komunitas pula adalah arena belajar nyata, dimana kita sanggup terhubung eksklusif dengan tantangan simpel & isu-isu lokal. Ini adalah jangkar yg membawa kita menjejak kembali ke akar-akar masalah kita, pangkal yang wajib kita tilik sebelum meloncat ke pencarian solusi. Berjejaring tidak lagi wajib dilihat sebagai sebuah mesin besar dimana kita semua berada di dalamnya. Berjejaring seharusnya dicermati sebagai formasi komunitas-komunitas berdaya yang saling menguatkan satu sama lain.

Selasa, 26 Mei 2020

EDITORIAL PRO:AKTIF ONLINE EDISI AGUSTUS 2017

Para pembaca budiman,

 Kembali kita berjumpa pada Pro:aktif dan kali ini memasuki edisi Agustus 2017 dengan membawa tema ?Berjejaring pada Keberagaman di Negara Kesatuan Republik Indonesia?. Bulan Agustus bagi bangsa Indonesia selalu sebagai bulan penting karena peringatan hari kemerdekaan yang jatuh dalam lepas 17 Agustus & selalu mengumandangkan refleksi bepergian buat merengkuh kemerdekaan tadi dengan susah payah. Refleksi kemerdekaan kali ini kiranya perlu membawa kita seluruh buat mengingat bahwa bangsa ini dibuat dari keberagaman dan sudah sebagai identitasnya semenjak semula. Menilik perkembangan dinamika di masyarakat akhir-akhir ini yang seolah berakibat keberagaman menjadi asal kontradiksi, tentu mengundang keprihatinan tersendiri, bagaimana kita bisa mewariskan nilai luhur yg arif pada menyikapi keberagaman?

Pro:aktif edisi Agustus sudah mengumpulkan berbagai tulisan yang kiranya dapat menginspirasi anak-anak bangsa ini buat merayakan keberagaman menjadi nikmat & karunia Yang Mahakuasa. Di samping itu, yang paling primer adalah ajakan buat berjejaring dalam keberagaman yg kiranya akan selalu sanggup memantik pandangan baru-ilham cemerlang memajukan negeri ini.

Kita akan mengawali edisi kali ini menggunakan rubrik MASALAH KITA yang diisi sang Dhitta Puti Sarasvati yang menunjukkan pada kita perihal dinamika yg dihadapi oleh para aktivis waktu berinteraksi dengan sesama aktivis. Selain disparitas karakter, perbedaan paradigma berpikir & pandangan politik nir jarang menyulut perdebatan. Situasi demikian nir harus menciptakan kita sebagai tersingkir menurut pergaulan menggunakan sesama aktivis atau bahkan hidup ini sebagai terasa begitu menyesakkan. Perbedaan pada hayati aktivis tidak ubahnya dengan empiris kehidupan lainnya, sehingga cara menghadapinya akan sangat krusial buat menciptakan hayati yg majemuk ini mempunyai kekayaannya.

Memasuki rubrik PIKIR menggunakan penulis Sylvania Hutagalung akan membawa kita dalam permenungan menyoal arah masa depan peradaban insan ke depannya. Memakai kacamata arsitektur, tetapi tidak terbatas dalam dunia kearsitekturan itu sendiri, dimana dimensi pembangunan nir lagi sebatas dalam bangunan fisik semata. Perluasan dimensi pembangunan yg perlu dirambah sang penggiat arsitektur telah memasuki aspek sosial kemasyarakatan yg semata menyesuaikan kepada kebutuhan zaman. Keterlibatan komunitas pada pembangunan tidak lagi sebagai objek pembangunan, melainkan menjadi subjek yang menuangkan inspirasi pada dalamnya. Membawa laporan Biennale tahun 2016 di Venesia sambil mengangkat syarat global arsitektur Indonesia.

Umbu Justin dalam rubrik OPINI mengantarkan para pembaca untuk mengingat kembali jejak sejarah, bagaimana bangsa Indonesia memang sejak semula dibangun oleh keberagaman dan sudah menjadi identitas warga bangsa ini untuk beragam. Walau berbagai tantangan jaman menerpa, terutama dinamika dunia politik yang menjerumuskan bangsa ini pada pertentangan identitas di akar rumput, selayaknya ada yang harus mengingatkan kembali kepada jejak perjuangan merengkuh kemerdekaan agar bangsa ini tetap menjaga keutuhannya. Kebhinnekaan dalam kemerdekaan perlu dikumandangkan lagi agar segenap bangsa Indonesia ini kembali nyaman dalam keberagaman.

Sementara rubrik TIPS mengajak kita untuk merefleksikan manfaat olahraga dalam melebarkan jejaring sosial, sebagai akibatnya tidak hanya manfaat kesehatan fisik yang didapat. Kukuh Samudra menegaskan balik bahwa berolahraga nir hanya memperhatikan aspek fisik semata, tetapi jua perlu memperhatikan aspek sosialnya dengan melakukannya bersama-sama dalam sebuah komunitas ataupun dalam jejaring pergaulan yang tidak sebatas dalam satu jenis olahraga saja.

PROFIL kali ini, Navita Kristi Astuti bercerita mengenai organisasi Peace Generation yang secara konsisten berupaya berbagi nilai-nilai universal perdamaian seluas-luasnya, terutama melalui pendidikan di sekolah. Organisasi yg berbasis pada Bandung ini, didirikan sang 2 insan menurut latar kebangsaan yg tidak sama, berupaya menciptakan dunia menjadi lebih tenang dengan memunculkan para agen-agen perdamaian pada tingkat lokal. Perkenalan ini sekaligus jua memberikan ajakan terbuka buat berpartisipasi pada dalamnya.

Sejenak JALAN-JALAN ke Gedung Indonesia Menggugat yang sarat sejarah perjuangan bangsa Indonesia, karena di gedung ini, salah satu ilham kebangsaan berdasarkan Bapak Proklamator yakni Ir. Soekarno berkumandang dalam pledoinya, yakni ?Indonesia Menggugat?. Reina Ayulia Rosadiana akan menjadi pemandu bagi para pembaca menjelajah ke sudut-sudut ruangan yang terdapat pada sana. Selain itu, para pembaca jua sanggup mencicipi suasana pada pada Gedung Indonesia Menggugat yg jauh berdasarkan somasi-somasi kebangsaan karena sudah bertransformasi sebagai ruang publik yang menjadi titik temu inspirasi-ide segar menurut generasi muda Indonesia.

Fransiska Damarratri menghadirkan film Tabula Rasa dalam rubrik MEDIA kali ini, yang tidak saja menggugah selera makan, melainkan juga menggugah kesadaran kita tentang jalinan keberagaman antar tokoh yang sebetulnya representasi singkat akan identitas hidup ini serta bangsa Indonesia. Keberagaman identitas – baik budaya, logat, bahasa, serta cara berpikir – sebagaimana masakan Minang dalam film tersebut laksana sebuah syarat agar hidup ini semakin nikmat. Analogi perbedaan dalam bumbu-bumbu dan bahan makanan yang diracik sedemikian rupa hingga menghadirkan sensasi kenikmatan di lidah, maka demikian pula kiranya keberagaman dalam hidup.

Pemandu RUMAH KAIL kali ini adalah Any Sulistyowati yang akan mengajak pembaca melihat kebun KAIL yg menerapkan prinsip permakultur. Prinsip ini menekankan keragaman jenis, tidak hanya tumbuhan tetapi kiprah dari makhluk yg terdapat di pada kebun supaya bisa menjaga kualitas alam di sekitarnya. Tidak hanya soal teknis menanam, melainkan terdapat info pemanfaatan ruang supaya kebun bisa sebagai loka bermain, dimana anak-anak sendiri berkenalan menggunakan aktivitas berkebun jua.

Akhir istilah, terbersit asa supaya para pembaca turut menyerap semangat keberagaman yang telah sebagai nafas hayati bangsa ini selama lebih kurang 72 tahun kemerdekaannya.

Salam Bhinneka. Merdeka!

David Ardes Setiady

(Editor)

Cloud Hosting Indonesia