Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Februari 2005. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Februari 2005. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Juli 2020

[Jalan-jalan] Cerita dari Bali

Pertengahan desember 2004 lalu aku beserta 5 orang tim fasilitator KaIL mendapat kesempatan terlibat dan memfasilitasi aktivitas Pertemuan Nasional (PeNas) Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) yg diselenggarakan pada loka keliru satu anggotanya di Bali. Lokasinya di daerah wisata Pantai Sanur, sekitar 200 meter berdasarkan tepian pantai, cukup beberapa mnt saja ketika yg dibutuhkan buat mencapainya.

Tema yang diangkat dalam rendezvous nasional kali ini adalah Peran Pendidikan Lingkungan Hidup Dalam Realitas Kemiskinan & Pertarunga Gender. Peserta yg hadir merupakan utusan menurut sekitar 40 anggota JPL yg diseleksi menurut semua anggota yg ada di seluruh Indonesia, baik atas nama lembaga ataupun perorangan. Selain itu ada poly juga undangan dalam acara ini, yang memiliki latar belakang aktivitas sinkron menggunakan tema besar yang pada angkat pada PeNas.


Acara berlangsung di tengah ekspresi dominan hujan yang kerap turun cukup deras pada sela-sela aktivitas. Namun tetap saja saya & beberapa fasilitator dari Bandung masih merasa kegerahan karena kami memang terbiasa menggunakan udara Bandung, walaupun belakangan ini suhu Bandung lebih panas menurut umumnya.


Tuan rumah yg cekatan
PPLH Bali (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Bali), itulah nama lembaga yg dianggap menjadi tuan rumah hajatan nasional JPL kali ini. Walau hanya menggunakan jumlah staff tidak lebih dari 10 orang tetapi tuan rumah ternyata punya relatif poly relawan yang membantu hajatan ini, sehingga mereka nampak tidak mengalami kesulitan pada mengorganisasi semua kegiatan.


Selain itu penyelenggara acara ini terlihat sangat cekatan menangani segala macam urusan peserta, apalagi jika terkait akomodasi dan pelayanan bagi peserta. Ini tentunya lantaran tempat program berlangsung ini sehari-harinya merupakan hotel & penginapan yang dikelola oleh PPLH Bali, tidak heran apabila tuan tempat tinggal terlihat profesional dalam urusan akomodasi peserta ini. Walaupun jika ditinjau menurut namanya, hotel milik PPLH Bali yg diberi nama Hotel Santai, bukan berarti mereka memang kalem-kalem dalam mengelola acara ini.


Seminar pada tengah daerah mangrove
Hari pertama rangkaian kegiatan PeNas ini dimulai dengan seminar sehari yg diselenggarakan di Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Centre) JICA Bali. Kompleks Pusat Informasi Mangrove ini berdiri cukup megah pada tengah-tengah tempat hijau hutan mangrove yang rimbun & terjaga. Kawasan yg sebagai loka penelitian dan pusat warta mangrove ini tentunya juga memiliki fungsi primer menjadi sabuk penyangga pesisir pantai berdasarkan abrasi air laut. Selain itu tempat hutan mangrove ini sebagai loka hidup beberapa jenis burung laut.


Memang jeda dari penginapan ke lokasi itu relatif jauh bahkan wajib memakai bis untuk mengangkut peserta sebanyak itu. Tetapi tuan tempat tinggal berhasil memberdayakan banyak potensi di Bali buat terlibat dan membantu terselenggaranya acara ini. Seperti halnya Pusat Informasi Mangrove JICA yg berdasarkan panitia sengaja dipinjamkan pada PPLH Bali untuk seminar, bis yang mengangkut semua peserta dari hotel menuju lokasi seminar pun adalah pinjaman berdasarkan Kantor Kementrian Lingkungan Hidup Bali. Jadi sekali lagi ini menerangkan bahwa panitia tidaklah kalem-kalem misalnya nama resmi hotelnya yg terpampang besar di depan page hotel. Lantaran tentunya seluruh bantuan itu diperoleh menggunakan proses lobby yg tidak mudah. Yang tidak kalah menariknya merupakan beberapa pembicara dalam seminar itu sengaja datang berdasarkan aneka macam wilayah pada luar Bali misalnya Jawa dan Sulawesi, yg spesifik datang buat membantu suksesnya hajatan ini, luar biasa.


Seminar ini adalah awal rangkaian kegiatan Pertemuan Nasional yang mengupas berita kemiskinan & kaitannya dengan permasalahan lingkungan dan gender yg menjadi tema besar rendezvous JPL. Isu dalam tema besar ini dikupas dengan cukup menarik oleh 5 orang pembicara yang hadir, bahkan respon peserta terlihat sangat antusias. Lantaran info yang diangkat merupakan info yang relatif terkenal yang belum sepenuhnya digeluti oleh anggota JPL. Tidak heran apabila cukup banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta dalam seminar ini buat memuaskan rasa penasaran mereka.


Dalam sesi terakhir peserta dibagi dalam beberapa kelompok mini buat menggali & merumuskan definisi kemiskinan menurut pengalamannya masing-masing. Dari proses ini tergali cukup banyak & majemuk rumusan definisi kemiskinan. Tentunya seluruh itu asal berdasarkan pengalaman masing-masing peserta di lapangan.


Misalnya dari pendamping masyarakat petani, kemiskinan bagi warga petani merupakan saat para petani nir lagi mempunyai tanah buat pertanian & mereka hanya menjadi buruh tani saja tanpa mempunyai tanah, dan banyak definisi lain yang muncul dari beberapa peserta yg terlibat dalam penggalian definisi itu dari bidang kegiatannya masing-masing. Seluruh rumusan mengenai definisi kemiskinan ini menjadi modal awal lokakarya yg dilaksanakan dalam hari-hari berikutnya.


Sore hari seusai seminar semua peserta mendapat kesempatan buat melihat-lihat tempat mangrove pada kurang lebih kompleks itu, sebelum lalu balik ke hotel tempat acara berikutnya dilangsungkan.


Metode Cara Berpikir Sistem dan Tantangannya.
Proses lokakarya yg dilakukan dalam 3 hari selanjutnya sebagai bagian yg sangat krusial bagi KaIL karena tim ini terlibat penuh dalam fasilitasi proses untuk mencapai sasaran yang optimal, di mana diharapkan berdasarkan lokakarya ini didapatkan tema-tema pendidikan lingkungan yang terkait menggunakan realitas kemiskinan & ketimpangan gender.


Metode buat membawakan materi pada proses lokakarya ini sebenarnya biasa dibawakan dalam kegiatan pembinaan rutin KaIL, yaitu memakai Metode Cara Berpikir Sistem buat Menganalisa Permasalahan Sosial, Lingkungan & Gender. Tetapi kegiatan kali ini sebagai jauh lebih menantang lantaran baru pertama kalinya bagi KaIL memfasilitasi aktivitas dengan metode cara berpikir sistem ini menggunakan jumlah peserta lebih dari 35 orang menggunakan usia dan ciri peserta yg beragam, walaupun bidang garapnya sama yaitu pendidikan lingkungan.


Metode yg digunakan ini memang bukanlah metode yang ringan lantaran menuntut banyak kesabaran dan ketekunan bahkan menuntut kita buat berpikir dengan alur logika yg terstruktur yang dituangkan dalam peta permasalahan.


Selain itu metode cara berpikir sistem semacam ini masih sporadis diketahui apalagi diterapkan oleh banyak kalangan termasuk oleh organisasi asal peserta lokakarya. Tetapi demikian peserta nampak sangat antusias mengikuti rangkaian proses ini. Walau terlihat wajah-wajah yg kelelahan namun mereka tetap tekun dan tabah menggeluti proses ini. Tentunya mereka sadar supaya hasil yg diperoleh pada hajatan tiga tahunan ini sanggup berguna optimal & output kerja mereka nir manjadi percuma.


Salah satu tantangan berat lainnya bagi KaIL merupakan menyampaikan berita gender pada peserta yg kebanyakan masih asing dengan kata ?Gender?, baik berdasarkan bahasanya juga menurut substansinya. Sepertinya bagi kebanyakan peserta yang hadir kata gender itu dipahami sebagai perempuan & permasalahannya.


Untuk memberikan pemahaman dan esensi istilah gender itu memang cukup memakan saat. Apalagi apabila peserta yg dihadapi itu berdasarkan awal cenderung enggan memahas isu ini. Keengganan ini menyebabkan kiprah gender hanya sedikit terangkat dan sedikit mempengaruhi setiap peta konflik yang dibentuk peserta. Memang masih menjadi tantangan berat bagi banyak kalangan buat mangangkat & memberikan pemahaman gender pada tengah kultur rakyat kita yg masih seperti sekarang.


Hasil Yang Tidak Sia-Sia.
Secara holistik proses 3 hari lokakarya ini memang tidaklah sia-sia. Melalui kesabaran, saling mengembangkan pengalaman antar peserta serta ketekunan menggeluti sesi demi sesi, akhirnya peserta bisa menuntaskan seluruh tugasnya & tentunya sasaran yg direncanakan dan diperlukan pun mampu tercapai. Terlepas menurut itu seluruh, poly kesan & pengalaman baru yang saya peroleh selama terlibat pada keseluruhan proses Pertemuan Nasional JPL. Tentunya karena dalam tim fasilitator KaIL ini saya menjadi salah satu fasilitator junior yang masih perlu poly menambah pengalaman dan jam terbang melalui aktivitas semacam ini.


Perasaan bahagia bukan hanya dirasakan sang peserta namun tentunya juga dirasakan oleh tim fasilitator KaIL. Bayangkan, selama tiga hari menguras tenaga dan pikiran bahkan saat tidurpun selalu lewat tengah malam karena padatnya materi yg disampaikan setiap harinya.
Untuk mengobati rasa lelah selesainya menyelesaikan sesi demi sesi aktivitas, jalan-jalan pada tepi pantai atau sekedar berendam di kolam renang hotel menjadi pilihan yg di gemari kebanyakan peserta. Pilihan jalan-jalan pada pantai pun tentunya berlaku pula bagi aku dan tim fasilitator KaIL, lumayan sekedar melepaskan rasa penat seharian di ruang lokakarya.


Terakhir menurut Bali
Alokasi saat selama 3 hari itu memang cukup padat sebagai akibatnya nir terdapat kesempatan bagi kami buat sengaja jalan-jalan pada pulau wisata ini, apalagi untuk belanja dan mencari sang-sang khas Bali. Tapi terdapat satu hal menarik yg sempat aku perhatikan selama pada sana, selain tempat mangrove yg terpelihara kelestariannya, di setiap daerah yang sempat aku perhatikan juga pada hampir setiap page rumah, begitu banyak pepohonan akbar dan kondisinya terjaga. Serta begitu poly juga daerah-daerah yg hijau menggunakan ditumbuhi majemuk tanaman dan tegakan pohon mulai dari yang kecil sampai yg akbar dan berusia tua.


Ini mengindikasikan bahwa rakyat Bali begitu menghargai nilai-nilai kelestarian alam sekitarnya, dan kabarnya bukan hanya pada pohon saja mereka memberikan penghargaan, tapi juga dalam fauna yg terdapat pada sana. Sungguh luar biasa, satu perilaku yg perlu kita model bila kita memang menghargai alam ini.


(Dedy Supriatna)



































































[Tips] Kiat berinternet untuk komunikasi jarak jauh: Agar Anda dan si Dia Tetap Dekat dan Irit

Siapa bilang internet ?Cuma' media komunikasi yg hanya bisa email & chatting? Dengan perkembangan internet sekarang ini, bentuk komunikasi insan perlahan-lahan semakin dimudahkan & dilengkapi. Hal yang menarik merupakan ternyata seluruh itu makin hemat & terjangkau.

Bagi Anda, pasangan istri-suami atau pacar atau yang terlibat pada sebuah rekanan, yg membutuhkan komunikasi intensif namun sementara sedang dalam keadaan terpisah ruang, jeda dan saat; internet bagai oase pada tengah gersangnya media komunikasi murah meriah. Mari kita susuri apa saja aplikasi-aplikasi internet yang bisa ditawarkan untuk menciptakan hubungan Anda & si dia yang berjauhan mata permanen dekat di hati. Berikut diantaranya yg terkenal.


Email
Ini adalah aplikasi internet yang legendaris. Email merupakan sebuah ?Penyempurnaan? Berdasarkan bentuk surat menyurat konvensional via pos, lantaran lebih mudah & cepat penyampaiannya menggunakan porto yang tidak kalah hemat. Cukup dengan menciptakan alamat email gratisan di tempat-tempat seperti yahoo, hotmail, lycos, dsb. Fiturnya yg menarik merupakan ?Attachment? Yg memungkinkan mengirim arsip, foto, dsb. Email membutuhkan jeda ketika respon tergantung antar penerima & pengirim email. Namun bila Anda & si dia mempunyai komitmen ?Tiada hari tanpa email?, paling nir dalam jangka ketika 1x24 jam selalu ada liputan via email.


VoIP
VoIP atau voice over internet protocol merupakan suatu bentuk sistem komunikasi suara misalnya halnya fix telepon biasa (PSTN) tetapi menggunakan teknologi & saluran internet. Dengan layanan ini berarti kita bisa saling berkomunikasi menggunakan siapa saja pada belahan bumi ini asalkan terhubungkan dengan internet.


Penyedia jasa VoIP yg populer di indonesia dilayani oleh TelkomGlobal 017 & Indosat GlobalSave 17001. Kelebihan menurut layanan ini adalah sanggup diakses via telp biasa (PSTN) juga via handphone. Biayanya pun lebih ekonomis kurang lebih 80% lebih murah dibandingkan layanan SLI dengan kualitas tidak mengecewakan.


VOIP-Merdeka
VOIP-Merdeka dalam prinsipnya serupa dengan VOIP biasa yaitu memakai jaringan Internet Protokol (IP) sebagai media. Perbedaannya menggunakan VoIP di atas merupakan bahwa VoIP-Merdeka hanya dilakukan antar Personal Computer (PC). VoIP-Merdeka lahir menurut swadaya masyarakat yg dipelopori Onno W Purbo buat mewujudkan wahana komunikasi rendah biaya .
Operasionalnya tidak terlalu sukar lantaran tersedia tutorialnya pada website. Hal yang tidak kalah krusial adalah keharusan komputer menyediakan fasilitas multimedia yg relatif seperti soundcard, speaker dan microphone. Sama halnya dengan komunikasi berbasis IP, koneksi VoIP-Merdeka ini mensyaratkan kondisi jaringan internet yang stabil.


Skype
Skype adalah program bebas yang memakai teknologi jaringan P2P (peer to peer) yang menjanjikan komunikasi bunyi kualitas tinggi antar pengguna pada semua dunia. Operasionalnya juga gampang, relatif download programnya menurut website skype.Com, instalasi lalu registrasi. Apabila Anda dan si dia telah teregistrasi & sama-sama online, Anda berdua bisa melakukan percakapan. Sama halnya menggunakan pelaksanaan internet buat komunikasi ekspresi, Skype memerlukan personal komputer menggunakan fasilitas multimedia yg cukup.


Instant Messaging
Ada jua layanan lain yang komplit, Anda bisa ngobrol via teks (chatting) lengkap dengan audio juga visual. Selain layanan YahooMessenger! (YM!) sebetulnya poly jua layanan lain misalnya AOL Instant Massanger (AIM), MSN Messenger dsb yg mampu menyediakan fitur-fitur ini, namun kali ini akan dibahas YM! Saja. YM! Seperti sebuah komunikasi lisan tetapi menggunakan sarana text sebagai interaksinya. Jika Anda mahir mengetik cepat (blind system) tentu komunikasi via YM! Lebih hidup. Operasionalnya pun jua gampang. Cukup download dan instalasi programnya berdasarkan website, maka Anda dan si beliau dalam contact list yg sama bisa saling berkomunikasi.


Dalam perkembangannya, YM! Dan layanan Instant Messaging ini jua menunjukkan komunikasi suara & visual. Tentu otomatis memerlukan hardware baru buat aktivasinya seperti personal komputer yg harus memiliki fasilitas multimedia & webcam (buat komunikasi visual). Selain itu supaya komunikasi ini lancar diperlukan koneksi internet yang tidak mengecewakan cantik & stabil terlebih bila memakai webcam. Namun tidak usah khawatir lantaran sekarang telah banyak warnet yg menyediakan fasilitas ini walaupun memang biayanya lebih mahal daripada warnet biasa.


Kesimpulan
Anda sanggup saja menggunakan semua layanan itu secara bergantian lantaran memang tidak ada yang paling paripurna. Jadi jika hari ini Anda ingin memberi fakta dengan foto, pakailah email dengan attachmentnya. Apabila ingin ngobrol namun terbatas jaringan internetnya, hari berikutnya pakailah chatting. Jika ada ekstra porto, hari-hari lainnya pakai saja VoIP dsb. Semua mampu secara kreatif Anda pakai sehingga Anda & si dia tetep lengket sampai bertemu kembali!


(Kukuh Ari Yuswanto)



































[Tips] TIPS MENCARI PASANGAN VIA INTERNET

Tersedianya fasilitas komunikasi yg sophisticated ini tidak disia-siakan sang poly kawula baik belia atau pun tua buat mencari sahabat sebanyak-banyaknya, buat mencari pasangan, urusan bisnis atau pun keperluan lainnya. Dari sekian banyak pilihan, tampaknya chatting atau komunikasi melalui instant messaging menjadi favorit. Selidik punya selidik, ternyata poly juga rekan-rekan yang menemukan pasangan hidupnya melalui media ini. Wah, hebat!!! Lalu bagaimana ceritanya?? Kurang lebih inilah yg disharekan sang salah seseorang rekan kita yang kebetulan menemukan belahan jiwanya lewat kecanggihan teknologi ini.
Sebenarnya tidak ada niat khusus untuk mencari pasangan lewat internet. Itu hanyalah satu alternatif untuk memperluas relasi. Chatting melalui internet ini dapat menghubungkan kita ke banyak orang yang ada di berbagai tempat. Namun akan jauh lebih menguntungkan kalau kita bisa bertemu langsung dengan siapa kita berkomunikasi.. Ada banyak kendala ketika kita berkomunikasi melalui dunia virtual seperti internet. Kita sulit untuk mengetahui apakah lawan bicara kita itu mengatakan hal yang sebenarnya atau tidak. Kalau kita berhadapan langsung, kita akan terbantu untuk bisa menilai seseorang dari bahasa tubuhnya.

Jika motivasinya merupakan buat mencari pasangan, maka sanggup dipastikan bahwa orang yang bersangkutan harus siap berjudi. Ada poly ?Orang baik? Yang memanfaatkan media ini, tetapi ?Orang yg jelek? Pula tidak kalah banyaknya. Yang jelas banyak orang yg enggan menggunakankan identitas asli. Jadi kita memang wajib jeli waktu menentukan ?Kawan maya? Kita ini. Salah satu tips buat itu merupakan dengan melihat konsistensi pembicaraan lawan bicara kita. Kalau lawan bicara kita tidak konsisten, biasanya terdapat sesuatu yang nir beres.
Yang penting ketika kita memasuki dunia ini adalah otentisitas. Tidak ada ruginya kalau kita menjadi diri kita sendiri. Hubungan apa pun kalau dilandasi oleh kebohongan tidak akan berjalan baik. Namun jangan lupa bahwa komunikasi melalui dunia maya itu hanyalah sebuah permulaan. Komunikasi langsung alias copy darat yang terjadi setelah itu merupakan proses pengenalan yang jauh lebih penting.
***




Selasa, 28 Juli 2020

[Masalah Kita] Sebuah Cinta Kasih: Ikatan Suci Etnis Tionghoa dan Etnis Jawa

Saya tidak pernah merencanakan buat jatuh cinta pada orang menurut etnis lain
Saya tidak pernah punya impian buat sebagai anak nir berbakti, hanya karena aku mencintai orang berdasarkan etnis lain.

Saya seorang anak Tionghoa berusia 27 tahun, yang sudah hampir 7 tahun ini berpacaran dengan seorang anak dari etnis Jawa. Kami satu almamater, tetapi uniknya kami baru berkenalan menggunakan relatif dekat justru di waktu-waktu di mana galat satu dari kami sudah hampir lulus kuliah S1nya.


Seperti mungkin Anda para pembaca telah menduganya, hubungan kami menerima tentangan yg cukup keras yakni dari famili saya, keluarga Tionghoa. Lewat beberapa kesempatan, saya (& kami terkadang) mencoba buat membuka ruang dialog. Namun hanya penolakan, penolakan, & penolakan yg kami terima. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang tua aku , dari aku mengalami titik buntu buat diperdebatkan -Seperti apa nanti istilah orang jika anakku menikah menggunakan orang Jawa? Apa nanti kata teman-teman dan kolegaku apabila melihat diriku punya menantu orang Jawa? & poly lagi alasan-alasan homogen-.


Sungguh pertanyaan-pertanyaan yg sangat ironis bagi aku , yg masih terucap di jaman modern misalnya ini. Bahkan predikat menjadi anak yang nir berbakti itupun saya peroleh. Yang lebih menyedihkan lagi merupakan kerelaan orang tua untuk kehilangan anaknya yang berpacaran dengan orang Jawa ini, demi mempertahankan gengsi, evaluasi atau pun omongan orang lain. Singkatnya mempertahankan status sosial, yg tentunya nir abadi sifatnya dibandingkan dengan hubungan darah yg sudah mengalir pada diri anak & orang tua.


Pada satu sisi tertentu aku bisa memahami mengapa orang tua aku berperilaku demikian? Latar belakang pendidikan orang tua aku adalah pendidikan Belanda. Saya sendiri nir begitu memahami apa yang terjadi pada zaman Belanda tadi. Tetapi yg pasti saya ketahui merupakan rata-rata para orang tua yang mengenyam pendidikan Belanda, memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok menggunakan etnisnya dan cenderung mengeklusifkan diri. Orang tua yang pernah mengalami zaman itu cenderung menilai etnis Tionghoa adalah etnis yg paling baik, paling berderajat, dan paling-paling yg lain. Sementara etnis Jawa merupakan tidak lebih berdasarkan sekumpulan orang yang mempunyai derajat pada bawah etnis Tionghoa & hanya bisa meminta-minta tanpa mau berusaha keras layaknya orang-orang etnis Tionghoa.


Ditambah lagi susunan keluarga, pada mana aku anak paling mini & wanita satu-satunya. Itu semua tentunya berakibat hal yang wajar bila orang tua saya berperilaku demikian. Namun perkara lebih lanjut merupakan aku hidup pada zaman ini (dan bukan di jaman Belanda), di mana pada masa ini setiap manusia dewasa baik laki-laki juga wanita memiliki hak bunyi yang sama besarnya buat mengkomunikasikan apapun (termasuk perasaan cintanya) secara terbuka, dewasa, dan logis.


Mungkin memang cinta itu bukan sesuatu yg perlu diperdebatkan, lantaran ini menyangkut hati. Mungkin ini juga yg diklaim bahwa cinta itu butuh pengorbanan. Namun pertanyaan reflektif berikutnya adalah apabila cinta pada antara dua etnis yang berbeda ini menjadi sebuah bentuk pelanggaran seorang anak pada orang tua, dapatkah lalu rakyat sebagai gerombolan yang lebih akbar daripada keluarga mewujudkan cinta dalam negara yang dipenuhi sang manusia berdasarkan majemuk etnis ini? Apabila tidak sampai kapankah topeng keharmonisan, keguyuban, kerukunan antar etnis akan terus digunakan oleh orang-orang Indonesia yg pungkasnya negara beragam??

















[Media] Sebuah Dunia Tanpa Suami



Judul : Sebuah Dunia Tanpa Suami: Perempuan Kepala Keluarga Bercerita
Produksi : PEKKA-PPSW berafiliasi menggunakan Komnas Perempuan
Tahun : 2004
Pernikahan, yang dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer diartikan sebagai perjanjian resmi antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga ini, pada dasarnya sangat terbuka untuk dimaknai oleh siapa saja dan selalu dimungkinkan untuk munculnya counter-hegemoni ataupun hegemoni alternatif.
Pernikahan, yang oleh mainstream masyarakat selalu dikonotasikan sebagai pernikahan heteroseksual, sekaligus juga mengusung pelbagai mitos dan konstruksi sosial. Kontruksi sosial gender telah menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga yang berarti pemimpin dan penentu kebijakan dalam keluarga tersebut serta menjadi pencari nafkah dan tulang punggung bagi keluarganya. Sedangkan perempuan sebagai ibu dan istri dituntut pengorbanannya serta diberi beban sebagai penjaga moral keluarga dan bangsa.


Pemikiran tentang pernikahan sebagai sebuah keniscayaan (beserta peran gender sebagai paketnya) pada ujungnya membangkitkan berbagai persoalan pelik yang tak berkesudahan. Mulai dari perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dll. Pertengkaran, selingkuh, ketidaksetiaan, pengkhianatan dilihat sebagai resiko yang harus ditempuh dalam sebuah keluarga.
Padahal, banyak orang mendamba pernikahan, dengan kebahagiaan sebagai titik akhirnya. Seakan pernikahan sepasang insan adalah kata akhir dan puncak hidup bagi setiap orang. Sepertinya, pernikahan menjadi “kodrat” karena Yang Mahakuasa pun telah “memilihkan” pasangan atau jodoh untuk setiap orang. Pernikahan menjadi lembaga yang normatif, dalam artian ia menjadi patokan kebahagiaan sepasang insan.
Lalu, bagaimana para pelaku pernikahan yang terkonstruksi dan terinstitusionalisasi ini bergelut dengan realita mereka? Mampukah mitos dan konstruksi sosial gender seputar pernikahan dan keluarga ini mewujudkan dambaan para pelakunya atas pernikahan itu sendiri?
Ketika pernikahan nir lagi ?Ideal? Seperti tuntutan konstruksi itu, bagaimana nasib para pelaku & pernikahan serta keluarga itu sendiri? Akankah mereka bertahan?
Para perempuan menurut Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, & Sambas yang tergabung pada PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) menuturkan cerita dan pengalaman mereka lewat film ini. Mereka merupakan para wanita yg pernikahannya dipercaya ?Stigma? Atau ?Nir ideal?, karena pasangan mereka nir mampu merogoh peran yang dikonstruksikan bagi pria buat sebagai ketua keluarga.
Pengambilalihan kiprah perempuan menjadi ketua keluarga bukan pilihan mereka dalam awalnya. Banyak dari mereka yang terpaksa menjadi kepala famili karena sang suami selingkuh, mabuk-mabukan, memukul, berbohong, menipu & mencuri hartanya, memperkosa, atau karena suaminya sakit, terbunuh atau hilang lantaran diculik.
Dalam film ini, kita mampu belajar dari para wanita ini bagaimana mereka mengatasi situasi yang dalam awalnya merupakan keterpaksaan & beban ini. Satu per satu mereka menuturkan bagaimana harapan-harapan dan virtual mereka dahulu mengenai pernikahan, yang lalu kandas di tengah jalan. Berbagai peristiwa dialami mereka masing-masing menyangkut rekanan menggunakan pasangannya. Kesakitan & kesedihan demikian sarat. Tetapi, yg hebat merupakan proses kebangkitan mereka. Bagaimana mereka menyemangati diri, memotivasi diri buat bertahan hidup bagi keluarganya dan dirinya sendiri. Pengalaman jatuh bangun menjadi ketua famili & sebagai orang tua tunggal tidak terelakkan. Semua proses itu dilakukan semata-mata lantaran rasa cinta: cinta pada anak, cinta dalam kehidupan. Rasa cinta dalam kehidupan inilah yg menggerakkan mereka buat beserta-sama mentransformasi hayati mereka & orang lain. Di sinilah makna seorang aktivis....
Pada gilirannya, kesadaran baru serta kehidupan baru terbit sebagai hasil dari pengorganisasian diri dan bersama. Hingga akhirnya mereka bisa berkata: “to forget, to forgive and to continue our live”. (ID)















[Opini] BERSIT-BERSIT MAKNA CINTA

Cinta adalah tenaga yang sangat akbar. Lantaran itu seringkali kita kesulitan melukiskan makna cinta. ?Cinta terlalu luas, terlalu pada untuk dipahami, diukur atau dibatasi dengan sekedar bingkai kata-kata?, kata M. Scott Peck, pada The Roadless Travelled. Tetapi definisi cinta tetap krusial, setidaknya lantaran poly orang gundah memaknai cinta.

Sesuatu yg bukan cinta, dikira cinta. Seorang pria yang tidak pernah mengijinkan pacarnya, buat pulang sendiri ke suatu tempat tanpa dia dampingi, menerka dirinya sangat mencintai sang pacar. Padahal sesungguhnya laki-laki itu hanya sangat memanjakan oleh pacar, & sangat memanjakan tentu sama sekali nir sama menggunakan menyayangi. Banyak orang keliru tahu cinta, dan perasaan-perasaan tertentu mereka kira menjadi cinta sejati. Sering kita dengar ?Cinta itu perasaan?, ?Cinta itu romantika?, ?Aku akan menemukan tujuan hayati dengan belahan jiwa saya?, ?Cinta akan menyembuhkan kesepian & penderitaan?.


Miskonsepsi lain mengenai makna cinta bersangkut paut dengan jatuh cinta. Jatuh cinta dikira cinta, padahal bukan sama sekali. Jatuh cinta adalah pengalaman seksual erotik. Ia selalu berlandaskan motivasi seksual. Di samping itu, jatuh cinta, kendati selalu dihayati insan menjadi pengalaman luar biasa menakjubkan, selalu bersifat ad interim. Seperti bulan madu dan romantika manusia, jatuh cinta selalu berkesudahan, bahkan tidak jarang berakhir sesudah suatu kurun yg singkat. Pada jatuh cinta, ego boundaries atau dinding ego mengalami kehancuran parsial dan sementara. Kehancuran itu bersifat mendadak, spontan, dan terjadi tanpa kerja energi manusia pemiliknya. Dinding ego adalah pengetahuan insan tentang batas-batas dirinya, yang berada dalam khazanah mentalnya. Ia memungkinkan manusia menghayati keterpisahan dan sense of identity. Ketiadaannya mengakibatkan seorang berusaha merengkuh komitmen, tetapi kemudian takut mewujudnyatakan komitmen itu. Anak yang mendadak ditinggalkan orang tuanya, misalnya karena ke 2 orangtuanya mati dunia, bisa mengalami rasa nyeri hebat, lantaran kematian orangtua menetapkan pengalaman komitmen yg sebelumnya telah dirintis kedua orang tuanya. Anak itu bisa bertumbuh menjadi manusia yang takut merengkuh komitmen. Dia membutuhkan pengalaman baru yg mendasar & memuaskan dalam naungan komitmen yang andal.


Cinta: Kebahagiaan dalam Penderitaan
Ternyata cinta tidak sefantastik jatuh cinta. Cinta membebaskan manusia berdasarkan kesepian. Ia menjadikan kelegaan, keleluasaan, kehangatan. Dengan istilah lain, beliau membawa kebahagiaan. Namun cinta jua membawa rasa nyeri, karena beliau hanya bisa diwujudnyatakan insan dengan upaya aktif, kerja keras, bahkan usaha sadar. Bahkan ternyata cinta penuh risiko. Acapkali manusia yang menyayangi mesti berani menanggung risiko perubahan, yang pula membawa rasa takut. Risiko lainnya adalah keniscayaan melepaskan ketergantungan, keniscayaan mempertahankan komitmen, dan risiko hayati di tengah kearifan pertikaian & kritik. Singkatnya, cinta membawa bersit-bersit rasa nyeri bahkan bercak-bercak penderitaan. Cinta merangkum kebahagiaan dalam penderitaan.


Tetapi barangkali itulah penderitaan yg dianggap Carl Gustav Jung, legitimate suffering, penderitaan yang sah, penderitaan yang patut dan layak ditanggung manusia yang sungguh menginginkan kebahagiaan. Bahkan secara implisit Jung mengungkapkan bahwa legitimate suffering merupakan kondisi yg pasti buat kebahagiaan. Kata Jung: Neurosis is always a substitute for legitimate suffering. Manusia yg menghindar berdasarkan keniscayaan menanggung legitimate suffering, akan mengidap kecemasan jiwani, neurosis. Dan tentu, di tengah kecemasan jiwani itu sesungguhnya insan kian poly mengalami penderitaan. Rupanya kebahagiaan hanya bisa sungguh diraih insan, jika beliau berani menanggung penderitaan (yg absah), dalam cinta sanggup diandalkan buat menyangga peradaban umat manusia yang terus menerus membutuhkan tenaga cinta. Maka pengalaman jatuh cinta mengingatkan insan berjiwa dewasa buat terus memperjuangkan cinta sejati yg lestari.


Cinta Bukan Perasaan, Ia Mengatasi Perasaan
Ada perintah emas menyampaikan, ?Cintailah musuh-musuhmu, dan doakanlah orang-orang yang menganiaya kalian?. Bisa dibayangkan andai kata cinta hanyalah perasaan, niscayalah perintah itu hanyalah sebuah utopia, tak ada insan yang sanggup mewujudnyatakannya. Jika cinta merupakan perasaan (just a feeling), insan yg dalam umumnya digelantungi perasaan benci atau tidak senang dalam musuhnya tentu tidak mungkin menyayangi si musuh. Love is not a feeling.


Memang cinta mampu disertai perasaan. Tetapi dia bukan sekedar perasaan itu. Ia mengatasi perasaan. Cinta bisa terjadi tanpa adanya perasaan bahagia dalam orang lain, karena cinta dilandasi pilihan & keputusan sadar nan arif. Cinta adalah kehendak buat menyebarkan diri dan merawat tumbuh kembang orang lain. Lantas pelaku cinta tetapkan dirinya menentukan menyayangi.


Dengan demikian komitmen adalah bagian otentik yg sangat penting pada cinta. Komitmen merebakkan rasa aman, yg sangat diperlukan buat perluasan ego, suatu insiden yang teralami menjadi suatu perubahan & penjelajahan ke global baru yang beresiko. Manusia butuh rasa aman yg merekah berdasarkan komitmen, buat melakukan perubahan & penjelajahan yg niscaya ia rasakan mengandung risiko. Di samping itu, komitmen memungkinkan konsistensi proses. Cinta adalah proses yang konsisten. Karena itu, dia membutuhkan komitmen.


(Bagus T. Nugroho)
























Senin, 27 Juli 2020

[Profil] Cinta Ku dari Seberang Lautan

Sosok hitam cantik yg berpenampilan cuek ini buat ke 2 kalinya dipercaya sebagai SekJen JPL (Jaringan Pendidikan Lingkungan). Ninil R Miftahul Jannah yang lahir & dibesarkan di Surabaya ini telah menggeluti berita lingkungan sejak duduk pada bangku SMA. Kecintaannya terhadap lingkungan & rasa senang apabila bisa membantu orang lain telah mendorongnya buat melakukan aneka macam aksi atau aktivitas yang tentunya berkaitan dengan lingkungan.

Pengetahuan yg dimilikinya mengenai perlindungan, pendidikan lingkungan, advokasi untuk lingkungan & sebagainya, membuatnya merasa lebih logis buat tetap konsisten pada jalur yg dipilihnya. Pilihan buat menjadi aktivis ternyata memberikan peluang untuk bertemu banyak orang, termasuk Sang Belahan Hati.


Bekerja di LSM berarti bekerja dengan banyak orang, baik menurut dalam maupun luar negeri. Maka tidaklah aneh bila kemudian seseorang aktivis menemukan pasangan hidupnya berdasarkan global yg sama. Karena di mana ada kesempatan orang bertemu, di situ terdapat kesempatan buat menjalin rekanan, interaksi asmara, atau apa pun namanya.


Apabila seorang Ninil menemukan Belahan Jiwanya yang dari menurut belahan bumi yg lain, itu tidaklah semata-mata mengikuti tren para artis yang mencari ekspatriat buat menjadi pasangan hidupnya. Menurutnya, menjadi krusial bagi seorang aktivis untuk mempunyai pasangan yang sanggup menaruh dukungan. Biasanya aktivis itu mempunyai ?Hero? Yang bisa didefinisikan menjadi orang yg punya pemikiran yg bagus, punya idealisme, atau kapasitas yg bisa bersinergi. Pengalaman pribadinya mengungkapkan bahwa pasangan yg sanggup mengimbangi kekurangannya pula menjadi faktor pertimbangan yg penting.


Proses menilai calon pasangan lebih terbantu waktu ada forum pertemuan antara aktivis. Dalam lembaga-lembaga misalnya itu kita mampu memperoleh citra dan menganalisis seorang dari bagaimana beliau bicara, bagaimana cara berpikirnya, apa isi pembicaraannya & sebagainya.
Dengan begitu kita mampu memahami isi otaknya duluan, sedikit performancenya, kemudian kita tinggal mencari memahami norma-kebiasaannya yg lain. Lain halnya kalau kita ketemu menggunakan seorang pada mall, misalnya. Kita cuma sanggup melihat penampilannya saja.


Dari aneka macam kualifikasi, pilihannya lalu jatuh dalam Neville J. Kemp, pria bule yg sekarang menjadi ayah dari putrinya yang berusia hampir 3 tahun. Pilihan aktivitasnya sebagai aktivis menciptakan pasangan ini wajib pintar-pintar membagi saat antara kegiatan dan putri mereka. Pekerjaan-pekerjaan kontrak yang sifatnya berpindah-pindah tak jarang membuat keluarga mini ini berpisah buat jangka waktu yang cukup lama .


Keluarga kecil ini pun nir lepas dari kerumitan perkara keimigrasian. Indonesia menganut kewarganegaraan berdasarkan garis ayah sehingga Alissa, putri mereka, yg lahir di Indonesia pun secara otomatis sebagai warga negara asing. Lalu lantaran kebetulan suaminya tidak pernah mendapat ijin tinggal ad interim (hanya visa kunjungan biasa yg waktunya maksimal hanya 60 hari dan sanggup diperpanjang sampai beberapa kali), maka setiap 6 bulan sekali suaminya wajib ke luar negeri dengan putrinya. Untuk mengurus ijin tinggal ad interim diharapkan KTP buat wilayah di mana kantor imigrasi yg bersangkutan berada. Selama ini, hal itu belum sanggup diurus karena loka tinggal yang berpindah-pindah. Mungkin itu bukan kasus bagi yg mempunyai banyak uang. Namun bagi para aktivis yg nir bekerja pada suatu lembaga besar atau yang sudah establish (mapan), itu sanggup mejadi perkara.


Berbagai hal yg sebagai konsekuensi menurut apa yang sebagai pilihan kita, baik kegiatan, pasangan hidup, lokasi tempat tinggal, & sebagainya ternyata bisa dilalui secara bersama. Perbedaan cara pandang & latar belakang pasangan nir lagi menjadi masalah ketika keduanya telah saling mengetahui & menghargai ideologi dan nilai-nilai yang dibangun sang pasangannya. Setidaknya itulah yang diceritakan sang Ninil buat kita.




















[Pikir] Menikah atau Melajang? Sebuah Refleksi Atas Pilihan Hidup Dalam Mengekspresikan CINTA

"?.Ternyata sepatu kaca itu sangat cocok menggunakan kaki Cinderella. Maka, dibawalah Cinderella ke Istana sang Pangeran. Akhirnya, Sang Pangeran & Cinderella menikah, & mereka hidup bahagia selama-lamanya."
Tentunya cerita di atas telah tidak asing lagi di indera pendengaran kita, apalagi para gadis & remaja putri. Ada poly cerita & dongeng lainnya yang seperti dengan dongeng Cinderella ini, pada mana seorang gadis manis tapi miskin dan malang, atau gadis menurut kalangan rakyat biasa, yang seumur hidupnya menderita (lantaran bunda tiri & saudara tiri perempuan yang dursila & kejam), akhirnya menikah dengan seorang Pangeran yang akan datang padanya. Pada akhir cerita selalu digambarkan sang gadis menikah menggunakan Pangeran & mereka hidup senang selamanya.

Dongeng yg dikenal semenjak kecil ini menjadi begitu melegenda dan menginternalisasi dalam diri anak-anak perempuan . Terutama mereka yg merasa menderita, miskin dan nir senang , selalu punya harapan bahwa suatu saat akan datang oleh Pangeran bagi mereka, & akan membawa mereka ke pernikahan yang membahagiakan, mengakhiri segala penantian dan penderitaan mereka.
Gejala atau sindrom seperti ini pada akhirnya tidak hanya melanda para perempuan yang miskin dan tertindas oleh ibu tiri dan saudara tirinya, tetapi telah melanda seluruh lapisan perempuan (dan seluruh sistem masyarakat yang bukan perempuan). Sindrom yang dikenal sebagai Cinderella Complex [1] ini secara tidak sadar telah melegitimasi konstruksi sosial yang terlanjur dianggap kodrat dan alamiah : bahwa panggilan dan kodrat setiap manusia adalah menikah. Di situlah puncak kebahagiaan bisa dicapai.
Lalu Mengapa Dengan Pernikahan?
Di luar makna persetubuhan itu sendiri, pernikahan sebenarnya bukan suatu yang semata-mata alamiah saja. Ia juga bukan merupakan sebuah kewajiban sosial yang menafikan kehendak bebas setiap individunya. Seringkali memang pernikahan hanya dipandang sebagai sebuah kontrak sosial yang harus dipatuhi, yang akan mendapatkan sanksi bila tidak dilaksanakan. Pernikahan dalam konteks sosio-kultural pada akhrinya hampir selalu berarti konstruksi. Telah terjadi proses rasionalisasi pelegitimasian dalam pernikahan, yang berarti pula institusionalisasi pernikahan. Dengan demikian ada berbagai kepentingan masuk dan mewarnai pernikahan. Termasuk dalam kepentingan itu adalah komersialisasi pernikahan, penghegemonian kuasa negara dan agama serta adat, dan di atas itu, ada kepentingan patriarkhisme di sana.
Di Indonesia, secara eksplisit & diakomodir oleh aturan, serta ditunjang oleh institusi agama, negara sudah ikut campur tangan pada pilihan perkawinan. Perkawinan antar kepercayaan tidak diperbolehkan, atau minimal dipersulit dengan mekanisme birokrasi & uang yang nir sedikit. Dalam perkara perkawinan antar bangsa, pihak wanita sanggup kehilangan hak kewarganegaraannya hanya lantaran pernikahan.
Selain demi pemurnian keturunan dan ras, rekayasa kultur telah menggiring pernikahan sebagai lembaga pewaris & pelindungan hak kepemilikan. Mulai berdasarkan pewaris tradisi, nilai-nilai hingga kekayaan material, yg ujung-ujungnya merupakan pewarisan kekuasan, dijaga terus dengan alasan pernikahan. Kelangsungan warisan dapat diukur menurut kentara-tidaknya perkawinan & dalam lingkup tradisi apa perkawinan itu disahkan.
Perkawinan atau pernikahan juga bisa menjadi lembaga penjamin stabilitas perekonomian dan tenaga kerja. Bagi kalangan marjinal, institusionalisasi perkawinan yang meriah, birokratis dan glamour sangat jauh dari realita mereka. Alasan material atau ekonomi dan penyediaan tenaga kerja seringkali menjadi faktor dominan bagi keberlangsungan sebuah perkawinan. Bagi keluarga menengah ke atas, perkawinan menjadi sebuah ajang prestise dan memamerkan kemampuan ekonomi serta kekuasaan mereka. Dalam masyarakat modern, pengesahan perkawinan bukan merupakan ritual yang murah dan mudah. Ada banyak sumber daya dan energi serta pengorbanan yang dibutuhkan bagi pengatualisasian hegemoni kekuasaan melalui lembaga perkawinan ini. Akhirnya, lembaga perkawinan sangat berpotensi jatuh menjadi lembaga borjuis dan menjadi ajang obyektifikasi manusia.
Lewat pernikahan yg dilembagakan inilah, negara (& pula agama dan budaya) mengontrol dan mengatur warganya. Kontrol lewat lembaga perkawinan yg menghasilkan keluarga ini terbukti cukup efektif pada Indonesia selama ini. Mulai dari pengenalan konsep Ibuisme[2], kontrol atas Pegawai Negeri & ABRI, sampai dalam kontrol atas reproduksi perempuan lewat program KB. Lewat Undang-Undang Perkawinan dan PP 10, negara mendapat legitimasi buat mengatur kehidupan perkawinan dan seksual warganya.
Dengan demikian, perkawinan menjadi sebuah institusi yg sarat menggunakan kekuasaan yg hegemonis, dan cenderung merepresi orang-orang yang terdapat di dalamnya, apalagi yg tidak termasuk pada dalamnya.
Lantas, Apakah Melajang Menjadi Sebuah Pilihan Alternatif?
Walaupun selama ini posisi pelajang berada di batas terdapat & tiada, namun justru menggunakan kehadiran para pelajang, pernikahan bisa dikembalikan pada posisi alamiahnya yg lebih adil dan setara. Karena pelajang mempunyai kiprah penting pada pendefinisian sebuah makna maupun pada pemaknaan sebuah bukti diri (baik pada lingkup langsung, sosio kultural, politis, juga ideologis).
Masing-masing manusia lengkap & utuh pada dirinya, bukan 1/2 manusia. Maka, tidak wajib melalui lembaga perkawinan, seorang manusia baru bisa menjadi sepenuhnya insan, & buat saling melengkapi. Dalam diri setiap manusia (wanita, laki-laki , & yg tidak dikategorikan keduanya) masing-masing mengandung unsur feminitas dan maskulinitas pada dirinya sendiri. Tidak dikotomis & dualistis, nir terpisah dan tidak rimpang. Pilihan untuk tidak menikah atau melajang justru ingin menguak kapasitas diri buat menyeimbangkan diri dan menuju dalam keutuhan diri, justru dengan menempatkan diri pada posisi ?Bebas buat?.
Melajang atau tidak menikah memang bukan pilihan satu-satunya dan mutlak. Ia adalah pengalaman konkret. Ia bukan pula karena “jomblo sepanjang hidup”, "tidak laku", atau "tidak normal". Ia merupakan pilihan karena pengalaman interseksualitas sendiri menyiratkan berbagai peluang berelasi.
Kesadaran buat memilih melajang bisa jadi merupakan suatu bentuk penghargaan terhadap tubuh dan seksualitas yang nir tunggal/seragam. Kesadaran akan reaksi-reaksi kimia yang menimbulkan berbagai gejolak emosi yg umumnya disebut CINTA itulah yg membawa orang semakin mendalami ekspresi-aktualisasi diri relasi interseksualitasnya.
Mengutip terminologi yg digunakan sang Victor Turner, para pelajang ini bisa sebagai komunitas liminal, di mana distingsi seksualitas sebagai nir nyata. Sebagai komunitas liminal, mereka punya potensi besar menjadi agen transformasi sosial, yang membawa pemaknaan baru bagi kebudayaan insan.
Pada Akhirnya?
Melajang, menikah atau hidup bersama menggunakan pasangannya adalah beragam bentuk pilihan hidup masing-masing orang. Pilihan bentuk rekanan ini nir akan pernah dilepaskan menurut relasi sosial yg lebih luas, antar masyarakat pada institusi-institusinya. Namun setidaknya, biarlah masing-masing eksklusif sanggup memperoleh ruangnya buat bertanggungjawab bagi hidupnya menggunakan memberi ruang bagi kehendak bebasnya buat menciptakan pilihan yg diyakininya membahagiakan! Kekuasaan dalam bentuknya yg paling romantis sekalipun tetaplah punya potensi buat menghegemoni & menimbulkan keterkungkungan, ketidakadilan, & pula ketidakbahagiaan.
Biarkan setiap manusia yg kebetulan terlahir sebagai wanita, pria ataupun yg nir dipercaya kedua-duanya?.
Memiliki kuas dan kanvasnya sendiri,
Menorehkan sapuan rona-warninya sendiri,
Di atas cakrawala, di antara bentangan langit, & pada atas bumi yg berputar & terus berputar?.
Karna setiap orang adalah pelukis,
Karna setiap orang merupakan penari,
Yang mungkin melakukannya tunggal,
Duet, trio, atau kuartet?
Biarkan setiap insan yang kebetulan terlahir sebagai wanita, laki-laki maupun yg tidak dianggap kedua-duanya?
Melukis & menari lukisan dan tariannya masing-masing?.
Melukis & menari bersama kosmis, mengikuti hati & insting, beserta kehendak bebas yg melayang?.
(Intan)



[1] Istilah ini diperkenalkan sang Collete Dowling buat mendefinisikan insiden psikologis wanita dalam perkawinan.
[2] Istilah ini diperkenalkan sang Julia I. Suryakusuma; yg mengacu pada konsep wanita yg dikonstruksi oleh pemerintah Orde Baru; dimana perempuan hanya dicermati sebagai istri yg keberadaannya tergantung pada suami, famili dan negara.



































Minggu, 26 Juli 2020

Editorial Edisi 5

Selamat Hari Valentine!!! Banyak orang yg mengambil mementum ini untuk menyampaikan kasih sayangnya. Bentuk ungkapan yg beraneka ragam tidaklah sebagai masalah. Dari sekedar ucapan, tindakan, bantuan gratis, hingga bentuk ungkapan yg spesifik lainnya coba disampaikan kepada orang yg dikasihinya, baik pasangan, famili, teman,dan sebagainya.
Sebagai ungkapan kasih berdasarkan Pro:aktif buat pembaca sekalian, pada edisi kali ini pun sengaja dipersembahkan tema ?Aktivis & Kehidupan Cinta?.

Edisi kali ini diawali menggunakan kisah Cinta Ku menurut Seberang Lautan. Lalu terdapat rubrik Masalah Kita yang membahas tentang Cinta dan Perbedaan Etnis. Berikutnya rubrik Pikir menyajikan artikel mengenai pilihan hidup buat Menikah atau Melajang. Opini seputar cinta dikemas pada sebuah artikel berjudul Bersit-Bersit Makna Cinta.


Tak lupa jua kami memberikan tips Agar Anda & Si Dia Tetap Dekat dan Irit. Pada rubrik jalan-jalan kami bawakan sang-oleh Cerita dari Bali. Media kali ini mengangkat film output garapan PEKKA-PPSW bekerja sama dengan Komnas Perempuan menggunakan judul Sebuah Dunia Tanpa Suami: Perempuan Kepala Keluarga Bercerita. Lalu Gathering PT. Calmic Cabang Bandung dan Pelatihan Cara Berpikir Sistem buat Menganalisis Pertarunga Sosial, Lingkungan & Gender ? Angkatan lima, Lokakarya Perancangan Paket Pendidikan Lingkungan serta Workshop buat Gagasceria merupakan aktivitas-kegiatan yang kami angkat dalam rubrik Bagi-bagi Cerita.


Selamat membaca!








Cloud Hosting Indonesia