Para pendukung neoliberalisme mengajukan teori baru bahwa krisis dan kegagalan pembangunan di sektor kesehatan merupakan akibat nir becusnya pemerintah mengurus sektor kesehatan ini. Ada empat argumen fundamental yg mereka ajukan terkait efisiensi kinerja pemerintah. Pertama, pemerintah menaruh subsidi besar -besaran, sehingga harga yg dibayar rakyat nir mencerminkan harga yg sesungguhnya. Kedua, pemerintah tidak mampu memberikan layanan yg komprehensif pada semua rakyat secara adil dan merata. Ketiga, banyaknya korupsi dan tingginya biaya birokrasi di pemerintahan. Terakhir, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan yg diberikan pemerintah.
Berbagai alasan di atas mendorong keluarnya rekomendasi agar swasta diberi peluang sebesar-besarnya untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat, antara lain lewat mekanisme Program Penyesuaian Struktural (SAP, Structural Adjusment Program) bagi negara-negara yang memiliki hutang, serta aturan-aturan main yang dirumuskan dalam kesepakatan-kesepakatan WTO. Mereka berpikir bahwa dengan masuknya sektor swasta, pemerintah tidak lagi memonopoli sektor ini sehingga kinerjanya menjadi lebih efisien, lebih menjamin akses yang merata bagi seluruh masyarakat dan memudahkan konsumen memperoleh layanan kesehatan sesuai dengan pilihannya.
Ada beberapa kritik dan pertanyaan bagi argumen-argumen tersebut.
Privatisasi Vs Korporatisasi
Privatisasi secara umum berarti penyerahan pengelolaan kepada lembaga privat baik yang bersifat profit maupun non profit, sedangkan korporatisasi secara spesifik merupakan penyerahan pengelolaan pada lembaga yang berorientasi profit. Dengan demikian, korporatisasi kesehatan adalah penyerahan layanan kesehatan pada forum kesehatan privat yang bersifat profit.
Karakteristik primer dan paling fundamental menurut lembaga profit merupakan bahwa buat meraih profit, pelaksana layanan kesehatan itu wajib membagi sebagian uang yg diperolehnya kepada penanam kapital. Maka, tujuan primer jasa kesehatan profit merupakan mencari laba & bukannya menyediakan layanan kesehatan berkualitas.
Dari manakah uang buat para penanam kapital ini berasal?
Pertama, menggunakan menarik biaya kepada para pengguna lebih mahal menurut seharusnya. Kedua, menggunakan mengurangi pengeluaran dengan menurunkan kualitas dan kuantitas layanan, terutama kalau dana diperoleh berdasarkan iuran pertanggungan & pemerintah. Ketiga, dengan menyarankan (memaksa secara halus) pengguna buat membeli layanan yg sebenarnya nir krusial atau nir dibutuhkan. Keempat, memberikan layanan khusus pada pembayar mahal. Kelima, hanya memberikan layanan yang sangat menguntungkan & keenam dengan membayar pekerja kurang berdasarkan seharusnya atau menggantinyadengan pekerja yang kurang berkualitas dan dapat dibayar murah.
Adakah Kisah Sukses Korporatisasi Layanan Kesehatan?
Kita akan belajar menurut negara-negara yang dipercaya maju pada sistem kesehatan. Pertama, menurut Amerika Serikat, penganjur primer neoliberalisme, privatisasi dan pasar bebas. Di negara ini dalam dasarnya sistem kesehatan terutama dijalankan sang forum layanan kesehatan profit, namun, sumber uang nir hanya dari biaya yg dibayar pribadi sang pengguna. Pemerintah, menggunakan dana yang diterima dari pajak, memberikan subsidi ke forum-lembaga profit tadi. Selain itu dana menurut pajak jua dipakai pemerintah untuk menaruh layanan kesehatan pada penduduk miskin, manula, orang cacat dan militer. Kedua, menurut Kanada, negara yg pemerintahnya masih cukup poly berperan pada sektor kesehatan. Di negara ini, sebagian besar layanan kesehatan diberikan melalui dana publik/pajak, namun layanannya sebagian besar diberikan sang lembaga non pemerintah (privat) yg bersifat non profit.
Apa output akhir dari ke 2 jenis pendekatan layanan kesehatan yg tidak selaras ini?
Korporatisasi layanan kesehatan diyakini akan menciptakan efisiensi yang mengurangi total pengeluaran porto kesehatan, khususnya aturan pemerintah buat kesehatan. Kenyataannya, pengeluaran pemerintah Alaihi Salam (US$ 1.599 perkapita per tahun) justru lebih akbar daripada pemerintah Kanada( US$ 1.444 perkapita per tahun). Sementara itu, Kuba yg menerapkan sistem layanan kesehatan yg sepenuhnya dijalankan sang pemerintah memakai porto hanya US$106 perkapita per tahun buat menjalankan sistem yg sanggup menaruh jaminan kesehatan dalam 97% rakyatnya. Lebih jauh lagi, di Alaihi Salam, tagihan porto kesehatan adalah penyebab primer kebangkrutan langsung. Total pengeluaran kesehatan per orang di AS merupakan yg tertinggi di dunia, sebanyak US$ 4.637 per tahun. Sedangkan warga Kanada, mengeluarkan hanya US$ 2.185 per tahun. Sedangkan warga Kuba hampir tidak perlu mengeluarkan dana langsung demi kesehatan mereka. Hasilnya adalah: Kanada berada pada peringkat kedua dunia buat harapan hidup & AS berada dalam peringkat ke-25. Tingkat kematian bayi di Kanada 5,6 per seribu kelahiran hayati dan Amerika Serikat 7,8 per seribu kelahiran hidup. Sedangkan Kuba, menggunakan dana lebih menurut 10 kali lebih kecil bisa mencapai angka kematian bayi 7,dua per seribu kelahiran hidup.
Data ini menunjukkan bahwa sistem layanan kesehatan di Kanada dan Kuba jauh lebih efisien dan efektif daripada Amerika Serikat. Lalu mengapa layanan publik yang bersifat profit semakin populer, sementara tidak berprestasi di negara promotor utamanya sendiri? Adakah kisah sukses korporatisasi layanan kesehatan?
Korporatisasi layanan kesehatan sudah berhasil mempromosikan tujuan mereka menggunakan membangun argumentasi seakan layanan kesehatan publik nir efisien & berkualitas rendah, sedangkan layanan kesehatan berbasis korporasi lebih baik. Padahal dasar berpikir argumentasi tersebut sangat lemah & berdasarkan pada bukti-bukti yang semu, sebagai akibatnya nir lebih dari mitos-mitos belaka.
Mitos-Mitos Korporatisasi
1. Layanan Kesehatan menurut Korporasi Lebih Efisien
Pernyataan bahwa forum profit lebih efisien dari lembaga publik nir wajar jika efisiensi diartikan anugerah kualitas layanan yg sama dengan pengeluaran yg lebih rendah. Bagaimana lembaga profit bisa lebih efisien ad interim dalam kenyataannya mereka wajib membayar ?Upeti? Kepada pemilik kapital, sedangkan forum non profit dan lembaga publik tidak. Artinya, kentara bahwa menggunakan jumlah uang yang sama forum non profit dan forum publik akan sanggup menaruh layanan yang lebih maksimal .
Jadi efisiensi seperti apa yg sebenarnya dimaksud sang para pendukung korporatisasi kesehatan ?
Dua. Pasar Bebas Tanpa Subsidi Akan Menghasilkan Harga Yang Sesungguhnya
Para penganut neoliberalisme mendefinisikan harga sesungguhnya merupakan yang diperoleh berdasarkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran, yg selanjutnya berhubungan dengan keputusan konsumen buat membeli atau nir. Umumnya peyedia produk cenderung akan berperilaku tetap yaitu menjual sebesar mungkin. Dasar motivasi konsumen umumnya pula cenderung permanen yaitu mempunyai sebesar mungkin, sampai batas daya belinya.
Namun teori ini nir berlaku dalam sistem kesehatan. Tidak terdapat konsumen yang ingin sakit. Sehingga konduite konsumsi pada sektor kesehatan secara alamiah akan lebih dipengaruhi oleh tingkat kesehatan konsumen daripada daya beli. Kondisi ini menyebabkan pasar kesehatan berperilaku berbeda dari produk konsumsi dalam umumnya. Keinginan korporasi buat menjual sebanyak mungkin, tidak sesuai dengan konsumen yang justru meminimalkan pembelian. Untuk mengoreksi ini maka akhirnya para pengusaha melakukan pengeluaran akbar-besaran pada promosi. Pengeluaran ini tentunya ditanggungkan dalam harga yang wajib dibayar konsumen.
Apakah ini yg dianggap menggunakan harga yg sesungguhnya?
3. Subsidi Kesehatan Menghasilkan Inefisiensi Layanan Kesehatan
Secara umum, harga yang tidak sesungguhnya karena subsidi, baru berarti sebagai pertimbangan kebijakan apabila menunjuk dalam penggunaan yg tidak rasional dan contohnya: penggunaan produk yang berlebihan karena harganya yg murah, & subsidi yang tidak mencapai target.
Tetapi telah tentu layanan kesehatan nir bisa disamakan menggunakan penggunaan barang konsumsi seperti BBM. Artinya, tiadanya BBM nir akan membunuh seorang. Sedangkan masalah layanan kesehatan terkait menggunakan hidup-mati seorang, sehingga sebagai bagian integral menurut hak asasi seseorang. Selain itu, tidak poly orang yg cenderung boros memakai layanan kesehatan misalnya halnya mereka boros menggunakan BBM. Jadi hanyalah kemungkinan kecil bahwa subsidi mendorong penggunaan layanan kesehatan yg berlebihan.
4. Korporatisasi Kesehatan Menghasilkan Keadilan Pelayanan Kesehatan
Pendapat bahwa korporatisasi kesehatan merupakan jawaban terhadap pertarungan keadilan layanan kesehatan berbenturan menggunakan kenyataan bahwa karena sifatnya yang bertujuan memaksimalkan profit, maka korporasi akan cenderung memberikan layanan kepada yang memiliki poly uang dan daerah perkotaan. Singkatnya, korporasi cenderung akan melayani mereka yang sebenarnya tidak sebagai prioritas dalam layanan kesehatan, jika kita menggunakan nalar layanan kesehatan publik. Malah, lantaran uang yg dibayarkan ke korporasi lebih banyak berdasarkan seharusnya, uang yg seharusnya dapat digunakan buat hal yg lebih sebagai prioritas malah dinikmati oleh para pemilik kapital yang seharusnya tidak begitu membutuhkan uang.
5. Pemerintah Tidak Memiliki Cukup Dana Menjalankan Layanan Kesehatan Publik
Kegagalan pemerintah untuk menggalang sumberdaya mayarakat, terkait dengan kebijakan makro seperti kurangnya keberanian menerapkan pajak progesif. Sementara itu, kebijakan neoliberal yang diadopsi oleh banyak negara dan terlebih di negara berkembang yang harus mengikuti structural adjustment program IMF, justru mendorong pemotongan pajak. Jadi, tampaknya kebijakan neoliberal akan mendorong rekayasa kebijakan untuk menciptakan asumsi yang dibuatnya sendiri (bahwa pemerintah tidak punya cukup dana untuk membiayai kesehatan), untuk mempromosikan privatisasi kesehatan.
6. Layanan Kesehatan Korporasi Lebih Berkualitas
Peningkatan kualitas layanan kesehatan melalui pengelolaan berorientasi profit merupakan argumentasi yang sangat lemah karena berlawanan dengan dasar keadilan dan prinsip pemerataan layanan kesehatan yg adalah hak asasi manusia. Motivasi buat mencari profit justru menyebabkan penurunan kualitas pada bentuk rendahnya kualitas perawatan pasien misalnya semakin singkatnya waktu layanan, berkurangnya pilihan layanan, atau bahkan banyaknya kesalahan perawatan.
7. Layanan Kesehatan Berbasis Korporasi Akan Melepaskan Kebergantungan Pada Pemerintah
Para pendukung korporatisasi kesehatan jua menyatakan bahwa karena pemerintahan yg nir efisien dan korup, maka peran pemerintah perlu dikurangi & kiprah partikelir perlu ditingkatkan. Benarkah peningkatan peran swasta pada pasar bebas akan melepaskan kebergantungan layanan kesehatan pada kiprah pemerintah? Argumentasi yang seringkali digunakan adalah bahwa ekonomi pasar bebas akan menciptakan proses demokratisasi yang menguntungkan warga . Proses demokratis ini akan membuat harga yang murah & layak, dibarengi menggunakan kualitas layanan tinggi melalui prosedur pasar. Sedangkan, sistem yg dimonopoli pemerintah dikatakan tidak profesional, rentan korupsi & tidak efisien. Adam Smith mengatakan bahwa suatu prosedur pasar, di mana para pelakunya adalah individu-individu egois, akan membentuk keuntungan aporisma bagi publik (dalam bentuk laba aporisma menggunakan porto minimal) bila pasar berada di pada keadaan pasar sempurna. Pasar sempurna terjadi bila seluruh pelaku pasar mempunyai kekuatan yg nisbi berimbang. Artinya, pasar paripurna tidak bisa terjadi dengan sendirinya, beliau perlu dipelihara secara intensif. Siapakah forum yang biasanya didaulat buat sebagai wasit? Pemerintah.
Jadi, perdebatan tentang kebergantungan pada pemerintah baik pada sistem berbasis lembaga profit dan berbasis pemerintah sebenarnya tidak lebih sebuah zero sum game. Sektor privat hanya akan berkontribusi maksimal bagi kesehatan publik bila berada dalam sistem kontrol yang kuat. Hasil akhirnya sama saja, kebergantungan pada pemerintah! Pemerinthan yang korup akan sama-sama membuat kedua sistem ini tidak berjalan dengan baik. Dengan demikian yang lebih dibutuhkan adalah pemerintahan yang bersih dan bukannya korporatisasi layanan kesehatan.
8. Layanan Kesehatan Korporasi Sejalan Dengan Proses Demokratisasi
Hal yg paling membahayakan jika layanan kesehatan publik diganti dengan layanan kesehatan berdasarkan profit merupakan hilangnya akuntabilitas . Seburuk apapun layanan kesehatan publik, selalu terdapat kesempatan buat memperbaikinya melalui proses politik. Tetapi begitu layanan ini dialihkan kepada bisnis, proses monitoring dan kontrol akan sebagai jauh lebih sulit.
9. Bisnis Tidak Korup
Para pendukung korporatisasi layanan kesehatan jua menyatakan bahwa pemerintahan tidak efisien & korup. Kenyataannya; kejahatan ekonomi yg terjadi seperti masalah Bank Bali, adalah kisah konkret bisnis beberapa pelaku pasar buat mencegah terjadinya pasar sempurna demi memelihara monopoli mereka. Caranya tak jarang dengan menyogok pemerintah & memanfaatkan banyak sekali lubang dari pemerintahan yg korup. Lantaran itu, jadinya sama saja menggunakan keadaan di mana kita bergantung pada pemerintah buat mengoperasikan atau mendistribusikan dana bagi layanan kesehatan.
10. Korporatisasi Kesehatan Menghilangkan Birokrasi Yang Tidak Efisien
Para pendukung korporatisasi layanan kesehatan menyatakan bahwa banyak pemborosan dana dari layanan kesehatan yang menggunakan dana publik terjadi karena birokrasi yang tersentralisasi. Kenyataannya, suatu studi yang dilakukan oleh peneliti Harvard, Woolhandler dan Himmelstein yang dimuat dalam New England Journal of Medicine, yang menganalisa data dari 5.201 rumah sakit, menemukan bahwa rumah sakit profit 5%lebih mahal dibandingkan rumah sakit non profit, dan 53% dari perbedaan biaya disebabkan oleh biaya administrasi yang lebih mahal. Selain itu, perusahaan profit juga harus mengeluarkan biaya operasional tambahan.
Jadi, layanan kesehatan secara profit nir memangkas birokrasi namun malah menggelembungkan birokrasi. Dan lebih parah lagi, birokrasi ini justru mengejar profit.
11. Pasar Sempurna Akan Terjadi Dalam Sistem Kesehatan
Taft dan Stewart dalam bukunya yang berjudul Clear Answers: The Economics and Politics of For-Profit Medicine, mengajukan lima syarat berlakunya pasar sempurna: (1) ada banyak penjual dan pembeli yang dengan mudah dapat keluar dan masuk ke dalam pasar, (2) pembeli memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengambil keputusan, (3) produk terstandarisasi, (4) harga dapat bebas naik turun tanpa halangan dan (5) konsumen dengan bebas dapat mengganti suatu produk dengan produk lainnya untuk fungsi yang sama. Kondisi ini tidak berlaku di dalam dunia kesehatan: (1) pasien yang sakit sulit mengambil keputusan yang bebas, (2) pengetahuan tentang kesehatan tidak dikuasai oleh kebanyakan orang, (3) kepercayaan sangat fundamental dalam bisnis kesehatan, (4) kalangan bisnis sekarang melakukan upaya-upaya sistematis untuk secara sengaja mendistorsi pasar sempurna dengan mendorong terjadinya monopoli atau setidaknya oligopoli. Padahal, mengacu pada syarat pasar sempurna yang dikemukakan oleh Taft dan Stewart, monopoli membuat jumlah penjual terlalu sedikit dan terciptanya halangan bagi harga untuk naik dan turun secara bebas.
Kepentingan Sosial dan Profit : Akankah Terdamaikan?
Inkompatibilitas sifat sosial layanan kesehatan dengan kepentingan profit menjadi demikian fundamental. Pertarunga yg paling mendasar adalah bahwa layanan kesehatan berbasis profit bergantung dalam maksimalisasi dan pertumbuhan konsumsi sedangkan layanan kesehatan yang efisien dan efektif justru meminimalkan konsumsi.
Selain permasalahan dasar tadi, kita juga dapat melihat dalam taraf yg lebih rumit & tidak kasat mata bahwa layanan kesehatan berbasis profit menyebabkan pemborosan, ketidakadilan dan penurunan kualitas layanan. Sementara itu, penyakit-penyakit pada layanan kesehatan publik misalnya kebergantungan dalam pemerintah, monopoli, birokrasi dan korupsi / penipuan yg selama ini dijadikan dasar buat mendiskreditkan layanan kesehatan publik sama sekali tidak disembuhkan oleh privatisasi, tetapi justru ?Kambuh? Pulang dalam bentuk yg lebih sulit dikontrol & disembuhkan.
* Tulisan ini disarikan dari buku Liberalisasi dan Tantangan Dalam Penyedian Jasa Kesehatan Kepada Publik, oleh Tim Peneliti The Business Watch Indonesia ( Any Sulistyowati, David Sutasurya dan Navita Kristi Astuti), tahun 2004, khususnya bab 6.
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Oktober 2006. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Oktober 2006. Tampilkan semua postingan
Minggu, 19 Juli 2020
[Media] Resensi Buku: Liberalisasi Dan Tantangan Dalam Penyediaan Jasa Kesehatan Kepada Publik
Judul :Liberalisasi Dan Tantangan Dalam Penyediaan Jasa Kesehatan
Kepada Publik
Penulis :Tim Peneliti The Business Watch Indonesia (BWI);
Any Sulistyowati, David Sutasurya dan Navita Kristi Astuti
Tahun : 2004
Penerbit :The Business Watch Indonesia- WIDYA SARI PRESS,
SURAKARTA didukung sang NOVIB OXFAM NETHERLANDS
Tebal : 214 hlm
Sehat, semua orang ingin selalu sehat. Hanya dalam keadaan sehatlah kita mampu beraktivitas apapun yang kita mau. Tetapi sejatinya manusia, kita nir sanggup selalu sehat. Terkadang kita jatuh sakit, berdasarkan ?Kelas ringan? Hingga ?Kelas berat?. Terutama untuk sakit ?Kelas berat? Yg sering kita rujuk ke sentra-pusat pelayanan kesehatan, kita berhadapan menggunakan sebuah sistem layanan kesehatan itu sendiri.
Layanan kesehatan adalah sebuah sistem yang jika ditilik lebih jauh lagi, ternyata adalah sebuah sistem yang rumit, panjang, kompleks, penuh intrik dan terkadang terkesan manipulatif. Oleh karena itu, sering kita melihat potret buram dari sistem layanan kesehatan ini. Namun, persoalan buruknya layanan kesehatan jelas bukan akibat dari krisis ekonomi semata. Banyak perkara lain yang terlibat.1
Buku Liberalisasi Dan Tantangan Dalam Penyediaan Jasa Kesehatan Kepada Publik, memaparkan permasalahan seputar sektor kesehatan, mulai dari yang sangat konkret yang sering dialami masyarakat, analisis kebijakan di tingkat negara; paradigma apa saja yang mempengaruhi sektor kesehatan, beberapa pilihan dan konsekuensinya dan beberapa contoh kasus.2
Buku ini merupakan hasil penelitian deskriptif mengenai privatisasi sektor kesehatan, khususnya di Indonesia. Buku yang terdiri atas delapan bagian ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan (seperti yang tertuang di dalam bagian pendahuluannya); (1) bagaimanakah cara kerja umum privatisasi di sektor kesehatan dan apa saja potensi dampaknya terutama bagi negara berkembang?, (2) bagaimanakah perkembangan situasi makro sektor kesehatan di Indonesia dan trend yang sedang berjalan?, (3) bagaimanakah realitas sektor kesehatan di Indonesia seperti yang dialami masyarakat?,(4) paradigma apakah yang menjadi latar belakang sektor kesehatan saat ini? Adakah pilihan model yang lain dan apakah konsekuensinya?, (5) bagaimanakah prediksi situasi kesehatan ke depan, adakah pilihan-pilihan yang dapat diambil dan apa prasyaratnya?.
Pertanyaan-pertanyaan tadi dijawab dengan memaparkan argumen-argumen dari penyokong liberalisasi penyediaan jasa kesehatan yang kemudian penulis periksa dengan mengajukan beberapa kritis & pertanyaan menggunakan logika sederhana bagi argumen-argumen tadi. Dengan cara ini, meskipun materi yg diulas berat, bahasa buku ini terasa kalem.
Seperti yg diungkapkan sang editor buku ini, bahwa kitab ini mengajak para pembacanya untuk melihat aneka macam detil yg mungkin selama ini nir teramati saat mengkaji problem-masalah di bidang kesehatan, khususnya di Indonesia kemudian mempersilahkan pembaca buat memilih sikapnya sendiri.
Jika ingin menerima buku ini silakan menghubungi:
The Business Watch Indonesia (BWI)
Jln. Cokrobaskoro VII no. 33,
Puspan, Tipes,
Surakarta
Telp. 0271-728560
(Lola Amelia)
Kepada Publik
Penulis :Tim Peneliti The Business Watch Indonesia (BWI);
Any Sulistyowati, David Sutasurya dan Navita Kristi Astuti
Tahun : 2004
Penerbit :The Business Watch Indonesia- WIDYA SARI PRESS,
SURAKARTA didukung sang NOVIB OXFAM NETHERLANDS
Tebal : 214 hlm
Sehat, semua orang ingin selalu sehat. Hanya dalam keadaan sehatlah kita mampu beraktivitas apapun yang kita mau. Tetapi sejatinya manusia, kita nir sanggup selalu sehat. Terkadang kita jatuh sakit, berdasarkan ?Kelas ringan? Hingga ?Kelas berat?. Terutama untuk sakit ?Kelas berat? Yg sering kita rujuk ke sentra-pusat pelayanan kesehatan, kita berhadapan menggunakan sebuah sistem layanan kesehatan itu sendiri.
Layanan kesehatan adalah sebuah sistem yang jika ditilik lebih jauh lagi, ternyata adalah sebuah sistem yang rumit, panjang, kompleks, penuh intrik dan terkadang terkesan manipulatif. Oleh karena itu, sering kita melihat potret buram dari sistem layanan kesehatan ini. Namun, persoalan buruknya layanan kesehatan jelas bukan akibat dari krisis ekonomi semata. Banyak perkara lain yang terlibat.1
Buku Liberalisasi Dan Tantangan Dalam Penyediaan Jasa Kesehatan Kepada Publik, memaparkan permasalahan seputar sektor kesehatan, mulai dari yang sangat konkret yang sering dialami masyarakat, analisis kebijakan di tingkat negara; paradigma apa saja yang mempengaruhi sektor kesehatan, beberapa pilihan dan konsekuensinya dan beberapa contoh kasus.2
Buku ini merupakan hasil penelitian deskriptif mengenai privatisasi sektor kesehatan, khususnya di Indonesia. Buku yang terdiri atas delapan bagian ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan (seperti yang tertuang di dalam bagian pendahuluannya); (1) bagaimanakah cara kerja umum privatisasi di sektor kesehatan dan apa saja potensi dampaknya terutama bagi negara berkembang?, (2) bagaimanakah perkembangan situasi makro sektor kesehatan di Indonesia dan trend yang sedang berjalan?, (3) bagaimanakah realitas sektor kesehatan di Indonesia seperti yang dialami masyarakat?,(4) paradigma apakah yang menjadi latar belakang sektor kesehatan saat ini? Adakah pilihan model yang lain dan apakah konsekuensinya?, (5) bagaimanakah prediksi situasi kesehatan ke depan, adakah pilihan-pilihan yang dapat diambil dan apa prasyaratnya?.
Pertanyaan-pertanyaan tadi dijawab dengan memaparkan argumen-argumen dari penyokong liberalisasi penyediaan jasa kesehatan yang kemudian penulis periksa dengan mengajukan beberapa kritis & pertanyaan menggunakan logika sederhana bagi argumen-argumen tadi. Dengan cara ini, meskipun materi yg diulas berat, bahasa buku ini terasa kalem.
Seperti yg diungkapkan sang editor buku ini, bahwa kitab ini mengajak para pembacanya untuk melihat aneka macam detil yg mungkin selama ini nir teramati saat mengkaji problem-masalah di bidang kesehatan, khususnya di Indonesia kemudian mempersilahkan pembaca buat memilih sikapnya sendiri.
Jika ingin menerima buku ini silakan menghubungi:
The Business Watch Indonesia (BWI)
Jln. Cokrobaskoro VII no. 33,
Puspan, Tipes,
Surakarta
Telp. 0271-728560
(Lola Amelia)
Sabtu, 18 Juli 2020
[Profil] Putu Oka Sukanta Progresif dengan Kesehatan Alternatif
Profil Proaktif kali ini mengangkat tokoh yang nir asing lagi. Putu Oka Sukanta, sosok yg lebih populer di luar negeri lantaran karya sastranya daripada pada dalam negeri. Terkait menggunakan kesehatan alternatif, ketika ini dia sedang menuntaskan buku ?Akupresur Tangan yang Aman dan Bermanfaat.?
Sejak kecil beliau terbiasa hidup di antara masyarakat miskin, petani, nelayan dan perempuan pekerja. Ayah dan ibunya, petani yang buta huruf beserta Bude-nya, memberikan contoh keseharian bagaimana menghormati manusia lain, terutama yang lebih miskin. Salah satu hasil dari nilai yang ditanamkan oleh ketiga sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupannya adalah Taman Sringanis. Lelaki kelahiran Singaraja, 29 Juli 1939 ini merupakan penggagas Taman Sringanis yang terletak di Bogor. Dari sebidang tanah yang dibeli berkat uang warisan orang tua, dibentuklah tempat yang dibuka untuk umum. Di sini publik dapat belajar berbagai jenis penguatan diri di berbagai bidang kehidupan yang tidak menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk menghormati orang tua beliau yang berasal dari Bali maka diberilah nama kegiatan dan tempat tersebut Taman (nama ibu Ni Ketut Taman) dan Sringanis (nama kakak perempuan ibu yang tidak menikah, Ni Ketut Sringanis).
Asam garam telah mewarnai bepergian hidupnya. Pada tahun 1968, beliau pada penjara terkait dengan gosip G30SPKI. Di penjara Salemba, dia ditempatkan satu sel menggunakan seseorang dokter bernama Lie Tjwan Sen yang mengusut akupunktur di Korea Utara. Dokter inilah yang pertama kali mengenalkan dunia akupunktur kepadanya. Dengan segala keterbatasan yg ada di penjara, keduanya berusaha menaruh & mendapat ilmu sebaik-baiknya. Tidak ada catatan karena tidak terdapat buku ataupun indera tulis. Semua falsafah, teori dasar dan cerita mengenai akunpunktur berpindah berdasarkan otak oleh pengajar ke otak sang anak didik. Keterbatasan jarum diganti menggunakan bisnis membuat jarum menurut senar gitar no. 5. Praktek langsung dilakukan sembunyi-sembunyi agar nir ketahuan petugas. Para tahanan yg sakit menjadi pasiennya & jumlahnya poly.
Setelah keluar menurut penjara Salemba ke penjara seluas tanah air pada tahun 1976, Pak Putu memperdalam akupunktur dan mengikuti ujian pembakuan yg diselenggarakan Dinas Kesehatan dalam tahun 1978. Pada tahun yang sama, Pak Putu meminta izin praktek dan berakibat akupunktur sebagai asal kehidupan. Dua tahun lalu, Pak Putu menggandeng beberapa akupunkturis Tionghoa buat membuka klinik dan menampung poly bekas tahanan yang sudah lulus ujian negara akupunktur & memperoleh izin praktek.
Di awal tahun 80-an, Pak Putu telah dikenal oleh warga internasional. Beliau dipanggil ke Bangladesh & Srilanka buat mengajari akupresur dalam peserta training. Tak hanya pada peserta pelatihan, Pak Putu juga masuk ke desa-desa buat mengajari akupresur buat para petani di sana. Kegiatan misalnya ini berlanjut sepulangnya ke Indonesia. Tahun 1984, Pak Putu menyebarkan training akupresur buat kader-kader kesehatan (PKK) menggunakan sepengetahuan Dinas Kesehatan. Namun di tahun 1989, Orde Baru yg dimotori sang Golkar & militer menggulung yayasan Pak Putu menggunakan alasan menampung terlalu banyak bekas tahanan.
Pak Putu mengalami tahanan lagi, digebuki & disetrum lantaran seringkali ke luar negeri tanpa izin dan dianggap mengembangkan metode komunis. Beliau dituduh dibiayai oleh gerakan komunis bawah tanah buat melakukan bepergian. Pada awalnya beliau menempatkan praktik akupunktur sebagai mata pencaharian, namun peristiwa penahanan kedua mengubahnya. Sejak itu dia secara konsisten menghadapi & melawan apa yg dianggap subordinat & stigmatisasi. Akupunktur dijadikannya media perjuangan untuk menandakan bahwa terdapat ilmu kesehatan lain selain ilmu kesehatan modern. Dan ilmu non kedokteran modern ini bisa menjadi media pemberdayaan bagi setiap orang. Dalam teori akupresur, setiap orang tidak cepat-cepat menyerahkan dirinya ke pelayanan pengobatan, melainkan mencoba kemampuan dirinya terlebih dahulu, dengan mengaktifkan potensi yg ada di dalam tubuhnya.
Beliau ingin mengubah stigma bahwa tidak ada ilmu kesehatan lain selain ilmu kedokteran. Pak Putu ingin menghentikan pemberangusan budaya & tradisi berkesehatan rakyat yg menuduh pengobatan tradisonal itu tidak ilmiah & tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Yang Pak Putu inginkan merupakan pengobatan tradional bisa berkembang secara wajar sehingga dapat membuktikan dirinya menjadi ilmu kesehatan yang mempunyai cara berpikir sendiri (baik itu terminologi, falsafah juga paradigmanya). Dengan demikian, pengobatan tradional bisa terintegrasikan pada pelayanan kesehatan, tidak diposisikan sebagai pengobatan komplementer semata. Biarlah semua obat kimia kedokteran & tradional terintegrasi dalam sebuah atap pelayanan, berjalan harmonis dengan mengetahui keterbatasan masing-masing. Untuk mewujudkan keinginannya, Pak Putu masih tak jarang memperbanyak kajian, menciptakan pendidikan secara teratur & bersiklus dan mempraktekkannya, termasuk pada Taman Sringanis.
Beliau membuka pelayanan akupunktur dan herbal di klinik pribadi selama 3 hari per minggu. Namun, akupunktur adalah profesi yang beliau kembangkan ke masyarakat. Tidak hanya mengobati, beliau juga mengajarkan cara-cara akunpunktur kepada publik. Berbekal pengalaman (tradisi) dan ilmu yang diperoleh secara otodidak dan learning by doing, beliau bersama istri yang tadinya penari kemudian beralih profesi menjadi akupunkturis dan herbalis.
Sejak tahun lalu, Pak Putu Oka Sukanta menjadi Direktur Program Komplementer untuk HIV/AIDS, sebagai bagian dari program Care, Support and Treatment, yang didukung oleh IHPCP/Aus AID. Kegiatannya adalah memberikan informasi, latihan dan terapi dengan cara akupresur, olah napas dan meditasi serta minuman sehat (jamu enak) kepada orang-orang yang terinfeksi HIV di Rumah Sakit Sulianti Saroso Jakarta, Penjara Bulak Kapal Bekasi, Penjara Paledang Bogor, dan Puskesmas Balimester Jakarta, serta menerbitkan buletin KOMPLEMENTER.
Sehat menurutnya adalah sebuah manifestasi terbentuknya ekuilibrium (harmoni) nisbi antara semua nilai kehidupan, baik itu fisik, mental, spiritual dan lingkungan.
Menurut Pak Putu, kendala yang sering dihadapi para aktivis adalah susahnya berkata tidak terhadap pekerjaan dan tantangan yang ada. Akibatnya, banyak aktivis sering mengalami kenaikan tekanan darah sering, nafas pendek dan emosional.
Menurut beliau, hambatan tersebut bisa diatasi dengan berdamai dengan diri sendiri, serta menyadari keterbatasan kemampuan, ruang dan saat. Selain itu, mengatur pola makan & minum yang lebih sehat, berolah raga, beristirahat lebih banyak dan berani mengatakan TIDAK menggunakan santun & hormat terhadap hal-hal yg diperkirakan akan membuat kondisi kesehatan terganggu.
Beliau melihat bahwa banyak sekali aktivis yang berpikiran maju, bersemangat tinggi, dan punya wawasan politik luas; tetapi sayang, dalam bidang kesehatan mereka masih lebih banyak berorientasi (bahkan ada yang bergantung total) kepada pelayanan kesehatan modern (industri kedokteran dan industri farmasi). Kesehatan tidak dirawat sebagaimana merawat organisasi dan programnya. Para aktivis sering lupa bahwa mereka mempunyai potensi diri dan alam yang dapat dijadikan pendukung,- alternatif perawatan kesehatan. Lupa punya sinar matahari pagi, lupa punya udara segar (oksigen), lupa punya bumbu dapur, lupa punya berbagai jenis buah dan sayuran dalam negeri, lupa punya jari tangan yang dapat difungsikan untuk kesehatan. Komentar guyonan beliau tentang para aktivis itu adalah; “Politik progresif, tapi kesehatan konservatif bahkan reaksioner”.
Tetapi Pak Putu tidak hanya berseloroh. Beliau beropini bahwa hal tersebut memang terjadi karena selama ini kita terkooptasi pada asumsi bahwa hanya ada satu ilmu kesehatan yaitu ilmu kedokteran terbaru. Pandangan seperti ini merupakan pengaruh dari agresi industrialisme dalam bidang kesehatan yang sudah berlangsung semenjak zaman penjajahan Belanda. ?Ilmu kedokteran terbaru memiliki keunggulan yang harus dibayar dengan uang poly, tetapi terdapat ilmu kesehatan non kedokteran terbaru (non konvensional) yg belum diaktualisasikan & dioptimalkan pemanfaatannya?, ungkapnya.
Beliau mengajar kita semua untuk menyadari hak dan kewajiban kita dalam membina kesehatan diri sendiri dan masyarakat. Caranya yaitu dengan mempelajari ilmu-ilmu kesehatan non konvensional dan memilih mana yang paling mungkin dilakukan, artinya aman, bermanfaat, rasional, mudah dilakukan, tersedia cukup banyak dan harganya terjangkau.
Beliau juga membagikan tips-tips bagi para aktivis agar tetap sehat dan prima untuk membuat perubahan, di antaranya:
Olah napas: Tarik napas dalam-dalam, simpan di dalam tubuh (bisa di paru-paru, di perut atau bagian tubuh lainnya) sekuatnya (sampai setengah menit), kemudian keluarkan perlahan-lahan lewat mulut. Lakukan di mana saja, kapan saja dan berulangkali. Maknanya: penyerapan oksigen lebih banyak bisa sampai 80% untuk memperkuat Natural Killer di dalam tubuh.
Makanan dan minuman sehat: hindarkan zat penyedap, zat pengawet dan zat pewarna, nikotin. Jadikan makanan dan minuman sebagai obat, dan obat sebagai makanan dan minuman.
Jari-jari tangan: gunakan untuk memijat titik-titik penting di permukaan tubuh sesuai dengan teori akupresur.
Berpikir positif: perbedaan adalah kekuatan, dan kesetaraan adalah dasar hidup bermitra.
***
(Ditulis menurut wawancara via email oleh Hilda Lionata)
Sejak kecil beliau terbiasa hidup di antara masyarakat miskin, petani, nelayan dan perempuan pekerja. Ayah dan ibunya, petani yang buta huruf beserta Bude-nya, memberikan contoh keseharian bagaimana menghormati manusia lain, terutama yang lebih miskin. Salah satu hasil dari nilai yang ditanamkan oleh ketiga sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupannya adalah Taman Sringanis. Lelaki kelahiran Singaraja, 29 Juli 1939 ini merupakan penggagas Taman Sringanis yang terletak di Bogor. Dari sebidang tanah yang dibeli berkat uang warisan orang tua, dibentuklah tempat yang dibuka untuk umum. Di sini publik dapat belajar berbagai jenis penguatan diri di berbagai bidang kehidupan yang tidak menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk menghormati orang tua beliau yang berasal dari Bali maka diberilah nama kegiatan dan tempat tersebut Taman (nama ibu Ni Ketut Taman) dan Sringanis (nama kakak perempuan ibu yang tidak menikah, Ni Ketut Sringanis).
Asam garam telah mewarnai bepergian hidupnya. Pada tahun 1968, beliau pada penjara terkait dengan gosip G30SPKI. Di penjara Salemba, dia ditempatkan satu sel menggunakan seseorang dokter bernama Lie Tjwan Sen yang mengusut akupunktur di Korea Utara. Dokter inilah yang pertama kali mengenalkan dunia akupunktur kepadanya. Dengan segala keterbatasan yg ada di penjara, keduanya berusaha menaruh & mendapat ilmu sebaik-baiknya. Tidak ada catatan karena tidak terdapat buku ataupun indera tulis. Semua falsafah, teori dasar dan cerita mengenai akunpunktur berpindah berdasarkan otak oleh pengajar ke otak sang anak didik. Keterbatasan jarum diganti menggunakan bisnis membuat jarum menurut senar gitar no. 5. Praktek langsung dilakukan sembunyi-sembunyi agar nir ketahuan petugas. Para tahanan yg sakit menjadi pasiennya & jumlahnya poly.
Setelah keluar menurut penjara Salemba ke penjara seluas tanah air pada tahun 1976, Pak Putu memperdalam akupunktur dan mengikuti ujian pembakuan yg diselenggarakan Dinas Kesehatan dalam tahun 1978. Pada tahun yang sama, Pak Putu meminta izin praktek dan berakibat akupunktur sebagai asal kehidupan. Dua tahun lalu, Pak Putu menggandeng beberapa akupunkturis Tionghoa buat membuka klinik dan menampung poly bekas tahanan yang sudah lulus ujian negara akupunktur & memperoleh izin praktek.
Di awal tahun 80-an, Pak Putu telah dikenal oleh warga internasional. Beliau dipanggil ke Bangladesh & Srilanka buat mengajari akupresur dalam peserta training. Tak hanya pada peserta pelatihan, Pak Putu juga masuk ke desa-desa buat mengajari akupresur buat para petani di sana. Kegiatan misalnya ini berlanjut sepulangnya ke Indonesia. Tahun 1984, Pak Putu menyebarkan training akupresur buat kader-kader kesehatan (PKK) menggunakan sepengetahuan Dinas Kesehatan. Namun di tahun 1989, Orde Baru yg dimotori sang Golkar & militer menggulung yayasan Pak Putu menggunakan alasan menampung terlalu banyak bekas tahanan.
Pak Putu mengalami tahanan lagi, digebuki & disetrum lantaran seringkali ke luar negeri tanpa izin dan dianggap mengembangkan metode komunis. Beliau dituduh dibiayai oleh gerakan komunis bawah tanah buat melakukan bepergian. Pada awalnya beliau menempatkan praktik akupunktur sebagai mata pencaharian, namun peristiwa penahanan kedua mengubahnya. Sejak itu dia secara konsisten menghadapi & melawan apa yg dianggap subordinat & stigmatisasi. Akupunktur dijadikannya media perjuangan untuk menandakan bahwa terdapat ilmu kesehatan lain selain ilmu kesehatan modern. Dan ilmu non kedokteran modern ini bisa menjadi media pemberdayaan bagi setiap orang. Dalam teori akupresur, setiap orang tidak cepat-cepat menyerahkan dirinya ke pelayanan pengobatan, melainkan mencoba kemampuan dirinya terlebih dahulu, dengan mengaktifkan potensi yg ada di dalam tubuhnya.
Beliau ingin mengubah stigma bahwa tidak ada ilmu kesehatan lain selain ilmu kedokteran. Pak Putu ingin menghentikan pemberangusan budaya & tradisi berkesehatan rakyat yg menuduh pengobatan tradisonal itu tidak ilmiah & tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Yang Pak Putu inginkan merupakan pengobatan tradional bisa berkembang secara wajar sehingga dapat membuktikan dirinya menjadi ilmu kesehatan yang mempunyai cara berpikir sendiri (baik itu terminologi, falsafah juga paradigmanya). Dengan demikian, pengobatan tradional bisa terintegrasikan pada pelayanan kesehatan, tidak diposisikan sebagai pengobatan komplementer semata. Biarlah semua obat kimia kedokteran & tradional terintegrasi dalam sebuah atap pelayanan, berjalan harmonis dengan mengetahui keterbatasan masing-masing. Untuk mewujudkan keinginannya, Pak Putu masih tak jarang memperbanyak kajian, menciptakan pendidikan secara teratur & bersiklus dan mempraktekkannya, termasuk pada Taman Sringanis.
Beliau membuka pelayanan akupunktur dan herbal di klinik pribadi selama 3 hari per minggu. Namun, akupunktur adalah profesi yang beliau kembangkan ke masyarakat. Tidak hanya mengobati, beliau juga mengajarkan cara-cara akunpunktur kepada publik. Berbekal pengalaman (tradisi) dan ilmu yang diperoleh secara otodidak dan learning by doing, beliau bersama istri yang tadinya penari kemudian beralih profesi menjadi akupunkturis dan herbalis.
Sejak tahun lalu, Pak Putu Oka Sukanta menjadi Direktur Program Komplementer untuk HIV/AIDS, sebagai bagian dari program Care, Support and Treatment, yang didukung oleh IHPCP/Aus AID. Kegiatannya adalah memberikan informasi, latihan dan terapi dengan cara akupresur, olah napas dan meditasi serta minuman sehat (jamu enak) kepada orang-orang yang terinfeksi HIV di Rumah Sakit Sulianti Saroso Jakarta, Penjara Bulak Kapal Bekasi, Penjara Paledang Bogor, dan Puskesmas Balimester Jakarta, serta menerbitkan buletin KOMPLEMENTER.
Sehat menurutnya adalah sebuah manifestasi terbentuknya ekuilibrium (harmoni) nisbi antara semua nilai kehidupan, baik itu fisik, mental, spiritual dan lingkungan.
Menurut Pak Putu, kendala yang sering dihadapi para aktivis adalah susahnya berkata tidak terhadap pekerjaan dan tantangan yang ada. Akibatnya, banyak aktivis sering mengalami kenaikan tekanan darah sering, nafas pendek dan emosional.
Menurut beliau, hambatan tersebut bisa diatasi dengan berdamai dengan diri sendiri, serta menyadari keterbatasan kemampuan, ruang dan saat. Selain itu, mengatur pola makan & minum yang lebih sehat, berolah raga, beristirahat lebih banyak dan berani mengatakan TIDAK menggunakan santun & hormat terhadap hal-hal yg diperkirakan akan membuat kondisi kesehatan terganggu.
Beliau melihat bahwa banyak sekali aktivis yang berpikiran maju, bersemangat tinggi, dan punya wawasan politik luas; tetapi sayang, dalam bidang kesehatan mereka masih lebih banyak berorientasi (bahkan ada yang bergantung total) kepada pelayanan kesehatan modern (industri kedokteran dan industri farmasi). Kesehatan tidak dirawat sebagaimana merawat organisasi dan programnya. Para aktivis sering lupa bahwa mereka mempunyai potensi diri dan alam yang dapat dijadikan pendukung,- alternatif perawatan kesehatan. Lupa punya sinar matahari pagi, lupa punya udara segar (oksigen), lupa punya bumbu dapur, lupa punya berbagai jenis buah dan sayuran dalam negeri, lupa punya jari tangan yang dapat difungsikan untuk kesehatan. Komentar guyonan beliau tentang para aktivis itu adalah; “Politik progresif, tapi kesehatan konservatif bahkan reaksioner”.
Tetapi Pak Putu tidak hanya berseloroh. Beliau beropini bahwa hal tersebut memang terjadi karena selama ini kita terkooptasi pada asumsi bahwa hanya ada satu ilmu kesehatan yaitu ilmu kedokteran terbaru. Pandangan seperti ini merupakan pengaruh dari agresi industrialisme dalam bidang kesehatan yang sudah berlangsung semenjak zaman penjajahan Belanda. ?Ilmu kedokteran terbaru memiliki keunggulan yang harus dibayar dengan uang poly, tetapi terdapat ilmu kesehatan non kedokteran terbaru (non konvensional) yg belum diaktualisasikan & dioptimalkan pemanfaatannya?, ungkapnya.
Beliau mengajar kita semua untuk menyadari hak dan kewajiban kita dalam membina kesehatan diri sendiri dan masyarakat. Caranya yaitu dengan mempelajari ilmu-ilmu kesehatan non konvensional dan memilih mana yang paling mungkin dilakukan, artinya aman, bermanfaat, rasional, mudah dilakukan, tersedia cukup banyak dan harganya terjangkau.
Beliau juga membagikan tips-tips bagi para aktivis agar tetap sehat dan prima untuk membuat perubahan, di antaranya:
Olah napas: Tarik napas dalam-dalam, simpan di dalam tubuh (bisa di paru-paru, di perut atau bagian tubuh lainnya) sekuatnya (sampai setengah menit), kemudian keluarkan perlahan-lahan lewat mulut. Lakukan di mana saja, kapan saja dan berulangkali. Maknanya: penyerapan oksigen lebih banyak bisa sampai 80% untuk memperkuat Natural Killer di dalam tubuh.
Makanan dan minuman sehat: hindarkan zat penyedap, zat pengawet dan zat pewarna, nikotin. Jadikan makanan dan minuman sebagai obat, dan obat sebagai makanan dan minuman.
Jari-jari tangan: gunakan untuk memijat titik-titik penting di permukaan tubuh sesuai dengan teori akupresur.
Berpikir positif: perbedaan adalah kekuatan, dan kesetaraan adalah dasar hidup bermitra.
***
(Ditulis menurut wawancara via email oleh Hilda Lionata)
Langganan:
Postingan (Atom)