Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Februari 2006. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Februari 2006. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Juli 2020

[Jalan-jalan] BALAI WARGA MARLINA

Kalau anda mendengar kata Balai Warga jangan membayangkan sebuah bangunan yg kokoh, luas & lengkap fasilitas. Tempatnya sederhana menggunakan desain rumah panggung berdasarkan bambu, ada papan triplek buat menulis & papan berita, duduk lesehan dan angin segar yg dibiarkan masuk. Balai Warga Marlina adalah keliru satu balai yang didirikan sang rakyat kampung Muara Baru & Urban Poor Consorsium (UPC-LSM pendampingan rakyat miskin kota), terletak pada galat satu pinggiran kota Jakarta, tepatnya pada kampong Muara baru, kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Untuk menuju kesana sangatlah mudah, berdasarkan stasiun Kota mampu naik Angkutan Umum jurusan Muara Baru atau bila nir mau repot bisa eksklusif naik bajaj. Memasuki jalan Marlina, kita akan melihat sederetan tempat tinggal penduduk yang padat dan lalu lalang orang di gang sempit menggunakan aneka macam aktivitasnya. Tanya saja Balai Warga Marlina pasti seluruh orang memahami dan akan berbaik hati memperlihatkan arahnya.

Mengapa terdapat Balai Warga Marlina? Kampung Marlina merupakan salah satu grup dampingan rakyat UPC & galat satu kegiatan warga yang dilakukan disana adalah Kelompok Belajar Anak (KBA). Awal kegiatan KBA dilaksanakan pada keliru satu rumah rakyat menggunakan jumlah anak sekitar 20 orang. Semakin berkembang fakta & kebutuhan akan ilmu, akhirnya terdaftar 70 anak yang ingin mengikuti aktivitas KBA. Kondisi ini menciptakan CL Anak dan UPC mengumpulkan orangtua murid buat menyampaikan kasus kegiatan kelompok belajar ini, mulai dari tempat yg sudah nir bisa menampung anak didik lagi, ketenangan proses belajar mengajar dan fasilitas yg tersedia. Didapat satu kesepakatan bahwa masyarakat dan UPC akan membangun suatu balai sebagai wahana belajar. Tanah milik PT Gajah Tunggal yg disebut sebagai milik Ibu Yayah menjadi pertimbangan lokasi pembangunan balai. Perhitungan porto diperkirakan 5 juta, & dana didapat dari swadaya/urunan orang tua murid & UPC. Urunan warga per anak didik 10.000 rupiah & terkumpul lebih kurang 400.000 rupiah??? Cek lagi. Selama proses pembangunan ternyata porto yang dimuntahkan membengkak lantaran Harga bangunan sudah naik (cat, semen, ll) & perubahan pemakaian asbes menjadi atap buat faktor keamanan.
Belum lagi warga harus membayar uang keamanan sebanyak 400.00 rupiah ke PT.


Pembangunan balai memakan ketika relatif singkat hanya satu minggu dengan tiga orang pekerja. Nah pada lepas 26 Maret 2006 hari Minggu sore Balai Warga Marlina diresmikan menggunakan syarat apa adanya & dinding yang belum dicat karena biayanya kurang. Hal ini tidak menyurutkan semangat rakyat mulai menurut anak-anak, remaja & orangtua buat ikut andil mempersiapkan acara pelantikan. Ada pentas musik, pemutaran film dan permainan. Warga kemudian berinisiatif meminta saweran ke penonton buat membeli kekurangan cat dan bahan lainnya, akhirnya terkumpul dana sebanyak 195.000 rupiah.


Sampai ketika ini kelompok belajar yg jumlah muridnya hampir 70 orang dengan 2 CL Anak sebagai guru ini sudah berjalan selama hampir satu tahun. Kelas dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelas sore (pukul 17.00 ? 18.00 WIB) dan malam (pukul 19.00 ? 20.00 WIB). Peralatan seadanya seperti papan tulis difasilitasi sang UPC, sedang kapur tulis & kitab swadaya orangtua murid. Dari sinilah ada rasa mempunyai & tanggung jawab orangtua siswa/rakyat terhadap kelompok belajar dan balai. Ternyata kehidupan anak-anak dikampung Marlina sama menggunakan anak-anak miskin lainnya, yg terbatas dengan akses pendidikan dan masih haus dengan ilmu dan pengetahuan. Dalam gerombolan belajar anak-anak juga dibiasakan buat menabung lewat buku tabungan.


Selain buat kelompok belajar, Balai Warga Marlina juga digunakan buat pelayanan kesehatan alternatif dan pengenalan tumbuhan obat. Bukan hanya itu, balai masyarakat jua dapat digunakan buat kepentingan rakyat lainnya seperti rendezvous warga , rapat RT/RW, arisan bahkan sunatan atau acara perkawinan sekalipun. Kalau anda ingin mencoba, sanggup menghubungi Ibu Yayah menjadi penanggung jawab disana. Sstt, mungkin terdapat diantara pembaca yang penasaran kenapa nama kampung itu kampung Marlina ya? Apakah ini dulunya nama seseorang wanita kembang desa disana atau?.Jangan berasumsi macam-macam, ternyata Marlina itu merupakan nama keliru satu pabrik pada wilayah Muara Baru. Loohhh! (Mels)











[Tips] TIPS MENGELOLA UANG

Uang adalah hal yg dirasa sensitif oleh rakyat sekarang ini. Terlebih lagi sang para aktifis yang notabene mempunyai penghasilan pas-pasan, tentu hal ini bisa menjadi hambatan dalam melakukan aktifitas hariannya. Tetapi dengan pengelolaan keuangan yang aporisma, kegiatan harian aktifis nir akan terganggu. Lebih menurut itu, aktifis bisa menyisihkan uangnya buat disimpan pada tabungan.
Berikut beberapa langkah jitu buat mengatur keuangan supaya lebih efektif & efisien.
? Buatlah rekening menurut transaksi keuangan yang mungkin terjadi.
Rekening ini nantinya bermanfaat buat mengelompokkan transaksi keuangan sehingga pengguna bisa menggunakan gampang mengevaluasi pengeluarannya. Pembuatan rekening ini terdiri dari rekening utama menggunakan beberapa subrekening yang dikelompokkan sinkron menggunakan kebutuhan.
Berikut ini merupakan model sebuah rekening pribadi.

1. Pendapatan
a. Gaji Associtates KAIL
b. Honor Menulis, dll
2. Konsumsi
a. Air Mineral
b. Beras
c. Asupan Gizi
d. Cemilan, dll
3. Alat Pakai
a. Baju
b. Celana
c. Pakaian Dalam
d. Alat Makan, dll
4. Tempat Tinggal
a. Bayar Kost
b. Administrasi Kependudukan, dll
5. Komunikasi
a. Internet
b. Telepon
c. Surat, dll
6. Transportasi
a. Sepeda
b. Bahan Bakar
c. Ongkos angkot, dll
7. Peralatan Kerja
a. Administrasi
b. Simpanan Data
c. Computer
d. Alat Tulis, dll
8. Kebersihan dan Kesehatan
a. Dokter
b. Obat
c. Kebersihan Pakaian
d. Kebersihan Pribadi, dll
9. Refreshing dan Hobi
a. Buku
b. Alat Musik
c. Jalan-jalan
d. Peliharaan
e. Lainnya


  • Setelah rekening selesai, buatlah anggaran dari pendapatan dan belanja untuk satu bulan ke depan. Hal ini berguna untuk mengevaluasi apakah pengeluaran yang terjadi dalam batas kewajaran yang telah ditentukan atau tidak.
  • Selesai membuat anggaran, masukkan uang sebesar yang telah dianggarkan ke dalam amplop yang merupakan rekening utama. Misalnya rekening utama konsumsi, maka semua anggaran yang berkaitan dengan konsumsi dimasukkan ke amplop yang bertuliskan “Konsumsi”. Lakukan hal yang sama untuk semua rekening utama. Pengamplopan ini bertujuan untuk membatasi penggunaan uang agar tidak mengambil uang secara berlebihan.
  • Tuliskan setiap transaksi yang terjadi pada format tabel seperti berikut:
Tgl
Uraian
Rek
Debit
Kredit
Pada kolom Tgl, diisi dengan lepas transaksi. Kolom Uraian diisi menggunakan uraian transaksi. Misalnya transaksi membeli kuliner dapat ditulis ?Pembelian kuliner berupa nasi, sayur dan lauk pauk buat makan siang?. Penulisan uraian ini sebaiknya jelas agar nir membingungkan dalam pembandingan antara aturan & transaksi.
Kolom Rek diisi dengan rekening yg terdiri berdasarkan dua digit, yaitu digit pertama adalah rekening utama & digit ke 2 adalah subrekening. Misalnya buat transaksi pembelian kuliner merupakan rekening utama berdasarkan Konsumsi menggunakan subrekening Makanan Harian. Maka dalam penulisan di kolom Rek merupakan 2C.
Kolom Debit merupakan uang yang masuk atau dengan kata lain merupakan pendapatan pengguna dan kolom Kredit adalah uang yg dikeluarkan oleh pengguna.
  • Pada akhir bulan, kelompokkan setiap transaksi subrekening dan jumlahkan menjadi rekening utama. Misalnya jumlahkan setiap subrekening dari rekening Konsumsi.
  • Bandingkan setiap transaksi rekening utama yang telah terjadi dengan anggaran yang telah dibuat. Dari sini, pengguna dapat mengetahui kondisi keuangannya dan dapat dijadikan bahan penyusunan penganggaran untuk bulan berikutnya.
Dalam catatan keuangan yg dibentuk, poly rekening yang bisa ditambah sesuai kebutuhan dari eksklusif masing-masing. Tabel yang dipakai dan langkah-langkah pembuatan laporan keuangan dalam rubrik ini hanya menjadi model karena keterbatasan laman. Untuk itu apabila rekan-rekan aktifis membutuhkan file keuangan lebih lengkap, silahkan hubungi KAIL. Semoga bermanfaat. (Yudha Spiza-Associate KAIL)























































Selasa, 21 Juli 2020

[Pikir] Dari Alat Tukar menjadi Alat Kekuasaan Menelusuri evolusi makna dan peran uang dalam kehidupan

Apakah anda kenal menggunakan gurauan mengenai mengapa orang Jawa tidak mampu kaya seperti orang Cina Perantauan ?[1]
Katanya, itu karena kalau orang Jawa ke luar tempat tinggal dengan maksud mencari penghidupan, mereka bilang, "Mau cari kerjadanquot; sedangkan orang Cina Perantauan bilang, "Mau cari uangdanquot;. Jadilah orang Jawa memang mendapatkan pekerjaan misalnya yang diinginkan, bukannya uang, sehingga mereka selalu miskin.
Gurauan ini sebenarnya mencerminkan paradoksal antara budaya agraris yg bergantung/berorientasi pada alam dan budaya yang bergantung/berorientasi dalam uang. Seberapa dalamkah makna perbedaan ini bagi kehidupan kita, bahkan bagi masa depan umat insan ke depan ?
Di dunia terbaru sekarang ini, sadar atau nir sadar, banyak berdasarkan kita yang mencicipi kontradiksi berdasarkan 2 model pemaknaan akan uang.

Di sekolah kita diajarkan bahwa uang merupakan indera yang membantu kita mempertukarkan barang atau jasa. Jadi uang adalah indera. Kalau indera tentu ia hanya digunakan sesuai menggunakan kebutuhan. Namun kehidupan sehari-hari justru mengajarkan bahwa uang merupakan 'hampir' segalanya bagi hidup kita. Banyak orang menduga bahwa tanpa uang ia nir mampu hidup. Di sini uang bukan lagi sekedar indera, namun sebagai tujuan hayati kita.
Kita diajarkan bahwa pendidikan bertujuan buat membuatkan manusia seutuhnya dan bermanfaat bagi nusa & bangsa. Tapi pada kenyataannya, poly sarjana merasa bahwa sekolah mereka nir ada keuntungannya (rugi kapital), bila mereka nir berhasil memperoleh banyak uang darinya.
Uang telah memasuki relung-relung terdalam hayati kita. Ia sudah sebagai sebuah sumberdaya yg mendasar yg memilih, apakah kita bisa sembuh menurut suatu penyakit, apakah anak-anak kita sanggup sekolah ataupun rumah misalnya apa yg kita tinggali. Bahkan, ketika ini perceraian lantaran perkara ekonomi (uang) ataupun konflik orang tua & anak karena masalah uang jajan, semakin meningkat. Juga, tidak lagi terlalu mengherankan, jika seseorang diketahui bunuh diri atau membunuh orang lain lantaran urusan uang.
Saya ingin mengajak anda buat sejenak memandang uang menurut perspektif sejarah ini dia. Semoga bisa menaruh sedikit ide buat membantu kita memilih perilaku terhadap uang.

Alat tukar yang mempermudah hayati kita

Pada awalnya uang memang benar-benar sebuah alat untuk mempermudah & mengefisienkan proses tukar menukar. Dan nir seluruh proses tukar menukar memakai uang, cukup sering jua dilakukan proses barter.
Sistem barter memang memiliki beberapa persoalan mudah. Misalnya, suatu hari Pak Ujang ingin makan Ayam goreng. Ia memahami Bu Ratmi memiliki beberapa ekor Ayam. Untuk itu Pak Ujang mengajak Bu Ratmi menukar anak kambingnya menggunakan ayam Bu Ratmi.
Untuk melakukan pertukaran, Pak Ujang dan Bu Ratmi wajib menyepakati nilai barang masing-masing dibandingkan barang yg lain. Setelah berdiskusi keduanya sebenarnya sepaham bahwa anak kambing Pak Ujang, nilainya lima kali Ayam Bu Ratmi. Masalahnya Bu Ratmi hanya punya tiga ekor ayam. Nah lho ? Bingunglah keduanya.
Kemudian Pak Ujang mendapat gagasan baru : ?Bagaimana jika ayam Bu Ratmi ditukar dengan Itik aku ??. Setelah diskusi Bu Ratmi bersikukuh bahwa itik Pak Ujang adalah dua/3 nilai ayammya. Nah lho, gundah lagi mereka. Bagaimana pertukaran dilakukan ?
Ini baru beberapa dilema. Ada problem lagi, misalnya jika Bu Ratmi tidak menginginkan Itik ataupun Kambing. Kasihan benar Pak Ujang. Mau makan ayam goreng saja susahnya minta ampun?
Nah, hidup Bu Ratmi dan Pak Ujang akan lebih gampang dengan menggunakan indera tukar. Alat tukar itu sendiri nir perlu mempunyai nilai dan sanggup berupa apa saja. Bisa saja dipakai batu, rabat kayu, lembaran kertas, kain atau apapun. Yang krusial sekelompok orang yg tak jarang bertukar barang satu sama lain menyepakati penggunaannya.
Dengan menggunakan alat tukar, batu misalnya, Pak Ujang bisa dan Bu Ratmi mampu menyepakati bahwa Ayam bernilai 9 batu & Itik bernilai 6 batu, contohnya. Jadi Pak Ujang bisa mendapatkan seekor Ayam, menggunakan menaruh seekor itik ke Bu Ratmi ditambah 3 butir batu. Atau jika Bu Ratmi tidak menginginkan itik, Pak Ujang mampu saja memberikan 9 butir batu buat menerima Ayam. Bu Ratmi mampu menyimpan batu itu buat nantinya ditukar menggunakan baju yg dijual Pak Amir atau Tomat yang ditanam Bu Encih. Tentu selama semua orang itu juga setuju bahwa batu itu adalah alat tukar yg dapat diterima.
Alat tukar dalam bentuk apapun inilah yg kemudian kita namakan menjadi uang.

Berubahnya Makna Alat Tukar

Berkembangnya pemaknaan terhadap uang dapat kita telusuri dari sejarah kebudayaan di Eropa. Memang, konsep uang seperti yang kita pahami kini , mula-mula berkembang di Eropa, & kemudian menyebar ke semua dunia melalui kolonialisme.

Berkembangnya Perdagangan dan kaum bangsawan

Titik balik krusial pertama dalam pemaknaan akan uang adalah berkembangnya perdagangan dan kaum pedagang, terutama setelah emas dan logam mulia lainnya semakin luas diterima sebagai alat tukar. Kaum pedagang menemukan bahwa mereka dapat menumpuk banyak emas dengan kemampuan mereka mempermainkan nilai tukar barang (bahasa awamnya --> tawar menawar).
Meluasnya penggunaan alat tukar memberikan kebebasan lebih besar bagi para pedagang buat memainkan nilai tukar. Berbeda menggunakan barter, transaksi melalui uang nir melibatkan suatu barang secara fisik. Nilai suatu barang tidak ditinjau lagi nisbi terhadap benda lain (yg dipertukarkan), namun dalam dasarnya berdasarkan kesepakatan antara penjual & pembeli. Artinya si pembeli atau penjual dapat memanfaatkan permainan psikologis atau permainan apapun buat merekayasa nilai suatu barang. Emas sudah mulai membuka jalan kebebasan bertransaksi (baca : rekayasa nilai), secara luar biasa.
Selain itu menggunakan semakin meluasnya penggunaan emas menjadi alat tukar, para pedagang menemukan bahwa, menggunakan emas/perak mereka dapat memperoleh hampir apa saja yg mereka mau, berdagang menggunakan siapa saja, kapan saja dan pada mana saja. Kesempatan bagi mereka buat menaikkan kekayaan semakin terbuka. Ini tentu terkait pula menggunakan kemampuan mereka pada tawar menawar.
Tahun 1600-1700 merupakan puncak kejayaan kaum saudagar di Eropa. Kaum saudagar menemukan bahwa melalui emas-perak mereka dapat menumpuk kekayaan material & kekuasaan dengan jauh lebih cepat dan efisien daripada para tuan tanah. Ini membuat kelas pedagang mendapatkan posisi politik & ekonomi yg sangat bertenaga.
Inilah yang kemudian ini memicu diadopsinya budaya perdagangan oleh para penguasa politik waktu itu (raja-raja). Muncullah ajaran bullionisme, bahwa kemakmuran suatu negara ditentukan oleh jumlah emas dan perak yang dimilikinya. Inilah pandangan sentral dari Merkantilisme, yang didefinisikan sebagai "suatu sistem intervensi pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran nasional dan menambah kekuasaan negara ... Untuk mendatangkan lebih banyak uang ke dalam pundi-pundi raja, yang memungkinkannya membangun armada laut, mempersenjatai tentara dan menjadikan pemerintahannya ditakuti dan dihormati di seluruh dunia."
Munculnya kesepakatan yg semakin meluas akan logam-logam mulia menjadi alat tukar, memang sangat memungkinkan penumpukan uang menjadi sarana buat memperluas kekuasaan. Dengan memiliki banyak emas, anda bisa memperoleh apapun, berdasarkan manapun. Tentu saja termasuk buat membeli senjata.

Sinergi filsafat materialisme hedonis dan uang

Berkembang pesatnya kegiatan perdagangan & kaum bangsawan, didorong sang berkembangnya pandangan materialisme, mekanisme dan hedonisme yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes. Di mana Hobbes memperoleh argumentasinya berdasarkan pandangan materialistik dan mekanistik menurut revolusi ilmu pengetahuan yg terkait menggunakan nama-nama terkenal misalnya Copernicus & Newton.
Berdasarkan pandangan materlialistik dan mekanistik, Hobbes menyatakan bahwa insan adalah mesin yang digerakkan rasa suka dan rasa tidak senang individual. Dan itu seluruh adalah empiris objektif yg netral, buruk dan tidak buruk, sebagaimana pergerakan bintang-bintang pada langit atau benda yang jatuh ke bawah. Lantaran itu, adalah absah-absah saja & alami jika seorang mengejar kesenangan pribadi. Inilah dasar berdasarkan padangan hedonisme Hobbes.
Pandangan Hedonisme Materialistik ini membuka jalan pembenaran bagi bisnis penumpukan kekayaan. Menumpuk kekayaan merupakan absah lantaran tujuannya adalah mencari kesenangan langsung. Tanggung jawab moral menjadi tidak relevan lagi, karena tidak memiliki dasar objektif konkret. Tindakan mencari kesenangan itu sinkron menggunakan gerak alam, yg buruk dan tidak tidak baik. Rasa bersalah itu tidak konkret & hanya delusi.
Selanjutnya, alat tukar, misalnya emas & bentuk uang lainnya, membuka jalan bagi penumpukan kekayaan yang paling efisien. Selain mempermudah proses rekayasa nilai, emas jua membebaskan upaya penumpukan kekayaan menurut batas-batas fisik. Kekayaan tidak lagi terlihat sebagai tanah berhektar-hektar, yang semakin luas semakin, sulit jua dikontrol. Namun cukup dengan mempunyai gudang-gudang yg lebih gampang diawasi karena memakan loka jauh lebih mini . Jadi, daripada menumpuk kekayaan yg riil, kenapa kita tidak menumpuk indera tukarnya saja ?
Ini secara revolusioner membuka perspektif baru pada nafsu penumpukan kekayaan yang tidak terhingga. Semakin akbar uang yang dimiliki, semakin akbar juga kebebasan buat mendapatkan apapun pada dunia ini. Terciptalah jalan yang lebar dan tak berujung bagi pelampiasan nafsu hura-hura materialistik. Sebagian pakar beranggapan bahwa dalam prakteknya filsafat Hedonisme Hobbes lah yang berpengaruh paling akbar pada ekonomi terbaru daripada teori Adam Smith atau Marx.
Materalisme, prosedur & Hedonisme
Pandangan materialisme adalah salah satu pandangan penting yang mendorong terjadinya jaman pencerahan, di dunia barat. Yaitu jaman yang ditandai dengan bebasnya masyarakat dari dominasi agama dalam kehidupan[2].
Padangan materialisme ini dimulai dengan revolusi pada dunia ilmiah, sang para filsuf terkenal misalnya Copernicus dan Newton. Mereka menyusun teori, yang lalu mendapatkan bukti empiris, bahwa gerakan benda langit dan poly kenyataan lain pada bumi bisa diramalkan melalui perhitungan matematis. Ini lalu memunculkan pandangan bahwa seluruh kenyataan alam pada bumi ini diatur oleh hukum-hukum alam & bukannya sang ?Kehendak Allah?. Kalaupun ada Allah, dia hanya berperan dalam membentuk hukum-hukum alam itu saja. Inilah dasar dari pandangan mekanisme.
Pandangan ini kemudian diambil oleh para filsuf lainnya misalnya John Locke, yg keliru satunya menyatakan bahwa hanya rasio manusialah asal kebenaran. Kebenaran wajib dapat dicermati langsung secara fisik, yg lain merupakan delusi, tidak nyata. Inilah dasar menurut materialisme.
Pandangan ini secara revolusioner melucuti kiprah wahyu Allah sebagai acuan kebenaran. Ungkapan pada kitab kudus yg menyatakan bahwa Allah membentuk bumi ini seluruh itu baik adanya, diganti sebagai pandangan bahwa alam diatur sang aturan-hukum abadi yg netral, tidak baik & tidak jelek.
Lalu, kalau begitu bagaimana menggunakan insan ? Manusiapun dipercaya menjadi mesin yang diatur oleh hukum-aturan alam, yg terjadi begitu saja dan buruk atau nir jelek.
Lalu pada mana posisi kehendak, kesadaran atau moralitas ? Jawabannya merupakan semua itu nir terdapat lagi. Yang ada merupakan gerakan otak yg berjalan secara spontan. Hukum alam yang dianggap mengatur jalannya mesin manusia ini, sebagaimana diungkapkan Thomas Hobbes[3], merupakan rasa senang & tidak senang langsung. Tidak ada ukuran tentang baik dan tidak baik. Yang baik hanyalah apa yang menaruh kesenangan dan yg jelek adalah yg mengakibatkan penderitaan. Inilah dasar berdasarkan filsafat hedonisme yang menerima pembenaran baru dari materialisme dan prosedur[4].

Kolonialisme & Ekspansi Penggunaan Uang

Lepasnya batas-batas fisik terhadap nafsu menumpuk kekayaan yg bertransformasi menjadi nafsu menumpuk uang, mendorong terjadinya kolonialisme. Mula-mula sekali, para pedaganglah yg bertualang ke aneka macam penjuru global mencari barang yg mampu diperdagangkan. Misalnya, yg datang pertama kali ke Indonesia, bukanlah pemerintah Belanda tetapi VOC.
Mereka tidak terlalu pusing menggunakan memperluas wilayah kekuasaan. Kepentingan primer para pedagang merupakan mencari barang dagangan baru, yang bisa diperdagangkan. Atau, tepatnya barang yg dapat dikonversi menjadi uang (emas) buat terus mengisi pundi-pundinya. Dan, semakin langka atau sukar diperoleh suatu barang semakin mahal harganya.
Tetapi, kemudian muncul kesulitan teknis. Bagaimana mendapatkan barang-barang di daerah-daerah yg sudah dikuasai oleh penduduk asli itu ?
Mula-mula, mereka mencoba melakukan barter menggunakan membawa barang-barang menurut Eropa. Tetapi, nir poly barang berdasarkan Eropa yg diperlukan penduduk asli. Misalnya, mereka nir membutuhkan perhiasan & mempunyai persepsi nilai yang tidak sinkron pula. Lagipula, karena ekonomi penduduk asli lebih mementingkan nilai kesukuan dan korelasi, mereka tidak punya motivasi besar buat bertransaksi menggunakan orang asing.
Singkat cerita, setelah menerapkan poly taktik, termasuk menjual minuman keras, para pedagang mulai bermain ?Kasar?. Mereka berkolaborasi menggunakan negara untuk memanfaatkan kekuatan militernya. Ini merupakan salah satu awal permainan politik para pedagang, yang masih berlaku sampai kini .
Sekali lagi, memperluas wilayah kekuasaan, bukanlah hal yang penting bagi para pedagang. Tujuan mereka sebenarnya adalah : Dengan membuat suatu daerah menjadi wilayah jajahan suatu negara, maka mereka bisa memaksakan penduduk asli buat memakai alat tukar mereka. Caranya, menggunakan mewajibkan penduduk asli membayar pajak pada bentuk mata uang yg mereka keluarkan dan kendalikan.
Ini merupakan cara yg sangat jitu. Posisi ketua desa sebagai turun tingkatannya menurut menjadi pemimpin warga , sebagai sekedar pengumpul pajak warga . Orang desa harus melakukan aneka macam cara untuk mendapatkan uang. Mereka keluar kampung bekerja pada perkebunan-perkebunan penjajah. Dengan demikian, hubungan relasi hancur & perlahan diganti menggunakan interaksi pasar & kebergantungan pada pemilik uang.
Inilah kisah yg jarang terungkap tentang kolonialisme. Namun sangat penting peranannya bagi berkembangnya penggunaan uang & kebergantungan pada uang, yg kita rasakan pada dunia sekarang ini.

Ekonomi uang di jaman modern

Kolonialisme dan meluasnya penggunaan uang telah membentuk dunia yang sekarang kita hidupi. Kebergantungan kita pada uang bukanlah hasil dari proses alami, tetapi hasil dari move politik kaum pedagang yang mengeksploitasi sifat uang demi kepentingan mereka. Dan, sejak jaman kolonialisme negara sudah di dalam genggaman mereka, baik itu negara penjajah maupun negera yang terjajah.
Yang terjadi selanjutnya adalah semakin intensifnya proses integrasi uang dalam berbagai aspek kehidupan. Dan tentu saja, posisi politik para pedagang semakin kuat & permainan politik mereka semakin intensif & canggih. Pandangan neoliberal adalah pandangan politik ekonomi yang dikembangkan untuk semakin menginternalisasikan uang & aktivitas perdagangan dalam kehidupan politik. Yang tentu saja, akan semakin memperkuat posisi para pedagang.

Revolusi Industri & Munculnya kelas investor : Tuan Uang

Keberhasilan kaum pedagang pada memanfaatkan meluasnya penggunaan uang & kemampuan khusus mereka dalam merekayasa nilai barang, memungkinkan mereka mengakumulasi uang dalam jumlah melimpah. Menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana cara yg paling efektif buat meningkatkan kekayaan dengan memanfaatkan aset uang mereka yang melimpah itu. Adakah cara lain yg lebih ?Menyenangkan? Selain berdasarkan sebagai pedagang ?
Berkembangnya revolusi Industri menaruh peluang kegiatan ekonomi baru. Tetapi sebenarnya para pedagang tidak mempunyai minat tinggi buat membuat & mengelola suatu pabrik. Kegiatan ini terlalu dikotori sang oli mesin & para buruh yg bau & jorok.
Nah, jikalau tuan tanah dulu menyewakan tanah mereka, kemudian tinggal ongkang-ongkang kaki hayati glamor dari hasil bumi, kenapa kita tidak sanggup menyewakan uang & selanjutnya tinggal ongkang-ongkang kaki jua?
Mulailah para pemilik uang meminjamkan uang pada para wirausaha, suatu aktivitas yg lalu kita sebut menggunakan investasi. Meminjam & membungakan uang bukanlah aktivitas yg baru dalam sejarah insan. Namun, investasi melalui industri menjanjikan laba yg lebih besar tanpa kegiatan berdagang yang melelahkan. Cukup menggunakan memanfaatkan kekuatan uang yg mereka miliki, mereka dapat menguasai dalam pengusaha, yg selanjutnya akan membentuk uang poly bagi mereka, tanpa harus berpeluh & berkonflik dengan para buruh.
Dengan demikian, muncullah kelas baru pada warga yaitu para investor, yg mampu saja kita sebut sebagai Tuan Uang karena mereka hayati berdasarkan menyewakan uang.

Lembaga-forum uang : Money Inc.

Akhir abad 19 & abad 20, ditandai menggunakan berkembangnya banyak sekali bentuk lembaga keuangan.
Pemerintah, perlahan-perlahan bertransformasi menjadi lembaga pengelola uang. Persoalan moneter semakin sebagai pekerjaan yang menghabiskan saat pemerintah. Sampai-sampai ketika ini posisi menteri keuangan dan Bank Sentral sanggup sebagai lebih bertenaga dibandingkan presiden. Apalagi jika dibandingkan menggunakan menteri-menteri lain seperti menteri kesehatan, lingkungan, pendidikan, kebudayaan. Lihat saja pengaruh Alan Greenspan, Gubernur Bank Sentral Amerika.
Aktivitas investasi memunculkan Bank sebagai lembaga yg spesifik mengurus peminjaman uang buat investasi. Lembaga ini membuka jalan petualangan yang baru bagi para pedagang, yaitu menumpuk lebih banyak uang menggunakan memperjualbelikan uang yg sudah mereka miliki.
Di atas seluruh itu, ada pula lembaga baru yang membuat ekonomi berbasis uang menjadi semakin secara umum dikuasai dan semakin militan, yaitu perusahaan terbuka. Perusahaan terbuka dimiliki sang para investor yang menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Ini adalah perkembangan lebih lanjut berdasarkan apa yg telah terjadi dari masa revolusi industri.
Saat ini semua perusahaan memiliki struktur dasar yang sama, yaitu terdiri menurut pemilik dan manajemen. Namun, tidak sinkron dengan perusahaan perorangan maupun famili, hubungan antara manajemen menggunakan menggunakan investor hanyalah terkait menggunakan penumpukan modal. Tidak ada keterkaitan personal.
Nihilnya keterkaitan personal antara pemilik & perusahaan semakin diperkuat dengan berkembangnya pasar modal. Melalui pasar modal, kepemilikan seseorang terhadap perusahaan bersifat ad interim. Tepatnya, selama penanam modal masih menerima laba. Bila sebuah perusahaan tidak lagi menguntungkan, modal akan ditarik segera.
Bangkrutnya sebuah perusahaan tidak dipedulikan investor, yang penting uangnya selamat. Investor juga biasanya tidak peduli bagaimana cara perusahaan mencari uang, yang penting untung. Sekali lagi, ini merupakan perwujudan dari filsafat materialisme Hobbes. Don’t take it personally man ! Welcome to the money world !
Terciptalah sebuah lembaga dengan satu tujuan, menghasilkan laba. Manajemen perusahaan selalu menghadapi tekanan buat tidak saja mencegah kerugian, tetapi menaikkan keuntungan dari tahun ke tahun. Kalau tidak, mereka akan kehilangan pekerjaan. Begitulah, para pengusaha & manajer perusahaan, orang-orang yg harus berpeluh mengoperasikan & mengelola kegiatan produksi, dipaksa semakin tunduk dalam kekuatan uang para investor.
Diabaikannya moralitas sekarang bukan saja ditopang sang filsafat hedonisme materialistik-mekanistik, tetapi jua sang keterpaksaan struktural. Bila sebuah perusahaan merusak lingkungan atau menyogok birokrat, pengelolanya akan berkata, ?Harus bagaimana lagi, kita dituntut buat mencari laba?. Sedangkan, para penanam kapital menyatakan bahwa mereka nir bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan perusahaan. Dan, memang secara hukumpun demikian, para investor nir mempunyai tanggung jawab terhadap kemana modal ditanamkan.
Perusahaan terbuka (Korporasi) bisa dikatakan sebagai the institution of the century. Pengaruhnya lebih besar dari institusi apapun, termasuk negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semua tunduk pada hukum korporasi. Kenyataannya, sehari-hari kita semakin terbiasa mendengar bahwa tugas utama pemerintah adalah menarik investor dan mencegah investor melarikan modalnya. Dan untuk itu, buruh, petani dan alam telah dikorbankan.

Konsumerisme : hedonisme pada masa ini

Pandangan hura-hura materialistik mekanistik membuka area baru pada cara menumpuk kekayaan. Keterbatasan aktivitas perdagangan adalah kebutuhan seseorang. Bila kebutuhan seseorang terpenuhi kegiatan perdagangan terhenti. Akibatnya, terhambatlah peluang pedagang menaikkan aset uangnya.
Filsafat hedonisme kembali dimanfaatkan oleh para pedagang. Kesenangan seseorang tidak ada batasnya. Bila semangat mencari kesenangan membara, peluang memperdagangkan barang terbuka lebar. Barang-barang yang tidak terlalu bermanfaat seperti, perhiasan, kosmetik, junk food dan segala bentuk barang mewah, menjadi barang dagangan dengan nilai tinggi. Inilah dasar dari berkembangnya semangat konsumerisme. Konsumerisme sangat dibutuhkan untuk memungkinkan terjadinya perdagangan[5]. Terlebih lagi di jaman modern ini, di mana kolonialisme fisik sudah diharamkan.
Karena itulah, para pedagang bekerja keras membuatkan gaya hayati hedonis ke seluruh pelosok dunia. Melalui iklan, model-model manis dan gambaran hayati gemerlap, dipromosikan secara gencar. Dengan demikian pedagang telah memperluas kegiatannya menurut merekayasa nilai barang pada merekayasa kebutuhan hidup insan. Tentu, ini demi memperluas kegiatan perdagangan itu sendiri. Saat ini pengeluaran global buat iklan semakin mendekati pengeluaran buat militer.




[1] yang dimaksud di sini secara khusus memang yang diklaim dengan kaum Cina Perantauan, yaitu gerombolan orang Cina yang mengadopsi budaya perdagangan, yg paradoksal menggunakan orang Cina pedalaman yang mengadopsi budaya agraris feodal, sehingga lebih seperti dengan budaya Jawa.
[2] Masa-masa di mana orang Eropa berada dalam kekuasaan agama biasa disebut abad pertengahan atau abad kegelapan (Dark Age)
[3] seorang filsuf (1588-1679)
[4] Dengan demikian, pandangan Kristiani buat ?Menderita bagi orang lain dan kebenaran?, atau pandangan Jihad buat ?Mengorbakan jiwa bagi keyakinan?, sebagai absurd pada pandangan Hedonisme.
[5] Dan pada dalam perdagangan ada peluang besar buat memainkan nilai barang, yang sebagai wahana utama buat memanfaatkan uang untuk menumpuk kekayaan.







































































[Masalah Kita] PENGHARGAAN UNTUK PEKERJA LEMBAGA NIRLABA (AKTIVIS)

Ketika pengasuh buletin ini meminta aku buat menulis pendapat mengenai honor atau gaji yg layak untuk pekerja forum nirlaba atau para aktivis, saya kontan teringat beberapa pengalaman. Baik pengalaman aku sendiri maupun sahabat-sahabat, terkait dengan tema ini yg kadang-kadang jadi ?Sensitif?. Berikut aku bagikan pengalaman tadi yang mungkin bisa menjadi gambaran pendapat aku tentang gaji aktivis atau pekerja forum nirlaba.

Bekerja demi idealisme
Beberapa tahun yang silam, saya bekerja pada sebuah forum yg bergerak di berita HAM. Buat saya yang masih nebeng orang tua & tempat kerja yang tidak terlalu jauh menurut rumah, gaji yang saya terima relatif buat memenuhi kebutuhan aku selama sebulan. Saya pula masih dapat mengangsur premi jiwa menggunakan iuran pertanggungan yang paling rendah.

Namun buat teman-teman lain yang sama posisi dan gajinya dengan saya, namun telah berkeluarga atau hidup berdikari, honor itu sudah tentu nir bisa memenuhi kebutuhan hayati mereka. Meski yang paling sederhana sekalipun. Mereka harus membayar kontrakan, kost, atau mencicil rumah. Ke-terpepet-an itu akan tambah terasa saat dirinya atau anggota keluarga sakit. Mudah ditebak, staf bagian keuangan lembaga tidak hanya mengelola keuangan dari donor, namun juga berfungsi sebagai ?Forum kredit? Terhadap pekerja yg meminjam uang. Ketika tahun berikutnya para pekerja mengajukan kebijakan kenaikan honor ?Mengingat harga-harga juga mulai naik - dan adanya fasilitas seperti asuransi kesehatan. Para pimpinan menjawab bahwa, lembaga loka kami bekerja merupakan forum nirlaba yang bekerja untuk humanisme. Dengan karakter forum seperti itu, nir pantas kami mengajukan permintaan-permintaan tadi. Para pimpinan selanjutnya mengungkapkan, kami terlalu membandingkan situasi kerja kami menggunakan lembaga profit yg menaruh honor akbar & fasilitas yang poly.

Jawaban mereka membuat kami kecewa. Sudah tentu kami tidak meminta kenaikan honor yang besar , namun setidaknya disesuaikan menggunakan kondisi ekonomi saat itu. Perkara fasilitas seperti asuransi kesehatan, kami anggap jua masuk akal. Jangan hingga kami yang bekerja buat informasi kemanusiaan, akan namun kami sendiri mengalami dehumanisasi lantaran nir bisa menjaga kesehatan atau berobat ketika sakit. Tidak seluruh pekerja berasal menurut keluarga sanggup yang sanggup meminta tolong pada orang tua atau saudaranya waktu mereka mengalami kesulitan keuangan. Bukan lantaran kami nir dapat atau tidak sanggup mencari pekerjaan lain maka kami tetap bertahan di lembaga tadi, namun justru lantaran kami memiliki idealisme atau setidak-tidaknya bahagia dengan pekerjaan itu. Akan namun, idealisme & komitmen itu tidak lantas dijadikan bahan kesewenang-wenangan atau pengabaian hukum energi kerja sang pimpinan buat mengabaikan hak-hak kami sebagai pekerja yang ingin mensejahterakan dirinya & keluarganya.


Lembaga tempat dulu aku bekerja nir sendirian. Di forum lain, poly curhat pekerja yang saya dapati tentang info honor ini. Dari gaji yang dibawah UMR (terutama buat pekerja administratif atau yg di bagian umum), nir ada kenaikan honor ? Padahal beban kerja terus bertambah dan harga-harga pasar terus melambung, hingga pada curhat minta dicarikan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan.


Kesejahteraan Pekerja
apabila menyampaikan cukup tidaknya honor , maka nyaris seluruh pekerja akan mengatakan tidak cukup. Standar dan kebutuhan kehidupan setiap orang tentu akan berubah atau meningkat. Namun waktu patokannya buat kelayakan dan kesejahteraan pekerja, maka beberapa komponen harus diperhatikan. Setidak-tidaknya menggunakan honor yang diterimanya pekerja bisa memenuhi kebutuhan dasarnya menggunakan layak. Misalnya, pekerja dapat memenuhi kebutuhan pangannya menggunakan memenuhi baku asupan gizi yang sesuai. Sehingga pekerja tadi dapat bekerja dengan optimal atau minimal tidak mudah sakit sebagai akibatnya bisa menuntaskan pekerjaannya. Bukankah itu suatu laba juga bagi lembaga? Kebutuhan akan tempat tinggal, jua harus diperhatikan. Hal ini bukan berarti forum wajib menyediakan fasilitas kredit cicilan tempat tinggal . Namun perlu diperhatikan honor diperlukan bukan sekedar orang dapat makan buat hayati. Hidup juga perlu tempat bernaung. Jangan sampai pekerja mondok pada kantor dengan alasan berhemat pengeluaran atau lebih parah lagi lantaran gajinya tidak cukup buat menyewa kamar atau tempat tinggal .


Mengulang pengalaman yg telah aku tuturkan di atas, hendaknya gaji juga relatif untuk memenuhi kebutuhan keluarga bagi pekerja & keluarganya, atau minimal terdapat residu gaji yang bisa ditabung. Sehingga tidak perlu pekerja membolos atau merogoh perlop buat mencari tambahan uang pada luar tempat kerja karena pusing memikirkan porto sekolah anak. Bukan suatu tindakan yg bijaksana buat berasumsi bahwa seluruh pekerja mempunyai pasangan yg jua bekerja menggunakan pendapatan yang memadai buat menyokong famili atau mempunyai latar belakang famili menurut syarat ekonomi yg mapan.


Fasilitas asuransi kesehatan atau tempat tinggal sakit bagi pekerja mungkin terdengar glamor bagi beberapa lembaga. Namun kenyamanan seperti itu bisa menaikkan kinerja pekerja yg merasa damai karena tahu apabila beliau sakit, biaya itu bisa ditanggung beserta kantor. Tidak lucu juga kan, setiap kali terdapat pekerja yang dirawat di tempat tinggal sakit lantas semua staf pada kantor itu disodori edaran amplop sumbangan? Daripada repot-repot misalnya itu, persiapkan saja fasilitas iuran pertanggungan.


Semua yg aku tulis di atas mungkin tepat buat pekerja permanen suatu forum. Bagaimana menggunakan volunteer atau pekerja paruh saat? Sama saja. Honor mereka hendaknya layak & sepadan dengan pekerjaan yang mereka lakukan, diubahsuaikan menggunakan tingkat kesulitan pekerjaan dan tantangan yg dihadapi. Seorang teman yg sebagai volunteer di suatu organisasi pernah berseloroh: ?Kita pada sini bekerja sebagai relawan. Artinya, kita bekerja menggunakan rela. Tapi apabila sudah tidak rela, kita melawan!?


Menghargai Pekerja
Di atas itu seluruh, memberikan honor yg layak merupakan keliru satu bentuk penghargaan terhadap pekerja. Jangan hingga kerelaan pekerja diartikan menjadi diperlakukan semau gue oleh pimpinan. Atau ya itu tersebut, bekerja buat isu humanisme akan tetapi malah di-dehumanisasi.


























[Opini] Absurdnya Ekonomi Uang

Banyak orang kini yg menyatakan bahwa kegilaan pada uang merupakan hidup yg realistis. Kita kini tidak bisa hayati tanpa uang. Betulkah ? Apakah uang dapat kita makan atau mengobati kita dari penyakit ?
Jika anda terperangkap sendirian di sebuah pulau kosong di tengah lautan luas, dengan segudang uang atau emas, apakah uang bisa membantu anda hayati ? Paling-paling uang kertas hanya sebagai kertas tissue, uang logam buat mainan anak-anak dan emas tidak lebih dari sebuah batu. Kenyataannya yang sahih adalah, kita nir bisa hayati tanpa kuliner, tanpa air dan tanpa udara.
Uang, nir mempunyai nilai pada dirinya sendiri bagi manusia. Uang hanya bernilai pada waktu suatu komunitas menyepakatinya sebagai indera tukar. Ya, nilai uang merupakan murni output mufakat sosial.
Kegilaan pada penumpukan uang membawa kita pada situasi yang absurd.

Absurditas yang paling kuno adalah perburuan terhadap logam mulia[1], yg adalah keliru satu pendorong primer kolonialisme. Logam mulia sebagai bernilai lantaran dipakai sebagai wahana pertukaran, bukannya karena bermanfaat bagi kehidupan manusia. Tentu kita jangan lupa kisah-kisah perburuan emas di Amerika, begitu poly orang yg sudah sebagai korban dalam perburuan logam mulia yg absurd ini.

Kekacauan Penilaian

Di luar absurditas antik itu, ekonomi berbasis uang saat ini telah membentuk kekacauan kemampuan kita melakukan evaluasi. Kegilaan kita buat menumpuk lebih poly uang telah menciptakan kita menghancurkan jutaan hektar hutan yang kaya akan kehidupan. Pertanyaannya, pada ketika semua hutan sudah rusak, uang yg kita kumpulkan akan kita pakai buat apa ? Ini bukan dilema ayam atau telur, lantaran jelas hutan, huma yg fertile, sungai yg sehat jauh lebih bernilai berdasarkan setumpuk uang kertas.
Saat ini barang-barang glamor, misalnya perhiasan dan kosmetik, dipercaya lebih bernilai dibandingkan kuliner yg sehat. Sebagian besar dana buat penelitian farmasi digunakan buat membuatkan kosmetik dan bukannya untuk menyebarkan obat bagi penyakit yg mengancam nyawa seorang misalnya malaria atau kanker. Mana yang lebih krusial, nyawa seorang atau paras putih yg higienis menurut jerawat ?
Penilaian kita terhadap suatu barang-barang mewah itu bukanlah nilai yang alami. Itu adalah nilai-nilai yg diciptakan melalui rekayasa persepsi yg sophisticated, dengan memanfaatkan semangat hedonis. Suatu taktik klasik para pedagang. Tujuannya tentu adalah buat memompa perdagangan, karena perdaganganlah sarana primer buat menumpuk uang.
Banyak pendukung ekonomi perdagangan dan uang, yang versi canggihnya bernama Neoliberalisme atau pasar bebas global, menyatakan bahwa ekonomi neoliberalisme akan mendorong alokasi sumberdaya secara rasional. Namun, dalam kenyataannya tidak demikian, kita justru mengalokasikan sumberdaya ke hal-hal yg nir bermanfaat, bukannya pada hal-hal yang mendasar bagi kehidupan kita.

Memperkaya Diri Dari Kelangkaan

Karena ekonomi uang dikembangkan buat kepentingan para pedagang, logika pedagang menjadi berperan krusial. Salah satu cara pedagang dalam merekayasa nilai barang adalah menggunakan memanfaatkan kelangkaan. Ini versi yang lebih telanjang dari hukum penawaran-permintaan.
Kolonialisme berkembang salah satunya buat mencari barang-barang yang langka. Walaupun barang langka itu tidak terlalu bernilai bagi kehidupan, contohnya perhiasan atau bumbu masak, namun para pedagang memaksakan harga mahal untuk barang itu menggunakan alasan bahwa itu barang langka.
Lantaran barang yg langka bisa dijual menggunakan harga yg lebih mahal, tidak menjadi persoalan atau justru baik jika kita mencemari sungai & merusak hutan-hutan. Air bersih melimpah tidak terdapat harganya bagi perdagangan, tetapi jika air higienis semakin langka, muncullah bisnis dagang air. Tidak heran jikalau di tengah kerusakan alam kini ini, para investor mulai sibuk mengembangkan investasi pada sektor air. Air yg langka menjadi bernilai pada ekonomi uang. Mungkin hal yang sama akan terjadi dalam udara higienis.
Contoh lain, hancurnya lahan hijau kota atau tercemarinya sungai dan pantai di dekat rumah kita, tidak menjadi persoalan bagi para pedagang. Bila alam di sekitar tempat kita rusak, semakin banyak orang yang harus menempuh perjalanan jauh untuk berwisata. Artinya, semakin berkembang pula bisnis wisata (tepatnya, perdagangan objek wisata). Demikian pula, tempat yang alami dan berudara bersih sekarang dijual sebagai lokasi real estate dengan harga mahal.
Dunia ini telah terkurung oleh nalar pedagang. Lantaran itu, jangan heran bila kita begitu sulit memperoleh dana buat kegiatan pelestarian alam. Jika sumberdaya alam kembali berlimpah, habislah peluang berdagang.

Pendarahan Ekonomi Lokal

Para petani sekarang pun harus menjalani kehidupan yang absurd. Sebelumnya mereka menyimpan hasil panen untuk makanan mereka sendiri. Namun mereka diajarkan untuk menyimpan uang di bank. Akibatnya mereka harus menjual hasil panennya untuk mendapatkan uang, yang kemudian mereka belikan makanan.
Konversi suatu barang sebagai uang, dan membelinya kembali, nir akan pernah efisien. Untuk proses jual beli, kita wajib membayar biaya perdagangan & para pedagangnya, yg umumnya mengambil laba besar . Akibatnya para petani sebenarnya merugi. Jumlah beras yg mampu kita beli tidak akan sama menggunakan jumlah beras yang sudah kita jual.
Bagi petani, atau desa di mana petani tinggal, jelas ini merupakan ekonomi yg nir efisien & hanya menguntungkan para pedagang. Banyak petani pada wilayah-wilayah lumbung padi yang kelaparan karena nir bisa membeli kuliner. Jelas ini cara yang absurd pada menjalankan ekonomi.
Ekonomi yang absurd dari sudut pandang lokal ini, sebenarnya terjadi karena pertanian dimanfaatkan untuk mendukung ekonomi perkotaan. Sekali lagi ini kepentingan kaum pedagang dan industrialis. Petani didorong untuk menjual makanannya ke kota , agar mereka memperoleh makanan tanpa harus menanamnya sendiri. Ini kebiasaan para investor yang ingin memperoleh sesuatu dengan ongkang-ongkang kaki[2].
Lebih jauh lagi, dengan banyak sekali cara, harga makanan dipaksakan buat tetap rendah. Dengan demikian, porto operasional kegiatan perdagangan & industri bisa ditekan. Sekali lagi, ini proses pengacauan penilaian.
Persoalannya sebagai lebih sulit ketika orang-orang desa digoda oleh kemewahan kehidupan perkotaan. Mereka membutuhkan uang buat membeli barang-barang glamor. Ini semakin mendorong petani atau suatu desa untuk menjual output buminya daripada menyimpannya buat kebutuhan sendiri.






[1] yang kemudian pada global terbaru digantikan sang uang.
[2] Ini yang dianggap sang penulis kitab ?Rich Dad Poor Dad? Sebagai ?Kebebasan finansial?.



























Senin, 20 Juli 2020

[Media] Ulasan Buletin “BUJET”

Judul Buletin : Bujet
Penerbit : Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) dan Fors Foundation (FF)
Pemimpin Redaksi : Dedi Haryadi
Alamat redaksi : Jl. Kidang Pananjung No. 5C, Bandung, 40135. Telp/Fax (022) 250 1954, (022) 7078 7931
Email : bujet@bdg.centrin.net.id

Persoalan anggaran merupakan persoalan riil di depan mata yang kasat mata. Pada umumnya orang akan cenderung menutup mata, pura-pura tidak tahu, bahkan tidak mau tahu dan menganggap bahwa persoalan anggaran merupakan persoalan yang tabu untuk dibahas secara terbuka. Sebagian kecil orang yang mempunyai keingintahuan yang besar dan mengambil sikap kritis justru seringkali dianggap sebagai “tukang ikut campur”. Sebagai akibat dari pengekangan rasa ingin tahu dan kekritisan terhadap anggaran, kita bisa melihat bagaimana penyelewengan anggaran tumbuh dengan suburnya, mulai dari tingkat yang terendah hingga tingkat yang paling tinggi. Tentunya ada faktor-faktor lain yang turut memupuk suburnya penyelewengan tersebut, seperti belum terbangunnya budaya transparansi, dan sebagainya.


Bujet, yang mengambil icon sebagai satu-satunya buletin anggaran, merupakan salah satu media yang bisa menjadi jembatan untuk membangun daya kritis masyarakat terhadap anggaran publik, khususnya untuk daerah Jawa Barat. Buletin yang hadir sekali dalam sebulan ini merupakan sajian yang sarat dengan data, fakta, dan uraian yang berkaitan dengan anggaran di wilayah Jawa Barat. Setiap edisi mengangkat tema-tema yang berbeda. Beberapa rubrik yang mengisi buletin ini antara lain Laporan Utama, Laporan Khusus, Artikel, Kolom, Kronik, Tokoh Bujet, Parade Foto, dan Resensi.


Laporan Utama pada buletin ini menyajikan berita-berita hangat terkait dengan tema yang diangkat pada edisi yang bersangkutan. Berita yang dimuat cukup menggambarkan berbagai macam pandangan dari berbagai pihak dan berbagai sudut mengenai topik tertentu. Pada edisi pertama tahun 2006 yang mengambil tema “Pajak Hotel dan Restoran di Kota Bandung”, Bujet menyuguhkan ulasan yang begitu variatif untuk Laporan Utamanya. Mulai dari sisi pengusaha, Dispenda Kota Bandung, Komisi B DPRD Kota Bandung, hingga PHRI Jawa Barat dan PHRI Kota Bandung. Yang tidak kalah menariknya adalah disertakannya data mengenai potensi hotel berbintang dan restoran yang ada di Kota Bandung.


Tidak berlebihan rasanya jika dikatakan bahwa Bujet merupakan buletin yang mampu membuka cakrawala wawasan kita mengenai anggaran. Selain membungkus berbagai informasi-informasi penting, Bujet secara khusus selalu menyisipkan turunan dari ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan anggaran publik, yang telah dibuat oleh pemerintah, seperti Surat Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, Surat Keputusan Walikota dan sebagainya. Dengan demikian setiap pembaca dapat membandingkan secara langsung realitas yang ada dengan aturan yang sudah dibuat sekaligus mengkritisi aturan-aturan tersebut.


Kolom dan Artikel merupakan ruang bagi individu-individu yang ingin menyuarakan gagasan, pendapat, uneg-uneg atau keprihatinan mengenai fenomena-fenomena faktual dalam konteks yang lebih luas. Dengan gaya bahasanya yang unik, setiap penulis mencoba menggugah nurani dan kepedulian pembaca untuk turut memberikan perhatian pada hal yang diangkat. Untuk Tokoh Bujet diangkat hasil wawancara dengan profil-profil individu yang dengan caranya masing-masing, mencoba berjuang untuk mencapai kondisi ideal yang dicita-citakannya.


Dalam Kronik, Bujet lebih banyak menyoroti perkembangan kasus-kasus yang terjadi di sekitar Kota Bandung dan Jawa Barat. Sedangkan lensa Parade Foto mampu memotret detil dari sisi-sisi Kota Bandung, aktivitas dan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di bagian akhir dari buletin ini dimuat Resensi dari berbagai buku yang dianggap berbobot dan layak untuk dibaca.


Secara keseluruhan buletin ini sangat menarik, baik dari tampilan halaman mukanya, ilustrasinya, maupun tata letaknya. Variasi ilustrasi yang cukup banyak dan proporsi antara informasi dan ilustrasi yang cukup seimbang membuat pembaca tidak jenuh meskipun informasi yang disampaikan begitu banyak. Sayangnya konteks yang diangkat oleh buletin ini masih terfokus untuk wilayah Jawa Barat. Namun setidaknya buletin ini bisa menjadi contoh nyata dari peran media dalam mewujudkan masyarakat yang lebih kritis dan kondisi bangsa yang lebih baik. Buletin ini sangat cocok dibaca oleh pihak manapun yang haus akan informasi mengenai berbagai hal terkait dengan anggaran publik.
(Lisa Ekawati)
























[Profil] Aviva Nababan

Berbeda menggunakan Yati, Aviva Nababan (biasa dipanggil Avi atau Iva oleh orang-orang terdekatnya) adalah seseorang jebolan Fakultas Pendidikan Sastra Inggris menurut Universitas Atmajaya. Sedari kuliah Avi acapkali terlibat dalam kehidupan aktivis. Menapaki trotoar panas & mengeluarkan aspirasi mahasiswa di era Reformasi ikut digelutinya. Setelah lulus, sedikit melenceng dari jurusan yang diambilnya ketika kuliah, Avi sempat terlibat relatif pada pada ELSAM, sebuah LSM yg menyoroti duduk perkara Hak Asasi Manusia. Tak relatif di ELSAM, Avi pun turut membidani kelahiran suatu Yayasan baru yang keprihatinannya adalah pendidikan kritis bagi kaum belia. Di yayasan yang diberi nama Association for Critical Thinking ini, Avi mendedikasikan ketika dan energinya secara cuma-cuma.

Menunggu dua tahun selepas lulus kuliah S1, Avie berhasil menggondol beasiswa ke London buat mengusut International Relationship melalui Chevening Scholarship. Minatnya pada transitional justice mulai terwadahi. "Gue selalu merasa transitional justice itu penting dalam mensukseskan transisi suatu negara menurut dictatorship ke demokrasi," tuturnya lugas. Minat pada hal inipun sudah dipendamnya sejak beliau masih belajar untuk menjadi guru.


Entah karena minat yg beliau miliki semenjak kuliah, sejak lulus, Avie belum pernah terjun ke dunia 'coorporate'. Sampai sekarang dia masih bergabung pada ACT. Namun satu organisasi belum cukup memuaskan sosok Avie yang tak sanggup membisu. Dia pun bergabung di ICTJ dan Human Rights Centre Berkeley. Meskipun sejarah hidupnya diwarnai menggunakan kehidupannya berdasarkan satu LSM ke LSM lain, Avie mengakui bahwa dia hanya ingin bekerja part time pada banyak sekali organ??Organisasi?? Yang beliau geluti sekarang. "Agar nir bosan dan punya keleluasaan menentukan pada proyek," alihnya. Dengan statusnya kini , Avie bebas memilih jam kerja dan berapa usang dia bekerja sehari. Terkadang saat jiwa workaholicnya kumat, beliau sanggup bekerja lebih menurut 12 jam sehari. Tetapi, disaat tertentu, dia sanggup berdiam seharian di rumah buat menikmati dirinya sendiri.
Dari kedua loka dimana Avie berafiliasi, beliau berhasil menerima keamanan finansial. "Cukup, relatif.." tuturnya. Tanpa perlu mendapatkan subsidi malahan justru menaruh subsidi dalam keluarganya, seseorang Avie membeberkan manajemen keuangannya. Dari jumlah dua-lima juta/bulan yg niscaya dia dapatkan (belum termasuk pekerjaan lepasan yg bersifat per proyek yg tidak tentu nominalnya), 30% dia berikan untuk famili, 30% buat tabungannya dan sisanya buat keperluan sehari-hari.


Salah satu saluran pembuangan keuangannya merupakan kitab . Beberapa juta niscaya beliau habiskan pertahun buat membeli buku. "Tak pernah terdapat budget pasti, tetapi ada beberapa juta." urainya. Beredar pada TIM, ISAI dan Q-B buat mencari kitab -kitab bagus acapkali dilakoninya. Dia sendiri mengatur buku-bukunya di rumah, terdapat buku-buku aturan (tentunya), sastra, novel suspense & banyak sekali jenis buku lain yang beliau beli tergantung moodnya waktu itu.


Waktu pada luar pekerjaannya sering di habiskan buat menjaga kesehatannya di fitness center. Selain itu beliau masih acapkali berkunjung ke tempat kuliahnya dulu. Avi pula bisa ditemukan di warung-warung indomie tempat temannya nongkrong atau pada caf?-caf? Karena dia adalah sesosok penggemar kafein.


Orang tuanya tidak berkeberatan melihat anaknya bergerak pada dunianya kini ini. Begitupun seorang lelaki yang dekat dengannya beberapa tahun ini. Malahan ungkapnya, "kekasihnya yang beranjak pada bidang BUMN terlihat ingin bekerja tampaknya." Itulah sosok seorang Avie, yg sampai ketika ini masih tetap konsisten menjalani minatnya, menuju negara yg demokratis.














[Profil] Yati (CL UPC): “Kita tidak perlu takut pada pemerintah”

Bicaranya ceplas-ceplos dengan logat Tegal yang masih kental, serta selalu berusaha membuat suasana gembira. Dialah Yati, perempuan kelahiran Tegal pada 20 Juli 1973. Walaupun cuma jebolan sekolah dasar, tapi Yati tidak berhenti untuk selalu belajar. Umur tiga tahun dibawa orang tuanya ke Jakarta, tapi kembali ke Tegal ketika umurnya tujuh tahun untuk disekolahkan di desa. Dia dititipkan dengan neneknya di desa untuk sekolah, karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah di Jakarta. Tapi pengalaman hidup di desa itu juga yang mengajari dia untuk bekerja keras. Umur tujuh tahun sudah membantu neneknya mengumpulkan padi yang tercecer di sawah dari hasil panenan para petani. Kemudian padi itu ditumbuk dan jadi beras, untuk akhirnya dijual atau digunakan sendiri.

Yati memang berasal dari keluarga miskin. Almarhum bapaknya dulunya pedagang kerupuk keliling, sedangkan emaknya sebelum jualan sayur di pasar adalah kuli penumbuk beras yang dijadikan tepung. Tapi emaknya rajin menabung sehingga dari kerja menumbuk beras uangnya bisa digunakan sebagai modal jualan sayur di pasar dan membeli sepetak kamar di Kebun Jeruk Timur, Jakarta Timur.


Tahun 1984 Yati kembali ke Jakarta dan bekerja membantu emaknya jualan di pasar jalan Kebun Jeruk Timur, Cipinang Besar Utara. Ketika hari-harinya sibuk dengan jualan itu, dia ketemu dengan seorang pemuda yang memikat hatinya. Yati menikah pada usia 15 tahun dengan pemuda dari Brebes bernama Rebon Rio pada tahun 1988. Dengan Rebon Rio, Yati dikaruniai tiga orang anak. Anak pertama bernama Qori Fitrian, kelas dua SMA. Yang kedua bernama Wawan Rianto, kelas tiga SMP, dan yang bungsu bernama Dewi Nurwinda, kelas 1 SMP.


Karena tidak ingin tergantung dengan orangtuanya, Yati mencoba berdagang sendiri, sedangkan suaminya mencoba jualan bubur ayam. Awalnya dia berdagang buah pisang, tapi usaha dagang pisangnya tidak bertahan lama karena suami sering sakit dan modal dagang dipakai untuk bayar biaya berobat. Untuk membiayai hidup keluarga, dia akhirnya menjadi buruh cuci pakaian sampai sekarang. Pendapatan suaminya waktu jualan bubur sekitar 60 ribu/hari. Tapi dari penghasilan tersebut digunakan untuk modal dagang lagi, dan sisanya baru dipakai untuk makan atau kebutuhan sehari-hari. Jika memang tidak ada sisa, maka keluarga Yati mengandalkan pemenuhan kebutuhan dari hasil jasa mencuci pakaian. Kalau pun masih kurang, biasanya dia hutang dulu ke tetangga dan membayarnya menunggu hasil jasa cucian berikutnya.


Kehidupan kelurganya memang susah, tapi tidak menyurutkan semangat Yati untuk memperbaiki kehidupan dirinya dan masyarakat sekitar. Dia menjadi tokoh di kampungnya, karena berusaha memperjuangkan hak-hak rakyat miskin. Apalagi setelah dia ikut dalam aktifitas Jaringan Rakyat Miskin Kota Jakarta. Beragam demonstrasi sudah diikuti, dan seringkali dia didaulat untuk berorasi karena cara bicaranya yang menarik dan tuturkatanya yang runtut. Apalagi Yati sendiri merasa senang berorasi karena bisa mengutarkan unek-uneknya yang selama ini cuma terpendam dalam hati.


Kemampuannnya berbicara di depan umum, membuat dia sering ditunjuk untuk menjadi wakil dari Jaringan Rakyat Miskin Kota ketika berhadapan dengan pemerintah atau pihak luar. Misalnya ketika ketemu dengan Komisi VII DPR RI untuk membahas RUU Pelayanan Publik, dia menjelaskan keberadaan rakyat miskin kota yang sering tidak bisa mengakses fasilitas publik. Dan seringkali hal tersebut cuma disebabkan karena tidak punya KTP. Ketiadaan KTP seperti meruntuhkan segala hak yang seharusnya diterima oleh rakyat miskin kota. Pernah pada tahun 2005 lalu dia diwawancarai oleh salah satu stasiun TV-ANTV soal dana kompensasi BBM yang ternyata tidak menyentuh rakyat miskin kota. Menurutnya rakyat miskin kota banyak yang tidak tersentuh kebijakan kompensasi kenaikan BBM karena peroslan mereka tidak punya KTP. “ Kalau pemerintah salah ya harus diprotes. Kita tidak perlu takut pada pemerintah”. Ucapnya suatu kali ketika diwawancarai.


Kegiatan sehari-hari yang dilakukan adalah menjadi kolektor tabungan yang anggotanya mencapai 125 orang. Tabungan ini berbeda dengan tabungan biasanya, karena kolektor tidak hanya mengumpulkan uang tapi juga mengumpulkan informasi. Dengan begitu, seorang kolektor pasti akan banyak mengetahui informasi tentang kampungnya, khusunya persoalan yang sedang dihadapi. Dalam kelompok tabungan di kelompoknya ini, setiap hari Jum’at ada uang kas untuk kesehatan dan pendidikan sebesar Rp.500,-. Peran menjadi kolektor akhirnya membuat Yati dekat dengan warga sekitar, sehingga kerap kali dimintai tolong oleh tetangga yang mengalami kesusahan. Biasanya kesusahan tetangganya berkaitan dengan anggota keluarga yang sakit tapi tidak punya biaya berobat. Kalau menghadapi seperti itu, yang dilakukan Yati adalah mengurus untuk pengobatan tetangganya itu dengan mengundang Tim Kesehatan Alternatif Jaringan Rakyat Miskin Kota, atau jika kesehatan alternatif tidak mampu, dia mengurusi surat-surat tidak mampu agar bisa berobat di Rumah Sakit secara gratis. Pernah pula bersama dengan kelompok tabungan dan warga sekitar, Yati datang ke kantor Kelurahan untuk memprotes lurah yang tidak mengurus administrasi warga miskin dengan baik. Akhirnya lurah tersebut berjanji akan mengurus kebutuhan administrasi warga dengan baik. Dengan semua yang dilakukannya itu, bukan imbalan materi yang diharapkan Yati. Dia sudah merasa bahagia jika bisa menolong orang lain.
















Minggu, 19 Juli 2020

Editorial Edisi 8

EDITORIAL
Uang mampu bikin orang bahagia tiada kepalang
Uang bikin mabuk kepayang?
Uang? Lagi-lagi uang ?.
KAIL kini dimotori para aktivis muda yang berada dalam tahun-tahun awal menapaki kehidupan ?Konkret?. Segala idealisme yg berkembang semasa mahasiswa, sekarang menghadapi tantangan. Menjadi pertanyaan besar bagi kami, permanen konsisten atau mengikuti arus global ? Salah satu titik perenungan penting yang kemudian berkembang adalah, misalnya tercermin dalam kutipan lagu Nicky Astria pada atas : mengapa uang sebagai begitu krusial ? Alasan keharusan mencari cukup poly uang, sudah menciptakan cukup poly aktivis melepaskan sebagian atau semua idealisme.
Melihat begitu penting persoalan ini, kami memunculkan PROAKTIF kali ini dengan tema Aktivis dan Pengelolaan Anggaran Pribadi, dengan modal nekat. Benar-benar modal nekat, karena di dalam tim KAIL saat ini belum ada yang memiliki latar belakang teoritis yang cukup untuk mengkaji persoalan ini. Dan, ternyata memang sulit mencari orang yang tertarik mendalami isu ini. Segala yang tertulis di dalam edisi kali ini, dipelajari dengan melakukan riset sendiri dari awal.

Karena itulah, semua goresan pena pada edisi kali ini perlu dipercaya menjadi bagian dari proses eksperimen pemahaman atau sebuah prototype. Bukanlah sesuatu yg sudah benar, valid atau solid. Harapannya adalah membuka pintu perihal dan mendorong kepedulian kita semua terhadap gosip strategis namun tidak seksi ini. Kami mengundang keterlibatan anda seluruh, buat memperbaiki konsep dan kerangka tulisan, yang selanjutnya akan diproses sebagai handout kail.
Dalam edisi ini kami menampilkan seri tulisan yang disebar dalam tiga rubrik. Rubrik Pikir mengetengahkan Dari Alat Tukar menjadi Alat Kekuasaan, bagaimana uang bertransformasi dari alat tukar menjadi jantung kekuasaan. Sedangkan, rubrik Opini menampilkan perenungan tentang Absurdnya Ekonomi Uang. Proses mengembangkan tulisan-tulisan ini telah menjadi proses belajar yang sangat berharga dengan hasil yang mengejutkan bagi penulisnya sendiri. Betapa lama kita tidak sadar bahwa uang, yang sudah kita terima sebagai kenyataan alami hidup kita, justru menjadi tangan-tangan kalangan elit ekonomi untuk menguasai hidup kita. Dan, muncul ‘spekulasi’ tentang betapa dahsyatnya perubahan dunia akan terjadi oleh suatu gerakan yang ‘hanya’ berfokus pada merubah sikap pada uang. Tak lupa diketengahkan sejumlah titik terang untuk Keluar dari Jebakan uang. Semua sederhana dan dalam jangkauan anda pribadi, modalnya ‘hanya’ optimisme dan keberanian menghadapi arus dunia.
Dalam buklet tahunan yang dikirimkan yayasan Bina Sarana Bakti, diungkapkan arti kata inflasi. Inflasi berasal dari kata latin yaitu inflare, yang berarti penggelembungan. Inilah yang sedang kita hadapi tetapi jarang disadari. Pertumbuhan ekonomi sekarang adalah semu, layaknya balon yang menggelembung dan kemudian pecah menjadi kesia-siaan….
Pada rubrik Masalah Kita mengangkat Penghargaan Untuk Pekerja Lembaga Nirlaba (Aktivis), ini adalah curhatan seorang aktivis yang bekerja di salah satu lembaga nirlaba dengan segala lika likunya termasuk idealisme, kesejahteraan dan penghargaan yang layak diterima oleh seorang aktivis. Di rubrik Media menampilkan ulasan bulletin BUJET, bulletin anggaran publik di Jawa Barat lengkap dengan data, fakta dan uraiannya. Di rubrik Profil menampilkan Aviva Nababan, aktivis yang telah malang melintang di isu HAM bercerita tentang sepak terjangnya menjadi seorang aktivis, berapa penghasilan yang didapat serta alokasi penyalurannya. Juga ada Waty, salah seorang CL UPC yang terpaksa harus merasakan beratnya kehidupan kota Jakarta dan berani memperjuangkan hak-hak rakyat miskin. Tidak ketinggalan rubrik Jalan-jalan ke Balai Warga Marlina di Kampung Muara, Penjaringan, berbagi TIPS Mengatur Keuangan Aktivis serta cerita menarik seputar kegiatan KAIL dalam Bagi-bagi Cerita, diantaranya Pelatihan Hambatan Belajar kerjasama Criminon, Pelatihan Pembuatan Peta Masalah dan Perencanaan Kegiatan UPC serta Pelatihan Peta Masalah yang diikuti oleh Associate KAIL.
Juga jangan ketinggalan gosip Associate dan agenda KAIL beberapa bulan ke depan.
Selamat menikmati!











Sabtu, 06 Juni 2020

[OPINI] Membaca dan Berpikir Kritis

Penulis : Umbu Justin

Membaca demi memanusia

Segala sesuatu membaca. Membaca merupakan pusat eksistensi segala sesuatu, masing-masingnya dan totalitasnya. Berhenti membaca, berhenti sebagai sesuatu; berhenti mengada, hilang begitu saja ?

Salah satu syair kuno Yunani tentang penciptaan bertutur bahwa Sang Pencipta itu, yakni Dia yg mula-mula adalah Kata. Kata merupakan bacaan.

Semesta adalah peristiwa membaca yang tak pernah usai. Berhenti membaca, semesta pun berakhir. Daya-daya purba semesta membaca kepadatan gravitasi tak berhingga, membaca menggunakan bunyi ledakan keras, dentuman purba, big-bang, tanggal memancar, meluas menciptakan ruang tak bertepi sampai sekarang. Semesta, cerita mengenai pembaca setia, membaca pesan intrinsik dalam dirinya dan membacakan lahirnya kejadian-peristiwa baru, semesta-semesta baru, daya-daya baru, pusaran-pusaran cakram galaksi baru; berada, melenyap dan berpendar mengada lagi, semesta yang terus lahir, menjadi remaja, dewasa, menua & tewas menggunakan letusan brilian sebagai hembusan kabut gas warna-warni & kepingan-kepingan mineral, emas, perak, besi, tembaga dan air raksa sebelum melapuk hanyut pada lautan luas ruang tak berbatas atau berlanjut ditarik ke dalam pusaran-pusaran galaksi baru.

Terjadinya semesta tidak seperti narasi penciptaan biasa di mana sang pencipta sanggup kemudian memberikan karyanya pada etalase, memajang pada dinding atau menjualnya lalu melupakannya begitu saja. Semesta bertumbuh bagai pohon besar , meruang-luas, & akarnya menjangkau jauh ke pada hakekatnya sendiri, menimba pesan untuk terus berada menggunakan berevolusi memperbaharui diri.

Evolusi berarti mengatasi krisis, karena interaksi antar bentuk-bentuk usang nir lagi aktual, perlu adaptasi dan antisipasi buat menghadirkan bentuk-bentuk interaksi baru. Membaca bagi semesta berarti tindakan menjawab krisis, berubah menuju dinamika relasional baru.

Lahirnya kehidupan, dalam konteks kita, adalah narasi beragam. Bumi memiliki kemiringan sumbu dan jeda yg pas terhadap mentari , sehingga air padanya senantiasa cair, sebagai akibatnya bisa tercipta arus & pasang-surut akibat gravitasi bulan. Pembacaan berulang kali berjuta tahun, pasang-surut, arus samudera , rotasi, revolusi, siang-malam, pergantian demam isu, membacakan narasi baru: pemunculan kehidupan, sebuah narasi dengan intrikasi tenunan sebab dampak yg sangat kompleks; menurut situ tak ada yang bisa diurai, dilepaskan sebagai kalimat tunggal buat berdiri sendiri.

Dinamika semesta raya terus berubah menuju pembacaan yang semakin kompleks, berevolusi menuju kesadaran, conscientia, kehidupan berbudaya, sebuah pencapaian kesetimbangan baru dengan hadirnya mahluk berbudi bahasa…

Manusia, pengeja kesadaran, muncul menurut jalan panjang evolusi, berkutat membaca pesan semesta pada dirinya: mempertahankan hidup, bersosialisasi, bermigrasi, merespon bahaya, mengatasi permasalahan & seterusnya melalui kecakapan membaca intrinsik. Pada jutaan tahun pertama, setiap pengalaman insan merupakan reaksi pribadi, pada mana pengalaman nyata melekat erat dalam seluruh penginderaannya & dengan tubuhnya insan mengambil respon yg sinkron buat mempertahankan hidup.

Ia hadir dengan canggung sebab tubuhnya tidak 'selengkap' mahluk lain yang leluasa berhadapan dengan tantangan alam liar, tak berbisa, tidak ber-mimicri, tidak bertanduk atau memiliki cakar, tidak secepat , selincah yang lain. Manusia membutuhkan kecakapan sosial, kemampuan berinteraksi dalam keluarga, suku dan jaringan kebersamaan yang lebih kompleks. Manusia awal membutuhkan jenis pembacaan yang mendampingi pembacaan intrinsiknya, yakni daya baca abstrak, ekspresi dari conscientia, berupa tutur bahasa.

Beruntung insan awal berlindung pada gua-gua alam yg menjorok ke dalam perut tebing-tebing batu. Kegelapan gua sanggup 'mematikan' indera, melepaskan insan dari global luar yg sangat menyita perhatian. Manusia 'melihat' kegelapan, meraba kekosongan & mendengarkan keheningan. Kegelapan, loka berhenti bereaksi, tempat tetirah & merasakan global lain yang lebih luas, alam batiniah, tempat roh merogoh alih daya-daya jasmani menggunakan dinamika yang jauh lebih beraneka rona: refleksi, imajinasi & abstraksi.

Dalam kegelapan, mimpi dan imajinasi mendapatkan tempat, merasuk jauh ke pada dasar batin. Pengalaman luar gua, penginderaan total yg serba nyata, ada pulang menjadi gambar-gambar reflektif, tidak konkret, imajiner. Kegelapan gua menjadi jelas paling brilian bagi insan: ruang kesadaran baru, abstraksi, imajinasi, pelepasan diri dari kejasmanian menuju yang spiritual. Manusia mulai membaca dengan bahasa, reflektif, tanpa terikat pengalaman nyata global luar.

Gambar-gambar hewan dan grafis perburuan pada dinding gua-gua purba misalnya pada Altamira, adalah aktualisasi diri reflektif itu, lompatan akbar pada sejarah membaca. Kita melihat bison-bison di dinding gua berderap di padang-padang terbuka di batin kita. Imajinasi menjadi yg aktual.

Dalam gua gelap kita butuh konkretisasi pengalaman batin. Maka lahirlah gambar, simbolisasi yg melepaskan kita menurut persentuhan langsung dengan global luar dan sekaligus mengkonkretkan global batin. Simbol tidak terikat pada fenomena namun simbol sanggup mengarahkan respon manusia buat mengatasi krisis pada situasi nyata dengan lebih terjadwal. Simbol menyimpan fenomena dengan lebih aktual dibandingkan dengan peristiwanya sendiri. Simbol bison pada dinding gua menyimpan dan menghadirkan kesan tentang semua bison pada padang mana pun, yang sudah terdapat atau pun yg belum ada. Bagi para pemburu purba, gambar bison itu adalah seruan panggilan buat menghadirkan balik perburuan kawanan bison itu dalam saatnya, sebuah ujud pengharapan, doa atau mantra.

Sebelumnya kecerdasan membaca hanya berlangsung secara intrinsik, genealogis, dalam riwayat biologis badan kita, contohnya dalam tubuh yang berjalan tegak, penglihatan panoramik, tangan yang bebas untuk bisa menciptakan peralatan. Sementara abstraksi merupakan daya membaca yg baru, kita dapat berbahasa, menciptakan simbol-simbol & pertanda-pertanda, memberi nama dalam sesuatu, generalisasi, menghitung, menyimpulkan dan menciptakan prediksi. Yang terpenting, kita mampu membahasakan pengalaman supaya pengalaman itu bisa direka-ulang, diceritakan pulang.

Kemampuan menceritakan kembali, menghadirkan pengalaman konkret atau imajiner, merupakan perayaan sosial yg dulu sangat dihargai. Di kurang lebih barah unggun, pada bawah fresko bison & kuda-kuda purba rona-warni ataupun di verbal gua, pada bawah selimut bintang-bintang abadi, nenek moyang kita mendengarkan shaman atau tetua bercerita tentang riwayat kehidupan. Saat inilah daya membaca kita merumuskan arah & orientasi baru, yakni kebebasan dan kreativitas yang sungguh hidup menurut global batin kita. Membaca dengan bahasa membuat hayati tidak terikat pada urusan respon demi keamanan fisik, nafsu, makan atau kelaparan. Membaca menjadi perayaan, menjadi representasi kemanusiaan yang berbudi bahasa. Hidup datang-tiba sebagai lebih luas dari sekedar keberlangsungannya.

Kita mungkin lupa dalam daya baca intrinsik yang tersimpan pada memori jasmani kita, namun kita sudah mengangkat memori itu ke dalam daya ungkap bahasa & melahirkannya sebagai budaya. Beribu-ribu tahun sesudah api unggun di bawah fresko kawanan bison dan ringkik kuda purba, bahasa sudah sebagai semakin kompleks. Semesta tetap membaca secara dinamis, bintang-bintang dan galaksi akbar-mini masih mengalir deras, meruang dalam arus sungai penciptaan yg abadi, dan pilihan terhadap manusia menjadi mahluk simbolik atau mahluk berakal budi sebagai narasi yang paling menakjubkan.

Membaca Kritis : Antara Alice dan Pinocchio

Kita tidak pernah bisa membaca hal yang sama dua kali tetapi kita selalu membaca buat mencari memahami tentang satu hal saja, yakni kebenaran eksistensi kita.

"Segala sesuatu mengalir, semua berlaludanquot;, istilah Heraclitus, filsuf dari kota Efesus, Yunani kuno, "kita tidak pernah sanggup menginjakkan kaki di sungai yg sama."

Yang tak berubah adalah perubahan itu sendiri...

Parmenides, filsuf Yunani antik menurut Elea membaca bahwa semesta tidak bisa berubah, hanya kesan pada kita saja yang berubah, seluruh hal sama saja, pada kembali tampilan yg bervariasi dan berubah-ubah, terdapat hanya yg sama senantiasa.

Kita hidup saat ini, lebih dari 2500 tahun setelah Heraclitus dan Parmenides, di antara kedua kutub tersebut, antara mengejar perubahan yang sedemikian cepat dan kecenderungan untuk mempertahankan kenyamanan, keyakinan, nilai, kebenaran, dogma dan seluruh kehidupan. Dan dengan terjebak di antara kedua kutub tersebut kita sama sekali tidak sempat membaca dengan benar. Pada kutub Heraclitus, pembela perubahan, kita dikepung oleh tuntutan untuk meng-update pengetahuan dan cara hidup. Pengetahuan kita menjadi sangat ephemeral, berumur pendek, gampang kadaluarsa. Kita mengejar percepatan dengan bekerja lebih efisien, lebih mudah, lebih singkat namun tetap tak terpuaskan. Meski akses pada pengetahuan menjadi sangat mudah,semua menjadi tidak bernilai, tak sempat berakar, hati kita terganggu untuk mengejar percepatan.

Di kutub Parmenides, pembela kemapanan, lantaran hati kita goyah dan was-was, takut pada arus perubahan yang menyapu semua milik kita, maka kita menegaskan kemurnian iman, keyakinan, adat norma, nilai-nilai & dogma-dogma menantang semua percepatan perubahan.

Mari kita kembali ke gua-gua purba kita, ketika kegelapan membutakan mata kita dan membuka mata batin kita, memandang gambar-gambar polychromos: bison-bison dan kuda-kuda yang berlarian di savana hati kita, mencari keniscayaan jadinya suatu lingkupan dunia yang sungguh bisa dilepaskan dari gejala badaniah kita kita melalui proses kebahasaan. Bison di dinding gua, apakah ia sungguh mewakili semua bison yang pernah ada, yang akan ada, bison dari tanah liat, atau awan berbentuk bison di mata kanak-kanak dan semua yang kita anggap bison? Sebuah gambar, sebuah simbol, sebuah kata, sebuah nama, apakah sungguh menunjuk pada realitasnya?

Filsuf Plato dalam dialognya yang terkenal 'Cratylus' mengungkapkan: "Dalam kata Mawar, terkandung seluruh mawar?" Dalam kata Nil, membentang seluruh alur-genre sungai besar tersebut, semua keloknya yang mengukir tanah tandus afrika utara, seluruh bangsa yg mengikatkan sejarah mereka pada kesuburannya & timbul tenggelamnya dinasti-dinasti perkasa pembangun piramida. Sebuah istilah, benar-benar penuh daya cipta menakjubkan. Maka bahasa adalah mantra pemanggil global & setiap buku adalah semesta yang siap dilahirkan.

Tetapi pada pulang keajaiban kata, nama, gambar, simbol, masih ada sebuah dinamika kontras, meski mengikat & menghadirkan realitas, bahasa pun ternyata segera memisahkan insan dari semesta. Di luar gua manusia berhadapan menggunakan kesamaan pragmatis, buat menjamin keberlangsungannya, insan membutuhkan jarak yang memadai terhadap semesta, untuk bisa menghindari ketak-terdugaan peristiwa, & mengendalikan peristiwa-peristiwa, menciptakan prediksi, menciptakan perencanaan agar hanya yg diinginkan yg sanggup bermetamorfosis sebagai insiden. Manusia memisahkan diri berdasarkan totalitas semesta, menjadi individu dengan membentuk lingkungan yang bisa dikendalikan. Caranya merupakan menggunakan menciptakan bahasa menjadi sebuah instrumen. Gambar & simbol disederhanakan sebagai tulisan & pertanda. Lambang-lambang fragmental segera menjadi pengubah cara hidup. Manusia berani keluar gua, membangun kota dan peradaban, membarui semesta menjadi landskap tekstual yg mampu dibaca, dikendalikan & ditata.

Manusia berkebudayaan sudah membarui pengalaman membaca yang intuitif pada gua-gua sebagai instrumen komunikasi. Membaca lalu kehilangan spontanitasnya, juga kehilangan kekuatan intuitifnya yg sanggup memanggil semesta. Masyarakat bukanlah kelompok pemburu gua yang berkumpul pada sekeliling api unggun. Masyarakat dibangun sang daya-daya artifisial, kepercayaan , politik, kebudayaan, kenangan-kenangan akan peperangan, batas-batas geografis, kepentingan-kepentingan ideologis, ekonomi, konstitusi, menggunakan konsekuensi yg efektif menafikan nilai individu. Konstituen rakyat bukanlah individu melainkan daya-daya artifisial tersebut. Individu wajib bisa membaca, menginternalisasi daya-daya artifisal tadi untuk mampu terhindar berdasarkan ketiadaan; suatu ketiadaan artifisial, non person, kehilangan pengakuan apabila individu nir mampu membaca teks konstituen masyarakat: kepercayaan , politik, ideologi dan seterusnya.

Membaca yang sebenarnya

Alberto Manguel yang memperkenalkan dirinya sebagai pembaca, menulis tentang perbedaan antara Pinocchio (Collodi 1883) dan Alice (Lewis Carroll, 1865) dalam membaca. Pinocchio boneka kayu miskin namun bercita-cita tinggi dengan segala nasib buruknya ia berusaha bersekolah supaya bisa membaca dan pada gilirannya bisa hidup layak dan diakui resmi dalam masyarakat. Alice di lain pihak adalah gadis kecil yang bertualang karena rasa penasaran yang kuat terhadap kelinci sedang bergegas. Petualangan Pinocchio tidak menyuguhkan cerita tentang pengalaman membaca selain prestasi belajarnya yang baik dan membuat teman-temannya iri hati. Alice sebaliknya berkutat dengan pengalaman eksistensial tentang kebenaran dan realitas dirinya akibat permainan makna kata dan tutur bahasa yang begitu majemuk, non-singular dan tidak stabil.

Pinocchio mewakili hampir seluruh anak korban metodologi pembelajaran saat ini, yakni sekadar buat melaksanakan transfer ilmu pengetahuan. Kita bersekolah & mengambil spesialisasi buat mampu membaca dengan keterampilan tertentu & menerima kiprah yg sesuai pada masyarakat. Menjadi juara, memenangkan medali olimpiade matematika atau fisika adalah kemewahan yg sangat diharapkan orang tua dalam anaknya. Pinocchio yg sebagai brutal & nakal kemudian mengalami banyak sekali nasib tidak baik lantaran menghindari sekolah yang memberi pesan moral buat beretika terpelajar pada anak-anak.

Kisah Alice pada lain pihak menggemakan kembali pengalaman kebahasaan yang sangat imajinatif pada dalam gua-gua purba nenek moyang kita. Berbahasa merupakan berdaya cipta, berkreasi, bermain menggunakan pengalaman, mengembangkan kekayaan batin & memperkaya ruang-ruang simbolik pada pada kehidupan.

Bagi Pinochio, membaca adalah mengeja pertanda, lambang-lambang yang diturunkan masyarakat ke kitab -kitab sekolah agar ia mampu sebagai seperti yang diperlukan, sebagai person, eksklusif yg diterima pada rakyat.

Bagi Alice, membaca itu intuitif, menebak, mencari pada kegelapan gua loka bahasa dilahirkan. Membaca bukanlah buat menjadi individu pandai , berkepribadian dan terpelajar, melainkan buat bermain menggunakan semesta, menemukan kembali khayalan, mencari makna-makna yg tak terhingga pada balik kata-istilah berdaya cipta. Alice nir memperoleh tugas apapun untuk sebagai anak insan, nir misalnya Pinocchio. Membaca berarti berada secara spontan pada hadapan rahasia semesta.

Ketegangan antara dunia Parmenides dan global Heraclitus, kecemasan akan runtuhnya nilai-nilai dampak perubahan pesat, merupakan kecemasan masyarakat. Membaca ala Pinocchio akan menenangkan masyarakat namun merugikan humanitas yang bebas. Membaca seperti Alice, adalah menelusuri daya naratif humanitas kita. Manusia bukanlah elemen ideologis, pion kepercayaan , unsur kebudayaan atau obyek ekonomi yang membangun warga . Manusia itu, tiap-tiap kita adalah sebuah buku, narasi, dinamis & berharga sebagai bacaan yang senantiasa baru. Individu naratif inilah yang mengatasi polemik Heraclitus & Parmenides. Narasi senantiasa berubah & senantiasa mengenai kebenaran keberadaan kita dalam semesta.

Caption :

Siapa engkau..

realitas diri dan semesta yang senantiasa berubah..

metamorphing

Cloud Hosting Indonesia