Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Desember 2019. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Desember 2019. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 Mei 2020

[RUMAH KAIL] PERJALANAN KAIL MEMPRAKTEKKAN KESADARAN AKAN KEMANDIRIAN

Oleh: Deta Ratna Kristanti

Menjadi berdaya adalah sebuah kemewahan. Menjadi berdaya berarti memiliki kebebasan buat menentukan arah dan langkah yg dipilih buat tujuan kehidupan yg lebih berkualitas. Salah satu upaya yang dilakukan untuk sebagai berdaya adalah menciptakan kemandirian buat diri sendiri. Jika kita mengusahakan hidup berdikari adalah kita menggunakan berkesadaran berusaha tidak tergantung pada pihak lain pada pemenuhan kebutuhan kita. Sebab, apabila masih tergantung pada pihak lain,mungkin saja pihak lain tadi menyumbangkan hal yang berdampak negatif atau nir sinkron dengan prinsip atau kualitas hidup yang ingin kita capai.

Tentu saja, bukan berarti ketika kita mengupayakan kemandirian, kita menjadi tidak peduli dengan keberadaan pihak lain. Sulit juga membayangkan bahwa kita akan mampu 100% memenuhi semua kebutuhan hidup kita. Yang dapat kita perbuat adalah meningkatkan kesadaran dan aksi kita untuk mengurangi ketergantungan sampai sekecil mungkin. Ingatkah anda dengan salah satu peringatan di pesawat: Pakailah dulu masker Anda sebelum menolong yang lain? Kira-kira seperti itulah gambaran kemandirian yang kita upayakan. Ketika kita mampu menolong diri sendiri dan sudah  berdaya, maka kita juga bisa menolong pihak yang lain.

Perkumpulan KAIL didirikan dengan misi dan tujuan buat membantu para aktivis berbagi diri sebagai akibatnya bisa berkontribusi lebih baik bagi global. Oleh karena itu, KAIL sebagai sebuah organisasi perlu mengupayakan kemandirian terlebih dahulu pada pada dirinya sendiri agar bisa menolong para aktivis atau forum yg membutuhkan layanannya. Selain itu, setiap upaya kemandirian yg dilakukan KAIL juga bertujuan menaruh donasi bagi global yg lebih baik, utamanya lingkungan alam dan makhluk di sekitarnya.

Rumah KAIL & pekarangan yg ditanami flora pangan

Kesadaran KAIL buat mengusahakan kemandirian sudah berlangsung lama . Selama 17 tahun berkarya, KAIL nir pernah tergantung pada satu pun forum donor pada pendanaan acara-acara internalnya. Hal ini adalah galat satu upaya KAIL untuk membebaskan diri menurut ketergantungan menurut pihak yang lain. Apabila pendanaan KAIL bergantung dalam forum donor, mungkin akan mengganggu kontinuitas KAIL buat berkarya selama ini. Selain itu, ketergantungan tersebut mungkin dapat mengganggu perjalanan KAIL ke arah pencapaian visi dan misi organisasi.

Sejak tahun 2013, KAIL membangun tempat permanen untuk melakukan segala aktivitasnya, yaitu Rumah KAIL. Memiliki tempat yang permanen berarti harapannya KAIL dapat lebih banyak mempraktekkan ide-ide kemandirian yang selama ini telah diketahui. Langkah pertama yang dilakukan KAIL sebagai wujud mempraktikkan kemandirian adalah merancang bangunan dengan sistem rumah yang selaras dengan alam. Misalnya, memilih bahan kayu bekas untuk membangun rumah KAIL. Memilih menggunakan ulang bahan bekas sehingga mengurangi timbulan sampah serta menghemat biaya merupakan wujud kemandirian di mana KAIL melepaskan ketergantungan terhadap bahan baru dan barang baru. Selain itu, pembuangan Rumah KAIL juga dirancang tersambung dengan kompor biodigester sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap gas elpiji.

Kompor biodigester

Kubah biodigester yang ditanam di bawah tanah

Area yg relatif luas di Rumah KAIL selain terdapat rumah, pula tanah yg dimanfaatkan buat kebun. Kebun KAIL dibuat buat mendukung kemandirian pangan pada Rumah KAIL. Berbagai flora konsumsi ditanam di area Kebun KAIL, termasuk bumbu-bumbu yg bisa dimanfaatkan buat menciptakan kuliner menjadi lebih sedap. Saat sedang dilaksanakan pelatihan atau workshop, ataupun rapat-rapat di Rumah KAIL, sebisa mungkin makanan yang disajikan untuk peserta pembinaan maupun staf & relawan KAIL dari dari kebun KAIL. Talas, daun singkong, daun, bunga & buah papaya, cabe rawit, daun pseudo ginseng, serta bumbu-bumbu misalnya kunyit, jahe, kencur, dan pandan disulap sebagai minuman jamu yg menyehatkan. Tak ketinggalan buah-buahan misalnya pepaya, pisang, jambu, atau nangka menjadi sajian snack sehat apabila kebetulan sedang panen.

Kebun KAIL dikelola dengan prinsip selaras menggunakan alam. Sisa-sisa makanan maupun bagian kulit bahan makanan yang nir terpakai dibuang pulang ke kebun KAIL hingga sebagai kompos yg menaikkan kesuburan tanah di kebun KAIL. Perlu diceritakan bahwa awalnya tanah di kebun KAIL merupakan tanah berjenis lempung atau misalnya tanah liat yang lengket, yg sulit untuk diolah dan ditanami. Di awal pengolahannya, Kebun KAIL membutuhkan media tanam menurut luar yang dicampurkan dengan tanah di Rumah Kail, dan melakukan pengomposan langsung pada tanah KAIL sebagai akibatnya dalam akhirnya tanah kebun pada tempat tinggal KAIL menjadi subur sebagai akibatnya dapat ditanami & dinikmati hasilnya lalu.

Beraneka jenis tumbuhan di kebun KAIL

Kebun KAIL sebagai pintu masuk yang paling memungkinkan buat mempraktekkan upaya kemandirian di Rumah KAIL karena tanah yang telah diolah, diatur, ditanami, & dirawat kemudian dapat menghasilkan panen yg sanggup dikonsumsi. Untuk memberi perhatian spesifik pada pengelolaan kebun, KAIL menciptakan sebuah divisi spesifik bernama Kebun KAIL. Ada orang- orang yang bertugas memperhatikan perawatan Kebun KAIL. Tetapi, apakah selanjutnya proses pengelolaan Kebun KAIL menuju kemandirian sebagai mudah? Ternyata nir.

.

Banyak juga hambatan yang dijumpai yang membuat Rumah KAIL belum dapat mencapai kemandirian pangan dengan upaya maksimal. Ada banyak faktor yang memengaruhi. Salah satunya urusan menyesuaikan jadwal produksi dan panen pangan dengan jadwal pelatihan yang ada di rumah KAIL. Maksudnya bagaimana? Seringkali ketika di KAIL sedang tidak ada jadwal pelatihan atau workshop, buah-buahan yang sudah siap panen jumlahnya banyak. Akibatnya, jumlah panenan terlampau banyak, sedangkan orangnya sedikit. Sementara ketika ada jadwal pelatihan, hasil kebun yang dapat dipanen saat itu jumlahnya sedikit, sehingga mau tidak mau sebagian konsumsi harus dipenuhi dari warung atau pasar. Staf yang berinisiatif untuk menambah pengetahuan serta waktu untuk bereksperimen belum tersedia sehingga program pengolahan pasca panen yang dapat memanfaatkan hasil kebun yang berlebih ketika panen  juga belum terlaksana. Meskipun sistem sudah dibuat oleh Divisi Kebun KAIL, pada praktiknya ditemui kendala juga karena koordinasi dan komunikasi antar staf yang bertugas tidak terlalu berjalan dengan lancar. Jadi selain sistem yang diatur pada kebun, ternyata ada sistem lain yang terkait, yaitu sistem komunikasi antar staf yang bertugas mengurus Kebun KAIL.

Ada banyak ide kemandirian di Rumah KAIL yang belum dapat dipraktikkan secara konsisten hingga saat ini. Dalam rangka menambah pengetahuan tentang pengolahan dan pemanfaatan bahan-bahan alami, serta melepaskan ketergantungan pada produk pabrik, memang pernah diadakan beberapa workshop yang menghadirkan narasumber, misalnya membuat kombucha jus enzim, kimchi, serta pembuatan pembersih alami untuk lantai, kaca, dan meja. Beberapa staf sudah memiliki pengetahuan melalui workshop-workshop tersebut.  Tapi saat ini, praktiknya belum dilakukan di rumah KAIL. Padahal, misalnya cuka kombucha dapat dimanfaatkan sebagai pengganti sabun dalam mencuci piring. Pernah dicoba, namun saat ini tidak lagi.

Dalam hal pengelolaan sampah, Rumah KAIL juga belum sepenuhnya mencapai kemandirian. Memang, sampah organik yang dihasilkan dari dapur Rumah Kail sudah 100% dapat dikembalikan ke kebun dan bermanfaat untuk menambah kesuburan tanah KAIL. Namun, untuk sampah anorganik, meskipun sejak awal KAIL berkomitmen untuk sesedikit mungkin menggunakan barang yang berkemasan plastik. Namun, pada prakteknya tetap masih terkumpul sampah plastik terutama dari pembelian barang-barang yang masih dibutuhkan KAIL dari luar, misalnya plastik pembungkus spidol, kaplet obat-obatan, sisa potongan sampul plastik dan banyak lagi.  Kadang-kadang ketika membersihkan Rumah KAIL ditemukan juga sampah-sampah dari makanan dan minuman berkemasan yang mungkin dibawa angin atau dibuang oleh orang yang lewat di halaman rumah KAIL. Hal ini terkadang menambah sampah yang ada di rumah KAIL. Untuk penanganan sampah non-organik, Rumah KAIL masih tergantung pada tukang sampah atau tempat pembuangan sampah yang ada di sekitar Kail. Meskipun begitu, KAIL tetap mengupayakan untuk mereduksi jumlah sampah non-organik misalnya jika perlu membeli bahan makanan, staf KAIL akan membawa tas belanja sendiri. Juga ketika membeli makanan di warung, KAIL selalu membawa tempat bekal sendiri untuk mengurangi jumlah sampah plastik yang masuk ke Rumah KAIL. Rumah KAIL juga mencari warung-warung yang menjual bahan pokok yang dapat dibeli dengan sistem curah, sehingga kebutuhan  beras atau gula dapat dibeli menggunakan wadah sendiri. Setidaknya ini upaya yang dapat dilakukan Rumah KAIL untuk mengurangi ketergantungan terhadap sistem pembuangan sampah di luar, yaitu dengan sesedikit mungkin menghasilkan sampah anorganik yang perlu dibuang.

Dalam hal asal air, KAIL pula masih tergantung pada air yg berasal berdasarkan mata air yang disalurkan lewat pipa kolektif. Ini berlaku buat seluruh keperluan, dari memasak sampai urusan menyiram tumbuhan. Untuk air minum sehari-hari, KAIL memakai air dari keran yg dimasukkan ke filter air berdasarkan tanah liat yang kemudian dapat pribadi diminum. Namun, apabila kegiatan di Rumah KAIL melibatkan puluhan orang, KAIL masih tergantung pada air galon isi ulang. KAIL sebenarnya memiliki bak tampungan air hujan, namun belum berfungsi karena bocor.

Meskipun ide-ide dan pengetahuan tentang kemandirian telah diketahui dan disadari selama bertahun-tahun, dan KAIL telah memiliki tempat sendiri yang permanen, nyatanya tidaklah mudah mewujudnyatakan ide-ide tersebut. Tidak lantas mudah pula melepaskan diri dari ketergantungan pada pihak lain dan menjadi mandiri dalam memenuhi kebutuhan.  Beberapa hambatan di Rumah KAIL antara lain pengetahuan staf yang tidak sama, belum dibangunnya atau dijalankannya sistem untuk masing-masing hal yang diupayakan untuk kemandirian, serta belum adanya fokus perhatian dan kesediaan yang cukup dari semua orang yang terlibat di KAIL terhadap upaya ini. Saat ini, karena aspek kebun mendapat perhatian paling dominan maka sudah dapat dilihat hasilnya. Jika ingin aspek-aspek lain di rumah KAIL juga berkembang untuk mendukung upaya kemandirian, maka perlu dibangun sistem-sistem pendukung termasuk keterlibatan orang-orang di dalamnya secara bersama-sama.

[JALAN-JALAN] TRADISI DAN FILOSOFI MASAYARAKAT BELU TENTANG KEMANDIRIAN DAN SELF AWARENESS

Oleh: Eventus Ombri Kaho

Tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan daerah merupakan sebuah kekayaan hakiki yang dapat membentuk karakter dasar kehidupan manusia. Kebudayaan manusia mengandung berbagai  nilai luhur yang dapat menentukan eksistensi manusia itu sendiri. Melalui sebuah budaya, pribadi dan cara hidup manusia bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang arif, bijaksana, bermoral, dan bernilai. Dalam hal ini, boleh dikatakan bahwa kebudayaan dapat  melahirkan sekaligus menunjukkan harkat, derajat, dan martabat manusia sebagai pribadi  yang unik dan berbeda dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. Identitas itulah yang menentukan siapa sebetulnya subyek tersebut. Identitas itu pun turut memengaruhi kemandirian dan self - awareness dari pribadi tersebut misalnya dalam kebudayaan orang Timor yang menjunjung tinggi budaya persahabatan penyerahan diri kepada Yang Ilahi dalam dinamika hidup. Mereka mandiri dengan identitas itu, tanpa campur tangan atau doktrinisasi dari mana pun. Maka wajar jika ada klaim bahwa ini adalah suatu budaya yang original di dalam masyarakat Timor dan Belu pada umumnya.

Masyarakat Belu, menyadari rekanan antara manusia dengan Rai Klaran, Rai Kukun dan Ama Maromak. Kesadaran tadi membangun konduite berdikari yang tercermin dalam norma norma yang mereka jalani.

Orang Belu yang tinggal di pulau Timor memiliki budaya dan kepercayaan asli. Maka mereka selalu berusaha dan berjuang untuk menciptakan suatu kehidupan yang baik, sejahtera, dan bahagia dalam dinamika keharmonisan hidup. Hal ini tampak dalam penghayatan konsep Tri-relasi yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka. Konsep Tri-relasi itu yakni pertama, orang  Belu hingga saat ini sangat menjaga dan menjunjung tinggi relasi dengan sesamanya yang ada di sekitar mereka. Relasi ini terjadi di dunia nyata yang disebut mikrokosmos atau Rai Klaran. [1] Kedua, orang Belu menjalin relasi yang harmonis dengan alam semesta dan roh-roh nenek moyang yang diyakini ada dan mendiami dunia yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia. Dunia ini dalam bahasa Tetun Timor disebut  Rai Kukun. [2] Ketiga, mereka menjalin relasi dengan Wujud Tertinggi atau Ama Maromak yang berada di dunia sakral, jauh di atas lapisan langit ketujuh. Dunia ini disebut sebagai makrokosmos yang dalam Bahasa Tetun Timor disebut Lalean. [3]

Konsep tersebut dilatarbelakangi oleh sebuah filosofi kata Belu itu sendiri. Kata Belu berarti sahabat, teman, kawan. Masyakat suku Belu adalah sekelompok orang yang mendiami Kabupaten Belu yang merupakan sebuah kabupaten dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timor (NTT). Wilayah Kabupatan Belu ini terletak pada bagian tengah pulau Timor yang sekarang ini telah terpecah menjadi dua wilayah di bawah negara berbeda, yakni daerah Timor Barat, adalah wilayah negara Indonesia dan daerah Timor Timur, yang sekarang ini dikenal dengan sebutan Negara Timor Leste. Wilayah Belu tersebut hingga saat ini dibagi menjadi empat rumpun besar berdasarkan suku-suku yang memiliki kesamaan budaya dan tradisi–tradisi tertentu. Ada empat rumpun budaya terbesar yang mendiami pulau Timor yang menggunakan rumpun bahasa Tetun. Keempat rumpun besar itu sebenarnya dibagi berdasarkan bahasa daerah yang dimilikinya, yakni daerah yang berbahasa Tetun (Ema Fehan), berbahasa Bunak (Marae), berbahasa Kemak,  dan berbahasa Dawan (khususnya Dawan R Manulea). Meskipun di Belu terdapat empat bahasa daerah, namun bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang pemersatu yang digunakan dalam kehidupan sehari–hari. Bahasa Tetun merupakan bahasa universal yang dapat diterima dan digunakan oleh 90% penduduk di kabupaten Belu dan Malaka. Bahkan bahasa Tetun ini pun  digunakan juga oleh masyarakat di negara Timor Leste. Berkat bahasa Tetun inilah maka orang Belu dan Malaka dapat disebut sebagai Ema Tetun.

Allah, alam, dan manusia merupakan sebuah konsep budaya yang membuat kata “Belu” itu kian utuh dan integral. Konsep Tri-relasi  dalam masyarakat Belu tersebut memiliki ruh yang dahsyat yang membuat masyarkat Belu selalu percaya bahwa tiga hal tersebut selalu ada di dalam kehidupan sehari hari. Konsep ini bisa diamati pada tungku untuk masak dan tempat untuk menyimpan sesajen atau dalam istilah orang Belu adalah  te’in tula.

Tradisi Hamis Batar pada warga Belu

Kemanusiaan perlu dimurnikan dalam sebuah konsep budaya yang jelas. Ketika saya masih berumur delapan tahun, ibu saya selalu mengingatkan untuk memberikan sesuatu ke orang lain dalam jumlah tiga. Mungkinkah karena itu menyimbolkan tiga elemen itu? Atau karena konsep lain? Pencarian akan makna itu, muncul sebuah pertanyaan yang paling hakiki, yakni apakah saya sanggup untuk melebihi dua aspek lainnya? Konsep Tri-relasi direalisasikan dalam kehidupan kebudayaan. Salah satu tradisi yang setiap tahun dirayakan besar–besaran adalah tradisi hamis batar. Tradisi h amis b atar adalah sebuah tradisi yang dilakukan ketika jagung sudah mulai matang dan sebelum menjadi kering, yang harus dipersembahkan kepada para leluhur terlebih dahulu. Praktiknya adalah setiap kepala suku akan berkumpul untuk memutuskan tanggal dan hari yang tepat untuk merayakan tradisi keagamaan itu. Setelah diputuskan kapan akan dilaksanakan, maka langkah selanjutnya adalah membersihkan setiap rumah adat. Ketika tiba hari yang telah ditentukan oleh para kepala suku tersebut, maka setiap orang wajib membawa jagung muda yang layak untuk dipersembahkan kepada para leluhur dan Super Being. Jagung itu kemudian dimasak pakai sasanan  (periuk). Sasanan  yang dimaksudkan di sini adalah sasanan dari tanah liat alias wajan. Alasan utama untuk memakai wajan ini adalah karena masakannya jauh lebih gurih dan tidak ada bahan kimia. Alasan berikutnya ialah karena wajan selalu dibuat dari tanah liat dan tanah sebagai bagian dari kosmologi. Langkah selanjutnya ketika semua masyarakat sudah memasak dan mempersembahkan kepada para leluhur dan Super Being itu, maka saatnya jagung dipersembahkan di setiap kuburan (terutama untuk keluarga) dan setelah disimpan di kuburan, semua orang punya hak untuk mengambil jagung muda yang tadi dipersembahkan di kuburan tersebut. Jagung yang dipersembahkan masih dalam keadaan mentah. Setiap orang yang sudah diinisiasi dalam ritual di rumah adat wajib mengikuti acara hamis batar. Karena proses inisiasi itu melibatkan para leluhur, maka perjanjian itu harus cara ini, maka mereka tidak boleh makan jagung muda selama masa di mana jagung masih muda.

Uma mane, tempat tinggal istiadat warga Belu, loka pelaksanaan tradisi Hamis Batar

Konsep ini menciptakan orang Belu pada biasanya sebagai eksklusif?Eksklusif yg semakin tahu siapa identitas mereka. Ada dua aspek refleksi yg paling penting, yakni:

1.      Aspek personal-komunal

Apa yang dimaksud  dengan aspek personal? Maksud utama dari aspek personal-komunal tersebut adalah sikap untuk mempertahankan identitas kebudayaan di tengah arus modern yang semakin canggih sekaligus menghilangkan identitas “siapa aku sebenarnya”. Pluralitas membuat setiap individu semakin tidak percaya dengan budayanya, terutama identitas yang melekat pada dirinya. Dengan kata lain kemunduran atas pengakuan identitas itu semakin menghilangkan sebuah pengakuan akan identitas yang seharusnya sudah mandiri. Prinsip inilah yang dipegang teguh oleh masyarakat Belu. Kesadaran diri dan kemandirian menjadi sebuah pilar besar dari sebuah kebudayaan. Orang Belu punya kesadaran yakin dan percaya bahwa hidup mesti ada dasar yang kuat baik itu kemandirian, kesadaran diri, atau kepekaan. Aspek-aspek itu pada akhirnya akan menciptakan suatu kehamonisan dalam dinamika hidup. Dan itulah sesungguhnya hidup. Makna kemandirian bagi orang Belu adalah ketika identitas mereka melebur dalam keberagaman tanpa menghilangkan identitas mereka. Kesadaran diri bahwa identitas mereka unik dan berbeda dengan yang lain menjadi aspek untuk menciptakan sebuah relasi yang kemudian mereka sebut sebagai b elu yang artinya sahabat.

2.      Aspek antropologis-relijius

Aspek antropologis dan relijius menjadi dua faktor yang juga penting di dalam kebudayaan orang Belu. Sudah seharusnya setiap kebudayaan memiliki dua aspek ini. Kesadaraan diri orang Belu akan kehadiran orang lain dan Super Being menjadi sangat penting di dalam dinamika kehidupan sehari-hari.  Kemandirian mereka sebagai subjek akhirnya tampak dalam perilaku mereka setiap saat. Sedangkan kesadaran diri yang tampak nyata adalah dalam kegiatan kebiasan relijius dan konsep yang dihayati, yakni bahwa kosmos adalah ”aku” dan ”aku” adalah kosmos. Maka kepemilikan kosmos adalah sebuah korelasi panjang yang saling menyatu.

Masyarakat Belu  kaya akan sebuah kebudayaan yang berlimpah makna filosofis. Semua aspek kehidupan selalu dikaitkan dengan aspek filosofis. Semua dapat dijelaskan dengan rasional. Bukankah itu kinerja dari filsafat? Orang Belu kini tidak lagi menjadi objek tapi menjadi subjek di dalam mempertontonkan kebudayaan yang kaya akan nilai antropologisnya sekaligus aspek relijiusnya. Refleksi yang mendalam ini membuat orang Belu menjadi human being yang memiliki perjuangan yang tak kunjung selesai. Mereka masih bisa bertahan dengan konsep tersebut walaupun dunia semakin modern, dan egoisme yang mulai merasuki kehidupan banyak orang.  . Orang Belu tetap menjadikan kata belu sebagai sebuah identitas untuk menjalin kerjasama yang baik, serta rasa perhatian terhadap sesama, lingkungan, dan  Super Being. Zaman modern menamai konsep ini sebagai kolaborasi.

[1] Rai Klaran  terdiri dari dua suku kata  Rai  yang artinya tanah dan Klaran  yang artinya tengah.  Rai Klaran  adalah sebutan untuk Bumi, tempat hidup dan dunia hidup manusia yang nyata. Di sebut sebagai Rai Klaran  karena memakai konsep “ langit-bumi- di bawah bumi “.

[2] Rai Kukun  kalua ditrejamahkan secara harafiah berarti suatu dunia yang gelap. Tetapi dalam konteks Bahasa kepercayaan asli orang Belu, Rai Kukun  dipahami sebagai dunia yang berbeda dengan dunia manusia. Dunia ini tidak diplihat dengan panca indra manusia.  Rai Kukun  diyakini sebai tempat berdiamnya makhluk-mahkluk halus seperti jin – jin,  dan roh – roh arwah nenek moyang yang telah meninggal dunia.

[3] Laean adalah suatu dunia yang melebihi  Rai Klaran  dan Rai Kukun. Lalean  adalah suatu dunia yang berada di atas sana dan dihuni oleh Wujud Tertinggi.

Minggu, 03 Mei 2020

[PROFIL] CEU NDEN, PENTINGNYA MENCINTAI DIRI BAGI AKTIVIS

Oleh: Lindawati Sumpena

No river can return to its source, yet all rivers must have a beginning”.

Begitulah salah satu pepatah orang Indian[1]. Ketika kita melihat dalam keseharian kita, banyak permasalahan sosial yang membuat hati kita terusik, mulai dari ranah pribadi seperti depresi hingga yang mampu menghasilkan kerugian pada kalangan yang luas seperti korupsi dan penindasan. Semua permasalahan yang telah terjadi memang tidak akan mampu kita kembalikan ke titik awal. Namun, di bawah pohon masalah yang kita lihat tersebut, kita dapat menelusuri hingga ke akarnya di masa lalu. Begitulah yang diyakini oleh seorang aktivis yang bergiat di isu kesadaran diri (self awareness)untuk transformasi diri dan dunia, Nenden Vinna Mutiara Ulfa.

Ceu Nden, begitu dia biasa disebut, menamakan profesi yang dia jalani saat ini adalah life care taker. Dia bersama rekan-rekannya di Initiatives of Changes (IofC) menggagas suatu program bernama Sekolah Rekonsiliasi. IofC adalah suatu gerakan dunia yang mulai lahir paska perang dunia kedua di Oxford dan diinisiasi oleh seorang pastor bernama Frank Buchman. Dilatarbelakangi oleh kegelisahannya saat melihat banyaknya korban kemanusiaan akibat perang, beliau memiliki inisiatif untuk menggagas gerakan rekonstruksi moral dan spiritual yang dinamai Moral Re-Armament (MRA). MRA ini kemudian berubah nama menjadi IofC[2]. Gerakan ini banyak menginspirasi orang-orang di seluruh dunia dengan metodenya yang sangat menyentuh, terutama Quiet Time atau waktu hening. Quiet time hanyalah metode sederhana untuk mengambil jeda sejenak dan berdialog dengan diri.

Quiet Time, metode buat berdialog dengan diri

Seiring berjalannya waktu, IofC ini digerakkan oleh anggotanya di seluruh dunia dengan gagasan yang berbeda-beda sesuai dengan tiga misi yang IofC perjuangkan, good governance, sustainable living, dan trust building. Di Indonesia, lahir Sekolah Rekonsiliasi delapan tahun yang lalu untuk mencapai misi trust building sekaligus sebagai ruang alternatif bagi individu yang ingin belajar mengolah rasa dan menyembuhkan luka di masa lalu. Ceu Nden menceritakan bahwa gagasannya ini muncul dari pengalaman masa lalunya yang sangat menantang bersama keluarga dan lingkungan sekitar. Dia juga melihat banyaknya luka yang dihidupi orang lahir dari keluarga yang disfungsi, pengalaman dirundung, dan memori masa kecil lain yang menyakitkan. Luka tersebut bisa saja tidak disadari namun mempengaruhi kepribadian dan bagaimana kita merespon pengalaman hidup sehari-hari. Secara metaforis, psikologi mengenal istitah inner child, yaitu sisi kepribadian anak kecil yang seringkali terabaikan dan menyimpan luka-luka di masa lalu. Manusia dapat tumbuh secara biologis dengan baik, namun belum tentu psikologinya demikian. Diri kita bisa saja masih menyimpan jiwa anak kecil yang merasa diabaikan, dibuang, dan kekurangan cinta. Jiwa anak kecil ini membangun hubungan dengan orang lain, menjadi pemimpin, bahkan menjadi orangtua.

Pengalaman di masa lalu juga menghipnotis bagaimana kita menerima rasa dan merespon pertarungan yang terjadi. Misalnya, saat kita marah, keluarga & lingkungan mengajarkan kita bahwa marah itu merupakan sesuatu yg jelek. Maka, bila kita berada dalam keadaan murka , kita dianjurkan untuk memendam perasaan tersebut dan mengingkarinya. Padahal, rasa murka bukan sesuatu yang nir boleh kita miliki. Kita dianugerahi rasa murka buat mempertahankan diri. Jadi, rasa marah wajib dilepaskan. Marah tidak selaras dengan berongsang. Ketika seseorang menyakiti kita, kita perlu mengekspresikan rasa murka dan memintanya bertanggungjawab terhadap perbuatan yang beliau lakukan. Tetapi, cara mengekspresikannya harus menggunakan baik, nir menggunakan cara memaki-maki dan melakukan kekerasan.

Rasa lain yang kerap kali dianggap mengganggu adalah rasa murung . Ketika seseorang bersedih, tak jarang ada perasaan membuat malu buat mengakuinya. Hal ini kerap kali dialami oleh laki-laki . Laki-laki memiliki kesempatan yg sedikit untuk mengekspresikan kesedihan karena pandangan masyarakat yg menganggap laki-laki yang menangis dianggap menghambat citra ?Maskulin?. Alhasil, laki-laki wajib menutupi kesedihannya dengan bersikap tegar dan seolah-olah dia baik-baik saja.

Kemudian, orang jua acapkali mengingkari rasa takut yg dimiliki. Banyak persepsi berdasarkan famili & lingkungan sekitar menganggap rasa takut merupakan tanda kurangnya kepercayaan atau iman seseorang. Orang yg mencicipi ketakutan dilihat menjadi orang yang nir punya masa depan. Padahal sebaliknya, rasa takut merupakan mekanisme kita buat mengevaluasi diri dan melihat kesempatan hidup yang lebih baik. Jika kita mempunyai rasa takut akan ketidakstabilan finansial di masa depan, kita bisa menjadikan itu tenaga buat bekerja lebih baik & menabung. Apabila kita mencicipi ketakutan buat nir mempunyai pasangan, kita bisa mengevaluasi diri & menjadi eksklusif dengan karakter yang baik.

Menurut Ceu Nden, segala rasa yang bergejolak dalam hati kita hanyalah sensasi yang lewat. Rasa itu hanya perlu kita akui. Di Sekolah Rekonsiliasi, setiap peserta belajar untuk mengolah rasa dan mencintai diri kita sendiri melalui berbagai metode sederhana yang dapat dilakukan orang lain secara mandiri. Contohnya adalah indepth healing. Kita menulis surat sebagai inner child untuk mengekspresikan apa yang kita rasakan di masa lalu. Kemudian, kita membalas surat tersebut sebagai orangtua dari inner child untuk merespon perasaannya. Metode ini adalah bagian dari latihan berdialog dengan diri untuk menelaah permasalahan yang kita alami dan bagaimana kita seharusnya merespon. Jadi, pertanyaan dan jawaban datang dari diri sendiri. Metode lain adalah membuat genogram. Peserta membuat silsilah keluarga hingga tiga generasi (anak, orangtua, kakek-nenek) dan mencari tahu bagaimana mereka dibesarkan. Sejarah perkembangan mereka akan turut mempengaruhi bagaimana mereka mendidik kita saat kecil.

Sekolah Rekonsiliasi telah berjalan selama delapan tahun dan memiliki program yg bhineka, di antaranya workshop satu hari, sekoci (sekolah cinta), sepasang (sekolah pasangan), & sekota (sekolah orangtua). Sekoci berfokus buat mempelajari bagaimana mencintai diri sendiri). Sepasang adalah sarana mengenal pasangan dan mengelola permasalahan sebagai akibatnya tercipta hubungan yg serasi. Sekota (sekolah orangtua) untuk mempersiapkan sistem bagi anak belajar mengenai keteladanan.

Sesi sekolah cinta

Tantangan yang selama ini dihadapi adalah proses mendapat diri yg sangat berat & nir sporadis menyakitkan. Peserta harus membuka pulang luka-luka lama yang sudah ditutupi sedemikian rupa berpuluh tahun lamanya. Ada pula mereka yang wajib secara terbuka berkonfrontasi menggunakan orang terdekat mereka, baik orangtua, pasangan, maupun sahabat yg telah berkontribusi pada luka yg mereka miliki. Maka berdasarkan itu, program ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yg secara sadar mau berproses. Meskipun demikian, kesakitan yang diperoleh selama berproses lambat laun akan terpulihkan dan pada akhirnya kita belajar memaafkan. Kita bisa memaafkan jika kita merasa marah & mengetahui penyebab kemarahan kita. Setelah memaafkan, kita bisa merogoh pembelajaran berharga berdasarkan apa yang telah kita lalui.

Proses mengenal diri, baik fisik, mental, juga spiritual menjadi penting supaya kita memiliki kesadaran diri. Kesadaran diri ini akan menjadi energi bagi kita buat berusaha mencintai diri sendiri. Proses menerima diri akan mengajarkan kita poly hal: bagaimana memperjuangkan keadilan berdasarkan rasa murka , bersikap ikut merasakan dari rasa sedih, dan menjadi langsung yg optimis berdasarkan rasa takut. Perubahan global yg lebih baik akan ada dari seseorang yg telah terselesaikan berdamai dengan dirinya sendiri & siap berkontribusi bagi lingkungan yg lebih luas.

[1] Suku pribumi Amerika.

[2] https://www.Iofc.Org/our-history

[MEDIA] NEW MEDIA DAN KEMANDIRIAN BERPIKIR

Oleh: Jeremia Bonifasius Manurung

Media adalah mengenai banyak hal. Namun waktu berbicara tentang media, kita tidak bisa menghindari dialog tentang keliru satu fungsi media sebagai alat penyampai pikiran atau pandangan baru. Media bukan hanya melaporkan insiden semata yang berisi akidah 5w & 1h. Mereka jua menyampaikan inspirasi & konteks. Ide & konteks yg coba disampaikan kadang menyelimuti peristiwa yg diberitakan, atau kadang malah secara halus disembunyikan pada dalam liputan. Sebuah warta bisa saja menceritakan peristiwa orang meninggal. Namun tentu hal yang ditangkap sang audiens akan sangat tidak sinkron antara mati lantaran ditabrak atau mati karena terorisme. Akan terdapat wangsit-inspirasi atau pun konteks yg coba dibangun sang media denga memanfaatkan kejadian atau peristiwa eksklusif.

Karena sifatnya yang seperti itu, media dimanfaatkan oleh segelintir orang sebagai senjata ampuh untuk menyebarkan ide tertentu yang menguntungkan mereka. Mereka yang mempunyai media adalah mereka yang mempunyai power. Ini sudah jadi pengetahuan awam. Namun perlu diketahui bahwa power disini adalah netral. Media bisa menjadi sangat baik namun juga menjadi sangat buruk. Beberapa kampanye atau bahkan revolusi bisa dimulai dari media. Di sisi lain, pengalihan isu, penggiringan opini, sampai hoax juga dihasilkan oleh media.

Audiens tidak menyadari  operasi seperti itu. Mereka yang mengoperasikan media mengerti bahwa manusia adalah makhluk emosional. Manusia cenderung terlalu cepat untuk percaya atau tidak percaya pada hal-hal yang membuat mereka cepat merasa senang atau sedih. Dengan menembak dahulu emosi seseorang, media membuat orang tersebut seperti terblok untuk bisa berpikir rasional. Kombinasikan hal ini dengan modal besar yang bisa membuat bombardir ide terjadi secara masif dan frekuensi tinggi, maka media menjadi alat berdaya tinggi.

New Media

Jika kita kuliti lagi, proses penyampaian ilham & konteks dalam media terjadi tidaklah dan merta. Ada proses pengumpulan data, pengolahan, & lalu eksploitasi data dalam bentuk analisa yang nantinya tersaji ke publik. Mereka memberikan konteks dan inspirasi memanfaatkan kejadian yg lalu diolah entah itu secara logis atau seolah-olah logis.

Menurut Zen RS (CEO Narasi) dalam sebuah workshop tentang New Media yang dihelat secara terbatas, New media, atau media baru bukan hanya tentang perubahan bentuk media seperti misalnya dari yang awalnya cetak jadi elektronik. Ia lebih dalam dari itu. New media adalah tentang prilaku baru institusi apapun (tidak hanya media konvensional yang umumnya dicitrakan sebagai penyampai berita) yang bisa menggali atau mengumpulkan data/ide/kejadian, mengolahnya, lalu kemudian mengeksploitasinya dengan cara baru.

Intinya adalah di cara pengumpulan, pengolahan, dan eksploitasi yang  baru. Umumnya, cara baru yang mereka lakukan adalah dengan berbagai teknik terbaru entah itu artificial intelegence, machine learning, atausoftware dan aplikasi digital lainnya. Alat-alat itu mereka gunakan sehingga aktivitas-aktivitas di atas bisa mereka kerjakan dengan kecepatan dan dalam skala yang sulit dibayangkan. Dahulu, media memerlukan banyak wartawan untuk menggali informasi. Saat ini, mereka hanya butuh satu orang ahli IT dengan kemampuan di atas rata-rata dan dampak yang dihasilkan bisa berkali lipat dari banyak wartawan digabung sekalipun. Siapa sangka bahwa tim berisi empat orang bisa mengekstrak, mengolah, dan mengeksploitasi informasi hingga bisa memenangkan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat?

Artikel The Guardian yang menjelaskan tentang cara kerja Cambridge Analytica  memanfaatkan data untuk kepentingan kampanye politik.

Cara Kerja New Media

Ada banyak hal baru yang dikerjakan new media jika dibandingkan dengan old media. Pertama cara mendapatkan informasi. New media mendapatkan informasi dari “pencurian data” melalui berbagai cara.  Mereka “membajak” akun kita, mengekstraksi semua data bahkan data teman kita juga.

Dalam menganalisa data, saat ini sudah ada artificial intelligence dan machine learning yang membuat data bisa diolah dengan kecepatan tinggi dan dalam skala yang amat besar. Banyak sekali informasi dan keputusan yang bisa dihasilkan dari situ.

Ujungnya, eksploitasi data bukan hanya mengenai analisis dari data yg coba ditampilkan atau disajikan ke konsumen. Tetapi sampai konsumen itu sendiri dijadikan target konklusi analisis. Mereka sanggup menarget mana konsumen yg harus disodorkan menggunakan artikel yang mana & mana konsumen yang wajib disodorkan artikel yg lainnya.

Mengakali New Media

Mengapa kita perlu mengakali new media? Memangnya apa yang membuat mereka harus diakali?

Menggunakan new media, kita kan keranjinga  sesuatu yang di-setting oleh orang lain, informasi privat  menjadi barang yang mudah diketahui, dan yang paling penting adalah proses pengambilan keputusan yang tak lagi didasarkan pemikiran yang mandiri. Tentu kita tidak mau menjadi “korban” dari itu semua.

Sebagai contoh, tim yang memenangkan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikt sebelumnya juga bekerja mengampanyekan brexit.  Setelah diadakan referendrum Brexit, pencarian “What is Brexit” dan “What is Eurpean Union”  menjadi  top google trend di Inggris Raya. Bisa disimpulkan bahwa propaganda lebih dulu masuk ke orang-orang Inggris sebelum mereka  benar-benar berpikir dan mengambil keputusan matang tentang Brexit.

Tren pencarian google pada Inggris Raya.

Sebelum masuk ke dalam aksi untuk mengakali new media kita harus paham dulu apa yang mereka lakukan. Bagaimana mereka bisa mengekstraksi data pribadi kita dan bagaiamana mereka bisa membombardir kita dengan informasi yang bertujuan khusus untuk membuat mereka bisa mencapai kepentingan mereka.

Mereka ingin kita mengambil keputusan dari emosi. Mereka ingin kita berpikir sesuai koridor yg mereka siapkan melalui bombardir liputan dalam skala yg masif dan frekuensi tinggi. Hal itu menciptakan kita membiarkan emosi mengambil alih kendali pengambilan keputusan & mengesampingkan pencerahan. Ketika pencerahan kita sudah hilang, keputusan yang kita ambil tidaklah merdeka. Keputusan tersebut terikat pada hal-hal remeh & tidak utama.

Untuk menjaga kesadaran pertama-tama kita perlu mandiri dalam berpikir. Kita perlu tahu cara kerja new media yang membuat kita tidak mandiri dalam berpikir. Ketidakmandirian kita dalam berpikir bisa diruntuhkan oleh New Media karena mereka paham diri kita. Melalui data yang mereka dapatkan entah itu secara legal atau ilegal, mereka jadi tahu tiap-tiap orang yang mereka target.

Di sini kita harus mengerti bagaimana menjaga privasi kita sebagai akibatnya mereka tidak seenaknya sanggup mengekstraksi data kita. Lebih pada, lagi kita perlu pula pelajari prosedur pemecahan -prosedur pemecahan pengambilan data yang mungkin mereka lakukan. Intinya, kita perlu sebagai lebih pandai berdasarkan teknologi yg digunakan para media baru ini.

Kemudian, yg paling penting, kita perlu sahih-sahih nir membiarkan emosi sebagai kendali diri yg menyetir bagaimana kita mengambil keputusan. Sesuatu yang membuatmu senang , murung , atau murka terlalu cepat justru patut kamu ragukan. Tentu rasa-rasa pada atas akan sangat sulit dikendalikan. Kita nir mampu memilih emosi apa yg kita rasakan karena emosi adalah hal yang spontan. Namun kita sanggup menentukan aksi apa yg mau kita lakukan menggunakan emosi tadi. Dengan kesadaran dan sedikit menahan diri buat disetir emosi, kita bisa balik ke alam rasio sebelum menentukan tindakan yg mau kita ambil.

Terakhir, apalagi bila keputusan yang kita ambil cukup penting dan akan memengaruhi hidup kita, bolehlah kita menghabiskan sedikit lebih banyak waktu untuk melakukan check and recheck. Cari berbagai macam informasi dari sumber kedua, ketiga, dan seterusnya. Kalau perlu kita coba lihat cara pandang  yang bahkan kita tidak sukai sama sekali. Untuk bisa melengkapi aksi ini, kita juga perlu banyak belajar tentang sesat pikir (logical fallacy) dan cara pengambilan keputusan secara abduktif, induktif, atau deduktif. Dengan demikian kita punya kemampuan atau sense yang lebih lengkap untuk menentukan mana yang lebih bisa dipercaya atau tidak.

Memang nir gampang. Namun kita bisa mulai melatih diri berdasarkan hal yg sederhana. Ketika kita sanggup mendapatkan kabar dengan gampang dan ketersediaan fakta yang teramat melimpah seperti waktu inilah, kita perlu sangat menaikkan kemampuan kita supaya kita sanggup mengambil keputusan menurut pertimbangan valid, rasional, & berdikari.

[PIKIR] MENJADI MANUSIA

Oleh : Umbu Justin

Homo Sapiens atau Homo Appendictis

"I can't go back to yesterday because I was a different person then"

Alice in the Wonderland

Pertanyaan tentang makna manusia belum lama ada, dibandingkan dengan 2 juta tahun kehadiran spesies kita Homo Sapiens, pertanyaan itu baru muncul sekitar 2500 tahun lampau di Yunani, kemudian menghilang dan munculkembali pada masa renaisans (tahun 1300-1600 masehi).

Pada permulaan lahirnya bahasa, saat alam masih sedemikian lekat dengan kita, nir ada jarak yg cukup untuk menyadari eksistensi kita di tengah global. Bahasa belum terbangun buat mengajukan pertanyaan, yg ada hanya bunyi penanda kehadiran, yang kita suarakan secara spontan buat menjadi awas atau sekadar memberitahu peristiwa-peristiwa yg wajib kita waspadai demi kelangsungan hayati. Relasi kita dengan alam, dengan persekitaran kita, dengan sesama, selalu bilateral, saya dan engkau [1], relasi komplementer, langsung, mengikat dan saling menjamin keberadaan.

Kesadaran kita mengenai hayati belum terbangun sebagai sebuah pengetahuan abstrak, segala sesuatu mengikat kita secara sangat kongkrit dan sensasionik, kita merasa dengan peka, meraba & menyentuh semuanya secara eksklusif. Kita terapung pada sebuah keserbaadaan yang magis, sebuah dunia gaib yg dengannya kita melebur & mengalir dan hidup sedemikian lekat.

1. Manusia magis, para shaman pemandu kehidupan, penutur kejadian:

Ketika kita semakin berkembang, menyadari ikatan-ikatan vital antara sesama, membentuk hayati berkelompok, muncullah representasi pengalaman hayati sehari-hari pada diri para shaman, dukun, para penutur cerita. Mereka merupakan penyentara gaib yang sanggup menafsir dan mengikat seluruh ingatan dan memberitahu bagaimana harusnya kita hayati. Mereka memberitahu asal usul segala sesuatu, menafsir insiden-insiden, dan meramal masa depan. Mereka adalah para penafsir, penyimpan misteri, penyembuh pelihat, visionaris handal & penjamin kelangsungan hidup.

Perlahan-lahan dengan peran para shaman ini bahasa menjadi abstrak, mereka mampu menyimpan pengalaman dalam kata-kata, memberi nama dan memanggil subyek atau bahkan peristiwa-peristiwa yang kita inginkan terjadi. Kita mulai membangun kesadaran bahwa kita berada secara khas, mampu membuat jarak dengan alam, menyadari pelintasan waktu, menamai musim-musim, membuat peta tempat-tempat yang kita kenal, dan membangun ritual-ritual, membahasakan mantra-mantra penjinak hidup untuk mengelola dan mempengaruhi berlangsungnya alam dan kehidupan. Dunia tidak lagi terlebur bersama kita, tidak lagi mistik, ia sudah punya nama yang bisa dipanggil dan dimantrai. Kita percaya pada daya-daya magis yang dimiliki para shaman, mereka mewakili hubungan kita dengan alam, dengan kejadian-kejadian. Melalui mereka kita memandang hidup, menggunakan kata-kata magis dengan cermat dan penuh rahasia, dan menuturkan hadirnya bentuk kehidupan yang kita inginkan.

2. Manusia Mitos, kepercayaan pelantun mantra-mantra penakluk semesta

Kebiasaan buat menuturkan hadirnya kehidupan yg diinginkan, memanipulasi insiden dengan mantra dan bahasa rahasia, 'melembaga' secara sporadik, melahirkan mitologi-mitologi lokal yg dituturkan sang para shaman. Kekuasaan memanipulasi peristiwa alam, menghadirkan peristiwa, sebagai kultus, memisahkan daya tafsir, daya magis sebagai kekuasaan istimewa yang terpisah menurut keseharian. Bahasa terbagi 2 menjadi kata lokal yg pragmatik buat komunikasi sehari-hari pada satu pihak, & di lain pihak terdapat bahasa misteri yg hanya dipakai oleh para shaman pada doa-doa pengelolaan kehidupan. Bahasa sehari-hari berkembang menggunakan pengayaan yang impulsif dan ringan sedang bahasa-bahasa mantra sebagai langka dan semakin tersembunyi, nir sembarang dituturkan, dikhususkan pada insiden tertentu dengan tata upacara yg pantas.

Inilah suatu situasi baru pada mana manusia sudah melepas diri dari alam, namun terikat pada rapikan upacara yang dibangun oleh para kelembagaan shamanik. Manusia diikat oleh mitos-mitos lokal tentang berasal-usul & masa depan nasib insan. Di mana-mana secara sporadik gerombolan -grup warga melembagakan istiadat kepercayaan , agama-agama asli yg menyimpan khazanah bahasa kudus, mantra-mantra, doa-doa spesial buat memanipulasi alam & peristiwa kehidupan.

Mantra-mantra lokal lalu melembaga ke pada nama-nama spesial yang misteri, nama-nama figuratif, lalu mewujud pada yang kuasa-dewi lokal, tuhan akbar dan mini , penguasa daya-daya alam khas, pengendali laut, panen, pohon besar , binatang, animo, mentari , rembulan, penghalau bahaya, penyembuh, nama-nama terlarang, hanya mampu dituturkan & dipanggil melalui tata ritual yg sepantasnya. Pada para shaman dan bahasa ilahiah inilah manusia bergantung & bercermin untuk menerima makna serta tugas hidupnya. Dunia segera sebagai jelas bagi benak insan, terstruktur & berkaidah lewat tatanan bahasa. Bahasa suci lewat orakel dan rapikan upacara para shaman, para tetua kepercayaan , menafsir & mendoktrin jalannya bintang-bintang & letusan gunung barah, mengatur makna kelahiran dan kematian, tetapkan & merestui pemimpin-pemimpin, dan meramal keberuntungan dan memetakan jalan hidup setiap orang.

Nasib manusia lantas diikat sang bahasa kudus, bahasa mantra dan bahasa kekuasaan. Bahasa suci ini menata alam semesta & menjajah hati manusia, mengikat insan ke dalam mantra penaklukan yang menghentikan kemampuannya bertanya dari dalam relung kegelisahannya sendiri. Dan selama beratus ribu tahun manusia nir mampu bertanya, nir bisa merespon kekuatiran hatinya, menjadi gagu dalam rasa takut yg dibangun oleh ancaman shamanik, sebab merekalah yg empunya bahasa kudus penjinak semesta.

Rasa takut dan penaklukan sang bahasa suci ini ini menjadi pola-pola yang efekif buat mengelola publik. Lantas parallel menggunakan kekuasaan kaum kepercayaan , para penguasa memanfaatkan bahasa kudus sebagai bahasa mereka buat mengesahkan ideologi kekuasaan politik. Mereka bahkan dengan restu shamanik menyatakan diri dewa, putra-putri dewata, pemangku & pengendali aksis semesta & penguasa dunia nan terberkati melalui bahasa kudus bertuah, penakluk segala sesuatu. Bahasa suci lantas sebagai ideologi yang berbanding lurus dengan ketakutan publik manusia biasa penutur bahasa-bahasa pragmatis, bahasa-bahasa pergaulan yg nir punya tuah apa pun.

Tiga. Fajar Manusia Filsuf, perenung permata eksistensi, masa Yunani klasik

Rupanya insan biasa nir sedemikian takluk, sebab bahasa keseharian yg tidak bertuah, ternyata menjadi stimulan perasaan. Bahasa biasa menggali jauh ke pada kalbu manusia, menemukan 'permata' pada pusat keberadaan, & terutarakan pada alun syair, puisi, sajak-sajak kegelisahan yang bertanya dari dalam hati manusia. Socrates, pionir filsafat, lebih berdasarkan 2 milenia yg lampau di pelataran kuil Athena Yunani, mulai mempertanyakan semuanya. Ia membangun metode berpengetahuan dengan bertanya, terutama dalam kebenaran-kebenaran ideologis yg mapan selama ribuan tahun. Untuk pertama kalinya, bahasa jalanan, bahasa urban, mengusik tatanan bahasa keramat, & mengurai tali ikatan penakluk manusia. Socrates-lah yang menyatakan bahwa dengan mengurai segala sesuatu melalui bertanya, melakukan dialektika, kita dapat menemukan kebenaran eksistensi kita, permata di sentra kehadiran kita. Kebenaran bukanlah doktrin, ketetapan, dogma atau orakel, bukan juga kesepakatan atau kontrak perjanjian perbudakan manusia pada altar para agamawan atau di kaki para tuhan. Manusia mampu melepas kungkungan rasa takut dalam kekuasaan semu bahasa keramat & menyadari balik keberadaannya.

Tentu saja Socrates dihukum mati menjadi penanda berfokus atas kecerobohan berbahasa. Efektivitas hukuman ada pada sugesti yg diciptakannya, mengingatkan insan dalam ketakutannya, pada tali perbudakan absolut yg melilit kehadirannya. Murid-anak didik Socrates terutama Plato dan lalu Aristoteles melanjutkan ikhtiar filsafat untuk menemukan esensi dari permata eksistensi tersebut. Plato memakai bahasa kudus, menunjuk pada dunia ilham, sedangkan Aristoteles mencarinya dengan bahasa praksis, memilih dalam global empirik. Metode Socrates, mempertanyakan kemapanan secara dialektik, sama-sama berlaku pada cara berbahasa filosofis pada Plato & Aristoteles. Plato berbicara mengenai idealism tatanan insan, mengenai politik dan kepentingan bersama, merintis humaniora, & Aristoteles berbicara mengenai realism pencarian hakekat, tentang alam & merintis ilmu pengetahuan empirik; keduanya mengurai ikatan perbudakan intelek manusia berdasarkan mitos & dogma agama.

****

Tetapi agama nir tidur, bahkan menggunakan filsafat untuk melayani tatanan dunia baru, pada mana Tuhan diletakkan pada hierarki tertinggi, insan luhur antara Tuhan & malaikat kemudian pada tengah, pada bumi sedangkan manusia pendosa pada bawah bumi, di neraka. Melalui institusi pengikat kosmik (Gereja Katolik Roma), dibangunlah tatanan semesta (Great Chain of Being), pada mana Tuhan sebagai ilham tertinggi & alam semesta menjadi manifestasinya dari taraf keluhurannya sendiri-sendiri. Manusia sekali lagi nir memiliki independensi eksistensial, terikat pada aturan kosmik yg tertulis pada doktrin Gereja.

4. Thomas Aquinas dan prestise insan melalui intelek

Setelah lebih berdasarkan 1300 tahun kekuasaan dogmatik Gereja, menurut pemikir dan teolog terbesar abad pertengahan, kesadaran filsafat Yunani klasik lahir pulang. Thomas Aquinas menyakini intelek manusia pada kemandiriannya mampu menjangkau Tuhan. Bukan Tuhan perwahyuan yang dikumandangkan kepercayaan -kepercayaan , melainkan Tuhan absolut, yakni kebajikankebajikan

luhur kehidupan: Kebenaran, Keindahan, Kebaikan & Keutuhan. Thomas Aquinas lah yg menafsirkan ulang defenisi esensi manusia oleh Aristoteles menjadi Homo Sapiens, mahluk

intelektual. Penghargaan dalam kontemplasi intelektual ini membuka jalan dalam sebuah pemerdekaan yg mengganti paras dunia selama-lamanya: Renaisans; suatu pancaran prestise kemandirian humanitas yg merdeka, yg mengubah tatanan kosmikal Gereja sebagai medan kesadaran baru terhadap dunia yang mesti dieksplorasi.

Lima. Manusia Renaisans, terapung dan tanpa tujuan tetapi konfiden

Masa Renaisans menandai pembalikan kesadaran dari yang serba ilahi menjadi serba menggairahkan. Ketika Gereja klasik sebelumnya membekukan kesadaran manusia, Filsafat Yunani klasik lahir kembali, membuat dunia menjadi tak bernama dan menunggu untuk ditandai oleh ilmu pengetahuan yang bebas dari dogma. Filsafat Plato memberi jalan pada para pemikir seperti Descartes yang menentukan keberadaan manusia sejauh aktifitas inteleknya (cogito ergo sum: saya berpikir maka saya ada) dan Immanuel Kant yang meletakkan kebenaran etis pada adanya manusia itu sendiri, bukannya pada hukum Tuhan.

Pada masa ini ilmu pengetahuan berkembang dan manusia menjadi sedemikian realistis, terikat dan terpesona pada hal-hal yang teraba oleh indera. Bumi kehilangan tempatnya sebagai poros dunia, dan di antara hal-hal yang terlihat tersembunyi penglihatan-penglihatan baru (penemuan mikroskop dan teropong) dan berkembangnya fenomenologi yang menyadari kekhasan cara memahami pengalaman serta psikologi sebagai jalan melihat ke dalam psyche manusia.

Alam semesta terurai ulang dan kemudian tertata & terikat pada hukum-aturan keniscayaan intelek (gravitasi dan mekanika konvoi benda-benda langit) & kehilangan kualitas mistisnya yg pernah diyakini berpuluh ribu tahun.

Hubungan komplementer (saya dan engkau ) berubah sebagai subyek & obyek. Kita menjadi eksplorer menjelajar dunia tidak bernama dengan rasa ingin memahami yang melampaui daya jawab keilmuan itu sendiri.

Pertanyaan tentang makna & tugas insan nir lagi relevan, meski terdapat optimisme terhadap daya eksplorasi manusia dan kecakapan inteleknya, loka insan sendiri tidak lagi terpijak pada global, insan terapung dan tersihir oleh penemuan-penemuannya sendiri. Humanisme renaisans memang benar-benar memerdekakan manusia namun sekaligus menghanyutkannya dalam keasyikannya menjalankan daya inteleknya sejauh mungkin.

6. Manusia Post Intelectual, terintegrasi ke pada sistem data, tanpa keyakinan & tidak bernama:

Kita sekarang tidak memiliki apa pun untuk diperjuangkan. Intelek kita telah sanggup diserahkan dalam mekanisasi robotic (Artificial Intelligence). Kita merupakan konsumen berdasarkan sebuah sistem provider yang mendunia yg menyediakan seluruh kemudahan hayati. Kita adalah mahluk penjalan kehidupan, melakukan pola-pola rutin yg semakin hari semakin terpetakan & terdata secara lebih jelasnya. Dan jikalau sistem ini sempurna, kita telah bukan manusia lagi namun semacam 'usus buntu' menurut sebuah organisme algoritmik pengolah data yg mendikte segala sesuatu. Kita adalah relik, sisa-sisa pemeran kehidupan yang kehilangan tugas vitalnya. Hidup yang kita kenal membuntu dan terselesaikan pada sini, sekarang. Kita puas duduk pada cafe-cafe menjalankan pola-pola rutin, menunggu para provider menyempurnakan data dan mempertajam algoritme mereka dengan personal komputer quantum. Kita menonton, berbagi tontonan pada antara kita, menggairahkan gambar-gambar yang itu-itu pula & pandangan baru-pandangan baru statik agar selalu tersaji dengan topeng baru yg mengejutkan.

Dunia algoritmik masa kini adalah pembakuan universal & absolut dari rekaman data kehadiran kita pada bumi. Para provider atau pengelola industri 4.0 memetakan ke-siapa-an kita. Kita adalah rekap data tertentu menurut pola penghayatan empiris yang terbaca setiap ketika. Kita adalah kabar, & dalam kelumpuhan kita mencari makna, para provider menggunakan artificial intelligence buat memelihara kita bagai ternak, menggembalakan kita ke padang rumput, memberi makan & menyatakan dogma ketidak-bergunaan daya pikir kita. Esensi intelektualitas kita dalam defenisi Homo sapiens, sebagai hampa & kehilangan fungsi, kita menjadi Homo appendictis (serupa usus buntu, ada akan tetapi menggelantung tak bermanfaat lagi)

Pesan dari Wonderland:

Lewis Carroll (1832-1889) novelist, lewat tokoh kanak-kanak Alice, bertanya tentang makna diri & identitas: 'Who in the world am I? Ah, that's the great puzzle! Lalu beliau menggumamkan kebingungannya: "How puzzling these changes are! I'm never sure who I am going to be from one minute to another."

Ini merupakan sebuah kisah mengenai Alice yang terperosok ke dalam lubang kelinci, sebuah dunia menggunakan tatanan absurd di mana semua pemahamannya tentang global nyata dijungkirbalikkan. Sama misalnya para filsuf Yunani Klasik, dia merenungkan arti dirinya, namun pada sebuah global yang serba jungkirbalik itu, esensi & defenisi tidak sanggup jadi pegangan.

Alice memberi wangsit bahwa defenisi apa pun itu tidak bermanfaat bagi kita. Jika kita sekali lagi mau tergoda pada misteri kehidupan, menyadari kesementaraan kita, & meninggalkan ketergantungan kita dalam kekakuan esensi, melepas mantra-mantra algoritmik, menjadi merdeka, menjalin pulang interaksi bilateral dengan kehidupan, rekanan aku -kamu, komplementer dan interdependen, maka sebuah global imajinatif akan membuat kita memandang empiris dengan empati, yakni dengan rasa terlibat yang menyambung kita dalam kehidupan. Dunia membarui kita. Kita bukan tuan atas semesta, kita adalah denyutan semesta, perenung, artisan, penyair, pelakon hayati dan filsufnya.

Di salah satu bagian lain Alice merasa yakin: "Imagination is the only weapon in the war against reality". Realitas adalah kesimpulan, data, rekap algoritmik, tak terubahkan, baku dan terbukti. Realitas sepanjang sejarah manusia telah menjadi mata uang pembeli kesadaran manusia. Realitas adalah tenung kekuasaan baik oleh agama, mitos, sains mau pun algoritmic intelligence. Realitas selalu ada sebagai topeng kekuasaan, seakan sebuah tembok tak tertembus. Realitas mewujud setiap kali imajinasi berhenti berlangsung. Imajinasi adalah peruntuh realitas, pencair dogma dan pelantun kata-kata penciptaan baru setiap kali dunia membeku pada nasibnya.

Imajinasi adalah senjata, sebab dengannya kita sanggup mengubah empiris, menguraikannya dalam relasi yg otentik menggunakan kehidupan. Menjadi insan merupakan tugas, namun bukan aplikasi doktrin, bukan pesan Tuhan para agamawan yang menggantung kita dalam ayunan bandul nasib antara kesucian dan dosa, mengayun ke nirwana atau neraka, juga bukan data-data algoritmik dunia digital yg tercirikan lewat pola-pola & data-data akurat.

Manusia adalah pesan tentang hayati, nafas rohani semesta, kata kerja, gairah menurut pada dunia. Kita bukan elemen mekanis pada semesta, kita merupakan jiwa & roh, tenaga & ilham yang mengubah empiris, kita senantiasa merupakan gerakan, daya empati yg menyeberangi kutukan nasib sedemikian sebagai akibatnya kehidupanlah yang menang.

[1] Before Philosophy: The Intellectual Adventure of Ancient Man, Henri and H. A. Groenewegen Frankfort, John Wilson, and Thorkild Jacobsen

Sabtu, 02 Mei 2020

[TIPS] SELF AWARENESS DALAM KONFLIK

Oleh: Anastasia Levianti

Setiap hari, kita niscaya menghadapi konflik, baik pertarungan dalam diri sendiri maupun pertarungan dengan orang lain dan situasi syarat di luar diri. Inti menurut perseteruan adalah kita mengalami ketegangan dampak disparitas. Konflik dalam diri terjadi contohnya ketika pikiran menyuruh kita buat permanen terjaga sampai tugas terselesaikan tuntas, ad interim badan cita rasanya lelah & sangat ingin rebah. Perseteruan menggunakan lingkungan terjadi contohnya waktu kita menghadapi kenyataan yang tidak sinkron dengan asa, ataupun ketika kita tidak selaras sudut pandang menggunakan rekan tanpa menemukan jalan keluar.

Dalam psikologi, ada setidaknya tiga macam konflik, yaitu approach-approach, approach-avoidance, dan avoidance-avoidance. Konflik approach-approach terjadi saat kita mengalami pertentangan antara dua hal yang sama-sama kita sukai/inginkan/sifatnya positif. Contoh konflik approach-approach misalnya antara tekad meneruskan puasa dengan keinginan makan teratur untuk memulihkan lambung yang luka. Puasa dan makan teratur sama-sama positif sifatnya atau diinginkan.

Konflik approach-avoidance kita alami saat menghadapi pertentangan antara hal yang kita inginkan (arah positif) dengan hal yang kita hindari (arah negatif). Misalnya, seorang perempuan sangat ingin menjadi ibu rumah tangga agar dapat total melayani keluarga, namun sekaligus juga tidak mau bergantung pada suaminya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Melayani keluarga sifatnya positif atau diinginkan, sementara bergantung secara finansial kepada suami sifatnya negatif atau tidak diinginkan.

Dari paparan di atas, pembaca tentu dapat menduga, bahwa konflik avoidance-avoidance terjadi saat kita mengalami pertentangan antara dua hal yang sifatnya sama-sama negatif atau kita hindari. Contoh dari konflik ini ialah saat kita tidak suka dengan sikap rekan kerja, namun kita juga enggan menyelesaikan tugas tim sendirian. Kita menghadapi dua pilihan yang sama-sama tidak kita inginkan, namun menuntut kita untuk tetap memilih.

Asal: www.Dosensosiologi.Com

Ketegangan dan ketidaknyamanan yang dirasakan saat berhadapan dengan konflik diinterpretasikan oleh otak kita sebagai sinyal bahaya. Otak kemudian dengan cepat mengambil alih kendali diri untuk melakukan upaya penyelesaian konflik. Upaya pemecahan masalah dapat mengadposi kebiasaan umum yang berlaku menurut akal sehat (common sense), mengikuti cara penyelesaian yang dilakukan oleh orang lain di sekitar kita (vicarious learning), memilih mengikuti dorongan yang paling dominan untuk memperoleh kenyamanan/menghilangkan ketegangan (emotional focus solving), ataupun melakukan analisa sintesa dalam rangka menemukan akar masalah dan menyelesaikannya (problem focus solving).

Ada beberapa rambu yang perlu kita perhatikan saat menimbang sesuatu, agar hasil common sense setidaknya logis dan objektif (Solso, 2005). Beberapa rambu tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Rambu mayoritas: suara terbanyak atau mayoritas belum tentu benar
  2. Rambu atribut popularitas: opini figur populer belum tentu benar
  3. Rambu atribut otoritas: pandangan figur pimpinan, ataupun mematuhi norma tanpa pertimbangan konteks, belum tentu benar

4. Rambu kekuatan/dominan: mematuhi desakan karena takut ancaman, ataupun mengikuti pengaruh orang yang dominan, belum tentu benar

  1. Rambu ?Kambing hitam?: apapun pandangan kita tentang orang lain & lingkungan sebetulnya lebih mendeskripsikan dinamika batin eksklusif daripada fenomena pada luar diri

Vicarious learning atau belajar dengan cara meniru sebenarnya sering kita lakukan. Di Indonesia, praktik belajar dengan cara meniru dikenal dengan singkatan 3M, yaitu memperhatikan, mengikuti, dan memodifikasi (Krismastono, 2019). Agar optimal memperhatikan, kita perlu mengaktifkan panca indera. Misalnya saat belajar memasak, alih-alih hanya melihat dan mendengar video masakan, kita dapat juga menyentuh langsung, mengenali aroma, ataupun mencicipi produk masakan. Perhatian kita juga akan lebih cermat manakala kita mengulanginya beberapa kali, ataupun mendiskusikan hasil observasi kita ini dengan orang lain yang juga melakukan observasi serupa. Pengulangan juga perlu dilakukan saat praktik mengikuti. Seorang pelatih senior menganjurkan agar peserta mengulangi hal yang dipelajari sampai sepuluh kali. Meski ada peserta yang sudah cukup paham setelah pengulangan ketiga sampai kelima, manfaat tetap akan diperoleh bilamana peserta disiplin mengulanginya sampai sepuluh kali. Practices indeed make us perfect, iya kan? Hasil pengulangan akan membantu kita menemukan intisari pembelajaran, yang kemudian menstimulasi kita untuk mengembangkannya melalui elaborasi ide pribadi.

Asal: www.Rumahfilsafat.Com

Emotional focus coping ditujukan untuk menyalurkan ketegangan agar reda dan tidak berdampak destruktif. Ada beberapa cara penyaluran emosi negatif yang dialami saat konflik. Langkah pertama adalah walk out. Kita dapat minta ijin waktu jeda 5-15 menit ke kamar mandi. Kita dapat membasuh wajah dengan air, menghirup udara segar, dan minum segelas air putih. Gerakan menyediakan waktu untuk pribadi ini dapat membantu kita kembali berpusat kepada prinsip diri, sekaligus melapangkan hati untuk berempati menangkap kebutuhan inti orang lain/inti tuntutan situasi di balik paparan informasi yang tampak di permukaan. Bilamana walkout tidak dimungkinkan, kita dapat menggosok-gosokkan telapak tangan, memijat jari jemari, ataupun mengempitkan kedua telapak tangan di ketiak. Menurut hasil penelitian para ahli healing dalam komunitas capacitar, emosi negatif tersimpan dalam jari-jemari, sehingga gerakan memijat, menekan, mengelus, dan gerakan apapun yang kita lakukan secara sadar terhadap jari jemari kita akan membantu kita melepaskan emosi negatif yang kita rasakan. Intinya adalah kesadaran penuh pada gerakan, dengan cara menyediakan waktu untuk memperhatikan diri sendiri serta melambatkan tempo aktivitas sejenak.

Problem focus coping yang dewasa ini berkembang adalah pemikiran komputasional (Krismastono, 2019). Kita mencoba memecahkan masalah sebagaimana komputer melakukannya. Ada empat tahapan dalam pemikiran komputasional, yaitu dekomposisi, pengenalan pola, algoritma, dan identifikasi. Dekomposisi kita lakukan dengan cara menguraikan masalah. Masalah yang diuraikan membuat kita merasa lebih ringan dan mudah memahami keadaan masalah yang dihadapi. Misalnya, saat menghadapi tumpukan pekerjaan rumah tangga, sampai kita merasa berat sekali, namun juga tahu bahwa kita harus mengerjakannya, kita dapat memulai penyelesaian dengan cara memecah tumpukan pekerjaan berdasarkan kelompoknya (cucian dipisahkan berdasarkan jenis, dst., sehingga kita menghadapi bukan tumpukan berantakan yang membuat rasa tidak nyaman, melainkan tumpukan rapi yang membangun  kesiapan untuk mulai mengerjakan). Kebiasaan melakukan dekomposisi lambat laun membuat kita mudah mengenali benang merah saat menghadapi masalah. Benang merah atau pengenalan pola di balik paparan informasi ini akan membantu kita lancar memahami algoritma-keterkaitan logis, seperti hubungan sebab akibat langsung di antara dua hal. Identifikasi akar masalah dan solusi pun menjadi mudah kita lakukan. Untuk menyempurnakan hasil pemikiran, kita dapat membiasakan diri melakukan review setiap tahapan dan mengevaluasinya sebelum melakukan eksekusi solusi.

Yuk, kita coba praktik sejenak melalui studi masalah berikut. Ada seorang biasa, berumah tangga dan bekerja dengan mengutamakan nilai-nilai luhur dalam aktivitasnya, yang akhir-akhir ini mengalami kelelahan. Meski tugas demi tugas diselesaikan sesuai baku, tetapi tugas demi tugas baru tiba dengan tempo lebih cepat, sehingga tumpukan output kerja tidak memadai bila dibandingkan dengan tumpukan tugas baru yg menanti diselesaikan. Segala upaya optimal pekerja pula kurang dihargai oleh lingkungan sekitarnya. Hasil kerjanya nir lepas berdasarkan kritik dan cemooh, entah itu disampaikan secara langsung & objektif, ataupun menggunakan bisik-bisik pada belakang kehadirannya & subjektif. Jiwa raganya sangat lelah.

Bagaimana penyelesaian studi kasus tersebut dapat dilakukan? Pekerja bisa saja mengikuti saran atasannya untuk lebih rileks dalam bekerja, menyelipkan kesenangan di tengah waktu kerja, dan menambah waktu kerja dengan mengerjakan tugas juga di luar jam kantor (pengaruh otoritas). Pekerja juga bisa meniru teladan atasan lain yang fokus membuat skala prioritas, mengerjakan hanya yang penting saja, dan menyelesaikan pekerjaan yang datang berdasarkan skala prioritasnya (vicarious learning). Ia sendiri dapat menciptakan waktu jeda untuk diam sejenak, lepas dari rutinitas memenuhi tuntutan tugas yang terus bertambah, agar stamina jiwa raganya pulih dan siap kembali beraktivitas menyelesaikan tugas (emotional focus coping). Dalam keadaan siap, ia sadar, bahwa ia perlu melakukan perubahan cara kerja. Pola kerja yang sama tidak cukup memadai untuk memenuhi tuntutan yang terus bertambah. Alternatif saran yang tersedia adalah menambah waktu kerja dan memilah pekerjaan berdasarkan skala prioritas. Ia juga terpikir untuk menjaga tempo kerja, dengan cara tidak mengejar kualitas - kesempurnaan saja yang memakan waktu lama, melainkan memperhatikan juga batasan waktu pengerjaan selama proses penyelesaiannya. Selain itu, ia juga perlu lebih disiplin mengatur kemauan badannya, untuk merelakan waktu istirahatnya digunakan sebagai waktu tambahan penyelesaian tugas (problem focus coping).

Apakah cara lain solusi pada atas berhasil menyelesaikan perkara yang dialami? Sering kali, penyelesaian yg dilakukan nir cukup memuaskan, karena tidak seluruh rencana penyelesaian sungguh bisa dilaksanakan pada keseharian. Pekerja belum terbiasa mengatur kemauan badan, sebagai akibatnya stamina menambah ketika kerja masih naik turun & belum konsisten. Sementara itu, tumpukan kerja terus datang bertambah. Tekanan beban kerja tidak bisa diimbanginya menggunakan peningkatan stamina & pembentukan norma kerja baru yang lebih efektif. Jiwa raganya belum terlepas dari kelelahan. Sukacita belum memenuhi kegiatan kerjanya.

Pada titik ini, kita mendapat kesempatan untuk lebih masuk ke dalam diri, melakukan refleksi, untuk menyadari keberadaan aktualita yang lebih hakiki. Untuk dapat masuk ke dalam diri, diperlukan keadaan hening. Kita dapat menciptakan keheningan dengan cara melakukan jeda, yaitu dengan menghentikan aktivitas yang sedang dilakukan, mencari tempat untuk tenang menyendiri, dan rileks melepaskan semua ketegangan melalui hembusan dan tarikan napas yang teratur. Melalui napas teratur, kita dapat menajamkan indera untuk merasakan situasi dan kondisi di sekitar, meskipun kita tidak aktif mengamati - menginderanya dan tidak terlibat di dalamnya. Melalui kesadaran pada napas teratur, pikiran kita juga akan lebih jinak, tidak agresif memimpin tindakan pemecahan masalah berasarkan keterdesakan/sinyal bahaya yang ditangkap otak. Melalui kesadaran pada napas teratur, pelan-pelan kita melepaskan kelelahan, ataupun keterikatan diri pada tuntutan pemenuhan tugas, yang tanpa sadar membuat kita lelah. Melalui kesadaran pada napas teratur, cakrawala pandang kita meluas, kondisi penuh desakan seperti “kiamat” kini terlihat harmoni ibarat “surga”. Ada keyakinan dalam hati kecil bahwa semua baik-baik saja. Ada gerakan cinta yang lembut untuk mulai dengan tenang aktivitas yang paling diperlukan dalam penyelesaian tugas. Melalui kesadaran diri pada napas teratur, sikap dan tanggapan kita terhadap situasi yang sama (yaitu sama-sama belum memenuhi standar sempurna), akan menjadi lebih bersifat cinta merawat, daripada  rasa tidak suka dan nafsu memperbaikinya. Energi cinta akan menjaga stamina terlepas dari kelelahan buta yang tidak perlu. Energi cinta akan membantu kita untuk sabar bertekun dan damai bersyukur selama bertekun hingga selesai.

Sumber: www.Vectorstock.Com

Jadi, apa yang dapat kita lakukan untuk menghadirkan self-awareness dalam situasi konflik sehari-hari?

1.Let it flow, ikuti arus yang berjalan:

common sense, vicarious learning, emotional focus solving, problem focus solving, yang tetap saja berakhir pada rasa tak berdaya meski  segala upaya telah dilakukan.

2.   Hentikan sejenak langkahmu sekarang:

pejamkan sejenak matamu yang lelah, rasakan kelelahan misalnya sia-sia;

diamlah sejenak bibirmu tidak bicara, abaikan kata-kata mematung ad interim;

abaikan sejenak pemberontakan rasuki jiwa, dan abaikan dirimu digerakkannya;

hidup memang penuh peluh, buat siapa saja yg membuatmu penuh;

tapi pernahkah kau berpikir, perlu ada ketika tuk nurani bicara;

jernihkan sejenak pikiran keruhmu, coba sadari insan yg semakin rapuh;

panjatkan sejenak doa sederhanamu, undanglah Dia masuk ke dalam bingkai hatimu;

rasakan sejenak genggam erat tanganKu, jangan pernah kau biarkan cintaKu (Wiji Tukul).

3.Loving by serving, cinta merawat yang di hadapan dengan tulus melayani pemenuhan kebutuhan:

Orientasikan diri untuk bertanggung jawab penuh menyelesaikan semua tugas (Yes, I do).

Tangkap tujuan utama, buat skala prioritas kerja menurut dampaknya pada pencapaian tujuan.

Diam (tenang) & bekerjalah. Sabar bertekun & tenang bersyukur.

Doa, meditasi, damai, ketika jeda, akan mengasah pisau kesadaran diri buat terus hayati dan terus mencinta.

[OPINI] REVOLUSI DIRI ADALAH REVOLUSI DUNIA

Oleh: Anthony Dalimarta

Pada jaman modern ini, dunia sedang berubah dan berevolusi dengan semakin cepat. Di negara-negara tertentu, mayoritas orang telah dapat hidup bersama tanpa diskriminasi ras atau warna kulit. Kesetaraan gender semakin dapat terlihat pada berbagai aspek kehidupan. Senioritas dan bullying semakin dipandang sebagai sikap yang melanggar martabat luhur manusia. Hal-hal seperti ini jauh lebih sulit kita temukan bila kita menghitung mundur 50-100 tahun ke belakang.

Baik dalam lapisan yang luas juga kecil, perubahan yang terjadi adalah sebuah bagian alami menurut proses evolusi makhluk-makhluk yang menghuninya. Dalam tataran hidup insan, perubahan kesadaran menyebabkan keluarnya pertanyaan-pertanyaan baru yg menciptakan kita semakin merenungkan batasan diri kita. Sebuah perenungan yg muncul semakin kuat & menjadi relevan pada waktu ini merupakan tentang cara hidup kita yang menghipnotis kehidupan lain pada bumi, yg secara tidak langsung pula memengaruhi keberlanjutan jangka panjang kehidupan insan. Pada sisi lain, kita juga sedang merenungkan tentang orientasi seksual seorang, dimana kita diajak buat mendobrak kepercayaan lama bahwa jenis kelamin eksklusif pasti mempunyai orientasi seksual eksklusif.

Secara terus menerus, kita ditantang buat mengalami transformasi pencerahan secara komunal. Pada waktu ini, perkembangan teknologi semakin menghubungkan seluruh pelosok dunia. Teknologi tidak hanya menghubungkan orang, tetapi pula fakta. Segala macam hal yg disembunyikan sebagai jauh lebih gampang terungkap. Dan saat terungkap, penyebarannya terjadi secara cepat dan masif.

Keterhubungan ini menjadi sarana yang semakin efektif buat pihak-pihak yg hendak membawa pembaharuan kesadaran. Kita dapat melihat Greta Thunberg, seseorang remaja yang dalam ketika singkat dikenal sang dunia ? Sampai menerima nominasi penghargaan Nobel bidang perdamaian ? Hanya menggunakan membuat protes sederhana tentang pemanasan global dengan duduk membisu setiap harinya di depan gedung parlemen Swedia. Dengan namanya yang menjadi akbar, dia mengundang banyak sekali macam perhatian dari seluruh dunia. Ia menjadi tamu pada saluran-saluran TV besar di global, menjadi sampul majalah-majalah ternama, sampai berbicara pada konferensi aksi iklim PBB. Semua publisitas ini secara tidak pribadi ikut mengembangkan pesannya tentang pemanasan dunia.

Greta Thunberg (16), aktivis lingkungan hidup, sedang berbicara pada pembukaan UN Climate Action Summit 2019 (Sumber: news.un.org)

Tidak hanya buat pihak yang hendak membangun transformasi, teknologi pula digunakan sang poly orang yang masih kurang pandai menggunakan agama & cara hidup yg lama . Maka, tarik menarik antara orang-orang yang ingin membawa perubahan dengan orang-orang yg nir menginginkan perubahan juga terjadi dengan semakin keras.

Beberapa contoh agresi yang dilancarkan oleh orang-orang pemegang posisi politik terhadap gerakan yg dilakukan oleh Greta Thunberg (Sumber: people.Com, twitter.Com)

Untuk kita yang memperjuangkan perubahan-perubahan dalam aspek & tataran yg bhineka, bergesekan dengan orang-orang yang nir mau berubah juga merupakan sebuah keniscayaan. Di sisi lain, kita nir pernah benar-sahih tahu kapan perjuangan ini akan berbuah. Maka, terkadang kita mungkin merasa seperti berjalan pada tempat, tanpa output apapun. Konflik-konflik yang terjadi kadang membuat kita semakin lelah. Kolotnya orang-orang yang nir ingin berubah menjadi kepahitan, membentuk ketegangan sendiri pada dalam diri kita. Tanpa sadar, kita yg seharusnya menawarkan perubahan ke arah yang lebih baik malah ikut sebagai kaum yg bodoh. Perjuangan kita pula berubah sebagai bentuk pemaksaan lain terhadap orang-orang.

Katalis Perubahan yang Prematur

Tidak ada orang yg menyukai perubahan, terutama jika perubahan tersebut menuntut mereka buat meninggalkan ketenangan mereka. Meninggalkan hidup lama yang disukai seakan sebagai sebuah kematian untuk orang poly. Bukti yg gampang kita temukan merupakan betapa banyaknya orang (mungkin diri kita sendiri juga mengalaminya dalam titik eksklusif) yg nir dapat mendisiplinkan pola makan & olah raganya sebagaimanapun beliau tahu bahwa ia perlu menurunkan berat badan & menyehatkan tubuhnya. Barangkali model misalnya ini terlihat sangat sederhana, namun ini melambangkan poly aspek kehidupan insan.

Manusia berevolusi dengan hasrat mendasar berupa rasa aman. Berbagai macam habit tercipta sebagai bagian dari respon hasrat tersebut. Tubuh membiasakan dirinya dengan beradaptasi untuk merasa aman dan nyaman. Untuk melawannya, pikiran sadar yang membuat berbagai macam rasionalisasi memang berguna. Akan tetapi, karena dorongannya kurang kuat atau kurang konsisten, habit yang telah terbangun sulit untuk digoyahkan. Ditambah dengan sikap-sikap egosentris yang mempunyai berbagai macam agenda tersembunyi, sang ego akan merasa dirugikan pada berbagai tingkat. Maka dari itu, penolakan terhadap perubahan bisa menjadi semakin kuat tergantung pada orangnya.

Untuk kita yang hendak membawa perubahan yg lebih baik ke pada global, tentu mudah untuk melihat ini dalam diri orang-orang yg kaku dan kurang pandai dalam pendirian usang mereka. Akan namun, apakah kita sudah mempertimbangkan bahwa hal-hal ini terjadi juga pada diri kita? Apakah kita sudah memastikan bahwa sambil kita berjuang sebagai agen perubahan, kita pula terus memperbaharui sistem-sistem usang pada diri kita yg bisa menghalangi kita melakukan pekerjaan yang efektif dan maksimal ?

Setiap orang memiliki preferensi & kesukaan masing-masing. Apa yg anda sukai belum tentu saya sukai, dan sebaliknya. Untuk anda, mengganti diri pada aspek A barangkali gampang. Akan namun, hal yang sama belum tentu berlaku dalam diri aku . Sama halnya, aku bisa mengganti cara pandang menggunakan lebih ringan dalam aspek B, sedangkan anda tidak. Variasi ini tercipta dalam setiap orang dari cara hidupnya yang dibangun bertahun-tahun lewat pemikirannya, lingkungan keluarga, rakyat, kepercayaan , & lain-lain.

Tanpa tahu betapa sulitnya mengganti diri kita dalam aspek tertentu, kita nir sahih-benar mempunyai kemampuan buat membarui orang pada aspek yg gampang untuk kita. Kita perlu tahu dengan kentara betapa tidak enaknya waktu kita dipaksa buat berubah dalam titik yg nir kita sukai. Kemudian, kita perlu melihat bahwa banyak orang tidak suka buat berubah dalam sisi yg kita tawarkan. Kita hanya dapat memiliki kedewasaan untuk menyikapi banyak sekali macam respon yang datang waktu kita memiliki kemampuan buat melihat dinamika ini menggunakan sangat jelas.

Kesadaran Diri Sebagai Sumber Kekuatan Utama

Walaupun penemuan tentang nilai-nilai yang lebih luhur terjadi secara pribadi, penemuan itu tidak melulu datang bersama kesadaran diri yang tinggi pula. Terjadinya pembaharuan pada cara pandang kita terhadap sebuah aspek kehidupan seringkali datang secara terpisah dengan pemahaman untuk menyikapinya dengan paling efektif. Ketika perjuangan ini dilakukan dengan ketidakmatangan diri, pada suatu titik kita akan merasa kelelahan apabila apa yang diperjuangkan tampak tidak berbuah. Fenomena yang diberi nama activism fatigue atau activism burnout ini sering terjadi pada berbagai jenis aktivis sosial yang saat ini sering dikenal dengan Social Justice Warrior (SJW).

Cuplikan artikel mengenai activism fatigue atau activism burnout, fenomena di mana para aktivis sosial mencapai titik jenuh ketika apa yang diperjuangkan tidak menunjukkan hasilnya (sumber: vice.com)

Walaupun activism fatigue ini ditemukan akibat banyaknya SJW yang mengalami hal tersebut, sebenarnya hal ini juga kita alami ketika berusaha mengubah bahkan orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman. Kita dapat mengingat sendiri seberapa banyak momen di mana kita merasa lelah dan heran ketika sahabat dan/atau keluarga kita tidak dapat memahami apa yang kita katakan. Inilah yang sangat penting untuk kita perhatikan; hal ini terjadi di berbagai lapisan, walau menjadi semakin terlihat pada skala yang lebih masif. Jika demikian, kita dapat mengatakan bahwa bibit penyakit ini dimiliki oleh jauh lebih banyak orang dari yang terlihat saat ini.

Segala rasa lelah, stres, dan frustrasi ini tidak pernah disebabkan oleh output yg tidak memuaskan. Selayaknya, sebelum mengusahakan perubahan, kita telah tahu bahwa banyak orang sulit berubah secara instan. Maka berdasarkan itu, menginvestasikan kepuasan dan kebahagiaan kita dalam keberhasilan pekerjaan kita bukanlah sesuatu yg bijak. Ketika kita menempatkan kebahagiaan dalam keberhasilan perjuangan yang kita lakukan, secara otomatis kita jua sedang mempersiapkan diri buat menderita ketika tidak mencapai keberhasilan yang diimpikan.

Bukan adalah misteri bahwa insan yg senang secara otomatis sebagai lebih produktif. Maka, menggunakan mengamati betapa mudahnya kita meletakkan kebahagiaan kita dalam hal-hal yang nir dapat kita kendalikan, kita perlu mencari jalan lain supaya segala macam pekerjaan kita sebagai lebih efektif. Tentunya, jalan terbaik yang bisa diambil merupakan agar kita bisa permanen menghargai diri sendiri dan apa yg kita perjuangkan tanpa terpengaruh tanggapan orang lain. Sumber penghargaan terhadap diri sendiri merupakan pemahaman diri, dan pemahaman diri ada menjadi produk dari pencerahan diri yang tinggi.

Pemahaman diri & kesadaran diri tidak sama dari kepribadian, kelebihan, kekurangan, & sebagainya yg kita miliki. Seperti tubuh yang terus berubah, aspek-aspek yang kita miliki ini juga terus berubah berdasarkan ketika ke saat. Jika terus berubah, kita tidak bisa benar-benar membuahkan mereka menjadi pegangan hidup. Ketika mereka berubah, kita menjadi kehilangan pegangan & sebagai goyah balik . Maka, walaupun termasuk, mereka hanya mengisi bagian yang sangat kecil dari diri kita yang sesungguhnya.

Menemukan Diri yang Sebenarnya

Diri yg sesungguhnya adalah sesuatu yg sangat esensial pada menyokong eksistensi diri kita. Jati diri kita penuh menggunakan kemungkinan yang tak terbatas. Jati diri inilah yg menyadari perubahan segala macam hal, bahkan hingga perubahan sifat dan kepribadian kita menurut ketika ke waktu. Diri yg sesungguhnya mengetahui segala kebenaran & kenyataan, bahkan yang kita sembunyikan di lubuk hati terdalam; tetapi tetap tidak terkotori sama sekali oleh semuanya itu.

Penemuan akan diri yg sebenarnya sangatlah sederhana. Ini ditimbulkan lantaran diri yang sejati tidak pernah terpisah sama sekali dari diri kita. Akan tetapi, tantangan utama bagi orang-orang buat menyadari realitasnya merupakan macam-macam label akan aneka macam hal yg acapkali kita percayai.

Pikiran kita begitu terbiasa buat mengenali segala hal menggunakan pelukisan label yg telah ditetapkan, baik oleh diri sendiri, orang tua, lingkungan, tradisi, & lain-lain. Akibatnya, kita hanya melihat segala hal secara satu dimensi. Walaupun label-label ini bermanfaat sebagai pengingat dan dalam berkomunikasi, ini sebagai penghalang besar ketika kita mencoba melihat keseluruhannya. Oleh karena itu, diri yang sesungguhnya ? Yang tidak tercemar sang apapun ? Perlu ditemukan pada keheningan total.

Keheningan berarti bahwa kita terlepas berdasarkan berbagai macam kesibukan pikiran kita. Keheningan tidak selaras berdasarkan tidak berpikir. Untuk menghilangkan pikiran, kita perlu menghentikan kerja otak, yg berarti sama dengan mematikan semua tubuh. Akan namun, keheningan merupakan kondisi pada mana kita nir terlibat sama sekali menggunakan pikiran-pikiran yg lewat. Kita seakan berjarak menurut pikiran & nir terpengaruh sama sekali olehnya. Kita bahkan tidak perlu mengamati pikiran, melainkan hanya mengizinkan apapun lewat dengan sendirinya. Kita hanya berada dan menetap pada ?Kekosongan? Yg tersisa. Jika kita relatif memperhatikan, bahkan sejenak saja sudah relatif buat kita menemukan empiris menurut esensi diri yang jauh lebih luas dari yg kita bayangkan sebelumnya.

Ketika kita menemukan esensi sesungguhnya menurut diri kita, akan terjadi transformasi pada cara pandang, pemahaman, sampai cara menyikapi segala macam situasi. Hal ini dikarenakan sebuah empiris yang sebelumnya seakan tertutupi sebagai tersingkap dengan amat kentara. Maka berdasarkan itu, apapun yg tidak melambangkan kesejatian diri kita pula akan dengan gampang kita kenali.

Cara pandang kita terhadap global mengindikasikan cara pandang kita terhadap diri sendiri. Saat kita menemukan realitas yg sesungguhnya menurut keberadaan diri kita, seketika global jua terlihat tidak sinkron. Pada saat yg sama, muncul sebuah kesadaran baru. Setelah itu, nir terdapat satu pun hal pada global ini yang bisa merogoh kekuatan kita. Kita telah menemukan sumber kekuatan sejati.

Revolusi Diri adalah Revolusi Dunia

Tentunya segala hal ini bukanlah dibuat buat menentang aneka macam macam bentuk usaha buat menaikkan kualitas kehidupan bersama. Saya secara eksklusif merupakan orang yang mendukung aneka macam gerakan kemanusiaan di global. Dalam goresan pena ini, aku hanya ingin menaruh perhatian lebih dalam betapa banyaknya orang yang mudah merasa kelelahan & terhenti pada tengah usaha mereka.

Artikel ini juga nir ingin berkata bahwa kita tidak seharusnya melakukan berbagai gerakan perubahan. Yang saya ingin katakan merupakan apabila kita memiliki taraf kesadaran yg tinggi, maka kita dapat melakukan gerakan perubahan yg sama tanpa beban yg besar . Dengan nir membawa beban yang akbar, banyak dari kekuatan kita dapat disalurkan untuk menaruh pengaruh yang lebih besar lagi.

Bayangkan apa yang dapat terjadi apabila seluruh pejuang keadilan dan kehidupan memiliki daya yg tidak terbatas. Daya ini bukan hanya buat berkarya & bersuara, pula termasuk daya kreativitas pada mengungkapkan pesan-pesan mereka. Bayangkan seberapa efektifnya usaha yg akan dilakukan & seberapa kuatnya dampak yang akan dihasilkan dibandingkan jika orang melakukannya dengan kelelahan.

Revolusi tertinggi pada dunia dimulai ketika terjadi revolusi diri. Dan revolusi diri tertinggi terjadi saat orang menemukan diri yg sejati.

[MASALAH KITA] PEMAHAMAN DIRI, KEMANDIRIAN, DAN PERUBAHAN DUNIA

Oleh: Any Sulistyowati

Aktivis & Perubahan Dunia

Dunia berubah dengan sangat cepat. Di antara perubahan-perubahan dunia itu, ada perubahan yg kita inginkan dan terdapat yang nir kita inginkan. Sebagai aktivis, kita terlibat buat membuat perubahan-perubahan tersebut agar berjalan ke arah yang kita inginkan. Mempengaruhi sebuah proses perubahan bukan masalah gampang. Ada poly problem yg harus diselesaikan sebelum perubahan yang diinginkan tadi bisa terwujud.

Persoalan-dilema tadi ada yg terletak di luar & pada pada diri kita. Untuk masalah-problem pada luar diri kita, kita perlu bekerjasama menggunakan banyak pihak yang terlibat dalam problem tadi agar masing-masing bisa mengambil kiprah & bersinergi dalam menciptakan perubahan itu. Untuk problem-problem pada dalam kita diri sendiri, kitalah yg paling bertanggung jawab buat menyelesaikannya. Persoalan-problem pada dalam diri ini sangat krusial untuk diselesaikan. Apabila nir, langkah-langkah yang kita pilih akan tersendat atau terhambat oleh dilema-dilema tersebut.

Salah satu dilema yg sering dihadapi para aktivis merupakan pemenuhan kebutuhan hayati. Apabila kebutuhan hidup kita nir terpenuhi, maka langkah kita buat mencapai perubahan akan lebih sulit atau terhambat.

Pemenuhan Kebutuhan Hidup

Maslow merumuskan kebutuhan hayati sebagai strata anak tangga, yaitu : (1) kebutuhan fisiologis, (dua) kebutuhan akan rasa aman, (tiga) kebutuhan akan cinta & keterikatan (rasa memiliki-dimiliki), (4) kebutuhan akan penghargaan, dan (lima) kebutuhan akan aktualisasi diri.

Termasuk di dalam kebutuhan fisiologis merupakan aneka macam kebutuhan dasar misalnya makanan, pakaian, udara & loka tinggal. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, maka secara bertahap pemenuhan-pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya akan terjadi. Pemenuhan kebutuhan jenis ini sangat penting buat keberlanjutan hidup insan. Misalnya, tanpa pemenuhan kebutuhan pangan yg relatif, insan tidak dapat melanjutkan kehidupan. Kekurangan pemenuhan kebutuhan pangan akan menciptakan insan menjadi kurang gizi, sakit & akhirnya mangkat . Berbeda dengan kebutuhan lain yang pemenuhannya nir terbatas, pemenuhan kebutuhan fisiologis mememiliki batas. Sebagai contoh, jika kita lapar, maka kita memerlukan kuliner. Tetapi selesainya kita makan, kita nir lagi merasa lapar. Kalaupun kita masih ingin makan, yang mendorong bukan lagi kebutuhan fisiologisnya, namun kebutuhan lainnya, contohnya kepuasan makan, variasi makan atau hal lain yg bisa dipenuhi dari proses makan. Demikian jua rasa mengantuk. Jika kita merasa mengantuk, maka tidur akan terasa nikmat & ketika kita bangun, kita akan merasa segar. Sebaliknya apabila kita terlalu poly tidur, maka waktu bangun malah akan terasa pusing atau nir nyaman.

Kebutuhan tingkat yg kedua merupakan kebutuhan akan rasa aman. Rasa aman ini ada yang terkait dengan hal-hal fisik, tetapi terdapat juga yang terkait dengan hal-hal yg non fisik. Terkait dengan kebutuhan fisik, misalnya adalah kita akan lebih sulit buat merasa kondusif bila rumah yang kita tinggali terkena bencana alam. Atau kita tidak merasa pasti apakah stok kuliner kita relatif buat hari ini. Meskipun rasa aman asal dari dalam diri, faktor luar jua bisa ikut mempengaruhinya. Di negara-negara dengan tingkat kriminalitas rendah atau kondisi ekonomi, politik & sosial yang lebih stabil, perasaan aman warganya secara umum tentu lebih tinggi menurut dalam negara-negara dengan taraf kriminalitas tinggi atau syarat ekonomi, politik dan sosial yg nir stabil.

Piramida kebutuhan pada manusia

(sumber: dokumen eksklusif)

Setelah kedua kebutuhan di atas dipenuhi, kebutuhan selanjutnya adalah kebutuhan akan cinta dan keterikatan (perasaan memiliki dan dimiliki). Kebutuhan ini dapat diperoleh antara lain dari keluarga, sahabat dan pasangan.  Ciri-ciri kebutuhan ini terpenuhi adalah perasaan nyaman, diterima dan dicintai. Kebutuhan ini dapat menjelaskan mengapa di negara-negara dengan standar kehidupan yang begitu tinggi, masih ada beberapa orang yang bunuh diri. Padahal di negara-negara tersebut pemenuhan kebutuhan dasar bukan lagi merupakan persoalan dan konflik antar orang hampir tidak ada. Mereka bunuh diri karena merasa kesepian, hidup tidak bermakna, tidak dicintai dan mencintai, merasa merana karena tidak memiliki siapapun di dunia ini.

Kebutuhan akan penghargaan adalah kebutuhan selanjutnya. Kebutuhan ini terkait dengan konsep diri dan harga diri seseorang. Harga diri rendah atau inferiority complex dapat terjadi akibat ketidakseimbangan pemenuhan hirarki kebutuhan. Orang-orang dengan harga diri rendah sering membutuhkan pengakuan dan penghormatan dari orang lain. Namun, penghargaan dari luar tersebut tidak akan dapat membuat seseorang membangun harga diri mereka sampai mereka sendiri dapat menerima siapa diri mereka apa adanya. Jadi yang terpenting di dalam pemenuhan kebutuhan akan penghargaan ini adalah bagaimana kita memberikan penghargaan kepada diri sendiri.

Kebutuhan yang terakhir merupakan kebutuhan buat ekspresi. Aktualisasi diri menunjuk ke pengembangan "ekspresi yg terbaik dari diriku". Bagaimana aku menemukan diriku yang terbaik. Bagaimana diriku yg terbaik itu sanggup ada & memberikan kontribusinya buat dunia.

Persamaan dari keempat kebutuhan yang pertama adalah kebutuhan karena kekurangan (deficiency needs). Semakin tidak terpenuhi, maka kita semakin merasa kekurangan. Jika sudah terpenuhi, maka motivasi untuk mencari pemenuhannya akan berkurang. Sebaliknya, kebutuhan yang kelima, merupakan kebutuhan karena pemenuhan (growth need). Artinya semakin aktualisasi diri kita terpenuhi, kita akan semakin mencarinya.

Pemenuhan Kebutuhan Hidup, Kemandirian dan Perubahan Dunia

Seseorang diklaim semakin mandiri jika dia dapat memenuhi sebanyak mungkin kebutuhan hidupnya tanpa tergantung dari orang lain. Yang dimaksud tidak tergantung pada sini nir berarti mengerjakan semuanya sendiri, namun mampu juga berarti bisa mengakses pemenuhan kebutuhan tadi secara pribadi ataupun nir langsung melalui mekanisme pertukaran. Kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan berarti kita sendiri bertanggung jawab akan pemenuhan kebutuhan tadi. Bertanggung jawab berarti secara sadar melakukan proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Diharapkan bahwa, semakin kebutuhan tersebut dapat kita penuhi secara mandiri, maka kesempatan kita melakukan perubahan-perubahan yang kita inginkan akan semakin besar .

Masalahnya, tidak semua aktivis melakukan proses pemenuhan kebutuhan dirinya secara sadar. Sebagian besar bahkan tidak menaruh perhatian pada dirinya  secara memadai. Hidupnya seolah habis untuk perubahan yang diinginkan. Padahal dirinya merupakan aset utama untuk melakukan perubahan tersebut. Tanpa diberi perhatian cukup, mustahil diri kita dapat melakukan proses perubahan dalam jangka panjang.

Ada banyak alasan mengapa para aktivis tidak bisa menaruh perhatian pada dirinya secara memadai. Alasan utama yang paling poly dijumpai merupakan keterbatasan waktu. Roda perubahan berjalan begitu cepat. Ada poly momentum yang harus dikejar. Kejar kini atau hilang kesempatan. Kondisi ini membuat kita terjebak dalam kerja berkepanjangan tanpa saat istirahat yang relatif memadai. Istirahat relatif merupakan kebutuhan fisiologis, yang merupakan semakin tidak dipenuhi maka akan terasa semakin kekurangan. Saya menemukan banyak aktivis makan serampangan, kurang gizi & akhirnya mengidap aneka macam macam penyakit. Yang lebih sering lagi, banyak sekali aktivis yang tidak mengakibatkan olah raga sebagai bagian hidupnya. Padahal gerak atau olah raga jua adalah kebutuhan dasar yg membuat kita menjadi sehat. Apabila kita nir sehat, maka kemampuan kita buat mengejar impian-impian kita akan perubahan dunia pun akan berkurang.

Olahraga buat kesehatan, mencapai terpenuhinya kebutuhan fisiologis.

(asal: dokumen KAIL)

Alasan kedua adalah "karena tidak ada orang lain yang dapat mengerjakannya maka sayalah yang  harus mengerjakannya". Kalau pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang saya sukai dan penting untuk tujuan hidup saya mungkin tidak apa-apa. Tetapi jika pekerjaan tersebut sebetulnya bukan merupakan pekerjaan yang saya sukai, mungkin akan jadi masalah. Apalagi kalau pekerjaan itu sebetulnya bukanlah pekerjaan yang penting untuk tujuan hidup saya. Apalagi kalau saya sebetulnya sudah punya sekian banyak pekerjaan yang belum saya selesaikan di komitmen sebelumnya. Apalagi jika kita (terpaksa) mengambil pilihan tersebut hanya karena orang lain tidak ada yang mengambilnya, maka kita sebetulnya tidak secara mandiri mengambil pilihan tersebut. Termasuk apabila kita disuruh atau diminta orang lain padahal kita sebetulnya keberatan atau tidak suka; tetapi tidak kuasa menolak dan akhirnya mengiyakan. Semua itu adalah bukti-bukti ketidakmandirian kita. Apalagi setelah itu kita misuh-misuh di belakang atau menyesal atau merasa terpaksa mengerjakannya. Itu artinya tingkat kemandirian kita lebih rendah lagi. Apapun alasannya, komitmen semacam itu pastilah akan menghabiskan energi diri dan (kemungkinan juga) teman kerja kita.

Dalam situasi pada atas, kita menciptakan diri kita berada dalam situasi pada mana pemenuhan kebutuhan & pula virtual akan perubahan sulit terjadi. Pertama, untuk melakukan setiap pekerjaan diperlukan waktu. Apabila ketika kita habis buat hal-hal yang tidak kita sukai atau nir krusial buat hidup kita, maka saat kita buat melakukan pekerjaan-pekerjaan terpenting buat perubahan yg kita inginkan tentu akan berkurang. Ini tentu akan mengurangi efektivitas kita sebagai aktivis. Selain itu, kita akan kehilangan kesempatan buat melakukan hal-hal buat pemenuhan aktualisasi diri kita. Kedua, waktu kita (terpaksa) mengambil pekerjaan yg tidak kita sukai, maka sebetulnya kita membuat diri kita sendiri berada pada posisi nir kondusif. Melakukan hal yg demikian terhadap diri sendiri, berarti kita nir relatif menyayangi, menghargai dan menghormati diri kita sendiri. Apabila kita sendiri nir melakukannya buat diri sendiri, bagaimana kita sanggup berharap orang lain dapat melakukannya buat kita? Apabila kita tidak secara jujur menolak pekerjaan/peran yg tidak kita sukai, bagaimana orang lain tahu? Kalau kita sendiri mengabaikan kenyataan dalam diri kita tersebut, bagaimana kita berharap orang lain akan mengetahuinya & mendukung kita?

Berkarya menggunakan kain perca, galat satu bentuk ekspresi.

(asal: dokumen KAIL)

Alasan ketiga mengapa kita tidak memenuhi kebutuhan hidup kita adalah karena kita tidak menyadarinya. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran diri. Ada banyak cara untuk memperluas kesadaran diri. Ada yang mengikuti kegiatan spiritual dan keagamaan. Ada yang melakukan meditasi secara rutin. Ada yang melakukan proses konseling. Ada  yang mengikuti kegiatan-kegiatan khusus untuk meningkatkan kesadaran. Ada yang membaca berbagai buku tentang pengembangan diri. Apapun cara yang dipilih, pastikan bahwa cara tersebut nyaman untuk Anda.

Kesadaran diri merupakan pengetahuan & penerimaan akan syarat kita apa adanya. Tanpa penerimaan, pencerahan diri bagaikan mesin peneror dari dalam jurang kedalaman diri kita. Tanpa penerimaan, yg akan terjadi adalah proses penolakan. Kadang-kadang keluar pada bentuk menyalahkan pihak lain ataupun keadaan & bahkan Tuhan. Kita menduga diri kita adalah korban. Korban orang lain dan korban keadaan. Memposisikan diri misalnya itu hanya memberitahuakn betapa lemah & tidak mandirinya kita. Di pada situasi semacam itu, sebetulnya penolakan terutama bukan kepada orang lain atau situasi (sanggup jadi keduanya malah nir terpengaruh sang pandangan kita), tetapi penolakan terbesar sebetulnya terjadi dalam diri kita sendiri. Hal itu hanya menerangkan bahwa kita tidak mampu merogoh tanggung jawab yg memadai buat menjalani hidup kita. Dan karenanya kita tidak merasa postif terhadap diri kita.

Penerimaan membutuhkan keikhlasan. Keikhlasan artinya, secara sadar bertanggung jawab mengambil pilihan. Bertanggung jawab dalam mengambil pilihan berarti tidak ada misuh-misuh atau penyesalan di kemudian hari atau di dalam hati. Keikhlasan berarti mengambil tanggung jawab dengan bangga dan bahagia. Keikhlasan berarti kita mengambil keputusan dengan rasa aman. Hal ini akan menunjukkan bahwa kita menghormati diri sendiri, kapasitas diri sendiri, serta mengekspresikan nilai nilai yang kita  perjuangkan, dan menjadi bagian dari aktualisasi diri kita. Secara tidak langsung, hal ini akan memastikan pemenuhan berbagai kebutuhan kita. Dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut, peluang untuk mencapai impian-impian kita akan lebih mudah tercapai.

Pilihan sikap pada bertindak

Melakukan pemenuhan kebutuhan diri sendiri di tengah hiruk pikuknya perjuangan mungkin terasa egois. Banyak berdasarkan kita dididik buat selalu mendahulukan orang lain, apalagi mereka yang lebih lemah. Saya percaya nilai tadi baik, tetapi caranya bukan dengan mengorbankan diri sendiri dan apalagi sampai akhirnya merasa sebagai korban orang lain atau keadaan. Ingat prosedur keselamatan penerbangan? Dalam syarat darurat, kita perlu memasang masker oksigen buat diri sendiri dulu, baru menolong anak kita yang masih kecil, bukan sebaliknya. Kalau kita tidak selamat, kita nir dapat menyelamatkan anak kita.

Bumi waktu ini pada syarat darurat dan taraf daruratnya makin bertambah dari ketika ke ketika. Terjadi eskalasi masalah pada aneka macam bidang kehidupan. Dibutuhkan perubahan-perubahan pada banyak lini kehidupan. Semua itu membutuhkan kecerdasan, bukan sekedar melakukan hal yg sama berulang-ulang hingga kelelahan dengan output minimal.

Kecerdasan membutuhkan kewarasan. Pengalaman saya, aku akan bisa berpikir & bertindak lebih waras, minimal ketika aku sehat dan bahagia, tidak lapar atau kurang tidur atau vertigo aku kambuh karena kelelahan. Ini adalah, bila saya mengabaikan pemenuhan kebutuhan fisiologis aku sendiri berarti aku mengorbankan kewarasan aku dan peluang aku buat menyelesaikan aneka macam masalah krusial di global ini menggunakan cerdas. Ini berarti sebuah kehilangan akbar di dalam sejarah perkembangan peradaban.

Pada akhirnya, seluruh itu akan berpulang dalam diri kita, pilihan apa yg kita ambil.

Referensi:

https://www.Simplypsychology.Org/simplypsychology.Org-Maslows-Hierarchy-of-Needs.Pdf

https://en.Wikipedia.Org/wiki/Maslow's_hierarchy_of_needs

Cloud Hosting Indonesia