Oleh: Kukuh Samudra
Bumi kita ketika ini dihuni sang lebih dari 7 milyar insan. Sejumlah insan tersebut semua butuh makan. Kita sanggup permanen hayati tanpa membaca kitab , tanpa memegang ponsel, atau tanpa berkendaraan. Tapi tidak tanpa makan.
Maka tidak hiperbola sekiranya jika kita sebut petani sebagai profesi yg paling mendasar di bumi ini. Meski demikian kita acapkali kurang apresiatif terhadap profesi tersebut.
Saya 2 kali bertemu dengan Mbah Paiman. Lelaki sepuh yg memproklamirkan diri sebagai petani kolot. Pertama, pada sebuah aktivitas diskusi. Waktu itu aku kagum menggunakan perawakan Mbah Paiman yang meski sudah berumur 80 tahun tetapi tetap sehat & energik. Topik diskusi tentang pertanian organis hingga kasus penanganan sampah yg pada masa ini, dijawabnya secara fundamental.
Perjumpaan yang pertama mendorong saya buat kenal lebih pada pada Mbah Paiman. Saya putuskan buat sowan ke rumah Mbah Paiman pada Dusun Dhani, Desa Pereng, Mojogedang. Sekitar 45 mnt mengendarai kendaraan berdasarkan sentra Kabupaten Karanganyar.
Waktu itu kami rombongan berempat datang ke rumah Mbah Paiman pukul 21.00. Tidak janjian dahulu. Namun, sepertinya beliau cukup terbiasa menerima tamu malam-malam. Kami diterima dengan sangat ramah. “Biasa, Mas. Kalau ke sini ada yang kadang baru datang jam 11 malam. Saya layani sampai subuh.”
Nama Mbah Paiman di Karanganyar dikenal terkait perjuangannya di bidang pertanian organik. Namun, namanya tidak hanya terkenal pada kalangan penggiat pertanian, dia juga dikenal di kalangan pegiat kesenian dan kebudayaan maupun politisi. Pilihan hidup dan tutur mengenai latar belakang hidupnya, menarik bagi siapapun yang ingin menimba ilmu.
Terdapat cerita di balik pengakuan Mbah Paiman sebagai petani kolot. Kolot yang dimaksud di sini bukan berarti tua seperti dalam bahasa Sunda, tapi lebih dimaksudkan sebagai sifat ngeyel atau memberontak.
Hal yang membuat Mbah Paiman memberontak tepatnya merupakan rapikan cara pertanian yg nir ramah terhadap alam. Semua bermula dalam acara revolusi hijau yg diterapkan waktu pemerintahan Presiden Soeharto.
Program revolusi hijau dimaksudkan buat memacu produksi pangan sebagai langkah respon terhadap ledakan penduduk yang tidak terbendung. Isi program revolusi hijau antara lain akselerasi produksi menggunakan memakai pupuk kimia & racun sintetis.
Seketika Mbah Paiman resah. Ketika program itu dicanangkan, beliau sedang di penjara pada Nusakambangan dampak sebuah kesalahan yang hingga kini beliau tidak memahami dengan terperinci. ?Tidak ada pengadilan sampai waktu ini,? Begitu terangnya.
Dia menjelaskan, bagaimana saat itu, sambil sembunyi-sembunyi beserta tahanan yang lain membahas bahaya dari penerapan program revolusi hijau.Salah satu yg gasal dari program tersebut adalah waktu tahun 1955, buat mengatasi endemi malaria, pemerintah menggunakan racun DDT [1]. Namun, segera sesudah mengetahui impak bahaya yang ditimbulkan, pemerintah segere melarang. Mbah Paiman penasaran, ?Tahun 1955, penggunaan racun sintetis telah dihentikan, mengapa dalam tahun 1968 diterapkan pulang??
Mbah Paiman paham betul, meski mungkin dapat memacu produksi pangan dalam jangka pendek, terdapat dampak jangka panjang yg sangat berbahaya jika acara tersebut diterapkan. Ada empat simpulan Mbah Paiman jika program revolusi hijau permanen dijalankan:
a. Degradasi lahan, tanah yang subur akan jadi tandus dan ketat
b. Banyak macam penyakit yang menyerang manusia karena mengonsumsi tanaman yang terkena residu racun
c. Usia manusia akan makin pendek.
d. Rusaknya ekosistem keseluruhan.
Rezim orde baru ingin program revolusi hijau diterapkan oleh segenap petani yang ada pada Indonesia. Bagi yang tidak menjalankan program tadi, dianggap membangkang. Apalagi melayangkan protes. Dan galat satu orang yg berani menentang acara tadi dan permanen konsisten sampai sekarang galat satunya merupakan Mbah Paiman.
Pilihan hidup menjadi petani telah dijalani Mbah Paiman seumur hidupnya. Hal ini tidak lepas dari perintah orangtuanya yang ingin Mbah Paiman menjadi petani. “Saya tidak boleh sekolah karena saya harus jadi petani. Bapak saya khawatir saya menjadi pegawai negeri, karena pegawai negeri itu pemalas, tidak mau mencangkul.” tutur Mbah Paiman.
Meskipun tidak boleh bersekolah oleh ayahnya, bukan berarti Mbah Paiman tidak belajar. Dia bertekad untuk menjadikan alam sebagai tempatnya belajar. “Ketika melihat teman saya bersekolah, saya merasa kepingin. Kepingin sekali. Sambil nyangkul sendirian, lama-kelamaan saya menemukan jalan keluar. ‘Sekolah itu tidak hanya di bangku sekolahan, masa alam ini tidak bisa digunakan untuk belajar? Sejak dahulu (leluhur) kita tidak ada sekolahan juga pintar-pintar. Maka saya menempatkan diri bahwa alam semesta harus menjadi guru besar saya. Tanah ini harus menjadi guruku!”
Semangat bertani Mbah Paiman adalah semangat seseorang masyarakat yang menyadari bahwa dia hayati pada negara agraris. Adalah sebuah ironi dari Mbah Paiman, negeri yg mendeklarasikan diri sebagai negara agraris, justru mengimpor bahan pangan menurut negara lain. Dan sebuah ironi jua bagi sebuah negeri agraris, petaninya tidak sejahtera.
Dalam ranah praktis, Mbah Paiman cukup prihatin dengan kondisi petani saat ini yang kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan sehingga sangat bergantung pada dunia industri. Mulai dari benih hingga pupuk, petani sekarang harus membeli. Padahal, benih seharusnya dapat dikembangkan dan dihasilkan sendiri dari hasil panen. Sementara untuk mendapatkan pupuk, petani seharusnya dapat membuat sendiri dengan cara mengompos.
Sebagai seseorang petani bodoh, Mbah Paiman sedih & jengkel melihat syarat alam waktu ini rusak dampak praktek pertanian yang tidak memperhatikan ekosistem. Penyaluran kesedihan & kejengkelan Mbah Paiman adalah dengan menciptakan geguritan (puisi jawa) maupun menulis.
Salah satu tulisannya berjudul “Ratapan Tangis Burung dan Katak”. “Saat ini burung berkicau bukan menyanyi seperti dahulu. Tapi sekarang burung berkicau menangis. Kapan dia kena racun? Dulu kodok yang di sawah, ketika dulu menghibur petani yang mengurus air di sawah. Itu musik alami yang luar biasa. Tapi kalau sekarang dia berbunyi atau bernyanyi, itu sebetulnya menangis. Kapan mati kena racun?” tukasnya.
Mbah Paiman hingga saat ini masih terus bertani. Pagi hari dia ke sawah bersama rombongan petani yang lain. Kadang-kadang dia bertani menggarap ladang yang ada di belakang rumahnya. Dalam bertani dia konsisten menjalankan pertanian organik: tidak menggunakan pestisida kimia, pupuk sintetis, maupun benih GMO (genetically modified organism).
Bagi rekan-rekannya, laku tani yg dijalankan oleh Mbah Paiman itu aneh. Mbah Paiman yang membuat pupuk organis sendiri & menanam benih berdasarkan hasil panen dicermati sebelah mata karena mengikuti teknologi pertanian terbaru.
Sementara pada satu sisi Mbah Paiman prihatin menggunakan norma para kawannya, sesama petani yg nir paham pengaruh berdasarkan perilaku pertanian mereka terhadap ekosistem alam. Mbah Paiman ingin mengembangkan ilmu dan pemahamannya mengenai pertanian organis kepada kawan-kawannya. Tapi usaha tadi ternyata tidak gampang. Mula-mula, hanya satu 2 orang yang ikut & tertarik. Saat ini, meski nir poly jumlah orang yang ingin ikut belajar menurut Mbah Paiman terus bertambah lebih kurang lima-10 orang.
Bersama grup tani yang diikutinya, Mbah Paiman menjual hasil panen beras yg dihasilkan menggunakan label beras organis. Beras yg dijual ini telah lulus sertifikasi organis & dikemas tidak selaras buat membedakan menggunakan beras lain yang bukan organis.Sementara menurut ladang, Mbah Paiman memperoleh hasil panen misalnya pisang dan buah-buahan lain yg dia konsumsi sendiri.
Mbah Paiman sendiri membuka diri bagi siapapun yang ingin belajar bertani secara organis. Siapa saja dari mulai peneliti atau mahasiswa yang ingin bertanya sekilas mengenai pertanian organis, hingga yang ingin magang dan praktek. Mulai dari wawancara yang berdurasi satu jam, hingga yang live in untuk beberapa pekan.
Ada kala kita merasa jenuh, capai, atau bosan ketika sedang berusaha atau memperjuangkan sesuatu yang kita yakini. Di saat seperti itu, coba untuk pergi ke suatu tempat dan temukan orang yang membuat kita kembali bersemangat. Tidak selalu tempat yang jauh, tapi barangkali justru tempat yang dekat yang selama ini justru luput dari pengamatan. Mbah Paiman, 80 tahun, petani kolot. Terus berjuang melakukan pertanian selaras alam.
[1] (diklorodifeniltrikloroetana/dichlorodiphenyltrichloroethane) merupakan senyawa yang digunakan untuk mengendalikan populasi serangga umumnya padaiklim panas. Bagaimanapun beberapa serangga mengembangkan sifat resistensi terhadap DDT dan dapat diwariskan pada keturunannya. (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/DDT).
Bahan racun DDT sangat persisten (tahan lama , berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin hingga 100 tahun atau lebih), bertahan pada lingkungan hidup sembari meracuni ekosistem tanpa bisa didegradasi secara fisik juga biologis (Sumber: http://www.Kelair.Bppt.Go.Id/sib3popv25/POPs/DDT/ddt.Htm)