Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Agustus 2019. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Agustus 2019. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Mei 2020

[PROFIL] MBAH PAIMAN, KISAH SEORANG PETANI BANDEL

Oleh: Kukuh Samudra

Bumi kita ketika ini dihuni sang lebih dari 7 milyar insan. Sejumlah insan tersebut semua butuh makan. Kita sanggup permanen hayati tanpa membaca kitab , tanpa memegang ponsel, atau tanpa berkendaraan. Tapi tidak tanpa makan.

Maka tidak hiperbola sekiranya jika kita sebut petani sebagai profesi yg paling mendasar di bumi ini. Meski demikian kita acapkali kurang apresiatif terhadap profesi tersebut.

Saya 2 kali bertemu dengan Mbah Paiman. Lelaki sepuh yg memproklamirkan diri sebagai petani kolot. Pertama, pada sebuah aktivitas diskusi. Waktu itu aku kagum menggunakan perawakan Mbah Paiman yang meski sudah berumur 80 tahun tetapi tetap sehat & energik. Topik diskusi tentang pertanian organis hingga kasus penanganan sampah yg pada masa ini, dijawabnya secara fundamental.

Perjumpaan yang pertama mendorong saya buat kenal lebih pada pada Mbah Paiman. Saya putuskan buat sowan ke rumah Mbah Paiman pada Dusun Dhani, Desa Pereng, Mojogedang. Sekitar 45 mnt mengendarai kendaraan berdasarkan sentra Kabupaten Karanganyar.

Waktu itu kami rombongan berempat datang ke rumah Mbah Paiman pukul 21.00. Tidak janjian dahulu. Namun, sepertinya beliau cukup terbiasa menerima tamu malam-malam. Kami diterima dengan sangat ramah. “Biasa, Mas. Kalau ke sini ada yang kadang baru datang jam 11 malam. Saya layani sampai subuh.”

Nama Mbah Paiman di Karanganyar dikenal terkait perjuangannya di bidang pertanian organik. Namun, namanya tidak hanya terkenal pada kalangan penggiat pertanian, dia juga dikenal di kalangan pegiat kesenian dan kebudayaan maupun politisi. Pilihan hidup dan tutur mengenai latar belakang hidupnya, menarik bagi siapapun yang ingin menimba ilmu.

Terdapat cerita di balik pengakuan Mbah Paiman sebagai petani kolot. Kolot yang dimaksud di sini bukan berarti tua seperti dalam bahasa Sunda, tapi lebih dimaksudkan sebagai sifat ngeyel atau memberontak.

Hal yang membuat Mbah Paiman memberontak tepatnya merupakan rapikan cara pertanian yg nir ramah terhadap alam. Semua bermula dalam acara revolusi hijau yg diterapkan waktu pemerintahan Presiden Soeharto.

Program revolusi hijau dimaksudkan buat memacu produksi pangan sebagai langkah respon terhadap ledakan penduduk yang tidak terbendung. Isi program revolusi hijau antara lain akselerasi produksi menggunakan memakai pupuk kimia & racun sintetis.

Seketika Mbah Paiman resah. Ketika program itu dicanangkan, beliau sedang di penjara pada Nusakambangan dampak sebuah kesalahan yang hingga kini beliau tidak memahami dengan terperinci. ?Tidak ada pengadilan sampai waktu ini,? Begitu terangnya.

Dia menjelaskan, bagaimana saat itu, sambil sembunyi-sembunyi beserta tahanan yang lain membahas bahaya dari penerapan program revolusi hijau.Salah satu yg gasal dari program tersebut adalah waktu tahun 1955, buat mengatasi endemi malaria, pemerintah menggunakan racun DDT [1]. Namun, segera sesudah mengetahui impak bahaya yang ditimbulkan, pemerintah segere melarang. Mbah Paiman penasaran, ?Tahun 1955, penggunaan racun sintetis telah dihentikan, mengapa dalam tahun 1968 diterapkan pulang??

Mbah Paiman paham betul, meski mungkin dapat memacu produksi pangan dalam jangka pendek, terdapat dampak jangka panjang yg sangat berbahaya jika acara tersebut diterapkan. Ada empat simpulan Mbah Paiman jika program revolusi hijau permanen dijalankan:

a.                   Degradasi lahan, tanah yang subur akan jadi tandus dan ketat

b.                  Banyak macam penyakit yang menyerang manusia karena mengonsumsi tanaman yang terkena residu racun

c.                   Usia manusia akan makin pendek.

d.                  Rusaknya ekosistem keseluruhan.

Rezim orde baru ingin program revolusi hijau diterapkan oleh segenap petani yang ada pada Indonesia. Bagi yang tidak menjalankan program tadi, dianggap membangkang. Apalagi melayangkan protes. Dan galat satu orang yg berani menentang acara tadi dan permanen konsisten sampai sekarang galat satunya merupakan Mbah Paiman.

Pilihan hidup menjadi petani telah dijalani Mbah Paiman seumur hidupnya. Hal ini tidak lepas dari perintah orangtuanya yang ingin Mbah Paiman menjadi petani. “Saya tidak boleh sekolah karena saya harus jadi petani. Bapak saya khawatir saya menjadi pegawai negeri, karena pegawai negeri itu pemalas,  tidak mau mencangkul.” tutur Mbah Paiman.

Meskipun tidak boleh bersekolah oleh ayahnya, bukan berarti Mbah Paiman tidak belajar. Dia bertekad untuk menjadikan alam sebagai tempatnya belajar. “Ketika melihat teman saya bersekolah, saya merasa kepingin. Kepingin sekali. Sambil nyangkul sendirian, lama-kelamaan saya menemukan jalan keluar. ‘Sekolah itu tidak hanya di bangku sekolahan, masa alam ini tidak bisa digunakan untuk belajar? Sejak dahulu (leluhur) kita tidak ada sekolahan juga pintar-pintar. Maka saya menempatkan diri bahwa alam semesta harus menjadi guru besar saya. Tanah ini harus menjadi guruku!”

Semangat bertani Mbah Paiman adalah semangat seseorang masyarakat yang menyadari bahwa dia hayati pada negara agraris. Adalah sebuah ironi dari Mbah Paiman, negeri yg mendeklarasikan diri sebagai negara agraris, justru mengimpor bahan pangan menurut negara lain. Dan sebuah ironi jua bagi sebuah negeri agraris, petaninya tidak sejahtera.

Dalam ranah praktis, Mbah Paiman cukup prihatin dengan kondisi petani saat ini yang kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan sehingga sangat bergantung pada dunia industri.  Mulai dari benih hingga pupuk, petani sekarang harus membeli. Padahal, benih seharusnya dapat dikembangkan dan dihasilkan sendiri dari hasil panen. Sementara untuk mendapatkan pupuk, petani seharusnya dapat membuat sendiri dengan cara mengompos.

Sebagai seseorang petani bodoh, Mbah Paiman sedih & jengkel melihat syarat alam waktu ini rusak dampak praktek pertanian yang tidak memperhatikan ekosistem. Penyaluran kesedihan & kejengkelan Mbah Paiman adalah dengan menciptakan geguritan (puisi jawa) maupun menulis.

Salah satu tulisannya berjudul “Ratapan Tangis Burung dan Katak”. “Saat ini burung berkicau bukan menyanyi seperti dahulu. Tapi sekarang burung berkicau menangis. Kapan dia kena racun? Dulu kodok yang di sawah, ketika dulu menghibur petani yang mengurus air di sawah. Itu musik alami yang luar biasa. Tapi kalau sekarang dia berbunyi atau bernyanyi, itu sebetulnya menangis. Kapan mati kena racun?” tukasnya.

Mbah Paiman hingga saat ini masih terus bertani. Pagi hari dia ke sawah bersama rombongan petani yang lain. Kadang-kadang dia bertani menggarap ladang yang ada di belakang rumahnya. Dalam bertani dia konsisten menjalankan pertanian organik: tidak menggunakan pestisida kimia, pupuk sintetis, maupun benih GMO (genetically modified organism).

Bagi rekan-rekannya, laku tani yg dijalankan oleh Mbah Paiman itu aneh. Mbah Paiman yang membuat pupuk organis sendiri & menanam benih berdasarkan hasil panen dicermati sebelah mata karena mengikuti teknologi pertanian terbaru.

Sementara pada satu sisi Mbah Paiman prihatin menggunakan norma para kawannya, sesama petani yg nir paham pengaruh berdasarkan perilaku pertanian mereka terhadap ekosistem alam. Mbah Paiman ingin mengembangkan ilmu dan pemahamannya mengenai pertanian organis kepada kawan-kawannya. Tapi usaha tadi ternyata tidak gampang. Mula-mula, hanya satu 2 orang yang ikut & tertarik. Saat ini, meski nir poly jumlah orang yang ingin ikut belajar menurut Mbah Paiman terus bertambah lebih kurang lima-10 orang.

Bersama grup tani yang diikutinya, Mbah Paiman menjual hasil panen beras yg dihasilkan menggunakan label beras organis. Beras yg dijual ini telah lulus sertifikasi organis & dikemas tidak selaras buat membedakan menggunakan beras lain yang bukan organis.Sementara menurut ladang, Mbah Paiman memperoleh hasil panen misalnya pisang dan buah-buahan lain yg dia konsumsi sendiri.

Mbah Paiman sendiri membuka diri bagi siapapun yang ingin belajar bertani secara organis. Siapa saja dari mulai peneliti atau mahasiswa yang ingin bertanya sekilas mengenai pertanian organis, hingga yang ingin magang dan praktek. Mulai dari wawancara yang berdurasi satu jam, hingga yang live in untuk beberapa pekan.

Ada kala kita merasa jenuh, capai, atau bosan ketika sedang berusaha atau memperjuangkan sesuatu yang kita yakini. Di saat seperti itu, coba untuk pergi ke suatu tempat dan temukan orang yang membuat kita kembali bersemangat. Tidak selalu tempat yang jauh, tapi barangkali justru tempat yang dekat yang selama ini justru luput dari pengamatan. Mbah Paiman, 80 tahun, petani kolot.  Terus berjuang melakukan pertanian selaras alam.

[1] (diklorodifeniltrikloroetana/dichlorodiphenyltrichloroethane) merupakan senyawa yang digunakan untuk mengendalikan populasi serangga umumnya padaiklim panas. Bagaimanapun beberapa serangga mengembangkan sifat resistensi terhadap DDT dan dapat diwariskan pada keturunannya. (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/DDT).

Bahan racun DDT sangat persisten (tahan lama , berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin hingga 100 tahun atau lebih), bertahan pada lingkungan hidup sembari meracuni ekosistem tanpa bisa didegradasi secara fisik juga biologis (Sumber: http://www.Kelair.Bppt.Go.Id/sib3popv25/POPs/DDT/ddt.Htm)

Kamis, 07 Mei 2020

[PROFIL] INES SETIAWAN (SHINE) MENDORONG KEBERLANJUTAN MELALUI PENDIDIKAN INFORMAL

Oleh: Kandi Sekarwulan

Bulan Mei 2019 lalu, sempat tersebar kabar bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah climate deniers (penyangkal krisis iklim) terbesar di dunia. Media-media seperti Jakarta Post dan Vice  menyebutkan, 1 dari 5 orang di Indonesia tidak percaya bahwa krisis lingkungan di bumi disebabkan aktivitas manusia.

Walau menyedihkan, liputan ini sulit disangkal mengingat kesadaran dan kepedulian lingkungan bangsa Indonesia memang rendah. Indonesia adalah pemilik sungai paling kotor pada dunia, juga negara ke-2 penyumbang sampah plastik terbesar ke lautan. Di sisi lain, pendidikan di Indonesia yang masih menganut pola konvensional sama sekali jauh dari pengembangan pencerahan lingkungan yang serius. Kampanye & edukasi yg ada belum berhasil menyadarkan orang Indonesia buat menjaga lingkungan.

Adalah Ines Setiawan, seorang pendidik asal Tangerang, yang tergerak untuk memperbaiki permasalahan tersebut. Bekerja sebagai pengajar pada sebuah sekolah internasional di bilangan BSD, Beliau mendirikan suatu platform pendidikan untuk mewadahi idealismenya terkait permasalahan pendidikan. Lembaga tersebut dinamainya SHINE, singkatan dari Sustainable Hyper-platform for Indonesian Network of Educators. Karena ketertarikannya pada sains, lembaga ini dimaksudkan Ines untuk mengedukasi sains dengan cara yang menyenangkan serta bermakna.

Didirikan pada tahun 2014, SHINE tidak langsung aktif karena kesibukan pribadi Ines sebagai pengajar. Namun seiring perubahan manajemen di sekolah, beliau merasakan berbagai ketidaknyamanan saat mengajar, termasuk keterpaksaan menurunkan mutu pendidikan akibat kebijakan sekolah yang tidak mendukung. Hal ini memotivasinya menciptakan perubahan melalui jalur luar sekolah, yaitu SHINE. Dorongan lebih jauh diperoleh Ines dari seorang kawan yang bekerja di Australian Rural Development Program. Kawan tersebut mengajak SHINE bekerja sama dalam sebuah program kepemimpinan yang ternyata sangat inspiratif. Kerjasama tersebut menjadi titik awal bagi Ines untuk memulai kelas-kelas pertamanya di SHINE.

Kelas pertama SHINE adalah workshop membuat keju bersama anak-anak, bertempat di rumahnya sendiri. Dihadiri oleh sejumlah anak, kelas tersebut mendapat respon yang baik sehingga dibuatlah kelas selanjutnya. Sejak saat itu, kegiatan edukasi SHINE terus bergulir dan berkembang. Terhitung hingga saat ini (Juli 2019), kelas-kelas SHINE telah melayani sekitar 11.000 orang mulai dari anak, dewasa hingga keluarga. Ragam materinya pun semakin banyak, mulai dari kelas produk susu, sabun, coklat, awetan buah, jamur, hingga bioplastik, juga kelas peningkatan kapasitas seperti kewirausahaan dan literasi keuangan, serta berbagai ekskursi/kunjungan lapangan.

Tentang pendekatan organisasi, Ines mengaku memilih wirausaha sosial atau sociopreneur. Keputusan ini diambil karena pengalaman saat melakukan kegiatan sosial yang sepenuhnya bergantung pada donasi dirasa kurang berhasil. “Saya belajar, pendidikan yang terlalu komersil memang memberatkan orang. Tetapi jika pendidikan sepenuhnya gratis atau bergantung pada donasi, orang jadi tidak menghargai prosesnya. Kualitas tenaga pendidik juga tidak bisa dijamin.” ,demikian paparnya.

Melalui bentuk sociopreneur, Ines menjelaskan, SHINE dapat memberikan manfaat lebih bagi masyarakat dan lingkungan. Manfaat pertama adalah SHINE mampu mengedukasi cara-cara hidup berkelanjutan/ramah lingkungan yang sangat aplikatif bagi pesertanya. Sehingga, tanpa perlu berpanjang-panjang membahas permasalahan lingkungan, para peserta kelas SHINE telah menerapkan berbagai aspek berkelanjutan secara tak sadar. Contohnya, dengan membuat awetan buah, para ibu rumah tangga dapat mengurangi jejak karbon di rumah, memenuhi kebutuhan gizi keluarga sekaligus menyelesaikan permasalahan limbah makanan (memanfaatkan buah-buahan yang tidak terjual di pasar). Membuat sabun minyak jelantah, misalnya, selain mengurangi limbah juga dapat menjadi sumber pemasukan bagi keluarga, dan lain sebagainya.

Menurut Ines, selain manfaat langsung berdasarkan edukasi, terdapat pula manfaat lanjutan yaitu adanya pemberdayaan masyarakat. Banyak pada antara peserta SHINE yang membuatkan bisnis berbekal keahlian yg diperoleh dari kelas. Para peserta yang telah ahli jua difasilitasi buat sebagai guru SHINE, dan bisa menyelenggarakan kelas-kelas baru di daerah masing-masing.

Walaupun saat ini SHINE telah bekerja sama dengan berbagai institusi dan perusahaan besar, Ines tetap percaya bahwa  pendidikan yang terjangkau sangat penting. “Di tempat lain, orang bisa membayar 600.000 rupiah untuk satu kali workshop sabun. Yang mahal sebenarnya bukan pendidikan, tapi sewa tempat, goodie bag, konsumsi, dan lain sebagainya. Kalau ada klien yang ingin fasilitas seperti itu, kami bisa berikan, tetapi (jika tidak diminta), kami tetap harus memberikan akses untuk orang-orang lain yang tidak sanggup membayar mahal. Di SHINE, kami peras seminim mungkin biaya-biaya yang tidak perlu, sehingga bagian terbesar biayanya untuk membayar tenaga pendidik dengan layak. Hanya dengan cara itu kami bisa memberikan pendidikan yang berkualitas namun terjangkau, sekaligus menghargai pendidiknya,” jelasnya.

Jalan idealis yang ditempuh Ines tidak lepas menurut banyak sekali hambatan. Sistem SHINE yg sangat terbuka & inklusif terkadang dimanfaatkan buat kepentingan eksklusif. Sempat terjadi permasalahan waktu terdapat orang yg membeli bahan-bahan pembinaan berdasarkan SHINE dengan harga murah, kemudian menjual pelatihannya sendiri menggunakan harga komersil. Ada jua orang yg mengadakan training dengan mengatasnamakan SHINE tanpa berkoordinasi sebelumnya. Tetapi, bagi Ines, perseteruan semacam ini dirasa nir terlalu mengganggu, lantaran Ines percaya hanya bisnis baik yg akan berkelanjutan. ?Usaha yang dilakukan menggunakan curang, lama -usang orang tidak percaya, sehingga akan tewas menggunakan sendirinya.?

Pendidikan yang diberikan oleh SHINE dirasa memberikan manfaat yang besar para peserta, khususnya dalam bidang kemandirian pangan. Dalam berbagai post-nya di Facebook – media sosial yang dipilih menjadi platform untuk menyebarluaskan program dan nilai-nilai SHINE – Ines seringkali menyampaikan, mencukupi kebutuhan gizi keluarga tidak harus mahal. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup, orang bisa memanfaatkan potensi alam dan lingkungan sekitar untuk mendapatkan makanan yang enak, bergizi serta berkualitas tinggi. Jika tidak sanggup membeli daging, ada jamur dan sumber-sumber protein nabati lain yang dapat ditumbuhkan di rumah. Jika keju atau coklat bagus yang dijual di supermarket terlalu mahal, dengan sedikit pengetahuan kita bisa membuat sendiri makanan tersebut, bahkan mendapatkan hasil yang bebas pengawet ataupun bahan aditif lain. Juga dengan sedikit wawasan botani, kita bisa memanfaatkan tumbuhan liar sebagai bahan makanan (disebut juga foraging/meramban). Pendidikan yang sesuai konteks dan kebutuhan dapat memberdayakan orang, sehingga mereka mempunyai berbagai pilihan dalam mewujudkan hidup berkualitas.

Ines Setiawan mungkin termasuk tipe insan yg langka. Di waktu kebanyakan orang mengeluh dan menuntut pemerintah buat memperbaiki nasib mereka, dia memilih buat berkecimpung membangun perubahan dari bulat terkecil. Menurut pendapatnya, ?Siapapun pemimpinnya, pasti akan kewalahan jikalau rakyatnya malas dan mau enaknya sendiri.?. Setiap orang berhak & perlu memperjuangkan hidupnya sendiri, tanpa harus bergantung pada pemerintah, atasan atau siapapun. Caranya merupakan dengan selalu mendidik dan mengembangkan kapasitas diri. Bahkan pengetahuan sains sederhana, selama dipahami dan diterapkan menggunakan baik, dapat membantu mewujudkan hidup yang berkualitas.

***

[MEDIA] BELAJAR HIDUP MANDIRI DARI FILM

Oleh: Sally Anom Sari

Pada tahun 1998, Indonesia mengalami zenit krisis moneter yang pertanda-tandanya telah mulai dirasakan dari tahun 1997. Hanya pada beberapa bulan saja nilai tukar dolar naik tajam berdasarkan hanya 2000-an rupiah per dollar menjadi 17.000 rupiah per dollar. Inflasi sangat tinggi. Banyak usaha rol tikar. Nasabah bank menguras simpanan dananya secara besar -besaran. Dalam suasana penuh ketidakpastian, salah satu hal yang dilakukan masyarakat merupakan pulang ke toko-toko & pasar swalayan, lalu memborong bahan makanan sebesar mungkin. Dalam saat singkat etalase supermarket mulai kosong. Apa yg terjadi jikalau krisis terus berlanjut dan tidak terdapat lagi bahan makanan di sana?

Kejadian di tahun 1998 itu membuat aku berpikir betapa rentannya hayati kita selama ini. Sebagian warga pada Indonesia, terutama yg hidup di perkotaan, hanya bisa mengandalkan toko, pasar atau supermarket buat mendapatkan bahan makanan. Hidup kita sama sekali nir mandiri. Kehidupan modern yg kita jalani selama ini menjauhkan koneksi kita menggunakan alam. Kita tidak tahu lagi bagaimana cara menumbuhkan kuliner sendiri atau bertahan hayati pada keterbatasan.

Padahal sebenarnya saya percaya kalau manusia punya kemampuan yang tinggi buat sanggup bertahan hidup secara berdikari. Mungkin kita hanya perlu belajar lagi untuk mengasahnya. Siapa tahu kita bisa memulai dengan belajar berdasarkan film.

Cukup banyak film yang karakternya harus berada dalam situasi sulit dan penuh keterbatasan. Mereka harus mencukupi diri sendiri untuk bertahan hidup. Ada film The Blue Lagoon (1980) dan Cast Away (2000) yang karakternya terdampar dalam sebuah pulau kecil. Ada lagi film Life of Pi (2012) yang lebih ekstrim lagi karena karakternya harus hidup terkatung-katung di atas perahu bersama seekor macan.

Karakter pada ketiga film tadi awalnya hanya orang biasa. Mereka semua belajar poly hal buat memenuhi kebutuhan mereka pada situasi sulit. Mereka membentuk sendiri loka mereka berteduh menggunakan bahan yg ada pada kurang lebih mereka. Lalu mereka belajar memancing atau menombak ikan pada samudera buat mencukupi kebutuhan makan mereka.

Banyak hal yg mampu dipelajari berdasarkan ketiga film tadi, tetapi ketiganya masih memenuhi kebutuhan makan dengan merogoh sumber daya yg ada pada sekitar mereka. Alangkah menariknya kalau kita mampu menemukan film menggunakan karakter yg bukan hanya merogoh asal daya yang terdapat, tetapi juga sanggup sanggup bercocok tanam menumbuhkan makanan sendiri.

Salah satu film yang bisa kita pelajari adalah The Martian (2015), yang bercerita tentang Mark Watney (Matt Damon) seorang astronot yang terpaksa tinggal sendirian di Planet Mars. Mark terdampar di Mars akibat sebuah kecelakaan yang membuatnya diasumsikan meninggal dunia. Seluruh rekannya pergi, tidak sengaja meninggalkan Mark sendirian. Mark pun harus bertahan hidup di Mars, sebuah planet tanpa kehidupan.

Di Planet Mars, Mark tinggal di tempat yang diklaim Hab (kependekan dari Habitat), sebuah dome yg dilengkapi dengan peralatan relatif sophisticated dan penuh oksigen, cukup buat melindungi Mark berdasarkan kerasnya lingkungan pada Mars. Tetapi Mark masih wajib mencari jalan keluar buat menerima makanan & air.

Mark Watney di depan Hab, loka tinggalnya di Planet Mars, dalam film The Martian

Di hari-hari awal Mark hayati menurut persediaan kuliner yg terdapat di Hab, tetapi jumlahnya terbatas. Mark wajib mencari asal kuliner lain. Ia pun memutuskan untuk menanam dari sisa persediaan kentang yg dia miliki. Mark langsung membenahi galat satu ruangan Hab buat dijadikan huma bercocok tanam. Seluruh ruangan ia isi dengan tanah dari Planet Mars, lalu diberi pupuk berdasarkan sampah kotoran. Setelah itu Mark mulai menanam. Setelah menunggu beberapa minggu, usaha Mark memperlihatkan hasil, kentangnya mulai tumbuh dengan subur. Mark sukses menanam makanannya sendiri.

Mark Watney pada tengah ladang kentang dalam Hab di Planet Mars

Sementara buat mendapatkan air, Mark memisahkan nitrogen dan hidrogen pada hydrazine menurut bahan bakar roket. Setelah itu ia membakar hidrogen menggunakan oksigen, dan terciptalah air. Tersedianya asal kuliner & minuman ini membuat Mark berhasil bertahan hayati selama berbulan-bulan.

Upaya menanam sumber kuliner di luar bumi seperti yang dilakukan Mark Watney dalam film The Martian sebenarnya hal yang juga dilakukan pada dunia konkret. Para ilmuwan semenjak usang melakukan riset ini menggunakan asa mampu memenuhi kebutuhan pangan para astronot di luar angkasa. Pada Agustus 2015,riset ini membuahkan hasil. Untuk pertama kalinya para astronot mencicipi selada yg ditanam di stasiun ruang angkasa internasional. Riset ini terus berlanjut sampai ketika ini dengan upaya menanam flora yg lebih majemuk sebagai akibatnya misi ruang angkasa mampu lebih berkelanjutan.

Ilustrasi menanam tanaman pangan di Planet Mars. Kredit Gambar: NASA

Apa yang dilakukan di Mars dalam hal menanam tanaman pangan saat ini masih dalam tahapan riset. Hal itu mungkin akan bermanfaat di masa depan ketika kita harus bertahan hidup dalam lingkungan yang sulit. Namun ketika harus menjadi mandiri dalam situasi nyata saat ini juga, kita perlu belajar dari tempat lain. Misalnya seperti dalam film Captain Fantastic (2016).

Captain Fantastic bercerita tentang Ben Cash (Viggo Mortensen) dan enam anaknya yang hidup di tengah hutan, menjauh dari kehidupan modern. Ben Cash dan istrinya tidak tahan dengan kehidupan modern yang kapitalis, sehingga mereka membangun “surga” mereka di tengah hutan. Mereka mengagumi Noam Chomsky dan mengadaptasi pemikiran Noam Chomsky dalam kehidupan sehari-hari.

Ben Cash dan enam anaknya pada film Captain Fantastic

Untuk membentuk rumah berdikari di tengah hutan, penulis sekaligus pengarah adegan film ini, Matt Ross, berusaha melakukannya senyata mungkin. Ia bersama kru desain produksi melakukan riset dengan mewawancarai banyak ahli & orang-orang yg hayati secara mandiri. Mereka memikirkan baik-baik bagaimana loka tinggal, sanitasi, asal kuliner, air & cara hayati yg wajib dijalani keluarga Cash untuk bertahan hayati. Semuanya harus masuk akal.

Persediaan kuliner pada rumah keluarga Cash

Keluarga Cash berburu, tetapi juga menanam tumbuhan. Untuk mengawetkan makanan mereka melakukan pengasapan dan fermentasi. Untuk memenuhi kebutuhan air higienis, mereka mempunyai filtrasi air buat penyaringan dan bak penampungan besar buat penyimpanan. Rumah famili Cash bisa dibilang cukup terkini meskipun tidak dilengkapi teknologi komputer atau sejenisnya. Hidup mereka sepertinya baik-baik saja.

Masalah terjadi saat famili Cash wajib pergi ke kota buat menghadiri pemakaman istri menurut Ben Cash pada kota. Terjadi kontradiksi menggunakan keluarga sang istri. Ayah oleh istri menilai anak-anak Ben Cash dididik dengan tidak semestinya. Ben memang melatih anak-anaknya buat kuat seperti atlet, & cerdas misalnya filsuf. Sejak mini mereka telah biasa berkutat menggunakan pisau dan alat berbahaya lain lantaran harus bertahan hayati pada tengah hutan belantara. Ayah oleh istri percaya bahwa Ben Cash membahayakan hayati anak-anaknya.

Pada akhirnya Ben Cash sadar jikalau beberapa hal memang ada benarnya, beberapa hal terlalu bahaya buat anak-anaknya. Ben Cash lalu berkompromi dengan menciptakan tempat tinggal baru pada pinggiran kota, nir di tengah hutan, tetapi tetap hidup berdikari. Rumah itu terasa indah & penuh kehangatan.

Keluarga Cash pada tempat tinggal baru mereka.

Meskipun hanya diperlihatkan sekilas dalam film, tetapi rumah famili Cash memberi harapan bahwa hal tadi sangat mungkin untuk dilakukan. Saya jadi percaya bila ada jalan tengah antara hidup ketika ini yg sangat konsumtif, menggunakan hidup berdikari yg penuh kesederhanaan.

Kemandirian adalah kebebasan, dan setiap orang punya asa buat mencapainya. Seperti apa yang dikatakan Rellian, galat satu anak Ben Cash, mengutip tokoh idola keluarga mereka, Noam Chomsky:

?If you assume that there is no hope, you guarantee that there will be no hope. If you assume that there is an instinct for freedom, that there are opportunities to change things, then there is a possibility that you can contribute to making a better world.?

[JALAN-JALAN] MENGINTIP KEHIDUPAN DI KEBUN BELAKANG

Oleh : Debby Josephine

Apa yang muncul di benak Anda ketika pertama kali mendengar kata kebun belakang? Kemungkinan besar jawabannya adalah sebuah kebun yang berada di belakang rumah. Tapi, kira-kira bagaimana bentuknya? Apa saja yang ada di dalamnya? Kehidupan seperti apa sih yang terjadi di sana? Nah, kali ini saya akan mengajak Anda untuk mengintip sebuah kehidupan di “Kebun Belakang”, tempat yang ide utamanya adalah untuk pemenuhan kebutuhan hidup harian namun berkembang menjadi tempat yang dapat menginspirasi orang lain untuk bergerak bersama ritme alam.

Berlokasi sempurna pada pinggir jalan Pesantren, Cimahi, loka ini sempat menimbulkan rasa ragu di hati saya. Lokasinya terbilang relatif ?Kota? Karena berdampingan dengan ruko akbar dan beberapa tempat tinggal glamor. Ketika hingga, tampak pagar hitam yang relatif tinggi sebagai akibatnya menutupi pandangan orang luar yang ingin melihat ke pada. Tidak berapa lama , pagar hitam pun dibuka sang Teh Ivana. Teh Ivana merupakan pemilik dari Kebun Belakang. Saya & teman aku disambut dengan hangat & dipersilahkan masuk.

Begitu masuk, kami melihat area cukup luas yg disiapkan buat loka parkir dan sedang ada dua mobil terparkir di sana. Berjalan sedikit ke arah kanan, kami melihat bangunan tempat tinggal mungil menggunakan jalan mini di sisi luarnya yang terhubung dengan area tempat duduk pada luar bangunan rumah. Teh Ivana mempersilakan kami buat duduk sembari memanggilkan Kang Misbah, suami Teh Ivana yg lalu lebih banyak bercerita tentang Kebun Belakang.

Kang Misbah pun datang dan menyambut kami dengan hangat lalu bercerita tentang kondisi Kebun Belakang. Ternyata, Kang Misbah sedang memperbaiki green house. Ia mengganti tiang greenhouse yang dulunya memakai materi bambu dengan baja ringan. Hal ini disebabkan kondisi bambu yang sudah lapuk dikhawatirkan dapat roboh. “Dengan baja ringan akan lebih awet.”, katanya.

Di musim kemarau ini, Kang Misbah sedang fokus membereskan kebun, menyiapkan benih, sambil mencoba mengumpulkan jerami dan lumpur untuk membangun gudang. Kami kemudian  diajak melewati jalan setapak di tengah kebun  menuju saung yang letaknya berada di bagian paling belakang dari area yang mereka miliki.

Begitu melihat kebun, kita dapat langsung melihat beberapa raised bed yang biasa ditemukan pada kebun yang menggunakan prinsip permakultur. Di dalam setiap raised bed terdapat berbagai jenis tanaman.  Kang Misbah mengolah berbagai tanaman ini untuk kebutuhan pangan harian dan produksi water kefir yang ia titipkan di beberapa tempat untuk dijual.

Tampak depan Kebun Belakang.

Semakin berjalan ke arah pada kebun, semakin damai suasana terasa, semakin pada pula isi perbincangan kami. Kang Misbah menceritakan bagaimana perjalanannya ?Berjumpa? Menggunakan konsep permakultur pertama kali pada tahun 2015 yang kemudian berkembang sampai waktu ini.

Bermula menurut menanam selada di lahan seluas 7 x 5 meter, Kang Misbah mulai membuka bisnis toko sayuran di loka tersebut. Saat itu, Kang Misbah & famili tinggal pada wilayah yg cukup jauh berdasarkan lokasi kebun. Lama kelamaan, lantaran Kang Misbah dan keluarga merasa lelah dengan bepergian bolak pulang antara kebun dan rumah, akhirnya mereka tetapkan buat berpindah, tinggal di lahan kebun yg mereka namai Kebun Belakang.

Setelah Kang Misbah sekeluarga tinggal di area Kebun Belakang, lahan kebun menjadi lebih terawat karena sudah menjadi tempat tinggal sendiri. Di fase ini, Kang Misbah mulai memaksimalkan lahan seluas 1.600 meter dengan menanam berbagai jenis tanaman sesuai zonasi, membangun kandang ayam, mendirikan saung, dan lain sebagainya. Kang Misbah mengungkapkan bahwa semua sumber pendapatan berasal dari kebun. Apalagi setelah mendirikan saung, pemanfaatan kebun menjadi lebih banyak. Bisa dipakai untuk bermain, workshop kecil-kecilan, dan menjadi destinasi kunjungan sekolah.

Saung pada ujung kebun

Semua keputusan yang diambil Kang Misbah dan Teh Ivana saat ini tak lepas dari pengalaman mereka yang sempat tinggal 4 tahun di Swedia dan kunjungan Kang Misbah ke sebuah daerah di Thailand pada tahun 2015. “Kita belajar orang gak diseragamkan. Mereka gak nuntut kamu punya pendidikan tinggi, selama kamu capable, kamu diterima.” ungkap Kang Misbah yang sempat mengalami culture shock di Swedia. Saat tinggal di Swedia, mereka jadi lebih concern soal pendidikan, kebebasan berekspresi, dan lebih banyak bereksplorasi tentang tumbuh kembang anak. Di Thailand berbeda cerita. Kang Misbah terinspirasi dengan bagaimana sekelompok masyarakat begitu menikmati hidup, apa yang mereka rasa baik mereka jalankan, meski tidak ada kampanye besar-besaran. Semua berjalan seperti apa adanya saja. Dari situ Kang Misbah mulai fokus pada diri sendiri dan keluarga – berjalan lebih pelan mengikuti ritme alam.

Banyak perubahan yang terjadi pada diri Kang Misbah semenjak berprofesi sebagai petani. Sifatnya dulu yang temperamental lambat laun berubah menjadi lebih tenang. Ia merasa lebih berdaya karena apa yang ia dan keluarganya konsumsi tidak perlu tergantung pada orang lain. Dengan menanam sendiri, rasa makanan yang dimasak lebih nikmat dan disukai anak-anaknya. Kang Misbah merasa lebih mandiri. “Saya bisa bebas, tapi juga mengurus diri sendiri dan keluarga, ini merupakan kebebasan level “Wah”. Saya merasa aman, meski cara hidup berbeda dengan orang kebanyakan. Saya gak kelaparan, lebih ke pasrah, jadi lebih rileks, lebih bebas lagi.”, cerita Kang Misbah siang itu.

Dari kiri ke kanan: Rencana green house, sangkar ayam dan lahan padi pada Kebun Belakang

Saat ini, Kang Misbah berharap setidaknya 50% kebutuhan hidupnya sanggup dicukupi berdasarkan kebun. Ia merasa bahwa pemenuhan kebutuhan hayati bergantung dalam gaya hidup, ?Bisa saja output berdasarkan kebun ini mencapai 100% bila saya tinggal di gunung. Kalau telah begitu, saya nggak usah cari tambahan buat beli pulsa.? Ungkapnya sambil tersenyum.

Kami pun diajak berkeliling kebun. Melihat padi, juga bunga mentari dan rosella yang sedang berbunga. Kami jua diajak ke sangkar loka ayam-ayam pelung. Dipelihara. Benda yg menarik adalah tungku yg dibentuk memakai lumpur dan jerami. Kang Misbah menggunakan btg pisang sebagai cetakan lubang tungku yang menunda bentuk hingga campuran materi kering seutuhnya.

Setelah puas berkeliling, Kang Misbah mengajak kami kembali ke tempat duduk di samping rumah utama. Ternyata sudah ada makan siang disiapkan Teh Ivana. Oh ya, selama berbincang, kami dijamu dengan setandan pisang kepok hasil kebun yang besar-besar dan manis sekali.

Makan siang yang disiapkan oleh Teh Ivana

Saya baru menyadari bahwa posisi rumah itu berada di antara hiruk pikuk jalanan dan kebun belakang yg tenang. Rumah itu berada di tepian. Tepian dalam permakultur yaitu loka pada mana dua tempat asal bertemu. Biasanya wilayah ini lebih produktif & kaya akan keberagaman.

Pengalaman perjalanan aku kali ini memberi kesejukan & inspirasi baru tentang kebun pada tengah kota. Apakah Anda berminat berkunjung ke Kebun Belakang? Silakan mengatur janji terlebih dahulu via DM instagram @kebunbelakang, ya!

Tungku di Kebun Belakang, yg dibuat dari lumpur dan jerami serta batang pisang sebagai penyangga.

Rabu, 06 Mei 2020

[OPINI] KONSEKUENSI KEMANDIRIAN

Oleh: Any Sulistyowati

Menjadi berdikari berarti merogoh tanggung jawab penuh terhadap hayati kita. Mengambil tanggung jawab berarti termasuk kesediaan buat menanggung konsekuensi yang melekat padanya.

Syarat-syarat kemandirian

Anak bungsu saya, Chikara, 4 tahun, sering berkata seperti ini, “Saya sudah besar, jadi mau main game”.  Tapi di lain waktu, ia berkata, “Saya masih kecil, jadi perlu digendong”. “Saya masih kecil, jadi mau ditemani mama”. Kalau saya bertanya, “Loh... kemarin kamu bilangnya sudah besar, kok sekarang kecil lagi?”. Maka ia akan berkata, “Saya besarnya baru sedikit”. Begitulah Chikara.

Sebetulnya pada hati saya berpikir, aku pun hingga ketika ini terkadang misalnya Chikara. Ada tarikan ingin sebagai kecil (kurang berdikari) & menjadi besar (lebih berdikari). Tergantung situasi. Tapi aku sadar bahwa sebagai berdikari atau kurang berdikari merupakan pilihan. Di dalam setiap pilihan terdapat konsekuensi yang inheren kepadanya. Tidak bisa ditawar, tidak sanggup ditolak. Konsekuensi tiba satu paket dengan pilihannya. Seperti hukum alam. Berjalan otomatis.

Apa sih sebetulnya kemandirian? Apakah kemandirian berarti melakukan segala sesuatunya sendiri? Apakah kemandirian berarti nir membutuhkan orang lain? Apakah kemandirian berarti nir boleh lagi merasa kecil, sendirian, ingin ditemani, ingin didukung & dibantu?

Menurut aku , persoalan utamanya bukan itu. Kemandirian pertama-tama membutuhkan keputusan buat berdikari secara berdikari. Maksudnya, aku menetapkan sendiri untuk menjadi mandiri. Bukan karena suruhan orang tua, bukan lantaran tekanan sosial, bukan karena tuntutan keadaan. Saya sebagai berdikari lantaran saya menginginkannya. Yang ke 2, kemandirian termasuk kesediaan buat menanggung konsekuensi berdasarkan kemandirian tersebut secara mandiri. Maksudnya, saya yang memutuskan, aku mengambil tindakan dan saya menanggung seluruh konsekuensinya sendiri. Bukannya, saya merogoh keputusan, lalu seseorang harus menanggung konsekuensi tadi. Entah itu orang tua, teman, anak, atau pun pihak lainnya.

Jika demikian makna kemandirian, apakah yang kita butuhkan agar bisa mandiri?

Stephen Covey dalam bukunya Seven Habits of Highly Effective People menyatakan bahwa setiap manusia memiliki empat anugerah kodrati, yaitu imajinasi, suara hati, kesadaran diri dan kehendak bebas. Untuk menjadi mandiri, kita perlu menggunakan keempat anugerah tersebut.

Pertama-tama, sebagai mandiri membutuhkan kita buat mengimajinasikan apa yang dimaksud menggunakan mandiri. Mandiri seperti apakah yang kita bayangkan? Bagaimana kondisi diri kita & sekeliling kita ketika kita menjadi mandiri? Kedua, kita perlu mendengarkan bunyi hati kita. Syarat agar dapat mendengarkan bunyi hati secara efektif merupakan kejujuran terhadap diri sendiri. Termasuk di pada kejujuran di sini merupakan mengakui apa yg kita rasakan, butuhkan & inginkan. Apabila kita dapat mendengarkan suara hati dengan amanah dan mengikutinya, maka kita akan mempunyai hal ketiga, yaitu pencerahan diri. Kesadaran diri mencakup semua penerimaan terhadap diri sendiri, kekuatan dan kelemahan. Mengetahui apa yang bisa & tidak, yang perlu & nir perlu buat diri kita. Hal keempat yg diperlukan merupakan sepenuhnya menggunakan kehendak bebas kita buat merogoh tindakan yg akan kita lakukan. Bukan lantaran suruhan, bukan lantaran paksaan.

Jika kita sudah sepenuhnya memakai keempat pemberian tersebut dan secara konsisten melaksanakan kehendak bebas dan menanggung konsekuensinya, maka kita telah melakukan yang dianggap Covey sebagai proaktivitas. Proaktivitas merupakan kapital awal berdasarkan kemandirian.

Saya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membedakan kebutuhan Chikara untuk bersama saya dengan kebutuhan saya sendiri.  Saya paham bahwa Chikara masih berada dalam tingkatan tergantung pada saya. Jelas, saya ibunya. Saya perlu mendampinginya sampai otak sadarnya cukup berkembang dan bisa mengambil keputusan untuk menjadi mandiri. Tapi apakah saya mandiri?

Saya sadari, aku pun mempunyai duduk perkara. Persoalan yg lebih akbar, bahkan. Apakah keputusan aku mendampingi Chikara betul-benar keputusan yg mandiri? Apakah saya sungguh proaktif pada dalam menjalankan peran saya sebagai mak ? Apakah aku menjalani peran saya waktu ini karena begitulah memang tugas dan peran seorang mak buat anaknya yg masih kecil? Apakah aku menjalani peran ini karena takut gunjingan tetangga yg mempunyai baku eksklusif mengenai pengasuhan anak? Apakah aku menjalani kiprah ini karena mengharapkan dukungan Chikara di masa tua nanti? Apakah saya takut kehilangan Chikara? Semua itu merupakan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab buat mengetahui apakah saya mendiri.

Ternyata sebagai berdikari bukanlah hal yang gampang. Saya senang menerima Chikara menjadi anak aku , tetapi aku juga sering kewalahan menanggung konsekuensi sebagai ibunya. Konsekuensi-konsekuensi tadi biasanya terkait dengan keterbatasan sumber daya. Salah satunya merupakan ketika.

Chikara membutuhkan ketika terfokus berdasarkan aku buat menemaninya. Dia tidak senang disambi. Saya punya poly kesulitan menuntaskan pekerjaan selama mengasuh Chikara. Dia bukan anak yang akan diam dan menunggu. Dia aktif mempertanyakan banyak hal dan menuntut jawaban waktu itu juga. Dia menyatakan alasan-alasan secara terbuka & menuntut penerangan yg wajar buat otaknya. Ia akan bahagia kalau memahami sesuatu & mencapai sesuatu. Di tengah situasi yang demikian, saya punya beberapa pilihan: 1) cari pengasuh, dua) memaksanya membisu menunggu saya menyelesaikan sesuatu, tiga) membuatnya sibuk melakukan hal yg lain, 4) membuatnya terlibat pada dalam aktivitas aku .

Menyusun balok: galat satu kegiatan yang menciptakan anak sibuk. Sumber foto: koleksi pribadi.

Pekerjaan saya bervariasi dari memasak, mencuci, membereskan rumah, mengurus kebun, mengajar dan mengetik dengan menggunakan komputer. Untuk empat yang pertama, Chikara dapat saya libatkan secara aktif, asalkan ada waktu yang cukup. Asalkan standar saya mengenai kecepatan dan kualitas hasilnya bisa dibuat lebih rendah. Sebagai contoh, ketika memasak kue dilakukan  bersama-sama dengan Chikara, saya perlu merelakan bahwa akan ada hasil cetakan kuenya yang kurang rapi, belepotan atau komposisi bahannya yang tidak presisi. Waktu memasak kue pun bisa jadi lebih lama daripada kalau saya membuatnya sendiri. Tapi pembelajaran untuk Chikara dan waktu yang kami lalui bersama jauh lebih penting daripada rasa dan bentuk kuenya. Di sini, proses lebih penting daripada hasilnya.

Melibatkan anak dalam aktivitas kita - krusial buat perkembangan anak.

Sumber foto: koleksi pribadi.

Untuk dua yang terakhir, mungkin cukup sulit. Di sini, tuntutan hasil mungkin lebih kuat daripada proses bersama anak. Dalam situasi seperti ini, pilihan nomor satu mungkin adalah cara yang paling mudah. Saya akan punya waktu terfokus untuk saya sendiri, dan Chikara akan main dengan terfokus bersama pengasuh. Namun, jika saya terlalu banyak mengambil pilihan nomor satu ini, Chikara lalu protes, “Tapi aku sukanya  main sama kamu”. Hiks.... Menyenangkan dalam situasi normal, tetapi petaka dalam kondisi deadline seabreg kegiatan.

Pilihan nomor dua kadang-kadang terjadi pada keadaan darurat, tapi Chikara akan cepat bosan dan kemudian melakukan hal-hal yang akhirnya menambah pekerjaan saya tanpa dia dan aku sadari di awal . Misalnya mengacak-rambang sesuatu yang wajib saya bereskan kemudian. Istilah mengacak-acakpun sebetulnya perlu dipertanyakan. Mungkin kata tersebut sempurna dari sudut pandang aku . Dari sudut pandang Chikara, mungkin lebih tepat dikatakan menjadi mengeksplorasi benda-benda baru yang menarik perhatiannya. Yang tanpa ia sadari benda-benda itu sebetulnya merupakan bagian menurut pekerjaan saya, bukan mainannya.

Nomor tiga bisa berjalan baik, tetapi akan membutuhkan ketika buat mempersiapkannya. Pertama-tama, perlu dipilih apa aktivitas yg akan dilakukan Chikara. Kedua, perlu dibayangkan berapa lama dia akan tahan melakukan kegiatan tadi sendiri. Ketiga, apakah kegiatan tersebut membutuhkan pendamping? Keempat, bahan apa saja yg diharapkan? Kapan & berapa lama menyiapkannya? Kelima, apakah ada dampak yg perlu saya tanggung sehabis kegiatan selesai? Misalnya beres-beres. Beres-beres ialah pekerjaan. Pekerjaan perlu ketika untuk mengerjakannya.

Bermain: membuat anak sibuk tetapi jangan lupa ajari ia untuk membereskannya kembali

Sumber foto: koleksi pribadi.

Itu merupakan model-model konsekuensi menurut pilihan tindakan saya angka satu hingga empat. Namun semua itu adalah konsekuensi menurut pilihan aku sebagai ibunya. Kalau aku sungguh berdikari, berarti aku menggunakan bahagia menanggung konsekuensi tadi. Menjadikannya bagian berdasarkan hayati saya.

Kesalingtergantungan ? Tingkatan lebih lanjut dari kemandirian

Apabila kita telah mencapai kemandirian, maka kita dapat melanjutkan perjalanan hidup kita menuju kesalingtergantungan. Kesalingtergantungan hanya dapat terjadi dalam relasi dua orang yang mandiri.  Apabila salah satu tergantung dari yang lain, maka relasi tersebut disebut sebagai ketergantungan. Kesalingtergantungan adalah kunci menuju sinergi. Sinergi adalah kondisi di mana kerjasama antara sejumlah orang menghasilkan kinerja yang lebih besar dari apabila kinerja seluruh anggota tersebut dijumlahkan. Dalam sinergi terjadi apa yang tidak mungkin dilakukan apabila setiap orang yang berelasi berdiri sendiri.

Di dalam kesalingtergantungan, setiap orang sebetulnya dapat hidup secara berdikari. Masing-masing akan baik-baik saja pada pada hidupnya. Namun, mereka masing-masing merasa nir cukup dengan sekedar baik-baik saja. Mereka haus akan capaian yang lebih akbar di dalam hidup mereka & secara kreatif ingin mewujudkan impian tersebut. Mereka kemudian bersepakat buat berhubungan buat mencapai impian bersama secara beserta-sama. Mereka menetapkan untuk saling membantu satu sama lain buat mencapai impian bersama. Mereka terdapat satu buat yang lain, namun permanen oke apabila suatu waktu yang satu meninggalkan yg lain.

Saat ini aku dan Chikara berada dalam interaksi pada mana Chikara tergantung dalam saya. Tetapi aku memahami, itu hanya ad interim. Dari waktu ke waktu, dia akan berkembang & menjadi lebih berdikari pada segala hal. Dari ketika ke waktu, kebutuhannya akan saya akan berkurang dan beliau akan menjadi lebih sibuk menggunakan dunianya sendiri. Secara sedikit demi sedikit kami akan mentransformasi relasi kami berdasarkan ketergantungan sebagai kesalingtergantungan. Saya membayangkan lebih kurang 2 puluh tahun lagi, aku dan Chikara akan melakukan sesuatu beserta-sama menjadi dua pribadi yang berdikari. Kami akan menghasilkan hal-hal yg luar biasa bersama-sama.

Panen wortel bersama - salah satu kegiatan yang disukai anak,

sekaligus memberikan pengalaman tentang kemandirian dalam menghasilkan pangan.

Sumber foto: koleksi pribadi.

Bagaimana dengan empat puluh tahun lagi? Saya akan berusia delapan puluh enam tahun, dan Chikara empat puluh empat tahun. Apakah aku tetap mampu mandiri? Saya berharap, ya, aku ingin permanen sebagai orang yang mandiri. Saya ingin tetap dapat memutuskan hayati saya sendiri pada usia itu. Saya masih tetap ingin bisa membuat karya dan mewujudkan impian-impian aku . Nah, keputusan inipun terdapat konsekuensinya. Dan konsekuensi ini, terkait menggunakan hidup aku yg sekarang. Kalau saya masih ingin berkarya di usia delapan puluh enam tahun, maka saya perlu cukup sehat pada waktu itu. Kalau aku mau sehat di usia tadi, maka saya perlu menjaga kesehatan semenjak kini !

Jika saya ingin relasi saya dengan Chikara merupakan kesalingtergantungan pada usia delapan puluh enam, maka saya punya PR akbar yg perlu aku lakukan semenjak kini . Salah satu ciri menurut kesalingtergantungan adalah tidak ada rasa bersalah, nir terdapat takut, nir terdapat kuatir. Konsekuensi dari kesalingtergantungan merupakan Chikara dan aku perlu bebas menurut rasa takut, kuatir dan bersalah, apabila dia menentukan hidupnya sendiri dan tidak ?Mengurus aku ? Pada usia delapan puluh enam sesuai dengan baku yang berlaku di rakyat ketika itu. Chikara perlu bebas menurut semua rasa itu & percaya bahwa saya mendukung pilihan hidupnya dan aku akan baik-baik saja.

Nah, saya rasa ini lebih kompleks daripada konsekuensi sebagai sehat yang aku ceritakan tadi. Untuk menjadi sehat, saya relatif berurusan menggunakan diri saya sendiri. Menetapkan pilihan & konsisten melaksanakannya. Mentransformasi interaksi ketergantungan sebagai salingtergantung & mempertahankannya selama empat puluh tahun merupakan sesuatu yang luar biasa. Komitmen ini bukan hanya menyangkut saya, tetapi pula Chikara & hubungan aku dengannya. Ini akan menyangkut keputusan dan pencerahan akan nilai-nilai yang perlu ditanamkan, kebiasaan-kebiasaan yg perlu dibangun, pengalaman-pengalaman beserta yang menerangkan kesungguhan rekanan dan banyak lagi. Pastilah terdapat jatuh bangun yang perlu dilalui. Konsekuensi yang harus diterima menggunakan tulus & dijalani dengan senang .

Latihan kemandirian

Yang saya ceritakan pada atas merupakan hanyalah satu contoh sederhana menurut keputusan yang kita ambil secara berdikari. Kita bisa membangun kemandirian mulai menurut banyak hal lain. Keputusan akan kuliner yang ingin kita makan, udara yang ingin kita hirup, karya yang ingin kita hasilkan, pasangan hayati yg hendak kita pilih, rumah yg hendak kita tinggali, kebun yang hendak kita lihat dan banyak lagi, dan banyak sekali aspek kehidupan yang hendak kita jalani. Apapun pilihannya, semoga benar -betul diputuskan secara berdikari dan dijalani dengan penuh tanggung jawab & sukacita.

Mulai berdasarkan satu aspek kemandirian yg kita jalani, kemudian kita dapat memperluasnya ke aspek-aspek yang lain. Dalam jangka panjang, akan ada lebih poly aspek kemandirian yg bisa kita pilih dan akhirnya, secara sedikit demi sedikit, kemandirian akan menjadi bagian penting menurut kehidupan kita.

***

Selasa, 05 Mei 2020

[MASALAH KITA] TEMAN DALAM PERUBAHAN

Oleh: Karina Adistiana

Beberapa tahun terakhir ini saya tertarik pada gaya hidup zero waste. Dimulai dari melihat video tentang Bea Johnson, seorang perempuan Prancis yang tinggal di California dan mengadopsi gaya hidup bebas limbah sejak 2008. Ketertarikan pada gaya hidup ini turut didorong oleh keterkejutan melihat data tentang timbunan sampah di Indonesia. Dari web Badan Pusat Statistik, saya membaca laporan yang menyebutkan bahwa timbunan sampah di Indonesia pada tahun 2016 tercatat sebanyak 65.200.000 ton per tahun. Timbunan ini rupanya cukup mengagetkan bagi pemerintah mengingat kemudian di tahun 2017 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden yang menargetkan pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sebesar 30% dan penanganan sebesar 70% (Sumber: www.bps.go.id).

Saya perlu berperan pada mengurangi sampah dan tampaknya gaya hidup yg ditunjukkan Bea Johnson tampak sangat mudah dilakukan. Yang penting niat & terus mencoba. Demikian motivasi awal aku . Akhirnya, saya pun mencoba gaya hayati ini. Saya mulai berusaha membarui pola konsumsi saya pada membeli barang. Setelah mencoba beberapa saat, aku menemukan poly kesulitan. Tulisan ini merupakan hasil observasi terhadap proses yang saya alami sendiri juga melihat bagaimana sahabat-teman dekat mencoba gaya hayati yang sama.

Tantangan awal saya dimulai dari mencari informasi yang tepat untuk memulai gaya hidup ini. Kesalahan saya adalah melihat grup komunitas yang sudah menjalankan gaya hidup ini secara penuh sejak lama. Maka mulailah saya membeli barang-barang yang kira-kira dibutuhkan berdasarkan paparan para senior di grup media sosial komunitas tersebut. Saya ingat barang yang saya beli di awal adalah wadah plastik aneka ukuran. Saya beli untuk mempermudah belanja di pasar agar tidak pakai kemasan. Lalu saya juga membeli tas kain untuk mempermudah proses belanja. Waktu saya bercerita tentang hal ini pada seorang teman, ia lalu mengingatkan untuk pakai saja barang yang ada di rumah, dan tidak menambah sampah lain. Barulah saya pelan-pelan merencanakan kembali proses yang sedang dijalani.

Wadah plastik aneka ukuran

Tantangan lain yang saya alami adalah ketika harus membeli aneka kebutuhan sehari-hari yang lebih ramah lingkungan. Tak ada bulk store atau toko yang menjual kebutuhan sehari-hari tanpa kemasan di dekat rumah saya. Ketika saya mempertimbangkan membeli kemasan yang lebih ramah lingkungan, saya dihadapkan pada kenyataan pahit, yaitu soal perbedaan harga yang cukup besar pada beberapa barang. Contoh sederhana adalah ketika saya hendak membeli mentega. Suatu hari di tahun 2017, saya melihat harga yang tertera: kemasan sachet plastik 200 gram: Rp. 6.600; wadah plastik 250 gram: Rp. 11.100; wadah kaleng 1 kg: Rp. 51.600; wadah kaleng 2 kg: Rp. 96.100

Sekarang bayangkan apabila aku butuh membeli dua kilogram mentega, dari perhitungan ekonomi tentulah membeli kemasan sachet plastik jauh lebih menguntungkan dibandingkan membeli wadah kaleng. Harganya hampir 1,lima kali lipat. Mau tidak mau aku jadi lebih memperhatikan disparitas harga ini dalam aneka barang. Saat bercakap-cakap menggunakan beberapa teman, aku menerima gosip bahwa sahabat-teman aku lebih senang membeli beragam kebutuhan pada bentuk sachet menggunakan banyak sekali alasan. Lebih ekonomis, makan loka lebih sedikit, & lain-lain. Selain urusan harga, bungkus besar justru mendorong pemakaian lebih poly, demikian salah satu alasan yang membuat saya tercenung. Contohnya apa? Saya tanya pada mereka. Contohnya odol yang mulut tubenya semakin akbar seiring semakin akbar pula tubenya.

Mentega dalam bungkus

Mencoba memisahkan sampah menjadi tantangan baru lain. Setelah berhasil mengurangi dan memilah sampah, saya harus mengurut dada melihat sampah di truk pengangkut sampah kembali menyatukan semua sampah yang sudah dipisahkan. Betapa senangnya hati saya ketika muncul Bank Sampah di perumahan kami. Namun, baru beberapa minggu beroperasi ternyata tutup. Alasannya? Diprotes warga karena bau sampah yang menyengat. Beberapa contoh tantangan ini, ditambah dengan pesimisme akan kebermaknaan tindakan saya terhadap berkurangnya masalah sampah di negara tercinta membuat perlahan-lahan motivasi untuk tetap menerapkan gaya hidup zero waste mulai mengendor. Terkadang keyakinan akan kemampuan untuk bertahan dengan gaya hidup ramah lingkungan juga turut berkurang ketika melihat para pegiat zero waste yang sepertinya benar-benar bersih dari sampah dalam kehidupan sehari-harinya. Rasanya terlalu jauh dan terlalu sulit untuk mengikuti perilaku tersebut.

Semangat untuk kembali menjalankan gaya hidup yang lebih sehat dan ramah lingkungan perlahan-lahan terkumpul kembali justru karena sering bertukar pikiran dengan dua orang kawan dekat yang juga menerapkan hal serupa. Dalam berbagai pertemuan, kami banyak berdiskusi tentang kesulitan dan bagaimana mengatasinya. Kami saling mengapresiasi untuk setiap kemajuan langkah yang dilakukan oleh setiap orang. Dan terutama kami saling berbagi pengalaman, tips dan informasi berkaitan dengan zero waste ini. Dari diskusi-diskusi ini saya juga belajar bahwa komunitas tak selalu cocok untuk semua orang yang baru mencoba membuat perubahan terhadap gaya hidupnya. Terkadang semangat berbagi yang begitu menggebu di anggota komunitas justru dapat memunculkan tekanan pada mereka yang baru mencoba dan disalahartikan sebagai kompetisi. Persepsi ini terutama muncul karena tak selalu terlihat proses dalam sebuah perilaku yang ditampilkan oleh anggota komunitas ketika berbagi. Dari pengalaman awal tersebut, saya melihat bahwa teman dalam perubahan adalah faktor yang penting. Pendekatan-pendekatan pribadi serta contoh-contoh yang dekat dengan kondisi awal adalah hal yang terkadang menjadi lebih efektif dalam menjaga motivasi. Peran teman dalam perubahan ini terutama adalah untuk menjadi model bagi mereka yang baru mulai berkomitmen dalam mebuat perubahan.

Dalam bidang psikologi belajar, ada Social Learning Theory atau Teori Belajar Sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura, seorang psikolog Kanada-Amerika yang juga menjadi profesor ilmu sosial di Stanford University. Teori ini menyatakan bahwa seseorang bisa belajar perilaku baru dari orang lain melalui observasi, imitasi, dan modelling. Beberapa faktor yang turut berperan dalam pembentukan perilaku baru ini adalah karakter model (orang yang perilakunya diobservasi), karakter pembelajar (orang yang mengamati model), dan situasi serta reaksi terhadap perilaku yang dimunculkan. Karakter model berkaitan dengan konsistensi model terhadap perilaku dan kedekatan dengan pembelajar, seberapa mirip pengalaman model dengan pembelajar, seberapa mirip latar belakang model dengan pembelajar, dan bagaimana pembelajar menghargai model sebagai individu. Karakter pembelajar berkaitan dengan motivasi dan perhatiannya terhadap pentingnya perilaku, dalam hal ini bagaimana ketertarikan pembelajar terhadap perilaku sehat dan ramah lingkungan maupun zero waste. Sedangkan situasi dan reaksi berkaitan dengan proses pembelajaran tentang perilaku. Apakah perilaku sehat dan ramah lingkungan maupun zero waste yang dilakukan pembelajar mendapat apresiasi atau justru sebaliknya mendapat pandangan negatif dari orang-orang di sekitarnya, dengan kata lain, apakah perilaku tertentu dipersepsi merugikan atau menguntungkan bagi dirinya. Pada orang dewasa, penerapan teori belajar sosial ini tak harus dengan melihat langsung perilaku, namun juga melalui tanya-jawab, kolaborasi, dan juga diskusi untuk saling berbagi ilmu.

Menularkan kesadaran akan perilaku sehat dan ramah lingkungan ataupun zero waste adalah hal yang penting. Namun semangat untuk melakukan hal ini juga perlu diiringi dengan pemahaman akan tidak idealnya sistem sehingga tidak empatik bila beban membuat dunia lebih baik diletakkan sepenuhnya pada seberapa keras usaha setiap individu. Rasanya kita perlu lebih banyak menerapkan konsep teori belajar sosial dengan memunculkan lebih banyak model yang empatik untuk mendorong kesadaran ini dan memberi lebih banyak teman pada mereka yang sudah memiliki motivasi awal untuk melakukan perubahan, kita pun juga perlu menjadi model bagi orang lain sekaligus menjadi pembelajar di saat yang sama.

Menerapkan konsep teori belajar sosial dalam komunitas juga perlu dan dapat dilakukan. Mendorong ruang diskusi dan tanya jawab serta kolaborasi adalah hal yang esensial untuk disepakati bersama, sehingga komunitas tak melulu menjadi ajang pamer yang kompetitif. Budaya saling mengapresiasi setiap kemajuan yang dibuat oleh anggota juga diharapkan dapat menjadi pendorong semangat para anggota baru. Diskusi-diskusi seputar prinsip rasanya juga perlu terus digaungkan agar perilaku sehat dan ramah lingkungan ini tak sekadar menjadi gaya hidup yang salah kaprah. Salah satu fungsi teman dalam perubahan adalah sebagai model yang memunculkan ataupun memperkuat konsistensi perilaku sehat dan ramah lingkungan. Tanpa model yang empatik dan paham akan konsep zero waste, bisa jadi prinsip zero waste justru tak terpenuhi. Saya melihat hal ini terjadi. Contoh sederhananya adalah soal membeli banyak tas-tas belanja dan wadah-wadah untuk mengurangi pemakaian plastik bila tidak dipertimbangkan baik-baik justru dapat meningkatkan jejak karbon pada produksi dan distribusinya. Saat ini semua orang berlomba-lomba membeli dan memberikan tas-tas kain ini. Trend souvenir pernikahan pun turut bergeser menjadi tas-tas ini. Tidakkah peningkatan produksi besaar-besaran ini turut menyumbang limbah?

Sepanjang pengetahuan saya, gaya hidup sehat dan ramah lingkungan berkaitan erat dengan kedaulatan pangan dan sumber daya alam. Rasanya diskusi terkait hal ini juga perlu terus dikumandangkan dan dikaitkan dengan komunitas. Kita perlu mengingat kembali aneka kearifan lokal di negara yang kaya akan keberagaman ini. Seringkali kita masih menemukan upaya dan gaya hidup sehat yang masih menggunakan aneka bahan pangan yang belum banyak ada di Indonesia, misalnya membuat keju dengan rennet impor ataupun membuat kain pembungkus dengan bees wax dari luar negeri.  Saya pun masih menemukan ini di beberapa toko berkonsep zerowaste yang pernah saya datangi di beberapa daerah. Alangkah terkejutnya saya ketika menemukan kemiri, chia seed, dan kapulaga yang diimpor dari negara-negara lain di toko-toko ini dengan alasan permintaan pasar. Tidakkah kita sebaiknya mengeksplorasi kembali kekayaan ragam sumber daya kita dan mencoba menerapkannya dalam gaya hidup ini? Bukankah itu yang menjadi salah satu prinsip zero waste? Menggunakan apa yang ada di sekitarmu.

Ada poly kekayaan alam & budaya yang dapat dieksplorasi, & itulah keliru satu fungsi komunitas, di mana kita mampu saling bertukar berita. Berbagi peran & barter menjadi bagian penting pada komunitas. Misalnya, mungkin tak perlu semua orang belajar membuat sabun ataupun keju sebagaimana tren belakangan ini. Bisa saja tak seluruh orang punya ketika & kesabaran buat melakukannya. Dan tak semua orang juga dapat berkebun dengan segala keterbatasan, terutama pada kota besar . Di sinilah kearifan lokal kita yaitu budaya gotong royong berperan. Paling nir, inilah yg saya dan ke 2 mitra aku biasa lakukan.Misalnya saya yang memang sedang tertarik pada flora yg bisa diolah jadi makanan menukar biji maupun aneka output kebun dengan sabun protesis mitra yang memang sedang tertarik memeriksa pembuatan sabun.

Sabun ditukar menggunakan bunga telang

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengapresiasi mereka yang sudah menunjukkan bahwa gaya hidup sehat dan ramah lingkungan ini dapat dilakukan secara bertahap dengan seru dan menyenangkan, walaupun tetap serius dan dilakukan dengan tujuan mulia. Mereka inilah model yang rasanya dapat mendorong munculnya kesadaran akan pentingnya perilaku yang sama pada orang lain, baik yang belum memiliki pengetahuan akan hal ini maupun yang baru memulai. Semoga semakin banyak model seperti ini yang menjadi “Teman dalam Perubahan” bagi  banyak orang.

[MASALAH KITA] KEMANDIRIAN SABUN, SEBUAH UPAYA MENUJU KESELARASAN HIDUP DENGAN SEMESTA

Oleh: KristienYuliarti

Kehidupan insan amat bergantung pada semesta. Salah satunya dalam ketersediaan asal air, yang sebagai kebutuhan vital dalam mendukung aneka keperluan insan sehari-hari. Sebagian besar orang bergantung pada air hujan buat memenuhi kebutuhan airnya. Ketika curah hujan rendah, terlebih ketika animo kemarau panjang, mereka akan berupaya mencari sumber air lain, yg biasanya relatif jauh berdasarkan tempat tinggal mereka. Ada juga sebagian orang yg memenuhi kebutuhan airnya berdasarkan sungai terdekat tempat mereka tinggal. Sementara bagi penduduk kota akbar, kebutuhan air terfasilitasi melalui aliran air yg diupayakan sebuah perusahaan.

Sebagai galat satu kebutuhan penting, maka kualitas air tentu perlu menerima perhatian.Terutama air yg dibutuhkan buat kebutuhan minum dan mengolah. Lalu bagaimanakah kita menjaga serta mengupayakan kualitas air hingga layak dikonsumsi?

Salah satu penyebab tercemarnya air adalah hamparan busa yg menutup permukaan air. Tudingan kerap ditujukan dalam buangan limbah industri sebagai penyebab primer meluapnya busa tersebut. Tetapi, adakah kiprah kegiatan keseharian manusia yang punya andil cukup krusial dalam hal ini?

Sejatinya air mengalami siklus. Maka air higienis yg kita rasakan di rumah, sepatutnya sanggup dijaga kebersihannya saat mengalir dari rumah, usai pemakaian. Namun, aktivitas insan ternyata memberikan beban yang relatif berat dalam air buangan. Kegiatan cuci-higienis dengan donasi sabun/pembersih/detergen, tanpa disadari, sudah menjadi faktor penting pada pencemaran air (air sungai/air tanah).

***

Entah sejak kapan, manusia memakai & menjadi bergantung pada sabun/deterjen/pembersih dalam kesehariannya. Tidak kurang berdasarkan lima jenis sabun/pembersih yg dimiliki/digunakan dalam tempat tinggal tangga. Saya mendata jenis sabun/pembersih yang aku gunakan beberapa tahun yg lalu.

Sabun mandi & shampoo menjadi perangkat higienis diri yang utama. Kemudian bertambah menggunakan sabun khusus wajah & kondisioner (pelembut) rambut. Lalu sabun cuci sandang, yang dilengkapi dengan pewangi, sabun cuci piring, sabun cuci tangan, pembersih lantai, pembersih kaca, pembersih kamar mandi. Sabun/pembersih sebesar itu menaruh ketenangan dalam manusia, lantaran mampu menjawab kebutuhan manusia untuk selalu higienis, wangi, ataupun sehat terbebas dari kuman.

Kenyamanan yg dinikmati insan menggunakan penggunaan sabun/pembersih ?Terlepas menurut imbas negatifnya- sepatutnya juga dinikmati oleh semesta, lantaran hayati manusia bergantung dalam semesta. Pemikiran inilah yang mengusik aku buat mempertanyakan pengaruh pemakaian sabun/pembersih pada lingkungan.

***

Sabun/pembersih orisinil pabrik mengandung sejumlah bahan kimia. Dan tidak terbersit sedikitpun keingintahuan atas fungsi & impak menurut bahan-bahan tersebut, meski telah amat usang menggunakannya. Merk sabun/pembersih eksklusif dipilih, & selanjutnya digemari, lantaran ?Yang terutama- seruan iklan pada media. Kesadaran pada kondisi lingkungan hidup, khususnya air, telah menggugah aku untuk mencari memahami bahan-bahan penghasil sabun/pembersih.

Bahan utama pembuatan sabun adalah SLS (Sodium Lauryl Sulfate), SLES (Sodium Laureth Suflate), atau ASL (Ammonium Laurel Sulfate). Ketiga senyawa kimia ini adalah bahan utama pembentuk busa yang berfungsi meningkatkan efisiensi pencucian dengan cara menonaktifkan mineral pembentuk kesadahan air. Berpadu dengan surfactan (surface active agent) –yang umumnya adalah senyawa fosfat-  busa yang dihasilkan sabun/pembersih akan menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran dan lapisan minyak. Banyaknya busa dapat menjadi indikator kadar SLS pada sabun. Kandungan SLS/SLES/ALS yang cukup tinggi dapat menyebabkan kulit tubuh menjadi kering. Dan pada sebagian orang akanmenyebabkan iritasi.

Busa yang dihasilkan sabun/deterjen yang menggunakan SLS/SLES/ALS sebagai komponen utamanya menjadi salah satu unsur penyebab eutrofikasi (pengayaan unsur hara yg berlebihan) pada sungai/danau yang bisa menyebabkan ledakan pertumbuhan eceng gondok dan algae sehingga menyebabkan pendangkalan sungai. Keberadaan busa di permukaan air juga menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian menyebabkan organisme air kekurangan oksigen.

Lapisan busa dalam bagian atas air sungai/danau mempunyai ikatan molekul yang sulit diuraikan. Perlu perlakuan khusus ataupun penambahan senyawa kimia tertentu buat memecah hamparan busa tadi. Ini artinya, ada bahan kimia lain yg ditambahkan buat menjernihkan air sungai/danau yang selanjutnya menjadi asal air bersih bagi poly orang.

Paparan di atas hanya menguraikan efek menurut satu bahan yg terdapat dalam sabun/pembersih pabrikan. Bagaimana dengan bahan lainnya? Sudah poly kajian mengenai hal tersebut, yg sebagian merujuk pada impak bagi kesehatan insan. Tetapi, sebagai kesatuan ekosistem, perilaku hidup kita hendaknya selaras dengan semesta, memelihara kelestarian bunda bumi bersama isinya.

***

Hasil penelusuran atas pengaruh sabun/deterjen bagi semesta mengarahkan saya pada pertanyaan, ?Sejak kapan sabun terdapat? Ketika belum ada produksi sabun, bahan apakah yg digunakan menjadi sabun/pembersih? Mengapa imbas menurut bahan pembuat sabun nir diketahui oleh sebagian besar orang?? Keingintahuan ini sebagai awal perkenalan aku dengan LERAK/KLEREK.

Lerak/klerek merupakan jenis flora yg tumbuh pada wilayah tropis, keliru satunya di Indonesia. Tanaman ini, yakni bagian buahnya, mengandung senyawa saponin, yg memiliki daya bersih seperti sifat sabun/deterjen. Sebagian warga , terutama yg tinggal pada daerah Jawa Timur & Jawa Tengah, mengenal lerak sebagai sabun pencuci kain batik & perhiasan. Hanya sebatas itu. Padahal pencarian saya atas manfaat lerak melalui internet menemukan khasiat lerak sebagai sabun pencuci buat semua keperluan. Namun goresan pena-goresan pena itu umumnya berbahasa Inggris.

Maka keheranan saya pun menimbulkan pertanyaan, “Kenapa lerak terabaikan di negeri ini? Benarkah lerak bisa menggantikan aneka sabun/pembersih yang selama ini saya pakai?” Jawaban atas rasa penasaran itu diperoleh setelah saya menggunakan lerak sebagai sabun/pembersih untuk keperluan sehari-hari, yang dimulai sejak  5 (lima) tahun lalu.

Ketika ditanyakan alasan menggunakan lerak sebagai sabun/pembersih, maka alasan yang amat mendasar –bagi kami- adalah pilihan untuk mengurangi pencemaran air dan tanah. Alasan berikutnya, yakni pemakaiannya yang mudah dan pemanfaatan produk lokal yang merupakan kearifan budaya negeri ini. Tentu aneka pertanyaan pun dialamatkan pada kami, “Bersih gak? Wangi gak? Bebas kuman gak? Harganya mahal gak?” Pertanyaan wajar yang dilatarbelakangi pengalaman penggunaan sabun/pembersih yang selama ini digunakan.

Sejumlah pertanyaan tersebut sebagai latar belakang proses edukasi yang kami lakukan ketika mengenalkan manfaat lerak ke sejumlah sahabat maupun berbagai komunitas.

***

Awalnya, pengalaman memakai lerak sekadar dibagikan melalui cerita-cerita singkat di media sosial. Menarik sekali tatkala mengamati cukup poly orang yg belum mengenal lerak. Kalaupun telah mengenalnya, hanya sebatas penggunaannya untuk mencuci batik. Ini tentu amat memprihatinkan, mengingat lerak merupakan sabun alami yang sesungguhnya digunakan oleh orang-orang tua kita. Alasan kepraktisan, yang disertai tanpa adanya aroma wangi, telah menjauhkan lerak berdasarkan minat sebagian orang. Dan akhirnya, lerak terabaikan, terlupakan di negeri penghasilnya sendiri.

Kuliah umum mengenai lerak

Ketika mengetahui bahwa lerak justru amat populer pada luar Indonesia, maka ini pula menjadi pemicu semangat aku buat semakin ulet berbagi cerita manfaat lerak, dan dampaknya yg cukup luas pada aneka macam bidang kehidupan.

Cerita tentang manfaat lerak di media sosial memunculkan reaksi positif. Cukup banyak teman yang tertarik, dan selanjutnya memesan lerak. Bahkan mereka yang tinggal di luar Jawa, cukup antusias untuk dapat  menggunakan lerak sebagai pengganti sabun/detergen. Bagi sebagian orang, diperlukan penyesuaian yang tidak mudah ketika memulai penggunaan lerak. Inilah alasan Omah Hijau menyelenggarakan pelatihan dengan tema “Sabun Sehat”, baik berupa kelas tatap muka maupun kelas online. Pengenalan lerak, pertama-tama, menekankan pada tanggung jawab manusia atas limbah busa pada perairan. Juga dampaknya terkait penghematan dan siklus air. Penggunaan lerak sebagai sabun tidak memerlukan banyak air saat pembilasan. Air bekas cucian pun bisa ditampung untuk menyiram tanaman ataupun dikembalikan ke tanah untuk mempertahankan ketersediaan air tanah. Sesudah itu, tentang dampak bahan-bahan pada sabun/detergen bagi tubuh. Proses ini membuka wawasan masyarakat tentang fungsi sabun dan indikator bersih yang selama ini hanyalah ciptaan iklan/produksi semata.

Omah Hijau pertama kali menyelenggarakan kelas online pada 15 Januari 2018, dengan 50 peserta. Sebagian besar, 95% peserta, adalah kaum ibu. Antusiasme mereka amat bagus. Merekalah yang selanjutnya aktif menggaungkannya di media sosial. Maka kelas online pun diadakan lagi, karena banyaknya peminat. Hingga saat ini, kurang lebih telah terselenggara kelas online sebanyak 8 (delapan) kali. Selanjutnya terselenggara pelatihan/workshop karena adanya permintaan dari komunitas tertentu: di Malang, Surabaya, Solo, Jakarta, Pontianak.

Workshop pembuatan sabun lerak

Pemanfaatan bahan alami untuk menggantikan produk pabrikan tentu melahirkan pertanyaan, yang beberapa di antaranya, memerlukan kajian ilmiah dan penelitian laboratory, seperti yang sudah dituliskan di bagian sebelumnya. Maka ini menjadi semacam tantangan yang selalu saya tawarkan ke kelompok mahasiswa, saat mendapat kesempatan mengedukasi mereka. Sampai saat ini, Omah Hijau sudah memaparkan manfaat lerak pada kelompok mahasiswa di tiga Perguruan Tinggi.

Adakah catatan terkait peningkatan pemakai lerak? Dan efek nyatanya bagi kualitas air menggunakan dilakukannya edukasi tentang lerak? Pertanyaan yang nir mampu aku jawab secara kuantitatif. Saya hanya bisa mengamati tingginya ketertarikan pada lerak di media sosial melalui tanggapan atas paparan saya tentang lerak. Juga munculnya sahabat-sahabat yang mulai & terus menggunakan lerak sampai waktu ini. Jawaban dalam pertanyaan itu kerap aku jawab menggunakan nada bercanda, ?Pemesanan lerak ke Omah Hijau semakin tinggi terus. Itu indikator sederhana bahwa pemakai lerak bertambah dan konsisten menggunakannya.? Di sisi lain, perlu dipahami bahwa perubahan adalah proses yang tidak sanggup dipaksa berjalan cepat. Terlebih buat melepas ketergantungan yang amat sangat dalam wangi, busa, & kepraktisan.

***

Seperti dituliskan di bagian awal, lerak adalah flora lokal negeri ini, dan digunakan sang orang-orang tua kita menjadi sabun/pembersih. Ini adalah sebuah kearifan lokal, kekayaan konduite hayati negeri ini, yang tanpa disadari, mempunyai keselarasan dengan mak bumi. Bukankah hal luhur ini harusnya dihidupi terus? Kalau tetap diabaikan, maka lerak hanya akan menjadi komoditas eksport, dan warga negeri ini hanya sekadar penonton tanpa pernah memahami manfaat lerak yang amat poly.

Bahkan di beberapa tempat yang mempunyai pohon lerak, buahnya dibiarkan begitu saja. Ini bukan melulu dilema lerak yang seharusnya bisa menjadi komoditas dagang. Namun semestinya warga di wilayah itu nir perlu bergantung pada aneka sabun/pembersih pabrikan. Mereka perlu dikenalkan pada manfaat lerak, bagi tubuh dan semesta, agar selanjutnya mengoptimalkan potensi alam di kurang lebih mereka. Dan menggunakan demikian akan ikut jua memelihara kelestarian air & tanah pada wilayah tadi.

Peserta praktek membuat sabun lerak

Pengenalan potensi lerak memang menuntut adanya  perubahan pola pikir tentang ‘sabun’. Juga pemahaman yang benar tentang indikator bersih, seperti busa dan wangi. Hal lainnya, masyarakat diajak bergeser dari pola hidup praktis ke pola hidup yang lebih mandiri dan lebih bersahabat dengan semesta. Dari sekadar beli sabun/pembersih yang sudah tersedia dan siap pakai ke pola hidup yang menggunakan sabun alami, tidak instan, perlu sedikit upaya dalam penyiapannya, tetapi tidak menambah beban pencemaran ibu bumi.

***

Edukasi tentang manfaat lerak, secara online melalui sarana WA ataupun pelatihan, memang tidak serta merta mengubah banyak orang untuk beralih ke lerak. Tujuan utamanya lebih terarah pada tersebarnya informasi ini secara meluas. Informasi yang berimbang perlu didapat oleh seluruh masyarakat. Tidak hanya beroleh informasi sebuah produk pabrik dari media televisi atau media cetak, tetapi juga tentang hasil alam lokal yang memiliki kesamaan fungsi. Dampak positif dan negatif keduanya akan menjadi pertimbangan dalam mengambil pilihan.

Dengan makin banyaknya orang yg mulai mengenal lerak, maka dibutuhkan ada relatif poly orang yang tergerak memakai lerak, mengalami pribadi keuntungannya, & selanjutnya membuahkan lerak menjadi sabun/pembersih primer pada rumahnya. Ini tentu sebuah perubahan yang berarti bagi bunda bumi. Ajakan mengenal lerak jua ingin memberikan kesadaran dalam semua orang buat membangun sebuah kemandirian, dalam hal ini kemandirian sabun. Masyarakat nir perlu lagi bergantung dalam sabun/pembersih orisinil pabrik, namun bisa mengupayakan sendiri (mandiri) kebutuhan sabunnya dengan mengoptimalkan potensi lokal negeri ini. Potensi lokal yang selama ini diabaikan, seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa kecuali. Jangan sampai lerak menjadi barang mahal, yg terlahir menjadi sebuah gaya hayati sehat yg hanya dinikmati segelintir orang. Inilah yang menjadi keliru satu semangat hadirnya Omah Hijau, yang adalah wahana membuatkan pengalaman hidup selaras menggunakan semesta dari keseharian pola hidup kita, yg bisa dijangkau poly orang.

[PIKIR] PILAH PILIH BERDAULAT

Oleh: Mayang Manguri Rahayu

Tuntutan kemajuan jaman yang mengacu pada kepraktisan dan majunya iklim bisnis, yang eksponensial dengan perkembangan ekonomi masyarakat di suatu wilayah, mendorong iklim konsumsi beranjak naik. Negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia mengalami percepatan. Menurut Anggraeni (2019), mengutip apa yang dijabarkan oleh Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani bahwa tahun 2010, kelas menengah kita berjumlah 45 juta orang. Dan kini terus bertambah. Berbagai lembaga yang melakukan studi lalu menggolongkan kelas menengah dalam tiga bagian, yaitu di atas kemiskinan, masih rapuh, dan sebagian sudah establish. Tahun ini, kelas menengah sudah naik mendekati 60 juta orang. Tahun 2020, diperkirakan 80 juta orang. Negara lain di ASEAN tidak sebesar ini. Jadi ini akan menjadi penggerak ekonomi Indonesia. Kelas menengah memiliki daya beli yang baik, namun konsumerisme tinggi tidak dapat dielakkan.

Produktivitas tinggi menyebabkan iklim konsumsi ingin yang serba praktis. Apapun tinggal beli, bungkus, kemudian ‘tidak sempat’ memikirkan tanggung jawab buangan konsumsi. Hal ini mengakar selama beberapa dekade di Indonesia. Sebelum Indonesia dinyatakan darurat sampah, karena kejadian Longsor Sampah di TPA Leuwigajah tahun 2005, terjadi penutupan di banyak TPA-TPA akibat over-kapasitas. Belum lagi, masalah pelik di TPA Bantar Gebang, kota-kota mengalami darurat sampah, ledakan dan longsor di TPA Supit Urang Malang 2019, juga pernyataan tentang Indonesia merupakan pembuang sampah plastik nomer 2 dunia. Gaung zero waste  belum terlalu menjadi sesuatu yang dekat dan populer di masyarakat.

Walau kesadaran mengenai pengelolaan sampah yang juga masih terbatas, telah banyak kampung-kampung atau wilayah yang inspiratif di Indonesia yang menerapkan zerowaste secara komunal, seperti Kampung di daerah Cibunut Bandung, dan Jodipan Malang. Keduanya memanfaatkan rakyat dalam menghimpun kekuatan dan menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya bisa melakukannya. Namun banyak yang terlupa, jika kesadaran komunal berasal dari kesadaran  individu, kemudian berkembang pada kesadaran keluarga berbasis rumah untuk memilah dan memilih sisa konsumsi.

Tentunya, untuk memilah dan memilih sisa konsumsi dibutuhkan kecermatan yang dimulai dari dalam diri. Manusia pada dasarnya tidak dapat terhindar dari konsumsi pangan, sandang, dan papan baik secara bahan baku atau bahan jadi.  Sisa hasil konsumsi, atau yang terkenal dengan sebutan sampah. Sebenarnya, apa itu memilah sampah? Sekadar memilah, atau memilih apa yang akan kita konsumsi?

Sisa output konsumsi misalnya ini dapat diolah menjadi kompos.

Praktisi Zero Waste, Bea Johnson telah merumuskan bahwa hidup minim sampah dilakukan atas prinsip 5 R, yaitu:

1. Refuse, menghindari, dalam hal ini menghindari konsumsi yang tidak perlu. Misalkan menghindari konsumsi teh dalam kemasan, karena akan menimbulkan sampah botol plastik dan akhirnya memilih membawa bekal teh dari rumah.

2. Reduce, dalam hal ini mengurangi, misalnya masih tergantung dengan beras yang kemasannya masih berbungkus plastik. Kita dapat mengurangi pembelian produk tersebut misalkan diselang-seling dengan beras yang bisa kita dapatkan di bulk store , dan /atau pasar tradisional dengan berbelanja tanpa kantong plastik dan membawa kantong sendiri.

3. Reuse, memakai kembali barang-barang yang masih berdaya guna, misalkan memakai baju/alat-alat lama yang layak tanpa membeli barang baru

4. Recycle, daur ulang hasil konsumsi baik kita sendiri yang melakukan, atau pendaur ulang lain. Namun perlu dicatat, tidak semua bahan dapat didaur ulang.

5. Rerot, membusukkan kembali sampah basah/ organik dengan membuat komposter untuk kesuburan tanah. Bisa dilakukan juga dengan membuat lubang biopori.

Well, lima hal di atas menjadi produk pop seolah-olah merupakan teori baru, yang sebenarnya telah nenek moyang kita lakukan. Saya ingat di tahun-tahun 1990 awal, ingatan saya tentang buyut saya yang hanya memiliki minim pakaian, beberapa stel kebaya untuk keseharian, tiga pasang daster, dan empat pasang selendang kerudung.Di halamannya terdapat banyak sekali tanaman buah, lubang-lubang khusus menaruh sisa sampah makanan, membawa kantong belanjaan setiap ke pasar, membuat mie sendiri, selalu menaruh daging atau ayam di besek, membuat makanan sehari-hari sendiri dengan lalaban dari kebunnya. Apakah beliau tinggal di desa? Tidak, beliau tinggal di Hegarasih Bandung sebelum ada pembangunan Sultan Plaza (Sekarang Grand Tjokro). Hidup apa adanya namun tanah di mana-mana. Akhirnya saya pelajari korelasinya. Minim konsumsi, minim sampah, hidup sehat, dan berdaulat.

Apabila buyut saya hidup pada era kolonial 1903- 1992, saya yang mendapat tren di akhir 1980-an sampai kini merasa benar-benar pola hayati insan sudah sangat berbeda. Alasan-alasan yg dikemukakan ketika saya bertanya mengapa seorang mengalami ketergantungan produk-produk instan yang akhirnya membangun sampah merupakan alasan kepraktisan.Tidak keliru, namun secara tak sadar tren tersebut menjadi senjata makan tuan bagi lingkungan dan kesehatan rakyat. Plastik, yang hanya terolah kurang lebih 14% (Data Waste4Change, 2019) mengakibatkan masalah besar mulai berdasarkan mikroplastik, dioksin berdasarkan pembakaran plastik, kimia B3 dari pembuangan domestik yang tidak terurus, dan akhirnya berbalik pada tubuh insan menggunakan meningkatnya angka penyakit termutasi, degeneratif, hingga kanker. Apakah sebagai kaum urban aku pernah tergoda tren juga? Ya, seringkali. Namun sehabis punya anak, saya pribadi berpikir tentang masa depan bumi, pangan, & kelestariannya. Cukuplah, dengan hayati relatif & merdeka menurut tempat tinggal sendiri.

Merdeka artinya berdaulat. Berdaulat dari rumah bisa apa saja dilakukan yang penting berawal dari suatu niat. Untuk saya, niat yang paling kuat adalah mengurangi sampah. Organis maupun non organis. Selain masalah lingkungan dan kesehatan, sampah telah menjadi masalah politis. Negara dunia ketiga termasuk Indonesia banyak disalahkan, namun di sisi lain Indonesia harus memiliki bargaining power  yang mumpuni untuk mengembalikan sampah kiriman luar negeri. Bargaining power  inilah yang membuktikan wibawa akan kedaulatan kita, Indonesia. Dari mana kekuatan kedaulatan bisa kita ciptakan? Dari diri sendiri dan dari rumah.

Kedaulatan dimulai menurut diri sendiri, sesederhana membawa botol minum sendiri waktu perjalanan.

Niat mengurangi sampah menurut residu output organis yang merupakan produsen gas metan & etilen penyebab pemanasan global tidaklah sulit asalkan terdapat niat Misalkan, nasi, acapkali sekali terdapat residu nasi menurut cucian piring atau menurut penanak nasi yg sanggup dijemur & dijadikan kerupuk tanpa takut bahan kimia dari kerupuk yg ada pada pasaran.

Ingin susu kacang, bisa kacang kedelai, kedelai hitam, kacang merah, kacang hijau, kenari atau mede, yang terpenting kacang lokal. Saya harus membuatnya tanpa sampah, ampasnya saya jadikan tempe gembus. Dapat makanan, dapat minuman untuk beberapa hari. Saya ingin memberikan nutrisi dari labu untuk anak saya, misalkan, kulitnya masuk kompos, dagingnya untuk bubur labu, bijinya untuk saya makan kuaci yang terkenal dengan pumpkin seeds  yang terkenal menyehatkan. Konsumsi sehat rutin yang lainnya adalah buah-buahan. Sebelum masuk kompos, saya memilih memperpanjang umur sisa konsumsi dan menambah gunanya. Dengan bermodal 2 kg gula di setiap bulan, pandan dan sereh Rp 5000,- beserta 6 kg kulit buah konsumsi bulanan, saya berhemat pembersih serbaguna untuk lantai, kaca, baju, piring,  pupuk cair untuk tanaman, hingga 3-5 bulan ke depan jika siklus itu penuh dijalankan. Begitu juga dengan konsumsi jus apel, kulit dan bagian tengahnya dijadikan cuka apel.

Tentu saja, uang yang dahulu dialokasikan untuk snack sehat, makanan, pembersih dan cuka apel, sekarang dapat menjadi tabungan emas setiap bulannya (Jumlah minimal tabungan emas Rp. 150.000) untuk anak dan menabung untuk hal lain, terutama ekoproyek dari rumah, yang menghasilkan sayuran, buah-buahan, ikan air tawar, unggas, daur air, dan investasi tenaga surya untuk listrik (yang terakhir ini akan dilaksanakan tahun 2020). Ada perasaan yang berbeda ketika memetik tomat, berry, pisang, ubi, kacang kapri, oyong,  singkong, bayam yang berasal dari kebun sendiri (di halaman dan di lahan sewa yang diurus sendiri) juga telur ayam kampung. Jika hasil panen sedang banyak, bisa dibagikan pada tetangga atau tukang sayur. Perasaan puas, dan syukur tidak akan tergantikan. Kelak kita akan memberi contoh kepada generasi penerus, untuk berdaulat secara sederhana, hanya beberapa langkah di rumah dalam menghasilkan gizi. Selain itu dengan mengumpulkan sampah yang masih bernilai di lingkungan sekitar yang tidak terkendali, menyetornya pada bank sampah, hasilnya untuk charity. Jika sudah banyak memberikan pengaruh, bentuklah sistem ini bagi masyarakat sekitar.

Banyak manfaat dari kehidupan yang terkenal dengan gaya frugal ini. Kita yang menjalani akan terkesan aneh, dalam pandangan masyarakat urban. Tapi dengan memberikan contoh yang telah dilakukan  suatu saat akan menularkan kebiasaan pada orang lain lalu berdampak pada lingkup yang lebih besar. Bersatu, berdaulat, adil dan makmur adalah tujuan yang akan tercapai, bukan hanya paradoks belaka.

Inspirasi saya dalam menjalankan frugal living yang terintegrasi dengan zero waste dan homegardening concept awalnya adalah Nicole, yaitu penggagas blog frugalchiclife.com . Ketika itu saya sedang mengalami kebangkrutan usaha. Uang pegangan tinggal Rp. 80.000 untuk satu minggu dan butuh pencerahan mengenai manajemen finansial. Sudah pasti, untuk masak sehari-hari kami makan sayur yang berasal dari kebun sendiri. Begitu pula dengan bumbu-bumbuan. Tak ada bawang putih dan bawang merah yang ranum, maka saya mencoba memasak hanya dengan daun bawang, salam, jahe, sayur-sayuran, daun pucuk mangga, daun kedondong, dan tempe tahu yang saya beli, untuk seminggu seharga Rp. 20.000,- lalu jalan kaki sejarak 4-10 km menuju tempat kerja. Merasa miskinkah saya? Awalnya iya, lama-lama saya melihat dan berpikir, pola kehidupan ini menghasilkan sedikit sekali sampah karena memang hampir tidak membeli apa-apa (akibat rumah kami berhenti menggunakan jasa tukang sampah untuk menghemat), lebih sehat karena berjalan kaki, serta memetik keuntungan bertani rumahan. Keuangan malah surplus bersisa di akhir bulan sehingga saat itu tidak ada istilah bulan tua, sejalan dengan adanya kembali pemasukan. Jadilah, saya dan suami bersepakat untuk menyumbangkan uang sisa kami.

Kompos yang berasal dari sisa material organis dari kehidupan manusia sehari-hari
Saat kita mendefinisikan kaya-miskin, atau sekedar memandang hidup dari makna ‘secukupnya’, pernahkah kita berpikir jika rasa itu tidak dapat diukur oleh angka, bahkan lebih bermakna untuk menyelamatkan bumi, berdaulat pangan selama kita mempersiapkannya, adil untuk keadilan sosial masyarakat yang membutuhkan, makmur secara batiniah? Jika kita bisa menularkan kebiasaan ini untuk komunitas lebih luas dan mempersatukan berbagai kalangan, maka bersatu, berdaulat, adil dan makmur bukan hanya menjadi cita-cita Indonesia yang tersurat.

Senin, 04 Mei 2020

[EDITORIAL] PRO:AKTIF ONLINE NO. 23/ AGUSTUS 2019

Salam Semangat Kemerdekaan!

Di bulan Agustus, bulan kemerdekaan ini, Proaktif Online balik terbit. Kemerdekaan kali ini diterjemahkan sebagai kemandirian dan kedaulatan diri buat memilih berbagai hal penting dan kebutuhan mendasar dalam kehidupan. ?Mandiri Memilih: Berdaulat buat Memenuhi Kebutuhan Diri? Sebagai tema yg dipilih buat Proaktif Online edisi no.23/2019 kali ini. Bisa menentukan berarti merdeka buat mempertinggi kualitas hidup, meski pilihan yg diambil tidak umum dipilih oleh masyarakat. Peningkatan kualitas hidup berarti tidak hanya memikirkan diri sendiri, namun meningkatnya juga kepedulian pada makhluk lain & keselarasan hayati menggunakan alam semesta. Para aktivis yang sebagai penulis di edisi kali ini menyadari betul akan hal ini.

Pada rubrik MASALAH KITA, Kristien Yuliarti menceritakan kegelisahannya tentang upaya menjaga kebersihan tanpa mencemari lingkungan. Ia yakin, terdapat bahan lokal yang ramah lingkungan yg dapat dipakai menjadi alternatif sabun pabrikan. Berkenalanlah ia menggunakan lerak, berdirilah Omah Hijau menjadi jalan baginya mensosialisasikan lerak. Tetapi demikian, berkiprah sendiri, ternyata tidaklah gampang. Seringkali tanpa teman berakibat perubahan sulit dilakukan. Inilah konflik yg dialami Karina Adistiana, penulis pada artikel kedua dalam rubrik MASALAH KITA. Ternyata kemandirian menentukan tidak dan merta menciptakan perubahan jadi gampang. Psikolog dan aktivis pendidikan ini memaparkan bahwa eksistensi sahabat dalam melakukan perubahan menjadi aspek penting bagi keberhasilan kita pada upaya memperjuangkan kedaulatan pangan dan hayati selaras alam.

Di rubrik PIKIR, ada Mayang Manguri yang mengajak kita berpikir bersama dalam memilih gaya hidup. Apakah memilih gaya hidup yang tren di masyarakat membuat kita menjadi berdaulat? Atau pilihan gaya hidup yang lain dan tidak populer, seperti frugal living membuat kita menjadi lebih sejahtera? Ternyata kemandirian dalam memilih pun ada resikonya. Karena, menjadi mandiri berarti bertanggung jawab dengan pilihan hidup kita. Hal inilah yang disampaikan Any Sulistyowati dalam Rubrik OPINI.

Di rubrik TIPS kali ini, Fitri Kusnadi menyebarkan kiat-kiat berdasarkan pengalamannya ketika menentukan menyelenggarakan pendidikan mandiri bagi keluarganya. Konsekuensi bahwa kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap pendidikan & anak merupakan salah satu tips yg disampaikannya. Sedangkan penulis artikel selanjutnya pada rubrik TIPS, Rensti Raharti, memaparkan cara-cara menjalankan gaya hidup minim sampah yg sederhana dan dapat dimulai menurut tempat tinggal , sekaligus memberi contoh gaya hidup ini kepada anak, agar kemandirian & kedaulatan hayati bisa dilanjutkan dalam generasi selanjutnya.

Siapa yang tak kenal SHINE?  Platform pendidikan informal yang memberdayakan masyarakat dengan pelatihan-pelatihan terutama produk sehari-hari yang selama ini menimbulkan ketergantungan masyarakat pada produk berkemasan. Dalam rubrik PROFIL, Kandi Sekarwulan mengangkat sepak terjang Ines Setiawan, pendiri dan penggerak SHINE. Kita tentu dapat belajar dan menerima inspirasi dari Ines tentang bagaimana ia bisa sampai kepada pemikiran dan lakunya untuk menjadikan sebanyak mungkin orang berdaulat atas dirinya untuk memenuhi kebutuhan diri.

Sedangkan pada goresan pena yg ke 2 dalam rubrik PROFIL, Kukuh Samudra mengangkat kisah Mbah Paiman, seseorang petani ?Terbelakang? Pada daerah Karanganyar, yang mempertahankan cara bertani menggunakan berdaulat: organik, menanam menurut bibit hasil panen serta membuat kompos sendiri. Keputusan ini diambil secara berdikari sang Mbah Paiman, sekalipun dianggap aneh sang orang-orang di sekitarnya.

Pada rubrik MEDIA, Sally Anom Sari mengangkat beberapa film yang mengangkat kemandirian hidup & pemenuhan kebutuhan diri. Dalam rubrik JALAN-JALAN, Debby Josephine mengajak kita ke sebuah tempat yang mengupayakan kemandirian dan kedaulatan pangan, sebuah loka pada perbatasan Kota Bandung & Cimahi, yg bernama Kebun Belakang.

Terakhir, Navita Kristi Astuti bercerita tentang bagaimana selama ini KAIL menjalankan kemandirian di Rumah KAIL, dengan memanfaatkan bagian rumah dan kebun. Masih banyak tantangan untuk mewujudkan KAIL sebagai rumah nol sampah (zero waste). Namun ada beberapa sistem yang telah berjalan di Rumah KAIL yang secara perlahan-lahan tapi pasti ikut mendukung peningkatan kualitas hidup anggota KAIL, relawan dan mitra yang berkunjung maupun makhluk hidup yang lain yang juga tinggal di Rumah KAIL.

Semoga artikel-artikel di dalam edisi ini menambah permenungan bagi para pembaca terkait kemerdekaan & kedaulatan dalam menentukan kehidupan yang sehat dan selaras alam.

Editor:

Deta RatnaKristanti

Cloud Hosting Indonesia