Tampilkan postingan dengan label Angga Dwiartama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Angga Dwiartama. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 Juni 2020

[OPINI] Menelusuri Hakikat Ketahanan Pangan

Memperingati kemerdekaan RI ke-69, menarik buat mempelajari makna kemerdekaan pada kaitannya dengan pangan. Dalam pidato kepresidenannya di tahun 1941, Presiden AS Franklin D. Roosevelt menegaskan bahwa masih ada empat bentuk kemerdekaan yang harus melekat dalam setiap individu ? Kemerdekaan buat berpendapat, buat berkeyakinan, berdasarkan ketakutan, & atas kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan). Penyelenggaraan pemerintahan hendaknya selalu didasari oleh semangat kemerdekaan ini.


Gambar 1, diambil berdasarkan http://inspirasifajardepok.Com

Dalam hal ini, ketahanan pangan juga patut mengemban semangat kemerdekaan ini. Ketika kita berbicara tentang ketahanan pangan, kita tidak hanya berbicara tentang tersedianya pangan bagi seluruh populasi. Kita berbicara lebih luas tentang kesejahteraan manusia dalam kaitannya dengan gizi, kesehatan, pengembangan diri dan kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang mendasari Michael Carolan[1], seorang pakar sosiologi pangan dari AS, untuk mempertanyakan hakikat ketahanan pangan (food security): apakah ketahanan atas pangan (secure of food), atau ketahanan melalui pangan (secure through food)?


Ketahanan: ?Atas? Atau ?Melalui? Pangan?
Bila kita cenderung pada definisi yang pertama (ketahanan atas pangan), maka pencapaian ini mungkin akan memuaskan kita. Pasca-Revolusi Hijau, produksi pertanian dunia di awal abad ke-21 telah mampu menghasilkan 17% lebih banyak kalori bagi setiap individu dibandingkan 30 tahun sebelumnya [2]. Indonesia telah berkali-kali mencapai swasembada pangan (sebut saja tahun 1984 dan 2008), meningkatkan konsumsi kalori penduduknya dalam 40 tahun terakhir, dan menurunkan persentase malnutrisi dari 22% di tahun 1991 hingga 9% saja di 2012 [3]. Terlebih, baik Indonesia maupun dunia tengah berupaya keras untuk mendorong produksi pertanian untuk menghasilkan lebih banyak lagi – sebut saja dengan pembukaan lahan pertanian baru, atau melalui teknologi rekayasa genetika yang dapat meningkatkan hasil panen hingga berkali lipat. Singkat kata, dunia telah jauh lebih baik dalam mencapai ketahanan ataspangan.


Apa yang salah dari argumen di atas? Pada kenyataannya, masalah ketahanan pangan lebih dari sekedar tersedianya cukup pangan bagi masyarakat. FAO melaporkan di tahun 2009 bahwa yang menyebabkansatu miliar penduduk dunia mengalami kerawanan pangan bukanlah produksi yang tidak mencukupi, tetapi minimnya aksesmasyarakat atas pangan, entah karena harga pangan yang terlalu tinggi atau penghasilan yang begitu rendah. Di sisi lain, konsumsi kalori yang meningkat tidak bisa menjadi patokan bagi ketercapaian ketahanan pangan. Di banyak negara maju, obesitas akibat pola makan berlebih dan tidak seimbang menjadi isu yang sangat krusial. Di AS, sebagai contoh, lebih dari 30% populasi mengidap obesitas, dan jutaan orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit yang terkait dengan obesitas (kolesterol, serangan jantung, diabetes, dsb.)[4]. Lebih lanjut, di banyak negara berkembang seperti Asia Pasifik dan Afrika, masyarakat dipaksa untuk mengubah jenis dan pola makan mereka (menjadi gandum) dengan dalih ketahanan pangan, yang mengakibatkan terjadinya transformasi budaya dan hilangnya kemandirian atas pangan.Jelas dari sini bahwa strategi pemenuhan pangan yang digembar-gemborkan tidak sepenuhnya dapat mewujudkan ketahanan melalui pangan – rasa aman (secure) untuk hidup secara sehat, layak dan utuh.


Berbagai definisi ?Ketahanan pangan?
Perdebatan tentang hakikat ketahanan pangan bukanlah hal yg baru. Pada tahun 1992 saja, telah masih ada ratusan definisi yg tidak selaras tentang ?Ketahanan pangan?. Ketahanan pangan semula didefinisikan dalam kerangka industri: ?Seberapa besar suatu rakyat mempunyai akses terhadap pangan untuk pemenuhan energi mereka?. Ketahanan pangan diukur melalui jumlah kalori yg tersedia dibandingkan menggunakan kalori yang diharapkan. Umbi-umbian, kacang-kacangan, sayur, atau butir (masing-masing memiliki nilai nutrisi berbeda) direduksi menjadi suatu angka kalori. Hal ini mendorong terjadinya penyeragaman pangan, dan menyempitkan pilihan pangan di dunia menjadi beberapa komoditas saja.
Dalam Revolusi Hijau, peningkatan produksi pertanian dianggap sebagai solusi terbaik pada mencapai ketahanan pangan. Saat itu, ?Ketahanan pangan? Sering disetarakan menggunakan ?Swasembada pangan? ? Seberapa sanggup suatu negara membentuk pangan buat konsumsi warganya. Indonesia memakai definisi ini buat menerangkan pencapaiannya atas ketahanan pangan. Patut disayangkan karena swasembada kemudian dipersempit hanya sebatas dalam komoditas ?Beras? -- di saat kita cukup akan beras, kita permanen harus mengimpor gula dan kedelai dengan harga mahal.Di awal 1990-an, pandangan ini mulai banyak ditentang. Definisi baru buat ketahanan pangan pun muncul: bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan, tetapi pula akses terhadap pangan.


Agaknya, definisi ini menjadi dasar bagi munculnya perdagangan bebas atas pangan. WTO berargumen bahwa ketahanan pangan terletak bukan pada kemampuan suatu negara menghasilkan pangan bagi dirinya sendiri, tetapi pada perdagangan internasional yang memungkinkan pangan dijual dengan harga yang kompetitif, dan pada kemampuan negara untuk mengimpor pangan melalui eksporproduk unggulan mereka. Sederhananya, jika negara-negara bersaing untuk menghasilkan bahan pangan semurah mungkin, maka masyarakat miskin pun dapat mengakses pangan tersebut dengan mudah. Ini, tentu saja, tidak sepenuhnya benar. Negara-negara Afrika, misalnya, menanam tanaman ekspor (cash crops) yang tidak mereka konsumsi sama sekali – bahkan bukan dari keanekaragaman lokal mereka. Melalui logika perdagangan bebas, negara-negara ini mengimpor pangan yang (saat itu) murah sebagai gantinya.  Pada kenyataannya, dengan perubahan iklim yang disertai krisis ekonomi di 2008, harga pangan dunia melonjak dan pertanian mereka gagal, menyebabkan terjadinya kelaparan dan kerusuhan di banyak tempat.


Pada tahun 1996, World Food Summit merumuskan definisi baruatas ketahanan pangan, yaitu “kondisi di mana semua orang, di setiap waktu, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan dan pilihan pangannya, untuk mencapai kehidupan yang sehat dan aktif”.Definisi ini terlihat lebih menyeluruh. ‘Bergizi’ berarti seimbang dalam nutrisi, dan tidak lagi hanya dalam kalori. ‘Pilihan’ berarti sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat. ‘Sehat dan aktif’ menunjukkan bahwa ketahanan pangan lebih dari sekedar ketahanan atas pangan, tetapi melalui pangan; bahwa pangan harus dapat membantu terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat untuk menjalani kehidupan pribadi dan sosial yang sehat dan aktif.

Definisi ini, meski lebih baik dari sebelumnya, jelas masih penuh kekurangan. Pertama, ini adalah definisi yang terlalu luas. Banyak pihak kemudian menawarkan konsep yang lebih nyata. La Via Campesina, misalnya, mendeklarasikan konsep kedaulatan pangan (kedaulatan negara dan masyarakat lokal untuk menentukan sistem pangannya sendiri, dengan berbasis pada sumberdaya lokal yang dikelola secara berkelanjutan). Kedua, pada prakteknya ‘ketahanan pangan’ memang sulit diukur. Alhasil, seringkali kita terperangkap kembali ke metode pengukuran konvensional untuk menyatakan seberapa besar kita tahan atas pangan – kalori, hasil panen, atau penghasilan.


Gambar 2; diambil dari http://www.Peuples-solidaires.Org/



Penutup


Rujukan:
[1] Carolan, M. 2013. Reclaiming Food Security. Routledge.
[2]Dillon, H.S. 1999. Trade & Food security in Indonesia. IAMA Conference, Florence.
[3] FAOStat. 2014. http://faostat3.fao.org/
[4] WHO. 2014. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/
































[PIKIR] Pangan Dalam Cengkeraman Kapitalisme

Penulis: Angga Dwiartama

Berbagai kasus tentang pangan dan pertanian di Indonesia bermunculan dalam 68 tahun sejak Indonesia merdeka. Penggundulan hutan dan konflik dengan masyarakat adat akibat perluasan lahan kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatera, importasi jutaan ton beras yang mengancam kestabilan harga gabah antara petani padi di Jawa,masuknya Monsanto, perusahaan raksasa Amerika, dan bibit jagung transgenik ke Indonesia, rencana pendirian Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua yang mengancam keberlangsungan masyarakat lokal dan lingkungan, hingga terakhir kasus kriminalisasi petani di Karawang – semua dapat ditilik dari kuatnya kapitalisme mengakar di dalam sektor pertanian dan pangan di Indonesia. Kapitalisme pangan adalah suatu sistem di mana pangan dan produk pertanian diperoleh melalui mekanisme pasar dan dioperasikan untuk memperoleh keuntungan (profit). Meski muncul dalam berbagai bentuk, kapitalisme pangan bukan hal baru, dan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Tulisan ini bermaksudmengulas evolusi kapitalisme pangan di Indonesia dan dunia, dampaknya bagi petani, konsumen dan lingkungan, serta solusi aksi yang dapat kita berikan sebagai aktivis untuk melawan cengkeraman kapitalisme ini.


Tiga rezim pangan pada dunia
Sejarah kapitalisme pangan di Indonesia tidak bisa lepas dari dinamika yang terjadi di tingkat global, setidaknya sejak Revolusi Industri di Eropa. Harriet Friedmann dan Phil McMichael, dua pakar sosiologi dari Amerika Serikat, membagi perkembangan kapitalisme pangan dunia semenjak awal Revolusi Industri hingga sekarang ke dalam tiga era (atau rezim): Kolonialisme pangan, Industrialisme pangan dan Neoliberalisme pangan1.


Revolusi Industri menciptakan kondisi pada warga Eropa saat itu, di mana petani di pedesaan beralih ke kota buat bekerja pada pabrik-pabrik, menyebabkan banyak lahan ditinggalkan & kota-kota akbar kekurangan pangan. Harapan terbaik adalah mengangkut produk pertanian berdasarkan negara-negara koloni di benua lain.Masa ini, dalam kerangka kapitalisme, dikenal dengan istilah rezim Kolonialisme Pangan (1860-an sampai 1930-an). Era ini dicirikan dengan pendayagunaan huma pertanian akbar-besaran di wilayah-daerah koloni, misalnya Australia, Amerika Serikat, dan banyak negara tropis, disertai ekspor produk pertanian secara masif ke Eropa. Di banyak loka, terjadi pergeseran paradigma pertanian, menurut ?Pemenuhan kebutuhan sendiri? (subsisten) menjadi ?Komersialisasi produk pertanian buat pasar global?.

Bentuk nyata kolonialisme pangan di nusantara tercermin pada sistem pertanian kulturstelselyang diterapkan Pemerintah Hinda Belanda untuk mengganti pertanian subsisten dengan komoditas ekspor (cash crops) seperti gula, kopra dan karet. Dengan sistem ini, petani harus membagi waktu, tenaga, dan lahan mereka untuk menanam tanaman pangan mereka sendiri di satu sisi, dan komoditas ekspor di sisi lain. Alhasil, pola pertanian menjadi lebih intensif, dan ini berakibat buruk bagi kualitas tanah pertanian mereka. Selain itu, petani dipaksa membayar pajak atas produksi pertanian mereka – seringkali dengan jumlah yang tidak masuk akal.


Gambar 1-kulturstelsel pada Hindia Belanda


Sumber:http://geschiedenis.Kartonnen-platen.Schoolplaten.Webwinkel.Lectorisalutem.Nl/?Pid=1454
Di Eropa, krisis ekonomi berkepanjangan yg terjadi pada penghujung abad ke-19, diikuti menggunakan Perang Dunia I dan II, memicu terjadinya restrukturisasi terhadap sistem pertanian & perekonomian dunia. Amerika perkumpulan (AS), sebagai pusat kekuatan baru, menciptakan hegemoni-nya melalui sistem keuangan dunia berbasis US Dollar & teknologi pertanian yg kelak dikenal menggunakan istilah Revolusi Hijau. Sementara sistem moneter baru memperkuat posisi AS di negara-negara maju seperti Eropa, Revolusi Hijau mengakarkan Alaihi Salam di negara-negara berkembang.


Revolusi Hijau berawal berdasarkan dikembangkannya terigu varietas unggul oleh Norman Borlaug, seorang agronom menurut AS. Dari sana, Revolusi Hijau menyebar ke aneka macam penjuru dunia, buat banyak sekali jenis komoditas pangan (misalnya jagung, beras dan kentang). Varietas unggul mempunyai ciri lebih responsif terhadap nutrisi cepat-serap, tumbuh lebih cepat, dan menyerap air lebih banyak. Memang, menggunakan ini varietas unggul dapat menghasilkan sampai 3 kali lipat hasil panen ketimbang varietas lokal. Akan namun, varietas unggul juga disertai dengan satumasalah:bahwa apa yg ditawarkan bukan hanya bibit, tetapi suatu paket teknologi yang padat modal, yang terdiri atas bibit varietas unggul, pupuk kimia, sistem irigasi intensif, mekanisasi pertanian, dan pestisida.Inilah yg mendasari industrialisasi pangan.


Alaminya, kapitalisasi sistem pertanian ini cenderung menaikkan kesenjangan sosial di antara petani. Pertanian intensif menyebabkan terjadinya akumulasi kapital. Petani dengan modal besarakan memperoleh laba lebih besar juga. Sebaliknya, petani gurem nir akan bisa meningkatkan kapasitas produksi mereka. Di kala terjadi kegagalan panen, mereka yang telah terjerat hutang wajib merelakan lahan mereka dibeli oleh para petani akbar, & beralih sebagai buruh tani, atau buruh pabrik pada perkotaan.


Di Indonesia, program Revolusi Hijau baru dapat masuk setelah Soeharto membuka pintu investasi asing di tahun 1970. Badan PBB di bidang pertanian, FAO, bekerjasama dengan USAid, memberikan bantuan pertanian melalui pengadaan varietas unggul, pembuatan pabrik-pabrik pupuk nasional, dan paket pengendalian hama. Sepuluh tahun sejak Revolusi Hijau dicanangkan di Indonesia, data menunjukkan bahwa sebanyak 5% dari pelaku usaha pertanian padi di desa menguasai lebih dari 90% lahan pertanian2.


Pola ini juga terjadi pada Amerika serikat. Pemerintah Alaihi Salam memberikan subsidi akbar-besaran buat produksi gandum, jagung & kacang kedelai, yang mengakibatkan segelintirperusahaan tumbuh menjadi sangat akbar dan mendominasi sektor pertanian ? Sebut saja Monsanto, Cargill, Novartis, dan Syngenta. Hal ini sebagai dasar bagi tumbuhnya rezim pangan berikutnya di dunia.
Krisis minyak bumi dalam tahun 1973 akibat monopoli minyak sang OPEC memukul mundur dominasi Alaihi Salam terhadap global. Pelaku usaha menyadari bahwa menggantungkan diri pada kebijakan suatu negara bukanlah suatu strategi yg baik. Perusahaan-perusahaan besar di AS mulai berinvestasi di negara-negara lain. Terbentuklah apa yg diklaim Multi-National Corporations (MNC), perusahaan super besar yang tidak lagi dikekang sang batas-batas negara. Negosiasi yg terjadi di tingkat regional dan internasional, seperti melalui WTO atau AFTA, menuntut satu hal: negara wajib menghilangkan pajak, subsidi dan apapun yang Mengganggu terjadinya proses perdagangan bebas & menyerahkan seluruh ke mekanisme pasar. Lantaran itu, era ini dikenal dengan istilah Neoliberalisme Pangan.

Bercermin pada apa yang terjadi di negara-negara seperti AS dan Meksiko, neoliberalisme pangan menghimpit sektor pertanian kita dari dua sisi. Di satu sisi, bibit, pupuk, dan pestisida dikuasai oleh segelintir perusahaan. Melalui lobi terhadap pemerintah, perusahaan ini memiliki kekuatan untuk mengatur harga, memasang Paten atas produk mereka dan menindak petani yang melanggar. Di sisi lain, industri pangan raksasa juga menguasaipasar produk pangan dan mengontrol keinginan konsumen untuk membeli. Dari himpitan itu, petani lah yang paling banyak dirugikan. Seringkali petani tidak dapat menikmati keuntungan dari hasil panennya karena harga produk di pasar terlalu rendah, atau hutang untuk membeli sarana produksi pertanian terlalu tinggi. Tetapi konsumen pun turut menjadi korban. Seberapa sering kita digiurkan oleh produk-produk makanan yang rendah nutrisi dan kaya bahan penguat rasa, seperti yang ditawarkan oleh berbagai restoran siap saji (fast food). Seringkali kita tidak tahu apa yang terkandung di dalam makanan yang kita beli. Lebih lagi, sebagian besar produk konsumen di dunia dikuasai oleh tidak lebih dari 10 MNC (Lihat Gambar 2). Lalu bagaimana kita melepaskan diri dari jeratan mereka?


Gambar dua-10 MNC menguasai sebagian akbar produk konsumen


Diambil berdasarkan http://thepoliticalcarnival.Net/wp-content/uploads/2012/05/10-multinational-corporations-control-most-consumer-brands.Jpg
Penutup
Satu hal yang menarik adalah bahwa di awal abad ke-21, kapitalisme tidak lagi sekuat satu abad sebelumnya.Ulrich Beck3, seorang sosiolog dari Jerman, mengistilahkan masyarakat di abad ini sebagai risk society – masyarakat yang lebih peka terhadap informasi, lebih kritis, lebih memperhatikan resiko dari segala bentuk modernisasi, dan lebih mau berorganisasi untuk perubahan. Seiring dengan munculnya berbagai dampak buruk dari kapitalisme pangan, gerakan-gerakan akar rumput mulai bermunculan untuk melawan dominasi MNC.Hebatnya, mereka pun berhimpun di tingkat internasional. Sebagai contoh, La Via Campesina (di Indonesia diwakili oleh Serikat Petani Indonesia) yang menuntut kedaulatan pangan dan hak-hak petani gurem, Slow Food Movement sebagai respons terhadap meluasnya industri fast-food di berbagai belahan dunia,Fair Trade yang menyuarakan perdagangan yang lebih berkeadilan, hingga gerakan-gerakan lokal seperti pasar petani (farmers’ market), Community-Supported Agriculture, komunitas organik, dan sebagainya, mulai tumbuh dengan subur. Komunitas ini tidak lagi didominasi oleh petani dan masyarakat terpinggirkan, tetapi juga masyarakat kelas menengah di perkotaan.


Satu langkah konkret bagi kita buat melawan kapitalisme pangan merupakan melalui ekonomi komunitas ? Suatu kegiatan ekonomi yg tidak didasari sepenuhnya oleh prosedur pasar. Kita dapat memulai menurut hal-hal kecil: membeli produk lokal dan berbelanja di pasar tradisional, menanam tanamanmu sendiri & bertukar pangan (barter) menggunakan kawan-mitra di komunitas, dan ber-ekonomi menggunakan uang sesedikit mungkin.Suarakanpula kekhawatiranmu atas berbagai imbas kapitalisme pangan, serta berikan merata wangsit tadi ke teman-teman terdekat, atau lewat media-media sosial. Lebih lanjut, mulailah terlibat dalam banyak sekali kegiatan di gerakan-gerakan akar rumput pada komunitas engkau , & mulailah berjejaring!


Rujukan:
1Friedmann, H. & McMichael, P. 1989. Agriculture and the State System: The Rise and Decline of National Agricultures, 1870 to the Present. Sociologia Ruralis 29, 93 – 117.
2Hart, G., A. Turton, B. White, B. Fegan & L. T. Gheen (Eds.) 1989, Agrarian Transformations: Local Processes and the State in Southeast Asia. University of California Press.


3 Beck, U. 1992. Risk society: towards a new modernity. SAGE.













































Senin, 25 Mei 2020

[OPINI] MEMAHAMI INKOMPATIBILITAS ANTARA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT DAN POLA HIDUP MASYARAKAT MODERN

Oleh : Angga Dwiartama

Kasus konkurensi lahan dan subordinat terhadap masyarakat norma Sunda Wiwitan pada Cigugur, Kabupaten Kuningan, beberapa bulan kemudian (BBC Indonesia, 24/08/17) mewarnai serangkaian catatan hitam pemerintah atas ketidakmampuannya melindungi hak-hak masyarakat adat pada Indonesia. Perseteruan antara rakyat istiadat menggunakan pemerintah maupun pihak swasta seringkali bergulir di info seputar kepemilikan lahan dan batas-batas tempat tata cara. Seiring dengan pembukaan lahan-lahan buat permukiman, perkebunan, dan industri, huma masyarakat norma semakin terdesak, yg berujung pada terancamnya integritas warga adat yg digempur oleh budaya terkini. Hal ini mendasari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebuah forum advokasi masyarakat istiadat, buat mendesak pemerintah dalam mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Pengakuan & Perlindungan Hak Masyarakat Adat, sebagaimana dilansir Kantor Berita ANTARA, September 2017 kemudian.

Leuit di Ciptagelar (Dokumen langsung)

Sejatinya, pemerintah telah berupaya untuk melindungi eksistensi masyarakat adat melalui berbagai perangkat perundang-undangan. Secara mendasar, hak tanah ulayat, misalnya, merupakan bagian penting di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pemerintah juga mengukuhkan keberadaan hutan adat di tengah konstelasi kawasan hutan di Indonesia melalui Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan berbagai turunan peraturannya. Pemerintah daerah, melalui perangkat Peraturan Daerahnya, berwenang menetapkan keberadaan dan batas-batas kawasan kampung adat, serta menguatkan kelembagaan masyarakat hukum adat. Perda ini menjadi dasar bagi penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di sisi lain, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di berbagai daerah telah berupaya melindungi kantung-kantung masyarakat adat dan tradisi yang ada di dalamnya melalui penetapan kawasan cagar budaya. Baru-baru saja, KLHK merilis peraturan baru tentang Perlindungan atas Kearifan Lokal (PermenLHK tahun 2017) sebagai ratifikasi terhadap pengakuan masyarakat tradisional di dalam Conventions on Biological Diversity (CBD) yang disepakati bersama di tingkat internasional tiga dasawarsa silam. Pertanyaannya, apabila pemerintah telah berupaya sedemikian rupa untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, mengapa berbagai ancaman terhadap kelompok masyarakat ini terus saja terjadi?

Agaknya, pernyataan Chief Seattle, seorang kepala suku Indian di Amerika Serikat, yang dikutip di atas, menggambarkan salah satu permasalahan mendasar atas inkompatibilitas  tata nilai di dalam banyak masyarakat adat dengan norma-norma di dalam sistem masyarakat modern. Bagaimana bisa, katanya, manusia memperjualbelikan apa yang tidak dimilikinya? Ini, tentu saja, tidak hanya berlaku untuk tanah, air dan udara, tapi juga untuk pengetahuan dan kearifan lokal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di saat masyarakat modern disibukkan oleh permasalahan seputar hak atas kekayaan intelektual (HAKI), paten dan hak cipta, berbagai bentuk pengetahuan lokal ‘dicuri’ untuk dikomersialisasikan oleh pihak lain, hanya karena para ‘pemilik pengetahuan lokal’ ini tidak mempunyai bukti dan pengakuan atas pengetahuannya, atau sebatas karena mereka tidak merasa memiliki pengetahuan tersebut – bukankah pengetahuan yang dibangun secara kolektif menjadi milik bersama?

Tentunya, pemerintah sudah memberitahuakn itikad baik pada melindungi eksistensi warga adat melalui perangkat-perangkat perundang-undangan, penetapan pengakuan & acara-program pendukung. Kita pun, pada banyak kasus, mengiyakan bahwa kehidupan masyarakat tata cara yang harmoni dengan alam sanggup menjawab poly masalah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sebagai romantisme masa lalu, orangtua-orangtua kita tak jarang mengingat masa-masa kecilnya bermain pada tengah sawah dan mandi pada sungai (laiknya lagu ?Libur di Desa? Yg dipopulerkan Tasya). Hanya saja, kita sepertinya nir mampu berbuat lebih berdasarkan itu. Seperti halnya yang dilakukan sang pemerintah, kita melihat warga adat menjadi sesuatu di luar kita -- sesuatu yang patut diisolasi & dipreservasi agar nilai-nilainya nir punah, itu saja. Menurut penulis, kita bisa berbuat lebih berdasarkan itu, & ini dimulai dengan lebih dulu menyadari seberapa pada inkompatibilitas antara masyarakat tata cara dan kehidupan terbaru sudah terbangun, dan ancaman apa yang timbul sebagai dampak darinya.

Gejala atas inkompatibilitas ini ditunjukkan dengan adanya komodifikasi budaya . Sejak tahun 2000-an, pemerintah daerah telah mendorong pelestarian budaya masyarakat adat melalui pencanangan cagar budaya, yang dikombinasikan dengan wisata budaya kampung adat. Rumah-rumah adat dan upacara-upacara tradisional menyita perhatian wisatawan lokal dan mancanegara. Orang-orang berdatangan untuk mendokumentasikan keunikan-keunikan ini. Tidak jarang, para wisatawan juga mendapat perlakuan sebagai tamu istimewa di dalam upacara-upacara adat yang digelar. Ini, oleh para antropolog sosial, disebut sebagai komodifikasi budaya – upaya menjadikan artefak budaya sebagai komoditas ekonomi. Di satu studi yang penulis lakukan di tahun 2005, penulis mendokumentasikan bagaimana di tengah euforia kampung adat, pengetahuan lokal tentang manfaat tumbuhan-tumbuhan secara tradisional justru semakin hilang di kalangan generasi muda di satu kampung adat di Jawa Barat. Salah satu alasannya, masuknya wisatawan ke kampung adat menyebabkan aliran uang dan produk-produk kota ke dalam kampung, warung-warung dibangun, menggeser produk-produk pangan dan obat-obatan lokal. Seiring dengan masuknya produk budaya kota adalah masuknya pengetahuan modern tentang penyakit dan kesehatan. Sebagai contoh, masyarakat dahulu percaya bahwa sakit perut disebabkan oleh udara buruk yang masuk ke dalam tubuh. Atas dasar itu, tumbuh-tumbuhan seperti jambe dan kuciat dibalurkan pada perut untuk mengusir udara buruk tersebut – sejalan dengan kandungan senyawa volatile pada tumbuhan tersebut yang berperan dalam memperlancar peredaran darah di tubuh. Di kalangan anak muda, obat modern dan jamu instan, sesuatu dari luar yang asing bagi mereka, kini menjadi solusi praktis bagi sakit perut.  Tidak ada yang salah dengan itu tentunya, tapi sesuatu yang eksternal ini menyebabkan keterputusan antara masyarakat dan alam. Pengetahuan lokal tersebut praktis memudar dari tata nilai masyarakat.

Satu contoh lain dari inkompatibilitas budaya adalah apa yang diperlihatkan oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi Selatan. Kelompok masyarakat yang tersebar di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini hidup melalui pola pertanian padi tradisional yang khas. Pola pertanian yang mengangkat ratusan varietas padi lokal javanica ini telah diterapkan selama ratusan tahun dan mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi sekitar 10.000 warganya. Pertanian padi, menurut mereka, adalah bagian dari filosofi hidup mereka. Padi sendiri merupakan sesuatu yang sakral – masyarakat tidak boleh menjual atau membuang padi dalam bentuk apapun. Pola pertanian padi tradisional yang dijalankan oleh masyarakat Ciptagelar dicirikan dengan padi javanica yang tumbuh lebih tinggi, memiliki batang lebih kokoh, gabah yang tidak rontok dari malainya, serta dengan periode tumbuh lebih lama. Berdasarkan karakteristik ini, pola tanam dan budaya pertanian masyarakat dibangun. Masyarakat Ciptagelar bercocok tanam padi hanya satu kali dalam setahun sesuai waktu yang diinstruksikan oleh kepala adat, menggunakan etem atau ani-ani untuk memotong tangkai batang padi (yang melalui itu membantu masyarakat ‘merasakan’ setiap individu padi yang mereka panen untuk menemukan varietas baru yang mungkin tercipta), serta menyimpan ikatan gabah (pocong) di dalam lumbung padi mereka yang disebut leuit. Beras yang masih tersimpan di dalam pocong dapat bertahan hingga 10 tahun. Gabah ini lalu ditumbuk secara manual menggunakan lesung dan dimasak secara tradisional.

Chief Seattle

Di tahun 1970-an, pemerintah, atas dorongan Revolusi Hijau, memperkenalkan padi varietas unggul kepada masyarakat Ciptagelar. Varietas ini tidak kompatibel dengan pola budaya tani masyarakat di dalam berbagai aspek. Batang tanaman padi yang pendek tidak bisa lagi dipanen dengan etem karena memaksa pemanen untuk membungkuk – sesuatu yang jadi sangat melelahkan. Gabah varietas unggul sangat mudah rontok, sehingga tidak bisa lagi disimpan dalam leuit. Varietas unggul juga tumbuh dengan cepat dan membutuhkan asupan pupuk siap serap yang tinggi – jelas bertentangan dengan cara masyarakat Kasepuhan menjalankan pertaniannya. Upaya introduksi padi varietas unggul praktis gagal, karena menerapkan satu teknologi seperti varietas unggul berarti merubah secara menyeluruh cara masyarakat bertani, dan pada akhirnya pola budaya yang ada di masyarakat. Sementara sebagian besar masyarakat Ciptagelar hingga saat ini masih mentaati tata nilai yang dipegang secara turun temurun, sebagian kecil masyarakat di tepian kawasan mulai menerapkan pola pertanian modern karena desakan ekonomi (padi modern bisa ditanam dalam pola 2-3 kali setahun, sehingga dapat dijual lebih banyak keluar), dan berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, kini menjadi lebih rentan terhadap hama padi.

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memberikan model yg baik tentang bagaimana kita mampu menciptakan interaksi yg terbuka antara masyarakat adat dan masyarakat perkotaan tanpa mengancam keberadaan & nilai-nilai luhur warga . Kepala Adat Kasepuhan Ciptagelar, Abah Anom, yang digantikan sang anaknya Abah Ugi, tidak tertutup sang kemajuan teknologi. Dengan bantuan beberapa artis dan pemerhati budaya dari luar, mereka mengadopsi teknologi menggunakan mendirikan radio komunitas pada pada kampung, membuka akses terhadap internet (semua aula kampung mempunyai akses wifi) & bahkan mempunyai televisi lokalnya sendiri. Semua dilakukan jua buat menciptakan keseimbangan antara budaya lokal & budaya terkini. Anak-anak Sekolah Dasar belajar mengenai budayanya melalui internet, televisi & radio. Tapi pada sisi lain, masyarakat Kasepuhan jua memelihara pola-pola budaya (seperti pola taninya) berdasarkan nilai-nilai baru yang berpotensi mentransformasi akar budaya masyarakat.

Di akhir tulisan ini, penulis beropini bahwa masyarakat adat di Indonesia dan kearifan lokalnya memang secara nyata terancam. Akan tetapi, solusi yang bisa kita berikan bukanlah dengan mengisolasi budaya mereka di dalam kantung-kantung yang tersisa. Dengan menyadari apa yang kompatibel dan tidak di antara nilai budaya masyarakat adat dan nilai budaya modern (konsep kepemilikan, produktivitas, modernitas, dsb.), kita bisa membangun platform hubungan yang lebih selaras antara masyarakat adat dan masyarakat perkotaan. Di satu sisi, kita perlu belajar untuk lebih terbuka dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai luhur kearifan lokal. Di sisi lain, kita bisa membantu masyarakat adat untuk memperoleh hak-haknya dan mengawal dari ancaman nilai-nilai modern yang tidak terkendali.

Pustaka:

BBC Indonesia (24 Agustus, 2017). Masyarakat Sunda Wiwitan tolak eksekusi lahan adat. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41033495

ANTARA News (27 September, 2017). AMAN: RUU Masyarakat Adat Harapan Penyelesaian Konflik. https://www.antaranews.com/berita/654954/aman-ruu-masyarakat-adat-harapan-penyelesaian-konflik

Referensi foto:

Gambar 1. Kutipan surat Chief Seattle, kepala suku Suquamish, Amerika kepada Presiden AS, 1852 (Sumber: http://www.azquotes.com/quote/808968 )

Gambar 2. Aksi AMAN menuntut pengesahan RUU Masyarakat Adat (Sumber: https://www.antaranews.com/berita/654954/aman-ruu-masyarakat-adat-harapan-penyelesaian-konflik )

Gambar 3. Leuit (lumbung padi) sebagai komponen penting kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi (Sumber: http://www.republika.co.id/berita/inpicture/nasional-inpicture/15/05/24/notw11-kilas-perjalanan-budaya-kasepuhan-ciptagelar )

Selasa, 19 Mei 2020

[PIKIR] PANGAN SEBAGAI POLITIK YANG MENUBUH

Oleh : Angga Dwiartama

Sudah menjadi kebiasaan generik bahwa ketahanan & kedaulatan pangan mensyaratkan agar rakyat sanggup mengurangi ketergantungan dalam satu jenis bahan pangan, atau beralih berdasarkan sistem pangan dunia ke penyediaan pangan pada tingkat lokal. Tapi, pernahkah teman-sahabat menanyakan mengapa aneka macam program pemerintah buat mendiversifikasi pangan melalui sumber karbohidrat non-beras disinyalir gagal total? Atau mengapa gerakan menciptakan pangan lokal pada banyak sekali belahan global ? Sekalipun tumbuh fertile ? Nir sahih-benar menggaet massa yang cukup buat membuat perubahan yang berarti? Dan mengapa sebagian akbar warga masih terperangkap pada dalam pola makan yg tidak sehat, instan pada bungkus, nir jelas dibentuk berdasarkan apa, dan memiliki jejak ekologis yg tinggi?

Bagi para aktivis, sangat mudah menyalahkan korporasi dan pasar bebas. Perusahaan-perusahaan besar menawarkan segala kemudahan dan kemurahan untuk mengakses pangan olahan, menekan petani dengan harga beli bahan pangan murah yang bisa didapat dari mana saja, dan menjajakan massa dengan makanan instan rendah nutrisi dan belum tentu aman. Memang, harus kita akui bahwa kita hidup di dalam suatu rezim pangan global yang menenggelamkan sistem-sistem pangan lokal di berbagai pelosok. Meskipun demikian, ini baru satu sisi dari mata koin dominasi pangan global kita. Satu sisi lagi, dalam pandangan saya, terletak pada diri kita sendiri, sebagai konsumen dan anggota masyarakat.

Sejarah konsumsi pangan tidak bisa lepas dari apa yang oleh Michael Carolan, seorang sosiolog dari Amerika Serikat, sebut sebagai politik pangan yang menubuh. Teman-teman mungkin langsung memicingkan mata ketika mendengar kata politik. Politik yang sering kita lihat umumnya kita sebut sebagai politik praktis, politik yang dipraktekkan oleh kader-kader partai, calon anggota legislatif, dan calon pemimpin daerah untuk memperoleh kursi kekuasaan. Politik dalam pengertian yang lebih luas berhubungan dengan perilaku penguasa dalam memperluas pengaruh dan kekuasaannya ke khalayak luas. Tulisan-tulisan lain di dalam edisi ini (Baca artikel oleh Fictor Ferdinand bertajuk Makanan dan Politik: Bagaimana Hubungan Makanan, Negara dan Kedaulatan Diri ) menangkap dengan tajam bagaimana pangan terjalin erat dengan politik dan kekuasaan, bahkan sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara – dan bagaimana pilihan komoditas acapkali berhubungan dengan cara pemerintah memastikan hubungan patronasinya dengan rakyat jelata. Akan tetapi, politik pangan ini belum cukup menjelaskan, mengapa pola-pola interaksi manusia dan pangan tertentu (sebut saja, gandum atau beras, atau segala bentuk makanan siap saji) bisa lebih mendominasi hidup kita ketimbang yang lain?

Tentang kesukaan & politik yg menubuh

Di sinilah maksud berdasarkan pangan sebagai politik yang menubuh. Untuk mampu berdampak luas, politik wajib meresap ke pada tubuh setiap warga , & apa yang sanggup meresap menggunakan lebih baik ke dalam tubuh selain pangan? Kita tahu bahwa pangan melekat dalam manusia melalui kebutuhan dasarnya dan nilai gizi yang terkandung pada dalam pangan. Akan tetapi, yg lebih penting lagi merupakan bahwa pangan melekat melalui rasa & kesukaan. Upaya pemerintah mendorong warganya buat membaca kitab atau menerapkan Keluarga Berencana, menjadi contoh, tidak sanggup seefektif dorongan buat memakan nasi, lantaran, sekalipun dimulai berdasarkan paksaan, konsepsi tentang nasi sanggup meresap ke setiap masyarakat melalui pengalaman dan proses internalisasi nasi menjadi pangan yg ?Baik?. Hal inilah yang menyebabkan beras pada akhirnya bisa diterima di Papua dan kepulauan timur sekalipun itu bukan makanan pokoknya. Tapi rasa & selera tidak berhenti di sini ? Selera, lebih lanjut, adalah produk kelas sosial.

Adalah Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan sosiolog Perancis, yang mengedepankan teori di mana selera mencerminkan dan menjadi simbol bagi kelas atau kelompok masyarakat tertentu. Di dalam bukunya, La Distinction, Bourdieu berargumen bahwa selera tidak diciptakan oleh individu, tetapi dibangun dari nilai-nilai yang ingin dipertahankan oleh suatu kelas masyarakat, untuk membedakan (distinguish) antara kelasnya dan kelas lain yang lebih rendah. Kita tumbuh dan menyukai satu dan lain hal melalui cerapan kita terhadap lingkungan sosial di sekitar kita. Individu memiliki kecenderungan untuk berada sejalan dengan kelas sosial di mana ia berada (atau di mana ia ingin  berada). Kelas yang berkuasa kemudian bisa mendikte selera mana yang bagus, dan mana yang tidak. Kelas jelata, pada akhirnya, menerima ini sebagai sesuatu yang membedakan mereka, dan mendorong individu-individu untuk pindah ke kelas yang dianggap lebih baik melalui upaya untuk mencerap selera itu.

Bourdieu

Sumber: https://twitter.com/emmcdonell/status/529458797425610752

Kita ambil contoh dengan kopi. Sejak lama di Jawa (di zaman penjajahan Belanda di abad ke-18 lebih tepatnya), kopi menjadi minuman bagi para elite bangsawan dan tuan tanah. Buruh kebun bahkan tidak diperbolehkan membawa biji kopi keluar dari area perkebunan. Tidak semua suka kopi mungkin, tapi kenyataan bahwa kopi mencitrakan kelas telah membangun selera baru bagi orang-orang di dalam kelas penguasa. Kelas jelata pun memimik apa yang dicitrakan oleh kelas di atasnya, tentu dengan cara dan kapasitas yang mereka miliki. Terbangunlah apa yang disebut dengan kopi kampung, cukup kompleks hingga menjadi satu paket budaya kopi. Tiga abad kemudian, gelombang baru kopi dunia masuk ke Indonesia dan kembali mendikte selera. Sekarang, sebagian masyarakat kelas menengah ke atas di negeri ini mencerap expresso atau cappuccino lebih dekat ketimbang kopi tubruk – kopi, dan cara tertentu meminum kopi, kembali menjadi simbol kelas di masyarakat. Agaknya kita boleh bertanya apa yang menggugah selera kita pada kopi: rasa inherent-nya atau karena kita ada di lingkungan yang demen kopi? Cerita yang sama berlaku untuk komoditas bernilai tinggi lain seperti teh, tembakau, dan kakao yang punya sejarah kolonialisme kelam di belakangnya.

Coffee snob

Sumber: http://www.spanishdict.com/answers/277763/la-palabra-del-dia-particular

Membangun politik pangan yg baik

Cerita tentang transformasi pangan di seluruh dunia dan di setiap masa selalu melibatkan perlawanan dan habituasi tubuh, serta pemaksaan, peniruan, penolakan dan penerimaan. Di Indonesia timur, masyarakat mencerap rasa dan selera atas beras sebagai lebih baik (baca: berkelas) daripada sagu ( Baca  artikel Fictor Ferdinand ), dan proses ini dimulai dari persepsi kelas elite yang ditiru oleh kelas sosial di bawahnya. Konsumsi produk-produk instan dalam kemasan diimajikan di dalam pariwara melalui keluarga kelas menengah ke atas yang menikmati waktu berkualitas bersama keluarga sambil makan di restoran siap saji, atau anak muda gaul yang meneguk minuman bersoda dengan nikmatnya. Atau jika kita kembali ke kasus kopi, pertumbuhan berbagai café kelas menengah yang membawa gaya baru dalam konsumsi kopi semakin meningkatkan konsumsi kopi di masyarakat kelas pekerja, sekalipun kopi yang mereka minum (kopi instan dengan kandungan gula tinggi) berbeda dengan kopi di kelas menengah atas.

Lalu, kembali ke pertanyaan pertama, apabila impak konsumsi pangan terkini, yang notabene dipercaya jelek, bisa sebesar itu, mengapa konsumsi (& produksi) pangan yg baik & sehat tidak sanggup? Sebagaimana saya ungkapkan pada paragraf-paragraf awal, politik pangan bermuara pada politik yang terwujudkan di dalam tubuh kita. Bayangkan tubuh Anda menjadi arena perlawanan politik: di satu sisi, Anda dihadapkan pada dorongan untuk mengonsumsi makanan siap saji, di sisi lain Anda didorong untuk menginternalisasi nilai organik ke pada gaya hidup Anda ? Makanan mana yang Anda pilih? Sejauh mana Anda memilih pilihan, sejauh itu pulalah politik pangan menubuh.

Tapi seperti yang diangkat oleh Bourdieu, politik rasa dan selera tidak berhenti di dalam diri individu; ini adalah fenomena kelas sosial. Kita bisa melihatnya dari dua arah. Pertama, kita tahu bahwa gaya hidup organik dan pangan lokal akan lebih mudah disebarluaskan apabila itu menjadi selera yang dibangun oleh kelas sosial elite di masyarakat.  Tokoh-tokoh ternama, selebriti dan pemimpin negara dalam hal ini berperan penting untuk mengkonstruksi selera baru di dalam masyarakat, yang akhirnya diadopsi oleh kelas jelata. Pemerintah selayaknya meninggalkan pendekatan lama (sebagai Bapak Angkat yang menyediakan bantuan bagi anak-anaknya) dan beralih ke cara budaya baru bekerja. Dalam konteks ini, pertarungan politik meluas ke berbagai media (massa dan sosial). Di Indonesia, selebriti-aktivis seperti Nugie dan Nadine Chandrawinata punya andil menyuarakan gaya hidup yang ramah lingkungan. Para celebrity chef global seperti Jamie Oliver dan Hugh Fearnley-Whittingsall juga menembus pasar Indonesia untuk mengenalkan cara mengolah makanan secara sehat. Tetapi, mereka mungkin kalah pamor dibandingkan selebriti lain yang lebih terkenal dan menjadi duta konsumerisme dalam posisi mereka sebagai bintang pariwara.

Cara pandang kedua adalah seperti yang dilakukan oleh Bourdieu – melihat fenomena ini sebagai suatu kritik sosial. Tidak etis agaknya bagi kita, aktivis, untuk mencekoki nilai organik dan pangan lokal kepada masyarakat awam menggunakan gaya hidup yang mengumbar diferensiasi kelas. Alih-alih menanam romaine lettuce, kale, atau iceberg lettuce di kebun organik kita atau mengolah pangan lokal menjadi burger atau pizza – jenis-jenis pangan dan masakan yang, harus kita akui, mencerminkan kelas –, kita bisa menanam kangkung, genjer atau jaat yang mencerminkan kelas sosial yang berbeda. Biar bagaimanapun, kelas jelata di titik tertentu akan memiliki resistensi terhadap sesuatu yang asing bagi mereka; alih-alih meniru, mereka akan membangun tembok identitasnya sendiri.

Sebagai masyarakat kelas yang berkesadaran, kita bisa membalik cara dunia bekerja, atau setidaknya tidak membiarkan perbedaan kelas mengacak-acak identitas kelas sosial yang lemah. Coba lihat contoh-contoh ini: (1) menguatnya identitas pasar tradisional di kawasan marjinal, yang meluas menjadi kampanye untuk mempertahankan pasar tradisional di tengah desakan supermarket dan pasar modern; (2) gerakan kopi kampung sebagai counterhegemony atas pertumbuhan specialty coffee gaya barat di kota-kota besar di Indonesia, atau (3) sistem pangan lokal yang terbangun sebagai reaksi masyarakat marjinal terhadap desakan pertumbuhan perkotaan dan isu-isu agraria. Ketiganya mengisyaratkan bahwa pergulatan menuju sistem pangan yang lebih baik tidak harus berangkat dari atas.

Ada banyak cara untuk membangun sistem pangan lokal yang baik, sehat dan berkelanjutan. Meskipun demikian, pada akhirnya semua akan tergantung pada politik yang ada di tubuh kita. Pangan adalah sesuatu yang personal, tapi juga kolektif. Perjuangan membangun sistem pangan yang lebih baik harus melangkah lebih dari sekedar logika, tetapi melalui suatu proses yang menggugah dan menginternalisasi rasa dan selera secara mendalam (visceral). Menyadari pergulatan politik pangan pada diri kita dan di kelas yang ada di masyarakat akan membawa kita untuk bertindak lebih bijak di dalam mengadvokasi sesuatu yang baik bagi seluruh lapisan masyarakat.

Daftar Pustaka :

1. Berdasarkan data dari FiBL, badan riset organik Swiss (2017), sekalipun laju pertumbuhan pertanian organik di dunia lebih cepat dari pertumbuhan pertanian konvensional, secara keseluruhan lahan pertanian organik hanya berkontribusi pada 1% dari total lahan pertanian; FiBL. (2017). The World of Organic Agriculture 2017. https://www.fibl.org/fileadmin/documents/en/news/2017/mr-world-organic-agriculture-2017-english.pdf

2. Carolan, M. (2011). Embodied Food Politics. Ashgate Publishing. ‘Embodied’ di dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai mewujud, tetapi dalam hal ini ‘embodied’ dikaitkan dengan materialisasi politik di dalam tubuh, yang mana kata menubuh menjadi lebih tepat.

3. Bourdieu, P. (1979). La Distinction: a social critique of the Judgement of Taste. Routledge.

4. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, konsumsi kopi per kapita di Indonesia mencapai 1,7 kg/kapita/tahun di tahun 2017, meningkat sebesar 7% per tahun  (http://www.kemenperin.go.id/artikel/15421/Menperin:-Gaya-Hidup-Dorong-Industri-Kopi-Tumbuh.

Dari hasil wawancara dengan AEKI, konsumsi kopi kemasan yang meningkat merupakan ripple effect dari pertumbuhan café dan konsumsi kopi segar di masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas.

Rabu, 13 Mei 2020

[OPINI] MENYOROTI SISI GELAP RANTAI NILAI GLOBAL INDUSTRI SANDANG

Oleh: Angga Dwiartama

Sandang, Pangan, & Peradaban

Di awal tulisan ini saya ingin menegaskan bahwa saya bukan pakar di bidang fashiondan industri pertekstilan. Tulisan-tulisan saya, termasuk di Pro:Aktif Online, banyak berkutat di bidang pertanian dan pangan. Satu hal yang awalnya saya pikir sama antara pangan dan sandang adalah bahwa keduanya berangkat dari hasil bumi, sehingga saya bisa sedikit banyak bercerita tentang sejauh mana peradaban manusia telah mendorong pertanian dunia untuk menghasilkan kedua hal ini. Meskipun demikian, saat saya mencoba menelusuri lebih dalam tentang bagaimana dunia saat ini menghasilkan pakaian, perbedaan antara pangan global dan sandang global makin lama makin saru. Bahwa di tengah keglamoran dunia fashion ataupun industri makanan, tersembunyi sisi gelap yang melibatkan berbagai bentuk pengerukan, perusakan dan pencerabutan lingkungan hidup dan masyarakat dari akarnya. Kalau para pemerhati masalah pangan melihat film dokumenter Food, Inc.(2008) sebagai ikon kritik terhadap industri pangan modern, saya menyarankan teman-teman menonton The True Cost (2015) yang menjadi ikon kritik terhadap industri sandang modern.

Poster The True Cost

Di dalam beberapa paragraf ke depan, saya akan mencoba merefleksikan hasil bacaan saya tentang industri sandang global, sambil sesekali mengunjungi beberapa temuan saya di industri pangan global. Seperti di tulisan saya yang lain tentang pangan (misal: link ke Pangan dalam Cengkeraman Kapitalisme dan Pangan sebagai Politik yang Menubuh), semoga akhir tulisan ini bisa sedikit mencerahkan.

Saya mulai cerita ini dari zaman dahulu kala. Sandang maupun pangan berperan akbar di pada pembangunan peradaban masyarakat. Di ketika manusia prasejarah berburu dan meramu untuk memperoleh pangan, mereka jua membuatkan sandang buat menghangatkan badan mereka. Kulit hewan dan serat flora dipintal secara sederhana sebagai kain pelindung tubuh. Saat produksi pangan ditopang oleh pertanian fase awal, demikian halnya dengan pakaian. Serat dari flora-flora misalnya kapas, kapuk, rami, dan linen mulai diolah menjadi lbr-lembar pakaian sederhana. Pakaian pula didapatkan menurut bahan standar yg asal berdasarkan fauna seperti wol & sutera[1].

Di sisi lain, pertanian yang lebih kompleks & rumit menghasilkan sandang yang lebih mahal & berkelas. Pakaian para tuhan & raja-raja, sebagai contoh, dipintal menurut sutera alam yang halus, yg proses produksinya membutuhkan keahlian & ketekunan tingkat tinggi. Tidak poly pengrajin yang sanggup membentuk kain sekelas sutera. Di titik ini, produksi yg terkonsentrasi pada wilayah yang peradabannya maju seperti China (sutera), India (katun) & Eropa (linen)serta permintaan yg kian tinggi dari penjuru dunia sebagai pondasi dibangunnya industri sandang pada skala global. Jalur sutera, orang-orang bilang, merupakan jejak konkret sandang pada dalam peradaban manusia. Hal ini sejalan menggunakan perdagangan komoditas pangan mewah misalnya rempah-rempah, kopi, teh, kakao & gula dari pengrajin pada Asia, Afrika dan Amerika Latin buat raja-raja di Eropa dan Timur Tengah. Sandang, misalnya pangan, mempunyai fungsi pelengkap, tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar insan, namun pula sebagai simbol identitas kelas.

Fase ini di dalam cerita peradaban manusia tentunya belum seberapa gelap ketimbang saat revolusi industri mulai menggeliat di abad ke-18. Kolonialisme yang dibangun di atas pengerukan sumberdaya pertanian diperparah dengan upaya untuk mentransformasi sumberdaya ini secara massal dan cepat. Apabila pemintal benang dan perajut kain dulu dikenal sebagai artisan berketerampilan tinggi, mesin-mesin industri saat itu mampu menggantikan produksi kain secara lebih cepat, lebih seragam dan lebih efisien. Peran manusia direduksi menjadi sekedar tenaga kerja. Hal ini berlaku baik untuk pangan maupun sandang. Kolonialisme dan revolusi industri (yang nantinya juga diikuti dengan revolusi hijau) meninggalkan petani dan pekerja tercerabut dari identitas unik mereka. Petani gurem, buruh murah, mereka adalah kolateral dari efisiensi produksi. Mereka menjadi tergantikan, dispensable.

Industri Sandang Global dan Fast-Fashion

Maka sampailah kita ke wajah industri sandang di dunia modern ini. Di depan mata, nama-nama seperti GAP, CJ Penney, Marks & Spencer jamak dilihat sebagai brand-brand besar yang menjual pakaian dengan harga premium. Apa yang menyebabkan mereka bisa menguasai industri fashion global? Apakah teknologi yang mumpuni? Ataukah asset produksi yang besar dengan mesin-mesin yang efisien? Sebelum menjawab ini, kita perlu melihat dua bentuk rantai nilai global di dalam industri modern kita. Gary Gereffi[i], seorang sosiolog dari Amerika Serikat, menjelaskan bahwa ada industri yang didorong oleh produsen, dan industri yang didorong oleh pembeli. Industri yang didorong oleh produsen mengandalkan kehandalan teknologi dan asset produksi yang pada akhirnya membangun pasar. Di sisi lain, industri seperti pakaian tidak membutuhkan inovasi teknologi yang tinggi. Perusahaan-perusahaan ternama yang saya sebutkan di atas bahkan tidak memiliki asset produksi. Mereka mengedepankan aspek marketing, jalur ritel, ide desain fashion dan nilai jual branduntuk menjamin penangkapan rantai nilai sebesar mungkin di rantai industri globalnya. Laiknya industri pangan global yang dicirikan oleh makanan siap saji (fast food), industri sandang global dicirikan oleh pakaian siap saji (fast fashion) -- industri yang mengedepankan pergantian mode yang cepat dan, konsekuensinya, alur produksi yang cepat pula.

Wajar kiranya apabila dibalik hingar bingar industri pakaian siap saji ini, di saat dunia fashion dan retailer mengambil porsi nilai terbesar, para petani, buruh pabrik dan pengusaha tekstil berebut nilai tambah dari sisa-sisa yang ada -- aktivitas yang tidak jarang mengorbankan lingkungan hidup dan masyarakat lokal. Dalam banyak tulisan[ii], industri tekstil digadang sebagai penyumbang pencemaran lingkungan kedua terbesar di dunia setelah industri minyak bumi. Ini yang disebut dengan perlombaan menuju dasar (race to the bottom) di dunia bisnis. Hal ini mengawali bagaimana kita membongkar sisi gelap dari industri apparel (pakaian) dunia[iii], sambil kita coba runut mata rantai demi mata rantai.

Rantai nilai industry apparel

Jeratan Hutang di Sektor Pertanian Kapas

Cerita gelap industri sandang dimulai dari hulu, di bentangan lahan pertanian di pusat-pusat produksi bahan baku tekstil dunia. Saya ingin mengangkat satu komoditas pertanian yang menjadi bahan baku utama kain dunia: katun, yang terbuat dari tumbuhan bernama kapas (Gossypium spp.). China adalah penghasil kapas terbesar, disusul oleh India dan Amerika serikat. Ketika China diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat dan produksi pertanian massal, India memiliki cerita yang berbeda. Pertanian kapas di India memiliki sejarah  panjang dari 5000 tahun yang lalu di lembah sungai Indus, dan dari sana industri katun berkembang di dunia. Semua berjalan baik hingga masa kolonialisme di mana kerajaan Inggris menerapkan politik dagang yang ketat terhadap katun di India. Sejak saat itu, sekalipun industri katun di India berkembang baik, kesejahteraan petani semakin menurun. Buku A Frayed History: The Journey of Cotton in India tulisan Meena Menon dan Uzramma menceritakan secara gamblang tentang perjalanan getir ini.

Untuk mengilustrasikan ini lebih jauh, coba teman-teman cari di Google menggunakan kata kunci ‘farmer’s suicide’, dan berita pertama yang keluar adalah kisah tentang para petani kapas di India. Sejak tahun 1995, telah ada lebih dari 200.000 kasus bunuh diri petani. Menurut artikel yang ditulis di kantor berita CNN[iv], ada 2-3 orang petani di India yang bunuh diri setiap harinya! Keterjeratan para petani dengan hutang adalah penyebab utamanya. Iklim muson sangat berpengaruh terhadap produksi kapas, disertai rentannya kapas akan hama yang menuntut penggunaan pestisida besar-besaran. Saat cuaca tidak bersahabat, produksi kapas bisa hancur seketika. Di sisi lain, saat produksi membaik, harga kapas seringkali anjlok di bawah harga dasar bagi petani. Pengenalan kapas transgenik, yang semula diharapkan memberi solusi, justru memperburuk keadaan karena petani semakin terikat oleh harga bibit kapas transgenik dan hama ulat buah yang mulai menunjukkan resistensi, sebagaimana dilansir kantor berita The Guardian [v].

Merefleksikan fenomena ini pada produksi pangan dunia, cerita petani India dan kapas adalah kisah klasik petani yang bergantung pada komoditas global. Di Indonesia, cerita ini jamak didengar untuk komoditas seperti kopi, kakao, karet, pala atau cengkeh, yang harganya mengikuti harga internasional, sehingga para petani bergantung pada pasar yang berada di luar jangkauan mereka, dan  mereka tidak bisa mengkonsumsi produk itu sendiri. Hasil akhirnya adalah keadaan di mana para petani menjadi price-taker dan sangat rentan terhadap berbagai faktor di luar kuasa mereka. Hal yang sama juga bisa kita lihat pada para buruh di pabrik-pabrik tekstil.

Perlombaan ke Dasar di Industri Tekstil dan Konveksi

Kini kita bergeser ke bagian tengah dari rantai industri sandang. Industri tekstil menerima kapas, wol, linen atau kepompong sutera dari para petani, memintalnya menjadi benang, menenun dan mewarnainya menjadi kain siap olah. Industri konveksi kemudian memola, memotong, menjahit dan menyablon kain ini menjadi pakaian siap pakai. Di sepanjang proses ini, industri menekan biaya produksi hingga serendah-rendahnya atas dasar efisiensi. Bahan baku ditarik dari pusat-pusat produksi yang paling efisien (atau yang mau menawarkan harga paling murah), dan oleh karena itu menyebabkan banyak petani menjadi korban. Semi-mekanisasi produksi membutuhkan tenaga kerja tanpa keterampilan khusus (buruh pabrik) yang dapat dibayar semurah mungkin. Studi Gereffi tentang industri sandang global menunjukkan bahwa manufaktur tekstil dan konveksi akan cenderung mengarah pada negara-negara yang dapat menawarkan harga tenaga kerja termurah. Alhasil, industri pakaian di Jepang, China dan Korea meng-outsource-kan produksinya ke India, Bangladesh, dan negara-negara Asia tenggara (termasuk Indonesia), industri Eropa ke Afrika, dan  Amerika Serikat dan Kanada ke Amerika Latin. Saat undang-undang ketenagakerjaan di negara-negara tersebut diperketat, perusahaan akan bereaksi dengan memindahkan pabriknya ke negara lain.

Banyak tulisan telah menunjukkan bahwa race to the bottom untuk tenaga kerja di industri tekstil dan konveksi telah banyak memakan korban. Kebakaran besar di pabrik garmen di Amerika Serikat sekira satu abad yang lalu yang menewaskan lebih dari 100 pekerja menjadi catatan sejarah kelam. Satu abad kemudian, kejadian serupa terjadi di Rana Plaza di Bangladesh di mana runtuhnya bangunan pabrik menewaskan lebih dari 1000 pekerja (10 kali lipat dari kejadian di AS). Polanya serupa. Pengusaha tidak memerhatikan kondisi bangunan dan keselamatan pekerja demi mengejar keuntungan. Kejadian di Rana Plaza tahun 2013 lampau membukakan mata banyak orang tentang kondisi kerja dan kesejahteraan para buruh pabrik di banyak negara-negara berkembang di mana industri tekstil dan konveksi bertahan. Belum lagi apabila kita hitung segala dampak dari limbah bahan-bahan kimia yang digunakan sebagai pemutih, pewarna, dan enzim untuk tekstil atau pewarna sablon yang dibuang ke badan sungai di banyak tempat, termasuk di sekitar Bandung.

Tanggung Jawab Konsumen di Ujung Rantai

Baik pertanian serat maupun industri garmen mungkin bisa disalahkan di balik segala kerusakan lingkungan dan eksploitasi buruh di negara-negara berkembang di dunia. Akan tetapi, kita sebagai konsumen memiliki andil yang sama besarnya. Perlombaan menuju dasar di dalam industri sandang bersumber dari pola hidup masyarakat yang serba cepat dan murah. Ada harga yang mahal di balik pakaian murah yang kita beli di pasar. Meskipun demikian, pakaian mahal juga tidak menjamin bahwa produk yang kita beli lebih berkelanjutan. Retailer dan industri fashion mengambil nilai sangat banyak dari tren dan mode tanpa mengindahkan para pelaku usaha di bagian hulu mereka. Jadi, harga mahal yang kita bayarkan mungkin tidak pernah kembali kepada para petani dan buruh pabrik. Lebih parah lagi, fashionyang cepat berganti berimplikasi pada perputaran barang yang semakin cepat pula. Ujung dari rantai industri ini adalah tempat pembuangan sampah akhir yang dipenuhi oleh bergulung-gulung pakaian-pakaian bekas yang bisa jadi masih layak pakai. Semua mungkin hanya karena tren mode tahun ini sudah berbeda dengan apa yang in tahun lalu.

Menjadi konsumen pakaian yang bertanggung jawab di Indonesia, di masa sekarang, memang lebih sulit ketimbang menjadi konsumen pangan yang bertanggung jawab. Dalam hal pangan, kita selalu bisa mulai dari tanaman di pekarangan kita sendiri, atau membeli produk-produk dari petani lokal. Tapi bagaimana dengan pakaian? Apakah membeli baju dari toko di sebelah rumah berarti bahwa kita telah membantu memutus mata rantai industri sandang global? Atau apakah kita perlu memintal benang dan menenun kain sendiri agar bisa lebih berkelanjutan? Tentunya tidak semudah itu pula.

Menjadi konsumen pakaian yang bertanggung jawab membutuhkan beberapa pengorbanan kecil. Hal ini dimulai dengan menyadari bahwa kita tidak membutuhkan pakaian sebanyak itu. Selain itu, berbeda dengan pangan yang bersifat perishable, kita bisa memilih pakaian yang lebih tahan lama bagi kita. Memilih pakaian yang sedikit lebih mahal karena daya tahannya jelas lebih baik daripada memilih pakaian yang murah tetapi cepat sekali rusak -- tidak hanya karena kita menghasilkan lebih sedikit limbah, tetapi juga karena kita mungkin membayar lebih besar bagi para pelaku di tingkat hulu. Ini juga jelas lebih baik ketimbang memilih pakaian mahal karena mode, penjahit atau brand-nya.  Apabila kita mau dan mampu, mulai banyak pakaian-pakaian berlabel hijau (eco-fashion)yang dijual di pasaran. Tetapi seandainya pun harganya tidak terjangkau, kita bisa lebih bertanggung jawab dengan apa yang kita punya -- kurangi konsumsi kita, dan perlama pemakaian pakaian kita.

[1]Minyak bumi datang belakangan, menghasilkan produk serat sintetik seperti polyester, nilon, dan spandex.

Rujukan

[i]Gereffi, G. (1999). International trade and industrial upgrading in the apparel commodity chain.Journal of international economics,48(1), 37-70.

[ii] Salah satu tulisan tentang kontribusi industri tekstil terhadap pencemaran lingkungan dapat dilihat di https://www.alternet.org/environment/its-second-dirtiest-thing-world-and-youre-wearing-it

[iii]Gereffi, G., & Memedovic, O. (2003).The global apparel value chain: What prospects for upgrading by developing countries(pp. 5-6). Vienna: United Nations Industrial Development Organization.

[iv] https://edition.cnn.com/2015/04/19/asia/india-cotton-farmers-suicide/index.html

[v] https://www.theguardian.com/global-development/gallery/2014/may/05/india-cotton-suicides-farmer-deaths-gm-seeds

Sabtu, 09 Mei 2020

[PIKIR] ILUSI INDUSTRI 4.0: SEBUAH TELAAH KRITIS ATAS TEKNOLOGI ZAMAN NOW

Oleh: Angga Dwiartama

Pendahuluan

Sekarang, aku tidak perlu lagi risi soal kekurangan kuliner di malam hari. Cukup pilih majemuk hidangan pada pelaksanaan gawai pandai saya, & dalam 15-30 mnt, seorang akan mengetuk rumah saya membawa sebungkus makanan. Tidak perlu keluar uang tunai, lantaran seluruh pembayaran telah dilakukan di pelaksanaan pandai saya. Saya juga nir perlu khawatir waktu berkelana seorang diri ke daerah antah berantah. Tanyakan saja pada Google Maps, dan dia akan memberitahukan majemuk alternatif jalan buat ditempuh, termasuk jalan-jalan tikus, bersama perkiraan ketika tempuhnya.

Ini jelas belum seberapa. Petani di AS, Australia atau Eropa sana bekerja laiknya manajer kantor, mengendalikan semua aspek pertanian dari komputer pintarnya di ruang kantornya yang sempit. Sensor mendeteksi kadar air tanah dan kelembaban udara, misalnya, dan menginstruksikan sprinkler untuk menyemprot air secara otomatis apabila dianggap terlalu kering. Pestisida dan herbisida sudah tidak diperlukan lagi, karena setiap hama dan gulma dapat dideteksi oleh sensor dan ditembak menggunakan laser.  Di peternakan, setiap ekor domba yang digencarkan di lahan memiliki taggeospasial di telinganya yang sinyalnya ditangkap oleh satelit, sehingga perilaku domba yang sedikit berbeda saja dari gerombolannya dapat dianggap sebagai kelainan. Pesawat tanpa awak kemudian akan melihat lebih jelas apa yang terjadi dan melaporkan temuan lapangan melalui foto atau video ke sang manajer. Tersadar untuk bergerak, sang manajer memasukkan koordinat si domba ke motor ATV-nya, dan motor tersebut akan membawa petani untuk mengunjungi ternak tersebut dan memberi perlakuan[1].

Menyongsong revolusi industri 4.0

Yang kita saksikan saat ini adalah apa yang disebut revolusi industri 4.0, era yang (katanya) ditandai dengan perubahan di berbagai sektor kehidupan, dimana teknologi komputasi, sistem informasi, robotik, bioteknologi, dan nanoteknologi berjalin erat dalam keseharian kita. Kita menghadapi era yang (katanya lagi) akan mengubah cara kita berpikir, merasakan, bergerak dan hidup. Kita menyambut revolusi industri 4.0 layaknya rakyat jelata bersorak menyambut pahlawan perang. Ini adalah solusi bagi semua permasalahan dunia, katanya. Bayangkan saja, di saat diskursus tentang revolusi hijau, kerusakan lingkungan, deforestasi, atau pangan beresiko turunan GMO berkumandang, teknologi dalam industri 4.0 menawarkan narasi alternatif: Bertani bisa lebih ramah lingkungan tanpa pestisida dan pupuk sintetis berlebih apabila kita menerapkan smart atau precision farming, sistem monitoringpintar berbasis satelit bisa dipakai untuk mengidentifikasi titik-titik api dan mencegah kebakaran hutan, kita bisa hidup lebih sehat tanpa obat-obatan kimia apabila kita bisa memonitor denyut jantung, kadar gula atau kolesterol secara terotomasi, atau bahkan memetakan setiap gen di DNA kita untuk memastikan kalau kita tidak punya penyakit turunan berbahaya. Semuanya jadi lebih sehat, alami, dan ramah lingkungan; semuanya, tentunya, kecuali teknologi itu sendiri.

Era industri 4.0

Tapi, apa sih revolusi industri 4.0 itu? Dan ke mana perginya revolusi industri yang lain? Kejutannya, tidak ada yang benar-benar bisa menjawab dengan pasti. Adalah Angela Merkel, Konselor Jerman, yang di tahun 2011 dihadapkan pada tantangan pembangunan industri di Eropa, dan Jerman memiliki dana besar untuk memfasilitasi itu. Beberapa pemikir menawarkan gimmickyang menarik: revolusi industri 4.0 adalah the next big thing di industri, dalih mereka. Mereka membandingkannya dengan tahap revolusi industri pertama yang bertumpu pada mesin uap dan batubara, revolusi industri kedua yang dicirikan oleh assembly line gaya pabrik mobil Ford (yang selanjutnya dikenal dengan Fordism) untuk produksi massal, revolusi industri ketiga pada sistem otomasi di pabrik-pabrik besar, menggantikan buruh pabrik dengan mesin-mesin industri, dan revolusi industri 4.0 dengan semua yang berhubungan dengan komputasi, internet, big data, dan (sekali lagi) internet! Dana besar pun digulirkan ke universitas-universitas dan lembaga penelitian untuk semua bentuk penelitian yang berhubungan dengan “komputer dan internet”, atau bahasa kekiniannya, Internet of Things(IoT). Amerika Serikat, walau berjalan di atas langkah yang sedikit berbeda (karena Silicon Valley dan sektor swasta lebih dulu merajai industri 4.0), pun bermuara ke sungai yang sama.

Hanya dalam waktu kurang dari satu dasawarsa, kita sudah bisa menyaksikan gaung industri 4.0 di hampir seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia, yang dengan tegapnya menjadi pasar bagi ratusan platform startup digital yang mencakup sektor-sektor penting: perdagangan, pertanian, kehutanan, pendidikan, kesehatan, tata kota, pariwisata dan lingkungan hidup. A.T. Kearney, Lembaga riset ekonomi internasional, menunjukkan bahwa di tahun 2017, pertumbuhan investasi startup digital meningkat hingga 68 kali lipat dalam waktu lima tahun, dengan total investasi senilai 3 milyar US Dollar di lebih dari 2000 startup digital di Indonesia saja. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan pengguna internet yang mencapai 143 juta orang lebih (JakartaGlobe, Februari 2018). Di kampus saya saja, setiap program studi diminta untuk bisa menyisipkan kata kunci seperti Big Data dan Artifical Intelligence di dalam kurikulumnya. Jadi kini kami punya jargon-jargon seperti smart farming, smart city, smart classroom, smart politics, smart architecture, dan berbagai smart lainnya.

Sebuah delusi?

Nyatanya, seperti diprediksi, revolusi industri 4.0 memang mengubah banyak aspek dalam kehidupan kita. Saya jadi lebih peka terhadap kesehatan saya; saya gelisah kalau hari ini belum berjalan 10.000 langkah dalam catatan fitbit saya. Hubungan saya dengan teman-teman berubah karena tetiba orang yang saya pikir saya kenal bersuara tentang hal yang sama sekali asing di akun Facebooknya. Saya sekarang lebih mementingkan berapa likes yang saya terima hari ini ketimbang berapa banyak pekerjaan yang saya selesaikan. Di tengah realitas revolusi industri 4.0 sekarang ini, kita juga perlu sadar bahwa ada lebih banyak lagi hal yang tersembunyi di balik semua hal yang berbau digital dan internet. Revolusi industri 4.0, saya boleh bilang, adalah realita dan juga ilusi.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan ilusi (n) sebagai “pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan”. Cambridge Dictionary menawarkan dua pengertian, “an idea or belief that is not true” atau “something that is not really what it seems to be”. Pada ilusi, apa yang kita tangkap di indera kita belum tentu apa yang sebenarnya. Hal ini berarti bahwa ada sesuatu yang lebih besar lagi dari apa yang kita pahami tentang satu realita tersebut. Ilusi berakar pada ketidaksadaran kita pada realita. Kita mempersepsikan bahwa ilusi adalah realita itu sendiri. Erich Fromm, seorang sosiolog/psikolog asal Jerman, di dalam bukunya Beyond the Chains of Illusion, memaparkan bahwa saat kita menangkap ilusi sebagai realita, kita akan cenderung terjerat dalam ilusi tersebut. Bayangkan film the Matrix, di mana para penghuninya menikmati hidup layaknya itu sebuah realita – sampai akhirnya mereka memilih pil merah!

Film Matrix

Lalu, apa hubungan delusi dengan revolusi industri 4.0? Saya coba bahas setidaknya tiga hal yg mungkin bisa membongkar delusi industri 4.0:

Pertama, kita berbicara tentang ekologi. Industri 4.0 dicirikan oleh sistem komputasi dan internet nirkabel. Kita seringkali menganggap sepele hal ini. Tapi di balik kenirkabelan 4.0, terdapat infrastruktur fisik yang jauh lebih kompleks. Untuk setiap titik geografis di mana Anda bisa menikmati sajian 4G, terdapat infrastruktur besar seperti menara BTS, ruang penyimpanan data (server), dan jutaan pekerja yang menghasilkan handheld device Anda. Studi yang dilakukan oleh Costenaro dan Duer (2012) melaporkan bahwa di dalam setiap megabyte data yang dikirimkan, terdapat megawatts energi yang dikeluarkan. Katanya, untuk setiap GB data, dibutuhkan sekitar 5 kWh energi listrik. Sekarang kita lakukan sedikit perhitungan. Data A.T Kearney (2017) menyebutkan bahwa di Indonesia, terdapat sekira 150 juta orang yang terhubung dengan internet melalui gawainya. Dengan mengasumsikan saja bahwa setiap orang menggunakan 5 GB data per bulan, hal ini berarti bahwa setiap bulannya kita sudah menghabiskan sebesar lebih dari Rp. 5 triliun untuk menyelami dunia digital.   Masalahnya, 62% dari energi (dan biaya) yang dikeluarkan ditanggung bukan oleh pengguna komputer atau gawai, tapi oleh pusat data dan saluran distribusi. Artinya, kita menemui kondisi seperti ‘tragedy of the common’, dimana karena terdapat lebih dari Rp. 3 triliun/bulan beban biaya energi yang tidak ditanggung oleh pemakai (eksternalitas), porsi ini menjadi common property yang terboroskan.

Sejalan dengan paparan energi di atas, perubahan gaya hidup akibat industri 4.0 tidak sepenuhnya mengurangi dampak negatif bagi lingkungan hidup. Sebut saja begini: sebelum e-commerceberkembang, saya harus berpikir dua kali untuk belanja. Ini tidak hanya karena saya mempertimbangkan pengeluaran saya bulan ini, tapi juga karena upaya yang dibutuhkan untuk berbelanja (keluar rumah, naik kendaraan, mengantre di kassa pembayaran) cukup menjadi penghambat gairah belanja saya. Kini, ketika teknologi membuat semuanya lebih efisien, kita tidak lagi memiliki mental barrier tersebut. Dalam konteks ini, efisiensi mendorong lebih tingginya perilaku konsumerisme. Tapi, apakah beban lingkungan aktivitas-aktivitas ini menjadi berkurang? Pada kenyataannya, arus pengiriman barang (melalui jasa kurir) malah semakin tinggi. Ojek online berkontribusi terhadap kemacetan jalan raya. Apabila kita hanya menghitung biaya yang tampak, jelas kesimpulannya adalah sistem 4.0 ini lebih efisien. Tapi kalau kita menginternalisasi semua eksternalitas lingkungan, saya curiga beban biaya industri 4.0 akan jadi lebih tinggi.

Kedua, kita berbicara tentang masyarakat. Saya kembali merujuk satu serial TV berjudul Persons of Interest, yang bercerita tentang sebuah program di supercomputer yang memiliki algoritma kompleks berdasarkan data pribadi setiap orang (profil media sosial, data jaminan sosial, rekening Bank, catatan kesehatan) dan memprediksi apakah seseorang berpotensi menjadi ancaman bagi negara. Terlalu dramatis dan berlebihan memang, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita sedikit banyak bergerak ke arah itu. Baru-baru ini, misalnya, diberitakan AI yang bisa memodelkan dan memprediksi kapan seseorang akan meninggal dunia. Big datamenjadikan manusia sebagai angka dan pola yang digunakan untuk kepentingan pemilik modal (atau juga pemerintah).

Gilles Deleuze, seorang filsuf ternama dari Perancis, menamakan masyarakat kita saat ini sebagai society of control, yang diatur, diawasi dan dikendalikan oleh kekuatan yang tersebar di masyarakat itu sendiri. Sebuah ramalan jitu dari tulisan yang disusunnya di tahun 1991, Deleuze memprediksi bahwa kekuatan untuk mendisiplinkan masyarakat tidak lagi terletak di tangan pemerintah. Menurut Deleuze, semua orang mengawasi orang lain, dan nantinya kita semua diawasi oleh perusahaan yang memiliki akses terhadap Big Data tersebut (sebut saja: Facebook). Hal yang mengikuti adalah bahwa informasi menjadi begitu banyak dan mudah diakses, tantangan masyarakat saat ini bukan lagi mencari informasi di ruang kosong, tapi mencari informasi yang tepat di antara milyaran data yang tidak relevan. Karena kita selalu ditawari dengan informasi (berharga dan tidak) di layar gawai kita, cara yang paling efektif untuk menyampaikan informasi adalah dengan membuat kita mau menoleh. Era ini yang kemudian dikenal dengan era ekonomi perhatian (attention economy). Masyarakat tidak butuh berita yang benar atau akurat, tapi berita yang bisa menangkap perhatian mereka. Konspirasi di balik peristiwa 911, kisah dramatis orangutan yang ditembaki dengan senapan, plastik yang terperangkap di perut bangkai paus yang terdampar di pantai – semua lebih cepat menarik perhatian kita dibandingkan pengetahuan yang mendasari itu (bioakumulasi, deforestasi, atau konflik). Tidak salah mungkin, apabila kita bisa mengemas pesan yang baik dengan catchphraseyang unik. Tapi yang saya khawatirkan adalah sebaliknya; ambil saja Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengeluarkan beratus cuitan di Twitter, tak peduli apa isinya, lalu dengan santainya menjawab, “I got your attention, didn’t I?

Penutup

Terakhir, hal yang paling menjadi ilusi di Industri 4.0 adalah, bahwa sebagian besar masyarakat dunia, mereka yang tidak memiliki akses terhadap semua infrastruktur canggih ini, pada kenyataannya menjalani business as usual. Studi yang kami lakukan tentang dampak digitalisasi pertanian terhadap petani gurem  sejauh ini menunjukkan bahwa industri 4.0 tidak sekuat itu memberi pengaruh positif. Banyak petani tidak memiliki atau bisa mengoperasikan gawai pintar, dan kalaupun punya, untuk apa?  Ekonomi yang beredar mengelilingi mereka adalah ekonomi klasik yang melibatkan elite desa, bandar, tengkulak, rentenir dan ijon. Masuknya anak-anak muda untuk terlibat membantu para petani, bagi beberapa, tidak memberikan solusi, tapi justru menambah masalah baru. Rantai pasok bertambah panjang. Peran ijon digantikan oleh para startup ini. Kata sebagian, ijon mungkin masih lebih baik, karena toh mereka adalah juga warga lokal yang memiliki kedekatan psikologis, yang selalu bisa dimintai pinjaman untuk anak petani yang sakit atau akan menikah. Sama halnya di kota, dimana masyarakat miskin akan menjadi orang-orang terakhir yang belanja di pasar dan menaiki angkot menyusuri kota, kali ini dengan kepadatan lalulintas yang lebih dahsyat.

Saya bukan anti-pembangunan dan anti-teknologi. Menurut saya, peradaban akan selalu berkembang dalam laju yang kita tidak pernah bisa kita perkirakan (lagipula, siapa sangka teknologi yang diimpikan di Back to the Futurebisa terwujud juga di masa kini?). Meskipun demikian, kita harus sadar bahwa ilusi itu ada, dan menjadi panggilan kita untuk lepas (dan melepaskan yang lain) dari jeratan ilusi itu. Hanya dengan begitu maka kita akan bisa melihat segala kemajuan zaman ini dengan lebih bijak. Pada akhirnya, penting untuk diingat bahwa teknologi hanyalah perantara – yang bisa memecahkan masalah kemanusiaan bukanlah teknologi, tapi manusia itu sendiri.

Rujukan:

Costenaro, D., & Duer, A. (2012, August). The megawatts behind your megabytes: going from data-center to desktop. InACEEE Summer Study on Energy Efficiency in Buildings.

Deleuze, G. (1995). Postscript on control societies.Negotiations: 1972–1990, 177-82.

Fromm, E. (2001).Beyond the chains of illusion: My encounter with Marx and Freud (Vol. 780). A&C Black.

https://www.allaboutlean.com/industry-4-0/

Rujukan film:

The Matrix Trilogy (film layar lebar)

Persons of Interest (serial TV)

Back to the Future: Trilogy (film layar lebar)

[1] Coba saksikan keseruan smart farming system di sini: http://bit.ly/smartfarmvideo

Cloud Hosting Indonesia