Tampilkan postingan dengan label Anastasia Levianti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anastasia Levianti. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Juni 2020

[MASALAH KITA] Konflik Peran Ganda Ibu Aktivis

Oleh: Anastasia Levianti
Ibu aktivis menjalankan setidaknya dua peran, yakni kiprah domestik sebagai bunda menurut anak-anaknya ataupun istri, dan kiprah sosial sebagai agen perubahan di rakyat. Di samping idealisme yg intensif, ke 2 kiprah ini menuntut hadiah ketika, pikiran, perhatian, dan tindakan berdasarkan ibu. Ada kalanya, ke 2 peran menuntut hadiah yg sama banyaknya pada ketika bersamaan, sehingga ibu mengalami perseteruan.
Saat menghadapi situasi perseteruan, mak dihadapkan pada setidaknya 3 pilihan, yakni : (1) mendahulukan peran domestiknya, (dua) mengutamakan peran sosialnya, atau (3) mencari cara buat memadukan keduanya. Yang paling acapkali terjadi adalah mak mengedepankan keliru satu kiprah & mengebelakangkan peran yang lain. Sebagai akibatnya, bunda merasa bersalah lantaran keliru satu kiprah tidak ia jalankan secara optimal.


Ibu lalu melakukan penilaian & merencanakan langkah perbaikan, mulai dari penetapan skala prioritas, manajemen waktu, strategi mengelola stamina & emosi, serta hal lain-lainnya. Rencana pemugaran tidak pribadi berhasil dijalankan. Rangkaian pertarungan, langkah solusi, evaluasi, dan rencana perbaikan pun menjadi siklus berulang yg dialami ibu. Perubahan terjadi sedikit-sedikit, lambat, kurang signifikan, dan melelahkan. Oleh karena itulah Rubrik ?Masalah Kita? Mengangkat topik ini, untuk menguraikan pertarungan berdasarkan pertarungan peran ganda ibu aktivis, dan memperoleh gambaran tentang cara lain solusinya.
Berikut jawaban 7 responden buat pertarungan peran ganda yg dialami.


# Marah kepada anak lantaran mak stress oleh kegiatan padat pada waktu sempit
# Merasa bersalah kepada anak lantaran ibu mendahulukan pekerjaan
# Merasa ragu apakah aktivitas sosial tetap perlu dipertahankan
# Tak ada kasus, konfiden anak didukung lingkungan eksternal ketika bunda beraktivitas di luar
Dari hasil rekap di atas, tampak bahwa salah satu keluhan utama mak merupakan perasaan terhimpit oleh banyaknya tugas yang perlu beliau selesaikan pada saat terbatas. Perasaan terhimpit lahir dampak desakan impian buat mewujudkan hasil sempurna di kedua bidang secara cepat dan sempurna. Keterhimpitan ibu umumnya disalurkan dalam bentuk perilaku murka pada suami yang dianggap kurang kooperatif, juga anak-anak yang cita rasanya sulit diatur dan menuntut perhatian lebih. Perilaku murka terjadi semakin sering, semakin intens, dan semakin sulit dikendailkan, meski perasaan menyesal selalu tiba selesainya amarah reda. Mengapa demikian?
Ibu mengalami frustrasi berulang-ulang. Pikiran ibu tentang “apa yang seharusnya” berkebalikan dengan kenyataan di depan mata. Tanpa sadar, ibu terjebak pada idealismenya sendiri.  Ditambah dengan cermin sosial yang terbentuk selama ini bahwa seorang ibu haruslah sempurna, senantiasa sabar, telaten merawat dan mengasihi keluarganya. Dari sinilah pangkal mula seorang ibu mengharuskan dirinya memenuhi kondisi tertentu, dengan dalih, “Berperilaku marah-marah itu tidak baik. Segala perilaku kurang optimal harus diperangi, tidak boleh dibiarkan begitu saja” Ibu menolak untuk menerima diri dan lingkungannya secara apa adanya, karena segala hal yang tidak sesuai idealismenya dianggap buruk dan merasa wajar untuk diperbaiki. Dalam hal ini, ibu telah mencintai diri sendiri secara berpamrih. Artinya, ia hanya mampu merasa bahagia ketika idealismenya tercapai.
Pamrih atau cinta bersyarat ibu terapkan secara otomatis juga pada lingkungan di luar dirinya. Anak, suami, rekan, atau lingkungan harus memenuhi idealismenya, barulah mereka semua itu dapat ibu balas sikapi dengan baik. Padahal kenyataannya, setiap orang itu  beranekaragam, dengan cara mereka masing-masing untuk memperjuangkan kepentingan diri sendiri dan memenuhi keinginan mereka sendiri, baik dengan cara yang kasar maupun dengan cara yang halus. Kenyataan ini sungguh buruk bagi ibu, karena bertentangan dengan konsep idealnya mengenai manusia sebagai makhluk berbudi tulus. Ibu tidak mau melihat mereka secara transparan. Ibu belum bisa mencintai mereka secara apa adanya. Ibu mudah dikecewakan.
Akar masalah yang perlu mak aktivis pahami artinya ketidakmauan mengasihi diri sendiri secara apa adanya, yg berkembang menjadi ketidakmauan mencintai realita dan lingkungan yang lebih luas secara apa adanya jua. Seperti perempuan yg menutupi perasaan jeleknya menggunakan berdandan, apapun upaya yg dilakukan, sekedar menimbulkan ria sesaat, & tidak berdaya melahirkan perasaan cantik menurut dalam dan cinta.
Alternatif solusi yang perlu ibu aktivis pertimbangkan adalah berhenti memoles diri dan orang lain, ataupun kenyataan di depan mata. Berhenti mencocokkan keadaan diri sesuai cermin sosial. Setiap yang ada pada suatu saat sudah hadir dengan kesejatiannya yang penuh, tanpa perlu perbaikan ataupun sekedar pelengkap kemasan. Getaran cinta tanpa syarat akan melahirkan tindakan memelihara, bukan memerangi, seperti wanita yang menyayangi fisiknya dan merawat kondisinya. Karena tanpa pamrih, ibu akan terbuka menerima keadaan chaos dan spontanitas pihak lain, tidak lagi memaksakan perwujudan idealisme pribadi. Tindakannya bersifat merespon kebutuhan bersama dari hatinya, bukannya membalas atau re-aksi. Sebaliknya, aksi yang ibu lakukan akan menggugah hati pihak lain untuk memberikan respon sesuai kebutuhan bersama, bukannya memancing balasan atau re-aksi mereka.
Bagaimana menahan dorongan buat memoles diri, mengingat dorongan tadi tiba secara kuat dan cepat, nyaris seperti refleks saja sifatnya? Cara primer adalah, menyadari momen 1-dua detik waktu dorongan itu ada, menerimanya hadir di dalam diri, lalu melepaskannya, dorongan itu secara alamiah akan reda.
Di samping keluhan perasaan terhimpit & respon amarah, terdapat juga keluhan mengenai kelelahan & ketidakberdayaan, serta keraguan buat permanen menekuni ke 2 kiprah atau ketakutan buat melepas keliru satunya. Saat ibu merasa lelah dan tidak berdaya, secara amanah tubuh ibu mengungkap kebutuhannya akan istirahat. Tetapi amanah jua diakui bahwa pikiran ibu tak sanggup menghentikan seluruh aktivitas rutin dari kedua kiprah yang sudah dia jalani selama ini. Ibu misalnya robot pekerja yg mulai aus dimakan usia. Orientasi utamanya merupakan produktivitas. Tindakan mak berlandaskan prediksi logis dan mengabaikan dorongan perasaan. Tanpa sadar, bunda menyikapi kehidupannya menjadi proses usaha yang perlu dia kelola, bukan sebagai misteri yang perlu beliau hidupi.
Di tengah-tengah itu, ada kalanya, ibu merasa bimbang. Ibu ragu apakah ke 2 peran perlu beliau pertahankan, ataukah lebih sempurna penekanan menekuni keliru satu kiprah & peran lain sekedar menjadi pengisi ketika luang. Berbagai pro kontra ada pada kembali setiap peran, seakan saling ingin mengalahkan satu sama lain dan hanya akan terdapat satu kiprah yg muncul sebagai pemenang. Ragam pertimbangan semakin berseliweran, & semakin sulit dipilah, mana yg kebutuhan sejati & mana yang perangkap pembenaran. Berbagai ketakutan merintangi itikadnya melepas anak dalam penyelenggaraan lingkungan sekitar. Ibu juga risi kelompok warga binaannya akan telantar apabila ia menghentikan peran sosialnya. Sementara tetap menjalankan keduanya tanpa prioritas kentara membebani bunda.
Akar masalah dari keluhan-keluhan ibu ini adalah rasa takut atau kurang percaya terhadap situasi ketidakpastian. Sebagai aktivis, keberanian ibu sebatas menghadapi situasi pasti, yakni memperjuangkan idealisme yang ia yakini benar dan memerangi perihal yang sudah jelas dianggap negatif oleh lingkungan. Situasi terus mempertahankan produktivitas meski dibebani kelelahan juga merupakan situasi pasti, yang enggan diubah karena khawatir menimbulkan chaos.
Alternatif solusi yang perlu ibu pertimbangkan adalah mengembangkan courage, more than brave. Ibu perlu berani mengambil keputusan berdasarkan suara hatinya. Bagaimana mendeteksi suara hati yang perlu diikuti? Suara hati memiliki kuasa, yang mendorong manusia secara alamiah untuk bertindak, meski menghadapi macam-macam rintangan. Dan begitu keputusan ditetapkan, semua kemudahan bergulir memenuhi kebutuhan semua pihak.
Berikut sikap yg diambil responden atas pertarungan kiprah ganda yang dialaminya.


# Membuat rencana lebih baik, melakukan evaluasi terpola, & mendapat apapun hasilnya
# Memilih alternatif yang dapat membuat bunda bahagia, & menularkan kebahagiaannya
# Percaya dalam lingkungan, ketika menyerahkan anak ke dalam proteksi ?Rahim dunia?
Ketidaksempurnaan ini, sungguh, sudah paripurna. Selamat Menikmati Harimu, Ibu!



Sumber gambar: http://www.noormafitrianamzain.com/2012/03/prestasi-dan-prestise.html































Minggu, 14 Juni 2020

[OPINI] Mental Blocking vs Kesehatan Emosi

Oleh: Anastasia Levianti

Pernahkah Anda merasakan amarah luar biasa terhadap seseorang? Apakah amarah itu mendorong Anda melakukan tindakan tertentu secara intens? Pernahkah Anda merasa sangat suka terhadap seseorang atau sesuatu, sehingga ketagihan ingin terus bersamanya secara berlebihan? Atau, pernahkah Anda merasakan ketakutan besar sehingga Anda menghindari hal tersebut setiap kali berhadapan dengannya? Satu jawaban Ya, menunjukkan Anda memiliki mental blocking.

Mental blocking adalah sebuah kondisi mental yang terbatas atau terhalang, sehingga aktivitas mental tidak lancar. Batasan atau halangan itu terbentuk akibat pengalaman masa kecil, yang tanpa sadar, Anda hayati menyakitkan. Misalnya, anak yang ditinggal tidur sendiri tanpa ditemani, merasa ketakutan, dan mengalami serangan panik, akan tumbuh menjadi pribadi yang takut, tidak nyaman, dan gelisah saat berada sendirian tanpa teman, tanpa melakukan suatu aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu, atau tanpa sesuatu hal lain yang dapat ia jadikan sandaran. Situasi ketidakpastian membuatnya resah. Ia lalu mencari-cari sumber ketenangan dari luar, berupa teman, bacaan, kegiatan, dan lain sebagainya. Tanpa ia sadari, ia melekat (terpaku, menempel erat, sulit lepas) pada kebutuhan akan rasa aman-nyaman.

Mental blocking dan kelekatan ini beragam macamnya. Apapun itu, hal tersebut menjebak Anda dalam pemahaman keliru atas peristiwa baru yang dihadapi pada masa sekarang. Contohnya, seorang staf terluka oleh kritik dari pimpinannya. Ia merasa pimpinan terlalu fokus menyoroti hasil kerjanya, seperti mencari-cari kesalahan. Ia merasa bagaimanapun hasil kerjanya, tidak pernah sempurna, dan selalu saja ada perbaikan yang harus ia lakukan. Dalam contoh ini, peristiwanya adalah bawahan menerima saran-kritik dari atasan. Namun bawahan menghayatinya secara berlebihan, yaitu sebagai kritikan yang terus menerus dan tidak mungkin pernah absen, sampai ia kelelahan karena diri tidak pernah sempurna. Saran-kritik atasan, mencungkil mental blocking bawahan, dimana ia sendiri sebetulnya (nyata terjadi, tapi tidak disadari / diakui) selalu merasa ada cacat yang tidak dapat disembuhkan.

Jebakan mental blocking-kelekatan hampir selalu muncul dan mencemari cara seseorang merasa, berpikir, dan bertindak. Saat menghadapi situasi negatif di kehidupan sosial kemasyarakatan, seperti bencana alam dan ketidakadilan, jebakan tersebut menjadi tenaga pendorong dari respon yang muncul, yaitu antara lain mengabaikan, menyerang, atau memperbaiki. Respon mengabaikan muncul karena diri tidak merasakan getaran emosi terhadap situasi di hadapan. Diri terpisah, atau berjarak, dengan situasi. Pendapatnya sekedar basa-basi. Andaikata pun muncul perasaan, yang ia kira rasanya kuat, itu sebetulnya adalah pikiran tentang perasaan, bukan perasaan sesungguhnya. Ia pikir, ia merasa marah, sehingga melontarkan kritik pedas. Atau ia pikir, ia merasa iba, sehingga menyatakan bela sungkawa. Bagaimanapun, tindakannya hanya sampai tataran pikiran, sebatas diskusi, atau tulisan, tidak ada aksi nyata untuk memulihkan situasi negatif yang ia hadapi, sebagaimana orang asing yang sekedar memberi petunjuk praktis tentang cara mengobati luka kepada seorang anak yang jatuh dan menangis kesakitan, tanpa bersegera mendatangi anak dan menolong mengobatinya. Tanpa sadar ada mental blocking yang membuatnya tidak peka dan tidak lancar bertindak.

Respon menyerang muncul karena diri merasa tidak nyaman, mual, marah, dan rasa penolakan lainnya. Diri tegang, dan terdorong segera mencari penyaluran. Tindakannya menyerang, atau melawan situasi di hadapan. Ia menghakimi secara keras figur yang bertanggung jawab atas situasi negatif, dengan mengedepankan idealisme atau norma secara menggebu dan kaku. Ia anggap ia bertindak benar sebagai penolong atau pahlawan. Ia tidak sadar, bahwa caci maki dan perlawanan yang ia nyatakan sebetulnya adalah mekanisme pertahanan diri atas mental blockingnya yang tersembunyi, yang mekanismenya berupa pengkambinghitaman orang lain. Pada saat itu, diri tidak sadar akan keberadaan mental blocking, atau masih menolak, dan tidak siap mengakui bahwa diri sesungguhnya terluka. Seumpama orang bercermin, dan melihat bayangan dirinya yang buruk di cermin, lalu tidak terima dan marah berlebihan pada inakurasi cermin, bahkan sampai memecah cermin untuk menghilangkan bayangan buruk yang tampak, demikian jugalah orang yang terluka oleh pihak lain, tidak sadar akan mental blocking tersembunyi, dan cenderung meghakimi orang lain sebagai biang keladi. Tindakan heroiknya pun menjadi destruktif. Seperti masuk ke dalam lingkaran setan, ia terjebak dalam jatuh-bangun upaya keras yang melelahkan jiwa, dan tidak merasakan pertumbuhan dalam hasil kerjanya.

Respon memperbaiki didorong oleh getaran rasa belas kasih pada kondisi negatif yang dihadapi. Getarannya tidak menggebu dan terburu-buru, karena tidak ditunggangi oleh kepentingan mental blocking untuk mencari penghiburan atau membangun pengukuhan diri. Sebaliknya, getaran rasa belas kasih bersifat halus dan lembut, murni-jernih tanpa keraguan, menuntun tindak dengan lancar dalam menghadapi situasi yang secara kasat mata termasuk kacau balau, satu langkah demi satu langkah bergulir, dan menghadirkan proses tumbuh kembang atau menghasilkan buah perbaikan yang nyata. Tindakan konstruktif jauh dari riya-riya keramaian, maupun ekspansi untuk pemekaran ego atau harga diri. Proses perbaikan berlangsung alami dan kebanyakan secara diam-diam, hasil perbaikannyalah yang menunjukkan eksistensi.

Mari kita telusuri 3 contoh pengalaman hidup berikut ini. X1 (37 tahun, ibu rumah tangga) merasa terusik saat menyadari kesenjangan kesejahteraan antara dirinya dengan yang lebih miskin. Ia merasa kasihan dan ingin berbagi. Ia berpikir untuk memberi pelajaran Bahasa Inggris, Calistung, Prakarya, dan fasilitas perpustakaan sederhana bagi anak-anak kampung di sekitar rumahnya. Ia juga berpikir untuk menyelenggarakan pelatihan pengolahan sampah secara mandiri bagi warga kampungnya. Namun ia terhambat untuk merealisasikan pikirannya. Ia takut memulai. Enggan dan malas. Khawatir privasi dan kepentingan pribadi terusik. Ia membiarkan konflik terjadi dalam diri, antara aktif berbagi dengan lingkungan miskin dengan menjaga stabilitas kehidupan keluarga sendiri. Saat menyusun perencanaan aktivitas berbaginya, muncul perasaan bersemangat, juga bangga, seolah ia sudah berbuat baik dan benar. Ia enggan mendalami kesulitan eksekusi rencana, lalu berhenti sampai rencana kasar. Ia berpikir, konflik akan bergulir dan kehidupan secara alamiah akan menentukan penyelesaiannya. Ia yakin angannya akan diwujudkan suatu saat nanti, bila situasi mendesak, atau kesempatan disodorkan, atau saatnya sudah tiba. Kini yang ia lakukan adalah fokus mengurus rumah dan keluarga secara mandiri, sambil tetap menjaga kontak seperlunya saja dengan warga kampung. Ia merasa aman, mantap, kokoh, dan mulai melirik kembali perwujudan angannya. Tetap belum muncul jawaban lebih rinci. Tetap enggan mendalami. Biarkan. Komentar: X1 melekat pada kebutuhan akan rasa nyaman, dan ketakutan akan sakit pertumbuhan. Kelekatan membatasi ruang geraknya. Alih-alih bertindak, ia sibuk dengan aktivitas berpikir, yang tidak esensial. Tindakannya belum berbuah signifikan.

X2 (37 tahun, karyawan swasta) menghadapi perubahan lingkungan kerja, dari kepala departemen sebuah perusahaan elektronik skala nasional di pusat kota ke staf perusahaan kecil milik perorangan di daerah pedalaman. Selama 2 bulan pertama, ia tidur di jok mobil. Ruang pribadi berAC menjadi ruang tengah rumah kecil beratap seng tanpa kipas dan AC. Intinya, perusahaan lama memberikan kenyamanan lebih dalam segala hal (jabatan, fasilitas, penghormatan, pengakuan prestasi, dipercaya). Menghadapi situasi itu, perasaan yang dominan muncul adalah menolak. Ia terpikir untuk kembali ke perusahaan lama walaupun itu berarti menyerah sebelum maju berperang. Namun ia tidak langsung bertindak mengikuti perasaan dan pikirannya. Ia memutuskan untuk diam sejenak, mengembalikan posisi diri ke titik nol atau netral, mengembalikan seluruh alam sadar akan tujuan semula, menyadari sepenuhnya mengapa semua ini perlu dilakukan, dan melihat bahwa mundur bukanlah solusi untuk melangkah ke depan. Ia pun menerima kenyataan di tempat baru. Ia melakukan introspeksi diri. Ia tunjukkan kemampuan terbaik, terus belajar dan mengembangkan diri. Hasilnya, ia survive dan berkembang pesat. Meskipun sekarang, kenangan masa indah jaman dulu datang saat sedang meghadapi kesulitan atau masalah. Komentar: X2 berorientasi pada kebutuhan akan rasa nyaman dan pengakuan. Orientasi ini mengarahkan perhatiannya pada pilihan-pilihan tertentu. Hanya saja, ia tidak langsung memilih dan bertindak sesuai orientasinya. Ia memutuskan diam, dan menempatkan diri sebagai pengamat, dimana orientasi menjadi salah satu objek pengamatan, di samping hal-hal lain yang juga ada. Tanpa dibatasi kelekatan, ia bebas memilih tindakan sesuai tujuan. Pola orientasi-mawas diri-refleksi-bertindak objektif terus berulang. Hal ini menunjukkan ada mental blocking yang belum sembuh benar, yang sejauh ini ia abaikan, agar tidak fatal mengganggu aktivitas kehidupannya.

X3 (33 tahun, Penanggung Jawab Komisi Penyiaran Indonesia di salah satu propinsi) pernah kecanduan alkohol dan narkoba. Ia berpisah dengan keluarga selama 3 bulan untuk menjalani proses rehabilitasi. Hambatan utama yang ia rasakan adalah ketidakpercayaan orang terdekat bahwa ia bisa sembuh, sementara ia berharap mendapat dukungan dari mereka. Ia berpikir keras dalam rangka berupaya sembuh dan membuktikan kepada mereka bahwa ia bisa dipercaya. Proses jatuh bangun ini membuatnya depresi, merasakan keterpurukan yang medalam, dan kehilangan banyak tenaga. Untuk mengatasi keterpurukannya ini, ia mengulangi lagi upaya koreksi diri, serta secara terus menerus melakukan doa dan kontemplasi untuk memahami tujuan dan langkah hidup perwujudannya. Ia juga tegas memutuskan hubungan dengan kenangan masa lalu, memusatkan perhatian pada keberadaan diri saat sekarang, mengakui kelemahan diri yang ada, mengenali dan gembira mengembangkan kelebihan yang ada, serta memaafkan dan menerima perilaku orang lain secara apa adanya. Ada kalanya solusi lancar dijalankan. Namun ada kalanya juga godaan untuk berhenti melakukan solusi kuat menghasut. Ia masih berjuang menjalankan solusi secara konsisten untuk mewujudkan tujuan hidupnya. Komentar: X3 serupa dengan X2, dimana tindakannya berpola orientasi-mawas diri-refleksi-bertindak objektif. Keduanya memilih untuk mengabaikan mental blocking, sehingga langkah perbaikan masih dapat dilakukan, meski kadang terhambat atau tertatih-tatih.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, perlukah mental blocking dihilangkan? Dan bila perlu, bagaimanakah caranya? Mental blocking berdampak pada tafsir keliru atas peristiwa di hadapan karena terbatas tempurung masa lalu. Apabila jebakan mental blocking disadari saat ia muncul, diri menerima dan mengakui jebakan ini, sehingga kondisi emosi bersifat netral atau obyektif, maka dampak negatif tersebut dapat diantisipasi kemunculannya. Namun apabila tidak, maka dampak negatif akan muncul terus menerus, bertumpukan, sehingga menimbulkan kondisi emosi negatif, atau sulit bahagia. Pada saat seseorang frustrasi berkepanjangan dengan kehidupannya, ia perlu minta bantuan terapis (dengan kompetensi teknik regresif), untuk menghilangkan mental blocking tersembunyi dalam diri.

Adakah upaya pencegahan yang dapat dilakukan agar mental blocking tidak kembali muncul atau tidak bertambah kuat? Tanda utama dari munculnya mental blocking adalah adanya kondisi emosional kaku (perasaan sangat kuat, sulit ditahan, berdaya-desak, sehingga hampir selalu mendorong tindakan, yang dilakukan secara berlebihan, sehingga menimbulkan dampak merusak atau negatif). Saat tanda tersebut dialami, langkah utama yang dapat dilakukan diri adalah menyediakan waktu dan tempat sesegera mungkin untuk berdiam diri. Selama diri diam, intensitas rasa dan ketegangan awalnya akan meningkat, lalu lambat laun mengendap, mencuatkan getaran saripati yang alamiah menuntun tindak.

Langkah diam dipaparkan dalam versi lain oleh seorang bhiksu, yang masa kecilnya sering diserang panik intensif, namun saat usia 30-40 tahun dinilai Goleman memiliki kecerdasan emosional sangat tinggi, dimana getaran rasanya setiap saat serupa dengan getaran rasa seorang ibu yang baru saja melihat anak pertamanya lahir. Menurut bhiksu tersebut, ada 3 macam respon saat diri mengalami perasaan negatif (panik, takut, marah, dan lain-lain, yang intinya tidak diinginkan untuk dialami, atau segera ingin diusir hilang). Tiga respon itu adalah (1)tidak fokus, melupakan atau mengabaikan, namun lalu mengalihkan diri dari situasi di hadapan ke kegiatan hiburan, (2)fokus menganalisa masalah dan mencari solusi, (3)menyadarinya, dan dibolehkan tetap ada, lalu dirangkul untuk bersama dengan bagian diri yang lain untuk tetap berhadapan dengan situasi hidup di depan mata. Respon pertama dan kedua menempatkan diri sebagai budak dari perasaan, karena setiap kali perasaan muncul, ia memerintahkan diri untuk menanganinya saat itu juga, entah dengan cara mengusir perasaan segera melalui aneka hiburan, ataupun berhenti mengerjakan tugas dan menelaah perasaan itu dulu hingga tenang. Sementara respon ketiga menempatkan diri sebagai tuan atas perasaan yang dialami, yang menuntun rasa untuk tetap berani menghadapi situasi.

Pertanyaan yang akhirnya muncul hanyalah, ?Maukah diri ini diam satu jenak, mengayomi rasa negatif, lalu menuntunnya berhadapan dengan situasi konkret?? Satu konduite, diulang dengan konduite kedua, dilakukan ulang terus dalam setiap kesempatan, lambat laun akan sebagai kebiasaan, dan menghasilkan syarat emosi yang sehat.

Referensi/ Daftar Pustaka:

  1. Tolong Saya-Saya Lelah Karena Merasa Tidak Sehat, terjemahan dari Help Me-I'm Tired of Feeling Bad, by Paul Vereshack, M.D.
  2. Refleksi harian penulis

Minggu, 31 Mei 2020

[OPINI] AKTIVIS BEREFLEKSI

Oleh: Anastasia Levianti

Apa tujuan Anda menekuni aktivitas keberpihakan dan membela kaum lemah?

Menegakkan keadilan?

Membantu sesama memperoleh haknya?

Menciptakan damai & senang dalam kehidupan sekarang?

Memenuhi panggilan hidup?

Mengikuti teladan idola?

Menekuni kesempatan yg terberi?

Balas jasa atas pembelaan yg sebelumnya sudah diterima?

Atau, Anda belum mempunyai tujuan spesifik secara jelas? Anda sekedar mengikuti arus hidup pada depan mata, sembari menunggu pekerjaan yang sempurna buat Anda tekuni. Perlukah aktivis memiliki, ataupun menyadari tujuan dari keberpihakan & aksinya? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita biologi terlebih dahulu dua kondisi berikut.

Ada seorang pemuda yang ditugaskan untuk menyelamatkan sebuah desa di seberang hutan. Hal pertama yg dia lakukan dalam bepergian menuju desa itu merupakan mencari pohon yg sangat tinggi. Setelah menemukan pohon yang dirasanya paling tinggi, ia pun memanjat sampai puncak & berupaya melihat desa yang sebagai arah tujuannya. Ternyata, pohon yang ia panjat masih kalah tinggi dengan rimbunan pohon di tengah hutan, sebagai akibatnya pandangannya terhalang ke arah desa. Namun ia cukup puas, lantaran dia memahami target terdekat yg perlu beliau wujudkan. Ia masuk ke tengah hutan. Setibanya di rimbunan pohon tinggi, beliau memanjat balik keliru satu pohon, dan kali ini, dia bisa memandang leluasa ke arah desa. Ia melihat rintangan-rintangan yg akan ia lalui. Ia turun, melakukan persiapan menghadapi rintangan, dan penekanan melanjutkan bepergian hingga sampai tujuan.

Di saat lain, terdapat jua seorang pemuda, menerima penugasan serupa, yakni menyelamatkan sebuah desa di seberang hutan. Pemuda ini langsung melakukan perjalanan masuk hutan untuk menuntaskan tugasnya menggunakan segera. Pada awalnya, beliau konfiden dengan arah jalan yg dia pilih, lantaran kondisi hutan di pinggir mulai berubah sebagai kondisi hutan di dalam. Setibanya pada tengah hutan, beliau mulai berputar-putar. Beberapa malam berlalu, namun lagi-lagi ia balik ke tempat yg sepertinya sudah pernah dia lewati. Ia lelah, nyaris putus harapan. Ia memutuskan beristirahat beberapa hari sembari memikirkan jalan keluarnya. Setelah kondisinya pulih, ia melanjutkan bepergian. Ia memberi tanda jalan yg sudah dia lalui. Pada saat menemukan pulang jalan yang sudah ditandai, dia memilih jalan lain. Manakala lelah, beliau berhenti buat istirahat. Demikian seterusnya, sampai akhirnya ia semakin mendekati desa tujuannya.

Ambil saat sejenak, buat menyadari kesan utama yang ada dalam diri Anda.

Tidak terdapat kesan?

Atau ada rasa tertentu?

Bila nir ada kesan, tanyakan ke pada diri, apakah Anda ingin memperoleh kesan tertentu?

Jika ?Ya?, maka baca ulang kembali dua paragraf pada atas, hingga mengalami rasa spesifik.

Cecap pada-dalam rasa yg hadir, sampai Anda pun bulat menamai kesan rasa tersebut.

Mungkin, Anda merasa salut pada komitmen dua pemuda dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Ya, tujuan mereka jelas, yakni memenuhi tanggung jawab yang diberikan. Mungkin, Anda mengagumi langkah taktis dari pemuda pertama, sekaligus memahami kondisi pemuda kedua. Ya, pemuda pertama berorientasi pada pentingnya tujuan, sehingga pikiran-tindakannya terarah secara tepat sasaran dan efisien. Sementara pemuda kedua berorientasi pada eksekusi, sehingga sebagian pikiran-tindakannya melalui masa trial-errorterlebih dahulu sebelum sampai ketujuan akhir. Jadi, menurut Anda, perlukah aktivis memiliki, ataupun menyadari tujuan dari keberpihakan dan aksinya?

Ada seorang aktivis yang bergerak di bidang trauma healing atau penyembuhan luka batin. Suatu ketika, ia berjumpa dengan subjek yang hendak diaborsi pada masa bayi, merasa bersaing terus dengan kakaknya yang hanya setahun lebih tua daripadanya, dan sedang terlibat perselingkuhan mendalam dengan beberapa lawan jenis karena tinggal berpisah kota dari pasangan menikahnya. Aktivis sendiri menyadari luka batinnya, dan menemukan penyembuhan pelan-pelan melalui hubungannya dengan subjek yang ia bantu. Tanpa sadar, kedalaman hubungan subjek dengan aktivis menimbulkan salah tafsir pada diri mereka masing-masing. Keduanya berpikir bahwa mereka saling jatuh cinta. Aktivis merasa bertanggung jawab untuk menetralisir kondisi. Kelekatan dua belah pihak perlu dilepas, mulai dari dirinya sendiri. Perjalanan melepas kelekatan pribadi sekaligus selalusiap sedia membantu sesuai permintaan berlangsung bersamaan. Dua arah perjalanan yang bertentangan ini mengalami jatuh bangun. Hingga pada suatu titik, aktivis sadar bahwa tujuan utama adalah melepas kelekatan, sementara kondisi aktual adalah belum 100% rela melepas kelekatan. Peta tujuan dan kondisi saat ini menjadi dasar pengambilan keputusan selanjutnya. Tujuan menjadi pusat dan satu-satunya dasar pertimbangan. Ia memilih menghentikan hubungan dengan subjek terkait hingga minimal kondisinya sendiri kembali netral. Entah bagaimana mekanisme alam semesta bekerja, tindakan aktivis melepas kelekatan dari subjek terjadi bersamaan dengan upaya subjek melepas kelekatan terhadap aktivis maupun beberapa selingkuhannya. Aktivis takjub, lega, bersyukur, dan yakin bahwa tujuan perlu jelas dan ditegakkan, sebagai acuan menimbang, memutuskan, dan bertindak.

Apa akibatnya apabila aktivis nir jernih menyadari tujuan dari keberpihakan & aktivitasnya? Aktivis berisiko salah arah atau salah fokus pada aksinya, yaitu mengutamakan cara / wahana, dan bukan tujuannya.

Dua pengalaman di atas menunjukkan bahwa di samping tujuan yang jelas, ada satu faktor kunci dalam melakukan refleksi, yaitu penempatan diri sendiri sebagai sumber masalah sekaligus sumber solusi. Tanpa faktor kunci ini, analisa seperti lumpuh, karena eksekusinya bergantung pada orang lain, dan mengubah orang lain berada di luar kendali diri sendiri. Lihatlah nasib ragam analisa yang menempatkan pihak eksternal sebagai sumber masalah dan solusi. Kumpulan analisa tersebut hanya menggugah pikiran sejenak, lalu menjadisia-sia tanpa tindak lanjut. Aktivis yang melakukan analisa demikian, dan bukan berefleksi (bercermin-melihat bayangan diri dalam situasi di hadapan), menjadi lupa untuk memberdayakan dirinya sendiri sebagai titik pusat. Mari, Berefleksi!

***

Sabtu, 02 Mei 2020

[TIPS] SELF AWARENESS DALAM KONFLIK

Oleh: Anastasia Levianti

Setiap hari, kita niscaya menghadapi konflik, baik pertarungan dalam diri sendiri maupun pertarungan dengan orang lain dan situasi syarat di luar diri. Inti menurut perseteruan adalah kita mengalami ketegangan dampak disparitas. Konflik dalam diri terjadi contohnya ketika pikiran menyuruh kita buat permanen terjaga sampai tugas terselesaikan tuntas, ad interim badan cita rasanya lelah & sangat ingin rebah. Perseteruan menggunakan lingkungan terjadi contohnya waktu kita menghadapi kenyataan yang tidak sinkron dengan asa, ataupun ketika kita tidak selaras sudut pandang menggunakan rekan tanpa menemukan jalan keluar.

Dalam psikologi, ada setidaknya tiga macam konflik, yaitu approach-approach, approach-avoidance, dan avoidance-avoidance. Konflik approach-approach terjadi saat kita mengalami pertentangan antara dua hal yang sama-sama kita sukai/inginkan/sifatnya positif. Contoh konflik approach-approach misalnya antara tekad meneruskan puasa dengan keinginan makan teratur untuk memulihkan lambung yang luka. Puasa dan makan teratur sama-sama positif sifatnya atau diinginkan.

Konflik approach-avoidance kita alami saat menghadapi pertentangan antara hal yang kita inginkan (arah positif) dengan hal yang kita hindari (arah negatif). Misalnya, seorang perempuan sangat ingin menjadi ibu rumah tangga agar dapat total melayani keluarga, namun sekaligus juga tidak mau bergantung pada suaminya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Melayani keluarga sifatnya positif atau diinginkan, sementara bergantung secara finansial kepada suami sifatnya negatif atau tidak diinginkan.

Dari paparan di atas, pembaca tentu dapat menduga, bahwa konflik avoidance-avoidance terjadi saat kita mengalami pertentangan antara dua hal yang sifatnya sama-sama negatif atau kita hindari. Contoh dari konflik ini ialah saat kita tidak suka dengan sikap rekan kerja, namun kita juga enggan menyelesaikan tugas tim sendirian. Kita menghadapi dua pilihan yang sama-sama tidak kita inginkan, namun menuntut kita untuk tetap memilih.

Asal: www.Dosensosiologi.Com

Ketegangan dan ketidaknyamanan yang dirasakan saat berhadapan dengan konflik diinterpretasikan oleh otak kita sebagai sinyal bahaya. Otak kemudian dengan cepat mengambil alih kendali diri untuk melakukan upaya penyelesaian konflik. Upaya pemecahan masalah dapat mengadposi kebiasaan umum yang berlaku menurut akal sehat (common sense), mengikuti cara penyelesaian yang dilakukan oleh orang lain di sekitar kita (vicarious learning), memilih mengikuti dorongan yang paling dominan untuk memperoleh kenyamanan/menghilangkan ketegangan (emotional focus solving), ataupun melakukan analisa sintesa dalam rangka menemukan akar masalah dan menyelesaikannya (problem focus solving).

Ada beberapa rambu yang perlu kita perhatikan saat menimbang sesuatu, agar hasil common sense setidaknya logis dan objektif (Solso, 2005). Beberapa rambu tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Rambu mayoritas: suara terbanyak atau mayoritas belum tentu benar
  2. Rambu atribut popularitas: opini figur populer belum tentu benar
  3. Rambu atribut otoritas: pandangan figur pimpinan, ataupun mematuhi norma tanpa pertimbangan konteks, belum tentu benar

4. Rambu kekuatan/dominan: mematuhi desakan karena takut ancaman, ataupun mengikuti pengaruh orang yang dominan, belum tentu benar

  1. Rambu ?Kambing hitam?: apapun pandangan kita tentang orang lain & lingkungan sebetulnya lebih mendeskripsikan dinamika batin eksklusif daripada fenomena pada luar diri

Vicarious learning atau belajar dengan cara meniru sebenarnya sering kita lakukan. Di Indonesia, praktik belajar dengan cara meniru dikenal dengan singkatan 3M, yaitu memperhatikan, mengikuti, dan memodifikasi (Krismastono, 2019). Agar optimal memperhatikan, kita perlu mengaktifkan panca indera. Misalnya saat belajar memasak, alih-alih hanya melihat dan mendengar video masakan, kita dapat juga menyentuh langsung, mengenali aroma, ataupun mencicipi produk masakan. Perhatian kita juga akan lebih cermat manakala kita mengulanginya beberapa kali, ataupun mendiskusikan hasil observasi kita ini dengan orang lain yang juga melakukan observasi serupa. Pengulangan juga perlu dilakukan saat praktik mengikuti. Seorang pelatih senior menganjurkan agar peserta mengulangi hal yang dipelajari sampai sepuluh kali. Meski ada peserta yang sudah cukup paham setelah pengulangan ketiga sampai kelima, manfaat tetap akan diperoleh bilamana peserta disiplin mengulanginya sampai sepuluh kali. Practices indeed make us perfect, iya kan? Hasil pengulangan akan membantu kita menemukan intisari pembelajaran, yang kemudian menstimulasi kita untuk mengembangkannya melalui elaborasi ide pribadi.

Asal: www.Rumahfilsafat.Com

Emotional focus coping ditujukan untuk menyalurkan ketegangan agar reda dan tidak berdampak destruktif. Ada beberapa cara penyaluran emosi negatif yang dialami saat konflik. Langkah pertama adalah walk out. Kita dapat minta ijin waktu jeda 5-15 menit ke kamar mandi. Kita dapat membasuh wajah dengan air, menghirup udara segar, dan minum segelas air putih. Gerakan menyediakan waktu untuk pribadi ini dapat membantu kita kembali berpusat kepada prinsip diri, sekaligus melapangkan hati untuk berempati menangkap kebutuhan inti orang lain/inti tuntutan situasi di balik paparan informasi yang tampak di permukaan. Bilamana walkout tidak dimungkinkan, kita dapat menggosok-gosokkan telapak tangan, memijat jari jemari, ataupun mengempitkan kedua telapak tangan di ketiak. Menurut hasil penelitian para ahli healing dalam komunitas capacitar, emosi negatif tersimpan dalam jari-jemari, sehingga gerakan memijat, menekan, mengelus, dan gerakan apapun yang kita lakukan secara sadar terhadap jari jemari kita akan membantu kita melepaskan emosi negatif yang kita rasakan. Intinya adalah kesadaran penuh pada gerakan, dengan cara menyediakan waktu untuk memperhatikan diri sendiri serta melambatkan tempo aktivitas sejenak.

Problem focus coping yang dewasa ini berkembang adalah pemikiran komputasional (Krismastono, 2019). Kita mencoba memecahkan masalah sebagaimana komputer melakukannya. Ada empat tahapan dalam pemikiran komputasional, yaitu dekomposisi, pengenalan pola, algoritma, dan identifikasi. Dekomposisi kita lakukan dengan cara menguraikan masalah. Masalah yang diuraikan membuat kita merasa lebih ringan dan mudah memahami keadaan masalah yang dihadapi. Misalnya, saat menghadapi tumpukan pekerjaan rumah tangga, sampai kita merasa berat sekali, namun juga tahu bahwa kita harus mengerjakannya, kita dapat memulai penyelesaian dengan cara memecah tumpukan pekerjaan berdasarkan kelompoknya (cucian dipisahkan berdasarkan jenis, dst., sehingga kita menghadapi bukan tumpukan berantakan yang membuat rasa tidak nyaman, melainkan tumpukan rapi yang membangun  kesiapan untuk mulai mengerjakan). Kebiasaan melakukan dekomposisi lambat laun membuat kita mudah mengenali benang merah saat menghadapi masalah. Benang merah atau pengenalan pola di balik paparan informasi ini akan membantu kita lancar memahami algoritma-keterkaitan logis, seperti hubungan sebab akibat langsung di antara dua hal. Identifikasi akar masalah dan solusi pun menjadi mudah kita lakukan. Untuk menyempurnakan hasil pemikiran, kita dapat membiasakan diri melakukan review setiap tahapan dan mengevaluasinya sebelum melakukan eksekusi solusi.

Yuk, kita coba praktik sejenak melalui studi masalah berikut. Ada seorang biasa, berumah tangga dan bekerja dengan mengutamakan nilai-nilai luhur dalam aktivitasnya, yang akhir-akhir ini mengalami kelelahan. Meski tugas demi tugas diselesaikan sesuai baku, tetapi tugas demi tugas baru tiba dengan tempo lebih cepat, sehingga tumpukan output kerja tidak memadai bila dibandingkan dengan tumpukan tugas baru yg menanti diselesaikan. Segala upaya optimal pekerja pula kurang dihargai oleh lingkungan sekitarnya. Hasil kerjanya nir lepas berdasarkan kritik dan cemooh, entah itu disampaikan secara langsung & objektif, ataupun menggunakan bisik-bisik pada belakang kehadirannya & subjektif. Jiwa raganya sangat lelah.

Bagaimana penyelesaian studi kasus tersebut dapat dilakukan? Pekerja bisa saja mengikuti saran atasannya untuk lebih rileks dalam bekerja, menyelipkan kesenangan di tengah waktu kerja, dan menambah waktu kerja dengan mengerjakan tugas juga di luar jam kantor (pengaruh otoritas). Pekerja juga bisa meniru teladan atasan lain yang fokus membuat skala prioritas, mengerjakan hanya yang penting saja, dan menyelesaikan pekerjaan yang datang berdasarkan skala prioritasnya (vicarious learning). Ia sendiri dapat menciptakan waktu jeda untuk diam sejenak, lepas dari rutinitas memenuhi tuntutan tugas yang terus bertambah, agar stamina jiwa raganya pulih dan siap kembali beraktivitas menyelesaikan tugas (emotional focus coping). Dalam keadaan siap, ia sadar, bahwa ia perlu melakukan perubahan cara kerja. Pola kerja yang sama tidak cukup memadai untuk memenuhi tuntutan yang terus bertambah. Alternatif saran yang tersedia adalah menambah waktu kerja dan memilah pekerjaan berdasarkan skala prioritas. Ia juga terpikir untuk menjaga tempo kerja, dengan cara tidak mengejar kualitas - kesempurnaan saja yang memakan waktu lama, melainkan memperhatikan juga batasan waktu pengerjaan selama proses penyelesaiannya. Selain itu, ia juga perlu lebih disiplin mengatur kemauan badannya, untuk merelakan waktu istirahatnya digunakan sebagai waktu tambahan penyelesaian tugas (problem focus coping).

Apakah cara lain solusi pada atas berhasil menyelesaikan perkara yang dialami? Sering kali, penyelesaian yg dilakukan nir cukup memuaskan, karena tidak seluruh rencana penyelesaian sungguh bisa dilaksanakan pada keseharian. Pekerja belum terbiasa mengatur kemauan badan, sebagai akibatnya stamina menambah ketika kerja masih naik turun & belum konsisten. Sementara itu, tumpukan kerja terus datang bertambah. Tekanan beban kerja tidak bisa diimbanginya menggunakan peningkatan stamina & pembentukan norma kerja baru yang lebih efektif. Jiwa raganya belum terlepas dari kelelahan. Sukacita belum memenuhi kegiatan kerjanya.

Pada titik ini, kita mendapat kesempatan untuk lebih masuk ke dalam diri, melakukan refleksi, untuk menyadari keberadaan aktualita yang lebih hakiki. Untuk dapat masuk ke dalam diri, diperlukan keadaan hening. Kita dapat menciptakan keheningan dengan cara melakukan jeda, yaitu dengan menghentikan aktivitas yang sedang dilakukan, mencari tempat untuk tenang menyendiri, dan rileks melepaskan semua ketegangan melalui hembusan dan tarikan napas yang teratur. Melalui napas teratur, kita dapat menajamkan indera untuk merasakan situasi dan kondisi di sekitar, meskipun kita tidak aktif mengamati - menginderanya dan tidak terlibat di dalamnya. Melalui kesadaran pada napas teratur, pikiran kita juga akan lebih jinak, tidak agresif memimpin tindakan pemecahan masalah berasarkan keterdesakan/sinyal bahaya yang ditangkap otak. Melalui kesadaran pada napas teratur, pelan-pelan kita melepaskan kelelahan, ataupun keterikatan diri pada tuntutan pemenuhan tugas, yang tanpa sadar membuat kita lelah. Melalui kesadaran pada napas teratur, cakrawala pandang kita meluas, kondisi penuh desakan seperti “kiamat” kini terlihat harmoni ibarat “surga”. Ada keyakinan dalam hati kecil bahwa semua baik-baik saja. Ada gerakan cinta yang lembut untuk mulai dengan tenang aktivitas yang paling diperlukan dalam penyelesaian tugas. Melalui kesadaran diri pada napas teratur, sikap dan tanggapan kita terhadap situasi yang sama (yaitu sama-sama belum memenuhi standar sempurna), akan menjadi lebih bersifat cinta merawat, daripada  rasa tidak suka dan nafsu memperbaikinya. Energi cinta akan menjaga stamina terlepas dari kelelahan buta yang tidak perlu. Energi cinta akan membantu kita untuk sabar bertekun dan damai bersyukur selama bertekun hingga selesai.

Sumber: www.Vectorstock.Com

Jadi, apa yang dapat kita lakukan untuk menghadirkan self-awareness dalam situasi konflik sehari-hari?

1.Let it flow, ikuti arus yang berjalan:

common sense, vicarious learning, emotional focus solving, problem focus solving, yang tetap saja berakhir pada rasa tak berdaya meski  segala upaya telah dilakukan.

2.   Hentikan sejenak langkahmu sekarang:

pejamkan sejenak matamu yang lelah, rasakan kelelahan misalnya sia-sia;

diamlah sejenak bibirmu tidak bicara, abaikan kata-kata mematung ad interim;

abaikan sejenak pemberontakan rasuki jiwa, dan abaikan dirimu digerakkannya;

hidup memang penuh peluh, buat siapa saja yg membuatmu penuh;

tapi pernahkah kau berpikir, perlu ada ketika tuk nurani bicara;

jernihkan sejenak pikiran keruhmu, coba sadari insan yg semakin rapuh;

panjatkan sejenak doa sederhanamu, undanglah Dia masuk ke dalam bingkai hatimu;

rasakan sejenak genggam erat tanganKu, jangan pernah kau biarkan cintaKu (Wiji Tukul).

3.Loving by serving, cinta merawat yang di hadapan dengan tulus melayani pemenuhan kebutuhan:

Orientasikan diri untuk bertanggung jawab penuh menyelesaikan semua tugas (Yes, I do).

Tangkap tujuan utama, buat skala prioritas kerja menurut dampaknya pada pencapaian tujuan.

Diam (tenang) & bekerjalah. Sabar bertekun & tenang bersyukur.

Doa, meditasi, damai, ketika jeda, akan mengasah pisau kesadaran diri buat terus hayati dan terus mencinta.

Cloud Hosting Indonesia