Oleh: Sylvania Hutagalung
Menarik atau tidaknya hayati berbanding lurus menggunakan menarik atau tidaknya pertanyaanmu
Tahun 2016 menjadi tahun istimewa dalam dunia arsitektur, dimana seorang Alejandro Aravena, berturut-turut, tampil dalam dua panggung prestisius arsitektur dunia, yaitu dengan menjadi kurator Venice Architecture Biennale 2016 dan menerima penghargaan Pritzker dalam waktu yang berdekatan. Hal ini cukup mengejutkan karena baru kali ini seorang arsitek yang mempunyai pandangan sosialis mendapat kepercayaan setinggi itu. Apalagi di tengah konteks praktik berarsitektur yang masih didominasi pengaruh neoliberalisme. Dunia arsitektur global seperti mendapat kegairahan baru dengan pertanyaan-pertanyaan kritis Araven yang mencoba “menggoyang” karakter praktik arsitektur hari ini, yang steril dan elit. Tema kuratorialnya pun cukup mengigit dengan mengambil judul, “Reporting from the front.”
![]() |
Poster utama menurut Arsitektur Biennale pada Venesia 2016 menceritakan mengenai tantangan global praktik arsitektur yg semakin kompleks & dorongan untuk berkolaborasi lintas batas. |
Poster diunduh dari www.Labiennale.Org/en/architecture/exhibition/
Reporting from the front, atau memberitakan dari garis depan, mempunyai makna bahwa arsitektur, di tengah globalisasi dan keterhubungan nir batas, harus mampu menjadi ‘alat’ yang merekam dan memberitakan kondisi-kondisi nyata yang ada di sekitarnya. Dengan mengambil analogi jurnalistik, arsitek dan kegiatan berarsitekturnya didorong untuk punya keberanian memberitakan, ketajaman dalam mengkritik, juga integritas dalam mengungkapkan fakta dan data. Analogi jurnalistik juga mengandung arti penting, yaitu arsitek menjadi “agen” yang kemudian harus berjejaring untuk bisa melakukan produksi pengetahuan bersama. Hal ini menjadi kunci karena tanpa produksi pengetahuan bersama, kegiatan berjejaring tidak akan memberikan terobosan apapun. Tema kuratorial yang digagas Araven memang banyak dikritik sebagai usaha melebarkan batas arsitektur konvensional. Ilmu arsitektur masih dianggap berada di domain ilmu keteknikan, bukan ilmu sosial atau ilmu budaya. Dengan mendorongnya ke arah ilmu sosial, banyak ahli yang khawatir arsitektur akan kehilangan “giginya”. Aravena juga dicap terlalu ambisius dengan berusaha menjawab tantangan global melalui arsitektur. Seakan arsitektur bisa menjadi pahlawan. Namun, terlepas dari semua pro dan kontra, kita harus mengakui bahwa, inilah, untuk pertama kalinya, perbincangan lintas batas terjadi di atas panggung arsitektur sekelas Venice Biennale.Tentu, sebuah pameran tidak serta merta menjawab semua permasalahan global saat ini. Meskipun tema biennale menyerukan ajakan untuk berjejaring, pada kenyataannya jejaring justru adalah alat yang dipakai sistem neoliberalisme untuk mengakumulasi semua sumber daya ke puncak-puncak piramida. Seorang kritikus seni dari Perancis, Nicolas Bourriaud, menulis dalam bukunya Relational Aesthetics (1998) mengenai fenomena globalitas beserta eksesnya, yaitu matinya relasi-relasi sosial dalam masyarakat akibat komodifikasi. Ya, kita harus mengakui bahwa di masyarakat modern seperti sekarang pun, sekat dan kelas sosial itu masih begitu nyata. Perbincangan dan kolaborasi lintas batas masih menyisakan pertanyaan besar yang belum bisa dijawab dengan terbuka, mengenai siapakah yang diuntungkan dan siapakah yang dirugikan. Pertanyaan ini seringkali enggan dijawab karena kita sering kali terjebak pada batas, baik batas secara fisik maupun batas-batas imajiner secara sosial.
![]() |
Dalam Relational Aesthetics (1998), Bourriaud berargumen bahwa praktik “seni tinggi” cenderung menjadi monopoli elit dan rawan komodifikasi. Seni partisipatoris menawarkan cara lain, yaitu memperbaiki relasi-relasi sosial yang rusak karena praktik ini melibatkan komunitas sebagai pelaku dan hanya bisa terjadi sekali, yang artinya tidak bisa dikomodifikasi. Foto Nicolas Bourriaud diunduh dari http://www.philomonaco.com/intervenant/nicolas-bourriaud/ |
![]() |
Ephemeral architecture atau arsitektur yang sementara, menjadi salah satu isu yang panas di ajang Venice Biennale 2016. Arsitektur yang sementara erat kaitannya dengan kondisi kritis, perang, kebencanaan, juga kondisi alam yang ekstrim. Sekolah terapung Makokok di Lagos, Nigeria, menjadi salah satu respon terhadap tantangan perubahan iklim global. Karya ini mendapat penghargaan medali perak dalam Biennale Arsitektur di Venesia 2016. Makoko Floating School di Lagos, Nigeria. Foto berasal dari NLÉ Facebook page untuk artnet.com, diunduh dari https://news.artnet.com/art-world/makoko-floating-school-collapses-architecture-522287 |
![]() |
Peristiwa Tsunami di Aceh pada Desember 2004 menjadi titik awal kebangkitan kembali gerakan arsitektur berbasis komunitas. Karakter praktik seperti ini dahulu pernah dimulai oleh tokoh seperti Romo Mangunwijaya, dengan praktiknya di Kampung bantaran Kali Code. Saat ini, motif yang terkait kebencanaan, kekerasan, dan ketidakadilan ruang dalam lingkup urban, menjadi motif utama gerakan arsitektur berbasis komunitas di Indonesia. Tsunami di Aceh diunduh dari https://weather.com/news/news/tsunami-debris-indonesia-10-year-anniversary |
Hal ini pula terjadi pada global arsitektur. Ketika insiden berarsitektur harus melibatkan komunitas, yang terjadi justru komunitas berakhir ?Sebagai? Objek, sesuatu yang harus dibantu, perkara yang wajib dipecahkan, sebuah tujuan. Komunitas jarang dilihat menjadi pelaku berdasarkan kolaborasi itu sendiri. Arsitektur pada era modern hanya percaya diri saat dia dibicarakan menjadi kerja-kerja keteknikan. Dengan istilah lain arsitektur dibatasi hanya buat arsitek. Di sini arsitektur sebagai sebuah ilmu yang sangat elit, punya bahasa yg tinggi, juga sangat otonom. Arsitektur menjadi monopoli arsitek, seakan tidak ada orang lain yang mampu mengerti & menguasainya selain arsitek. Dan ini sebenarnya sangat aneh mengingat ilmu ini adalah sintesa dari seni dan keteknikan, yg merupakan pada pada ilmu ini terkandung aspek-aspek sebagai ilmu sosial sebagaimana juga aspek-aspeknya sebagai ilmu terapan.
Di dunia arsitektur Indonesia sendiri, karakter praktik berbasis komunitas ini cukup poly menerima perhatian, baik dari kalangan mahasiswa & kalangan praktisi. Arsitek dan organisasi yg memilih jalur ini juga bentuknya sangat cair & lebur menggunakan organisasi kemasyarakatan. Kita bisa melihat model di Ciliwung Merdeka, yang lebih banyak bergiat pada jalur advokasi & politik. Juga ada Arkom Yogya yg memilih bergiat di jalur fasilitasi & pendampingan warga . Tak ketinggalan ASF-Indonesia yang masih setia berkiprah di jalur arsitektural, walau karakter praktiknya sangat lentur & mensyaratkan kemandirian dan partisipasi aktif dari komunitas yg dilayaninya.
Kegairahan misalnya ini tentu mendapat respon yg beragam. Sebuah gerombolan riset arsitektur berdikari, REMBUK!, pernah melakukan pemetaan terhadap jejaring praktik dengan karakter partisipatoris, salah satunya adalah praktik arsitektur yg berbasis komunitas. Dari penelitian pada 3 kota, Bandung, Solo, dan Jakarta, terlihat bahwa praktik arsitektur komunitas ini lahir menggunakan dilatari sang beberapa karena, yaitu peristiwa bala tsunami pada Aceh, penggusuran yg semakin marak, & krisis perumahan yg semakin nir terkendali. Ketiga motif ini jua yang menjadi alasan mengapa praktik arsitektur komunitas lebih poly ditemui di kota-kota besar pada wilayah Jawa.
Dari kalangan arsitek belia, tawaran buat terjun ke masyarakat menjadi suntikan semangat di tengah kejenuhan karakter praktik spesial biro. Ada sebuah ?Ruang main? Baru yang sangat cocok dengan darah belia mereka. Pun begitu dengan asosiasi misalnya IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) yg mulai melirik karakter praktik seperti ini menjadi sebuah industri baru, yang diperkirakan akan lebih poly mengambil peran di global rancang bangun di masa depan.
Meski demikian, kekhawatiran tidak urung hadir, terutama dari kalangan akademisi, yang melihat bahwa praktik ini menjadi ekses dari ilmu arsitektur yang ekspansif. Tidak adanya batas jelas tentang ?Kapan arsitek masuk dan kapan arsitek berhenti? Menciptakan seluruh kiprah seakan diambil sang arsitek. Alih-alih membuatkan tugas & berkolaborasi, arsitek & rakyat menjadi satu entitas yang sama, tanpa terdapat keragaman keahlian yang sebenarnya disyaratkan pada partisipasi aktif pada praktik arsitektur komunitas. Konsekuensinya, seluruh hal yang dilakukan oleh arsitek dipercaya sebagai arsitektur. Dan warga yg ikut membangun pula dipercaya menjadi arsitek. Etik pada gelar ?Arsitek? Lalu sebagai sumir lantaran tidak adanya justifikasi mengenai ?Apakah arsitektur? & ?Siapakah arsitek?.
Kendala lain yang juga mengemuka merupakan kecenderungan dunia rancang bangun buat menstandarkan praktik berarsitektur yang terdapat. Kecenderungan dari globalisasi memang akhirnya akan mendorong arsitektur komunitas untuk menjadi sebuah industri baru di masa depan. Ini pula terlihat berdasarkan bisnis IAI yg mulai memasukkan pola dari praktik ini ke dalam materi penataran tingkatan. Usaha ini dipandang oleh poly kalangan menjadi sebuah pembacaan yang hiperbola mengingat motif ?Kebangkitan? Kembali praktik ini merupakan sebuah kebutuhan yg sementara (kebencanaan, dan ketidakadilan ruang). Dengan memaksakannya menjadi sebuah industri, secara tidak eksklusif kita pula memelihara motifnya untuk terus terdapat demi keberlangsungan indutrinya, hal yang akhirnya menjadi sesuatu yg ironis.
Andrea Fitrianto, galat seorang arsitek yang banyak terjun beserta masyarakat, pernah menyampaikan bahwa keragaman karakter praktik dalam arsitektur di Indonesia waktu ini seharusnya dipandang menjadi perluasan ?Ruang main? Saja, tanpa wajib ?Menggoyang? Dasar-dasar etika praktik arsitek konvensional. Ketika di masa depan, karakter praktik ini tidak relevan lagi, maka dasar-dasar etik seseorang arsitek seharusnya nir wajib ikut berubah. Yang perlu diapresiasi adalah, praktik arsitektur komunitas sanggup memperkaya perspektif berarsitektur, yg tadinya sangat otonom menjadi egaliter, yang tadinya sempit (menjadi ilmu menciptakan) menjadi luas (sebagai ruang partisipasi dalam pembangunan), dan yang paling penting, arsitektur kembali ke fitrahnya, sebagai ilmu yg mengakomodasi kebutuhan semua pihak. Arsitektur wajib kembali dilihat menjadi platform yg memungkinkan orang-orang berpartisipasi dan berkolaborasi secara aktif. Arsitektur merupakan indera, bukan tujuan.
Dengan kompleksitas permasalahan yang kita hadapi sekarang, dimana satu perkara berpilin erat menggunakan masalah lain, sulit buat melihat masa depan yg lestari jika kita masih bergantung pada satu sosok pahlawan buat menuntaskan semua konflik kita. Kita adalah bagian menurut perkara, & dengan pencerahan ini pula kita mengakui bahwa kita adalah bagian berdasarkan solusinya. Kita seluruh, menjadi bagian berdasarkan komunitas.
Ironi warga warta merupakan, keterhubungan tidak berbanding lurus dengan kedekatan. Peristiwa ?Terhubung satu sama lain? Bukanlah insiden yang didasari oleh inisiatif individunya, akan tetapi sebagai kondisi yang tak terhindarkan. Kualitas relasi tidak semakin baik karena nir terdapat tujuan-tujuan beserta yang ingin dicapai. Globalisasi menjadi keniscayaan & kita semua ikut bergulir bersamanya. Banyak pakar berpendapat bahwa masa depan terdapat pada komunitas. Komunitas bukan saja sebuah bentuk ?Perlawanan? Terhadap sistem dunia. Komunitas pula adalah arena belajar nyata, dimana kita sanggup terhubung eksklusif dengan tantangan simpel & isu-isu lokal. Ini adalah jangkar yg membawa kita menjejak kembali ke akar-akar masalah kita, pangkal yang wajib kita tilik sebelum meloncat ke pencarian solusi. Berjejaring tidak lagi wajib dilihat sebagai sebuah mesin besar dimana kita semua berada di dalamnya. Berjejaring seharusnya dicermati sebagai formasi komunitas-komunitas berdaya yang saling menguatkan satu sama lain.