Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Februari 2007. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Februari 2007. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Juli 2020

[Wawancara] Ketika Aktivis Perempuan Menjatuhkan Pilihan

Seseorang adalah teman bagi dirinya sendiri dan karenanya ia bertanggung jawab atas dirinya sendiri: dia sendirilah yg memilih segala sesuatu mengenai dirinya.
(Mahabaratha)
Ungkapan di atas, sejalan dengan perilaku para aktivis wanita. Para aktivis wanita sepertinya sangat paham bahwa setiap langkah / keputusan yg diambil, lahir berdasarkan diri mereka sendiri lantaran memang mereka yang menginginkannya dan siap dengan segala konsekwensinya. Salah satu contohnya, perilaku mereka terhadap pernikahan dan memiliki anak.
Para aktivis perempuan menjatuhkan pilihan mereka. Ada sebagian aktivis wanita yg memilih melajang & sebagian lagi memilih menikah / berkeluarga. Untuk fenomena yang ke 2, terbagi lagi atas 3 gerombolan : terdapat yang memilih menikah & meninggalkan kegiatan-kegiatan mereka sebelumnya, menentukan menikah tetapi memilih untuk tidak memiliki anak & menikah & memiliki anak.
Tim redaksi berhasil menghubungi beberapa aktivis perempuan & mengungkapkan mengenai pilihan yang mereka jalani.

Indrasari Tjandraningsih (Mbak Asih,Peneliti Bidang Perburuhan AKATIGA, Bandung)
Mbak Asih menikah & memiliki anak. Ia permanen beraktivitas sehabis menikah & mempunyai anak. Sebagai seseorang peneliti bidang perburuhan & seringkali bepergian ke luar kota atau luar negeri, Mbak Asih sering meninggalkan anak-anaknya. Anak-anak tinggal bersama suami & pengasuh.
Mbak Asih menaruh pengertian pada anak-anaknya bahwa, seseorang bunda wajib bekerja. Bukan buat kepentingan finansial semata, tetapi juga wacana ekspresi si bunda. Namun kerja itu macam-macam. Nah, diberi pengertian lagi ke anak, bahwa ibu mereka peneliti & akan tak jarang meninggalkan kalian. Mbak Asih juga menjelaskan ke anak-anaknya bahwa waktu ia meninggalkan mereka itu bukan buat tamasya, namun bekerja. Intinya anak memahami kegiatan ibunya. Apa, kapan, di mana & bagaimana-nya.
Wardah Hafidz (Mbak Wardah,Koordinator UPLINK, Jakarta)
Seperti halnya Mbak Asih, Mbak Wardah menetapkan buat menikah. Tetapi, tidak selaras menggunakan Mbak Asih, Mbak Wardah tetapkan buat nir mempunyai anak. Memutuskan pada sini memang selesainya melewati pemikiran & pertimbangan-pertimbangan.
Mbak Wardah mengungkapkan bahwa pada awal-awal pernikahan, dirinya & suami memang ingin mempunyai anak. Tetapi, ketika semakin sibuk dengan kegiatan masing-masing, mereka kembali mempertanyakan asa mereka buat punya anak tadi. Apakah pada tengah kesibukan keduanya yang sedemikian padat, mereka sanggup mengurus anak? Anak, menurut Mbak Wardah, selain sebagai hadiah atau anugrah juga merupakan jujur. Sebagai amanah, merawat & mendidik anak itu wajib sebaik mungkin. Kalau sanggup malah seratus % ketika & perhatian. Mbak Wardah & suami nir mau setengah-1/2. Kembali melihat kesibukan keduanya, akhirnya mereka menetapkan buat tidak mempunyai anak. Perhatian & energi seratus persennya, dicurahkan ke kegiatan-kegiatan sosial.
Evelyn (Eppel), Bandung
Sebelum menikah, Eppel sempat aktif sebagai relawan di beberapa LSM. Kemudian, ketika “ada lamaran yang datang”, ia memutuskan menikah dan mempunyai anak. Pada awalnya, Eppel sempat mencoba tetap beraktivitas. Namun, ia merasakan bahwa ruang geraknya dalam beraktivitas jadi terbatas karena ada anak dan ia juga belum rela melepas perawatan anaknya ke orang lain (orang lain di sini bukan hanya pengasuh, tetapi juga anggota keluarga yang lain, seperti ayah ibu atau mertua). Hal ini karena ia ingin membesarkan anaknya dengan cara yang menurutnya terbaik, yang mungkin cara-caranya agak berbeda dengan orang lain. Misalnya dengan home-schooling.
Tetapi, Eppel membicarakan bahwa tidak tertutup kemungkinan bahwa dia akan balik beraktivitas, di bidang apapun.
Dari ?Curhatan? Tiga perempuan aktivis pada atas, tergambar bahwa ternyata nir masih ada keseragaman pilihan. Hal ini tentunya pula berlaku universal. Pilihan, akhirnya tetap menjadi problem personal, masing-masing, berikut alasan-alasan dan konsekuensi-konsekuensinya. Dan yg terpenting merupakan apakah pilihan itu benar-benar adalah pilihan bebas, sadar yg dapat dipertanggungjawabkan & bukan sekedar mengikuti tuntutan sosial semata (Tim Redaksi)














[Jalan-jalan] Balai Perempuan Ala Turki melongok pengalaman FSWW - Turki

Segera setelah gempa bumi di Marmara tahun 1989, FSWW (The Foundation for the Support of Women's Work), sebuah yayasan yang mendukung kerja perempuan, mendirikan “Pusat Kegiatan Perempuan dan Anak”.
Kegiatan awal FSWW merupakan pendampingan bunda-ibu buat berbagi tempat penitipan anak, sentra pendidikan anak dan pusat kegiatan wanita pada kota Istambul. FSWW juga bekerja sama dengan perempuan -perempuan di wilayah bencana, misal di daerah Marmara, agar komunitas-komunitas perempuan di daerah tadi mampu menjadi aktor primer pada setiap termin penanganan bala, mulai dari waktu tanggap darurat sampai pada proses rekonstruksi. Sedangkan di bagian tenggara Turki mereka bekerja sama menggunakan wanita-perempuan lokal agar lebih berpartisipasi aktif pada dalam program pembangunan daerah & di dalam proses pengambilan keputusan.

FSWW memfasilitasi dan mendukung perempuan untuk mendefinisikan masalah-masalah mereka, menghasilkan pemecahan-pemecahan untuk masalah-masalah tersebut dan untuk membangkitkan dan mengaktifkan potensi-potensi yang dimiliki oleh para perempuan itu sendiri. Kemudian mereka mendirikan “Ruangan Perempuan” (Women’s Rooms), di mana perempuan dapat berkumpul bersama, mendiskusikan masalah-masalah mereka dan sebagai wadah untuk mengekspresikan diri mereka. Ini adalah sebuah pintu masuk bagi perempuan untuk menuntut pengadaan sebuah ‘ruang’ untuk memecahkan masalah bersama, menjalankan program penitipan anak, program pelatihan untuk kerajinan tangan, pelatihan tentang pemasaran, simpan pinjam dan bisnis-bisnis kecil lainnya. Di dalam setiap kegitan yang mereka lakukan, perempuan belajar bagaimana cara bernegosiasi dengan pemerintah untuk membuka peluang partisipasi bagi mereka, baik secara fisik maupun politis.
Didirikan nir berapa usang selesainya terjadinya gempa bumi yg menghancurkan segalanya & membuat ribuan orang kehilangan loka tinggal. Mereka berpindah menurut tenda-tenda penampungan ke tempat-loka evakuasi sebelum rumah tetap mereka rampung. Di waktu ?Kritis? Tadi, para perempuan telah mampu membangun sebuah sistem buat bersama-sama merawat anak-anak, mendistribusikan & memperpanjang bantuan-bantuan jangka panjang, & buat tahu dan mengakses donasi pendataan tempat tinggal & aktivitas ekonomi mereka. Saat ini, sudah ribuan wanita ambil bagian pada proses perundingan mengenai tempat tinggal -tempat tinggal mereka, mengumpulkan secara bersama-sama tabungan buat melunasi rumah tetap yang resmi dan buat menekan pemerintah lokal supaya mau bekerja bersama mereka buat membangun semua yang telah dirusak sang gempa bumi.
Yayasan ini didirikan oleh seseorang aktivis perempuan yg asal berdasarkan komunitas rakyat miskin pada Turki, Sengul Akcar, pada tahun 1986. Tujuan yayasan ini adalah mendukung bisnis-usaha wanita agar sanggup berdikari secara finansial, buat mempertinggi kualitas hidup wanita Turki, baik di wilayah perkotaan maupun di pedesaan.
Kegiatan awal FSWW merupakan pendampingan bunda-ibu buat berbagi tempat penitipan anak, sentra pendidikan anak dan pusat kegiatan wanita pada kota Istambul. FSWW juga bekerja sama dengan perempuan -perempuan di wilayah bencana, misal di daerah Marmara, agar komunitas-komunitas perempuan di daerah tadi mampu menjadi aktor primer pada setiap termin penanganan bala, mulai dari waktu tanggap darurat sampai pada proses rekonstruksi. Sedangkan di bagian tenggara Turki mereka bekerja sama menggunakan wanita-perempuan lokal agar lebih berpartisipasi aktif pada dalam program pembangunan daerah & di dalam proses pengambilan keputusan.
FSWW memfasilitasi dan mendukung perempuan untuk mendefinisikan masalah-masalah mereka, menghasilkan pemecahan-pemecahan untuk masalah-masalah tersebut dan untuk membangkitkan dan mengaktifkan potensi-potensi yang dimiliki oleh para perempuan itu sendiri. Kemudian mereka mendirikan “Ruangan Perempuan” (Women’s Rooms), di mana perempuan dapat berkumpul bersama, mendiskusikan masalah-masalah mereka dan sebagai wadah untuk mengekspresikan diri mereka. Ini adalah sebuah pintu masuk bagi perempuan untuk menuntut pengadaan sebuah ‘ruang’ untuk memecahkan masalah bersama, menjalankan program penitipan anak, program pelatihan untuk kerajinan tangan, pelatihan tentang pemasaran, simpan pinjam dan bisnis-bisnis kecil lainnya. Di dalam setiap kegitan yang mereka lakukan, perempuan belajar bagaimana cara bernegosiasi dengan pemerintah untuk membuka peluang partisipasi bagi mereka, baik secara fisik maupun politis.
FSWW adalah salah satu yayasan lokal utama di dalam jaringan GROOTs (Grassroots Organizations Operating Together in Sisterhood) yang tertarik untuk mendukung dan mendirikan program-program pelatihan, perawatan anak dan peningkatan kegiatan perekonomian oleh perempuan akar rumput sendiri tanpa pengawasan pihak luar yang profesional ataupun dari pemerintah. (Lola)
Sebagian besar informasi diperoleh dari situs GROOTs (Grassroots Organizations Operating Together In Sisterhood). www.groots.org








Jumat, 17 Juli 2020

[Tips] SUKSES DI RUMAH SUKSES DI (BER)KEGIATAN

Dalam pengantar sebuah buku, Karlina Leksono, seseorang aktivis wanita, mengungkapkan bahwa dibagi dua wanita dan laki-laki berlanjut ke pemilahan tajam antara dunia publik pria dan dunia domestik wanita. Hal ini juga yang ?Mengurung? Wanita pada tempat tinggal . Pengurungan ini jua berarti pengurungan terhadap kebutuhan perempuan untuk bersosialisasi/buat sanggup juga mengekspresikan dirinya pada masyarakat.

Dengan kata lain, waktu para wanita / ibu-mak ingin aktif berkegiatan di luar rumah, sering mereka berhadapan dengan keluarga (terutama) suami yang melarang, dengan alasan pekerjaan rumah tangga yg menumpuk & pula pakem-pakem lain di masyarakat yang ?Melarang? Perempuan ke luar rumah.


Padahal sebenarnya, wanita mampu menjalankan peran ganda, di rumah dan di (ber)aktivitas di warga menggunakan sukses lho... Asal tahu resep & rumusnya. Berikut di antaranya;
? Bagi saat, buat perencanaan ?..Pilihlah aktivitas yang benar-benar bermanfaat
? Berkegiatanlah pada komunitas-komunitas yg lokasinya dekat dari rumah.
? Pergi beraktivitas waktu anak-anak ke sekolah & suami berangkat beraktivitas pula (waktu tugas-tugas tempat tinggal sudah selesai).
? (apabila wajib meninggalkan anak) beri anak-anak pengertian, bahwa berkegiatan itu penting artinya bagi bunda, bahwa bisa membantu menunjang keluarga.
? (apabila mendapatkan tantangan berdasarkan suami) buktikan pada suami bahwa dengan aktif di aktivitas nir akan mengurangi kualitas perawatan terhadap anak-anak, keluarga ataupun ke suami itu sendiri. Malah, selesainya aktif berkegiatan, lebih pakar dan mahir melakukan semua perawatan-perawatan tadi.
Nah, melihat seluruh itu tentunya si suami akan luluh & mengizinkan para istri aktif pada luar rumah.
? (Jika masih belum bisa biar berdasarkan suami) bolehlah lakukan sebuah bohong ?Putih?. Misalnya; tempat berkegiatan berada pada dekat play group anak. Bilang ke suami bahwa akan pulang ke play group mengantar anak. Setelah tugas mengantar anak selesai, para bunda juga bisa mampir & berkegiatan pada komunitas mereka yg berada nir jauh berdasarkan tempat play class anak.


Poin krusial dari semuanya adalah niat dan motivasi yang kuat buat mampu mempertinggi kemampuan diri.


Selamat berkegiatan...Wahai para aktivis perempuan , kita niscaya sanggup! (Lola)

















[Media] Resensi Film: DARI BENCANA MENUJU KREATIVITAS

Judul : From Disaster To Creativity (Dari Bencana Menuju Kreativitas)
Produksi: GROOTs International
Durasi : 15 mnt
Bencana! Kita, masyarakat Indonesia tentu sudah sangat akrab menggunakan istilah tadi. Bahkan buat rakyat pada beberapa wilayah, kata itu sebagai momok yg seram dan pula menyebabkan trauma. Ya, negara kita memang sering sekali terkena bala, entah itu tsunami, gunung meletus, badai, gempa, banjir, tanah longsor, dll. Walaupun demikian, tentunya kita nir boleh larut dalam kesedihan, yg hanya akan membuat kita berputus asa menghadapi masa depan.
Kita tidak sendiri. Bukan Indonesia saja yang pernah mengalami bencana. Honduras, Turki dan India adalah contoh negara-negara yang juga pernah terkena bencana. Namun mereka, khususnya para perempuan di sana, tidak tinggal diam, tidak berpangku tangan saja. Para perempuan juga ambil bagian, para perempuan membangun kembali kehidupan mereka paska bencana. Hal tersebut didokumentasikan oleh GROOTs, sebuah LSM internasional yang peduliterhadap permasalahan perempuan akar rumput di seluruh dunia, ke dalam sebuah film pendek yang diberi judul From Disaster To Creativity / Dari Bencana Menuju Kreativitas”.

Film ini dibentuk GROOTs dua atau tiga tahun selesainya bala terjadi. Film ini terbagi atas beberapa bagian. Bagian pertama menggambarkan mengenai bala dan dampaknya di Honduras, Turki dan India. Pada tahun 1998, Honduras mengalami badai & sekitar 9000 orang tewas & ribuan orang luka-luka. Berikutnya digambarkan tentang gempa yang berkekuatan 7,6 skala richter di Turki pada 17 Agustus 1999, yang menyebabkan 17 000 orang tewas, 44 000 terluka & 250 000 kehilangan rumah. Kemudian, digambarkan tentang bala pada Gujarat, India. Gempa pada sana menyebabkan 20 000 orang mati, 267 000 terluka & 600 000 kehilangan tempat tinggal. Selain dampak fisik, para korban yg selamat juga harus menghadapi kasus sanitasi yg jelek, hayati pada tenda ad interim yg memprihatinkan untuk beberapa bulan, kesehatan dan makanan yg buruk.
Di bagian berikutnya, terlihat bagaimana para korban, terutama perempuan , sesudah bencana bangkit & mulai menata hidup mereka pulang. Pada waktu selesainya bala, poly sekali donasi yg datang & terdapat ketidakadilan dalam pembagian bantuan, donasi yg salah sasaran, nir tepat ketika dan nir sesuai menggunakan kebutuhan mereka. Ditambah lagi, donasi-bantuan itu tidak berlangsung lama . Menyikapi hal ini, para wanita pun mengorganisir diri mereka sendiri buat menghadapi berbagai kasus tadi. Mereka menciptakan kelompok tabungan, kelompok simpan pinjam, mendirikan sentra kegiatan perempuan , tempat penitipan anak, dll.
Pada bagian ketiga, film ini menerangkan cara-cara yg diambil sang komunitas-komunitas perempuan supaya mereka mampu kondusif bila nantinya terdapat bencana lagi (tindakan-tindakan antisipatif yg mereka lakukan). Di Turki, mereka meminta kabar pada pemerintah mengenai bagaimana cara menciptakan rumah yg tahan gempa. Setelah itu, mereka berjalan keliling kampung buat mengontrol kualitas tempat tinggal -rumah yang sedang dibangun, sudah tahan gempa atau nir. Di Honduras, komunitas wanita mencoba mengajak rakyat lain buat pindah ke daerah yang lebih tinggi, lantaran mereka selalu was-was akan terkena bencana bila tetap tinggal pada daerah yg rendah.
Bagian terakhir film ini, memberitahuakn perubahan-perubahan apa yg dibutuhkan agar komunitas-komunitas wanita bisa bertahan. Langkah awal adalah, perempuan wajib belajar berdasarkan komunitas wanita lain, contohnya Turki belajar berdasarkan India. Dengan istilah lain, terlihat bahwa ternyata perempuan mampu berperan banyak dalam proses penanganan bencana.Namun, kiprah perempuan itu nir terjadi secara alamiah, tidak secara otomatis, perlu adanya pertukaran pengalaman dan pengetahuan.
Film yg menerangkan keberhasilan-keberhasilan komunitas perempuan di Turki, India & Honduras ini, kiranya mampu dijadikan menjadi media untuk proses pembelajaran bagi yang lain, bagi komunitas-komunitas wanita pada Indonesia misalnya.









[Media] POTRET: Majalah khusus Perempuan di Aceh

Di dalam konstruksi rakyat yang patriarki, perempuan ditempatkan menjadi obyek. Sebagai obyek, tentunya perempuan hanya dijadikan menjadi ?Si penderita?, ? Si pelengkap? Ataupun target. Fenomena ?Pengobyekan? Wanita ini kita lihat hampir pada semua sektor, domestik ataupun publik. Untuk yg terakhir, salah satu misalnya di media.
Hal inilah yang dijadikan dasar pemikiran CCDE (Center for Community Development and Education) Banda Aceh, untuk menerbitkan buletin POTRET. Di dalam sebuah edisi, redaksi POTRET mengungkapkan bahwa Perempuan hanya dieksploitasi untuk kepentingan sebuah media yang menafikan potensi dan akses serta kontrol perempuan terhadap media. Idealnya, perempuan adalah sebagai subyek atau pelaku media yang dapat mengembangkan potensi menulis mereka.
Oleh karena itulah POTRET dijadikan sebagai Media Perempuan Aceh, sebuah media pembelajaran bagi wanita Aceh buat mengasah kemampuan & keterampilan menulis. Perempuan diyakini memiliki potensi menulis yang sangat besar . Selain itu perempuan memiliki poly problema yang penting dan menarik buat ditulis.

POTRET adalah buletin bulanan yang diterbitkan CCDE dan didukung oleh Hivos. Pada setiap edisinya, POTRET mengangkat tema-tema yang memang sangat menyentuh perempuan. Dari tema Pendidikan yang publik sampai ke tema Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang domestik.
Rubrik-rubrik POTRET terdiri dari: Salam Redaksi, Surat Pembaca, Sorot, Bingkai, Potret Utama, Blitz !!, Profil, Tips, Sastra, Info Program danrubrik English Version. Isi pada rubrik Salam Redaksi dan Surat Pembaca, sama seperti yang terdapat di dalam buletin / majalah lain. Pada Sorot, menampilkan artikel yang menggambarkan tema edisi yang bersangkutan dan bersifat lebih teoritis. Sedangkan pada bagian Bingkai, yang biasanya terdiri dari beberapa artikel, memuat pendapat, pandangan ataupun pengalaman – pengalaman penulisnya, umumnya bersifat subyektif. Bagian Potret Utama, masih menggambarkan tentang tema utama dan memasukkan langkah-langkah strategis seputar permasalahan dari tema utama. Pada bagian ini terkadang memuat beberapa artikel dan selalu ada artikel yang ditulis dalam bahasa Inggris (English Version). Blitz ! berisi tulisan-tulisan singkat tentang info Pelanggan, Tips, Agenda Kegiatan CCDE, ataupun pengumuman-pengumuman dari luar CCDE. Sedangkan isi Info Program seperti laporan kegiatan yang dilakukan CCDE. POTRET juga menampilkan rubrik Sastra, yang biasanya memuat cerpen ataupun puisi, yang isinya sesuai tema POTRET.
POTRET yg dimaksudkan sebagai wadah / loka bagi perempuan Aceh buat berlatih menulis, menaikkan kapasitas perempuan Aceh dan hadir dalam rangka membentuk budaya menulis pada kalangan perempuan Aceh*, kiranya bisa terwujud.
Kemudian, POTRET diharapkan melahirkan "POTRET-POTRETdanquot;wanita Aceh yg andal dan cerdas. (Lola)
* Diambil dari Salam Redaksi POTRET edisi September 2006.







Kamis, 16 Juli 2020

[Opini] LELAKI AKTIVIS PEREMPUAN

Oleh Tabrani Yunis
Director Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Dalam program Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia yang diselenggarakan sang Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jakarta, di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, lepas 28-31 Agustus 2006, terdapat beberapa laki-laki sebagai peserta & juga panitia. Kehadiran beberapa lelaki pada tengah ? Tengah sekitar 300-an peserta aktivis wanita tersebut, memang seperti mengundang sedikit perhatian bagi beberapa perempuan yg hadir. Tetapi, bagi para aktivis perempuan kehadiran atau keterlibatan beberapa lelaki sebagai peserta dan panitia pada acara tersebut, bukanlah hal yang asing. Lantaran kehadiran laki-laki pada memperjuangkan nasib kaum wanita yg termarginalkan sang aneka macam faktor tersebut, sudah lazim ditemukan. Khususnya pada dunia LSM, kini telah poly kaum laki-laki yang secara eksklusif dan sadar berjuang bersama kaum wanita buat mengangkat persoalan-dilema yang dihadapi oleh kaum wanita marginal baik yang berada pada perkotaan, maupun di pedesaan. Ada yg secara individu aktif pada pada warga & ada jua yg memperjuangkannya melalui organisasi-organisasi misalnya organisasi non pemerintah ( ORNOP). Pendeknya, baik secara individu maupun melalui institusi Ornop, kini poly pria terlibat pribadi memperjuangkan pemugaran nasib kaum perempuan yang terpuruk.

Kehadiran laki-laki pada gerakan perjuangan wanita pada tanah air juga dalam konteks dunia, memang belum sepenuhnya bisa dinyatakan sebagai sebuah bagian dari usaha wanita. Belum seluruh pihak yakin & bisa mendapat kehadiran pria pada konvoi itu, apalagi yang disebut dengan lelaki aktivis wanita atau lelaki feminist. Lelaki aktivis wanita atau pria yg feminist, memang belum sepenuhnya bisa dipercaya atau diyakini menggunakan benar-benar-sungguh oleh para perempuan . Penolakan atau ketidakpercayaan tadi lantaran banyak wanita yang melihat gambaran diri laki-laki pada perspektif yang penuh dengan rasa was-was. Bahkan terdapat yg mengatakan, bagaimana seseorang pria aktivis atau laki-laki feminis sanggup memperjuangkan hak dan nasib wanita. Dalam perpekstif ini laki-laki dikatakan akan tetap laki-laki . Artinya, pria akan pulang dalam ego kelelakiannya. Benarkah demikian?
Kiranya, pandangan demikian nir selamanya sanggup dikatakan benar. Namun, jua nir bisa secara serta merta dikatakan salah . Dikatakan demikian, karena dalam empiris keseharian, pandangan yg radikal terhadap laki-laki tadi memang seringkali terbukti. Ketika, para perempuan merasa sangat kagum terhadap seorang laki-laki yg pada kehidupannya sangat concern memperjuangkan pemugaran nasib wanita, memperjuangkan hak-hak wanita. Namun, poly yg tidak konsisten dengan usaha tersebut. Lelaki yg dipandang dan dilabelkan sebagai lelaki feminist atau lelaki aktivis perempuan , ada yg tidak bisa mengontrol komitmen yg sudah dibangun. Seorang pria aktivis wanita atau seseorang laki-laki yang feminist, sebenarnya mempunyai rambu-rambu yang harus dijaga & dipatuhi, kalau ingin menjadi seorang aktivis atau feminist. Misalnya, menjaga hal-hal yang nir merugikan atau melecehkan wanita. Idealnya, seorang aktivis wanita atau lelaki feminist memang secara totalitas menjalankan prinsip-prinsip & nilai-nilai aktivis & feminist yang dianut. Seorang aktivis perempuan & atau lelaki feminist, diharapkan bisa menyelaraskan antara kata & perbuatan. Artinya, sebagai seseorang aktivis atau seseorang lelaki feminist, bukan hanya ada dalam ujaran atau ucapan-ucapan yg diekspresikan secara ekspresi, namun juga sinkron dengan perbuatan atau pendeknya, diimplementasikan pada rutinitas atau kehidupan keseharian.
Seorang aktivis perempuan dan lelaki feminist, jua sangat diperlukan tidak berucap atau melakukan tindakan yang menyakiti wanita, baik yang bersifat pelecehan, tindak kekerasan juga tindakan lain yg merugikan kaum perempuan . Sebagai galat satu contoh adalah tindakan istri lebih dari satu. Lantaran istri lebih dari satu adalah sebuah tindakan yg merugikan dan melemahkan posisi perempuan . Poligami yang dibenci sang banyak orang baik laki-laki , apalagi kaum perempuan dan aktivis dan lelaki feminist. Maka, bila ada pada antara aktivis wanita yang melakukan istri lebih dari satu, para aktivis wanita & wanita secara generik akan mempersoalkan & mengakibatkan perkara ini sebagai sebuah tindakan yg sangat menyakitkan. Oleh sebab itu para perempuan akan mengecamnya.
Sebuah perbincangan yang sangat hangat tentang perkara istri lebih dari satu pada mailing list wanita, bukan lagi masalah istri lebih dari satu yg dilakukan AA Gym. Namun kali ini para aktivis perempuan waktu ini merasa sangat dikecewakan oleh sikap dan tindakan seorang Ade Armando yang selama ini dipercaya sangat concern menggunakan perkara wanita. Kekecewaan para perempuan & aktivis perempuan terhadap sikap & tindakan Ade Armando yang melalukan istri lebih dari satu bisa kita baca dalam goresan pena Adriana Venny , Direktur Jurnal Perempuan di mailing list perempuan dalam tanggal 15 Februari 2007 yang menulis dalam tulisannya, Berpoligami pada hari kasih sayang. Tulisan itu mendapatkan poly tanggapan menurut peserta yg pada biasanya sangat kecewa terhadap Ade Armando yg telah terlanjur dipercaya pro perempuan .
Berpoligami atau melakukan hal-hal yg merugikan perempuan sang pihak aktivis & lelaki feminist memang sangat dikecam. Karena ini sangat dikecam, maka persepsi & tindakan aktivis perempuan & lelaki feminist yang merugikan wanita acapkali menjadi dilematis jika tidak bisa berlaku konsisten. Sehingga, tatkala terperangkap pada jaring keterlanjuran, yg dilakukan merupakan berusaha mencari alasan-alasan pembenaran. Dan jika nir, maka jalan akhir yang ditempuh adalah jalan akhir menggunakan ucapan ?Aku juga insan.? Nah, jikalau sudah ini jawabanya, maka habislah upaya kita dalam mencari argumentasi. Kondisinya pun sebagai sangat kontroversi.
Agaknya, memang seorang lelaki sebagai aktivis perempuan atau lelaki feminist, memang nir mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Seorang lelaki aktivis wanita atau lelaki feminist mampu dipandang miris terutama dari kalangan laki-laki yang kental menggunakan sifat kelelakiannya. Tantangannya semakin berat waktu tingkat kepercayaan akan keberadaan lelaki aktif & feminist masih sangat rendah. Dan semakin berat tantangannya tatkala terdapat orang-orang atau tokoh-tokoh sekaliber Ade Armando, Masdar & yg lainnya melakukan hal-hal yg kontroversial menggunakan apa yang seharusnya. Lantaran dalam empiris yg sedang berjalan, kala kaum wanita sangat mengecam istri lebih dari satu, kecaman itu misalnya disiram menggunakan tindakan aktivis dan feminist dengan tindakan istri lebih dari satu. Mengecewakan bukan ? Barangkali, sangatlah lumrah, bila kualitas lelaki aktivis & lelaki feminist diragukan. Wajar juga kalau ada sebuah organisasi atau forum dana nir percaya terhadap lelaki pemimpin sebuah Ornop yang memberdayakan & menguatkan perempuan .
Dalam syarat ini, walau keraguan itu masih tinggi, Kita memerlukan eksistensi pria sebagai aktivis wanita atau sebagai lelaki feminist. Ini perlu supaya keterlibatan banyak laki-laki pada membela & memperjuangkan hak-hak wanita yg tertindas. Dengan membentuk perilaku pria aktivis wanita, akan poly laki-laki yg sadar akan perlunya gerakan beserta membela perempuan . Kalau hilang satu, akan ada pria aktivis wanita lain yg masih sanggup tetap berjuang. Bagaimana rekan-rekan?









[Profil] Nenek Della; Tak Tunduk Pada Usia Tak Takluk Pada Hidup

Dalam satu masa kehidupan seseorang, ada kalanya seseorang ’terduduk kalah atas hidupnya sendiri’. Ada yang tetap ’duduk’, meratap, menangis meraung tanpa berusaha untuk bangkit melupakan penderitaan dan menatap masa depan. Namun, sosok lembek seperti itu tidak akan kita temui pada profil Proaktif kali ini, Nenek Della, seorang pemimpin kampung (community leader, CL) UPC Jakarta.
Penderitaan & murung bertubi-tubi sempat menghampiri Nenek Dellayang dilahirkan dalam hari terakhir (31 Desember) tahun 1950 pada Palembang ini. Ia pernah merasa hidupnya hancur & sudah nir ada masa depan lagi buatnya. Beberapa teman, Rasdullah & istrinya, selalu menyemangati Nenek Della buat bangkit, buat tidak selalu bersedih. Caranya yaitu menggunakan berorganisasi. Harapannya, menggunakan bertambahnya sahabat & kesibukan, tentunya kesedihan usang kelamaan akan hilang. Nenek Della diajak bergabung pada aktivitas-aktivitas UPC.

Akhirnya Nenek Della mulai ikut pada aktivitas-aktivitas UPC. Pada awalnya ia susah menyesuaikan diri. Tapi lama kelamaan dia makin tertarik dengan aktivitas-aktivitas di UPC & sedikit demi sedikit mulai melupakan kesedihannya. Kegiatan pertama yg diikutinya merupakan gerombolan tabungan. Sekarang beliau masuk ke bagian advokasi.
Pekerjaan sehari-hari Nenek Della selain aktif di UPC adalah, mengerik dan mencuci kemasan gelas air mineral. Untuk 2000 kemasan (1000 ngerik ditambah 1000 nyuci) ia dibayar sebesar Rp. 10 000,-. Uang ini tidak hanya untuknya, tetapi juga untuk menghidupi satu anak, satu menantu dan tujuh orang cucu. (Satu orang menikmati Rp. 1000,-/harinya).
Nenek Della, sangat bangga kepada cucu-cucunya. Cucu-cucunya yang tidak hanya berpangku tangan melihat keadaan hidup mereka. Seperti cucunya yang tertua, Peggi, kelas 2 SMU, dibebaskan dari membayar uang sekolah karena tidak segan membantu pihak sekolah membersihkan kelas-kelas di sore hari. Bukan hanya Peggi yang tidak perlu membayar uang sekolah, seorang adiknya yang bersekolah di sana pun kecipratan.
Cucu Nenek Della yang lain, Angga, kelas lima Sekolah Dasar, nir segan mencari ikan ke pelelangan di dekat rumah mereka yg berada pada Kebon Tebu, Muara Baru, Jakarta Utara. Ikan-ikan tadi lalu dijual & umumnya Angga berhasil membawa uang Rp.6 000,- sampai Rp.7 000. Uang tersebut tidak digunakan buat jajan, tetapi buat membayar uang sekolah.
Kebanggaan & sayang yang teramat buat cucu-cucunya ini yang menciptakan Nenek Della tetap semangat buat terus berjuang buat melawan ketidakadilan ataupun perlakuan semena-mena menurut penguasa terhadap masyarakat miskin kota.
?Situasi yg membuatku tetap semangat buat berjuang pada UPC... Karena bukan hanya untukku, tetapi jua untuk anak cucuku. ?
Meskipun, indikasi-indikasi tak belia lagi telah sangat terlihat dalam sosoknya. Rambut yang telah nir hitam lagi, kulit yang telah poly keriput atau pun gigi yang telah tak lengkap lagi. Usia yg sudah senja dan fisik yang tidak kokoh lagi itu, tidak mensugesti semangatnya, tidak mengurangi lantang suaranya waktu berorasi mendemo penguasa & tidak mengurangi kegesitannya mengunjungi warga miskin kota lain yg sebagai korban kesewenang-wenangan penguasa.
Tekad sudah bulat, ”selama masih bernafas, tidak akan berhenti berjuang”.
Nenek Della, sosok aktivis perempuan yang tak tunduk dalam usia, pun tidak takluk dalam hayati. (Lola)










[Pikir] Multi Beban atau Multi Peran: Ketidakadilan atau Anugerah?

Tini (33th), adalah seseorang perempuan yg sudah menikah dan memiliki satu orang anak. Sebagai wanita muda yang cerdas & terampil, pada loka kerjanya Tini dianggap sebagai manajer personalia. Setiap hari beliau bangun pukul 04.00, lalu mulai mengerjakan pekerjaan rutinnya: mengolah, membuatkan kopi dan juz untuk anak & suami, menyiapkan sandang anak & suaminya, membangunkan dan memandikan anaknya, serta menyiapkan anaknya ke sekolah juga menyiapkan dirinya buat ke tempat kerja. Pukul 06.00 mereka sekeluarga pulang, suaminya ke kantor, anaknya ke sekolah & dia sendiri ke kantornya. Pulang menurut tempat kerja, Tini eksklusif ganti pakaian, membersihkan rumah, menyiapkan makan malam, memandikan anak, menemani anak mengerjakan tugas & belajar, serta menidurkan anaknya.
Rutinitas seperti ini dia jalani dari hari Senin sampai Jumat. Hari Sabtu umumnya ia isi menggunakan mencuci dan menyetrika, ikut pengajian & arisan di RT, dan menemani anak bermain pada taman kota. Sedangkan hari Minggu umumnya ada pertemuan mak -bunda Dharma Wanita ataupun kelompok PKK. Tini mesti ikut pertemuan ini walaupun dia malas sebenarnya, karena Tono suaminya merupakan pegawai negeri yg sedang dipromosikan jabatannya. Demi menunjang karier oleh suami, Tini diminta buat aktif pada kegiatan Dharma Wanita & jua aktivitas-aktivitas lainnya pada kantor Tono.
Kisah Tini di atas merupakan sebuah kisah ?Biasa? Yg dialami oleh banyak perempuan pada Indonesia.

Ketiga kiprah atau kerja ini, yaitu kerja reproduktif, produktif & sosial, umumnya hanya pada?Wajib ?Kan bagi wanita. Kerja atau peran yg dikonstruksi & disosialisasi ini sebagai beban yang bertumpuk bagi seseorang perempuan . Dari seluruh pekerjaan, perempuan mengerjakan lebih banyak akan tetapi dibayar lebih rendah. Jam kerja & curahan tenaga kerja wanita lebih poly menurut laki-laki . Bahkan, seseorang bunda pernah mengatakan pada saya bahwa beliau merasa sangat bersalah saat beliau ingin berjalan-jalan di pertokoan sekedar buat bersantai sejenak. Ia merasa egois lantaran wajib meninggalkan anak dan suaminya buat ?Bersenang-bahagia?. Hidup bagi seorang wanita (ibu) adalah buat membahagiakan keluarganya (yang berarti anak dan suaminya-sering nir termasuk dirinya).
Kondisi beban yang bertumpuk ini biasanya dikenal sebagai istilah ”Multi Beban”, dan oleh kalangan feminis disebut sebagai salah satu dari lima bentuk ketidakadilan gender (Stereotiping/pelabelan/citra negatif, kekerasan, multi beban, marjinalisasi/peminggiran secara ekonomi, dan subordinasi/penomerduaan).
Sekarang, kita lihat kelanjutan kisah Tini-Tono 2 puluh tahun kemudian:
Tono (65th) baru saja memasuki masa pensiunnya. Perayaan pelepasan diadakan besar-besaran di kantornya dan juga di rumahnya. Tini dan Sofie, anaknya sibuk memasak dan menyiapkan pesta di rumah. Semua kerabat dan handai taulan hadir untuk mensyukuri masa purna kerja Tono. Pada minggu-minggu awal masa pensiunnya, Tono sungguh menikmati kebebasan hidupnya. Kini ia terbebas dari kewajiban untuk berangkat kantor dan bekerja 8 jam sehari. Ia bisa berjalan-jalan dan tidur semaunya, menonton film dan berbelanja. Tapi, setelah satu minggu, semua tempat sudah ia datangi, semua film sudah ia tonton, tidurpun sudah puas. Ia mulai bosan dan kesepian di rumah sendiri, karena Sofie bersekolah sedang Tini sekarang menjadi asisten direktur yang semakin sibuk. Tono ingin beraktifitas lagi, ia mencari-cari kesibukan di rumah. Ia ingin membuat kejutan untuk istri dan anaknya dengan membuat pesta kecil-kecilan. Ia ingin mulai dengan membersihkan rumah dan mendekorasinya, kemudian masak makanan istimewa. Tapi, ketika ia memulai pekerjaannya, Tono kesulitan mencari alat-alat rumah tangga yang ia butuhkan. Ia juga tidak tahu caranya mengepel dengan alat pel yang mereka punya, tidak tahu dimana letak pisau dan alat dapur, tidak tahu cara menyalakan kompor, juga tidak tahu segala macam bumbu yang ada. Tono akhirnya frustasi, ia menggagalkan rencananya. Ia akan membuat kopi saja untuk dirinya. Tapi sekali lagi ia tidak tahu dimana Tini menyimpan kopi dan gula, dan berapa ukuran kopi dan gula yang biasa Tini buat untuk dirinya.
Ketika Tini pergi, Tono mulai bertanya-tanya poly hal tentang urusan tempat tinggal tangga dalam Tini. Dasar sudah mulai tua, Tono suka lupa hal-hal yang sudah dikatakan Tini sebagai akibatnya kerapkali Tono mengulangi pertanyaan yg sama. Akhirnya Tini ikut frustasi pula.
Tono sekarang berpikir buat mengalihkan kegiatannya di luar rumah. Ia yg biasanya menjadi pemimpin di tempat kerja dan rumahnya akan meninggal kebosanan bila hanya duduk diam pada rumah seperti orang jompo. Ia mencoba ikut kegiatan di lingkungannya, akan tetapi kebanyakan kegiatan itu dihadiri sang ibu-mak .
Nah, kasus si Tono ini biasanya dikenal sebagai ”Post power syndrome”, yang memang seringnya berjangkit pada bapak-bapak yang sudah mulai pensiun atau tua. Mereka yang biasanya bekerja produktif-menghasilkan uang yang notabene simbol kekuasaan; dan juga biasanya menjadi pemimpin, sekarang harus kehilangan semuanya. Ketika mereka ingin beralih ke kerja reproduktif dan sosial, seringkali mereka ”kagok ” atau tidak terbiasa.
Pembagian peran gender yang berujung pada Multi beban bagi perempuan, ternyata punya dampak juga bagi laki-laki. Beban berlipat di satu sisi menjadi multi-ketrampilan di sisi lain, yang bisa menjadi bekal untuk bertahan hidup (jika si subyek belum keburu ’tewas’ karena keberatan beban- dengan kata lain jika ia menjadi survival). Sebaliknya, kekuasaan yang berlipat di satu sisi mendatangkan ’kuasa’ tapi juga keterpurukan ketika ia hilang. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan multi peran/kerja menjadi keterbatasan modal untuk bertahan hidup ketika kuasa tidak ada lagi. (ID)










Rabu, 15 Juli 2020

[Masalah Kita] Satu Episode Sedih Romantisme Aktivis Perempuan

Oleh: Yusmadaniar Hanum - Manager Program LSM PERAK-Pidie
Mungkin semua orang pernah mengalami murung , namun sedih yg kurasa agak tidak selaras. Pada saat seseorang gadis berkiprah dewasa banyak cerita yang ingin beliau banggakan: cerita manisnya beserta teman juga oleh kekasih. Persoalan-problem pada rakyat mungkin akan mampu segera terpecahkan (warga evakuasi), terdapat berbagai jalan keluar yang bisa ditempuh. Tetapi, berbeda menggunakan dilema yg kuhadapi. Pada saat Aceh ini dinyatakan menjadi wilayah konflik, aku menjadi galat satu aktivis perempuan yg siap menggunakan konsekwensi apapun. Ketika itu, aku tidak pernah resah menggunakan keamananku, makan, sandang & penampilan. Aku hanya resah terhadap keadaan warga / orang-orang yg terjebak diantara dua pilihan; dukung GAM mangkat , nir dukung GAM jua tewas. Lokasi rumah mereka menjadi ajang pertempuran & akhirnya mereka mengungsi buat mencari tempat aman bagi anak & istri mereka ke sebuah jalan, yang pula merupakan jalan pintas tujuan kampusku. Aku kuliah pada galat satu kampus swasta yg ada di Aceh.

Pada syarat misalnya itu, kebanyakan perempuan hanya berdiam pada tempat tinggal , tanpa bisa melakukan apapun. Mereka hanya akan keluar jika diharapkan saja. Sebagai seorang anak perempuan , tentulah pada biasanya susah menerima ijin buat mampu terjun dalam aktivitas sosial, ditambah lagi saya dititipkan di tempat saudara termuda ibuku di sini. Selain bekerja sebagai relawan di pos mahasiswa, aku pula aktif pada organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) walaupun pada waktu itu masih sebagai anggota biasa.


Boleh dikatakan, langkah yg kutapaki berjalan dengan baik & mulus. Tapi buat seluruh itu, saya membutuhkan ketika buat meyakinkan orang tua, famili & sekelilingku. Bahwa saya menjadi aktivis bukan berarti menjadi wanita yg ngak benar. Keluargaku risi bila Aku nantinya akan diperkosalah, diculik GAM, atau dibuang mayatnya.


Itu hanya garis akbar ketakutan famili akbar ibuku saja. Tetapi langkahku tidak pernah surut selangkahpun. Karena komunikasi yang terus kubangun menggunakan ibuku, akhirnya beliau mengizinkan dan mengikhlaskanku buat membantu masyarakat lemah dan melawan penindasan. Ibuku nir pernah menyangka kalau Aceh misalnya yang kuceritakan. Ijinnya di seberang kota yg tidak berakses perseteruan, membuatku konfiden terus buat melangkah, berjuang melawan penindasan.


Terbukti sekarang, saya dikatakan orang sukses menurut teman-sahabat seangkatanku yang dulu menjadi mahasiswa patuh terhadap orang tua. Tentu dibalik semua itu poly persoalan yang kuhadapi. Disamping menurut duduk perkara-duduk perkara yg terdapat pada lapangan dan organisasi yaitu masalah hati / perasaan. Kondisi ini usang kelamaan membuatku terbiasa dan telah kebal.


Ada beberapa kali interaksi yang terjalin, namun akhirnya putus di tengah jalan. Ini disebabkan beberapa hal, yaitu dilema ketika, pandangan (genre), penampilan / style dan juga pekerjaan. Namun yg sebagai problem utama menurut retaknya interaksi itu diantaranya dikarenakan pandangan & pekerjaan. Sebagai seseorang aktivis ternyata aneka macam dilema, apakah itu persoalan famili, lingkungan jua langsung, harus siap kuhadapi. Ini sangat berat, lantaran keluarga calon pasanganku menolak apabila berhubungan dengan seorang aktivis. Dari oleh pujaan, juga agak berat atau sangat berat merelakan kekasih atau calonnya bekerja sebagai seorang aktivis / pekerja sosial di masyarakat. Hal ini, sempat membuatku hampir putus asa buat meyakinkan tentang pekerjaanku.


Rasa percaya diriku tidak luntur, meskipun Aku harus kehilangan sang pujaan hati, lantaran prinsipku, hidup hanya sekali dan apa yang bisa kulakukan selama kuhidup? Kalau kita nir bisa bermanfaat bagi orang lebih kurang/ lain, maka insan itu akan rugi. Inilah yg membuatku terus mantap melangkah buat terus berjuang membela masyarakat mini , lemah tuk melawan ketertinggalan. Aku yakin suatu ketika Aku akan menemukan orang yang pantas dan sesuai denganku. Insya Allah.

















Cloud Hosting Indonesia