Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Agustus 2014. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Agustus 2014. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 27 Juni 2020

[JALAN-JALAN] Bandung Berkebun

Penulis: Melly Amalia

Ada satu komunitas di Bandung yang mengajak orang-orang khususnya warga Bandung untuk berkebun. Gerakan ini sudah dimulai sejak tahun 2011 yang digagas oleh Ridwan Kamil, walikota Bandung saat ini. Diawali dari Jakarta Berkebun dan sampai saat ini sudah ada 30 kota berkebun (Bandung, Banten, Jogja, Bogor, Solo, Madiun, Pontianak, Aceh, Bali, dll) dan 8 kampus yang bersama-sama bergerak di bawah gerakan nasional Indonesia Berkebun. Cita-cita komunitas ini sederhana tapi gaungnya sangat besar yaitu mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk senang berkebun. Melalui berkebun, komunitas ini berupaya memanfaatkan ruang-ruang yang awalnya tidak produktif dan terbatas menjadi area produktif sehingga tercipta kualitas ruang kota yang baik.








KEGIATAN dan PROGRAM .BdgBerkebun
Kegiatan rutin yang dilakukan dan dapat melibatkan siapa saja yang tertarik bergabung adalah acara ngebon(berkebun) di kebun Laboratorium .BdgBerkebundi daerah Tubagus Ismail. Biasanya kegiatan ini diadakan setiap Sabtu atau Minggu setiap bulannya. Tempat lainnya yang menjadi kebun laboratorium adalah Sekolah Alam Bandung di Dago, Dago Pakar dan jl. Sukamulya Indah di Pasteur. Yang agak membedakan antara Sukamulya dengan lainnya adalah yang mengelola kebunnya warga masyarakat sendiri. Kegiatan yang ditawarkan .BdgBerkebunbukan melulu tentang berkebun tapi banyak ide-ide kreatif lainnya yang masih berkaitan dengan berkebun misalnya belajar membuat kompos, membuat orang-orangan sawah dari barang bekas, membuat instalasi berkebun dengan memanfaatkan barang bekas, terkadang mereka berkumpul untuk sekedar masak dan makan bersama. Tentunya bahan masakan yang didapat itu dari hasil panen kebun, bahan makanan lokal yang dipetik sendiri, diolah sendiri dan dimakan bersama-sama. Semua orang terlibat dalam tahapan kegiatan tersebut. Menarik bukan?

Selain kegiatan rutin diatas, komunitas .BdgBerkebun juga mempunyai berbagai program lainnya yang berupa kegiatan agent dan event. Yang dimaksud dengan agent adalah siapapun yang ingin lahan tidak produktif didaerahnya ingin dimanfaatkan menjadi kebun, dapat bergabung menjadi agent berkebun. Ada beberapa peluang belajar dan berbagi yang bisa diikuti dengan menjadi agent berkebun seperti Akademi Agen Berkebun dan Bandung Belajar Berkebun. Selain itu juga mengadakan event seperti Urban Farming Workshop, mengisi stand di acara-acara lingkungan, dll. Program lainnya adalah Urban Farming Installation (UF-I), School Urban Farming (S-UF) dan Kampong Urban Farming (K-UF), Campus Urban Farming(C-UF), Unused Land, Street Urban Farming, Office Urban Farming dan pengadaan Merchandise yang kreatif. Intinya .BdgBerkebun ingin mengajak dan menginspirasi masyarakat kota Bandung bahwa berkebun itu mudah dan dapat dilakukan di mana saja dengan menjadikan lahan yang ‘menganggur’ menjadi lahan produktif dan menghasilkan.





Dalam keseharian kegiatannya, yang ditanam sebagian besar adalah jenis sayur-sayuran yang masa tanamnya relatif singkat dan bisa langsung dikonsumsi seperti kangkung, bayam, pakcoy, timun, kacang panjang dan salada. Ini bisa menjadi penyemangat bagi orang-orang yang baru belajar berkebun. Selain itu, juga ada tanaman buah, tanaman hias dan tanaman antipolutan. Pengadaan bibit tanaman bersumber dari mitra, donatur, sponsor dan dari anggota. Bagi .BdgBerkebunkalau mau berkebun di kota itu hanya membutuhkan sedikit lahan kosong, ada kemauan dan kreativitas.


CIRI KHAS .BdgBerkebun
Bandung dengan karakteristik morfologi kota yang “akrab” (ke mana-mana mudah), generasi muda yang aktif dan kreatif. Maka di .BdgBerkebun lebih menonjolkan inovasi dan kreativitas dalam berkebun yang disebut sebagai Creatifarming TM(creative-farming), baik melalui kegiatannya maupun instalasi berkebunnya. Bahwa berkebun di kota bisa dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja karena mudah dan dapat memanfaatkan apa yang ada di sekitar kita, seperti pemanfaatan barang bekas, dll.





ANGGOTA .BdgBerkebun
Anggota .BdgBerkebun yang terdaftar sekitar 200 orang, tapi yang aktif ada sekitar 30 orang. Biasanya dalam kegiatan insidentil hampir semua anggota hadir. Mereka terdiri dari berbagai kalangan usia dan profesi, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Untuk menjadi anggota dan mengikuti kegiatan .BdgBerkebun, tidak dipungut biaya apapun, yang penting tidak takut bermain dengan tanah dan terpapar sinar matahari. Mudah ya syaratnya? Peluang bergabung sangat terbuka lebar dan bisa mengambil peran di kegiatan rutin ngebon, menjadi EO event dan program, serta jadi agen berkebun. Sedang basecamp-nya terletak di Bale-bale, Jl Bukit Pakar Timur No.86, Dago Pakar, Bandung.
Yang menjadi tantangan bagi .BdgBerkebun dalam menjalankan programnya adalah soal SDM dan pendekatan yang berbeda di tiap kalangan masyarakat.


KERJA SAMA
Beberapa sekolah dan lembaga yang sudah bekerjasama dengan .BdgBerkebun adalah TK Bintang Ceria, SD Semi Palar, SD Pardomuan, SD IT Rabbani, Universitas Pasundan, UPI, Unpad dan masih banyak lagi. Juga ada beberapa kelompok warga diantaranya RW 04 Taman Sari, RW 03 Kelurahan Merdeka, Cigadung, dll.  Yang tidak kalah pentingnya, saat ini juga sedang menjalani program Bandung Kampung Urban Farming bekerja sama dengan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung.




.BdgBerkebun & KEDAULATAN PANGAN
Kedaulatan pangan adalah ranah kebijakan pemerintah dalam mengimpor /tidak pangan dalam skala nasional. Komunitas .BdgBerkebunmengkampanyekan untuk berkebun di lahan kosong/lingkungan perkotaan masing-masing. Kampanye ini bertujuan untuk memanfaatkan lahan terbengkalai di kota sekaligus mengangkat isu pangan kepada khayalak umum.  Mereka juga berkolaborasi dengan komunitas lain yang mendukung produk lokal untuk kemandirian pangan. Dan lagi tujuan kampanye ini adalah mengangkat isu bukan secara langsung menyelesaikan persoalan pangan yang ada di indonesia.


Harapan komunitas .BdgBerkebun adalah agar warga umum dan generasi muda Indonesia terinspirasi untuk berkebun di lahan-lahan terbengkalai kota, menghargai kota dan tanah di dalamnya, serta tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang persoalan pangan di Indonesia. Kenapa generasi muda? Karena siapa tahu mereka menjadi pengambil keputusan kebijakan pangan di masa depan.


Ada yang cukup menggelitik rasa penasaran saya dengan adanya tulisan “.BdgBerkebun”, ada tanda titik di depan kata Bdg (.) dan menggunakan Bdg sebagai singkatan dari kota Bandung, bukan ditulis lengkap menjadi Bandung. Kata mereka, inisebagai trademark bahwa Bandung sebagai kota kreatif. Bentuknya baku seperti yang terlihat pada logo. Yang membuat idenya adalah salah satu komunitas kreatif di Bandung. Hal tersebut diharapkan menjadi spirit . Bdg B erkebun untuk menyebarluaskan idenya. Benar-benar kreatif ya!


Nah, siapapun yang menemukan lahan tidak produktif bisa sama-sama digarap menjadi lahan yang produktif dengan melakukan berkebun di kota (Urban Farming). Hal ini merupakan salah satu cara mewujudkan kepedulian terhadap lingkungan melalui aksi nyata dan pastinya membangun kemandirian dalam ketahanan pangan. Yuuk kita ngebon!
















































[MEDIA] Pangan, Kedaulatan dan Ketahanan. Resensi Majalah dan Buku

Penulis: Shintia D. Arwida

Pangan, kedaulatan dan ketahanan. Resensi majalah & kitab
Majalah pertanian berkelanjutan ?Petani? Terbit pertama kali pada tahun 2001 & saat itu bernama ?Majalah Salam?. Majalah ini menjadi sarana menyebarkan pengetahuan, penemuan, dan aktivitas antar energi penyuluh lapangan, petani, dan orang-orang yg bekerja di bidang pertanian berkelanjutan. Majalah ini terbit empat kali setahun dan didistribusikan ke semua Indonesia. Target pembaca majalah ini adalah grup petani, LSM, pemerintah, forum pendidikan, dan forum penelitian. Edisi terakhir Majalah Petani terbit pada bulan Maret 2011.
Ada 2 edisi yg menyoroti masalah ketahanan pangan dan kedaulatan pangan:
Majalah SALAM No. Dua (http://www.Agriculturesnetwork.Org/magazines/indonesia/2-rawan-pangan). Edisi ini menyoroti kasus rawan pangan yang terjadi pada Indonesia. Secara khusus artikel yg tersaji memuat model-contoh sistem pertanian berkelanjutan yg mempunyai potensi mengatasi perkara rawan pangan.




Majalah SALAM No. 27
(http://www.Agriculturesnetwork.Org/magazines/indonesia/27-kedaulatan-pangan)
Edisi ini mengangkat tema kedaulatan pangan. Gerakan yang mendukung kedaulatan pangan sejatinya adalah gerakan yang memperjuangkan hak atas pangan dan hak petani (skala kecil). Pangan yang sehat, aman, dan terjangkau seharusnya tersedia bagi semua orang; termasuk petani menjadi pembuat bahan pangan. Sayangnya, hak-hak ini sering kali diabaikan oleh negara lantaran negara lebih berpihak dalam industri pertanian & pasar. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang tidak melindungi hak petani atau pelaksanaan yang tidak baik menurut kebijakan yang melindungi petani. Agar kedaulatan pangan mampu tercapai, aspek-aspek seperti kiprah dan wanita, pertanian skala kecil, & inovasi bidang pertanian wajib diperhatikan juga.



Kedua edisi ini mampu dibaca secara online menggunakan mengikuti link yg sudah diberikan. Pada kedua edisi ini, terdapat juga ulasan seputar buku-buku bacaan yang terkait dengan informasi ketahanan pangan, pada rubrik ?Lentera Pustaka?.


REVIEW BUKU FOOD RULES –Michael Pollan
Food Rules: An Eater’s Manual. New York: Penguin Press. 2009. ISBN 978-0143116387.Pedoman Bagi Para Penyantap Makanan.






 Buku ini diterjemahkan dan diterbitkan sang Opus dalam Bahasa Indonesia. Michael Pollan adalah penulis yg mempunyai rekam jejak panjang pada menulis gosip seputar pangan yg sehat & berkelanjutan. Buku-bukunya yg lain yang jua mengulas isu pangan adalah ?In Defense of Food ? An Eater?S Manifesto? Dan ?Omnivore?S Dillema?.
Dalam buku setebal 165 laman ini, Anda akan mendapatkan tips sederhana buat menentukan pangan yg baik bagi kesehatan Anda sekaligus pula cara makan yg sehat. Bersiaplah buat mendapatkan tips kontroversial misalnya:?(1) Hindari makanan yg diiklankan di televisi, (2)Semakin putih warna roti yg Anda makan, makin cepat Anda akan mati, (tiga). Jangan makan makanan yang nir terdapat dalam masa nenek Anda hidup.
Lewat buku ini Michael Pollan mengajak konsumen sebagai lebih kritis & cerdas pada memilih jenis kuliner yg dikonsumsi. Hanya makanan yang dari berdasarkan bahan-bahan alamilah yg terbaik bagi tubuh kita. Makanan olahan pabrik yg penuh bahan pengawet & bahan artifisial justru akan membahayakan kesehatan kita.
Ajakan buat mengonsumsi bahan-bahan alami & didapatkan di dalam negeri jua akan membantu petani, khususnya petani skala kecil yg merupakan penyuplai hampir 80% bahan pangan di Indonesia.


REVIEW BUKU THE ROUGH GUIDE TO FOOD – How to make the right food choice The Rough Guide To Food – How to make the right food choice. New York: Penguin Books. 2009. ISBN 13: 978-1-84836-001-3






Meski penekanan penulisan kitab setebal 311 halaman ini adalah negara Inggris, kita bisa belajar bagaimana cara industri kuliner, agribisnis, & pasar swalayan beroperasi. Terutama pada era globalisasi yang keliru satu cirinya merupakan standardisasi operasi di banyak sekali belahan dunia, maka model yang tersaji di kitab ini juga bisa ditemui pada Indonesia.
Pada bagian awal buku ini, pembaca diajak untuk melihat hal-hal yang merusak alam dan kesehatan konsumen sebagai akibat dari cara industri makanan dan agribisnis beroperasi saat ini. Buku ini dengan berani mengatakan bahwa pangan yang tak sehat sama dengan keuntungan melimpah bagi industri (unhealthy food = healthy profit). Isu seperti GMO (genetically modified organism), pencemaran pestisida dan pupuk kimia pada sumber-sumber air, juga dibahas dengan jelas di buku ini.    Selain mengkritisi penerapan kapitalisasi di sektor pangan dan pertanian, buku ini juga menyajikan alternatif yang lebih berkelanjutan dan sehat bagi konsumen. Contohnya seperti urban gardening, produk-produk Fair Trade, gerakan locavore(menghindari bahan pangan impor) dan memanen langsung dari alam (foraging) menjadi pengetahuan menarik yang bisa dicoba di konteks Indonesia.







































Jumat, 26 Juni 2020

[TIPS] Makanan Sehat, Badan Sehat

Penulis: Melly Amalia

Saat ini gempuran makanan dari aneka macam macam bahan pangan & olahannya telah semakin banyak. Slogan makanan sehat sepertinya hanya iming-iming belaka, & yang lebih dipentingkan merupakan rasa kuliner tersebut yang enak. Padahal bila kita mengkonsumsi kuliner yg sehat, akan mempengaruhi kesehatan kita jua. Kalau kita mengkonsumsi makanan sehat, maka berpotensi berakibat badan sehat. Makanan sehat belum tentu 4 sehat 5 paripurna, tapi kandungan yang ada pada makanan sehat tersebut kaya akan nutrisi & bebas menurut toksin, bakteri & bibit penyakit. Makanan sehat mempunyai kandungan gizi, kaya serat & zat yg diharapkan oleh tubuh (karbohidrat, vitamin, protein, mineral dan air). Kita perlu lebih cermat dalam memilih bahan makanan dan mengolahnya, sebagai akibatnya resiko penyakit yang ditimbulkan bisa diminimalisir.



Berikut pedoman pada memilih makanan sehat :
Bahan organik. Bahan makanan organik adalah salah satu pilihan terbaik dan sehat, karena proses olahannya tidak menggunakan bahan kimia seperti pestisida. Memang harga pasaran bahan organik lebih mahal dibanding yang biasa, tapi dari segi kualitas bahan organik lebih sehat dan segar. Bila kita belum bisa menjangkau bahan organik, perlu lebih hati-hati dalam memilih makanan atau paling tidak dalam proses mengolahnya agar tidak terpapar pestisida, seperti mencuci sayuran di bawah air mengalir, mengkonsumsi berbagai variasi makanan, dll.


Banyak mengkonsumsi sayur dan buah. Sayur dan buah-buahan banyak mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh seperti antioksidan dan folat. Sebaiknya sediakan selalu sayuran dan buah-buahan dalam keadaan segar. Pilih sayuran terutama daun-daunan dan kacang-kacangan serta variasi sayuran aneka warna dan jenis.


Bebas dari zat aditif, pengawet dan pewarna kimia. Hindari penggunaan zat aditif pada makanan seperti MSG (Mono Sodium Glutamat), ini sejenis penyedap makanan/mecin yang banyak terdapat pada makanan kemasan atau makanan jadi. Selain zat aditif, banyak bahan berbahaya seperti boraks dan formalin yang terkandung dalam makanan. Kita perlu lebih cerdas dan cermat dalam memilih. Biasanya bahan ini banyak terdapat pada olahan makanan seperti baso, tahu, mie, lontong dan ikan. Kita dengan mudah bisa membedakan mana makanan yang mengandung borkas atau formalin, misalnya pada tahu atau lontong. Bila teksturnya kenyal dan tidak mudah pecah, kemungkinan mengandung boraks/formalin. Pada jajanan anak, perlu diwaspadai pula karena banyak mengandung pengawet, perasa dan pewarna kimia. Sebaiknya anak tidak dibiasakan untuk jajan, apalagi jajan sembarangan tanpa tahu kandungan yang ada dalam makanan atau minuman tersebut. Bila Anda ragu-ragu, sebaiknya tidak usah dibeli. Dalam olahan kue atau bolu pun perlu waspada. Banyak pengawet dan pengembang pada bolu yang juga mengandung bahan kimia berbahaya. Kalau kita terbiasa tidak menggunakan bahan pengawet dan perasa berbahaya, lidah kita akan cukup jeli untuk merasakan dan membedakan mana makanan yang aman atau tidak.


Hindari Junk Food , produk olahan daging dan makanan ringan. Makanan yang dijual di luar biasanya banyak mengandung garam, lemak dan gula yang tinggi. Kalau kita ingin merasakan makanan junk food, kita pun bisa memasaknya sendiri dirumah. Pada produk olahan seperti sosis dan nugget, senyawa nitrat yang digunakan sebagai pengawet produk ini, dalam jumlah berlebihan berpotensi mengganggu kelancaran aliran darah. Sekarang mudah didapat resep cara membuat sosis, nugget dan sejenisnya yang bisa kita modifikasi dengan tambahan sayuran dan tanpa pengawet/penyedap. Untuk makanan ringan, seperti gorengan, kue manis dan biskuit bisa kita alihkan dengan mengkonsumsi buah-buahan. Perlahan kurangi makanan ringan sampai benar-benar mampu tidak mengkonsumsi lagi.


B iasakan memasak makanan sendiri. Meski sekarang ini banyak dijual makanan/minuman yang sangat menggiurkan dan lezat di lidah, tapi lebih baiklagi bila kita memasak dan mengolahnya sendiri. Belum tentu makanan lezat tersebut makanan sehat. Kalau kita memasak sendiri, kita akan terlibat langsung dalam proses pembelian bahan baku, pengolahan dan penyajiannya. Kalau kita mengolah masakan sendiri, pastikan bebas dari penggunaan zat penyedap seperti MSG dalam bentuk apapun. Gunakan bumbu rempah dan kaldu yang kita olah sendiri. Hal ini dapat membuat kita merasa aman dan nyaman dalam menyantap makanan sehat hasil olahan sendiri.

Olahan makanan sehat. Pengolahan makanan yang sehat sangat mempengaruhi kondisi tubuh kita. Jika kita salah dalam mengolah bahan makanan tersebut, maka bisa jadi akan menimbulkan bakteri yang menyerang tubuh. Jadi kita perlu tahu bagaimana baiknya mengolah makanan yang baik dan benar. Misalnya dalam mengolah brokoli menjadi sayur olahan, baiknya memasak brokoli tidak terlalu matang supaya kandungan nutrisi yang ada dalam sayur tersebut tidak hilang atau berkurang. Juga makanan olahan yang digoreng, yang  banyak mengandung lemak jenuh akan menjadi salah satu penyebab tingginya kolesterol. Bila dirasa perlu memasak daging atau ayam, masaklah hingga matang agar bakteri atau parasit yang ada di dalamnya mati. Jadi akan semakin baik bila semakin sedikit proses yang dilewati bahan-bahan tersebut sebelum disajikan. Yang perlu diperhatikan adalah cara memasak, suhu makanan saat disajikan dan bahan makanan yang mudah dicerna.







Menanam sayuran sendiri. Dengan menanam bahan makanan sendiri, kita merasa puas karena tahu asal sumber makanan yang kita makan. Apalagi itu berasal dari tanaman lokal dan bebas pestisida, tinggal tanam-petik-masak. Biasakan mengkonsumsi makanan lokal, hal ini akan mengurangi jejak ekologis kita dalam pengadaan sumber makanan.

Pembiasaan gaya hidup sehat dari sisi menentukan makanan yg sehat, akan membuat tubuh kita sehat. Selain itu perlu didukung pula menggunakan olah raga teratur, tidur relatif, makan teratur dan nir merokok. Jika kita terbiasa bergaya hidup sehat menggunakan mengkonsumsi kuliner sehat, berpikir sehat insya Allah akan memperpanjang hayati kita. Kitalah yg memilih arah hidup kita, ingin tetap sehat atau gampang sakit. Ingin makanan sehat atau sekedar kuliner yang lezat akan tetapi belum tentu sehat. Pilihannya terdapat dalam diri kita masing-masing.





























[TIPS] Makanan Sehat Itu Murah

Penulis: Maya A. Pujiati

            Produk organik telah menjadi populer beberapa tahun belakangan ini. Demi kesehatan, orang mau bersusah payah untuk mendapatkannya. Namun seiring dengan popularitasnya yang menanjak, harga produk organik di pasaran ternyata lebih mahal dari sayuran biasa.  Satu ikat kangkung, misalnya,  jika berlabel organik bisa berharga 2 sampai 3 kali lipat daripada kangkung tak berlabel.


            Secara logika, biaya pertanian dengan cara alami seharusnya  lebih murah dibandingkan dengan cara modern. Pupuk dan pestisidanya bisa berasal dari bahan-bahan yang tersedia di alam. Terlebih di masa sekarang,  telah ditemukan berbagai teknik pembuatan kompos dari sampah organik yang sangat mudah dan sederhana. Setiap orang bisa membuatnya dan biaya bertanam bisa semakin berkurang. Penyebab  paling mungkin dari mahalnya produk organik adalah berlakunya hukum pasar: makin diminati, harga makin tinggi.


            Pada dasarnya,  semua itu hanyalah pilihan. Masanubo Fukuoka (praktisi pertanian alami dari Jepang) memberi contoh yang indah tentang hal itu. Ia justru menolak dan marah besar ketika sayur dan buah-buahan organiknya dijual lebih mahal oleh bandar di kota. Fukuoka berprinsip, bertani bukanlah semata untuk mencari keuntungan, melainkan demi sebuah nilai yang lebih tinggi, yaitu berkontribusi dalam menyediakan pangan bagi manusia lainnya. Jika produk pertanian organik menjadi mahal maka hanya orang-orang kaya yang  mau membelinya, sedangkan mereka yang miskin tetap memilih makanan yang tidak sehat. Hal itu tidak adil bagi kemanusiaan1.


Menghindari Mahal
            Sejak kecil saya dibiasakan ibu untuk menyantap makanan alami. Kehidupan di kampung mungkin pada umumnya memang sama seperti itu. Sekalipun mulai dikenal vetsin dengan merek yang sangat klasik dan pewarna makanan serbuk untuk membuat warna makanan camilan menjadi menyala,  namun tingkat penggunaannya relatif lebih kecil dibandingkan sekarang.


            Di masa itu, orang-orang kampung masih mewarisi kebiasaan leluhurnya untuk menanam segala macam kebutuhan pangan di sekitar pekarangan, tanpa pestisida. Menanam dalam skala kecil memang lebih aman dari hama dibandingkan pertanian massal. Bumbu-bumbu dan sayuran, juga kebutuhan protein dari telur dan daging “ditabung” di halaman. Kebutuhan  pupuk dipasok dari kandang  ternak  dan dedaunan kering yang jatuh dari pohon buah-buahan mereka.



Makanan Alami (Foto: dokumentasi penulis)

            Jika menginginkan penambah rasa, orang cukup  menggunakan kaldu ayam kampung atau santan kelapa hasil parutan sendiri dari pohon di kebun sendiri. Kebutuhan lemak tak perlu mengandalkan mentega, namun cukup dengan lemak kambing atau lemak sapi yang dikeringkan. Pewarna dan pewangi makananpun terkumpul di dalam tanaman pandan dan suji yang tumbuh subur di sudut kolam. Itulah kehidupan sehat yang sedang saya coba tiru kembali.


            Persepsi bahwa produk organik itu wajib mahal, kentara menjadi gugur bila kita mau melakukan norma orang-orang di masa lalu semacam itu. Modalnya, hanyalah kemauan.


Berkebun
Terkait berkebun, ada ulasan menarik dari  Nina Planck, dalam bukunya berjudul, “Real Food, Hidup Bebas Penyakit dengan Makanan Alami.”


            Nina yang dibesarkan di daerah pertanian bercerita bahwa pertanian tradisional dan pertanian modern (pabrikan) itu berbeda. Buah-buahan pabrik tidak bisa dipetik saat masak, karena tidak akan bisa bertahan lama dalam perjalanan yang bisa jadi mencapai ribuan mil. Tomat misalnya, dipetik saat “masih hijau” dan “keras” dan dibuat masak dengan gas etilena. Anggur atau buah-buahan dalam keluarga beri bisa tetap segar dan cemerlang warnanya selama 3 minggu karena diberi radiasi. Efek radiasi menguntungkan supermarket namun melenyapkan aneka vitamin penting di dalam buah-buahan2.


            Sayuran & butir yg ditanam secara massal untuk kebutuhan komersial diproses dengan begitu poly gambaran bahan-bahan kimia yg mengancam kesehatan. Kalau label organik pun tak menjamin kemurnian produk pertanian, maka wajarlah apabila orang akhirnya cenderung berusaha menanam sendiri.



Kebun (Foto: dokumentasi penulis)

            Saya belum sepenuhnya mengandalkan pasokan sayuran dari  kebun sendiri. Namun secara prinsip, saya menyadari betapa pentingnya untuk berusaha ke arah itu. Kebun saya yang tetap belum rapi meski selalu saya bayangkan bisa rapi, kini sedang berisi tanaman labu siam, roay/kara (sejenis kacang-kacangan), singkong (untuk diambil daunnya), katuk (sejenis tanaman perdu yang bisa diambil daunnya), cabai rawit, tomat, kacang tanah, bayam merah, bayam belang, pepaya, basil, kemangi, terong ungu, dan oyong (sayuran buah yang tanamannya merambat).


            Hal yang menarik,  anak-anak saya memiliki satu kesan yang sama ketika menyantap sayuran hasil tanam sendiri, yaitu  terasa lebih enak, manis, dan gurih. Jadi, berkebun memang “tetangga dekat” dari  hidup sehat dan kaya makanan lezat.


Beli Instan atau Memasak Sendiri?
            Tidak semua bahan pangan mampu disediakan sendiri di kebun. Tetapi kita tetap wajib menentukan, makanan jenis apa yg kita beli. Produk siap makan ataukah bahan mentah dan kita memasaknya sendiri?


            Sebagai sebuah perbandingan, harga jajanan instan  makin terjangkau. Makanan jenis keripik atau kerupuk yang dibungkus dalam kemasan menarik bisa dibeli dengan harga seribu atau dua ribu. Akan tetapi, makanan itu  tidak mengenyangkan. Anak-anak akan cenderung melakukan pembelian berulang atau menjajal jenis lainnya dalam waktu yang berdekatan. Alhasil, anggaran jajan sebenarnya bisa jauh membengkak jika dibandingkan dengan membuat camilan sendiri.


            Saya coba contohkan mie instan. Saya sudah tidak ingat persis kapan terakhir kali menyantapnya. Awalnya, kami masih menjadikan mie instan sebagai alternatif hidangan hiburan di akhir pekan atau sebulan sekali. Makan bareng di teras atau di dalam rumah saat hujan turun sangat menyenangkan. Sayangnya, sekalipun sudah ditambahi sayuran kebun di dalam hidangan mie, dampak zat aditifnya tidak hilang begitu saja. Sariawan, batuk, dan radang tenggorokan, paling sering menjadi indikasi ke arah itu pasca makan mie instan.  Karena itu, kami memutuskan berhenti mengonsumsinya.


            Karena anak-anak sudah terlanjur menyukai mie, sebagai penggantinya saya ajak mereka membuat mie sendiri. Anak-anak senang karena lewat kegiatan itu mereka akan punya kegiatan yang menantang.  Dan yang menarik, setelah dihitung-hitung, biaya yang kami keluarkan untuk membuat mie sendiri jauh lebih murah jika dibandingkan dengan membeli mie yang sudah siap masak.


            Cukup bermodalkan ¼ kg terigu, 1 butir telur, ½ sdm garam, dan sesendok minyak goreng, kami bisa mendapatkan stok mie yang lebih sehat untuk 6 porsi. Walaupun bahan bakunya tetap diproduksi pabrik, setidaknya dari sisi  bahan, beberapa unsur yang dianggap berbahaya bisa dihilangkan.



Membuat Mie Bakso (Foto: dokumentasi penulis)



            Anak-anak  juga senang mencoba membuat camilan lain yang mereka sukai. Sebagian adalah makanan modern dan sebagian lainnya makanan tradisional. Saya belikan buku resep makanan tradisional atau mencari resep gratis di internet. Kami sudah mencoba membuat kue cucur, roti,  serabi, urap talas, nagasari, bugis, bakso ayam, siomay, dan bahkan membuat minyak goreng dari santan kelapa. Singkong goreng, ubi rebus, talas kukus, atau kolak labu kuning, juga jadi favorit anak-anak .


            Bagi saya, proses pembuatan makanan di rumah memberikan 3  keuntungan: pertama, anak-anak mendapat makanan yang lebih sehat; kedua, keterampilan mereka juga bertambah; dan ketiga, mengakarkan kebiasaan sehingga lidah mereka dan selera mereka terbentuk melalui pengalaman yang berulang-ulang terjadi.


            Membuat makanan sehat mungkin terlihat ribet dan menghabiskan ketika. Tetapi semuanya akan sebagai mudah dan terasa setimpal saat kita ingat betapa mahalnya biaya yg harus kita keluarkan apabila tubuh kita atau anak-anak kita menjadi sakit.***


Keterangan:
1 Masanubo Fukuoka, “Revolusi Sebatang Jerami”, 2012.
2 Nina Planck, “Real Food,  Hidup Bebas Penyakit dengan Makanan Alami”,  2006, hal. 133




































































[MASALAH KITA] Krisis Mutu Pangan di Indonesia

Penulis: Agustein Okamita  dan Navita Astuti

Makanan adalah salah satu kebutuhan primer insan. Makanan yang masuk ke dalam tubuh berperan penting dalam mendukung kehidupan kita & segala kegiatan yang kita lakukan. Agar pertumbuhan dan regenerasi sel-sel pada pada tubuh berlangsung menggunakan baik, sel-sel tubuh membutuhkan aneka macam vitamin dan mineral yg diperoleh menurut kuliner & minuman yg kita konsumsi.


Makanan mendukung vitalitas manusia. Tetapi, berdasarkan makanan jugalah penyebab utama munculnya penyakit-penyakit yang diderita manusia. Baik itu penyakit yang ada secara eksklusif sesudah makanan dikonsumsi (keracunan dampak mengonsumsi kuliner eksklusif), juga penyakit menahun akibat gaya hidup seorang menggunakan pola makan tidak sehat yang dia jalani selama bertahun-tahun.


Kita mungkin seringkali mendengar, perkara-kasus keracunan kuliner. Tragedi Minamata (http://en.Wikipedia.Org/wiki/Minamata_disease)di Jepang

merupakan salah satu kasus yang paling terkenal. Pembuangan limbah merkuri oleh pabrik kimia Chisso Corporation selama bertahun-tahun (1932-1968) mengakibatkan akumulasi bahan berbahaya tersebut di dalam tubuh ikan dan hewan air yang hidup di teluk Minamata dan laut Shiranui. Penduduk lokal di sana banyak yang mengalami kematian dengan gejala kelumpuhan syaraf karena mengonsumsi ikan-ikan dan hewan laut tersebut.


Tangan yang lumpuh akibat tragedi Minamata
http://en.wikipedia.org/wiki/Minamata_disease
Kasus lainnya adalah keracunan tempe bongkrek yang terkontaminasi oleh bakteri Burkholderia galdioli yang terjadi di Jawa Tengah beberapa tahun yang lalu (http://www.indosiar.com/patroli/3-warga-tewas-6-orang-kritis-diduga-keracunan_58711.html).Bakteri Burkholderia galdioli menghasilkan asam bongkrek dan toksoflavin, yang meracuni sel-sel tubuh dan mengakibatkan kematian.


Umum jua diketahui bahwa pola makan nir sehat, dalam jangka panjang dapat mengakibatkan penyakit-penyakit fatal misalnya penyakit jantung, kanker & diabetes.
Melihat semakin tingginya penyakit akibat rendahnya mutu pangan maupun pola makan nir sehat dewasa ini, maka cukup krusial bagi kita buat membuatkan perilaku kritis dan waspada terhadap pangan yang kita konsumsi. Apakah warga telah menyadari pentingnya menentukan pangan yg kondusif, sehat & bermanfaat bagi kehidupan mereka? Mari kita tengok sebentar apa yang sesungguhnya sedang terjadi dalam kancah industri pengadaan pangan pada negara kita.


APA YANG SESUNGGUHNYA TERJADI DI DAPUR INDUSTRI PANGAN SAAT INI?
Revolusi Industri menaruh perubahan akbar terhadap perkembangan teknologi pada berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam industripenyiapan, pengolahan, & pengemasanbahan-bahan pangan. Manfaat berdasarkan kemajuan teknologi industri merupakan kita bisa menerima kuliner menggunakan lebih gampang & lebih cepat. Namun impak negatif dari teknologi industri adalah penurunan kualitas bahan kuliner tersebut. Dampak negatif tadi diantaranya ditimbulkan oleh hal-hal berikut:
  • Teknologi pertanian menghasilkan pupuk-pupuk dan pestisida  sebagai sarana untuk mengoptimalkan hasil pertanian dan melindungi tanaman dari hama.  Namun, apakah para petani menggunakan pupuk dan pestisida dalam jumlah yang tepat? Penggunaan pupuk kimiawi dalam dosis berlebihan akan mengakibatkan gangguan pada struktur kimiawi tanah dan kerusakan ekosistem dalam jangka panjang.Sementara itu, pestisida kimia sintetik (non organik) yang digunakan memang terbukti efektif membunuh hama, tetapi residu pestisida  tertinggal di sayuran dan buah yang akan kita konsumsi. Mengonsumsi sayur dan buah yang mengandung pestisida non organik menyebabkan timbulnya penyakit dan gangguan fisik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sayur dan buah yang sejatinya menyehatkan tubuh manusia, justru menjadi racun bagi tubuh, akibat penggunaan pestisida secara berlebihan.
  • Teknologi pakan ternak menciptakan makanan dan hormon-hormon pertumbuhan bagi hewan-hewan di peternakan. Peternak skala besar mengganti makanan ternak alami dengan makanan olahan yang berasal dari pabrik, karena lebih murah dan lebih mudah didapat dibandingkan dengan makanan ternak alami. Untuk dapat memenuhi pesanan industri makanan siap saji, mereka menggunakan hormon-hormon pertumbuhan agar ternak mereka dapat memenuhi persyaratan berat dan ukuran tertentu. Ternak penghasil susu juga diberi makanan dan hormon-hormon tertentu untuk dapat menghasilkan lebih banyak susu. Hormon-hormon itu disuntikkan ke dalam tubuh hewan ternak atau dicampurkan ke dalam makanannya, agar pertumbuhannya menjadi lebih cepat atau menghasilkan susu yang lebih banyak. Sayangnya hormon itu tidak dapat terurai dengan mudah di dalam tubuh ternak, dan ketika kita mengonsumsinya, zat tersebut masuk ke dalam tubuh kita. Apakah kita menyadari dampaknya terhadap kesehatan kita.
  • Susu bukanlah bahan pangan yang asing bagi kita, karena sebagian besar di antara kita minum susu sapi sejak kecil, bahkan mungkin sejak bayi kita sudah harus minum susu sapi. Dahulu susu sapi segar bisa diperoleh dengan gampang, para peternak langsung mengantarkan susu yang baru dari pemerahan ke rumah-rumah kita. Sekarang ini perusahaan-perusahaan susu mengambil peran sebagai perantara antara peternak dengan konsumen. Mereka mengolah susu dari peternak dan mengemasnya sedemikian rupa sebelum dikirim ke toko-toko dan dibeli oleh konsumen. Proses pengolahan dan pengawetan juga menurunkan nilai nutrisi yang dikandung oleh susu, selain penambahan zat-zat kimiawi yang sulit dicerna oleh tubuh kita. Penggunaan hormon bagi sapi penghasil susu juga membuat konsumsi susu sapi menjadi perdebatan saat ini.
  • Teknologi industri pangan membuat proses penggilingan padi dan gandum menjadi lebih cepat. Jika dulu padi ditumbuk untuk menjadi beras, sekarang beras diperoleh dengan proses penggilingan. Proses penambahan pemutih (bleaching) juga dilakukan untuk menghasilkan warna putih yang menarik bagi konsumen. Akan tetapi, beras dan gandum yang dihasilkan dari proses penggilingan sudah kehilangan banyak nutrisi alami yang terkandung di dalam padi.
  •  Tepung terigu yang berasal dari gandum yang telah kehilangan nutrisi alami diolah menjadi roti. Untuk menggantikan nutrisi yang hilang, roti yang dibuat diperkaya dengan berbagai zat kimia sintetik dan vitamin-vitamin kimiawi (enrichment). Zat-zat kimia sintetikyang ditambahkan ke dalamnya sulit dicerna dan diserap oleh tubuh. Bahkan bahan-bahan kimia sintetis yang ditambahkan ke dalam beras atau terigu untuk mengawetkan dan menghasilkan warna yang menarik justru berbahaya bagi kesehatan kita.
  • Industri yang membuat mesin-mesin pengolahan dan pengemasan makanan mempermudah manusia dalam memperoleh makanan yang lebih awet dan lebih praktis untuk dibawa ke mana-mana. Salah satu hasil teknologi industri pangan yang sangat kita kenal saat ini adalah mi instan. Saat ini mi instan merupakan salah satu makanan yang paling banyak dijual dan dikonsumsi masyarakat, mulai dari kalangan ekonomi lemah sampai orang kaya. Dengan kemajuan industri, mi dikeringkan dan dikemas sedemikian rupa agar mudah dibawa ke mana saja dan disajikan kapan saja.
  • Industri kimia membuat berbagai bahan-bahan kimia sintetik seperti pewarna, penyedap, dan pengawet, yang ditambahkan ke dalam bahan-bahan makanan. Daging olahan dan makanan siap saji memang terasa enak di lidah. Tetapi tahukah kita bahwa setiap proses pengolahan akan mengurangi nutrisi yang terkandung di dalam daging dan makanan tersebut? Selain itu, penambahan zat-zat artifisial seperti pengawet, pewarna, dan penyedap rasa, juga memberi dampak negatif bagi tubuh kita.




Makanan Olahan Biasanya diberi tambahan bahan pengawet dan penyedap http://himikaung.Files.Wordpress.Com/2011/03/bahan-kimia-dalam-makanan11.Jpg


Tanpa kuliner kita nir bisa menjalani kehidupan menggunakan baik. Di pada makanan terdapat komponen-komponen yang diharapkan sang sel-sel tubuh kita. Tetapi, apa jadinya apabila kuliner yg kita makan sehari-hari justru menghambat kehidupan normal kita?


APA YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN?
Pengadaan pangan yang aman, sehat dan bermanfaat bagi kehidupan adalah tugas semua lapisan rakyat, mulai menurut produsen, konsumen, hingga aparatur negara. Oleh karena itu, buat menghindari semakin merosotnya mutu pangan di negara ini, hendaknya masing-masing pihak mengambil langkah berikut :
  • Di pihak produsen, hendaknya tidak mementingkan keuntungan bisnis semata dalam mengolah bahan pangan. Produsen hendaknya mematuhi etika dan ketentuan produksi  pangan yang berkualitas. Di kalangan industri pangan dan pertanian kini telah dikenal sistem pengawasan mutu pangan yang disertai dengan standar dan parameter tertentu yang harus dipatuhi, misalnya ISO 9000, ISO 14000. Hal itu hendaknya juga disertai dengan praktik-praktik seperti Good Agricultural Practice(GAP), Good Handling Practice (GHP) dan Good Manufacturing Practice (GMP) yang kesemuanya merupakan prinsip-prinsip yang perlu dijalankan dalam upaya menaikkan mutu pangan yang aman dan berwawasan lingkungan hidup.
  • Di pihak konsumen, hendaknya juga mulai mengembangkan sikap kritis dalam memilah pangan yang akan dikonsumsi. Pepatah mengatakan, “You are what you eat” atau “Dirimu mencerminkan apa yang kamu makan” patut menjadi pegangan. Orang yang sehat dan segar jasmaninya, adalah orang yang selektif mengonsumsi makanan berkualitas bagi tubuhnya. Sebaliknya, orang-orang yang telah mengidap penyakit-penyakit seperti diabetes, hipertensi, adalah orang-orang yang semasa hidupnya tidak mengontrol asupan makanannya. Selain itu, kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan mutu pangan juga penting untuk dibangkitkan. Sikap kritis masyarakat dalam pengawasan mutu pangan tentu akan menjadi dorongan positif bagi para produsen untuk melakukan proses produksi pangan yang sesuai dengan peraturan dan etika yang berlaku.
  • Di pihak pembuat kebijakan, pemerintah dan penegak hukum, hendaknya memberlakukan sistem manajemen mutu pangan yang terintegrasi, dari hulu hingga hilir, disertai peraturan yang jelas, pengawasan menyeluruh serta sanksi-sanksi bagi yang tidak mematuhi.


Konsumen yg kritis dan peduli terhadap mutu pangan akan mendorong terciptanya pembuat yg pula patuh dalam proses produksi yg aman & bermutu. Pada akhirnya, tanggung jawab terhadap upaya pengendalian mutu pangan terletak pada tangan kita seluruh. Maka, telah saatnya segenap lapisan warga senantiasa membuatkan sikap kritis terhadap produk pangan yang terdapat, berdasarkan proses pengadaannya pada lahan pertanian, hingga proses pengolahan & pendistribusian produk pangan tersebut.


?












































Kamis, 25 Juni 2020

[OPINI] Proklamasi Sudah, Berdaulat Belum Sepenuhnya! Ironi Negeri Agraris Pengimpor Bahan Pangan

Penulis: Anton Waspo

Tragedi Impor Pangan
Impor pangan telah menjadi candu bagi pelaku impor. Pernyataan seseorang anggota pakar dewan ketahanan pangan nasional ini ada benarnya[i]. Sementara produksi pangan mengalami surplus dibandingkan jumlah konsumsi namun impor permanen dilakukan. Mencermati data-data yg diolah sang Bappenas dalam dokumen RPJMN 2015 ? 2019[ii]maka pernyataan itu benar adanya. Pada periode tahun 2009 ? 2012, terdapat surplus beras, cabe dan bawang merah namun impor tetap terjadi. Sedangkan buat kedelai, gula & daging sapi produksi dalam negeri memang defisit.


Tabel 1. Produksi, Konsumsi & Impor Bahan Pangan 2009 - 2012




Perdebatan tentang data produksi, konsumsi dan impor kerap terjadi. Ini yang menjadi pangkal masalah pertama di tataran kebijakan dan pengambilan keputusan untuk impor. Data produksi pangan yang tidak akurat menjadi pintu untuk memuluskan impor produk pangan.  Ambil contoh produksi beras, bisa jadi uang negara yang sudah dihamburkan untuk membeli beras lebih banyak daripada untuk memperbaiki peningkatan produksi pangan. Sudah jamak dimaklumi, membeli itu lebih murah sehingga membuat malas untuk memproduksi sendiri. Perlu alasan kuat untuk berhenti membeli dan mulai memproduksi sendiri.


Harga Produksi Pangan
Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Kementan membeberkan fakta tentang harga produksi beras di beberapa negara Asia[iii].  Biaya produksi padi per ton pada tahun 2000 di China USD71, India USD 81 , Filipina USD 85, Thailand USD 129 dan Vietnam USD 64. Indonesia dengan kondisi yang relatif sama tetapi biaya produksi beras per ton mencapai USD 82. Hanya sedikit di bawah Filipina dan jauh lebih murah daripada Thailand. Perbedaan efisiensi ini ada pada kebijakan pemerintah dengan memberikan subsidi untuk produksi dan proteksi untuk perdagangan produk lokal.


Pangkal masalah kedua adalah biaya produksi pangan di negara lain memang lebih murah karena kebijakan pemerintahnya mendukung untuk itu.  Miris memang melihat kondisi ini menjelang 70 tahun usia kemerdekaan. Wajar saja jika impor jadi pilihan karena perbedaan harga produksi beras antara di Indonesia dan negara pesaingnya yang cukup lebar, misal dengan Vietnam. Keseriusan untuk memproduksi pangan tentu berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Memproduksi pangan sendiri berkaitan dengan kemandirian,kemudian barulah dapat berbicara kedaulatan.


Data yang dipublikasikan Kementan RI tentang Ekspor dan Impor tanaman pangan menunjukkan Indonesia belum menjadikan sektor pertaniansebagai sektor prioritas pembangunan ekonominya. Mestinya pemerintah memiliki kebijakan yang kuat di sektor pertanian, sehingga negara tidak selalu tergantungkepada impor.  Akibatnya devisa banyakkeluar, produk lokal sulit bersaing dengan produk impor dan tidak membuka lapangan kerja baru di sektor pertanian.








Pada sisi lain, kebijakan impor pangan dilakukan atas alasan menjaga stabilitas politik & keamanan. Apabila harga berbagai komoditas pangandibiarkan mahal masyarakat konsumen akan marah sebagai akibatnya bisa mengganggu stabilitas politik & keamanan dalam negeri dengan segala pengaruh negatifnya. Akan namun di negeri yang tingkat korupsinya sangatlah parah seperti Indonesia, kebijakan ini patutlah diperdebatkan. Pada waktu yg sama nir tampak ada upaya yg benar-benar memperbaiki syarat ketersediaan pangan.


Pendapat bahwa porto produksi pangan harus bersaing dengan pasar internasional bisa diikuti asalkan secara bersamaan ada perbaikan setidaknya di kebutuhan dasar yg lain. Bagaimana mungkin pada saat yg sama membeli harga pangan mahal namun wajib membayar biaya kesehatan & pendidikan pula mahal? Belum lagi di rakyat perkotaan yg masih wajib membayar air minum menggunakan harga mahal.


Pada saat usia Negara ini 100 tahun kelak. Artinya  30 tahun lagi, apa yang dapat dipersiapkan agar Indonesia mandiri mencukupi kebutuhan pangan dan berdaulat memproduksi pangan? Rentang antara tahun 1970-an sampai 2000-an menjadikan30 tahun lamanya waktu yang dapat kita pelajari dari dampak yang kita rasakan sekarang : impor pangan karena tidak melindungi lahan produksi dan petani yang memproduksi atas nama perdagangan internasional. Lalu, sekarang 15 tahun kemudian kita masih terbata-bata dan baru mempersiapkan kebijakan perlindungan petani dan perlindungan lahan pertanian.


Menguatkan Produksi Pangan menuju Kedaulatan Pangan
Perdebatan soal data produksi yang menjadi celah argumentasi impor mutlak harus diperbaiki, setidaknya saat ini bila melihat data statistik produksi Kementan sudah mulai ada perbaikan. Data yang ditampilkan selalu dua versi : versi BPS dan versi Kementan.  Tetapi ini bukan yang utama, yang utama adalah pijakan untuk produksi pangan yaitu lahan dan sarana produksinya yang menjadikan biaya produksi yang tidak efisien. Akan tetapi, tidak efisien di sisi produksi bukan jawaban untuk impor bila memperhitungkan kedaulatan pangan.


Perbaikan produksi pangan tentu harus dimulai dari ketersedian lahan untuk produksi. Rencana pemenuhan ketersediaan pangan yang dicanangkan di awal periode pemerintahan SBY untuk mendistrubusikan lahan kepada petani sampai 10 tahun kemudian tidak jelas keputusannya.  Jika ada petani dan buruh tani tidak mampu memproduksi pangan karena tidak ada lagi lahan, maka solusijangka panjangnya tentu penyediaan lahan. Impor pangan dengan harga murah bagi mereka adalah jawaban jangka pendek.


Pendistribusian pulang lahan pada buruh tani & petani kecil tidaklah relatif jika tidak dibarengi dengan perbaikan infrastruktur utama misalnya irigasi dan akses transportasi buat distribusi barang & wahana produksi. Pembatasan alih fungsi huma dari huma pangan ke huma komersial lain pula absolut dijalankan. Untuk itu UU tentang lahan pertanian tak pernah mati masih dapat diperlukan buat memproteksi serbuan impor pangan.


Selanjutnya,jika sehabis mempunyai lahan & dukungan infrastruktur tetapi semua wahana produksi wajib balik dibeli mengikuti harga pasar jua menjadi sia-sia. Pada titik ini petani hanya akan sebagai tukang tanam. Maka perlu dibarengi dengan kemauan pada menaikkan kemampuan petani buat menggunakan teknologi yang sesuai menggunakan kondisi alam yang dihadapi. Pengakuan akan kemampuan petani memproduksi & memperbaiki kualitas benih perlu diletakkan secara proporsional, janganlah buru-buru dicap pencurian hak milik intelektual atas benih. Atau dicap petani bukan ilmuwan sebagai akibatnya nir boleh memperbaiki kualitas benih.


Pada waktu yg bersamaan, pola konsumsi menjadi bagian berdasarkan budaya perlu jua diubahsuaikan kembali. Gandum bukan pangan orisinil Indonesia. Tiga puluh tahun sejak tahun 1970 dengan tumpuan pada riset pangan instan & pemasaran yang masif, sekarang kita lihat hasilnya. Gandum merupakan bagian berdasarkan budaya pangan kita. Sayangnya semua impor. Demikian juga beras, bersamaan menggunakan pendekatan bahwa makanan pokok Indonesia yg bernilai gizi tinggi adalah beras maka inilah jadinya waktu ini. Seberapa pun kencang kita ingin menghasilkan beras, kebutuhan beras akan selalu naik diiringi peningkatan jumlah penduduk.


Produksi beras yang bertumpu pada daya dukung alam ada batasnya. Sehingga kampanye diversifikasi pangan non beras memang mutlak dilakukan. Pilihan pangan dikembalikan pada kondisi alamnya. Sayangnya yang kita gunakan saat ini baru pendekatan kampanye. Bandingkan pendekatan iklan pemasaran mie instan & roti serta kue yang menjadikan gandum dan olahannya digemari masyarakat.


Pendekatan program pertanian yang represif sudah tidak akan memperoleh tempat di Indonesia, seperti periode sebelum tahun 2000. Membebaskan pilihan petani memproduksi bahan pangan dengan mengikuti selera pasar seperti saat ini juga tidak tepat. Petani yang tidak mampu akan kalah bersaing, konsumen pangan akan merana karena harga mahal. Maka dua sisi ini harus dilakukan berbarengan : (1) melindungi produksi dan produsen pangan dalam negeri untuk memproduksi keberagaman pangan serta (2) menciptakan kebutuhan atas pangan produksi sendiri dengan medium yang tepat.




[i]Khudori ( Kecanduan Impor Pangan Koran Sindo 8 Agustus 2011).
[ii]Studi Pendahuluan RPJMN Bidang pangan dan pertanian 2015 – 2019 Bappenas (2013)
[iii]Kebijakan proteksi dan promosi komoditi beras di Asia dan prospek pengembangannya di Indonesia, Analisis Kebijakan Pertanian Vol.02 No.04 2004 p340 -353
































































[OPINI] Menelusuri Hakikat Ketahanan Pangan

Memperingati kemerdekaan RI ke-69, menarik buat mempelajari makna kemerdekaan pada kaitannya dengan pangan. Dalam pidato kepresidenannya di tahun 1941, Presiden AS Franklin D. Roosevelt menegaskan bahwa masih ada empat bentuk kemerdekaan yang harus melekat dalam setiap individu ? Kemerdekaan buat berpendapat, buat berkeyakinan, berdasarkan ketakutan, & atas kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan). Penyelenggaraan pemerintahan hendaknya selalu didasari oleh semangat kemerdekaan ini.


Gambar 1, diambil berdasarkan http://inspirasifajardepok.Com

Dalam hal ini, ketahanan pangan juga patut mengemban semangat kemerdekaan ini. Ketika kita berbicara tentang ketahanan pangan, kita tidak hanya berbicara tentang tersedianya pangan bagi seluruh populasi. Kita berbicara lebih luas tentang kesejahteraan manusia dalam kaitannya dengan gizi, kesehatan, pengembangan diri dan kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang mendasari Michael Carolan[1], seorang pakar sosiologi pangan dari AS, untuk mempertanyakan hakikat ketahanan pangan (food security): apakah ketahanan atas pangan (secure of food), atau ketahanan melalui pangan (secure through food)?


Ketahanan: ?Atas? Atau ?Melalui? Pangan?
Bila kita cenderung pada definisi yang pertama (ketahanan atas pangan), maka pencapaian ini mungkin akan memuaskan kita. Pasca-Revolusi Hijau, produksi pertanian dunia di awal abad ke-21 telah mampu menghasilkan 17% lebih banyak kalori bagi setiap individu dibandingkan 30 tahun sebelumnya [2]. Indonesia telah berkali-kali mencapai swasembada pangan (sebut saja tahun 1984 dan 2008), meningkatkan konsumsi kalori penduduknya dalam 40 tahun terakhir, dan menurunkan persentase malnutrisi dari 22% di tahun 1991 hingga 9% saja di 2012 [3]. Terlebih, baik Indonesia maupun dunia tengah berupaya keras untuk mendorong produksi pertanian untuk menghasilkan lebih banyak lagi – sebut saja dengan pembukaan lahan pertanian baru, atau melalui teknologi rekayasa genetika yang dapat meningkatkan hasil panen hingga berkali lipat. Singkat kata, dunia telah jauh lebih baik dalam mencapai ketahanan ataspangan.


Apa yang salah dari argumen di atas? Pada kenyataannya, masalah ketahanan pangan lebih dari sekedar tersedianya cukup pangan bagi masyarakat. FAO melaporkan di tahun 2009 bahwa yang menyebabkansatu miliar penduduk dunia mengalami kerawanan pangan bukanlah produksi yang tidak mencukupi, tetapi minimnya aksesmasyarakat atas pangan, entah karena harga pangan yang terlalu tinggi atau penghasilan yang begitu rendah. Di sisi lain, konsumsi kalori yang meningkat tidak bisa menjadi patokan bagi ketercapaian ketahanan pangan. Di banyak negara maju, obesitas akibat pola makan berlebih dan tidak seimbang menjadi isu yang sangat krusial. Di AS, sebagai contoh, lebih dari 30% populasi mengidap obesitas, dan jutaan orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit yang terkait dengan obesitas (kolesterol, serangan jantung, diabetes, dsb.)[4]. Lebih lanjut, di banyak negara berkembang seperti Asia Pasifik dan Afrika, masyarakat dipaksa untuk mengubah jenis dan pola makan mereka (menjadi gandum) dengan dalih ketahanan pangan, yang mengakibatkan terjadinya transformasi budaya dan hilangnya kemandirian atas pangan.Jelas dari sini bahwa strategi pemenuhan pangan yang digembar-gemborkan tidak sepenuhnya dapat mewujudkan ketahanan melalui pangan – rasa aman (secure) untuk hidup secara sehat, layak dan utuh.


Berbagai definisi ?Ketahanan pangan?
Perdebatan tentang hakikat ketahanan pangan bukanlah hal yg baru. Pada tahun 1992 saja, telah masih ada ratusan definisi yg tidak selaras tentang ?Ketahanan pangan?. Ketahanan pangan semula didefinisikan dalam kerangka industri: ?Seberapa besar suatu rakyat mempunyai akses terhadap pangan untuk pemenuhan energi mereka?. Ketahanan pangan diukur melalui jumlah kalori yg tersedia dibandingkan menggunakan kalori yang diharapkan. Umbi-umbian, kacang-kacangan, sayur, atau butir (masing-masing memiliki nilai nutrisi berbeda) direduksi menjadi suatu angka kalori. Hal ini mendorong terjadinya penyeragaman pangan, dan menyempitkan pilihan pangan di dunia menjadi beberapa komoditas saja.
Dalam Revolusi Hijau, peningkatan produksi pertanian dianggap sebagai solusi terbaik pada mencapai ketahanan pangan. Saat itu, ?Ketahanan pangan? Sering disetarakan menggunakan ?Swasembada pangan? ? Seberapa sanggup suatu negara membentuk pangan buat konsumsi warganya. Indonesia memakai definisi ini buat menerangkan pencapaiannya atas ketahanan pangan. Patut disayangkan karena swasembada kemudian dipersempit hanya sebatas dalam komoditas ?Beras? -- di saat kita cukup akan beras, kita permanen harus mengimpor gula dan kedelai dengan harga mahal.Di awal 1990-an, pandangan ini mulai banyak ditentang. Definisi baru buat ketahanan pangan pun muncul: bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan, tetapi pula akses terhadap pangan.


Agaknya, definisi ini menjadi dasar bagi munculnya perdagangan bebas atas pangan. WTO berargumen bahwa ketahanan pangan terletak bukan pada kemampuan suatu negara menghasilkan pangan bagi dirinya sendiri, tetapi pada perdagangan internasional yang memungkinkan pangan dijual dengan harga yang kompetitif, dan pada kemampuan negara untuk mengimpor pangan melalui eksporproduk unggulan mereka. Sederhananya, jika negara-negara bersaing untuk menghasilkan bahan pangan semurah mungkin, maka masyarakat miskin pun dapat mengakses pangan tersebut dengan mudah. Ini, tentu saja, tidak sepenuhnya benar. Negara-negara Afrika, misalnya, menanam tanaman ekspor (cash crops) yang tidak mereka konsumsi sama sekali – bahkan bukan dari keanekaragaman lokal mereka. Melalui logika perdagangan bebas, negara-negara ini mengimpor pangan yang (saat itu) murah sebagai gantinya.  Pada kenyataannya, dengan perubahan iklim yang disertai krisis ekonomi di 2008, harga pangan dunia melonjak dan pertanian mereka gagal, menyebabkan terjadinya kelaparan dan kerusuhan di banyak tempat.


Pada tahun 1996, World Food Summit merumuskan definisi baruatas ketahanan pangan, yaitu “kondisi di mana semua orang, di setiap waktu, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan dan pilihan pangannya, untuk mencapai kehidupan yang sehat dan aktif”.Definisi ini terlihat lebih menyeluruh. ‘Bergizi’ berarti seimbang dalam nutrisi, dan tidak lagi hanya dalam kalori. ‘Pilihan’ berarti sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat. ‘Sehat dan aktif’ menunjukkan bahwa ketahanan pangan lebih dari sekedar ketahanan atas pangan, tetapi melalui pangan; bahwa pangan harus dapat membantu terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat untuk menjalani kehidupan pribadi dan sosial yang sehat dan aktif.

Definisi ini, meski lebih baik dari sebelumnya, jelas masih penuh kekurangan. Pertama, ini adalah definisi yang terlalu luas. Banyak pihak kemudian menawarkan konsep yang lebih nyata. La Via Campesina, misalnya, mendeklarasikan konsep kedaulatan pangan (kedaulatan negara dan masyarakat lokal untuk menentukan sistem pangannya sendiri, dengan berbasis pada sumberdaya lokal yang dikelola secara berkelanjutan). Kedua, pada prakteknya ‘ketahanan pangan’ memang sulit diukur. Alhasil, seringkali kita terperangkap kembali ke metode pengukuran konvensional untuk menyatakan seberapa besar kita tahan atas pangan – kalori, hasil panen, atau penghasilan.


Gambar 2; diambil dari http://www.Peuples-solidaires.Org/



Penutup


Rujukan:
[1] Carolan, M. 2013. Reclaiming Food Security. Routledge.
[2]Dillon, H.S. 1999. Trade & Food security in Indonesia. IAMA Conference, Florence.
[3] FAOStat. 2014. http://faostat3.fao.org/
[4] WHO. 2014. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/
































[PIKIR] Pangan Dalam Cengkeraman Kapitalisme

Penulis: Angga Dwiartama

Berbagai kasus tentang pangan dan pertanian di Indonesia bermunculan dalam 68 tahun sejak Indonesia merdeka. Penggundulan hutan dan konflik dengan masyarakat adat akibat perluasan lahan kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatera, importasi jutaan ton beras yang mengancam kestabilan harga gabah antara petani padi di Jawa,masuknya Monsanto, perusahaan raksasa Amerika, dan bibit jagung transgenik ke Indonesia, rencana pendirian Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua yang mengancam keberlangsungan masyarakat lokal dan lingkungan, hingga terakhir kasus kriminalisasi petani di Karawang – semua dapat ditilik dari kuatnya kapitalisme mengakar di dalam sektor pertanian dan pangan di Indonesia. Kapitalisme pangan adalah suatu sistem di mana pangan dan produk pertanian diperoleh melalui mekanisme pasar dan dioperasikan untuk memperoleh keuntungan (profit). Meski muncul dalam berbagai bentuk, kapitalisme pangan bukan hal baru, dan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Tulisan ini bermaksudmengulas evolusi kapitalisme pangan di Indonesia dan dunia, dampaknya bagi petani, konsumen dan lingkungan, serta solusi aksi yang dapat kita berikan sebagai aktivis untuk melawan cengkeraman kapitalisme ini.


Tiga rezim pangan pada dunia
Sejarah kapitalisme pangan di Indonesia tidak bisa lepas dari dinamika yang terjadi di tingkat global, setidaknya sejak Revolusi Industri di Eropa. Harriet Friedmann dan Phil McMichael, dua pakar sosiologi dari Amerika Serikat, membagi perkembangan kapitalisme pangan dunia semenjak awal Revolusi Industri hingga sekarang ke dalam tiga era (atau rezim): Kolonialisme pangan, Industrialisme pangan dan Neoliberalisme pangan1.


Revolusi Industri menciptakan kondisi pada warga Eropa saat itu, di mana petani di pedesaan beralih ke kota buat bekerja pada pabrik-pabrik, menyebabkan banyak lahan ditinggalkan & kota-kota akbar kekurangan pangan. Harapan terbaik adalah mengangkut produk pertanian berdasarkan negara-negara koloni di benua lain.Masa ini, dalam kerangka kapitalisme, dikenal dengan istilah rezim Kolonialisme Pangan (1860-an sampai 1930-an). Era ini dicirikan dengan pendayagunaan huma pertanian akbar-besaran di wilayah-daerah koloni, misalnya Australia, Amerika Serikat, dan banyak negara tropis, disertai ekspor produk pertanian secara masif ke Eropa. Di banyak loka, terjadi pergeseran paradigma pertanian, menurut ?Pemenuhan kebutuhan sendiri? (subsisten) menjadi ?Komersialisasi produk pertanian buat pasar global?.

Bentuk nyata kolonialisme pangan di nusantara tercermin pada sistem pertanian kulturstelselyang diterapkan Pemerintah Hinda Belanda untuk mengganti pertanian subsisten dengan komoditas ekspor (cash crops) seperti gula, kopra dan karet. Dengan sistem ini, petani harus membagi waktu, tenaga, dan lahan mereka untuk menanam tanaman pangan mereka sendiri di satu sisi, dan komoditas ekspor di sisi lain. Alhasil, pola pertanian menjadi lebih intensif, dan ini berakibat buruk bagi kualitas tanah pertanian mereka. Selain itu, petani dipaksa membayar pajak atas produksi pertanian mereka – seringkali dengan jumlah yang tidak masuk akal.


Gambar 1-kulturstelsel pada Hindia Belanda


Sumber:http://geschiedenis.Kartonnen-platen.Schoolplaten.Webwinkel.Lectorisalutem.Nl/?Pid=1454
Di Eropa, krisis ekonomi berkepanjangan yg terjadi pada penghujung abad ke-19, diikuti menggunakan Perang Dunia I dan II, memicu terjadinya restrukturisasi terhadap sistem pertanian & perekonomian dunia. Amerika perkumpulan (AS), sebagai pusat kekuatan baru, menciptakan hegemoni-nya melalui sistem keuangan dunia berbasis US Dollar & teknologi pertanian yg kelak dikenal menggunakan istilah Revolusi Hijau. Sementara sistem moneter baru memperkuat posisi AS di negara-negara maju seperti Eropa, Revolusi Hijau mengakarkan Alaihi Salam di negara-negara berkembang.


Revolusi Hijau berawal berdasarkan dikembangkannya terigu varietas unggul oleh Norman Borlaug, seorang agronom menurut AS. Dari sana, Revolusi Hijau menyebar ke aneka macam penjuru dunia, buat banyak sekali jenis komoditas pangan (misalnya jagung, beras dan kentang). Varietas unggul mempunyai ciri lebih responsif terhadap nutrisi cepat-serap, tumbuh lebih cepat, dan menyerap air lebih banyak. Memang, menggunakan ini varietas unggul dapat menghasilkan sampai 3 kali lipat hasil panen ketimbang varietas lokal. Akan namun, varietas unggul juga disertai dengan satumasalah:bahwa apa yg ditawarkan bukan hanya bibit, tetapi suatu paket teknologi yang padat modal, yang terdiri atas bibit varietas unggul, pupuk kimia, sistem irigasi intensif, mekanisasi pertanian, dan pestisida.Inilah yg mendasari industrialisasi pangan.


Alaminya, kapitalisasi sistem pertanian ini cenderung menaikkan kesenjangan sosial di antara petani. Pertanian intensif menyebabkan terjadinya akumulasi kapital. Petani dengan modal besarakan memperoleh laba lebih besar juga. Sebaliknya, petani gurem nir akan bisa meningkatkan kapasitas produksi mereka. Di kala terjadi kegagalan panen, mereka yang telah terjerat hutang wajib merelakan lahan mereka dibeli oleh para petani akbar, & beralih sebagai buruh tani, atau buruh pabrik pada perkotaan.


Di Indonesia, program Revolusi Hijau baru dapat masuk setelah Soeharto membuka pintu investasi asing di tahun 1970. Badan PBB di bidang pertanian, FAO, bekerjasama dengan USAid, memberikan bantuan pertanian melalui pengadaan varietas unggul, pembuatan pabrik-pabrik pupuk nasional, dan paket pengendalian hama. Sepuluh tahun sejak Revolusi Hijau dicanangkan di Indonesia, data menunjukkan bahwa sebanyak 5% dari pelaku usaha pertanian padi di desa menguasai lebih dari 90% lahan pertanian2.


Pola ini juga terjadi pada Amerika serikat. Pemerintah Alaihi Salam memberikan subsidi akbar-besaran buat produksi gandum, jagung & kacang kedelai, yang mengakibatkan segelintirperusahaan tumbuh menjadi sangat akbar dan mendominasi sektor pertanian ? Sebut saja Monsanto, Cargill, Novartis, dan Syngenta. Hal ini sebagai dasar bagi tumbuhnya rezim pangan berikutnya di dunia.
Krisis minyak bumi dalam tahun 1973 akibat monopoli minyak sang OPEC memukul mundur dominasi Alaihi Salam terhadap global. Pelaku usaha menyadari bahwa menggantungkan diri pada kebijakan suatu negara bukanlah suatu strategi yg baik. Perusahaan-perusahaan besar di AS mulai berinvestasi di negara-negara lain. Terbentuklah apa yg diklaim Multi-National Corporations (MNC), perusahaan super besar yang tidak lagi dikekang sang batas-batas negara. Negosiasi yg terjadi di tingkat regional dan internasional, seperti melalui WTO atau AFTA, menuntut satu hal: negara wajib menghilangkan pajak, subsidi dan apapun yang Mengganggu terjadinya proses perdagangan bebas & menyerahkan seluruh ke mekanisme pasar. Lantaran itu, era ini dikenal dengan istilah Neoliberalisme Pangan.

Bercermin pada apa yang terjadi di negara-negara seperti AS dan Meksiko, neoliberalisme pangan menghimpit sektor pertanian kita dari dua sisi. Di satu sisi, bibit, pupuk, dan pestisida dikuasai oleh segelintir perusahaan. Melalui lobi terhadap pemerintah, perusahaan ini memiliki kekuatan untuk mengatur harga, memasang Paten atas produk mereka dan menindak petani yang melanggar. Di sisi lain, industri pangan raksasa juga menguasaipasar produk pangan dan mengontrol keinginan konsumen untuk membeli. Dari himpitan itu, petani lah yang paling banyak dirugikan. Seringkali petani tidak dapat menikmati keuntungan dari hasil panennya karena harga produk di pasar terlalu rendah, atau hutang untuk membeli sarana produksi pertanian terlalu tinggi. Tetapi konsumen pun turut menjadi korban. Seberapa sering kita digiurkan oleh produk-produk makanan yang rendah nutrisi dan kaya bahan penguat rasa, seperti yang ditawarkan oleh berbagai restoran siap saji (fast food). Seringkali kita tidak tahu apa yang terkandung di dalam makanan yang kita beli. Lebih lagi, sebagian besar produk konsumen di dunia dikuasai oleh tidak lebih dari 10 MNC (Lihat Gambar 2). Lalu bagaimana kita melepaskan diri dari jeratan mereka?


Gambar dua-10 MNC menguasai sebagian akbar produk konsumen


Diambil berdasarkan http://thepoliticalcarnival.Net/wp-content/uploads/2012/05/10-multinational-corporations-control-most-consumer-brands.Jpg
Penutup
Satu hal yang menarik adalah bahwa di awal abad ke-21, kapitalisme tidak lagi sekuat satu abad sebelumnya.Ulrich Beck3, seorang sosiolog dari Jerman, mengistilahkan masyarakat di abad ini sebagai risk society – masyarakat yang lebih peka terhadap informasi, lebih kritis, lebih memperhatikan resiko dari segala bentuk modernisasi, dan lebih mau berorganisasi untuk perubahan. Seiring dengan munculnya berbagai dampak buruk dari kapitalisme pangan, gerakan-gerakan akar rumput mulai bermunculan untuk melawan dominasi MNC.Hebatnya, mereka pun berhimpun di tingkat internasional. Sebagai contoh, La Via Campesina (di Indonesia diwakili oleh Serikat Petani Indonesia) yang menuntut kedaulatan pangan dan hak-hak petani gurem, Slow Food Movement sebagai respons terhadap meluasnya industri fast-food di berbagai belahan dunia,Fair Trade yang menyuarakan perdagangan yang lebih berkeadilan, hingga gerakan-gerakan lokal seperti pasar petani (farmers’ market), Community-Supported Agriculture, komunitas organik, dan sebagainya, mulai tumbuh dengan subur. Komunitas ini tidak lagi didominasi oleh petani dan masyarakat terpinggirkan, tetapi juga masyarakat kelas menengah di perkotaan.


Satu langkah konkret bagi kita buat melawan kapitalisme pangan merupakan melalui ekonomi komunitas ? Suatu kegiatan ekonomi yg tidak didasari sepenuhnya oleh prosedur pasar. Kita dapat memulai menurut hal-hal kecil: membeli produk lokal dan berbelanja di pasar tradisional, menanam tanamanmu sendiri & bertukar pangan (barter) menggunakan kawan-mitra di komunitas, dan ber-ekonomi menggunakan uang sesedikit mungkin.Suarakanpula kekhawatiranmu atas berbagai imbas kapitalisme pangan, serta berikan merata wangsit tadi ke teman-teman terdekat, atau lewat media-media sosial. Lebih lanjut, mulailah terlibat dalam banyak sekali kegiatan di gerakan-gerakan akar rumput pada komunitas engkau , & mulailah berjejaring!


Rujukan:
1Friedmann, H. & McMichael, P. 1989. Agriculture and the State System: The Rise and Decline of National Agricultures, 1870 to the Present. Sociologia Ruralis 29, 93 – 117.
2Hart, G., A. Turton, B. White, B. Fegan & L. T. Gheen (Eds.) 1989, Agrarian Transformations: Local Processes and the State in Southeast Asia. University of California Press.


3 Beck, U. 1992. Risk society: towards a new modernity. SAGE.













































Rabu, 24 Juni 2020

[PIKIR] Sudahkah Bangsa Indonesia Berdaulat Pangan?

Penulis: David Ardes Setiady


1http://www.Spi.Or.Id/wp-content/uploads/2011/10/Aksi-Pemuda-Peduli-Pangan3.Jpg


Menyambut peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-69, sebuah pertanyaan yang selalu relevan buat ditanyakan merupakan ?Sudahkah kita merdeka??. Pertanyaan tadi merupakan upaya pemaknaan yang dibutuhkan agar kita menciptakan kesadaran kritis mengenai kondisi negeri ini. Bagaimanakah perkembangan kehidupan bangsa ini sesudah mendeklarasikan kemerdekaannya tahun 1945 silam? Mimpi para pendiri bangsa ini merupakan menyaksikan rakyatnya berdaulat, berdikari dalam mengelola kehidupannya. Di sini, pertanyaannya bisa diganti menjadi ?Sudahkah bangsa ini sebagai berdikari??.


Kemandirian bangsa ini, bukan persoalan administratif semata, melainkan segala aspek kehidupan, terutama hal-hal fundamental yang diperlukan bagi penyelenggaraan kehidupan. Di antaranya adalah masalah pangan, yang kian hari kian mengkhawatirkan. Krisis pangan yg mulai mendera bangsa ini, menjadi sebuah indikasi tanya akbar karena tanah nusantara sesungguhnya tanah yang kaya & berlimpah. Persoalan kekeringan yg ditimbulkan oleh tidak menentunya kondisi cuaca, seringkali dituding menjadi penyebab primer terjadinya krisis pangan. Sementara masalah teknis pertanian, yakni ketergantungan pupuk dan bibit adalah penyebab lain yang menegaskan adanya krisis pangan. Hal lain terkait pangan yang cukup mengkhawatirkan adalah pola makan rakyat Indonesia saat ini, yg cenderung menggunakan bahan sintetis/kimiawi dimana impak terhadap kesehatan tubuh sangatlah berbahaya dalam jangka panjang. Sementara penggunaan bahan sintetis tersebut mulai menunjuk kepada ketergantungan pada tingkat tempat tinggal tangga. Belum lagi, serbuan kuliner instan menggunakan kandungan bahan sintetis yg menyebar melalui pasar swalayan ataupun warung-warung mini . Kesemuaannya itu perlu kita lihat satu per satu sebagai sebuah upaya untuk menjawab ?Sudahkah kita mandiri??, khususnya pada bidang pangan.


Krisis Pangan, Kesalahan Pengelolaan?
Cukup mudah mendeteksi tanda-tanda krisis pangan yg mulai melanda Indonesia, salah satunya merupakan melihat tingginya nomor impor yang dilakukan sang bangsa ini, baik melalui pemerintah juga para pengusaha impor. Yang mengkhawatirkan adalah jumlah impor yg tinggi jua terjadi dalam bahan pangan, yg sebetulnya sanggup dihasilkan oleh huma pada Indonesia. Bahan-bahan misalnya beras, jagung, kedelai, bawang, bahkan garam dan gula hanyalah segelintir bahan yang diimpor berdasarkan luar negeri. Periode Januari ? November 2013, data BPS mencatat nilai impor Indonesia mencapai US$ 8,1 miliar menggunakan volume mencapai 17 miliar kilogram. Angka ini sebetulnya termasuk tinggi untuk negara yg mengklaim dirinya menjadi negara agraris dan maritim.


Kalau misalnya kita bandingkan dengan kondisi geografis negara Indonesia, luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan mencapai 3.257.483 km2. Di dalamnya terkandung keanekaragaman hayati yang tinggi, serta kenyataan bahwa alam Indonesia berada dalam jalur vulkanik (ring of fire), di mana debu gunung berapi mengembalikan unsur hara di dalam tanah yang baik bagi pertanian. Berbagaitumbuhan di Indonesia cukup banyak yang masuk ke dalam kategori tanaman pangan, misalnya umbi-umbian yang mengandung karbohidrat, buah-buahan, jagung, dll. Selain itu, sumber pangan lain terdapat pada hewan, baik di darat maupun yang hidup di perairan. Kalau berkaca dari negara Jepang, konsumsi ikan termasuk tinggi dan menunjukkan pengaruh positif terhadap pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat mereka. Artinya, alam Indonesia (baik darat maupun laut) sebetulnya menyediakan lebih dari cukup untuk kebutuhan pangan bagi rakyat negeri ini.


Kisah yang relatif ironis menurut impak impor ini adalah sempat menghilangnya produk kedelai dari pasaran, yakni memahami dan tempe. Kondisi tadi terjadi pada pertengahan tahun 2013. Para pengrajin tahu dan tempe mengeluhkan dua hal : pertama merupakan mahalnya bahan baku kedelai di pasar, kedua merupakan minimnya ketersediaan bahan standar kedelai. Kedua hal tersebut saling berafiliasi pada prosedur pasar, pada mana harga bahan baku yang mahal adalah akibat berdasarkan minimnya jumlah bahan standar yang tersedia. Seperti yang sudah dituliskan pada atas, kedelai merupakan galat satu bahan pangan yg diimpor, nilainya mencapai US$ 1 miliar menggunakan volume 1,62 miliar kg. Angka tersebut termasuk tinggi[1].
Kondisi tadi semakin memprihatinkan saat melihat banyaknya para petani yang beralih profesi ke sektor lain. Data sensus pertanian 2013 yg dirilis oleh BPS memberitahuakn penurunan rumah tangga pertanian yakni sejumlah 26,13 juta rumah tangga dibandingkan dengan tahun 2003 yg berjumlah 31,17 juta rumah tangga[2].


Ketergantungan Pangan : Haruskah Makan Beras?
?Kalau belum makan nasi berarti belum makan?, kata-kata ini sudah lazim kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, yg menampakan persepsi warga Indonesia terhadap pola makan. Kemudian kata-istilah itu juga memberitahuakn ketergantungan terhadap beras yg relatif tinggi sebagai makanan pokok. Mungkin kita telah lupa bahwa kuliner pokok suatu wilayah nir selalu beras. Di Papua, rakyat asli umumnya akrab dengan umbi-umbian seperti sagu & singkong menjadi asal karbohidrat. Begitupun menggunakan pulau Jawa sendiri, sebetulnya pula mengenal umbi-umbian menjadi asal karbohidrat selain beras. Di Madura, jagung sebagai makanan pokok.



2http://www.Ristek.Go.Id/file/gallery/2012/04/beras.Jpg

Perubahan kuliner pokok di banyak sekali daerah pada Indonesia, salah satunya disebabkan oleh Revolusi Hijau yang dijalankan sang rezim Orde Baru sampai tahun 1990-an. Revolusi Hijau telah menyebabkan perubahan alih fungsi lahan buat membentuk beras sebanyak-banyaknya. Yang lebih lanjut berdampak kepada pola makan rakyat yang sebagai bergantung pada beras. Di ketika ini, sudah mulai timbul gerakan buat mengurangi konsumsi beras pada masyarakat menggunakan mempromosikan asal-sumber karbohidrat yg sanggup ditumbuhkan oleh Indonesia, seperti sagu, ubi, singkong, jagung. Bahan pangan yg sebelumnya telah dikenal sang masyarakat Indonesia.


Zat Aditif, Gaya Hidup Berbahaya
Sejak reformasi bergulir, ekonomi Indonesia cenderung dibuka seluas-luasnya buat disusupi sang asing sebagai akibatnya terjadi industrialisasi pada aneka macam aspek. Industrialisasi pangan pun nir terhindarkan hingga menyebabkan pengelolaan pangan dengan memakai mesin & menaikkan jumlah makanan pada bungkus. Salah satu produk industri pangan yg ?Spesial ? Indonesia ketika ini merupakan mi instan. Sebuah norma yang mulai ?Membudaya? Pada warga adalah saat terjadi bencana alam, maka keliru satu sumbangan yg diberikan berupa mi instan. Alasannya merupakan agar lebih mudah dan cepat buat segera menyantap jenis kuliner yg dimaksud.


Menurut data World Instant Noodles Association (WINA), konsumsi mi instan di Indonesia dalam tahun 2012 mencapai 14,1 miliar kemasan. Dari peringkat yang disusun WINA, Indonesia berada pada peringkat kedua setelah RRT (Republik Rakyat Cina?) pada hal mengonsumsi mi instan[3].
Padahal kita tahu, bahwa kandungan di pada mi instan tadi sangatlah tidak sehat bagi tubuh. Penggunaan zat-zat aditif seperti MSG (monosodium glutamate), pengawet, pewarna kuliner, dsb, sangatlah banyak terdapat pada makanan yg diproduksi sang pabrik. Gempuran makanan pabrik didukung juga oleh jaringan pasar swalayan yang kian hari bertambah pesat hingga ke pelosok. Artinya, yang mengenal kuliner pabrik nir lagi masyarakat perkotaan, tetapi jua pedesaan.



3http://sin.Stb.S-msn.Com/i/8D/778C880E830314360945D96841F33.Jpg

Kedaulatan Pangan Di Indonesia, Kapan?
Melihat situasi pada atas, sesungguhnya kita belum bisa berkata bahwa Indonesia sudah berdaulat pangan. Tantangan yg kita hadapi nir hanya soal menahan laju impor, tetapi lebih-lebih mengangkat kualitas manusia Indonesia buat mengelola pangannya menggunakan baik. Pengelolaan pangan berupa kemampuan menghasilkan sendiri yg baik, tentu menggunakan sendirinya mampu mengerem kebutuhan impor pangan. Selain itu, kita pula harus memiliki pendidikan mengenai kesehatan pangan, buat menanamkan kesadaran pada pentingnya memilih pangan yg sehat & alami. Karena kita sedang berhadapan menggunakan gempuran kuliner pabrik yang mengandung berbagai bahan sintetis yang buruk bagi kesehatan tubuh.
Setelah semuanya itu dilakukan, pertanyaan terakhir adalah ?Kapankah kita berdaulat pangan??




[1] Dikutip berdasarkan http://usaha.Liputan6.Com/read/791549/daftar-29-bahan-pangan-yang-diimpor-ri-hingga-november
[2] Seperti yg dirilis melalui http://www.Tempo.Co/read/news/2013/09/07/092511259/BPSi-Jumlah-Petani-Berkurang
[3] Dikutip berdasarkan : http://www.Infobanknews.Com/2013/10/orang-indonesia-makan-mi-instan-26-826-kemasan-per-mnt/

































































[PROFIL] Gerakan Koperasi Teikei di Jepang

Penulis: Any Sulistyowati

Sistem Pertanian Jepang dan Perkembangan Pasar Global


Di negeri Jepang, 70% lahan merupakan hutan & huma-lahan pertanian sangat terbatas. Delapan puluh persen petani Jepang mengelola kurang dari 1.Lima hektar tanah. Meskipun sempit, huma-lahan tersebut sangat subur sehingga dapat ditanami 2-3 jenis flora secara bergantian, misalnya terigu, padi dan sayuran juga butir-buahan. Produksi pertanian pada Jepang berkembang pesat sesudah perang global ke 2, pada mana para tuan tanah diminta buat menyerahkan huma-lahannya pada para penggarap, yang dengan penuh semangat membentuk produksi pangan nasional. Pertanian pada Jepang berhasil memenuhi kebutuhan warga Jepang pada taraf lokal.


Sejak tahun 1954, Amerika Serikat mengirimkan surplus gandumnya ke Jepang sebagai konsekuensi kesepakatan militer kedua negara.  Akibatnya Jepang mengalami surplus pangan dan ekonomi Jepang pun makin berkembang pesat. Dalam kondisi tersebut masyarakat di perdesaan Jepang banyak yang berpindah ke kota untuk menjadi buruh di pabrik-pabrik. Dengan kelangkaan tenaga kerja, pertanian di Jepang berubah menjadi pertanian modern, skala besar, monokultur, padat modal, menggunakan mesin, terspesialisasi dan bergantung pada bahan kimia dan bahan bakar minyak.
Sebagai akibatnya, pertanian di Jepang menghadapi krisis besar. Sementara pangan yang diproduksi terkontaminasi dengan bahan kimia, para petani makin tergantung pada sumber penghidupan lainnya. Hidup sebagai petani terasa sungguh berat. Selain terkena resiko penyakit akibat penggunaan bahan kimia, penghasilan mereka dari sektor pertanian semakin sedikit. Semakin sedikit orang mau menjadi petani. Produksi pangan petani Jepang semakin sedikit. Produk pangan didominasi oleh produk pangan impor.  Trend semacam ini terjadi di seluruh dunia. Sistem pasar global mendominasi sistem produksi dan penyediaan konsumsi pangan seluruh dunia. Manusia sebagai konsumen pangan makin terpisah dari produksi pangannya.

Di tahun 80-an, khususnya setelah kecelakaan Cherynobyl di tahun 1986, masyarakat makin peduli dengan keamanan pangan. Kebutuhan akan produk yang sehat meningkat. Para pedagang merespons pasar ini dengan menjual produk organis dengan harga lebih  mahal dari produk biasa. Banyak pedagang mengeruk keuntungan dari harga yang mahal ini. Badan-badan sertifikasi mendapatkan keuntungan dari memberikan jaminan kepada produsen akan kualitas produk. Tentu saja biaya tersebut dibebankan kepada konsumen.
Pada sistem pasar dunia ini, harga dipengaruhi sang hukum penawaran & permintaan. Hukum penawaran dan permintaan ini mengakibatkan fluktuasi harga pasar. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian, baik bagi pembuat maupun konsumen, yang bisa berujung dalam kerugian pada ke 2 belah pihak.
Di dalam pasar konvensional, pembuat & konsumen terpisah sama sekali. Di dalam sistem yang terpisah tersebut, konsumen nir memiliki kabar mengenai produk apa saja yg seharusnya tersedia pada saat eksklusif. Akhirnya para penghasil akan memproduksi sesuai menggunakan prediksi mereka akan kebutuhan konsumen. Ada kalanya konsumen menginginkan sesuatu yang di luar musimnya. Pembuat terpaksa memproduksi sesuatu di luar daur alam. Akhirnya diterapkan berbagai teknik pertanian yang bukan saja mahal namun berdampak negatif terhadap alam. Selain itu, pada pada sistem pasar yg kini dominan berjalan, sering masih ada keterangan yang mengacaukan persepsi, baik bagi konsumen juga penghasil. Pembuat seringkali menyampaikan liputan yg bias sehingga mendorong konsumen buat mengkonsumsi produk tertentu. Sebaliknya konsumen seringkali menyampaikan kebutuhan akan produk tertentu yang sebetulnya nir dibutuhkan.
Lahirnya Sistem Teikei
Pada tahun 70an, konsumen di Jepang mulai peduli dengan bahaya produk pertanian yang terkontaminasi dengan pestisida, pupuk kimia, herbisida dan antibiotik. Pada tahun 1975, Sawako Ariyoshi menulis buku Fukugouosen, yang dalam bahasa Jepang berarti polusi kompleks. Sementara itu di perdesaan, para petani menderita berbagai macam penyakit akibat penggunaan pestisida dan herbisida. Akibatnya muncul kesadaran kritis untuk mencari solusi bersama untuk menghasilkan makanan dan ekosistem pertanian yang sehat dan menguntungkan bagi konsumen sekaligus produsen pangan. (Hashimoto, 2009)
Sistem Teikeiberawal pada tahun 1960-an ketika ibu-ibu di Jepang kuatir akan kualitas susu akibat tercemar limbah merkuri. Untuk menjamin keamanan susu dan bahan pangan lainnya yang mereka konsumsi, mereka membentuk asosiasi konsumen yang berkolaborasi dengan asosiasi produsen untuk menghasilkan pangan yang sehat bagi semua.
Dalam bahasa Jepang, teikei bermakna ‘kerjasama’, ‘koperasi’, ‘bisnis bersama’ atau ‘terhubung’. Sistem Teikei adalah bentuk kerjasama kreatif antara produsen pangan dan konsumen, yang dilakukan secara langsung, sukarela dan dalam skala lokal. Kerjasama ini menguntungkan kedua belah pihak. Pihak produsen tidak mencari keuntungan secara finansial, bahkan turut menjaga alam dengan menjalankan praktek pertanian organis. Sementara konsumen, tidak hanya sekedar mengonsumsi, melainkan turut mendukung produsen dalam menjaga keseimbangan alam dan pengadaan pangan yang sehat. Sistem Teikeimerupakan contoh konkrit produksi dan konsumsi pangan yang ramah lingkungan. Sistem ini bukan lagi sekedar praktik teknis pertanian organis, melainkan praktik gaya hidup baru yang menghormati sesama manusia dan alam.
Salah satu penggagas sistem teikei adalah JOAA[1]. Ketika JOAA didirikan pada tahun 1971, Jepang sedang gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan ekonomi. Ekonomi mereka tumbuh lebih dari 10% per tahun. Industri berat berkembang pesat. Dampaknya adalah kontaminasi limbah kimia dan kerusakan alam. Tragedi Minamata adalah yang terparah. Saat itu produk pertanian didominasi oleh pertanian kimia dan penggunaan bahan bakar fosil.
Salah satu contoh koperasi teikei adalah koperasi yang beranggotakan 26 petani di Desa Miyoshi di Provinsi Chiba. Masing-masing petani mengelola lahan sekitar 1.2 hektar. Koperasi ini mendukung sekitar 800 konsumen di Tokyo dan sekitarnya. Para petani mengirimkan produknya secara rutin di sekitar 116 tempat di mana konsumen dan produsen dapat bertemu secara langsung.





Filosofi Sistem Teikei
Di dalam sistem teikei, fungsi utama pertanian adalah pertama-tama menghasilkan pangan untuk menghidupi keluarga petani. Pangan adalah kebutuhan dasar dan tidak seharusnya diperjualbelikan untuk menghasilkan keuntungan. Di dalam sistem teikei, pertanian seharusnya penuh vitalitas yang selaras dengan alam. Hal ini terkait erat dengan fungsi pangan yang utama yaitu untuk melanjutkan kehidupan. Pangan bukan lagi komoditas. Kemandirian adalah hal kunci yang perlu dicapai dengan menghasilkan seberagam mungkin jenis meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit. Dengan keberagaman ini risiko gagal panen akibat serangan hama dan perubahan cuaca akan lebih kecil.

Di dalam sistem teikei, terjadi hubungan persahabatan antara produsen dan konsumen. Keduanya terlibat dalam proses distribusi. Harga ditentukan melalui kesepakatan kedua belah pihak melalui negosiasi langsung. Harga tersebut seringkali lebih tinggi daripada di pasar grosir tetapi masih lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar swalayan. Harga ini menjamin kehidupan petani tercukupi sekaligus  menjamin kesehatan dan keselamatan pangan bagi konsumen. Dalam kondisi sulit seperti kasus gagal panen, konsumen ikut bertanggung jawab dan berkontribusi pada biaya yang harus ditanggung oleh produsen. Produsen juga dijamin untuk mendapatkan harga yang baik untuk setiap produk yang dihasilkannya. Hal ini akan menjamin hubungan jangka panjang antara produsen dan konsumen.




Kontribusi Sistem Teikei pada Penyelesaian Krisis Ekologi


Produksi dan konsumsi pangan zaman sekarang banyak menyebabkan krisis ekologi. Salah satu bentuknya merupakan banyaknya sampah dari kemasan dan berdasarkan proses seleksi produk yang tidak memenuhi standar. Selain itu di pada sistem pasar ini, produk diangkut berdasarkan loka yang jauh memakai bahan bakar fosil yang nir dapat diperbarui & membentuk polusi.


Di dalam sistem Teikei, produsen dan konsumen saling mengenal. Konsumen mengenal kualitas produk yang dihasilkan petani, yang mereka yakini kaya gizi dan aman dikonsumsi. Mereka tidak memerlukan kemasan yang berlebihan. Mereka tidak perlu melakukan seleksi berdasarkan bentuk, ukuran maupun warna seperti yang dilakukan oleh supermarket atau pasar modern.
Di dalam sistem Teikei, pangan dihasilkan sesuai musimnya. Terjadi efisiensi biaya produksi karena tidak ada kebutuhan untuk melakukan proses tambahan untuk memproduksi hasil pangan di luar musimnya. Pangan dihasilkan secara alami di lahan-lahan pertanian organis di Jepang. Di setiap petak lahan pertanian, terdapat beragam jenis tanaman dan dapat dipastikan keragaman alaminya. Keragaman ini menjamin keanekaragaman hayati dan konservasi alam lokal.






Setelah mengikuti teikei, terjadi perubahan gaya hidup di tingkat konsumen. Pertama-tama, terjadi perubahan secara signifikan pada pola makan dan belanja. Mereka mengkonsumsi apapun yang diproduksi di kebun, lepas dari bentuk, ukuran dan warnanya. Mereka secara kreatif menciptakan resep-resep yang cocok untuk bahan-bahan yang diproduksi. Mereka menyesuaikan konsumsi mereka dengan musim. Konsumsi menyesuaikan apa yang tersedia, bukan sebaliknya. Produk yang dihasilkan diyakini sehat karena sesuai dengan musim dan tidak perlu asupan bahan kimia tambahan atau perlakuan buatan. Bahkan konsumen menyerahkan sisa makanannya untuk dikompos menjadi pupuk oleh petani.
Melalui sistem teikei, konsumen berkesempatan belajar mengenal sistem pertanian. Mereka dapat mengunjungi atau menjadi relawan di lahan-lahan pertanian organis. Dari proses tersebut mereka dapat melihat secara langsung proses produksi pangan. Mereka makin menghargai makanan yang mereka konsumsi setiap hari. Proses ini sangat penting, khususnya bagi warga perkotaan yang hidupnya terpisah dari alam. Sebaliknya, para petani juga berkesempatan berinteraksi dengan konsumen dan memahami harapan mereka dengan lebih baik. Melalui interaksi tersebut muncul banyak gerakan sosial dan lingkungan, di antaranya adalah berbagai gerakan dukungan terhadap lingkungan, protes terhadap nuklir, insinerator, dll.
Penyebaran ke semua global
Pertemuan Earth Summit di Rio de Janeiro tahun 1992 membuka peluang diskusi dan pilihan jawaban akan persoalan lingkungan global. Di dalam pertemuan tersebut, setiap negara menyepakati pentingnya membangun masyarakat yang berkelanjutan di negara masing-masing. Pertanian organis adalah bagian penting dari masyarakat yang berkelanjutan. Sejak saat itu muncul banyak gerakan pertanian organis di seluruh dunia yang dilakukan oleh banyak pihak. Sistem teikei merupakan salah satu cara untuk menghasilkan pertanian organis yang efektif dan efisien. Sistem teikei kemudian berkembang menjadi yang sering disebut sebagai community supported agriculture (CSA).
Di Jepang sendiri, JOAA mencatat ada sekitar 650 koperasi di Jepang dengan anggota lebih dari 16 juta orang. Dari jumlah tersebut, makin banyak yang menerapkan sistem teikei. Saat ini diduga ada sekitar 500-1000 kelompok konsumen yang tergabung dengan gerakan teikei di Jepang. Ukuran kelompok bervariasi mulai dari 10 sampai 5000 keluarga.
Apakah tidak ada masalah dengan sistem teikei? Tentu saja ada. Saat ini, beberapa koperasi teikei menghadapi masalah sebagai berikut: tidak ada pergantian kepengurusan selama puluhan tahun, berkurangnya jumlah relawan akibat banyak perempuan harus bekerja, dan tersedianya beragam produk organis dan sehat di pasar konvensional dengan harga yang lebih murah dan mudah didapat.  Banyak petani sudah menjadi tua, anak-anak mereka tidak ingin lagi menjadi petani, dan keterbatasan konsumen yang mau menjadi anggota teikei. Semuanya ini adalah tantangan yang harus dijawab agar gerakan teikei sungguh-sungguh berhasil dalam penyebaran gaya hidup organis ke seluruh dunia.
Referensi:
http://en.Wikipedia.Org/wiki/Teikei, 6 Mei 2014.
Shinji Hashimoto, 2009. Teikei System in Japan. Http://blog.Urgenci.Net/, 6 Mei 2014.
Martin J. Frid, ?Organic Farming in Japan: Lessons for the World?, Consumers Union in Japan. Http://www.Nishoren.Org/, 6 Mei 2014.
Japan Organic Agriculture Association, "TEIKEI"system, the  producer-consumer co-partnership and the Movement of the Japan Organic Agriculture Association,http://www.joaa.net/english/teikei.htm, 6 Mei 2014.



[1] JOOA (Japan Organic Agriculture Association) adalah organisasi nirlaba yang dibentuk tahun 1971. Organisasi ini sepenuhnya dibiayai dari iuran anggota dan tidak disubsidi baik oleh pemerintah maupun oleh swasta. Mereka menerbitkan newsletter tanpa sponsor dan iklan. Saat ini JOAA memiliki sekitar 3000 anggota, 20-25% di antaranya adalah petani. Sisanya kebanyakan adalah konsumen yang memiliki latar belakang berbagai profesi, seperti dokter, ekonom, pekerja, wartawan dan lain-lainnya.


























































Cloud Hosting Indonesia