Tampilkan postingan dengan label Eventus Ombri Kaho. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Eventus Ombri Kaho. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 Mei 2020

[PIKIR] KESAKRALAN : DASAR TINDAKAN MORAL DALAM MELESTARIKAN ALAM

Oleh : Eventus Ombri Kaho

Di zaman sekarang yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat  rupanya cenderung membuat manusia makin sulit mengendalikan hasrat membeli barang-barang yang hanya sedap dipandang mata.. Zaman berkembang maju luar biasa oleh karena perkembangan akal manusia yang semakin prioritas. Sehingga hati nurani tertinggal oleh akal budi yang saat ini seakan sulit untuk dikejar. Hasrat manusia yang tidak pernah terpuaskan menjadi pusat untuk segala sesuatu, sehingga paham antroposentrisme yang berpusat pada hasrat dan pemuasan diri seakan tak terkendali dan menyebabkan semua hal selain itu adalah objek dan cenderung dipahami sebagai hamba untuk melayani hasrat.

Degradasi ekologi dan kehilangan makna akan “Roh” alam dengan hasrat manusia adalah dua wajah yang pada masa ini menjadi paradoks. Manusia modern nampak tidak manusiawi ketika ia dikontrol oleh hasratnya, sementara alam tetap meminta sebuah penghargaan. Hilangnya penghargaan terhadap lingkungan telah menyebabkan kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan. Ini artinya bahwa aspek relasional sangat nampak dalam proses kehidupan manusia, ketika alam dirusak demi hasrat sebagian orang, maka akibatnya bukan hanya pada alam itu sendri, melainkan juga bagi manusia lainya dan bahkan generasi berikutnya (Dr. Leo Samosir, Agama dengan Dua Wajah, Jakarta: Obor, 2009, Hal. 135).

Sesungguhnya ada apa di balik ini semua? Manusia seakan-akan hanya menjadi hamba dari hasrat yang destruktif yang menunjukkan bahwa manusia itu telah kehilangan martabatnya. Begitu pula dalam relasinya dengan alam semesta. Saat ini kecenderungan yang paling tampak adalah bahwa alam semesta seolah-olah hanya menjadi objek dari hasrat manusia yang harus dipuaskan dan dipenuhi. Kemajuan teknologi, menawarkan kehidupan nikmat yang instan membuat manusia akhirnya kehilangan pengetahuan, kehilangan perasaan akan “Roh” alam semesta, “Roh” ibu semesta yang telah memberi hidup, merawat dan menjaga ribuan generasi yang hidup di dalam alam semesta. Persoalan lingkungan hidup seperti tidak menemukan solusi yang tepat. Persoalan mengenai lingkungan hidup ini seolah menjadi masalah sepanjang segala masa. Banyak riset yang mencoba meneliti dan memberikan solusi namun, nyatanya tidak juga selesai (finish).

Bahkan salah satu institusi religius, sebut saja Gereja Katolik yang  melalui Bapa Paus Fransiskus mencoba memberi perhatian yang luar biasa akan lingkungan hidup melalui Ensiklik “Laudato Si”. Di dalam Ensiklik tersebut terdapat banyak nilai yang fundamental mengenai identitas dan “Roh” dari alam semesta ini. Walaupun Sri Paus telah mengeluarkan Ensiklik itu, toh juga tidak spontan dapat menyelesaikan persoalan dunia saat ini. Berbeda dengan Donald John Trump, yang mengatakan bahwa polusi, efek rumah kaca dan lain sebagainya yang berkaitan dengan lingkungan hidup adalah suatu “hoax”. Permasalahannya di sini ialah siapakah yang dibenarkan di sini, apakah Sri Paus atau Donald Trump? Masing-masing pribadi maupun institusi mengklaim diri “bukan” aktor permasalahan alam semesta ini. Lantas siapakah yang membuat alam ini tampak seperti ‘lumpuh’? Pola pikir yang rasional khas modern menjadi senjata pembelaan diri yang ampuh.

Identitas dari alam semesta ini mungkin perlu diperjelas dan dipahami dalam konteks dan sudut pandang yang berbeda namun tetap dalam tujuan yang sama. Salah satu contohnya ialah bahwa alam semesta itu “ibu” dalam konteks budaya atau kultur tertentu, juga dapat dipahami sebagai “Wujud Tertinggi” dalam sudut pandang spiritual. Tujuannya ialah mengarahkan setiap pribadi kepada kesatuan di dalam berelasi. Relasi yang perlu dipahami ialah relasi antar subjek, bukan relasi subjek-objek. Jika yang dipahami ialah relasi subjek-objek, maka yang terjadi ialah eksploitasi yang besar-besaran.

Selama ini, alam dipandang sebagai objek semata sedangkan manusia memandang diri mereka sebagai subjek yang perlu dipenuhi dan dipuaskan kebutuhannya. Mestinya ada relasi timbal balik antar subjek balik itu antara manusia dan alam. Lalu bagaimana membangun relasi itu sehingga bukan lagi sebagai “aku” dan “dia”, melainkan “kami”?

Untuk sampai ke relasi yang intim itu, mungkin kita perlu belajar dari salah satu suku di daerah Atambua, Nusa Tenggara Timur, lebih tepatnya di Besikama. Orang Besikama terutama Uma Kalisuk (salah satu kampung yang juga merupakan bagian dari Besikama) sungguh masih percaya akan kekuatan yang ada di alam semesta ini. Mereka menghayati hukum keseimbangan hidup dengan mencoba melandasi kehidupan untuk memelihara keseimbangan hubungan dengan Supranatural, manusia, dan alam. (Florens Maxi Un Bria, The Way To Happiness Of Belu People:Jalan Menuju Kebahagiaan Perspektif Orang Belu, Jakarta :Caritas Publishing House Indonesia, 2004, hal.76).

Walaupun perkembangan zaman telah begitu maju dan canggih, tidak mempengaruhi cara hidup mereka. Mereka tetap percaya bahwa alam semesta ini memiliki suatu kekuatan. Mereka meyakini alam semesta ini digerakkan oleh “Wujud Tertinggi” yang dalam bahasa mereka ialah Maromak yang kemudian lebih dikenal sebagai Tuhan. Kepercayaan mereka didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya selalu tidak pasti, misalnya: “darimana munculnya bumi? Siapakah yang mampu menciptakan bumi? Untuk apa ada bumi? Mengapa harus hidup di bumi? Dan mengapa disebut sebagai bumi?" Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat mereka terus-menerus percaya bahwa tidak ada kepastian selain dari “Wujud Tertinggi” itu. Sebab “Wujud Tertinggi/Maromak” tidak dapat dipahami oleh siapapun, kecuali dialami atau dihayati di dalam hidup.

Bahkan mereka meyakini para leluhur yang telah meninggal tidak semuanya telah masuk surga sebelum empat puluh hari kematiannya. Untuk itulah mereka percaya bahwa arwah para leluhur itu masih berdiam di alam semesta. Mereka mengidentikkan  alam semesta sebagai dunia baka. Dunia yang baka itu digambarkan sebagai sebuah tempat peristirahatan abadi yang suci, tenang dan damai. Arwah para leluhur itu masih menempati pohon atau daerah tertentu (Herman Yoseph Seran, Ema Tetun,Kupang, Timor:Gita Kasih, 2007, hal.57). Pohon-pohon itu dipercaya sebagai tempat peristirahatan arwah dan pohon-pohon itu tidak boleh ditebang atau dipetik daunnya. Persoalan yang dihadapi ialah anggapan bahwa semua itu hanyalah mitos untuk menakut-nakuti, bahkan dianggap tidak rasional atau dalam bahasa sekarang ‘lebay’. Tidak mudah untuk mengatakan bahwa itu semua tidak rasional. Sebab dari pertanyaan dari manakah asal-muasal bumi, dari situ tampak sangat jelas sikap kritis dari orang-orang Uma Kalisuk.

Alam semesta ini hanya dapat dipahami secara total dalam “kacamata” spiritual. Jika hanya dipahami secara rasional, alam akhirnya hanya dapat dipahami sebagai objek yang perlu eskploitasi. Orang-orang dari suku itu melihat alam sebagai suatu kesakralan.  Alam itu sakral, karena alam itu adalah Allah dan tempat berdiamnya para leluhur. Nilai kesakralan ditempatkan pada tingkatan yang paling tinggi untuk maju atau melangkah ke arah moralitas. Bukan untuk menakut-nakuti kebebasan setiap individu. Jika setiap individu sudah percaya bahwa alam itu memiliki nilai kesakralan, maka orang tidak akan merusak alam itu. Bahkan jauh lebih mendalam lagi nilai kesakralan itu turut mempengaruhi moralitas dan pelestarian alam. Maka, ajakan yang tepat ialah “datanglah dan hiduplah bersama Maromak”.

Pemahaman yang jauh lebih reflektif ialah pemahaman akan persoalan identitas dari alam semesta ini. Alam tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang fisikal semata, melainkan sesuatu yang mengandung nilai spiritualitas. Bila perlu harus sampai pada tingkat kesatuan  atau keintiman dengan alam. Tentu saja tidak hanya melalui suatu proses pembelajaran atau perkuliahan, melainkan perenungan siapakah diri “saya” di hadapan alam semesta ini. Dalam istilah yang dipakai di dalam dunia filsafat mengenai kesatuan (unitas) itu ialah suatu relasi yang sama-sama “bermain”. Di sana kedua belah pihak sama-sama aktif dan sangat berpartisipasi. Seharusnya sikap “unitas” di dalam alam menjadi spirit baru yang semakin merasuki bahkan menggerakkan setiap pribadi. Pada akhirnya masing-masing pribadi sadar bahwa betapa pentingnya memelihara semesta ini. Heidegger sendiri mengatakan bahwa memelihara merupakan dasar dari eksistensi (keberadaan manusia). Manusia memelihara karena ia mahkluk yg bermartabat sekaligus memiliki kebebasan. (David Ray Gryffin. Tuhan, Dan Agama Dalam Dunia Post Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal.34).

Maka kesimpulan yang dapat diambil dari apa yang dipercayai oleh Suku di Uma Kalisuk itu ialah alam sebagai Allah dan tempat peristirahatan para leluhur. Dengan demikian siapapun tidak boleh mengeksploitasi atau merusakan alam, karena merusak alam berarti mencoba melawan Allah dan mau mengusir para leluhur. Mereka tidak lagi berpikir tentang siapakah ‘aktor’ dari masalah yang dianggap tidak pernah selesai itu. Hubungan yang begitu dekat dengan alam itu membuat orang-orang Uma Kalisuk menganggap diri mereka sebagai bagian dari alam semesta ini. Inilah yang meyakini mereka, bahkan membuat mereka selalu berupaya untuk tetap menjaga alam.

Sabtu, 16 Mei 2020

[PIKIR] MAKNA FILOSOFIS RUMAH ADAT PANGGUNG DI BESIKAMA

Oleh: Eventus Ombri Kaho

Desain tempat tinggal pada era modern mengalami suatu perubahan yg sangat signifikan. Perubahan itu terjadi lantaran aneka macam macam alasan atas situasi yg terjadi pada rakyat atau kondisi. Kondisi warga tadi meliputi syarat geografis, historisitas & pula kondisi sosial. Sang arsitek waktu ingin mendesain sebuah bangunan yg layak disebut menjadi tempat tinggal, tentu perlu pertimbangan yang matang di pada proses perencanaannya. Arsitektur sebuah bangunan tentu menerima perhatian yang sangat lebih. Sebab setiap bentukan arsitektur selalu diawali menggunakan adanya kegiatan manusia yg menjadi penggerak lahirnya wadah aktivitas tersebut. Hubungan antara satu aktivitas dengan kegiatan lainnya, atau antara satu gerombolan kegiatan dengan kelompok kegiatan lainnya terstruktur pada satu organisasi ruang atau tatanan ruang.

Dalam kajian teori arsitektur, terdapat tiga aspek utama yang selalu ada dalam komposisi arsitektur yakni bentuk, fungsi dan makna. Pengertian makna (meaning) dalam Merriam-Webster (1999) menunjukkan bahwa makna selalu terkait dengan perasaan/emosi manusia dan pertumbuhan pengalaman manusia. Meaning -The layers of emotional feelings that one has experienced and the significance they attach to it. Implication of a hidden or special significance.” Ketika berbicara mengenai makna, maka manusia tidak pernah mendapatkan dalam kesadarannya sesuatu yang tidak bermakna dan dirujuk di luar dirinya. Pikiran manusia selalu membubuhkan makna pada apapun yang diberikan kepadanya; menjadikan makna sebagai kebutuhannya, sehingga makna menjadi bagian fundamental dan imanen bagi perkembangan kemanusiaannya.

Dalam arsitektur, makna diekspresikan melalui media spasial, temporal & fisikal. Makna herbi interpretasi terhadap fungsi & bentuk arsitektur, tetapi interaksi makna dan bentuk arsitektur juga ditentukan sang banyak sekali aspek yg berada pada luar arsitektur. Meskipun manusia merupakan makhluk yg mempunyai kemampuan adaptasi sangat tinggi, namun persepsinya mengenai lingkungan fisik juga ditentukan oleh hal-hal yg sudah dikenalnya termasuk nilai-nilai agama yang diyakininya. Makna dalam arsitektur seakan adalah segenap pesan yg terkandung pada dalam tatanannya. Dalam tatanan arsitektur tadi masih ada sejumlah makna yg bisa diklasifkasikan ke dalam 2 kelompok. Pertama, adalah makna yang melekat pada bentuk arsitekturnya tanpa perlu interpretasi berdasarkan insan pengamat atau penggunanya (makna konkrit). Kelompok ke 2 merupakan sejumlah makna yang terkait erat dengan pemikiran insan, baik yang dibubuhkan dalam tatanan arsitektur sang perancangnya juga makna yg lahir berdasarkan pengalaman penggunanya.

Pentingnya peran kekuatan lokal di tengah perkembangan global, seperti dikemukakan Naisbitt dalam bukunya ‘Global paradox’ (1994), juga menjadi perhatian pengamat di bidang arsitektur. Sebagai sebuah artefak, arsitektur adalah produk budaya yang berkembang melalui proses dalam waktu panjang, sesuai dengan konteks dan nilai-nilai lokal yang dianut masyarakat setempat. Hal ini juga berlaku bagi orang-orang Besikama (salah satu suku di Timor, terutama di kabupaten Malaka). Bangunan yang dirancang oleh orang-orang suku di Besikama tersebut memiliki suatu keunikan tersendiri. Uniknya rumah-rumah tersebut karena sangat kaya akan simbol. Simbol-simbol tersebut tentu memiliki nilai dan maknanya tersendiri. Bahkan bagi mereka, rumah tidak sekedar sebagai tempat tinggal, melainkan sebagai pusat aktivitas spiritual dan rutinitas kemanusiaan. Sebab rumah itu dibangun dengan ritual dan berharap menjadi tempat berdiamnya para leluhur dan Allah yang dalam bahasa Tetun, disebut Maromak.

Orang Timor pada umumnya menyebut rumah sebagai Uma, baik itu yang mencakup rumah dalam artian sebagai tempat tinggal atau juga merujuk pada tempat mempersembahkan bahan persembahan kepada para leluhur. Istilah Uma berasal dari bahasa Tetun (bahasa yang digunakan oleh orang Timor pada umumnya) dan istilah ini merupakan istilah umum untuk menyebut rumah. Istilah ini pun mengacu kepada bentuk fisik bangunan sebagai tempat tinggal manusia agar mereka dapat terlindungi dari ketidaknyamanan hidup yang disebabkan oleh kepanasan terik matahari atau udara yang  sangat dingin dan musibah-musibah alam serta ancaman-ancaman yang membahayakan hidup mereka. IstilahUma bermakna sebagai sebuah tempat tinggal yang biasanya disebutUma Tur Fatin dan sebuah tempat tinggal yang biasanya dihuni oleh sebuah keluarga rumah tangga atau yang disebut dengan istilahUma Kain.

Rangka-rangka bangunanuma ini biasanya terbuat dari kayu-kayu balok, bambu betung yang besar dan atapnya dari alang-alang dan gaun gewang. Bangunan umaini biasanya mempunyai dua pintu, sebuah menghadap ke arah matahari terbit yang disebut,oda matan lor, dan pintu yang lain menghadap ke arah matahari terbenam yang disebut,oda matan rae. Ternyata tidak sesederhana itu, orang Timor memiliki makna khusus mengenai tata letak tersebut,Oda matan lor yang diperuntukkan bagi tamu dan kaum laki-laki harus menghadap ke sebelah Timur atau sebelah matahari terbit karena jurusan ini dianggap sebagai posisi yang membawa keberuntungan, kesejahteraan material, kehidupan, kebaikan dan prospek yang cerah dalam hidup sebagaimana sang surya yang mulai menyinari bumi dengan sinarnya yang terang benderang dan terik panasnya.

Oda matan rae yang diperuntukkan khusus bagi anggota-anggota rumah tangga dan kaum perempuan pada umumnya biasanya menghadap ke arah Barat ke jurusan terbenamnya matahari sebagai pintu yang melambangkan waktu senja dari kehidupan seseorang di dunia ini. Keadaan ini adalah saat-saat ketika seseorang berhadapan dengan banyak kesulitan, penyakit, kesengsaraan, kesepian dalam hidupnya dan pada akhirnya meninggal dunia. Atap rumah biasanya hampir menyentuh tanah maka bagian dalam rumah itu gelap gulita tetapi sejuk rasanya. Suasana gelap dan sejuk melambangkan bahwa manusia itu lahir dari satu dunia yang suci dan penuh ketenangan (sejuk).

Uma tersebut pun memiliki tiga tingkat panggung. Panggung yang pertama adalah dijadikan sebagai tempat bersosialisasi, tingkat yang kedua untuk tamu, dan tingkat yang ketiga adalah untuk keluarga dan tingkat yang keempat untuk persembahan atau sesajen. Masing-masing tingkatan memiliki arti yang sangat mendalam, yakni tingkat pertama adalah bumi sebagai tempat lahirnya setiap ciptaan Allah. Tingkat kedua sebagai tempat tinggal atau tempat berdiamnya para leluhur, tingkat ketiga sebagai alam kebebasan manusia untuk memilih yang baik dan yang benar antara surga dan neraka, serta tingkat keempat sebagai pertemuan kudus dengan Allah.

Banyak ahli yang  berpendapat bahwa tempat-tempat sakral mendukung terjadinya makna, dan menyediakan konteks untuk aktivitas religius. Makna tempat ini muncul karena unsur penggunaan, sedangkan keberadaan tempat itu sendiri membantu menstrukturkan hubungan sosial dan aktivitas religius. Makna dalam arsitektur seakan adalah segenap pesan yang terkandung di dalam tatanannya. Dalam tatanan arsitektur tersebut terdapat sejumlah makna yang dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Pertama, adalah makna yang melekat pada bentuk arsitekturnya tanpa perlu interpretasi dari manusia pengamat atau penggunanya (makna konkrit). Kelompok kedua adalah sejumlah makna yang terkait erat dengan pemikiran manusia, baik yang dibubuhkan pada tatanan arsitektur oleh perancangnya maupun makna yang lahir dari pengalaman penggunanya. Makna yang dibubuhkan perancang pada arsitektur Umaatau makna yang dimunculkan oleh pemerhati arsitektur Uma, merupakan makna teoritis yang terbentuk melalui perencanaan sesuai prinsip-prinsip tatanan dan bahkan teori arsitektur religi. Sedangkan makna yang lahir dari pengguna adalah makna aktual yang terbentuk melalui pengalaman langsungnya baik melalui proses penginderaan maupun interpretasi pengalamannya. Makna teoretis yang digagas perancang, tidak selalu sama dengan makna yang dirasakan atau dialami oleh penggunanya.

Terlepas dari semua makna yang terkandung di dalamnya, sebuah Umamemiliki permasalahannya sendiri, yakni (1) rawan terjadi kebakaran. Sebab hampir 99% bahan yang digunakan untuk membangun rumah sangat cepat untuk dihabisi oleh si jago merah alias api. Lalu, (2) desain yang kurang sistematis dan (3) cepat rusak. Alasan cepat rusak tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor spiritual, jika yang menghuni rumah tersebut tidak mengetahui ritual-ritual yang perlu dilakukan sebelum dan sesudah Uma  tersebut dibangun. Karena alasan-alasan tersebut, akhirnya banyak orang Timor tidak lagi ingin membuat Uma  dengan tipe seperti penjelasan di atas.  Namun beberapa aktivis masih mempelajari bentuk desain dari rumah tersebut untuk dimodifikasi tanpa harus mengubah esensinya.

Senin, 04 Mei 2020

[JALAN-JALAN] TRADISI DAN FILOSOFI MASAYARAKAT BELU TENTANG KEMANDIRIAN DAN SELF AWARENESS

Oleh: Eventus Ombri Kaho

Tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan daerah merupakan sebuah kekayaan hakiki yang dapat membentuk karakter dasar kehidupan manusia. Kebudayaan manusia mengandung berbagai  nilai luhur yang dapat menentukan eksistensi manusia itu sendiri. Melalui sebuah budaya, pribadi dan cara hidup manusia bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang arif, bijaksana, bermoral, dan bernilai. Dalam hal ini, boleh dikatakan bahwa kebudayaan dapat  melahirkan sekaligus menunjukkan harkat, derajat, dan martabat manusia sebagai pribadi  yang unik dan berbeda dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. Identitas itulah yang menentukan siapa sebetulnya subyek tersebut. Identitas itu pun turut memengaruhi kemandirian dan self - awareness dari pribadi tersebut misalnya dalam kebudayaan orang Timor yang menjunjung tinggi budaya persahabatan penyerahan diri kepada Yang Ilahi dalam dinamika hidup. Mereka mandiri dengan identitas itu, tanpa campur tangan atau doktrinisasi dari mana pun. Maka wajar jika ada klaim bahwa ini adalah suatu budaya yang original di dalam masyarakat Timor dan Belu pada umumnya.

Masyarakat Belu, menyadari rekanan antara manusia dengan Rai Klaran, Rai Kukun dan Ama Maromak. Kesadaran tadi membangun konduite berdikari yang tercermin dalam norma norma yang mereka jalani.

Orang Belu yang tinggal di pulau Timor memiliki budaya dan kepercayaan asli. Maka mereka selalu berusaha dan berjuang untuk menciptakan suatu kehidupan yang baik, sejahtera, dan bahagia dalam dinamika keharmonisan hidup. Hal ini tampak dalam penghayatan konsep Tri-relasi yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka. Konsep Tri-relasi itu yakni pertama, orang  Belu hingga saat ini sangat menjaga dan menjunjung tinggi relasi dengan sesamanya yang ada di sekitar mereka. Relasi ini terjadi di dunia nyata yang disebut mikrokosmos atau Rai Klaran. [1] Kedua, orang Belu menjalin relasi yang harmonis dengan alam semesta dan roh-roh nenek moyang yang diyakini ada dan mendiami dunia yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia. Dunia ini dalam bahasa Tetun Timor disebut  Rai Kukun. [2] Ketiga, mereka menjalin relasi dengan Wujud Tertinggi atau Ama Maromak yang berada di dunia sakral, jauh di atas lapisan langit ketujuh. Dunia ini disebut sebagai makrokosmos yang dalam Bahasa Tetun Timor disebut Lalean. [3]

Konsep tersebut dilatarbelakangi oleh sebuah filosofi kata Belu itu sendiri. Kata Belu berarti sahabat, teman, kawan. Masyakat suku Belu adalah sekelompok orang yang mendiami Kabupaten Belu yang merupakan sebuah kabupaten dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timor (NTT). Wilayah Kabupatan Belu ini terletak pada bagian tengah pulau Timor yang sekarang ini telah terpecah menjadi dua wilayah di bawah negara berbeda, yakni daerah Timor Barat, adalah wilayah negara Indonesia dan daerah Timor Timur, yang sekarang ini dikenal dengan sebutan Negara Timor Leste. Wilayah Belu tersebut hingga saat ini dibagi menjadi empat rumpun besar berdasarkan suku-suku yang memiliki kesamaan budaya dan tradisi–tradisi tertentu. Ada empat rumpun budaya terbesar yang mendiami pulau Timor yang menggunakan rumpun bahasa Tetun. Keempat rumpun besar itu sebenarnya dibagi berdasarkan bahasa daerah yang dimilikinya, yakni daerah yang berbahasa Tetun (Ema Fehan), berbahasa Bunak (Marae), berbahasa Kemak,  dan berbahasa Dawan (khususnya Dawan R Manulea). Meskipun di Belu terdapat empat bahasa daerah, namun bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang pemersatu yang digunakan dalam kehidupan sehari–hari. Bahasa Tetun merupakan bahasa universal yang dapat diterima dan digunakan oleh 90% penduduk di kabupaten Belu dan Malaka. Bahkan bahasa Tetun ini pun  digunakan juga oleh masyarakat di negara Timor Leste. Berkat bahasa Tetun inilah maka orang Belu dan Malaka dapat disebut sebagai Ema Tetun.

Allah, alam, dan manusia merupakan sebuah konsep budaya yang membuat kata “Belu” itu kian utuh dan integral. Konsep Tri-relasi  dalam masyarakat Belu tersebut memiliki ruh yang dahsyat yang membuat masyarkat Belu selalu percaya bahwa tiga hal tersebut selalu ada di dalam kehidupan sehari hari. Konsep ini bisa diamati pada tungku untuk masak dan tempat untuk menyimpan sesajen atau dalam istilah orang Belu adalah  te’in tula.

Tradisi Hamis Batar pada warga Belu

Kemanusiaan perlu dimurnikan dalam sebuah konsep budaya yang jelas. Ketika saya masih berumur delapan tahun, ibu saya selalu mengingatkan untuk memberikan sesuatu ke orang lain dalam jumlah tiga. Mungkinkah karena itu menyimbolkan tiga elemen itu? Atau karena konsep lain? Pencarian akan makna itu, muncul sebuah pertanyaan yang paling hakiki, yakni apakah saya sanggup untuk melebihi dua aspek lainnya? Konsep Tri-relasi direalisasikan dalam kehidupan kebudayaan. Salah satu tradisi yang setiap tahun dirayakan besar–besaran adalah tradisi hamis batar. Tradisi h amis b atar adalah sebuah tradisi yang dilakukan ketika jagung sudah mulai matang dan sebelum menjadi kering, yang harus dipersembahkan kepada para leluhur terlebih dahulu. Praktiknya adalah setiap kepala suku akan berkumpul untuk memutuskan tanggal dan hari yang tepat untuk merayakan tradisi keagamaan itu. Setelah diputuskan kapan akan dilaksanakan, maka langkah selanjutnya adalah membersihkan setiap rumah adat. Ketika tiba hari yang telah ditentukan oleh para kepala suku tersebut, maka setiap orang wajib membawa jagung muda yang layak untuk dipersembahkan kepada para leluhur dan Super Being. Jagung itu kemudian dimasak pakai sasanan  (periuk). Sasanan  yang dimaksudkan di sini adalah sasanan dari tanah liat alias wajan. Alasan utama untuk memakai wajan ini adalah karena masakannya jauh lebih gurih dan tidak ada bahan kimia. Alasan berikutnya ialah karena wajan selalu dibuat dari tanah liat dan tanah sebagai bagian dari kosmologi. Langkah selanjutnya ketika semua masyarakat sudah memasak dan mempersembahkan kepada para leluhur dan Super Being itu, maka saatnya jagung dipersembahkan di setiap kuburan (terutama untuk keluarga) dan setelah disimpan di kuburan, semua orang punya hak untuk mengambil jagung muda yang tadi dipersembahkan di kuburan tersebut. Jagung yang dipersembahkan masih dalam keadaan mentah. Setiap orang yang sudah diinisiasi dalam ritual di rumah adat wajib mengikuti acara hamis batar. Karena proses inisiasi itu melibatkan para leluhur, maka perjanjian itu harus cara ini, maka mereka tidak boleh makan jagung muda selama masa di mana jagung masih muda.

Uma mane, tempat tinggal istiadat warga Belu, loka pelaksanaan tradisi Hamis Batar

Konsep ini menciptakan orang Belu pada biasanya sebagai eksklusif?Eksklusif yg semakin tahu siapa identitas mereka. Ada dua aspek refleksi yg paling penting, yakni:

1.      Aspek personal-komunal

Apa yang dimaksud  dengan aspek personal? Maksud utama dari aspek personal-komunal tersebut adalah sikap untuk mempertahankan identitas kebudayaan di tengah arus modern yang semakin canggih sekaligus menghilangkan identitas “siapa aku sebenarnya”. Pluralitas membuat setiap individu semakin tidak percaya dengan budayanya, terutama identitas yang melekat pada dirinya. Dengan kata lain kemunduran atas pengakuan identitas itu semakin menghilangkan sebuah pengakuan akan identitas yang seharusnya sudah mandiri. Prinsip inilah yang dipegang teguh oleh masyarakat Belu. Kesadaran diri dan kemandirian menjadi sebuah pilar besar dari sebuah kebudayaan. Orang Belu punya kesadaran yakin dan percaya bahwa hidup mesti ada dasar yang kuat baik itu kemandirian, kesadaran diri, atau kepekaan. Aspek-aspek itu pada akhirnya akan menciptakan suatu kehamonisan dalam dinamika hidup. Dan itulah sesungguhnya hidup. Makna kemandirian bagi orang Belu adalah ketika identitas mereka melebur dalam keberagaman tanpa menghilangkan identitas mereka. Kesadaran diri bahwa identitas mereka unik dan berbeda dengan yang lain menjadi aspek untuk menciptakan sebuah relasi yang kemudian mereka sebut sebagai b elu yang artinya sahabat.

2.      Aspek antropologis-relijius

Aspek antropologis dan relijius menjadi dua faktor yang juga penting di dalam kebudayaan orang Belu. Sudah seharusnya setiap kebudayaan memiliki dua aspek ini. Kesadaraan diri orang Belu akan kehadiran orang lain dan Super Being menjadi sangat penting di dalam dinamika kehidupan sehari-hari.  Kemandirian mereka sebagai subjek akhirnya tampak dalam perilaku mereka setiap saat. Sedangkan kesadaran diri yang tampak nyata adalah dalam kegiatan kebiasan relijius dan konsep yang dihayati, yakni bahwa kosmos adalah ”aku” dan ”aku” adalah kosmos. Maka kepemilikan kosmos adalah sebuah korelasi panjang yang saling menyatu.

Masyarakat Belu  kaya akan sebuah kebudayaan yang berlimpah makna filosofis. Semua aspek kehidupan selalu dikaitkan dengan aspek filosofis. Semua dapat dijelaskan dengan rasional. Bukankah itu kinerja dari filsafat? Orang Belu kini tidak lagi menjadi objek tapi menjadi subjek di dalam mempertontonkan kebudayaan yang kaya akan nilai antropologisnya sekaligus aspek relijiusnya. Refleksi yang mendalam ini membuat orang Belu menjadi human being yang memiliki perjuangan yang tak kunjung selesai. Mereka masih bisa bertahan dengan konsep tersebut walaupun dunia semakin modern, dan egoisme yang mulai merasuki kehidupan banyak orang.  . Orang Belu tetap menjadikan kata belu sebagai sebuah identitas untuk menjalin kerjasama yang baik, serta rasa perhatian terhadap sesama, lingkungan, dan  Super Being. Zaman modern menamai konsep ini sebagai kolaborasi.

[1] Rai Klaran  terdiri dari dua suku kata  Rai  yang artinya tanah dan Klaran  yang artinya tengah.  Rai Klaran  adalah sebutan untuk Bumi, tempat hidup dan dunia hidup manusia yang nyata. Di sebut sebagai Rai Klaran  karena memakai konsep “ langit-bumi- di bawah bumi “.

[2] Rai Kukun  kalua ditrejamahkan secara harafiah berarti suatu dunia yang gelap. Tetapi dalam konteks Bahasa kepercayaan asli orang Belu, Rai Kukun  dipahami sebagai dunia yang berbeda dengan dunia manusia. Dunia ini tidak diplihat dengan panca indra manusia.  Rai Kukun  diyakini sebai tempat berdiamnya makhluk-mahkluk halus seperti jin – jin,  dan roh – roh arwah nenek moyang yang telah meninggal dunia.

[3] Laean adalah suatu dunia yang melebihi  Rai Klaran  dan Rai Kukun. Lalean  adalah suatu dunia yang berada di atas sana dan dihuni oleh Wujud Tertinggi.

Cloud Hosting Indonesia