Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Agustus 2012. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Agustus 2012. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Juli 2020

[PROFIL] Munawiyah: Sosok Petani Perempuan

Pada pertemuan La Via Campesina (perkumpulan petani) Asia di Padang, 7 Mei 2004, Kail berkesempatan menghadirinya. Dari para tokoh petani se-Asia yang hadir di sana, adalah para mitra dari Indonesia. Satu diantaranya, & satu-satunya perempuan merupakan Munawiyah, seorang wanita petani dari Pidie, Aceh. Ia merupakan seseorang petani wanita yg sekaligus merupakan aktivis. Saat ini beliau dianggap menjadi kepala PERMATA (Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh).

Sosok dari profil kita kali ini menarik buat disimak bagaimana bepergian hidupnya dari seseorang petani yg sebagai korban, lalu malah sebagai aktivis petani & perempuan . Perjuangan ini tidak gampang lantaran wajib berhadapan budaya, kekuasaan negara & modal.
Bahkan nyawa sering kali jadi taruhannya. Bagaimana beliau mampu bertahan pada visi misinya ini? Bagaimana menjadi aktivis beliau bertahan hidup pada kesehariannya? Dalam diri Munawiyah, kita sanggup menemukan sebuah semangat radikalisme yg bergabung menggunakan kesederhanaan.


Berikut adalah cuplikan wawancara kami (H) menggunakan Munawiyah (M).
H : Sekarang profesi Muna apa?
M : Karena saya telah tak jarang pada lapangan mengorganisir warga , turun ke petani-petani yang korban, tidak mesti petani ya, masyarakat yg sebagai korban, yang menjauh di kita, ya?Kita mendampingi mereka sejauh kemampuan aku .


H : Korban yg umumnya ditangani korban apa?
M :Ya, korban kekerasan, baik yg dilakukan oleh famili, atau negara atau lingkungan. Itu yang tak jarang kita dampingi.
H : Ini lewat forum Permata ini ya?
M : Yang saya dampingi lewat lembaga itu khususnya petani. Tapi terdapat yang secara langsung aku tangani, yaitu terdapat yang korban kekerasan famili, terdapat yang negara. Itu yang secara pribadi, atau bekerjasama dengan forum-forum lain. Tapi tak jarang secara pribadi.
H : Kalau sehari-harinya ngapain aja?
M : Ya bila yang hari-hari rutinnya buat sementara karena sesudah konggres dua Permata kita dipercaya menjadi kepala umum di Permata, ya kita tinggal separuh bulannya pada tempat kerja, separuh bulannya pada lapangan. Bagi saat. Kalau contohnya minggu pertama itu kita di tempat kerja, minggu ke 2 di lapangan, minggu ke 3 di kantor, minggu ke empat lapangan.
H : Boleh crita ngak tentang Permata, kegiatannya apa aja? Kalau di lapangan ngapain?
M : Permata itu kan Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh, ya kentara gimana?Sekarang yang kita lihat, bukan hanya pada Aceh saja, semua jikalau kita lihat, kan banyak sekali hak-hak petani yang tidak terpenuhi, terutama kan akses pasar, kemudian berita-informasi nir sampai kepada petani. Kalaupun hingga informasinya merupakan berita yg keliru. Sekarang kita lihat di Indonesia yang sedang moneter (krisis moneter, red) ini, waktu petani-petani ini menggarap lahannya butuh kapital yang banyak. Butuh kapital yang besar . Sementara output produksinya ketika dijual itu sangat murah. Sementara menggarap huma, mengerjakan ladangnya atau sawahnya itu, pupuknya mahal. Serba mahal lah! Harganya (harga jual produk, red) cukup murah. Dan di situ masuknya renternir-rentinir, yg membuat petani-petani itu terlilit oleh hutang. Mau tidak mau beliau wajib ambil modalnya, karena tidak ada yang bantu. Kemudian barangnya pun atau hasil produksinya wajib dijual kepada renternir itu buat bisa membiayai hutangnya. Ternyata saat dijual ke renternir itupun masih pula nir sanggup, tidak mampu membayar hutangnya itu. Jadi pada situ kita mengorganisir mereka bagaimana caranya supaya mereka keluar, paling nir sedikit berkurang bebannya gitu.
H : Jadi konkretnya apa yg dilakukan pada lapang terhadap kasus-perkara petani? Apakah misalnya bentuk-bentuk pendampingan atau apa?
M : Ya konkretnya?Kalau contohnya kini petani, apakah dia tanam cabai, kacang, pokoknya jenis palawijaya, dulu ya yang acapkali palawijaya. Sekarang kan pupuknya, obat-obatannya sangat mahal. Petani kita kesulitan, apalagi Aceh kini wilayah permasalahan, jadi pada sini paling tidak kami sanggup buat membantu, tapi tidak mampu sepenuhnya. Paling tidak kami menaruh pengetahuan atau praktek-praktek buat mampu mengurangi beban mereka. Misalnya pada pertanian tadi, misalnya menggunakan pulang kepada budaya nenek moyang kita dulu, itu kita pakai pupuk organik itu, atau obat-obatan yang tradisional yg buat pertanian. Kemudian terdapat juga yang buat obat-obatan tradisional buat kesehatan. Paling tidak contohnya, karena banyak desa yg jauh berdasarkan kota, atau jauh menggunakan tempat tinggal sakit, misalnya seperti mak -ibu hamil atau yg lain, paling tidak di sekitar rumahnya menanamkan homogen tumbuhan yg buat mampu jadi obat-obatan. Buat sementara, sembari menunggu ke dokter. Lantaran tempatnya jauh dan transportasinya pun terbatas.
H : Mbak Muna sendiri boleh dibilang petani ya? Punya lahan, menanam gitu?
M : Iya.
H : Boleh cerita tentang kehidupannya menjadi petani selain sebagai aktivis?
M : Kalau saya gini, memang dari dulu, memang keluarga kami menurut petani seluruh, yaitu memang kami mengerjakan lahan sendiri. Lahannya nir luas, cuma sedikit. Kalau sementara ya kami nir punya lahan lagi, lahannya cuma tinggal separuh lagi. Separuhnya sudah untuk irigasi & pembangunanlah, tanpa ganti rugi. Dan waktu itu kita tidak tahu hak-hak kita apa, jadi kita nir perdebatkan. Ngak tahu. Orang mampu ambil dengan mudah.
H : Sekitar tahun berapa itu?
M : Kejadiannya sebenarnya telah tahun 80-an ke atas, tapi yang terakhir lahan, sawah kami diambil itu tahun 94. Th 94 itu buat bangunan sekolah, di gerung-gerung. Kalau contohnya profesi saya di petani itu, pengalamannya pada famili itu, eh..Kami paling tidak di pekarangan rumah mampu buat nanam pertaniannya itu buat kebutuhan keluarga. Selain untuk kebutuhan famili, ya kami pasarkan. Yang lebih berdasarkan untuk kebutuhan keluarga kami pasarkan gitu.
H : Tanam apa aja di tempat tinggal ?
M : Tanam apa, ya misalnya ada pisang, terdapat ubi, terdapat palawija misalnya kacang panjang, tomat, cabai. Untuk kebutuhan keluargalah. Kebutuhan dapur gitu.
H : Cukup ya?
M : Cukup. Praktis-mudahan?
H : Tidak perlu lagi beli keluar?
M : Ya, Untuk ad interim begitu.
H : Kalau berasnya?
M : Kalau berasnya kini kami beli, lantaran sawah kami udah ngak terdapat lagi, karena diambil buat irigasi, bangunan jalan raya itu, transportasi dan sekolah, ya sekarang berasnya kami beli.
H : Itu trus gimana ceritanya kok hingga dari yg tadinya belum tahu ya ketika hak-haknya diambil belum ngerti, hingga sekarang sanggup jadi aktivis yg memperjuangkan hak-hak petani, ceritanya gimana?
M : Ya pertama karena masuk sebuah lembaga mendampingi desa kami, kebetulan waktu itu kita sebagai pengurus desa, jadi tamu yg masuk itu apa?Kita kan perlu cari memahami informasinya apa sebenarnya yg mereka lakukan, apakah itu membawa hal-hal yg positif bagi warga atau negatif. Lantaran saat itu siapapun yg masuk waktu diberlakukan DOM di Aceh, yg kena pertama kali kan yang perseteruan Aceh Timur, Aceh Utara & Pidie kan. Jadi wajar jikalau kami curigai, siapapun. Jangankan yang berdasarkan luar, yang sesama keluarga pun saling menyangsikan. Jadi waktu itu masuklah sebuah forum swadaya masyarakat yg mendampingi kami (Flower Aceh). Trus tak jarang dibawa buat ikut-ikut pembinaan. Dari situ ikut pelatihan yang pertama, CO. CO yg diadakan sang Forum LSM Aceh. Ketika situ aku resah, lantaran kita bukan anak sekolahan gitu, memang benar -betul petani gitu kan. Apa yang dibicarakan bingung, ngak nyambung. Akhirnya apapun ceritanya aku terpaksa wajib belajar buat bisa. Lama-kelamaan ya?Lantaran Flower-pun banyak kali kegiatan, diundang ke Medan buat ikut HAM, yg ngadakan PBHI Medan. Di situ belajarlah, belajar, belajar? Kemudian 2 minggu kemudian diundang sang LP3ES ke Jakarta, Flower yg kirim kan. Flower Aceh yang kirim. Dari situ, ini?Kan HAM jua dua minggu, menurut situ saya memahami bahwa ini merupakan Hak hayati, ini adalah hak petani. Dari situ aku tertarik, tertarik untuk belajar. Kalau kita ngak merubah nasib kita sendiri, itu kentara orang lain ngak akan merubah kan. Kan ada niatnya berdasarkan aku , kehidupan aku ini ingin merubah. Kalau kita monoton seperti ini, ya tidak akan berubahlah kehidupan kita. Gimana dengan masa depan kita?
H : Dari situ ya terus ada semangat buat??
M : He-eh. Dan banyak diskusi menggunakan mitra-mitra. Ketika pada training itu aku diskusi menggunakan mitra-kawan yg banyak sekali wilayah kan. Tertarik menggunakan masalah-perkara yg diceritakan oleh-sang kawan. Dari situ aku tertarik. Sebenarnya saya alami, saya sendiri mengalami hal misalnya itu, kenapa saya wajib tinggal membisu. Kenapa aku harus berjuang. Ternyata saya pikir-pikir lagi, kalau aku berjuang sendiri, itu tidak berhasil. Saya akan membangun grup & membentuk aliansi atau jaringan, paling nir kita ya?Biarpun nir semua perkara terselesaikan, paling nir sedikitnya akan ringan bagi saya.
H : Trus, sebelumnya tuch, pengurus desanya itu apa maksudnya? Jadi ketua desa atau ..?
M : Sekretaris desa.
H : O, sekdesnya ya. Tapi memang semua harus lewat sekdes kalau masuk?
M : Tidak mesti lewat sekdes. Karena waktu itu kan kita?Gimana ya, bukan?Kita pulang dalam sejarah. Kalau wanita saja yg kerja nir berhasil, kalau pria saja nir berhasil. Maksudnya wajib kerjasama. Jadi seluruh kabar itu?Memang ketika itu biar ketua desa pria, tapi yg menguasai desa kami. Yang menguasai desa, seluruh peraturan desa, kami yang aturkan, kami yang wanita, bergabung dengan organisasi PKK.
H : Itu memang kulturnya pada sana seperti itu memang? Perempuan yang punya poly kekuasaan, kekuatan buat mengatur?
M : O tidak, sebenarnya wanita tidak diberikan peluang sedikitpun buat menguasai jabatan. Jangankan untuk menguasai jabatan, buat musyawarah saja ngak bisa. Saya berjuang. Waktu itu, pada situ memang di desa, spesifik desa saya & banyak desa-desa yg lain, wanita kelas 6 SD telah dikawinkan. A, aku berjuang pada situ. Memang aku tamat PGA kan. Tamat PGA berjuang. Saya berjuang wajib mampu kuliah gitu, wajib sekolah. Waktu saya berjuang, macam-macam simbol (cacat, red) yang diberikan oleh masyarakat, tapi saya ngak open, yg penting saya wajib sekolah, harus memperbaharui desa saya. Akhirnya sesudah saya mensugesti orang-orang tua di situ, pada desa itu, kini udah poly wanita yg sekolah. Malah terdapat yg udah kuliah, kerja. Biarpun aku ngak sempat kuliah, tapi saya mensugesti mitra-kawan buat kuliah.
H : Sampai berapa usang usaha itu akhirnya baru sanggup berhasil?
M : Saya SMP, itu tergantung gimana ya, strategi apa yang kita gunakan. Saya masuk Sekolah Menengah pertama, kelas 1 SMP, itu yang lain udah..Kelas dua SMP udah ada yg ikutan saya buat masuk SMP, yang sekolah. Sampai kini .
H : Jadi sekarang boleh dibilang posisi perempuan pada desa situ sudah cukup lumayan setara ya?
M : he-eh.
H : Kenapa sich motivasinya mbak Muna, kok bisa sampai jadi aktivis, berjuang misalnya itu?
M : Lantaran kita merasa diri kita, hak-hak kita tidak diinikan..Jadi kita berjuanglah buat mendapat hak-hak kita, gitu.
H : Ada hambatan atau apa sich, sebagai aktivis selama ini hambatan terbesarnya apa?
M : Ya hambatan terbesarnya, karena kita bekerja di wilayah perseteruan, malah nyawa aku terancam. Ada desa, ada berapa kecamatan yang aku tinggalkan, saya nir mampu masuk lagi, lantaran aku memang orangnya keras gitu. Saya ngak mau? Keras kan kita lihat situasinya. Karena kita kan minta ini itulah sang pihak-pihak eksklusif. Kita ngak mau memenuhinya. Kalau kita udah penuhi sekali, niscaya orang itu akan minta lagi. Jadi aku dari pertama ngak akan memberikannya. Sampai sekarang ya?
H : Ngak menyerah gitu ya?
M : Ya.
H : Takut ngak sich waktu nyawa jadi taruhan, pada daerah perseteruan seperti itu?
M : O, bila bagi saya itu ngak. Hidup sekali, mangkat sekali. Itu, ngak terdapat istilah kata takut ini itu ngak terdapat bagi saya ya.























































Minggu, 12 Juli 2020

[Jalan-Jalan] Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro Banyu Biru

Terik matahari pagi mengiringi kami menuju lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Banyu Biru milik Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). Dengan menumpang sebuah mobil yang dikemudikan oleh Pak Aep, kami menuju ke wilayah pinggir sungai yang cukup sempit. Di sana, terlihat pipa-pipa menjulur dari kaki gunung. Ujung pipa-pipa itu berakhir di sebuah bangunan berisi mesin-mesin yang mampu mengkonversi arus air menjadi arus listrik. Bangunan yang luasnya kira-kira 3 x 8 meter itu tampak masih baru, ditandai oleh segarnya polesan cat pada dindingnya. Di depan bangunan terdapat sebuah antena parabola. Namun, antena tersebut belum berfungsi. Rencananya, antena parabola tersebut akan berfungsi sebagai pengontrol mesin PLTMH jarak jauh. Di dekat bangunan kecil PLTMH itu, terdapat tanah seluas 200 m2 yang direncanakan untuk berbagai fungsi di kemudian hari.

Perjalanan ini  dilakukan oleh tim KAIL dalam rangka kegiatan evaluasi keberadaan PLTMH Banyu Biru yang didanai oleh Hivos. Tim KAIL beranggotakan Any Sulistyowati sebagai evaluator, dan para asisten yang terdiri dari Selly Agustina, Hilda Lionata, dan David Ardes. Adapun Tim KAIL mengevaluasi PLTMH dari segi sosial-kemasyarakatan, sedangkan dari segi teknis dilakukan oleh Pak Ady dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelum menuju lokasi PLTMH, rombongan terlebih dahulu mampir ke sekretariat SPPQT yang terletak di Kalibening. Di sekretariat itu, rombongan melakukan wawancara terhadap seluruh pengurus SPPQT tentang mikro hidro dan profil organisasi.


PLTMH dibangun pada Dusun Bendo Sari, Desa Kebumen Banyu Biru, Kabupaten Semarang. Perjalanan menuju lokasi PLTMH membutuhkan saat sekitar 45 mnt berdasarkan sekretariat SPPQT di Kalibening. PLTMH diresmikan pada 15 Mei 2012, oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Beliau berharap, menggunakan eksistensi PLTMH Banyu Biru, warga Indonesia mengetahui bahwa upaya mengadakan tenaga berkelanjutan memang sedang dikerjakan, bukan sekedar tentang. Harapan lanjut berdasarkan eksistensi PLTMH ini merupakan agar bisa menginspirasi gerakan serupa di loka-tempat lain. Dengan menggunakan PLTMH ini, kebutuhan bahan bakar fosil menjadi komponen pembangkit listrik akan diminimalkan. Setidaknya itulah keliru satu tujuan pembangunan PLTMH, yg diungkapkan sang Mas Faisol, Sekjen SPPQT.


PLTMH Banyu Bening mampu menghasilkan daya listrik hingga sekitar 170 kVA. Total daya listrik tersebut kemudian dijual kepada PLN sebagai pembeli tunggal dengan harga Rp 600/ KWH, atau total sebesar 50 juta rupiah. Listrik tersebut akan disalurkan untuk daerah-daerah di  Jawa Tengah, yang menurut Mas Faisol sangat kekurangan pasokan listrik.


Untuk mengurus kegiatan PLTMH ini, SPPQT membentuk CV (Comanditer Venotschaap) Qaryah Thayyibah, dengan Bapak Turjangun sebagai direkturnya saat ini. Pembentukan CV dirasa sejalan dengan prinsip kebersamaan yang dijunjung tinggi oleh SPPQT, karena seluruh hasil yang didapat dari PLTMH ini sepenuhnya akan dimanfaatkan demi kesejahteraan petani SPPQT. Bapak Tarom yang banyak terlibat dalam proses pembangunan PLTMH memaparkan bahwa mereka telah merencanakan beberapa alokasi penggunaan dana yang didapat dari penjualan listrik.


Salah satu alokasi penggunaan dana dari hasil penjualan listrik tersebut adalah konservasi alam di sekitar daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi sumber tenaga PLTMH. Dari pemaparan Bapak Abidin, ketua paguyuban petani dusun Bendo Sari, konservasi ini dilakukan berkat kesadaran masyarakat sekitar untuk menjaga lingkungan di sekitar DAS yang menjadi sumber air bagi dusun mereka. Upaya konservasi yang akan dilakukan adalah dengan menanam pohon-pohon guna mencegah abrasi dan memastikan debit air terus terjaga. Sementara itu, jenis pohon yang akan ditanam adalah pohon aren. Rencana ini telah dikonsultasikan dengan Dinas Kehutanan setempat dan pihak SPPQT akan membentuk sebuah tim yang secara khusus  menangani kegiatan konservasi di sekitar PLTMH.


Dari pembicaraan mengenai konservasi lahan di sekitar PLTMH, Mas Rukham mengungkapkan tentang program pertanian berkelanjutan, yaitu mengajarkan petani teknik bertanam hortikultura. Tujuannya adalah, agar lahan dapat digunakan semaksimal mungkin. Namun, pelaksanaan program ini dirasa sulit. Beliau berkata, ”Petani itu baru percaya kalau melihat hasilnya, tidak pernah cukup dengan mendengar”. Kecenderungan petani di dusun Bendo Sari adalah memanfaatkan lahannya untuk satu jenis tanaman saja. Sehingga, ketika terjadi kegagalan hasil panen, tidak ada hasil yang didapatkan sama sekali. Untuk itulah lahan seluas 200 m2 yang dimiliki oleh SPPQT akan dimanfaatkan untuk mengajarkan pertanian berkelanjutan dengan menanamkan cabe rawit di pot, peternakan sapi-kambing, perikanan, dan biogas.


Beberapa alokasi penggunaan dana lainnya, misalnya yang diungkapkan oleh Mas Rukham, merupakan buat pendidikan, koperasi, & penguatan kelembagaan. Sebagian dana akan dipakai SPPQT buat pendidikan anak-anak petani. Perlu diketahui, ketika ini SPPQT telah mempunyai Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah.


Mengapa penekanan kegiatan lebih diutamakan pada aktivitas perlindungan & pertanian berkelanjutan daripada aktivitas koperasi & penguatan kelembagaan, lantaran menurut Pak Tarom, dengan penekanan utama tersebut, diperlukan terjadi peningkatan kesejahteraan petani. ?Kalau kebutuhan pokok bisa dipenuhi dengan baik, hal-hal lain sanggup dilakukan menggunakan lancar.? Demikian alasan Pak Tarom.


Walaupun rencana alokasi penggunaan dana output penjualan listrik telah dipersiapkan, PLTMH Banyu Biru belum dioperasikan lantaran masih mempersiapkan petugas operator. Untuk ketika ini, baru terdapat enam orang yang dievaluasi siap menjalankan kiprah operator. Namun, pada masa mendatang kaderisasi petugas operator wajib terus dilakukan pada siapapun yang berminat.


Sembari menunggu beroperasinya PLTMH, pengurus SPPQT terus berkiprah buat menyebarluaskan mimpi mereka mengenai kemandirian petani dan kedaulatan pangan. Mereka ingin meyakinkan para petani bahwa mereka sanggup menghidupi diri sendiri, & sebagai petani merupakan pekerjaan yang sama baiknya dengan pekerjaan lain.


Sementara itu, SPPQT telah melakukan pemetaan buat melihat potensi pengembangan PLTMH di loka lain, pada antaranya : Wonosobo, Semarang, Temanggung, Kendal, Magelang, & Batang. Entah kapan akan didirikan, namun planning itu sudah terdapat dan SPPQT berharap dapat merealisasikannya.


Sekilas mengenai SPPQT :
Berdiri pada tahun 1999, dengan ketua pertama bernama Ahmad Bahruddin. Beranggotakan sekitar 16.348 petani yang bernaung di 120 paguyuban yg tersebar di 11 kabupaten/kota. Sekretariat SPPQT terletak pada Jl. Ja?Far Shodiq no.25 Kalibening Kec. Tingkir Kota Salatiga. Saat ini SPPQT diketuai oleh seseorang perempuan bernama Ruth.

Referensi berita :
http://bisniskeuangan.Kompas.Com/read/2012/05/15/18153592/Petani.Jual.Listrik.Ke.PLN

(David Ardes Setiady)








































[Tips] What Can You Do as an Eco-Traveller?

Dalam dunia wisata, kata “eco” atau “green” sedang gencardidengungkan. Salah satu contohnya adalah ecotourismatau green-tourism. Sementara orang yang melakukannya disebut eco-traveleratau green-traveler. Penggunaan kata eco atau green tersebut untuk menunjukkan bahwa segala hal yang dilakukan dalam perjalanan wisata merupakan perjalanan yang ramah lingkungan, dan memelihara alam.

Sebenarnya semua orang yang melakukan perjalanan wisata ke suatu tempat bisa dikategorikan sebagai eco-traveller. Menjadi eco-traveler tidak harus mahal, tidak pula harus melakukan perjalanan dengan mendaki gunung dan menuruni lembah, tidak pula harus memanjat tebing terjal, atau  masuk gua-gua, maupun keluar masuk hutan. Menjadi eco-traveller tidak harus selalu menantang alam.

Inti perjalanan yang dilakukan oleh seorang eco-traveller adalah melakukan pelestarian alam dan budaya serta manfaat kepada masyarakat setempat dan tempat tujuan wisata yang dikunjunginya tanpa mengesampingkan pengalaman dan tujuan berwisata. Jadi, melakukan wisata ke manapun juga dengan berprinsip melakukan pelestarian alam dan budaya bisa dikategorikan sebagai seorang eco-traveller.

Apakah yang bisa kita lakukan menjadi eco-traveller pada melakukan perjalanan wisata? Jawabnya gampang saja, akan tetapi pelaksanaannya di lapangan terkadang sulit dilakukan sang sebagian orang. Tips-tips gampang yg bisa dilakukan sang wisatawan buat menjaga pelestarian alam & budaya merupakan:
a.     Berhemat dalam menggunakan plastik. Ketika kita melakukan perjalanan, usahakanlah untuk meminimalisir penggunaan plastik botol minuman kemasan atau kantong keresek. Biasakan membawa tempat minum sendiri dari rumah. Anda dapat mengisi ulang tempat minum tersebut di tempat Anda menginap. Jika Anda membeli makanan ringan di warung atau minimarket terdekat, usahakanlah membawa tas sendiri agar bisa langsung dimasukkan ke tas tanpa harus memakai kantong keresek.
b.     Berhemat dalam menggunakan air. Jika kita menginap di hotel, hostel, ataupun homestay, gunakanlah air secukupnya. Misal ketika menggosok gigi jangan biarkan air kran di wastafel menyala terus. Biasanya kita selalu malas mematikan kran tersebut kalau sedang gosok gigi dengan alasan: karena cuma sebentar.
c.     Berhemat dalam menggunakan listrik. Jika kita tinggal di hotel, hostel, ataupun homestay, biasakan mematikan lampu kamar dan AC sebelum pergi meninggalkan kamar untuk jalan-jalan.
d.     Tidak membuang sampah sembarangan. Jika tidak menemukan tempat sampah di tempat wisata, usahakan untuk mengantongi dulu sampah tersebut dan buanglah ketika menemukan tempat sampah.
e.     Tidak memetik tanaman dan mengganggu satwa.
f.      Menghormati budaya dan tradisi masyarakat setempat.
g.     Membeli layanan dan produk lokal. Ketika Anda melakukan perjalanan wisata, dan tidak tahu jalur yang akan dilewati, Anda bisa menggunakan layanan atau jasa penduduk lokal tersebut. Selain supaya tidak tersesat, Anda juga akan mendapatkan pemahaman tentang the do’satau the don’ts di tempat tersebut. Bila hendak berbelanja oleh-oleh, Anda dapat membeli kerajinan yang dibuat oleh penduduk lokal tersebut. Jadi, selain mendapatkan kepuasan dari travelling tersebut, Anda juga dapat mendukung perkembangan ekonomi penduduk lokal tersebut.


Nah, dengan melakukan perjalanan wisata misalnya ini, hal tadi sebenarnya menciptakan kita memiliki pemahaman, pengalaman dan pengetahuan baru mengenai loka wisata yg dikunjungi, disamping kita jua sanggup berinteraksi dan berbaur dengan penduduk lokal.


Disadur menurut buku The Green Traveler by Wiwik Mahdayani


(Sri Ratna Wulan)
Penulis merupakan pemegang beasiswa DIKTI, Program Magister Ilmu Lingkungan Hidup di Universitas Padjadjaran






















[Opini] Pelanduk yang Mati Suri

Tujuh tahun berlalu ketika Bandung mendapat bencana memalukan yaitu  longsornya tanah di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Leuwigajah, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Peristiwa itu merupakan bencana sampah terbesar di Indonesia yang mengakibatkan korban meninggal 143 jiwa dan puluhan orang lainnya luka-luka.
Berita mengenai bala akibat kelalaian manusia tadi diliput oleh seluruh media yang ada di Indonesia. Warga Jawa Barat gelisah lantaran sampahnya nir diangkut, khususnya mereka yg berdomisili pada kota Cimahi, kabupaten Bandung & kota Bandung. Puncak bala terjadi ketika Bandung dijuluki sebagai Bandung Lautan Sampah, sampai-hingga presiden Susilo Bambang Yudoyono turun tangan menaruh ultimatum.

Namun ketika akhirnya TPA baru, yaitu TPA Sarimukti dioperasikan, apakah rakyat Jawa Barat membarui perilakunya pada hal membuang sampah? Sayangnya tidak. Apakah sistem pengolahan sampah berubah? Tidak jua. Apakah regulasi yang lebih sempurna sasaran digulirkan? Ya. Namun sayang, tidak dijalankan.
Kota Bandung, kota molek hingga mendapat julukan Parijs van Java telah berubah menjadi kota yang sangat kumuh. Semrawut dan macet. Penyebabnya tidak hanya sampah tapi pembangunan hantam kromo tanpa mengindahkan kaidah. Tanpa mempedulikan kualitas hidup warga kota.
Trotoar yang seharusnya nyaman digunakan pejalan kaki dan penyandang disabilitas berubah menjadi area pedagang kaki lima (PKL) yang merasa berhak menggunakan setiap ruang publik. Tidak hanya PKL, seiring digalakkannya kampanye penghijauan, pemegang otoritas merasa sah-sah saja menanami trotoar dengan bermacam tanaman hias dan pohon pelindung. Namun, di sisi lain hak para pejalan kaki terabaikan. Dalam bahasa Betawinya, “Mau jalan di selokan kek, naik ke atas pot tanaman kek  atau mlipir rebutan jalan sama sepeda motor dan mobil kek, gue gak peduli!”
Arah kebijakan tentag penghijauan menjadi tidak jelas, apakah untuk warga kota atau sekedar memenuhi ambisi pejabat pemerintahan  dalam meraih penghargaan? Untuk diketahui bersama, pimpinan tertinggi Bandung mempunyai semboyan : “Tiada hari tanpa menanam pohon dan menerbangkan burung!”
Rupanya, demi menanam jutaan pohon, di manapun tempatnya mereka tak peduli. Pokoknya tanam saja. Kebijakan tentang area penanaman pohon semakin membingungkan karena tempat Bandung Utara yang merupakan wilayah resapan justru dijual dalam kaum kapitalis buat membentuk bermacam bangunan. Mulai berdasarkan tempat tinggal makan, perumahan hingga sekolah bertaraf internasional.
Mengapa pembangunan diarahkan ke wilayah Bandung Utara, bukannya wilayah Bandung Selatan agar terjadi pemerataan pembangunan? Hal tersebut  banyak dipertanyakan para penggiat lingkungan di Bandung. Dengan masifnya pembangunan Bandung Utara maka masalah banjir di wilayah Bandung Selatan tidak akan pernah terselesaikan. Alih-alih melindungi wilayah Bandung Selatan dari banjir, daerah hulu yang letaknya di Bandung Utara justru semakin gencar mengirim longsoran tanah dan sampah yang terbawa oleh aliran air.
Ditengah hiruk pikuk ketidakjelasan arah pembangunan yang berkelanjutan pada Kota Bandung, kemanakah para penggiat lingkungan? Mereka terdapat, bahkan relatif intens bertemu dalam sebuah forum, yaitu Forum Hijau Bandung (FHB) dimana mereka mampu saling menyebarkan & melengkapi.
Sayangnya itu semua tidak cukup. Intensitas kerusakan alam lebih cepat dibandingkan kecepatan gerak para penggiat lingkungan. Sebagian dari mereka bahkan  baru mengenal isu lingkungan sebatas seremoni. Pandangan para penggiat lingkungan di Bandung belum menyentuh urgensi  lingkungan keberlanjutan.
Tidak hanya mereka, jajaran pejabat dan mayoritas warga kota Bandung pun belum memahami esensi pelestarian lingkungan. Isu pelestarian lingkungan hanya dimaknai sebagai menanam pohon dan menerbangkan burung. Tanpa mempedulikan bahwa kelak pohon pelindung akan tumbuh sebesar minimal diameter  60 cm sehingga tidak bisa ditanam hanya dengan jarak 30 cm. Tanpa mempedulikan bahwa burung-burung yang diterbangkan adalah hasil ternakan sehingga akan kembali ke pemiliknya.
Sampah pun dengan  entengnya dibuang sembarang tempat. Perhatikan jalan-jalan utama kota Bandung yang tak pernah sepi dari sampah. Tindakan tak bertanggung jawab telah menyerahkan beban sampah pada pemulung, tukang sapu jalan dan air selokan. Seolah-olah semua orang beranggapan bahwa sampah akan lenyap dengan sendirinya.
Penggiat lingkungan dan murid-murid sekolah yang aktif baru bergerak seputar bersepeda bareng dan mengumpulkan sampah bersama-sama. Baik di jalan-jalan raya maupun di sungai Cikapundung, sungai terbesar yang mengalir di tengah kota Bandung. Padahal ada sekitar 47 anak sungai di kota Bandung, tempat dimana warga kota membuang sampahnya, mulai dari sampah rumah tangga hingga peralatan rumah tangga yang tak terpakai (kursi, kasur, dan bantal).
Seironis itulah lingkungan kota Bandung. Aneh. Entah mengapa warga kota Bandung yang terkenal kreativitasnya  tiba-tiba menjadi mandul ketika harus mencari solusi pelestarian lingkungan kota Bandung.
Akhir cerita bisa diduga, tiap pihak saling menyalahkan. Penggiat lingkungan menyalahkan pejabat kota yang dinilai menyalahgunakan otoritas. Pejabat kota menyalahkan penggiat lingkungan yang dituduh menghalangi “niat baik”. Sedangkan warga kota yang belum paham permasalahan lingkungan bagaikan pelanduk yang mati suri di tengah gejolak. Padahal, energi untuk saling menang sendiri atau saling mementingkan ego kelompok dapat digunakan untuk memberikan  edukasi pada masyarakat. Setidaknya mereka dapat melakukan tindakan termudah tapi paling esensial yaitu : bertanggung jawab terhadap sampahnya.


(Maria Hardayanto)

















Sabtu, 11 Juli 2020

[Media] No Impact Man : Antara Inspirasi dan Idealisme


Judul : No Impact Man
Tahun : 2007
Genre : Dokumenter
Pemain : Colin Beavan, Michelle Conlin, Isabella Beavan
Produksi : An Eden Wormfeld films, Shadowbox Film and Laura Gabbort Film Production
Produser : Julia Parker Benello, Diana Barrett dan Dan Cogan
Editor : William Haugse A.C.E dan Matthew Martin
Durasi : 1 jam 29 menit
Bahasa : Bahasa Inggris dengan subjudul dalam bahasa Indonesia


Film ini merupakan kisah perjalanan seorang warga Amerika Serikat, Colin Beavan yang mencetuskan gerakan untuk tidak menghasilkan dampak terhadap bumi. Semua perjalanan gagasannya ini didokumentasikan dalam film dan buku yang berjudul No Impact Man.


Beavan yg pula seseorang penulis merasa sangat prihatin menggunakan gaya hidup orang Amerika yang sangat konsumtif & serba mewah. Ia mencoba hayati menggunakan nilai-nilai yang diyakininya sahih. Cara yg ia tempuh bukan menggunakan membahas proteksi beruang kutub ataupun mempermasalahkan es yg tengah mencair di kutub utara, tapi lebih ke bagaimana kehidupan insan pada kota, yg beraktivitas tanpa meninggalkan efek buruk terhadap lingkungan.


Proyek ini awalnya disampaikan ke istrinya, Michelle, yang kecanduan menonton televisi dan hobi belanja. Meski merasa berat & tersiksa, Michelle mendukung gagasan suaminya. Apalagi proyek ini akan dilakukan selama lima-12 bulan dan diujicobakan dalam famili mereka sendiri, terhadap Michelle & anak mereka, Isabella.
Satu persatu kebiasaaan jelek dalam keluarganya yang mempunyai imbas terhadap lingkungan perlahan dikurangi, bahkan ditinggalkan. Misalnya, menggunakan nir memakai tisu toilet, berjalan kaki atau bersepeda buat mengurangi emisi karbon, mengurangi pemakaian plastik, mengganti popok sekali gunakan dengan popok kain, dan sebagainya. Ke pasar pun membeli produk lokal sebagai kepedulian melestarikan tanaman lokal. Mereka pula membeli cacing buat menciptakan kompos di rumah.


Di dalam film tersebut juga terdapat adegan dimana Beavan dan keluarga melakukan sarapan terakhir di sebuah rumah makan dan berkomitmen tidak akan makan di rumah makan yang jarak tempuhnya lebih dari 250 mil dari rumah. Yang tak kalah menariknya, Michelle terpaksa menahan keinginannya untuk minum kopi espresso, karena kopi tersebut bukan produk lokal.


Secara bertahap proyek ini dilakukan dengan cara belajar sembari melakukan. Beberapa perkara ada, waktu Michelle ingin menambah anak dan menginginkan pembagian tugas yg seimbang buat pekerjaan domestik antara Michelle & suaminya. Ada rasa murka dan putus harapan pada diri Michelle. Sampai waktu proyek keluarga mereka memasuki bulan keenam, waktu menuju ke tahapan hayati tanpa listrik. Apakah Anda bisa membayangkan hayati tanpa listrik? Beavan permanen menggunakan panel matahari untuk kegiatan yg membutuhkan suplai listrik, misalnya mengetik perkembangan proyek keluarganya pada laptop & mengunduhnya pada blog pribadinya. Prinsip Beavan adalah, apapun mampu dilakukan tanpa merusak alam.


Dengan proyek yg dijalankannya itu, Beavan menjadi terkenal dan diwawancara oleh aneka macam media baik berdasarkan dalam juga luar negeri. Banyak komentar yg menyatakan tak putusan bulat dengan apa yg dilakukannya, akan tetapi ada juga yg termotivasi. Meski sempat pesimis, Beavan bersemangat sebagai relawan pada beberapa tempat & belajar banyak hal menggunakan beberapa sahabat yg telah melakukan gerakan lingkungan yang berkelanjutan.


Dua minggu menjelang berakhirnya proyek ini, Beavan diundang ke beberapa sekolah buat menyebarkan pengalamannya tentang hidup tanpa impak lingkungan. Hasilnya, tak kurang dari 200 orang mahasiswa Universitas New York termotivasi buat mencoba hayati tanpa imbas lingkungan dalam waktu seminggu. Salah satu jawaban Beavan yg cukup menyentuh yaitu jawaban atas pertanyaan berikut, ?Jika saya akan menjalankan hayati tanpa pengaruh lingkungan, manakah yang usahakan saya pilih, tidak menggunakan kantung plastik atau tidak memakai gelas plastik??. Jawaban Beavan cukup sederhana dan bahkan di luar ekspektasi orang-orang, yaitu ?Apabila saya hanya akan melakukan satu hal, saya memilih menjadi relawan di organisasi lingkungan. Karena di sana terdapat komunitas?.


Beavan merupakan salah seseorang yg bisa menginspirasi orang-orang lain yg menghuni planet ini. Memang, kisah Beavan sepertinya sangat sulit buat dilakukan. Bahkan, apabila segala hal pada dalam film itu benar-benar dijalankan, mungkin mampu membuat frustrasi orang yg menonton film ini. Anggapan terlalu idealis, sok mencintai lingkungan, terlalu mengada-terdapat dan lain sebagainya pasti akan terlontar. Tapi setidaknya, kita mampu mencoba terlebih dahulu buat mengurangi pengaruh terhadap lingkungan. Ada beberapa hal bisa dilakukan, ada yang sulit, dan sama sekali tidak dapat dilakukan, namun semuanya itu butuh proses.


Sayangnya, film ini masih menyisakan pertanda tanya. Bagaimana hidup Beavan sekeluarga sehabis proyek ini selesai? Apa saja yang sampai saat ini masih dilakukan buat mengurangi efek lingkungan? Apa dampak publikasi proyek ini terhadap lingkungan sekitar?

Film ini sangat menginspirasi & WAJIB ditonton oleh mereka yg ingin melakukan perubahan bagi dunia. Kalau kita mau berubah & konsisten terhadap perubahan yg kita pilih, kita pun mampu menginspirasi orang lain buat berubah. Dari hal-hal yg kecil saja, yang mampu kita lakukan pada kehidupan sehari-hari. Untuk mengurangi efek negatif & menaikkan dampak positif pada menciptakan gerakan lingkungan yang berkelanjutan.

(Melly Amalia)








































[Masalah Kita] Aktivis Ramah Lingkungan, Mungkinkah?

Aktivis, siapakah mereka?


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aktivis merupakan orang yg mampu menggerakkan orang lain buat bertindak. Aktivis memiliki kemampuan mengatur orang lain (organisatoris), & dianggap sebagai tokoh dan pelopor di bidangnya. Salah besar apabila selama ini aktivis hanya ada pada lingkup global mahasiswa. Tidak hanya mahasiswa saja yg mampu berperan sebagai aktivis. Seorang bunda tempat tinggal tangga pun bisa sebagai seseorang aktivis, waktu kriteria yang disebut di atas telah dilakoni oleh ibu rumah tangga tadi.


Menjadi seorang aktivis adalah sebuah pilihan. Seseorang tergerak untuk menjadi aktivis, karena ada sentuhan di dalam sanubarinya untuk melakukan sesuatu. Pun untuk menjadi aktivis, sesungguhnya tak perlu berpatokan seperti para tokoh-tokoh aktivis yang karismatik, sering tampil berorasi di hadapan massa atau piawai dalam mengatur strategi sebuah gerakan massa. Dengan langkah-langkah kecil yang  dilakukan demi perubahan ke arah yang lebih baik, Anda sudah menjadi seorang aktivis.
Esensi seorang aktivis terletak pada komitmennya buat mengabdi kepada warga dan lingkungan. Seseorang sebagai aktivis karena dia tergerak saat melihat ketidakadilan pada sebuah sistem. Seorang aktivis senantiasa tergerak buat memperjuangkan hak-hak para korban yg mengalami ketidakadilan. Korban bisa dari dari apa saja, contohnya : pengungsi korban perang atau bala alam, lingkungan hayati, atau masyarakat miskin kota.
Seorang aktivis memandang bahwa hidup ini bukanlah semata-mata lahir-bersekolah-bekerja-menikah-punya anak-kemudian mangkat , tetapi dia melihat bahwa hayati itu hendaknya memiliki makna. Dan beliau memaknai hidupnya menggunakan cara berbuat sesuatu bagi orang lain. Seorang aktivis memandang bahwa segala ilmu & kekayaan yang dia miliki tak akan berarti apa-apa apabila tidak disumbangkan kepada pihak-pihak yg membutuhkan.
Oleh karena itu, sebagai seseorang aktivis hendaknya dimulai dari kehendak diri yang terdalam. Menjadi aktivis bukanlah sekedar latah karena melihat sahabat-sahabat sekelas aktif di organisasi eksklusif. Menjadi aktivis bukan lantaran terlihat keren berorasi pada hadapan massa. Menjadi aktivis merupakan lantaran kita ingin memaknai hayati ini dengan melakukan sesuatu bagi sesama, terutama mereka yang mengalami ketidakadilan dan ketertindasan.


Awal sebuah aktivisme


Apakah aktivis itu hanya melulu mahasiswa? Tentu tidak. Meski sesungguhnya, dunia aktivisme dimulai di pada lingkungan kemahasiswaan. Lingkungan pada mana seorang mengalami gemblengan sebuah kaldera candradimuka buat terjun berkarya di pada warga . Dunia kampus menyiapkan para mahasiswa buat berlaga & bersaing pada dalam masyarakat. Dunia yg terdiri dari lingkungan pekerjaan, lingkungan hidup (alam) dan rakyat.
Pendidikan di kampus, hendaknya nir sekedar menanamkan ilmu menurut segi intelektual pada para mahasiswa. Namun, lebih menurut itu, kampus hendaknya menanamkan perilaku pengabdian bagi warga . Bahwa ilmu yg mereka dapatkan di universitas, bukan semata-mata untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri pada masa depan. Ilmu merupakan sesuatu yang dapat dikembangkan, disumbangkan demi kebaikan bersama.
Pengabdian warga , itulah hakikat aktivis. Aktivis adalah mereka yang secara sukarela membagi ilmu dan keterampilan mereka demi kemajuan warga . Berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yg mereka miliki, aktivis menyuarakan hak-hak warga . Para aktivis mendorong perubahan ke arah kebijakan yang menguntungkan seluruh pihak. Para aktivis menentang ketidakadilan, ketertindasan dan keterbelakangan kaum eksklusif.


A ktivis Ramah Lingkungan


Di dunia ini masih ada banyak sekali jenis aktivis, mulai menurut aktivis pendidikan, wanita, anak jalanan, hingga aktivis yang menyuarakan info-berita lingkungan hayati. Pembagian jenis aktivisme itu salah satunya menurut minat, latar belakang dan keahlian seorang. Seorang aktivis lingkungan hidup misalnya, memiliki pengetahuan lebih banyak tentang info pencemaran & pelestarian lingkungan hayati daripada pengetahuan tentang mediasi perseteruan. Sebaliknya, aktivis hak asasi manusia adalah orang yang memiliki keprihatinan dan pengetahuan lebih poly tentang informasi ketidakadilan, kekerasan dan pelanggaran hak asasi insan dibanding pengetahuan mengenai lingkungan hayati.
Seyogianya, dunia aktivisme memiliki interaksi satu dengan yg lainnya. Seorang aktivis lingkungan hidup hendaknya menjalin kolaborasi menggunakan aktivis yg mempunyai keprihatinan tidak sinkron. Meski tidak selaras, terkadang terdapat info-berita yg saling bertindihan, misalnya model ini dia :
Sudah tak jarang kita menyaksikan, para aktivis pendorong perubahan kebijakan dewan warga berdemonstrasi di depan gedung perwakilan warga yang megah di satu pojok mak kota. Ketika demonstrasi selesai, syarat di depan gedung perwakilan rakyat kotor & berantakan. Puntung rokok pada mana-mana, sampah bungkus minuman juga kertas pembungkus nasi terserak di mana-mana. Tidakkah para aktivis tadi menyadari, bahwa ada dampak lain dari kegiatan mereka yang mungkin akan menindas pihak-pihak eksklusif? Ironi, bahwa gerombolan aktivis yang justru berupaya menghilangkan ketertindasan sosial justru membangun ketertindasan bagi lingkungan hayati menggunakan membuang sampah begitu saja.



Para aktivis berdemo di gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat


Sumber foto : http://sakajogja.multiply.com/journal/item/39

Contoh lain yang pernah disaksikan sang penulis sendiri merupakan saat para pengungsi Aceh korban kekerasan aparat pada fase DOM (Daerah Operasi Militer) juga pasca tsunami. Beberapa pengungsi mencari perlindungan sementara di sebuah area taman nasional. Para aktivis pembela hak asasi pengungsi sibuk beraktivitas mendampingi para pengungsi, tanpa menyadari bahwa loka yg dipakai pengungsi menjadi rumah sementara mereka merupakan sebuah taman nasional. Mereka mendampingi pengungsi pada hal kesehatan hingga pendidikan. Dalam bayangan para aktivis pembela hak asasi pengungsi, momen pengungsian merupakan suatu peristiwa yang hanya ad interim sifatnya.
Akan namun liputan berbicara lain. Pengungsi seperti menemukan rumah & tanah yg baru. Dari tenda terpal, mereka mengubah naungan menggunakan kayu-kayu yg ditebangi menurut pohon-pohon pada taman nasional. Mereka membuahkan kayu-kayu berdasarkan pohon-pohon tadi sebagai bahan bakar buat mengasapi dapur & menghangatkan diri pada malam hari. Padahal, huma taman nasional sesungguhnya tidak sanggup dihuni sang manusia, lantaran dia adalah tempat asli satwa-satwa liar yg mungkin membahayakan kehidupan para pengungsi itu sendiri.
Baik pengungsi maupun aktivis pembela hak asasi pengungsi kurang mempedulikan kabar bahwa menebangi pohon di wilayah taman nasional merupakan aktivitas terlarang. Aktivis pembela pengungsi lebih peduli pada penyembuhan syok mental pengungsi dampak kekerasan atau lebih peduli buat mengejar ketinggalan pendidikan anak-anak pengungsi dibanding anak-anak sekolah lainnya.
Berdasarkan dua gambaran tentang dunia aktivis di atas, muncul istilah ‘aktivis ramah lingkungan’. Aktivis ramah lingkungan, adalah aktivis manapun yang mempertimbangkan isu lingkungan sebagai dasar aktivitasnya. Ia bisa saja mengambil peran aktivis pendorong perubahan kebijakan pemerintah, namun ia juga mempertimbangkan isu-isu lingkungan sebagai dasar baginya untuk mengambil sikap dan berpihak. Seorang aktivis ramah lingkungan tak hanya berpatokan pada satu isu yang dibelanya. Ia mempertimbangkan dampak dari isu yang dibelanya terhadap isu lain, seperti isu lingkungan hidup, yang akan menjadi terpinggirkan atau tertekan.
Dalam prakteknya, masih sangat sporadis terlihat para aktivis memerhatikan isu lingkungan hayati pada segala aktivitasnya, demikian papar Ari Ujianto, direktur Yayasan Desantara dan mantan staff Urban Poor Consortium (UPC). Jangankan turut memerhatikan berita lingkungan hayati pada lapangan, bahkan di kantor para aktivis tersebut, aspek-aspek pelestarian terhadap lingkungan pun masih diabaikan. Misalnya, penggunaan kertas secara hiperbola atau menggunakan air minum kemasan pada gelas.
Hal pada atas bisa jadi menampakan tendensi ketidakpedulian terhadap gosip lingkungan hayati. Akan tetapi, berdasarkan Ari Ujianto, faktor pada atas sanggup jadi ditimbulkan sang ketidaktahuan. Para aktivis belum paham benar apa & bagaimana bertindak terhadap gosip lingkungan. Hal ini jua dikuatkan oleh David Ardes Setiady, aktivis KAIL yg beranjak di bidang pengembangan para aktivis & pernah berkecimpung pada advokasi para buruh. Ia baru mengenal isu lingkungan hayati dalam waktu kuliah, & sesudah mengenalpun, kesadaran buat berperilaku sesuai aspek lingkungan hidup pun masih rendah.
Kalau bilang peduli dengan lingkungan, saya akan bilang peduli. Sering kali saya jadi merasa bersalah ketika mengetahui dampak lingkungan dari apa yang saya lakukan. Kalau kepedulian keluar, baru sebatas berbagi informasi dengan lingkaran terdekat tentang isu lingkungan. Terus terang, saya merasa kesulitan dalam membagikan informasi tersebut karena belum sepenuhnya paham.” papar David Ardes. Ari Ujianto merasakan hal yang sama. Beliau merasa kesulitan dalam menyebarkan prinsip ramah lingkungan di komunitas kantornya, karena masalah kebiasaan yang sulit diubah.
Namun demikian, beberapa organisasi kemasyarakatan non-lingkungan hayati, seperti UPC yang diketuai oleh Wardah Hafidz dan KAIL yg dikoordinir oleh Any Sulistyowati, sudah menjalankan aspek-aspek keberlanjutan lingkungan, dengan meminimalkan penggunaan kertas, nir memakai minuman bungkus plastik sampai mengonsumsi penganan lokal yang dikemas tanpa plastik sebagai konsumsi pada setiap aktivitas.
Contoh lain, misalnya yang dilakukan oleh Eka Prahadian Abdurahman, ketua divisi kesehatan tempat kerja Caritas Medan, Sumatera Utara. Beliau berkata,
Bagi kami, isu lingkungan hidup penting untuk diintegrasikan dengan isu-isu lain, seperti isu Drugs & HIV. Untuk isu pengurangan dampak buruk narkoba (Harm Reduction) dan HIV, kami mengalami benturan antara isu lingkungan dengan program layanan jarum suntik steril, karena banyak meninggalkan limbah jarum bekas penggunaan narkoba, tanpa ada sistem pengelolaan limbah yang baik di lapangan. Solusi yang dicari untuk program ini adalah melakukan pertukaran jarum suntik steril (Needle Exchange Program) artinya setiap pengguna jarum suntik yang ingin memperoleh jarum suntik baru diwajibkan membawa limbah bekasnya untuk mengurangi limbah di lapangan, lalu limbah yang sudah dikumpulkan diserahkan ke rumah sakit untuk dimusnahkan di insinerator. Hanya kita tidak tahu persis apakah proses ini juga berdampak pada kerusakan lingkungan.
Memang sudah ada beberapa aktivis dan organisasi-organisasi yang menjalankan prinsip ramah lingkungan seperti UPC dan Kail, itu karena penggerak di dalamnya sadar sungguh tentang aspek keberlanjutan lingkungan hidup atau dekat dengan organisasi lingkungan hidup yang ada dan pernah berjejaring dan bekerjasama dalam satu kegiatan. Prinsip ramah lingkungan ditularkan melalui kebiasaan, perilaku dan dalam jejaring kerjasama.
Meski tersendat, tetapi langkah-langkah kecil telah dilakukan. Yayasan Desantara misalnya, tak lagi membeli air minum kemasan melainkan memasak sendiri air minum mereka. Bahkan UPC yang tidak lagi memiliki kantor yang berwujud bangunan, secara implisit telah menyatakan sikap ramah lingkungan. Dengan tidak memiliki bangunan kantor, berarti meminimalkan aktivitas menghasilkan sampah. Langkah-langkah kecil berbasis ramah lingkungan ini dimulai dan ditularkan perlahan-lahan dari satu orang yang peduli ke semakin banyak orang.


Aktivis Lingkungan


‘Aktivis lingkungan’ sedikit berbeda dengan aktivis ramah lingkungan. Orang yang menjadi aktivis lingkungan adalah mereka yang mendedikasikan waktunya untuk memperjuangkan isu lingkungan. Ada beragam cara dipilih dalam menjadi aktivis lingkungan, antara lain melalui pendidikan, pengelolaan komunitas yang ramah lingkungan, advokasi kebijakan terkait isu lingkungan, dan sebagainya.

Sumber foto : Tim YPBB / Anilawati N.
Menurut Anilawati Nurwakhidin, seorang aktivis lingkungan dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), ada beberapa kendala yang dihadapi oleh para aktivis lingkungan hidup, yang terdiri dari kendala dari dalam dan dari luar diri sang aktivis. Kendala yang berasal dari dalam diri adalah tiadanya visi jangka panjang dalam memperjuangkan isu lingkungan hidup. Beberapa aktivitas dijalankan secara reaktif dan sporadis, tanpa diakhiri refleksi dan dokumentasi untuk pembelajaran di masa depan. Dan mungkin, karena sifatnya yang masih reaktif dan sporadis inilah perjuangan aktivis lingkungan sering mengalami pasang dan surut, gaung perjuangan lingkungan hidup terdengar di setiap penjuru daerah, tetapi sifatnya hanya sekedar seremonial belaka hingga terlihat mirip dengan situasi sebuah pesta, heboh di saat acara berlangsung, namun adem ayem setelahnya.
Kendala dari luar diri aktivis lingkungan antara lain adalah beberapa orang menganggap bahwa kegiatan aktivis lingkungan tidak cukup layak untuk ditekuni dalam jangka panjang. Salah satu alasannya adalah, karena masih ada orang menganggap aktivis lingkungan tidak memiliki pendapatan yang cukup baik dibanding orang-orang yang bekerja secara kantoran. Selain itu, organisasi yang mewadahi para aktivis lingkungan juga belum terlihat memiliki visi jangka panjang bagi internal organisasinya, sehingga hal itu dapat menimbulkan rasa ketidakpastian dari para anggotanya.


Penutup


Dari uraian di atas, tampak kerucut masalah terletak pada dua hal. Pertama, perlunya koordinasi lintas bidang di dalam dunia aktivis. Melalui komunikasi dan koordinasi, tiap-tiap aktivis akan memiliki gambaran yang menyeluruh tentang fenomena sosial kemasyarakatan dan lingkungan hidup daripada sekedar mengetahui gambaran sempit tentang isu yang ia bela. Dengan komunikasi antara para aktivis lingkungan hidup dengan aktivis non-lingkungan hidup, hambatan berupa ketidaktahuan dan ketidakpedulian untuk menjadi aktivis ramah lingkungan dapat diatasi.
Kedua, perlunya visi jangka panjang bagi aktivis lingkungan hidup untuk terus menggulirkan perjuangan mereka membela lingkungan hidup. Jika visi jangka panjang tentang keberpihakan terhadap lingkungan hidup telah terbentuk, ia tentu dapat diintegrasikan, dikomunikasikan dan diselaraskan dalam forum-forum komunikasi antar aktivis lintas bidang. Sehingga, isu-isu ramah lingkungan dapat pula diintegrasikan bersama isu-isu lain bagi tercapainya perubahan kehidupan seluruh umat manusia tanpa terkecuali, ke arah yang lebih baik. Semoga.


(Navita Kristi Astuti)





























































[Pikir] Riwayat Gerakan Lingkungan

Gerakan lingkungan lahir pada abad ke-19, dibidani oleh mereka yang peduli pada kelestariannya. Awal gerakan lingkungan terjadi dalam tahun 1890, John Muir & Robert Johnson sukses melobi Kongres untuk melestarikan Yosemite sehingga lahirlah Yosemite National Park. Keduanya lalu bergabung membangun Sierra Club, salah satu organisasi lingkungan pertama & leluhur bagi banyak organisasi lingkungan terbaru. Di tahun yg sama, Gifford Pinchot kembali ke Amerika sesudah belajar Kehutanan pada Prancis. Dia terkejut sekali melihat penghancuran asal daya alam di Amerika. Dia lalu menata sistem pengelolaan sumber daya yang berfokus pada tebang pilih & dibuatnya Hutan Lindung Nasional.
Di usianya yang dini, gerakan lingkungan di dunia dipengaruhi amat kuat oleh Pinchot dan Muir-Johnson. Pinchot menekankan pada konservasi, yaitu penggunaan sumber daya dengan pengelolaan yang baik, sementara Muir menekankan pada preservasi, yaitu alam yang sungguh-sungguh terjaga dan tidak diganggu oleh aktivitas manusia.

Pada masa Perang Dunia di abad ke-20, gerakan lingkungan sempat tenggelam dan tidak terperhatikan. Usai PD II dan terjadi transformasi masyarakat pertanian menjadi industri, gerakan lingkungan mulai menggeliat kembali. Salah satu fokus perhatian berbagai pihak waktu itu adalah karya tulis Rachel Carson yang berjudul Spring di tahun 1962. Saat itu, intensifikasi pertanian dilakukan secara masif. Rachel Carson mengulas dampak kimia pestisida untuk lingkungan serta bagi kesehatan mahluk hidup dalam bukunya.
Pada tahun 1970, setelah merebaknya berbagai bencana lingkungan buatan manusia; Senator Gaylord Nelson mengusulkan sebuah demonstrasi akar rumput dengan mengatasnamakan lingkungan. Akhirnya, Hari Bumi pertama berlangsung, membawa gerakan lingkungan ke tahap kedewasaan yang baru. Tantangan yang dihadapinya berubah dari jenis hingga skalanya. Dalam kurun waktu yang sama pula, filsuf Norwegia Arne Naess mulai mengenalkan gerakan lingkungan dengan konsep deep ecology. Konsep ini menyatukan konsep preservasi, ekologi dan spiritual.
Di Indonesia sendiri, keberadaan gerakan lingkungan nir mampu dipisahkan dari info politik. Pada masa Soekarno, pembangunan nir diorientasikan dalam aspek-aspek yg padat modal. Yang terjadi, justru Soekarno menolak dana asing yg menawarkan model pembangunan menggunakan mengenjot aspek ekonomi berbasis ekstraktif asal daya alam. Dengan demikian, waktu itu gerakan lingkungan boleh dikatakan nir berkembang baik di Indonesia. Tetapi, pada periode tahun 1970-1980, sesudah masa kepemimpinan Soekarno (Orde Lama) beralih ke masa Soeharto (Orde Baru), gerakan lingkungan mulai berkembang di Indonesia.
Pola pembangunan yang diterapkan Soeharto berlaku kebalikan dari Soekarno. Pada kepemimpinan Soeharto, pihak asing mulai berinvestasi di Indonesia, terutama industri-industri ekstraktif. Persoalan-persoalan lingkungan dikesampingkan demi peningkatan ekonomi dan menggenjot Gross Domestic Product (GDP), indikator perekonomian yang digunakan banyak negara di dunia. Istilah gerakan lingkungan di Indonesia, baru disebut dalam sebuah simposium tentang ‘15 tahun gerakan lingkungan Indonesia, menuju pembangunan berwawasan lingkungan’ di Jakarta, pada tahun 1972.
Periode gerakan lingkungan di Indonesia terbagi dalam 4 kurun waktu. Yang pertama, sekitar tahun 1970-1980, ditandai dengan masuknya agenda persoalan lingkungan dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1973 dan Repelita II (1974-1979). Hal ini terjadi karena tekanan internasional dari Deklarasi Stockholm tahun 1972 tentang Biosphere. Tindak lanjutnya adalah pembentukan Kementerian Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup oleh Pemerintah Indonesia. Tujuan pembentukan kementerian terkait di atas adalah mengusung pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan dan efisien. Menteri pertamanya adalah Emil Salim, seorang ekonom lulusan University of Berkeley yang kemudian banyak mempelajari ilmu lingkungan. Emil mendorong munculnya LSM-LSM lingkungan di masa kepemimpinannya sekitar tahun 1978-1993. Pada masa itu, tiba-tiba ratusan organisasi lingkungan muncul di Indonesia, dari yang sebelumnya tidak ada.
Saat itu, organisasi lingkungan yang ada cenderung mengarah pada kegiatan pecinta alam, sekedar hobi maupun bersifat akademis. Sifat pemerintah yang represif membuat kehadiran organisasi berbasis massa saat itu harus berhati-hati. Bahkan untuk mencari atau membuat nama pun, sebuah organisasi lingkungan pun harus dipikirkan secara matang. Organisasi lingkungan tak boleh memprovokasi massa untuk melawan kebijakan Pemerintah, tapi mereka juga tak ingin dicap sebagai underbow partai ataupun kepanjangan tangan Pemerintah. Akhirnya, pada tahun 1980, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terbentuk, menjadi salah satu wadah gerakan lingkungan di Indonesia. Dalam setiap aktivitasnya, WALHI mendorong organisasi-organisasi lain untuk mulai membentuk jaringan atau kelompok-kelompok kerja untuk Iingkungan. Jaringan kerja sama ini yang di kemudian hari menjadi atap bagi pemikiran gerakan lingkungan di Indonesia.
Gerakan lingkungan mulai memasuki periode kedua di Indonesia, yaitu periode tahun 1980-1990. WALHI mulai bermain di area advokasi. Beberapa kasus pengrusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia diperkarakan sampai ke meja hukum. Tuntutan pertama adalah kasus pencemaran lingkungan oleh PT. Indorayon.  Meskipun kalah, tuntutan ini merupakan satu loncatan besar untuk gerakan lingkungan di Indonesia. Itulah kali pertama, pada masa Orde Baru, sebuah lembaga dapat mewakili lingkungan atau masyarakat. Keberanian WALHI dalam menuntut PT. Indorayon patut diperhitungkan karena perusahaan tersebut didukung dan dimiliki oleh kerabat pucuk pimpinan pemerintah saat itu.
Sikap gerakan lingkungan hidup pada Indonesia waktu itu cukup jelas, tidak takut berseberangan menggunakan Pemerintah Orde Baru. Di waktu bersamaan, gerakan lingkungan yang bekerja menggunakan mengacu dalam kerangka kerja perundangan pula terus merangsek. Pada masa itu, dua undang-undang, yaitu UU No. 4 tahun 1982 tentang Pokok Peningkatan Lingkungan Hidup serta UU No. 5 tahun 1984 mengenai Perindustrian dalam Pembangunan Industri Berwawasan Lingkungan dikeluarkan. Penguatan perangkat Undang-undang diturunkan pada PP No. 26 tahun 1986 tentang AMDAL.
Periode gerakan lingkungan pada Indonesia yg ketiga merupakan sekitar tahun 1990-1999. Dalam periode ini, Deklarasi Rio tahun 1992 mengenai biodiversitasikut diratifikasi sang Indonesia & kemudian terintegrasi dalam GBHN tahun 1993. Bappedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) terbentuk pada kurun saat ini, membawa angin segar bagi gerakan lingkungan pada Indonesia.
Sementara itu, WALHI sudah menuntut sembilan kasus pengrusakan lingkungan lainnya ke pengadilan. Kasus yang diperkarakan antara lain merupakan pengrusakan yg dilakukan oleh perusahaan-perusahaan akbar bermodal asing & lokal, maupun sang Pemerintah (perkara kebakaran hutan dan pengembangan huma gambut sejuta hektar). Dari sepuluh kasus gugatan lingkungan, hanya satu kasus yg dimenangkan, yaitu Hak Atas Informasi melawan PT. Freeport Indonesia. Dalam putusannya, Majelis hakim hanya sebagian mengabulkan somasi WALHI & mengakui bahwa PT Freeport Indonesia sudah melakukan perbuatan melawan hukum. Kemenangan ini sebagai catatan sejarah, bahwa lingkungan hayati dapat dimenangkan meskipun harus melewati bepergian panjang.
Masalah lingkungan menerima perhatian serius dari hampir seluruh negara pada dunia karena kasus & krisis lingkungan tersebar pada setiap negara menggunakan ragam dan derajat yg tidak sama. Seluruh negara terlibat pada mencari solusi terhadap problem tadi. Agenda lingkungan yang awalnya sebagai gosip minor kali ini masuk dalam info dunia, dan dibicarakan pada rencana politik internasional, mendampingi rencana keamanan & ekonomi. Pada tahun 1992, diadakan Earth Summit pada Rio menggunakan dihadiri oleh para kepala negara & para perwakilan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Pencapaian yg terpenting saat itu adalah konvensi akan Konvensi Perubahan Iklim yang berujung pada Protokol Kyoto. Konvensi Keragaman Biologis pula diratifikasi pada rendezvous ini. Meskipun begitu, masih ada banyak kritik bahwa perjanjian yg dibentuk pada Rio tidak terwujud lantaran berbenturan dengan berita lainnya misalnya pemberantasan kemiskinan.
Memasuki periode keempat, di tahun 1999, gerakan lingkungan pada Indonesia berada pada kesesakan yang ditimbulkan sang masa Reformasi. Saat itu, keadaan perekonomian Indonesia amat terpuruk & lagi-lagi lingkungan dikorbankan untuk menjawab masalah kemiskinan secara cepat. Pada masa pemerintahan Megawati banyak terjadi alih fungsi huma atas nama kemiskinan. Pembalakan hutan balik marak, belum lagi ditambah menggunakan warisan masalah lingkungan berdasarkan masa Orde Lama.
Gerakan lingkungan pada periode ini mengalami tantangan yg lebih kompleks. Krisis lingkungan tidak hanya terjadi pada strata individu atau lokal seperti bala lumpur Lapindo contohnya. Krisis lingkungan yang berskala dunia pula semakin konkret terasa pada Indonesia, misalnya perubahan iklim, degradasi lahan dan hutan, kelangkaan air dan berkurangnya wilayah tangkapan ikan. Gerakan lingkungan di Indonesia bergantung dalam sistem politik, ekonomi & sistem militer yang diterapkan pada negara ini.
Bila dicermati, gerakan lingkungan dunia akhirnya bekerja dengan strategi yang berbeda. Para pemerhati lingkungan hidup bermain dalam kerangka undang-undang dan politis akademis seperti yang dilakukan dalam konvensi lingkungan atau pertemuan yang diselenggarakan oleh UNEP. Belum lagi tulisan seperti The Limits to Growth, Our Common Future, One Planet yang mengingatkan terbatasnya sumber daya yang kita miliki dan meningkatnya tekanan akibat kegiatan manusia pada sumber daya tertentu.
Gerakan lingkungan juga sering bermain di ranah aksi nyata dan langsung. Bisa berupa bentuk protes langsung dengan memblok jalan atau memeluk pohon, juga dengan bentuk yang lebih halus berupa membuat budaya alternatif yang baru. Strategi gerakan lingkungan yang terbaru juga disukai oleh orang-orang yang sudah jenuh dengan  gaya hidup modern dan konsumtif, kalangan yang peduli kesehatan dan berusaha berada sedekat mungkin dengan sumber makanan mereka serta kaum spiritualis yang memandang keberadaan yang Maha di setiap benda di alam ini. Contohnya konsep ecovillage dan kembali ke kelompok subsisten.
Di umurnya yang sudah cukup tua, gerakan lingkungan berharap jalan keluar yang damai dan tenang. Sama halnya ketika perbudakan akhirnya dihapuskan dan menghilangnya gerakan anti apartheid. Ataupun ketika gerakan perempuan berhasil memperoleh hak suara, dan gerakan perempuan pendukung hak suara kemudian menghilang setelah pergerakannya yang hampir 100 tahun. Tantangan yang dihadapi agar gerakan lingkungan dapat berakhir dengan damai masih cukup banyak. Tantangan itu berbeda dari tantangan gerakan perempuan atau anti perbudakan. Selama sistem perekonomian dunia masih menguntungkan para pemilik modal dan selama manusia hidup tanpa berusaha selaras dengan alam, tampaknya gerakan lingkungan harus tetap eksis. Setiap strategi yang digunakan baik adanya, dan dari sejarah perjuangannya, yang terpenting adalah menyesuaikan ide tentang pencarian solusi atas masalah dengan konteksnya. Kebijakan terus berubah, media kampanye dan penyadaran semakin kreatif, kategori permasalahan lingkungan semakin lebar, dan semuanya dapat menjadi peluang untuk mencapai akhir gerakan lingkungan hidup yang tenang. Perkara siapa yang menjadikannya peluang, siapa lagi kalau bukan kita?


(Hilda Lionata)




















Jumat, 10 Juli 2020

[Profil] Perempuan Pejuang Lingkungan







Anilawati Nurwakhidin (Koordinator Tim Kampanye Zero Waste YPBB)


Sosoknya begitu sederhana & wajahnya tanpa polesan make up. Dengan kerudung & sandang kalem yg biasa dikenakan, senyumnya yang ramah nir pernah lepas saat kita menyapa. Perempuan kelahiran 3 Juni ini poly menghabiskan hari-harinya di Bandung meski berdomisili menggunakan nenek dan kakeknya pada Cimahi.


Tidak pernah terpikir sebelumnya Anil akan menjadi seperti sekarang ini, sebagai aktivis lingkungan. Mengenang masa kecilnya, Anil mengaku tidak punya cita-cita, ingin jadi seperti apa. Hari-harinya dihabiskan dengan sekolah. Orang tuanya tidak terbiasa berdiskusi tentang visi hidup dengan anak-anaknya. Di sekolah, katanya, Anil tidak ikut kegiatan berorganisasi. Baru di dunia kampus, dia mengenal kegiatan berorganisasi walaupun sifatnya lebih ke sebagai kegiatan pengisi waktu. Yang terpikir saat itu adalah menjalani sekolah sesuai jenjangnya. Kemudian, setelah lulus kuliah, ya kerja. Kerja itu harus yang menjanjikan di masa tua (baca: pensiun), begitu ucapan orang tuanya saat itu. Meski kuliah di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia, dulu namanya IKIP) yang lulusannya identik dengan menjadi guru, tapi Anil tidak berminat menjadi guru di pendidikan formal atau menjadi PNS sesuai keinginan orang tuanya.


Sampai akhirnya pada tahun 2004, hati Anil terusik ketika mendengarkan siaran salah satu radio swasta di Bandung yang secara rutin menayangkan topik lingkungan. Ia pun menyadari, selama ini ia selalu mencari keterkaitan antara kondisi lingkungan yang ada dengan aktivitas kesehariannya. Di kesempatan lain, Anil menemukan informasi tentang kegiatan kereta kota dari YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi, salah satu organisasi lingkungan yang fokus pada isu gaya hidup organis)  di mading kampus. Tidak menunggu lama, Anil langsung mendaftar dan terlibat dalam kegiatan relawan. Di sana, Anil mendapat suasana yang berbeda. Hal ini membuat Anil termotivasi untuk belajar dan bisa berperan sesuai dengan minatnya.


Seiring dengan berjalannya waktu, Anil mengajukan diri menjadi staf YPBB. Anil menemukan sosok yang menginspirasi dan mengubah jalan hidupnya. David Sutasurya (Direktur YPBB) meyakinkan dirinya bahwa kalau kita mau serius di dunia ini pasti ada jalan. Saat itu kondisi YPBB sedang kesulitan pendanaan, tapi hal itu tidak menyurutkan Anil untuk tetap bergabung. Proses pembelajaran di YPBB dijalankan Anil secara bertahap dengan mengkoordinir teman-teman relawan. Untuk peningkatan kapasitas diri, Anil magang di lembaga lain dengan menjalankan peran yang berbeda seperti menjadi notulen, maupun memfasilitasi pelatihan. Sampai akhirnya Anil mendapat tanggung jawab yang lebih besar sebagai Koordinator Program Kampanye Zero Waste.



Anil, duduk di depan, menggunakan kaus hijau, pada pembinaan Cara Berpikir Sistem


yg diselenggarakan sang KAIL

Menjalankan peran sebagai Koordinator Program Kampanye Zero Waste, Anil belajar mengenal jenis-jenis orang yang “berbeda” dan sekaligus melihat bahwa di dunia ini, ada pilihan lain dalam beraktivitas. Adanya dukungan sesama koordinator menjadi penyemangat Anil dalam mengemban tugasnya. Suasana kerja, nilai-nilai di dalamnya dan adanya teman yang saling mendukung menjadi faktor penguat mengapa Anil bisa bertahan sampai enam tahun di YPBB.


Ketika ditanya soal visi hidup, “Ini selalu menjadi bagian yang sulit dijawab”, kata Anil. “Secara gampangnya, saya cukup bahagia bila bisa kumpul dan senang-senang bersama. Saat ada masalah, ada teman untuk tempat bercerita, tukar pikiran dan menyebarkan semangat ber-zero waste. Juga bila hidup ini bermanfaat untuk orang lain”, lanjut Anil. Biasanya Anil sangat membutuhkan teman-teman yang bisa diajak ngobrolsebelum membuat keputusan apapun. Mungkin itu juga sebabnya Anil tidak bisa diam dan merasa efektif berpikir kalau sambil berbicara. Sampai ada salah satu teman yang memberi saran kepada Anil untuk mencoba mencatat apa yang Anil bicarakan, sebagai bentuk apresiasi tidak bisa diamnya Anil.


Yang paling menarik dari Anil adalah, ke mana pun dia pergi baik urusan kerja atau pun pribadi, Anil selalu mengkampanyekan gaya hidup organis. Di dalam tasnya tidak pernah ketinggalan satu paket botol minuman (tumbler), wadah makanan, sapu tangan kain dan tas kain bila sewaktu-waktu diperlukan. Jadi dalam membeli sesuatu diusahakan untuk tidak menghasilkan sampah (zero waste) atau paling tidak mengurangi sampah dari awal.

Kekonsistenan dan komitmen untuk menjalankan hidup yang tidak menghasilkan sampah atau tidak berdampak besar pada lingkungan ia coba untuk terapkan dalam kesehariannya. Misalnya kebiasaan menggunakan kendaraan umum, menolak menggunakan sedotan untuk minum, dan lain sebagainya. Kebiasaan ini juga ditularkan Anil ke beberapa teman kuliah yang sering kumpul bersama dan  awalnya tidak mengenal isu zero waste sama sekali. Sampai-sampai ada istilah yang cukup trend di kalangan aktivis lingkungan yaitu ‘dosa ekologis’. Lewat sikapnya ini Anil ingin menunjukan pada orang lain bahwa kita bisa hidup selaras dengan alam dan mengingatkan kepada kita bahwa daya dukung alam itu ada batasnya. Hidup nyaman dan bahagia pun bisa dicapai kalau kita bisa hidup zero waste.
Contoh lainnya, dia pernah mengirim liputan di media sosial tentang sepatunya yang bolong & terpaksa harus membeli sepatu baru. Usia sepatu tersebut sudah relatif usang dan seringkali tembus air apabila hujan. Itu satu-satunya sepatu yg Anil punya. Ternyata, yang menanggapi kiriman keterangan tersebut sampai 32 orang. Juga hal lainnya seperti baju. Orang akan melihat baju yang dipakai Anil itu-itu saja. Padahal dibalik itu semua, Anil mencoba berkampanye buat menggunakan atau memakai barang apapun selama mungkin, termasuk baju yang dikenakannya.
Maria Hardayanto (Penggagas Komunitas Engkang-Engkang dan Komunitas  Sukamulya)

Adakah yg pernah mendengar kudapan manis brownies ganyong dan tumpeng menurut singkong? Ganyong sendiri merupakan nama jenis tumbuhan lokal orisinil Jawa Barat dan disulap sebagai kue oleh bunda Maria. Biasanya pada setiap kegiatan yg diikuti oleh komunitas binaan ibu Maria selalu terdapat kudapan manis tersebut, sebagai alternatif penganan lain pada hal ketahanan pangan.


Komunitas Engkang-engkang dan Komunitas Sukamulya adalah kumpulan ibu-ibu yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan sekitar rumah, baik dalam pengelolaan sampah, pemanfaatan pekarangan rumah (urban farming) dan pembuatan jenis makanan dari bahan-bahan lokal. Walau komunitas ini belum genap dua tahun tapi secara perlahan melangkah maju dengan caranya sendiri. Siapakah yang menjadi penggagas komunitas ini?


“Bunda”, begitu sapaan akrab bu Maria diantara para aktivis lingkungan di Bandung. Meskipun sudah berusia 51 tahun tapi ibu empat orang anak ini selalu terlihat ceria dan penuh semangat. Kegiatan sebagai ibu rumah tangga mulai berkurang karena anak-anak sudah semakin besar dan kebanyakan mengambil pendidikan di luar kota, membangkitkan kembali gairah bunda untuk beraktivitas. Kalau kata orang, bunda itu seorang ibu yang sangat aktif dan tidak bisa diam. Seperti kebanyakan ibu-ibu yang lain, bunda ikut arisan, pengajian dan terlibat dalam program PKK . Tapi bunda merasa masih ada yang kurang. Akhirnya ia mencari aktivitas lain, seperti menghadiri pertemuan zero waste community  dan kegiatan BILIC (Bandung Independent Living Center), dimana bunda bertemu dengan teman-teman difabel (istilah lain dari penyandang cacat). Dari situlah awal kebangkitan bunda menjalankan aktivitasnya. Untuk mendukung gerakannya, bunda banyak membaca literatur dari buku dan menjelajah dunia maya . Termasuk juga ide membuat brownies ganyong, ia dapatkan dari penjelajahannya tersebut.


Dalam membangun komunitas dampingannya, bunda mengalami pasang surut. Tapi itu semua tidak membuat bunda mundur. Mendukung lingkungan hidup secara nyata melalui pembuatan kompos skala rumah tangga, menanam sayuran segar dan membuat penganan non beras. Biasanya kalau ada program membuat kue, kue tersebut adalah hasil patungan anggota komunitas. Ada yang membawa telur, terigu, mentega, dsb. Jadi, program tersebut berbasis prinsip dari anggota, untuk anggota dan dinikmati oleh anggota pula. Juga mengolah hasil kebun yang hasilnya dikumpulkan untuk kepentingan komunitas.  Kesibukannya mendampingi komunitas Engkang-Engkang dan komunitas Sukamulya cukup menyita sebagian waktu bunda.


Kesenangannya mengulik dan mengupas suatu masalah ternyata sudah ada sejak duduk di bangku SMA. Termasuk keprihatinan bunda terhadap kondisi lingkungan kota Bandung. Misalnya masalah air PAM yang hanya keluar di malam hari dan orang-orang menunggui air tampungan sampai penuh. Juga adanya peristiwa Bandung lautan sampah di tahun 2005. Banyak orang yang memberi tanggapan, bahkan kritik pedas terhadap aparat pemerintah. Tapi agak berbeda yang ada dalam benak bunda. Beliau malah berpikir jangan-jangan sampah yang ada di TPA Leuwigajah dan menjadi bencana longsor itu salah satunya adalah sampah saya? Hal ini menjadi kegelisahan bunda. Sampai-sampai ia berlangganan salah satu media lokal Bandung karena ada tulisan dari (alm) bapak Otto Soemarwoto yang mengulas tentang gaya hidup. Bunda sangat termotivasi oleh tabloid yang mengulas tentang isu lingkungan dan event-event pameran lingkungan. Sampai akhirnya bunda mencari data lewat internet dan mendatangi satu persatu LSM lingkungan dengan melakukan diskusi dengan orang-orang yang dianggap bunda bisa menjawab kegelisahannya.


Orang-orang pada lebih kurang komunitasnya banyak yang memberikan apresiasi beragam tehadap apa yang dilakukan bunda, tapi bunda tidak terlalu peduli dengan pandangan orang lain. Yang penting bunda sanggup mengukur diri. Pada prinsipnya bunda ingin melakukan sesuatu sampai tuntas. ?Makin saya menahan, maka lingkungan akan makin hancur?, begitu kata beliau.

Bunda mempunyai kesenangan tersendiri kalau bertemu dengan banyak orang. Dia merasa menemukan energi yang berbeda. Setelah diusut lebih jauh, ternyata dahulu bunda sempat demam panggung kalau berbicara di depan umum dan tidak tahu bagaimana cara membuat bahan presentasi, misalnya dalam bentuk power point. Akhirnya bunda minta diajarkan oleh  anak-anaknya dalam menuangkan semua ide yang ada ke dalam tulisan melalui blog. Sebelumnya bunda belum pernah membuat blog. Jadi, ia benar-benar belajar secara otodidak. Sampai sekarang ada enam blog yang dikelola bunda dengan genre yang berbeda, termasuk secara rutin menulis di blog bersama, Kompasiana. Tulisannya pun sering menempati posisi teratas karena temanya menarik dan mudah dipahami orang. Dari cerita bunda banyak pembelajaran untuk kita semua, bahwa kalau ada kemauan dan usaha keras, maka semua yang kita impikan akan tercapai.

(Melly Amalia)






















































Cloud Hosting Indonesia