Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Desember 2017. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Desember 2017. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 Mei 2020

[JALAN-JALAN] PULAU CORON, SEBUAH CATATAN PERJALANAN

Oleh : David Ardes Setiady

Hari itu kalender di smartphone menunjukkan tanggal 15 September 2017, ketika langit tampak cerah nan teduh, matahari memancarkan sinarnya sembari kawanan awan memberi kesejukan atas teriknya. Saya bersama dengan rombongan beranjak dari penginapan menuju pelabuhan Coron Harbour, sekitar 30 menit lamanya melintasi pemukiman padat yang pemandangannya seperti perkampungan di Indonesia. Setibanya di pelabuhan, sebuah perahu sudah menanti kehadiran kami karena memang sudah disiapkan oleh rekan-rekan Samdhana Institute Filipina dan kami pun segera memasukinya. Lalu, ada sedikit proses loading barang dan berbagai persiapan, di antaranya pemeriksaan oleh penjaga pantai memastikan jumlah penumpang yang berangkat agar sesuai dengan yang kembali nantinya, kemudian sang penjaga pantai juga memeriksa bahwa di dalam perahu tersedia rompi pelampung yang wajib dipakai para penumpang selama perjalanan. Tak lama, perahu pun segera mengarah menuju ke tujuan, Pulau Coron.

Perjalanan ini merupakan bagian menurut kegiatan workshop yang diselenggarakan sang Samdhana Institute pada rangka menyusun acara capacity building. Di sana sudah menanti komunitas suku Tagbanwa yang telah mendiami Pulau Coron sejak usang. Nantinya kami akan berinteraksi dengan mereka buat belajar tentang kehidupan mereka dan bagaimana sinergi dapat terjalin menggunakan Samdhana.

Foto suasana pada kapan (Dokumentasi Pribadi)

Perjalanan menyeberang pulau ini memakan ketika sekitar 45 mnt, namun tidak begitu terasa karena pemandangan yg tersedia pada sekeliling bahtera begitu indah. Rasanya ingin terus mengabadikan setiap bagian berdasarkan pemandangan yang tersaji dari perahu ini, namun saya harus menyimpan daya baterai ponsel ini karena terdapat berbagai kegiatan dan pemandangan lain yang mampu jadi tidak terabadikan saat daya ponsel habis. Maka naluri sajalah yg menentukan buat merogoh pemandangan yg cocok pada hati.

Pemandangan saat bepergian berangkat menuju Pulau Coron (Dokumentasi Pribadi)

Waktu yang mengalir tidak terasa ketika akhirnya perahu merapat ke dermaga sederhana di Pulau Coron. Kesederhanaan yang begitu serasi dengan keindahan alam yang terpahat di pulau ini, rasanya teknologi yang wah kurang pantas bersanding karena akan merusak kesahajaan yang terpancar. Rombongan pun segera mengarah ke lokasi pertemuan dimana telah menanti para tetua masyarakat Tagbanwa, yang komunitasnya bernama Tagbanwa Tribe of Coron Island Association (disingkat TTCIA). Ruangan itu tampak sudah melalui perjalanan panjang dan mencoba bertahan dengan kesederhanaannya dengan beberapa cat yang tampak sudah terkelupas. Ada beberapa bangku panjang yang tersedia, mungkin memang menjadi tempat nongkrong penduduk setempat yang bertugas mengelola kegiatan pariwisata. Tidak ada wifi di sini, pun sinyal internet dari provider lokal tidak mudah tertangkap, seolah kita dipaksa merendahkan hati menghayati kesederhanaan yang hidup di tempat ini. Listrik pun sepertinya tidak ada, hanya disediakan oleh sebuah generator yang tujuan penggunaannya tidak saya tanyakan pada saat itu.

Dermaga pada Pulau Coron (Dokumentasi Pribadi)

Pertemuan tadi berlangsung guyub, para tetua dan rombongan saling berkenalan menggunakan bahasa Inggris seadanya. Toh, tidak ada yg perlu merasa membuat malu dengan bahasa yg memang bukan bahasa sehari-hari. Yang krusial, ada bisnis saling berkomunikasi dan tahu. Adalah sang mantan ketua desa bernama Rudolfo ?Kudol? Aguilar yang menjadi narasumber pada pertemuan ini yang akhirnya berlangsung selayaknya sebuah konferensi pers. Bapak ketua desa mendapatkan pertanyaan kemudian bercerita sebagai jawabannya. Secara garis besar , pembelajaran yang didapatkan oleh rombongan merupakan :

1. Perjuangan masyarakat Tagbanwa dalam mendapatkan kedaulatan wilayah adat mereka, lalu komitmen masyarakat untuk menjaga serta melestarikan adat beserta gaya hidup yang harmonis dengan alam. Perjuangan itu dimulai pada tahun 1985, ketika mereka membentuk Tagbanua Foundation of Coron Island (TFCI) dengan tujuan mengubah status lahan hutan seluas 7.748 ha sebagai wilayah adat mereka , sesuai dengan kebijakan Kementerian Kehutanan saat itu yang memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengklaim hak ulayat mereka. Selanjutnya perjuangan tersebut adalah mengembalikan kesadaran budaya dan identitas sebagai suku Tagbanua kepada seluruh anggota suku, terutama generasi muda, yang pada saat itu sudah mulai lupa kebiasaan adat istiadatnya. Para tetua merasa akan percuma nantinya, bila wilayah adat ini berhasil diklaim kembali, tetapi generasi mudanya tidak memahami pentingnya mengelola wilayah adat tersebut. Maka mereka pun membagi tugas dan peran, dimana sebagian mengorganisir masyarakat Tagbanua di sekitar pulau untuk menghidupkan lagi adat istiadat dan budaya suku. Sebagian lagi, melanjutkan perjuangan administratif ke pemerintah Filipina atas wilayah adat yang juga mencakup perairan di sekitar pulau. Dengan demikian, masyarakat Tagbanua juga berhak mengelola wilayah perairan sekitar pulau sesuai dengan kebijaksanaan nenek moyang yang harmonis dengan alam. Tahun 1998, setelah perjuangan panjang yang diinisasi oleh Rudolfo Aguilar, Certificate of Ancestral Domain Claim (CADC) akhirnya diberikan atas wilayah adat masyarakat Tagbanua yang akhirnya mencapai puas 24.520 ha, tidak hanya daratan namun juga perairan. CADC adalah semacam dokumen resmi berkekuatan hukum yang diterbitkan oleh pemerintah Filipina yang menjamin hak atas sebuah wilayah adat kepada masyarakat setempat. Ref : http://pcsd.gov.ph/protected_areas/coron.htm

2. Pengelolaan pariwisata, dimana para pengunjung harus menaati peraturan yang dibuat oleh masyarakat setempat. Peraturan tersebut dirumuskan oleh semacam dewan adat yang diisi oleh para tetua suku dengan pertimbangan kebiasaan adat istiadat yang mereka hidupi. Jadi secara tidak langsung, tamu diajak untuk menghargai tempat hidup masyarakat setempat.

Wilayah tata cara TTCIA meliputi holistik pulau Coron ini & beberapa kepulauan kecil yg berada pada sekitarnya, yang kebanyakan adalah daratan kecil yg nir dapat ditinggali oleh insan. Cerita usaha rakyat Tagbanwa buat mendapatkan balik hak norma mereka, tertuang dalam sebuah spanduk yang sengaja dicetak pada tiga bahasa (bahasa Inggris, Tagalog, Tagbanwa) agar bisa diketahui sang para pengunjung. Cerita tadi nir hanya dibagikan pada para pengunjung, tetapi terutama diteruskan kepada generasi muda mereka agar tahu bahwa usaha ini tidak akan pernah berakhir karena merekalah yang akan mempertahankan kelestarian wilayah adat ini.

Bapak Rudolfo Aguilar (Dokumentasi Pribadi)

Sejarah usaha TTCIA (Dokumentasi Pribadi)

Walaupun dikatakan sebagai masyarakat adat, tidak berarti mereka terbelakang karena juga mengenal teknologi yang berkembang di dunia saat ini namun memilih untuk tidak bergantung kepadanya. Sekilas hampir tidak ada yang ber-hape (handphone-red) ria saat kami berkeliling. Yang menggunakan hape juga kebanyakan adalah para pengoperasi perahu yang kebanyakan berasal dari luar pulau.

Pemandangan menuju Danau Kayangan (Dokumentasi Pribadi)

Aktivitas di danau (Dokumentasi Pribadi)

Dalam hal pengelolaan pariwisata, masyarakat Tagbanwa bersikap cukup terbuka terhadap kehadiran turis, tetapi menerapkan anggaran yg relatif ketat dan disiplin. Setiap rombongan akan didampingi sang penduduk setempat waktu berkeliling pulau. Adapun area yg dapat dieksplorasi sangatlah terbatas & mereka yg menetapkannya demikian. O iya, pulau ini pun mempunyai saat berkunjung yg telah ditetapkan, yakni menurut pukul 08.00 hingga menggunakan 17.00 waktu setempat. Di tempat ini juga tidak terdapat penginapan sehingga para pengunjung betul-betul hanya berkunjung. Pada saat itu kami hanya berkunjung ke 3 titik, yaitu : Danau Kayangan, Pantai Attuangan, dan Twin Lagoon. Dari galat seseorang rekan Samdhana Filipina yg memang mendampingi komunitas ini, para tetua adat Tagbanwa sebenarnya ingin membatasi jumlah pengunjung sehari sebagai 100 orang, namun perundingan berdasarkan pemerintah daerah membuat hal itu urung terjadi.

Ada beberapa ketentuan yang harus ditaati oleh para pengunjung pada pulau ini, yakni :

- Wajib membawa rompi pelampung

- Dilarang berenang menggunakan sunblock kimiawi (hanya boleh pakai yang sunblock dengan bahan alami)

- Dilarang berenang tanpa rompi pelampung

- Wajib didampingi oleh pemandu setempat

Di sana mereka pula mencoba hayati tanpa menggunakan plastik, sehingga kita akan mendapati warung (satu-satunya) yang menjual kelapa belia tanpa ada sedotan. Jadi, kita harus minum dengan seolah kelapa itu merupakan gelas, kemudian setelah airnya habis dan kita ingin makan dagingnya, kita tinggal bilang sama si tukang buat membelah kelapanya. Si tukang akan berbagi sendok berdasarkan kulit kelapa buat membantu kita memakan daging kelapa yang lembut.

Dari sana, kami bertolak menuju pantai Attuangan buat melanjutkan sesi refleksi. Pantai ini nisbi nir banyak pengunjung, saat itu hanya terdapat tiga perahu lain & ombaknya jua termasuk kecil. Pun tidak ada hiburan buatan insan misalnya banana boat, speedboat, parasailing, dan mitra-kawannya. Jadi, loka ini benar-benar diperuntukkan bagi mereka, para penikmat alam. Tidak juga terdapat rumah makan yang menyajikan ala restoran barat, hanya terdapat warung sederhana, yang waktu itu kami hanya ?Meminta? Air panas buat menciptakan kopi yang dibawa sang galat seseorang rekan rombongan.

Pantai Attuangan

Aktivitas kelompok di Pantai Attuangan

Setelah sesi refleksi tuntas, kami bertolak ke Twin Lagoon yg terdiri dari batu-batu besar yang membuat perairan pada sana sangat hening. Lokasi ini nisbi ramai dikunjungi, tampak ada kurang lebih 6 perahu lain yg ditambatkan di lebih kurang perahu kami. Penariknya merupakan perairan yang tenang sebagai akibatnya nisbi nyaman buat berenang, pun menurut pemandu wisata menunjukkan atraksi melakukan formasi insan-kelabang, dimana para pengunjung diminta mengambang saling berkait, kemudian pemandu akan menarik rantai insan ini menyeberangi teluk kembar ini. Selebihnya, kita boleh bereksplorasi sendiri pada sekitar area tadi.

Hal lain yang mungkin perlu diketahui adalah di setiap perahu terdapat sebuah bilik yang bagi orang Indonesia dikenal sebagai kamar mandi, namun awak perahu menyebutnya sebagai CR, yakni comfort room. Di dalamnya air tidak selalu tersedia dan apabila habis, awak perahu akan mengambil air laut untuk kegiatan “bersih-bersih” (tentunya persepsi bersih akan menjadi sangat subjektif).

Puas berkegiatan pada Twin Lagoon, kami pun kembali ke Coron-Palawan, tempat dimana kami berdiam selama pada Filipina. Perjalanan pulang, walau jalurnya sama dengan berangkat, menyajikan pemandangan yg tidak kalah latif & selalu menggugah keinginan berfoto yg tidak henti-hentinya juga. Komposisi awan & matahari senja mungkin menjadi santapan juru foto pemandangan, ditambah gerak air laut yang tenang. Tentu saja, kita boleh hanya duduk menikmati terpaan angin yg ?Ditabrak? Sang bahtera dan melihat pemandangan yang mengiringi perjalanan.

Pemandangan saat perjalanan pulang dari Pulau Coron

Perjalanan yang relatif singkat ini, meninggalkan kenangan & pembelajaran bagi aku , bahwa Pulau Coron adalah model pariwisata dimana pengunjung bukanlah raja yg dilayani sesuai gaya mereka. Melainkan, pengunjung merupakan saudara menurut jauh yg datang dan berkenan buat tahu dan mengikuti norma setempat dalam menikmati alam.

Kapan ya sanggup balik lagi?

Penulis di Pulau Coron, Filipina

Catatan :

Perjalanan ini dalam rangka Workshop Capacity Development yang diselenggarakan sang Samdhana Institute dengan tujuan mengembangkan acara kerja organisasi buat bisa membantu penguatan rakyat dampingan mereka. Samdhana Institute merupakan sebuah organisasi non-profit yang mempunyai visi mewujudkan sebuah keadaan dimana keanekaragaman hayati, budaya, & spiritualitas dihargai dan mengatasi pertarungan berbasis lingkungan menggunakan adil & setara buat seluruh pihak. Lebih lebih jelasnya tentang Samdhana Institute bisa mengunjungi http://www.Samdhana.Org/

Selasa, 26 Mei 2020

[RUMAH KAIL] PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP SELARAS ALAM DI RUMAH KAIL

Oleh : Any Sulistyowati

Bumi ini sangat kaya dengan asal daya alam. Dari generasi ke generasi, manusia sudah memanfaatkan alam buat memenuhi banyak sekali kebutuhan hidupnya. Peningkatan jumlah penduduk telah menaikkan kebutuhan akan konsumsi sumberdaya alam. Ketersediaan sumberdaya alampun semakin berkurang. Selain itu, sumberdaya yang ada pun kualitasnya makin lama makin berkurang.

Untuk beberapa jenis sumberdaya, jumlahnya sampai pada batas yang sangat mengkhawatirkan. Seperti yang dapat kita lihat untuk sumberdaya yang dapat diperbarui, misalnya kayu-kayu hutan atau ikan-ikan di laut. Pemberian izin untuk pembukaan kawasan hutan alam untuk perkebunan, pertambangan dan pemukiman telah menyebabkan pengurangan luas hutan secara makin cepat. Kayu-kayu di hutan ditebang habis. Penebangan kayu ini tidak hanya mengurangi stok kayu di alam, tetapi juga merusak seluruh ekosistem yang terkait pohon-pohon kayu tersebut. Dengan hilangnya pohon-pohon tersebut, rusaklah habitat berbagai makhluk hidup yang tinggal di sana. Dengan rusaknya habitat, hilang pula keanekaragamaan hayati yang sangat kaya yang semula memenuhi hutan alam tersebut. Demikian juga penangkapan ikan telah menguras stok ikan di laut sekaligus merusak terumbu karang tempat berkembang biaknya ikan-ikan tersebut.

Kondisi serupa terjadi untuk sumberdaya yang tidak dapat diperbarui. Tambang-tambang telah mengambil begitu banyak mineral dari perut bumi. Kecepatan pengambilannya semakin cepat, sehingga menyebabkan pengurangan ketersediaan sumberdaya  secara besar-besaran serta berbagai kerusakan yang parah pada ekosistem di sekitarnya.

Di sisi lain, konsumsi sumberdaya pula menghasilkan poly sekali limbah, baik berdasarkan sisi jumlah dan ragamnya. Limbah-limbah tadi nir sanggup lagi diurai oleh alam dan menyebabkan berbagai kasus misalnya keracunan dan penurunan kualitas sumberdaya alam. Limbah-limbah ini merupakan butir dari gaya hidup terbaru yg penuh kemasan, mencari kemudahan dengan produk sekali pakai, serta nafsu berbelanja untuk mengejar tren modern.

Pola hidup pada atas sudah mengakibatkan eksploitasi alam yang masif dan kerusakan-kerusakan alam yg kian parah pada skala yang makin mengglobal. Krisis tadi juga membentuk dampak-efek negatif yg mengurangi kualitas hidup insan. Diperlukan ketika yang relatif usang untuk memulihkan syarat alam agar sehat pulang. Perbaikan situasi ini akan membutuhkan kontribusi aktif semua pihak pada aneka macam strata, baik secara individu maupun secara kolektif.

Menanggapi problem di atas, kami pun ingin berkontribusi pada upaya pemulihan syarat alam tadi. Upaya tersebut diantaranya dilakukan menggunakan menerapkan prinsip-prinsip selaras alam sebesar mungkin pada pada perancangan Rumah Kail dan pengelolaan kegiatan-kegiatan yg kami selenggarakan . Kami berharap inisiatif-inisiatif yg kami lakukan bisa memperlambat kerusakan alam sekaligus memperbaiki kualitas alam, minimal di lingkungan di kurang lebih kami.

Dalam perancangan Rumah Kail, kami menetapkan buat nir menggunakan kayu-kayu hutan yg baru. Kami lebih menentukan buat memakai kayu-kayu bekas yang kami dapatkan menurut tukang loak. Kami pula memakai tempat tinggal bekas yang dijual pemiliknya lantaran hampir roboh. Kayu-kayu tempat tinggal itu kami pilih bagian yg masih rupawan, dikerok lagi berdasarkan kotoran-kotoran yg menutupinya sehingga kelihatan rona dan tekstur kayu aslinya.

Rumah KAIL, sebagian akbar material pendukungnya asal berdasarkan bahan bekas (Dokumentasi KAIL)

Hampir semua bagian Rumah Kail menggunakan bahan bekas. Selain kayu bekas, kami juga menggunakan barang bekas seperti genteng, keramik untuk lantai, kloset sampai kaca untuk jendela dan pintu. Tantangan dalam penggunaan barang bekas untuk rumah adalah seringkali kami tidak bisa mendapatkan barang dengan corak, warna dan ukuran yang sama. Menjadi tantangan tersendiri untuk memadupadankannya sehingga tetap berfungsi baik dan cantik. Misalnya dalam kasus atap, karena gentengnya berbeda-beda ukurannya, kami perlu menghabiskan cukup banyak waktu untuk bongkar pasang agar tidak bocor. Demikian juga dengan keramik untuk lantai.

Untuk perabot, kami menggunakan kayu menurut bekas peti kemas yang kami beli dengan harga murah sekali di pusat pembongkaran peti kemas. Peti-peti itu kemudian kami bongkar dan kami mendapatkan papan-papan & balok-balok yg dapat digunakan buat membuat meja, kursi dan lemari. Masalahnya kayu--kayu peti itu masih kasar, sehingga perlu diserut dulu sebelum bisa dijadikan perabot. Untuk itu, beberapa tukang lokal kami undang buat menyerut & menciptakan berbagai perabot di Rumah Kail. Selain perabot, kayu-kayu bandela ini juga diolah sebagai panel dinding & pintu Rumah Kail.

Kami juga menanam poly pohon pada kebun Kail termasuk berbagai pohon kayu & bambu buat cadangan material bila diperlukan perbaikan tempat tinggal atau perabot pada masa yang akan datang. Saat ini ada beberapa tiang teras dan bangku-bangku taman memakai kayu-kayu yang kami panen menurut kebun sendiri.

Pohon-pohon pada kebun Rumah KAIL

Untuk berhemat listrik, Rumah Kail didesain menggunakan poly bukaan. Lewat bukaan tadi, sinar mentari bisa masuk dan menerangi ruangan. Selain buat menerima cahaya, bukaan ini pula memungkinkan udara segar masuk ke ruangan. Dengan rancangan tempat tinggal semacam ini, kami bisa berhemat listrik untuk penjelasan & tidak memerlukan penyejuk udara.

Untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya di Rumah Kail, kami merancang pemenuhan berbagai kebutuhan rumah mengikuti siklus materi dan energi yang ada. Sebagai contoh, kami memasang biodigester di toilet, yang mendaur ulang tinja-tinja dan sampah makanan yang dihasilkan para pengunjung Rumah Kail menjadi pupuk untuk kebun dan gas yang kami gunakan memasak. Hanya saja, karena jumlah pengunjung yang menginap masih sedikit, maka gas yang dihasilkan pun masih sedikit. Jadi kami masih memperlukan bahan bakar cadangan dari gas LPG.

Kami juga memanfaatkan siklus air dan siklus hasil kebun. Semua air limbah di Rumah Kail disalurkan ke kebun. Kami membuat sistem penampungan air hujan untuk menyirami kebun. Kebun-kebun itu akan menghasilkan makanan dan minuman yang kami konsumsi selama kegiatan. Sisa-sisa makanan itu kemudian kami kembalikan ke kebun, lewat bak kompos, rumah cacing, atau diberikan sebagai pakan bebek dan marmut, yang kemudian menghasilkan kotoran untuk dijadikan pupuk untuk kebun.

Pemanfaatan daur di dalam perancangan rumah merupakan salah satu upaya membarui limbah yg menyebabkan perkara menjadi sumberdaya yang menaruh manfaat buat alam dan insan. Dengan memanfaatkan siklus, diharapkan jumlah limbah yg mencemari alam dapat berkurang.

Selain lewat rancangan rumah, kami juga menerapkan prinsip yang sama untuk kegiatan-kegiatan Kail. Kami berusaha sedapat mungkin mengurangi jejak ekologis dari kegiatan kami, dengan cara:  (1) menyajikan sebanyak mungkin makanan lokal, terutama produk dari kebun Kail, (2) menghindari penggunaan makanan kemasan plastik, sebaliknya digunakan daun pisang, yang pada akhir kegiatan akan diletakkan di tempat pengomposan atau diberikan ke hewan peliharaan kami, yaitu untuk marmut dan bebek, (3) mempromosikan penggunaan transportasi umum dan penggunaan mobil bersama (nebeng) untuk semua peserta yang datang ke Rumah Kail; (4) mendaur ulang limbah dari acara Kail sebanyak mungkin seperti kertas dll; (6) menghemat penggunaan sumber daya, misalnya dengan mengurangi penggunaan kertas dengan menggunakan materi kegiatan versi elektronik, survei dan evaluasi online, serta sertifikat elektronik.

Kebun Kail merupakan galat satu asal pangan eksklusif berdasarkan alam

Semua acara di Rumah Kail, (walaupun materinya bukan mengenai isu lingkungan) merupakan media untuk memperlihatkan pilihan-pilihan gaya hidup yang lebih selaras alam bagi para peserta. Kami berharap bahwa lewat Rumah Kail dan kegiatan-kegiatan Kail, kami dapat menunjukkan betapa mudah dan asyiknya hidup selaras alam.  Jadi ketika pulang dari Rumah Kail, semua akan berpikir, “Hidup selaras alam, mengapa tidak?”

[MEDIA] MENGALAMI “BUNGA RAMPAI FILM DOKUMENTER TENTANG PEREMPUAN PEJUANG TANAH AIR”

Oleh : Asra Wijaya

Film berada di antara seni dan kehidupan (Jean Luc Godard)

Sineas Perancis, Godard melihat fenomena teknologi film kini hadir dalam keseharian dalam genggaman di layar ponsel dan tidak lagi sekedar hiburan semata. Film kini digunakan sebagai komunikasi sosial, iklan, kampanye, ritual keagamaan, kuliah atau seminar akademis, hingga lain-lainnya. Kemungkinan inilah yang kemudian menciptakan ilusi yang semakin tipis selaput pembedanya antara fiksi dan kenyataan. Godard pun menelurkan pernyataan yang dikutip oleh penulis di awal tulisan ini.

Dalam Sejarah Sinema Dunia, dikenal beberapa mazhab atau style film. Misalnya Avant garde, cinema verite, neo-realisme italia, cinema novo, nouvelle vague, german expressionism, sampai soviet sinema. Dua hal yang terkait dengan tema tulisan ini adalah neo-realisme italia dan cinema novo brazil.

Neo-realisme Italia

Neo-realisme Italia ialah mazhab film di Italia yang berkembang pasca keruntuhan diktator Mussolini. Kedok munafik dari pemerintahan yang fasis penting untuk dibuka. Seniman film kala itu ingin membuka kenyataan sosial Italia yang riil yaitu kondisi melarat dan getir kaum urban, terutama kaum buruhnya. Beberapa prinsip kerja neo-realisme italia:

1. Film harus menampilkan sepotong kehidupan nyata

2. Ia harus memotret kenyataan yang sebenarnya, terutama kenyataan sosial yang buruk dan pahit

3. Dialog dan bahasa senatural mungkin, kalau perlu gunakan pemain non-aktor

4. Gaya syuting sebaiknya ala dokumenter.

Beberapa tokoh dalam neo-realisme Italia : Luchino Visconti, Roberto Rosselini, Vittorio de Sica.

Cinema novo

Cinema novo berkembang di Brazil tahun 1950-an dan kelak menjadi gelombang baru di Eropa kemudian. Situasi Brazil tahun 60-an diwarnai kemiskinan, kelaparan, dan kekerasan. Sineas Brazil kemudian menyadarkan masyarakat dengan cara lantang menyerukan slogan macam estetika kelaparan, atau estetika kekerasan. Film Terra em Trase (tanah derita) karya Rocha (1967) menunjukkan keterbelakangan dan ketidakberdayaan di bawah rezim militer 1964. Film ini juga disebut Tropikalis, hendak menampilkan bagaimana Dunia Ketiga sesungguhnya makan dan hidup dari remah-remah atau sampah kapitalisme dunia pertama.

Waktu sekolah dasar, penulis pernah mendapat cerita dari ibunya. Di desa sebelah, para ibu-ibu berada di garis depan ketika demo berhadapan dengan tentara. Konflik tanah antara warga dengan pemilik perkebunan di pedalaman Sumatera Barat. Waktu itu Ibu menambahkan: Mereka pikir, para warga itu, dengan memasang badan ibu-ibu para tentara itu tidak berani  apa, jelas saja, mereka jadi bulan-bulanan. Penulis yang kala itu belum punya nalar tidak bisa berargumen. Anggap saja tulisan ini adalah argumen yang tertunda untuk peristiwa masa silam itu.

Ternyata peristiwa macam demikian terulang lagi. Sejarah mengulang-ulang kemalangan. Menciptakan cerita perjuangan dan melahirkan pejuang serta pahlawan. Lewat film bunga rampai ini penulis menyaksikan ibu-ibu memperjuangkan haknya, hak atas tanah airnya.

Mama Aleta dari Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, memimpin perlawanan  terhadap 4 tambang marmer.

Mama Aleta mengungkapkan filosofi warga Mollo dalam berkehidupan. Konsep filosofis itu menganalogikan alam dengan manusia. Hutan adalah rambut dan pori-pori. Tanah adalah daging. Batu adalah tulang sementara Air adalah darah. Jika salah satu tidak dipunyai maka manusia bukan manusia lagi namanya. Itulah awal cerita perlawanannya dengan tambang marmer. Batu yang mulanya dianggap kosong dan bebas ditambang kemudian oleh Mama Aleta dikembalikan ke filosofi alam. Sederhana memang kedengarannya, akan tetapi konsep keseimbangan ekologis yang menganggap alam sebagai subjek yang berkesadaran layaknya manusia ini lantas diperjuangkan oleh Mama Aleta. Agar alam tetap lestari.

Bukan tanpa halangan dan rintangan Mama Aleta menjalani perjuangannya. Sudah melawan tambang, perempuan pula. Sebuah kenyataan ironi dalam melawan pola pikir patriarkis yang demikian mengakar dalam kehidupan kini. Tambang marmer yang beroperasi demi kemajuan, demi pembangunan dilawan keberadaannya oleh perempuan. Perempuan yang menjadi lembah berkumpulnya penindasan dalam budaya patriarkis. Perempuan di Mollo tidak punya suara untuk mengambil keputusan. Namun segala perbuatan dengan niatan Tulus ternyata didukung oleh alam, diuji juga oleh alam.

Eva Bande di Banggai, Sulawesi Tengah memimpin perjuangan petani merebut kembali lahan pertanian yang dirampas perusahaan sawit. Beliau dipenjara karena dituduh memprovokasi petani.

Nissa Wargadipura, Deklarator Serikat Petani Pasundan, Pemimpin Pesantren Agroekologis Ath-Thariq Garut-Jawa Barat memperjuangkan pertanian yang diklaim oleh PTPN.

Opung Putra, pemimpin perempuan yang berjuang menyelamatkan hutan kemenyan yang dirampas perusahaan PT Toba Pulp Lestari di Padumaan Sipituhuta, Sumatera Utara.

Panggilan Tanah Air

Noer Fauzi Rachman, Ph.D.-Sajogyo Institute Bogor mengawali film ini dengan diskusi buku yang baru beliau rilis. Lewat diskusi Noer membeberkan fakta-fakta tentang konflik agraria. Mulai dari pasar yang bergeser menjadi pemaksa kebutuhan yang memproduksi terus menerus kebutuhan semu demi kemajuan. Sampai pengurangan jumlah rumah tangga tani dan pengurangan lahan. Fakta tentang rumah tangga tani yang berkurang sebanyak 5 juta dalam kurun waktu 10 tahun, atau 1 rumah tangga tani per menit beralih profesi. Bukan karena apa melainkan karena  lahan pertanian yang beralih 1/4 hektar per menit dll. Beralih menjadi perumahan, perkebunan PT, pabrik dan tambang.

Screenshot video "Bunga Rampai Film Dokumenter tentang Perempuan Pejuang Tanah Air - Noer Fauzi Rahman membahas "Panggilan Tanah Air"

Istilah 'tanah air' yang dulu diciptakan oleh para pejuang kemerdekaan demi mempersatukan rasa cinta kepada Indonesia kini sudah usang. Oleh karena itu, Noer lewat "Panggilan Tanah Air"-nya ingin mengembalikan rasa cinta terhadap ibu pertiwi. Lewat perjuangan melalui jalur agraria.

Hal menarik lainnya untuk disoroti adalah peran wanita dalam konflik agraria. Tubuh wanita yang dianggap sebagai tempat segala ketidakadilan bersarang. Mulai dari ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan seksual, serta ketidakadilan lainnya yang berasal dari pola pikir patriarkis.

Kapitalisme lanjut yang berakibat kepada rusaknya alam, terbunuhnya manusia-manusia petani demi mempertahankan tanahnya dirasa oleh sang moderator kurang radikal dan mendalam. Pola pikir patriarkis-lah yang mengakibatkan semua itu. Maka dari itu perlawanan perempuan pejuang ini adalah perjuangan yang menyasar akar patriarkis itu sendiri.

Di dalam Panggilan Tanah Air, sang penulis memiliki tujuan agar masalah agraria lebih mudah untuk dilihat. Lantas memulihkan kondisi tanah air yang tengah porak poranda. Sebab hidup di zaman semua serba dipandang sebagai komoditas yang mesti diperdagangkan. Terjadi reorganisasi ruang oleh pasar yang sedemikian rupa besarnya bahkan didukung oleh negara.

Gerakan Sosial Baru

Gerakan Sosial Baru atau disingkat GSB (New Social Movement) terbentuk lewat aksi kolektif yang berdasarkan pengalaman individual. Seorang petani yang kemudian mengalami pendefinisian ulang identitasnya di tengah konflik agraria. Lantas muncullah aspek solidaritas bersama para petani pada keterlibatan dalam konflik dan menjadi aksi kolektif demi menembus batas dengan kesesuaian sistem. Demikianlah kerangka konseptual Gerakan Sosial Baru ala Melucci.

Gerakan ini bisa terangkat menjadi objek tunggal yang memiliki ruangnya sendiri sebagai aksi kolektif di era masyarakat kontemporer karena tidak lagi dipandang sebagai hasil dari pertentangan basis produksi, tetapi sebuah hasil dari produksi sosial dan kultural. (Okie:2017)

Dalam Bunga Rampai Film Dokumenter ini, potret GSB nyata terlihat lewat penuturan pengalaman Mama Aleta dkk. dalam bergerak bersama mempertahankan nilai-nilai sosial yang mereka miliki. Nilai-nilai yang berujung demi membela tanah air tempat mereka hidup dan melestarikan kehidupan itu sendiri.

Ekofeminisme dan Perlawanan Simbolik

Penggunaan beberapa simbol yang berusaha merepresentasikan oposisi biner dari apa yang mereka perjuangkan merupakan bentuk perlawanan simbolik. Nilai-nilai tersebut misalnya penolakan terhadap pabrik atau tambang yang dikontruksi sehingga menjadi tindakan moral atau pihak politik yang baik. Tentu saja dengan melakukan upaya serupa terhadap tindakan pembangunan pabrik atau tambang dikontruksi sebagai tindakan yang tidak adil.

Nah, hal menarik dari aksi simbolik untuk mempertahankan tanah air tidak hanya pada simbol atau konstruksi yang dilakukan, akan tetapi penggunaan simbol perempuan dalam aksinya. Lima perempuan perkasa ini : Eva, Nissa, Opung, Mama Aleta, Gunarti.

Screenshot video "Bunga Rampai Film Dokumenter tentang Perempuan Pejuang Tanah Air" - Barikade Perempuan menolak PT.TPL di Pandumaan Sumut

 Konflik ini kemudian diangkat bukan hanya sebagai penjaga alam (petani) versus perusak alam (tambang dan pabrik), namun juga penindasan oleh nilai maskulin terhadap nilai feminin.

Adalah Vandana Shiva seorang ahli ekofeminisme yang berpendapat bahwa eksploitasi terhadap alam yang seringkali menghasilkan penindasan terhadap manusia lain dan alam berakar pada pertentangan antara dua ideologi, yaitu ideologi maskulin dan ideologi feminin. (Shiva:1993)

Ideologi maskulin berakar dari zaman pencerahan dan teori kemajuan yang direpresentasikan melalui dua konsep yang diperkenalkan di seluruh dunia : Ilmu pengetahuan modern dan pembangunan ekonomi. Kedua konsep ini diperkenalkan di dunia melalui proses penjajahan oleh Barat dan diklaim sebagai kunci kesejahteraan bagi semua negara di bumi.

Bagi Shiva (1997), klaim bahwa proyek pembangunan model Barat yang diilhami oleh proyek ilmu pengetahuan modern akan membawa kesejahteraan bagi semua negara dan dengan demikian bersifat universal tidak lebih merupakan sebuah mitos belaka. Baginya, proyek-proyek pembangunan tersebut pada hakikatnya tidak lebih dari proyek-proyek khusus yang bersumber dari model patriarki Barat modern.

Pada kenyataannya, pembangunan model Barat tersebut malah menimbulkan kerusakan yang parah pada alam-alam di negara-negara bekas jajahan perang (khususnya yang memilki sumber daya alam) menyingkirkan konsep kesejahteraan yang selama ini dipegang oleh masyarakat di pedalaman bumi selatan.

Kenyataannya, pembangunan model itu malah menimbulkan kerusakan parah pada alam di negara-negara bekas jajahan Barat. Pembangunan tersebut juga menyingkirkan konsep kesejahateraan a la negara-negara  poskolonial ini.

Sedangkan Ilmu pengetahuan modern yang dikalim bersifat universal ternyata bersifat reduksionis dan menyingkirkan berbagai pengetahuan lokal masyarakat selatan yang memiliki konsep bahwa semua hal di dunia ini, termasuk manusia dan alam adalah terkoneksi.

Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh perempuan-perempuan ini sudah bisa dilihat hasil positifnya. Upaya untuk bebas dari cengkeraman pabrik dan tambang yang amat patriarkis berhasil menegaskan posisi perempuan itu sendiri.

Representasi nilai ibu-ibu yang polos dan memiliki niatan baik menjaga alam dihadapkan dengan aparat dan tentara yang dominan dengan segala maskulinitasnya. Simbol afeksi dan non-kekerasan yang dimunculkan oleh perempuan-perempuan ini juga menegaskan siapa sebenarnya yang menggunakan kekerasan dan memelihara ketidakadilan.

Screenshot video "Bunga Rampai Film Dokumenter tentang Perempuan Pejuang Tanah Air" - Aksi Semen Kaki Ibu-ibu dari Gerakan Kendeng Lestari Menolak PT Semen

Simbol pengetahuan yang feminin bernapaskan spirit ekofeminisme sudah tercetak jelas dalam masyarakat mereka masing-masing. Nilai kultural yang berupa aksi perlawanan simbolik kemudian bermunculan di daerah-daerah yang mengalami konflik agraria. Terakhir, penyampaian segala investigasi, aksi dalam film Bunga Rampai Film Dokumenter ini tentu akan menjadi realitas yang hadir ke hadapan masyarakat dengan lebih cepat dan lebih luas.

Referensi:

Fauzi R, Okie. (2016). Perempuan dan Pegunungan Kendeng: Ekofeminisme dalam Gerakan Sosial Baru di Indonesia. Jakarta: Konferensi internasional feminisme: Persilangan identitas, agensi dan Politik (20 tahun Jurnal PeremPuan)

Melucci, A (1996). Challenging codes: Collective Action in the Information Age. Cambridge: Cambridge University Press.

Shiva V, Mies M. (1993). Ecofeminism. New York: Zed Books.

Shiva, V. (1997) Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India; Penerjemah: Hira Jhamtani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Senin, 25 Mei 2020

[JALAN-JALAN] NUN DI BALIK JALINAN KABUT DAN LIRANG (CATATAN KECIL JELAJAH GEOTREK MATABUMI GUNUNG PATUHA #2)

Oleh : Ayu Wulandari

Jelajah Geotrek Matabumi Gunung Patuha (Dokumentasi Pribadi)
Pagi itu menjadi pagi ke sekian kalinya matahari banyak bersembunyi di balik awan-awan mendung. Terbuka lembar Oktober tahun 2016 di almanak, tertunjuk angka 22, itulah harinya Keluarga Matabumi kembali mengadakan Jelajah Geotrek – serangkaian singkat perjalanan belajar; perjalanan menyapa berbagai gejala kebumian sepaket dengan keragaman hayati, sejarah, juga budaya – ketiga tempat yang terbilang berdekatan beberapa puluh kilometer arah barat daya meninggalkan Bandung. Bahwa suasana akan sekelabu langit, tampaknya tak menjadi kecemasan. Sebab benih keceriaan telah dengan sendirinya bertaburan di pelataran Museum Geologi seiring ramai terulur senyum sapa berikut hangat tangan-tangan yang kembali berjabat erat.

#  # #

Sebelum keindahannya digaungkan oleh Franz Wilhem Junghuhn pada tahun 1837, Gunung Patuha telah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat sekitarnya sebagai tempat yang disucikan. Tidak banyak orang bersedia menuai keberaniannya dengan sembarang melintas, utamanya di sepanjang kawasan kawah utama berona putih cerlang mempesona dan rawa yang berada di  sebelah utara sebab kuat dugaan beracun akibat tingginya kandungan belerang.

Kawah Putih Gunung Patuha (Dokumentasi Pribadi)

Meski demikian, potensi belerang di daerah tersebut pun tercatat pernah membuat berdirinya 2 Pabrik Belerang di 2 masa pemerintahan, Belanda dan Jepang. Pada kisaran abad ke 15, seseorang pendeta pengelana yg dikenal dengan nama Bujangga Manik bahkan menggenapkan bepergian ziarahnya ke sepanjang Pulau Jawa dan Bali di mandala yg dalam catatan lontarnya diklaim menjadi Bukit Patuha. Lalu lebih menurut seabad sejak kunjungan Junghuhn, tepatnya pada tahun 1991, Perhutani (Perusahaan Hutan Negara Indonesia) Unit III Jawa Barat dan Banten mengembangkan kawasan kaldera yg dikeramatkan itu sebagai Kawasan Wisata Kawah Putih Ciwidey.

Di sanalah kegiatan belajar Keluarga Matabumi bermula dengan interpretasi yang digulirkan bergantian oleh Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar selaku dua interpreter tetap.

Gerak mencapai Kawah Putih pada dasarnya tak membutuhkan tenaga ekstra. Bagi anggota Keluarga Matabumi telah tersedia Ontang-anting – kendaraan roda empat yang didesain khusus agar para pengunjung tak perlu membawa sendiri kendaraannya mendekat ke arah kawah – di pelataran parkir utama kawasan yang letaknya tak jauh dari sisi Jalan Raya Ciwidey – Patengan. Namun, selayaknya masa akhir pekan, baik itu di saat hendak menuju kawah atau ketika berada di kawah, semua harus kenal berbagi dengan lebih dari puluhan pengunjung lain dari macam-macam daerah yang hendak menikmati keindahan Kawah Putih dalam beragam cara.  Walau pada akhirnya, kehadiran Keluarga Matabumi dan gelaran Kelas Kebumian Terbuka yang ada malah lebih mampu menarik perhatian.

Jelajah Geotrek Matabumi Gunung Patuha (Dokumentasi Pribadi)

Ada berkali-kali “ooo..” panjang terdengar dari luar lingkaran peserta Jelajah Geotrek Patuha #2 ketika cerita tentang Gunung Patuha (merupakan Gunung api Strato Tipe B, terakhir kali meletus di kisaran 1600) dan proses terbentuknya Kawah Putih mengudara. Ada sejumlah langkah dan kegiatan swafoto terhenti ketika kisah berjatuhannya burung-burung yang melintasi kawah yang berada di ketinggian 2.194 m.dpl itu disampaikan, lengkap dengan faktor apa saja yang menyebabkan warna-warninya mudah memikat mata, tanpa terkecuali apa yang menjadi alasan sehingga para pengunjungnya diwajibkan menggunakan masker dan tak boleh berlama-lama berada di sana. Ada sejumlah tangan yang ikut menjumput satu-dua lembar daun Cantigi berwarna merah agar merasakan sendiri sesepat apa daun tumbuhan yang selama beberapa saat menjadi perbincangan karena dinyatakan dapat memberikan efek awet muda. Tak sedikit pula pengunjung yang ikut mengambil beberapa bongkah batuan kecil berwarna putih dengan permukaan agak kasar (dikenal dengan nama tuf, memiliki sifat menyerap air) yang mampu memberi efek terisap jika ditempelkan di ujung lidah untuk menyamakan persepsi.

Kawah Rengganis (Dokumentasi Pribadi)

Hal itu secara gamblang memberikan citra nyata betapa kian tak sedikitnya orang-orang perjalanan ingin pergi menggunakan membawa pengetahuan, bukan sekadar rasa senang dan foto-foto yang mengundang kekaguman. Bahkan pada balik tebal jalinan kabut dan lirang yang tak henti saling berkejaran.

Lepas tengah hari, seusai makan siang, Keluarga Matabumi kembali bergerak sekitar 14 kilometer ke arah barat – barat daya Kawah Putih. Tujuan berikutnya berada di kaki Gunung Patuha dan masih kawah bentuknya: Kawah Cibuni – yang kemudian dipopulerkan dengan nama Kawah Rengganis – yang membangkitkan ingatan akan Pemandian Air-panas Alami di Negeri Sakura.

Kawah Rengganis (Dokumentasi Pribadi)

Tak ada warna-warni mencolok pada persinggahan ke 2. Tetapi tampak lebih banyak kegiatan yg dapat dilakukan bersama di tempat wisata yg terbuka selama 24 jam ini disebabkan lebih rendahnya kandungan belerang dan tingkat keasaman air pada sekitarnya. Di beberapa sudut terlihat terdapat pengunjung yg tengah berendam & membiarkan tubuhnya menerima curahan air hangat di pancuran-pancuran yg disediakan.

Di sudut lain terlihat ada pengunjung yang menampung air di pertemuan aliran panas dan dingin untuk dibawa pulang. Sayangnya pada hari itu tak tampak ada yang mencerap khasiat lumpur hitam dengan berendam dalam kolam lumpur atau sebatas memoles wajah dengan materi masker alami tersebut sembari berharap kulit menjadi kencang serta mulus sesudahnya. Keluarga Matabumi menempati satu sudut yang cukup lapang dan tak banyak terpapar asap lirang (welirang, belerang) untuk kembali menyimak pemaparan muasal terbentuknya Kawah Rengganis juga gambaran besar tentang pemanfaatan potensi panas bumi yang dapat digunakan seluas-luasnya bagi masyarakat apabila dikelola dengan tepat. Perhatian tak banyak terpecah sebab pengunjung kawasan wisata yang kini dikelola Agrowisata Rancabali itu tak seramai Kawah Putih adanya.

Sebagai penutup, seluruh rombongan Jelajah Geotrek Patuha #2 berpindah ke Situ Patengan yang berjarak sekitar 15 menit berkendara ke arah barat – baratdaya meninggalkan Rengganis, ikut meriuhkan suasana di Pinisi Resto yang baru mulai beroperasi sejak pertengahan 2016. Satu sama lain terlihat bergantian saling memotretkan karena nyaris tak ada yang hendak melewatkan kesempatan berfoto bersama ataupun sendirian di atas Kapal Layar Kayu berlatar gagahnya Patuha menjulang di timurlaut kendati harus rela turut antrian, membaur dengan tamu-tamu lainnya.

Pinisi Resto (Dokumentasi Pribadi)

Angin dingin di petang berkabut 22 Oktober itu sepertinya gagal menghilangkan kehangatan yang  tercipta ketika setiap anggota Keluarga Matabumi berusaha mengekalkan kesan akan perjalanan belajar yang baru saja usai dilangsungkan dengan cara kesukaan masing-masing. Tatkala sesi bertukar tanya-jawab usai dan hadiah-hadiah menarik dibagikan, selepas doa bersama dilangitkan seiring kabut yang semakin menebal, dari dua peserta termuda – Raihan dan Farhan – dengan ringan segera lahir pertanyaan ditujukan pada Pak Bachtiar, “Terus nanti kita geotrek -nya ke mana lagi, Aki? Jadi naik kapal betulannya? Lihat batu-batu yang lebih besar?”

Kian gamblang telah fenomena terpapar, betapa perjalanan-bepergian belajar yang menyenangkan dan sarat tulus hangat persahabatan bukan tidak mungkin mudah dirindukan. Bahkan selepas meninggalkan tebal jalinan kabut dan lirang yang masih saja terus berkejaran.

#  # #

[TIPS] MEMULAI HIDUP SELARAS ALAM

Oleh : Any Sulistyowati

Kemajuan ilmu pengetahuan & teknologi sudah membuat manusia sanggup mengolah alam dengan semakin baik. Hasilnya adalah peningkatan kualitas hidup yang bisa kita rasakan waktu ini. Masalahnya cara manusia mengolah alam acapkali kurang memperhatikan batas daya dukungnya. Penurunan kualitas alam, krisis sumberdaya dan penumpukan limbah terjadi pada mana-mana, di semua dunia. Situasi ini telah mengakibatkan perkara, baik bagi alam dan akhirnya bagi manusia sendiri.

Banyak orang telah menyadari situasi ini dan lalu melakukan inisiatif-inisiatif untuk pemulihan kualitas alam. Salah satu upaya yg dilakukan adalah menggunakan menerapkan & mempromosikan gaya hidup selaras alam. Tidak sedikit problem-duduk perkara yang dihadapi dalam melaksanakan inisiatif ini.

Salah satu tantangan yang dihadapi untuk hidup selaras alam adalah secara sadar memilih hidup dengan cara yang berbeda dengan cara hidup kebanyakan orang. Salah satunya adalah dalam penggunaan dan pemilihan sumberdaya. Gaya hidup yang dominan berjalan saat ini mendorong kita untuk mengonsumsi lebih banyak barang, mengikuti mode terbaru dan pola hidup instan yang tercermin dalam penggunaan barang-barang sekali pakai. Hal tersebut diperkuat dengan iklan-iklan yang ada di TV, Koran, majalah, papan reklame, dan juga berbagai saluran media sosial. Berhadapan dengan tawaran (seringkali kita rasakan sebagai tuntutan) gaya hidup tersebut, gaya hidup selaras alam seringkali terkesan kurang populer, ga asyik, aneh, pelit, ga up to date dan membosankan.

Menanggapi hal ini, poly inisiatif mempromosikan gaya hidup selaras alam mulai bermunculan. Mulailah timbul kenaikan pangkat -promosi tentang pentingnya gaya hayati baru ini. Berbagai produk dimunculkan menggunakan label ramah lingkungan. Para artis & tokoh masyarakat pun terlibat untuk memberitahuakn betapa pentingnya produk-produk tadi di dalam mendukung gaya hayati yang baru dipromosikan ini. Masalahnya, produk-produk ini ada pada tengah gaya hidup di mana semakin banyak mengonsumsi berarti semakin keren. Para pembeli merupakan raja. Akibatnya, meskipun produknya sendiri mungkin ramah lingkungan & selaras alam, tetapi tanpa membarui pola hidup yang boros penggunaan sumberdaya yg inheren pada masyarakat kita, krisis alam pun masih akan terus berlanjut.

Persoalan lain dengan produk-produk tadi adalah, dengan label ramah lingkungannya, umumnya harganya lebih mahal berdasarkan produk lain homogen yang nir berlabel ramah lingkungan. Harga ini tentu saja berpengaruh pada daya beli. Akhirnya yg dapat mengkonsumsi produk-produk tersebut adalah mereka-mereka yang memiliki uang lebih. Padahal mereka yg mempunyai uang lebih hanyalah sebagian mini dari warga . Masyarakat kebanyakan permanen harus memakai produk-produk yg Mengganggu alam. Akhirnya, kerusakan alampun masih terus berlanjut.

Apakah benar bahwa gaya hidup ramah lingkungan itu sulit, ga asyik dan mahal pula? Jawabannya tidak selalu. Semua tergantung pilihan. Beberapa organisasi di Bandung, termasuk organisasi saya, Kail, mencoba menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan di dalam kegiatan maupun kehidupan sehari-hari kami. Kami berusaha membuat hidup selaras alam semudah mungkin, semurah mungkin dan seasyik mungkin. Kami berusaha mencapai kualitas hidup setinggi-tingginya, dengan dampak yang seminimal mungkin terhadap alam; dan juga dengan biaya yang sesuai dengan kantong kami, aktivis dengan penghasilan pas-pasan. Bagaimana caranya?

Menanam & memasak kuliner sendiri

Berkebun menjadi cara pemenuhan pangan berdikari

Di zaman terbaru ini, makanan umumnya asal menurut output produksi pertanian. Kebanyakan dari produk pertanian itu diolah dengan cara pertanian terbaru yang memakai pestisida dan pupuk kimia. Pola pertanian ini nir sehat baik bagi alam & juga bagi insan. Penggunaan pupuk kimia akan menyebabkan tanah makin tergantung dalam pupuk & mengalami penurunan kesuburan dalam jangka panjang. Penggunaan pestisida yang ditujukan buat meracuni hama pada akhirnya akan meracuni hasil panen yg kita konsumsi. Salah satu cara mencapai hidup sehat adalah dengan mengonsumsi produk pertanian organis. Sayangnya, harga produk organis umumnya lebih mahal dari produk biasa.

Untuk mengantisipasi hal itu, kita mampu menanam makanan kita sendiri. Dengan menanam sendiri, kita mampu mengontrol bahan-bahan apa saja yang kita gunakan pada dalam produksi pangan kita. Menanam bahan kuliner nir terlalu sulit, asalkan kita menentukan menanam produk-produk lokal yg gampang tumbuh dan sinkron menggunakan iklim pada loka kita menanam. Jika kita sanggup menanam makanan sendiri, maka kita bisa menyediakan makanan sehat, lokal, organis dari kebun sendiri. Semua itu sama sekali nir mahal, segar & sekaligus sehat.

Di Kail, kami memiliki sejumlah kebun yang berisi beraneka tanaman buah & sayur. Kebun tadi dikelola dengan cara yang nir terlalu intensif. Para staf mengurusnya di saat luang. Selain itu hanya terdapat satu petugas kebun yang memelihara kebun setiap hari. Sebagian menurut makanan yang kami konsumsi selama kegiatan diambil berdasarkan kebun tersebut. Makanan yang didapatkan memang makanan-makanan sederhana, sangat lokal tetapi yg niscaya sehat dan segar.

Menanam, memelihara dan memanen makanan sendiri tentu membutuhkan ketika. Namun pergi ke pasar, warung, toko dan restoran pun memerlukan waktu. Tinggal kita menentukan, ketika yang terdapat akan dipakai buat apa? Apakah buat berjalan-jalan pada mall buat menentukan pada restoran mana kita akan makan malam ini, atau berjalan-jalan di kebun buat menentukan sayuran mana yg akan kita petik buat makan malam kita? Untuk yang pertama, kita akan memerlukan sejumlah uang, yang kita dapatkan menurut bekerja. Untuk yang kedua, kita dapatkan dari bekerja jua, tetapi di kebun sendiri. Semua itu adalah pilihan.

Memilih barang yang awet dan menggunakan barang selama mungkin

Di Kail, para staf menggunakan sedotan stainless sebagai pengganti sedotan plastik. Kami membawanya kemana pun sehingga kalau kami beli jus atau minuman lainnya, kami tidak perlu menggunakan sedotan plastik. Sedotan stainless tersebut bisa dicuci dan digunakan kembali. Jadi kami dapat mengurangi sampah. Pengurangan sampah sedotan terkesan sedikit, tetapi apabila banyak orang melakukannya maka akan berarti juga pengurangan itu. Harga sedotan ini tidak terlalu mahal. Jika pesan online, harganya sekitar Rp. 6000,- sampai Rp. 10.000,- per batang, tergantung membelinya berapa banyak.

Penggunaan sedotan berdasarkan bahan stainless steel buat mengurangi sampah plastik

Di Kail kami juga mempromosikan penggunaan barang bekas. Tujuannya merupakan untuk memperpanjang umur barang-barang yang kita pakai. Setiap tahun kami mengumpulkan barang bekas, dan menjualnya buat warga sekitar. Kadang kami juga ikut membeli, jika masih ada yang tersisa. Hasil penjualannya kami pakai buat menjalankan aktivitas-kegiatan buat rakyat sekitar.

Rumah Kail pun banyak memakai bahan bekas, mulai menurut kayu, kaca, genteng, keramik buat lantai hingga kloset. Penggunaan barang-barang bekas ini tidak mengecewakan berhemat biaya pembelian material. Tantangannya merupakan waktu mencari barang material bekas, kadang kita tidak bisa menerima barang menggunakan berukuran, warna dan corak yang sama sejumlah yang kita perlukan. Untuk itu kita perlu pandai -pintar memadu-padankan barang-barang yg beragam agar didapatkan kombinasi yang serasi & enak ditinjau.

Kegiatan-kegiatan Kail banyak menggunakan bahan-bahan bekas. Kami mengumpulkan berbagai barang sisa, seperti kain perca, potongan kertas, kayu, daun dan banyak hal lagi untuk suatu saat dijadikan sesuatu yang berguna. Jika ada bahan dan barang yang tersisa, maka kami menyimpannya untuk kemudian hari. Siapa tahu masih bisa dipakai.  Tantangannya adalah di sistem penyimpanan. Kadang-kadang kami lupa telah menyimpan sesuatu. Lalu akhirnya kami menggunakan bahan lain, atau bahkan barang baru. Selain itu kami juga membutuhkan ruang untuk menyimpan barang-barang bekas tersebut. Nah, kedua hal tersebut masih dalam proses pemikiran untuk dapat dicarikan penyelesaiannya.

Membeli dalam bungkus besar

Pembelian barang pada kemasan besar buat mengurangi sampah

Kemasan merupakan salah satu sumber sampah. Kemasan digunakan untuk mempermudah penyimpanan, proses transportasi, serta memperindah tampilan benda. Ketika benda tersebut digunakan atau dikonsumsi, kemasan tidak digunakan lagi. Kebanyakan kemasan kemudian menjadi sampah dan dibuang. Ada banyak jenis kemasan. Beberapa di antaranya sulit atau tidak dapat digunakan lagi. Kalaupun bisa, perlu usaha yang sangat keras atau biaya yang lebih mahal dibandingkan hasil yang didapatkan.  Contoh-contoh kemasan seperti ini adalah kemasan sachet shampoo dan kantong plastik bumbu dalam mie instan.

Untuk mengurangi bungkus yang kita buang dan menaikkan penggunaan balik kemasan tadi, pilihlah bungkus yg paling akbar yang tersedia pada pasaran. Jerigen bekas minyak goreng 5 liter, lebih mampu kita manfaatkan kembali dibandingkan botol minyak goreng yg satu liter. Selain lebih awet, jerigen 5 liter mampu kita manfaatkan buat berbagai hal ketimbang kemasan yg satu liter yg lebih cepat rusak. Demikian jua waktu kita jual ke tukang loak. Harga jerigen 5 liter pastilah lebih mahal daripada botol plastik satu literan.

Hal lain yg bisa dipakai buat mengurangi bungkus adalah membeli barang tanpa bungkus. Di Kail, kami berhubungan menggunakan warung-warung lokal supaya ketika kami membeli, kami bisa membawa wadah sendiri. Pada awalnya mereka merasa tidak nyaman melayani pembeli tanpa memberikan kemasan, atau setidaknya kantong keresek. Tetapi setelah kami jelaskan, mereka mulai tahu & mengikuti pola belanja tanpa kemasan yang kami inginkan.

Memakai wadah sendiri buat pembelian kuliner mentah dan jadi dapat mengurangi sampah plastik

Memanfaatkan kapital sosial

Kadang-kadang kita nir mempunyai relatif poly uang buat membeli produk dalam bungkus besar . Untuk itu, kita perlu mengembangkan alternatif. Salah satu cara yang dapat dipilih adalah dengan membangun kapital sosial. Di pada kasus bungkus, kita dapat permanen membeli kemasan besar , kemudian kita berbagi atau patungan menggunakan sahabat-teman yg lain. Masing-masing berdasarkan kita lalu membawa wadah sendiri. Dengan demikian kita akan mengurangi sampah sekaligus membentuk persahabatan menggunakan sahabat-teman.

Kasus mengembangkan ini jua bisa diterapkan dalam banyak hal lainnya, seperti menumpang di mobil atau motor kawan dan sebaliknya. Kita bisa mengembangkan porto bahan bakar. Selain mengurangi biaya yang wajib kita tanggung, hal ini juga mengurangi polusi udara & emisi gas tempat tinggal kaca. Untuk itu, pada pada aktivitas-aktivitas Kail kami mendorong para staf & peserta pelatihan buat tiba bersama buat menghemat biaya transportasi dan emisi karbon.

Kita jua bisa saling membuatkan hasil kebun, hasil kuliner, mengembangkan atau bertukar barang yang nir kita perlukan lagi & seribu satu macam membuatkan lainnya. Dengan berbagi, kita mampu mengurangi barang-barang yang nir kita perlukan lagi, menaikkan nilai manfaat barang tadi karena digunakan balik sang orang yg mendapat sekaligus menaikkan interaksi baik dengan kawan-kawan kita.

Menikmati gaya hidup kita

Hal penting lain pada mempromosikan gaya hayati selaras alam merupakan sikap kita terhadap gaya hidup kita sendiri. Kita perlu menikmati pilihan gaya hayati ini dan secara konsisten menerapkannya. Untuk kami pada Kail, merupakan sebuah kebanggaan bila kami bisa hayati selaras alam namun menggunakan porto yg semurah mungkin dan proses yang semudah mungkin. Jadi kami terus mencari terobosan-terobosan baru untuk menaikkan kualitas hayati sekaligus mempertinggi kualitas alam menggunakan porto sesuai ketersediaan "kantong". Seluruh proses ini kami rasakan dan bagikan kepada mereka yg berkunjung ke Rumah Kail. Apabila kita sendiri nir menikmati gaya hidup ini, bagaimana kita bisa mengajak orang lain bergabung?

Nikmatilah hidup kita sendiri!

Demikianlah beberapa tantangan dan kiat hayati selaras alam. Di luar hal-hal di atas, tentu masih poly lagi tantangan & kiat-kiat lainnya. Apapun tantangan yang kita hadapi, kunci penyelesaiannya merupakan sebagai berikut. Pertama-tama, kita perlu tahu prinsip-prinsip keberlanjutan alam. Kedua, kita perlu memiliki kreativitas buat menerapkan prinsip-prinsip tersebut di dalam kehidupan sehari-hari. Kita perlu jeli melihat apa yang ada pada sekitar kita. Semakin lokal semakin baik. Yang terbaik (paling lokal) tentu yg kita hasilkan sendiri pada rumah kita sendiri. Untuk itu, yang ketiga, kita perlu belajar, mendidik diri sendiri buat mampu membuat produk-produk yg kita perlukan buat kehidupan kita. Orang-orang tua dulu mempunyai ketrampilan tadi. Sayangnya ketrampilan tersebut semakin lama semakin menghilang. Semakin hari, kita semakin tercerabut menurut ketrampilan-ketrampilan tadi. Hidup kita sebagai semakin tergantung dalam barang-barang pabrik. Apabila krisis datang, kita menjadi nir berdaya.

Akhir kata, menciptakan hayati selaras alam pun berarti menaikkan kemampuan kita memanfaatkan alam sekitar buat pemenuhan kebutuhan & peningkatan kualitas hayati kita. Dan lebih baik lagi, jikalau kita juga mengajak mitra-mitra kita sebagai lebih berdaya buat memilih hayati yang lebih berkualitas.

***

[OPINI] MEMAHAMI INKOMPATIBILITAS ANTARA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT DAN POLA HIDUP MASYARAKAT MODERN

Oleh : Angga Dwiartama

Kasus konkurensi lahan dan subordinat terhadap masyarakat norma Sunda Wiwitan pada Cigugur, Kabupaten Kuningan, beberapa bulan kemudian (BBC Indonesia, 24/08/17) mewarnai serangkaian catatan hitam pemerintah atas ketidakmampuannya melindungi hak-hak masyarakat adat pada Indonesia. Perseteruan antara rakyat istiadat menggunakan pemerintah maupun pihak swasta seringkali bergulir di info seputar kepemilikan lahan dan batas-batas tempat tata cara. Seiring dengan pembukaan lahan-lahan buat permukiman, perkebunan, dan industri, huma masyarakat norma semakin terdesak, yg berujung pada terancamnya integritas warga adat yg digempur oleh budaya terkini. Hal ini mendasari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebuah forum advokasi masyarakat istiadat, buat mendesak pemerintah dalam mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Pengakuan & Perlindungan Hak Masyarakat Adat, sebagaimana dilansir Kantor Berita ANTARA, September 2017 kemudian.

Leuit di Ciptagelar (Dokumen langsung)

Sejatinya, pemerintah telah berupaya untuk melindungi eksistensi masyarakat adat melalui berbagai perangkat perundang-undangan. Secara mendasar, hak tanah ulayat, misalnya, merupakan bagian penting di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pemerintah juga mengukuhkan keberadaan hutan adat di tengah konstelasi kawasan hutan di Indonesia melalui Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan berbagai turunan peraturannya. Pemerintah daerah, melalui perangkat Peraturan Daerahnya, berwenang menetapkan keberadaan dan batas-batas kawasan kampung adat, serta menguatkan kelembagaan masyarakat hukum adat. Perda ini menjadi dasar bagi penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di sisi lain, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di berbagai daerah telah berupaya melindungi kantung-kantung masyarakat adat dan tradisi yang ada di dalamnya melalui penetapan kawasan cagar budaya. Baru-baru saja, KLHK merilis peraturan baru tentang Perlindungan atas Kearifan Lokal (PermenLHK tahun 2017) sebagai ratifikasi terhadap pengakuan masyarakat tradisional di dalam Conventions on Biological Diversity (CBD) yang disepakati bersama di tingkat internasional tiga dasawarsa silam. Pertanyaannya, apabila pemerintah telah berupaya sedemikian rupa untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, mengapa berbagai ancaman terhadap kelompok masyarakat ini terus saja terjadi?

Agaknya, pernyataan Chief Seattle, seorang kepala suku Indian di Amerika Serikat, yang dikutip di atas, menggambarkan salah satu permasalahan mendasar atas inkompatibilitas  tata nilai di dalam banyak masyarakat adat dengan norma-norma di dalam sistem masyarakat modern. Bagaimana bisa, katanya, manusia memperjualbelikan apa yang tidak dimilikinya? Ini, tentu saja, tidak hanya berlaku untuk tanah, air dan udara, tapi juga untuk pengetahuan dan kearifan lokal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di saat masyarakat modern disibukkan oleh permasalahan seputar hak atas kekayaan intelektual (HAKI), paten dan hak cipta, berbagai bentuk pengetahuan lokal ‘dicuri’ untuk dikomersialisasikan oleh pihak lain, hanya karena para ‘pemilik pengetahuan lokal’ ini tidak mempunyai bukti dan pengakuan atas pengetahuannya, atau sebatas karena mereka tidak merasa memiliki pengetahuan tersebut – bukankah pengetahuan yang dibangun secara kolektif menjadi milik bersama?

Tentunya, pemerintah sudah memberitahuakn itikad baik pada melindungi eksistensi warga adat melalui perangkat-perangkat perundang-undangan, penetapan pengakuan & acara-program pendukung. Kita pun, pada banyak kasus, mengiyakan bahwa kehidupan masyarakat tata cara yang harmoni dengan alam sanggup menjawab poly masalah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sebagai romantisme masa lalu, orangtua-orangtua kita tak jarang mengingat masa-masa kecilnya bermain pada tengah sawah dan mandi pada sungai (laiknya lagu ?Libur di Desa? Yg dipopulerkan Tasya). Hanya saja, kita sepertinya nir mampu berbuat lebih berdasarkan itu. Seperti halnya yang dilakukan sang pemerintah, kita melihat warga adat menjadi sesuatu di luar kita -- sesuatu yang patut diisolasi & dipreservasi agar nilai-nilainya nir punah, itu saja. Menurut penulis, kita bisa berbuat lebih berdasarkan itu, & ini dimulai dengan lebih dulu menyadari seberapa pada inkompatibilitas antara masyarakat tata cara dan kehidupan terbaru sudah terbangun, dan ancaman apa yang timbul sebagai dampak darinya.

Gejala atas inkompatibilitas ini ditunjukkan dengan adanya komodifikasi budaya . Sejak tahun 2000-an, pemerintah daerah telah mendorong pelestarian budaya masyarakat adat melalui pencanangan cagar budaya, yang dikombinasikan dengan wisata budaya kampung adat. Rumah-rumah adat dan upacara-upacara tradisional menyita perhatian wisatawan lokal dan mancanegara. Orang-orang berdatangan untuk mendokumentasikan keunikan-keunikan ini. Tidak jarang, para wisatawan juga mendapat perlakuan sebagai tamu istimewa di dalam upacara-upacara adat yang digelar. Ini, oleh para antropolog sosial, disebut sebagai komodifikasi budaya – upaya menjadikan artefak budaya sebagai komoditas ekonomi. Di satu studi yang penulis lakukan di tahun 2005, penulis mendokumentasikan bagaimana di tengah euforia kampung adat, pengetahuan lokal tentang manfaat tumbuhan-tumbuhan secara tradisional justru semakin hilang di kalangan generasi muda di satu kampung adat di Jawa Barat. Salah satu alasannya, masuknya wisatawan ke kampung adat menyebabkan aliran uang dan produk-produk kota ke dalam kampung, warung-warung dibangun, menggeser produk-produk pangan dan obat-obatan lokal. Seiring dengan masuknya produk budaya kota adalah masuknya pengetahuan modern tentang penyakit dan kesehatan. Sebagai contoh, masyarakat dahulu percaya bahwa sakit perut disebabkan oleh udara buruk yang masuk ke dalam tubuh. Atas dasar itu, tumbuh-tumbuhan seperti jambe dan kuciat dibalurkan pada perut untuk mengusir udara buruk tersebut – sejalan dengan kandungan senyawa volatile pada tumbuhan tersebut yang berperan dalam memperlancar peredaran darah di tubuh. Di kalangan anak muda, obat modern dan jamu instan, sesuatu dari luar yang asing bagi mereka, kini menjadi solusi praktis bagi sakit perut.  Tidak ada yang salah dengan itu tentunya, tapi sesuatu yang eksternal ini menyebabkan keterputusan antara masyarakat dan alam. Pengetahuan lokal tersebut praktis memudar dari tata nilai masyarakat.

Satu contoh lain dari inkompatibilitas budaya adalah apa yang diperlihatkan oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi Selatan. Kelompok masyarakat yang tersebar di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini hidup melalui pola pertanian padi tradisional yang khas. Pola pertanian yang mengangkat ratusan varietas padi lokal javanica ini telah diterapkan selama ratusan tahun dan mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi sekitar 10.000 warganya. Pertanian padi, menurut mereka, adalah bagian dari filosofi hidup mereka. Padi sendiri merupakan sesuatu yang sakral – masyarakat tidak boleh menjual atau membuang padi dalam bentuk apapun. Pola pertanian padi tradisional yang dijalankan oleh masyarakat Ciptagelar dicirikan dengan padi javanica yang tumbuh lebih tinggi, memiliki batang lebih kokoh, gabah yang tidak rontok dari malainya, serta dengan periode tumbuh lebih lama. Berdasarkan karakteristik ini, pola tanam dan budaya pertanian masyarakat dibangun. Masyarakat Ciptagelar bercocok tanam padi hanya satu kali dalam setahun sesuai waktu yang diinstruksikan oleh kepala adat, menggunakan etem atau ani-ani untuk memotong tangkai batang padi (yang melalui itu membantu masyarakat ‘merasakan’ setiap individu padi yang mereka panen untuk menemukan varietas baru yang mungkin tercipta), serta menyimpan ikatan gabah (pocong) di dalam lumbung padi mereka yang disebut leuit. Beras yang masih tersimpan di dalam pocong dapat bertahan hingga 10 tahun. Gabah ini lalu ditumbuk secara manual menggunakan lesung dan dimasak secara tradisional.

Chief Seattle

Di tahun 1970-an, pemerintah, atas dorongan Revolusi Hijau, memperkenalkan padi varietas unggul kepada masyarakat Ciptagelar. Varietas ini tidak kompatibel dengan pola budaya tani masyarakat di dalam berbagai aspek. Batang tanaman padi yang pendek tidak bisa lagi dipanen dengan etem karena memaksa pemanen untuk membungkuk – sesuatu yang jadi sangat melelahkan. Gabah varietas unggul sangat mudah rontok, sehingga tidak bisa lagi disimpan dalam leuit. Varietas unggul juga tumbuh dengan cepat dan membutuhkan asupan pupuk siap serap yang tinggi – jelas bertentangan dengan cara masyarakat Kasepuhan menjalankan pertaniannya. Upaya introduksi padi varietas unggul praktis gagal, karena menerapkan satu teknologi seperti varietas unggul berarti merubah secara menyeluruh cara masyarakat bertani, dan pada akhirnya pola budaya yang ada di masyarakat. Sementara sebagian besar masyarakat Ciptagelar hingga saat ini masih mentaati tata nilai yang dipegang secara turun temurun, sebagian kecil masyarakat di tepian kawasan mulai menerapkan pola pertanian modern karena desakan ekonomi (padi modern bisa ditanam dalam pola 2-3 kali setahun, sehingga dapat dijual lebih banyak keluar), dan berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, kini menjadi lebih rentan terhadap hama padi.

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memberikan model yg baik tentang bagaimana kita mampu menciptakan interaksi yg terbuka antara masyarakat adat dan masyarakat perkotaan tanpa mengancam keberadaan & nilai-nilai luhur warga . Kepala Adat Kasepuhan Ciptagelar, Abah Anom, yang digantikan sang anaknya Abah Ugi, tidak tertutup sang kemajuan teknologi. Dengan bantuan beberapa artis dan pemerhati budaya dari luar, mereka mengadopsi teknologi menggunakan mendirikan radio komunitas pada pada kampung, membuka akses terhadap internet (semua aula kampung mempunyai akses wifi) & bahkan mempunyai televisi lokalnya sendiri. Semua dilakukan jua buat menciptakan keseimbangan antara budaya lokal & budaya terkini. Anak-anak Sekolah Dasar belajar mengenai budayanya melalui internet, televisi & radio. Tapi pada sisi lain, masyarakat Kasepuhan jua memelihara pola-pola budaya (seperti pola taninya) berdasarkan nilai-nilai baru yang berpotensi mentransformasi akar budaya masyarakat.

Di akhir tulisan ini, penulis beropini bahwa masyarakat adat di Indonesia dan kearifan lokalnya memang secara nyata terancam. Akan tetapi, solusi yang bisa kita berikan bukanlah dengan mengisolasi budaya mereka di dalam kantung-kantung yang tersisa. Dengan menyadari apa yang kompatibel dan tidak di antara nilai budaya masyarakat adat dan nilai budaya modern (konsep kepemilikan, produktivitas, modernitas, dsb.), kita bisa membangun platform hubungan yang lebih selaras antara masyarakat adat dan masyarakat perkotaan. Di satu sisi, kita perlu belajar untuk lebih terbuka dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai luhur kearifan lokal. Di sisi lain, kita bisa membantu masyarakat adat untuk memperoleh hak-haknya dan mengawal dari ancaman nilai-nilai modern yang tidak terkendali.

Pustaka:

BBC Indonesia (24 Agustus, 2017). Masyarakat Sunda Wiwitan tolak eksekusi lahan adat. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41033495

ANTARA News (27 September, 2017). AMAN: RUU Masyarakat Adat Harapan Penyelesaian Konflik. https://www.antaranews.com/berita/654954/aman-ruu-masyarakat-adat-harapan-penyelesaian-konflik

Referensi foto:

Gambar 1. Kutipan surat Chief Seattle, kepala suku Suquamish, Amerika kepada Presiden AS, 1852 (Sumber: http://www.azquotes.com/quote/808968 )

Gambar 2. Aksi AMAN menuntut pengesahan RUU Masyarakat Adat (Sumber: https://www.antaranews.com/berita/654954/aman-ruu-masyarakat-adat-harapan-penyelesaian-konflik )

Gambar 3. Leuit (lumbung padi) sebagai komponen penting kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi (Sumber: http://www.republika.co.id/berita/inpicture/nasional-inpicture/15/05/24/notw11-kilas-perjalanan-budaya-kasepuhan-ciptagelar )

Minggu, 24 Mei 2020

[MASALAH KITA] KRISIS EKOLOGIS : SEBUAH TANTANGAN PERADABAN

Oleh : Navita K. Astuti & Any Sulistyowati

Perkembangan peradaban

Manusia adalah bagian dari alam. Manusia mencari dan mengolah bahan pangan, sandang dan papan dari alam untuk bertahan hidup. Melalui interaksinya dengan alam, manusia telah mengembangkan keterampilan, pengetahuan dan wawasan yang sangat berguna untuk peningkatan kualitas hidupnya. Krisis dan kreativitas telah mengembangkan kemampuan manusia dalam penyediaan, pengolahan dan pengawetan  makanan. Kemampuan ini mengubah cara pemenuhan kebutuhan manusia, dari berburu dan meramu menjadi bertani dan beternak; dari berpindah-pindah menjadi menetap. Mereka mulai membuka hutan dan mengubahnya menjadi tempat hunian dan kawasan produksi.

Hubungan manusia dengan alam yang tercermin dalam ritual. Hilangnya alam menyebabkan hilangnya ritual dan hubungan manusia dengan alam dan Sang Pencipta (dok. pribadi, Festival Kelimutu, 0817, TN Kelimutu)

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memungkinkan pembukaan hutan dan pengambilan sumberdaya makin meluas sampai melampaui batas-batas negara dan benua. Penemuan suatu wilayah baru dengan sumber daya alam yang kaya ditindaklanjuti dengan eksploitasi di wilayah itu. Proses eksploitasi alam terjadi dengan lebih cepat dan masif. Ditambah dengan motivasi untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari perdagangan sumber daya alam, menyebabkan pembukaan lahan makin luas terjadi di wilayah-wilayah yang kaya sumberdaya alam tersebut. Benua Afrika dengan kekayaan bahan tambangnya menjadi sasaran eksploitasi perusahaan tambang sekaligus menjadi sumber tenaga kerja murah. Eksploitasi alam di Benua Amerika dan Australia membuat Suku Indian dan Aborigin tersingkir dari tanah leluhur mereka. Di Asia, Indonesia pun menjadi salah satu wilayah yang diperebutkan. Hal ini ditandai dengan sejarah Indonesia mengalami masa-masa penjajahan berbagai bangsa mulai dari Belanda, Inggris dan akhirnya Jepang.

Proses eksploitasi tersebut terus berlanjut sampai saat ini dan dilegalkan melalui kesepakatan perdagangan  internasional yang memungkinkan perusahaan transnasional mengekspoitasi alam lintas batas negara. Hal tersebut bahkan didukung oleh kebijakan-kebijakan nasional yang mempermudah investasi untuk mengekspoitasi alam dengan dalih mengejar pertumbuhan ekonomi.

Manfaat dan Dampak

Tidak dipungkiri bahwa perkembangan di atas telah memberikan sumbangan besar bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Intensifikasi pertanian memungkinkan peningkatan produksi pangan secara cepat dan masif. Perdagangan antar negara memungkinkan kita menikmati makanan yang berasal dari tempat-tempat yang jauh yang sebelumnya tidak dapat kita santap kecuali di tempat asalnya. Perkembangan teknologi memungkinkan kita membuat barang-barang dalam skala besar dengan harga yang lebih murah. Perkembangan teknologi informasi memungkinkan kita terhubung satu sama lain dengan mudah dan cepat.

Sayangnya, di samping berbagai manfaat yang diperoleh, terdapat dampak-dampak yang harus ditanggung oleh seisi bumi. Kerusakan alam terjadi di mana-mana pada skala yang semakin besar dan memprihatinkan. Masalahnya, kerusakan alam pada akhirnya akan berdampak pada hidup manusia juga. Setidaknya, kerusakan-kerusakan itu akan (telah) mengurangi kualitas hidup manusia melalui beberapa cara.

Pertama-tama adalah berkurangnya ketersediaan sumberdaya atau terjadi kelangkaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kelangkaan sumberdaya seringkali menyebabkan hilangnya budaya yang telah berkembang terkait sumberdaya tersebut. Banyak kearifan lokal yang dibangun dari pengembangan budaya selama berabad-abad lenyap bersama hilangnya sumberdaya tersebut. Hal ini terjadi pada tenun dengan pewarna alam di berbagai daerah di Indonesia. Hilangnya hutan telah menyebabkan hilangnya spesies-spesies pewarna alam yang semula tumbuh di hutan itu. Tanpa bahan baku pewarna alam, maka seluruh kebudayaan terkait proses menenun dengan pewarna alam di daerah itu pun ikut hilang. Contoh lain yang mungkin lebih dekat dengan kehidupan kita di kota adalah budaya penggunaan rumah kayu. Kelangkaan kayu menyebabkan penggunaan kayu sebagai bahan baku rumah semakin berkurang. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya kebutuhan akan tukang kayu yang berujung pada berkurangnya jumlah orang yang (mau/bisa) berprofesi sebagai tukang kayu. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka profesi tukang kayu akan semakin menghilang. Akibatnya hilanglah ketrampilan bertukang kayu yang semula diwariskan secara turun-temurun. Di kampung kami, Cigarugak, tukang kayu ahli yang tersisa adalah orang-orang tua, yang sekarang tinggal satu orang.

Pak Nas, tukang kayu yang tersisa di Kampung Cigarugak

Dampak lain dari kecenderungan di atas adalah munculnya ketergantungan masyarakat pemilik budaya tersebut pada sumberdaya dan budaya baru yang tidak mereka hasilkan di tempat asal mereka. Dalam kasus tenun, menghilangnya pewarna alam menyebabkan digunakannya pewarna sintetis buatan pabrik maupun benang-benang pabrik yang sudah diberi pewarna sintetis yang tidak dihasilkan di daerah-daerah tenun. Sementara dalam kasus kayu, sebagai bahan bangunan pengganti, digunakanlah bahan-bahan tambang seperti cor beton untuk tiang, batu bata, pasir dan semen untuk dinding, dan baja ringan untuk rangka atap dan kusen. Seringkali bahan-bahan tambang ini berasal dari daerah yang jauh tempat eksploitasi penambangan, misalnya pada kasus semen dan baja, sebelum kemudian diproses di pabrik sampai akhirnya dapat digunakan sebagai bahan bangunan.

Tenun, pada awalnya menggunakan pewarna alam

Yang lebih memprihatinkan, apabila kecenderungan tersebut berlanjut, maka akan potensial menjadi sumber konflik antar kelompok kepentingan yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sebagai contoh, lenyapnya hutan menyebabkan masyarakat yang semula mengambil makanan, kayu bakar dan bahan bangunan dari hutan kehilangan akses terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kebutuhan-kebutuhan tersebut kemudian dipenuhi dengan cara lain, misalnya dengan bekerja di kota. Di kota terjadilah persaingan antara masyarakat lokal yang kehilangan akses terhadap hutan dengan para pendatang yang sudah lebih lama menetap di kota. Terjadilah konflik perebutan ruang hidup di antara semakin banyak kelompok kepentingan. Pada akhirnya, konflik ini seringkali dianggap sebagai konflik horizontal, antar etnis, suku, agama dan sebagainya. Padahal esensi konflik yang sebetulnya adalah perebutan ruang hidup akibat sistem sosial ekonomi yang meminggirkan masyarakat lokal dan alam. Jika konflik tersebut tidak dikelola dengan baik, maka dapat berujung pada perselisihan dan bahkan perang antar kelompok masyarakat.

Dampak lain dari kerusakan alam adalah hilangnya manfaat langsung yang diperoleh manusia secara gratis dari alam. Manfaat ini disebut sebagai jasa lingkungan. Salah satu bentuk jasa lingkungan adalah ketersediaan air. Daerah bantaran sungai dengan kondisi alam yang masih bagus memungkinkan resapan air di wilayah itu terjadi dengan baik. Dalam kondisi ini, masyarakat bisa mendapatkan air sepanjang tahun, termasuk di musim kemarau. Jika alam di hulu rusak, maka kerusakan itu akan mempengaruhi stok air di hilir. Selain ketersediaan air, masih banyak lagi jasa lingkungan yang secara cuma-cuma telah disediakan alam untuk menopang kehidupan kita. Beberapa di antaranya adalah udara bersih, kestabilan cuaca dan iklim dan kesuburan tanah.

Selain itu, kerusakan alam juga terjadi karena pertambahan produksi limbah yang melampaui batas daya urai alam. Saat ini pertambahan jumlah produksi limbah berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi sumberdaya. Limbah-limbah yang tidak dapat terurai tersebut kemudian menumpuk dan mencemari alam, menimbulkan penurunan kualitas alam, bau tak sedap dan menjadi sumber penyakit yang menurunkan tingkat kesehatan masyarakat.

Teknologi proses telah memungkinkan pencampuran berbagai bahan untuk menghasilkan efek rasa, warna dan tekstur yang diinginkan. Sayangnya, tidak semua bahan yang digunakan tersebut aman untuk digunakan dan apalagi untuk dikonsumsi. Banyak bahan yang digunakan, baik pada saat proses produksi, penggunaan maupun ketika diolah saat menjadi limbah, merupakan racun-racun yang berbahaya bagi tubuh kita. Selanjutnya racun-racun ini akan menumpuk di alam, dan membahayakan semua makhluk hidup yang mengonsumsinya.

Dengan masifnya pola konsumsi dan produksi terjadilah kerusakan dalam skala global yang menghasilkan dampak dalam skala global pula. Penggunaan bahan bakar fosil dan pembukaan lahan hutan yang sangat masif telah menyebabkan emisi karbon dan gas-gas rumah kaca lainnya. Berubahnya komposisi gas di atmosfir menyebabkan perubahan kemampuan bumi untuk mengatur suhu. Rentang antara suhu terendah dan  tertinggi bumi makin besar. Perubahan ini menimbulkan perubahan pola angin, hujan dan musim di bumi. Sebaliknya perubahan pola angin, hujan dan musim juga menyebabkan perubahan rentang antara suhu terendah dan tertinggi tersebut. Akibatnya, bencana mulai lebih sering terjadi, antara lain dalam bentuk badai, hujan es, banjir dan kekeringan. Beberapa akibat turunannya adalah gagal panen serta munculnya berbagai hama dan penyakit terkait dengan cuaca.

Tantangan upaya pemulihan krisis

Saat ini, berbagai solusi telah diupayakan untuk menyelesaikan krisis tersebut. Berbagai teknologi yang selaras alam mulai banyak dikembangkan. Hanya saja teknologi tersebut terletak di dalam sistem ekonomi dan politik yang seringkali tidak membawa kita ke arah pilihan-pilihan hidup yang lebih selaras alam. Berbagai sistem insentif dan disinsentive melalui berbagai kebijakan ekonomi , keuangan dan industri yang berjalan saat ini, membuat barang-barang yang tidak ramah lingkungan menjadi lebih murah daripada barang-barang yang diproduksi dengan selaras alam. Hal yang sama berlaku juga untuk sektor energi dan transportasi. Kebijakan industri dan perbankan saat ini mendorong kita untuk lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi yang boros penggunaan sumberdaya daripada kendaraan publik yang lebih efisien dan hemat energi. Di sektor energi, lebih murah membeli energi dari bahan bakar fosil daripada memasang panel surya di atap rumah kita. Di sektor pangan, seringkali kita menemukan bahwa pangan impor dengan jejak ekologis yang besar harganya lebih murah daripada pangan lokal yang jejak ekologisnya lebih kecil. Lebih dari itu, secara umum, budaya yang berkembang di masyarakat global saat ini adalah gaya hidup boros yang mendorong lebih banyak konsumsi sumberdaya alam. Hal ini mencerminkan seolah eksistensi manusia dibangun oleh daya belinya. Semakin banyak membeli berarti semakin eksis.

Hutan penopang hidup kita akan habis bila tidak dijaga (dokumentasi pribadi - Taman Nasional Kelimutu)

Hal-hal di atas tidak terlepas dari konflik berbagai kepentingan yang selama ini diuntungkan dari sistem yang selama ini berjalan. Perubahan ke pola hidup baru yang lebih selaras alam akan membutuhkan kreativitas dan kecerdasan dalam menghasilkan inovasi-inovasi sistem baru yang lebih menjamin keselamatan bumi dan seluruh ciptaan yang hidup di dalamnya. Implikasi dari inovasi tersebut adalah kita seringkali perlu menjalani hidup dengan cara yang sangat berbeda dari cara hidup kita sebelumnya. Semua itu akan membutuhkan kesadaran, kemauan dan kerja keras.  Sayangnya, tidak semua dari kita memilikinya.

Saat ini, krisis ekologis telah sampai pada kondisi yang sangat mengkuatirkan. Akankah kita melanjutkan pola hidup pribadi dan kolektif yang berujung pada kerusakan sumber-sumber kehidupan tersebut? Ataukah kita mulai memikirkan dan menerapkan pola-pola kehidupan baru, yang secara cerdas mampu meningkatkan kehidupan manusia tetapi sekaligus pula meningkatkan kualitas alam, yang menjadi sumber utama kehidupan kita? Bersediakah kita menerima tantangan untuk bergabung dalam barisan pembawa perubahan ke arah peradaban baru yang memulihkan kondisi bumi? Jawabannya akan berpulang pada kita, sebagai individu, sebagai warga masyarakat, warga negara dan penduduk bumi.

***

[PIKIR] BELAJAR TENTANG PELUCUTAN MAKNA DARI KISAH WADUK SEPAT SURABAYA

Oleh : Fictor Ferdinand

Memasuki Kampung Sepat sebenarnya tak jauh beda dengan memasuki kampung lain di sekitaran Surabaya. Di akhir pekan saat saya berkunjung, orkes dangdut lokal sedang menggelar latihan ditonton puluhan tetangga. Request lagu dangdut, nyanyi dan tertawa bersama. Namun di balik kegembiraan itu, ada kesiapsiagaan warga. Siap siaga bila suatu saat perusahaan pengembang perumahan datang mengurug Waduk Sepat, icon yang menjadi asal nama Kampung Sepat.

Beberapa bulan sebelum kedatangan saya, tahun 2015 lalu, krisis pada Waduk Sepat mencapai puncaknya. Petugas keamanan mendampingi pekerja dari perusahaan pengembang mendirikan pagar beton yg membatasi Kampung Sepat menggunakan waduknya. Warga yg bertahan & menolak pendirian tembok, ditangkap. Tak terkecuali bunda-ibu.

Tak terbilang berapa banyak demonstrasi digelar warga sebelum peristiwa pendirian tembok itu. Bahkan masyarakat mengajukan tuntutan pada Pemerintah Kota Surabaya. Intinya, mereka menolak pengalihfungsian Waduk Sepat menjadi apartemen. Mereka merasa pengalihfungsian itu tindakan sewenang-wenang pemerintah, & pemerintah telah melakukan kebohongan menggunakan menuliskan di atas kertas status huma sebagai tanah tegalan (tanah yg kering)

Gambar: Pendirian tembok pembatas, dan rakyat yang menolak (asal: surabaya.Tribunnews.Com)

Status lahan di Waduk Sepat itu pada atas kertas memang milik pemkot Surabaya, yg ditukar-guling menggunakan tanah milik sebuah perusahaan pengembang di Kota Surabaya. Bagi rakyat, proses tukar guling & pemindahan kepemilikan itu tidak punya makna nyata. Sejak turun temurun, Waduk Sepat sudah menopang kehidupan warga di Kampung Sepat. Tetapi, satu demi satu fungsi penopang itu hilang. Disengaja atau tidak, proses penghilangan itu tidak disadari rakyat hingga ketika mereka tahu bahwa Waduk itu akan diurug dan dijadikan apartemen.

Bagaimana proses penghilangan makna itu yg bagi saya menarik buat dikupas. Karena prosesnya nir disadari dan masuk akal, sewajarnya proses pembangunan & pengembangan wilayah di loka lain, bila ditinjau berdasarkan kacamata pembangunan-misalnya-umumnya (konvensional).

------***-----

Wilayah Surabaya Utara, dahulu kala, adalah kawasan rawa tempat air parkir sebelum masuk ke sungai. Beberapa kemudian beralih fungsi menjadi lahan persawahan dengan waduk alami dan buatan untuk menampung air dan mengairi persawahan itu. Salah satu kawasan itu adalah  Waduk Sepat di daerah Wiyung, Surabaya Utara.

Gambar: Lokasi Waduk Sakti Sepat (asal: maps.Google.Com)

Tak ada yang memahami, kapan Waduk Sepat timbul. Yang kentara, semenjak Pak Bani (saat ini 66 tahun) masih kecil, kakeknya bilang, saat oleh kakek lahir waduk itu telah terdapat. Mungkin buatan, mungkin jua bukan. Yang jelas Waduk Sepat sudah memberi banyak pada rakyat Kampung Sepat.

Waduk itu pernah sebagai sumber air buat sawah-sawah warga Kampung Sepat. Juga menjadi asal air minum, mandi dan mencuci rakyat. Kerbau-kerbau pula dimandikan di waduk tersebut sesudah lelah membajak sawah.

Pada tahun 80-an, saat status Kampung Sepat berubah dari Desa Sepat menjadi Kelurahan Sepat Lidah Kulon, banyak hal yg lalu terjadi. Tak usang sehabis peralihan status tersebut, tanah-tanah desa yang sejatinya merupakan milik beserta masyarakat Sepat (tanah bengkok) dialihkan kepemilikannya dari tanah desa menjadi Tanah Negara di bawah pemerintahan Kota Surabaya. Sang Mantri Air (petugas yg ditugasi mengawasi pengairan sawah pada kampung oleh komunitas), diambil alih oleh Kelurahan, diangkat sebagai pegawai kelurahan.

Wilayah persawahan di sebelah selatan Kelurahan Sepat juga satu demi satu beralih kepemilikan. Perlahan, waduk dan semua perangkatnya (pintu dan saluran irigasi) tak lagi berfungsi sebagai pengairan. Beberapa pintu air, masih ada sampai sekarang di antara perumahan warga, menandakan fungsinya dahulu. Sampai saat ini, meskipun tak lagi banyak sawah yang diairinya, Waduk Sepat masih berfungsi sebagai penahan air hujan agar tak membanjiri Kampung Sepat, karena posisinya yang memang lebih tinggi dari kampung.

Saat orang menjual sawah-sawahnya, kerbau-kerbau yang pula biasa mandi di Waduk Sepat satu persatu kehilangan pekerjaannya. Si empunya kerbau, pun berganti pekerjaan: menurut petani ke tukang bangunan.

Tak usang terdengar berita mengenai lahan-huma sebelah selatan kampung yang akan dibangun menjadi perumahan-perumahan. Tukang bangunan di Kampung Sepat memandang masa depan cerah. Meskipun mereka mesti bergantung berdasarkan proyek ke proyek.

Dekade 90-an, air bersih menurut Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya mengaliri Kampung Sepat. Warga bahagia, lantaran tak perlu lagi mengantri pada sumur dekat Waduk Sepat buat mengambil air. Dulu, antrian ember pada dekat sumur bisa panjang sekali. Apalagi di musim kering. PDAM membuat Waduk Sepat perlahan mulai kehilangan makna lain kehadirannya.

Dahulu, warga bergiliran memelihara waduk, membersihkankan dan menjaga kedalaman waduk. Setiap orang yang punya sawah, mendapatkan bagian dua meter persegi dari waduk. Anak-anak muda yang tak punya garapan, membersihkan satu meter persegi. Tradisi ini disebut gugur gunung. Waduk itu juga dipakai untuk memelihara ikan bersama. Sebelum panen, warga melarungkan sesaji tanda terimakasih untuk berkah Yang Maha Kuasa, dalam bentuk ikan yang mereka panen. Hasil panen dibagi untuk penduduk yang tak berpunya dan anak-anak yatim. Tahun 2000-an, warga membuka usaha wisata kolam pancing yang hasilnya masuk untuk kas desa, yang lagi-lagi sebagian diberikan untuk warga yang kurang mampu dan anak-anak yatim.

Tradisi ini masih bertahan sampai sebelum warta tiba: Waduk Sepat diambil alih sang perusahaan pengembang buat dijadikan perumahan glamor. Statusnya menjadi tanah negara, membuat pemkot Surabaya merasa punya wewenang buat menukar-guling huma dengan perusahaan. Bahkan deskripsi huma, yg kentara-kentara waduk hingga waktu ini, berubah menjadi tanah tegalan di atas Rencana Tata Ruang dan Wilayah kota Surabaya.

-----

Kisah Waduk Sepat menggambarkan kegagalan proses perencanaan pemerintah. Perencanaan wilayah mestinya mengangkat status huma berdasarkan fungsi dan penggunaan lahan, atau minimal menggambarkan pemanfaatan riil dari setiap petak lahan. Sesederhana karena kita nir sedang merencana pada ruang hampa. Ada manusia dan seluruh kisah hidupnya, jejalinan interaksi sosial & interaksi menggunakan alam yg rumit. Bahkan berusia lebih berdasarkan satu generasi. Dimanakah, pada kepuluauan ini, huma kosong yg tanpa jalinan hubungan dengan insan pada sekitarnya?

Namun jalinan hubungan yang membangun makna tersebut, secara tidak sadar dibongkar satu per satu, dilucuti dari manusia-manusianya. Tak ada yang sadar soal ini, ketika status Desa berpindah menjadi Kelurahan dan sang Mantri Air diangkat jadi pegawai negeri. Tak ada yang tahu apa dampaknya ketika mereka menjual lahan-lahan sawah yang diairi Waduk Sepat dan telah memberi makan mereka. Tak ada yang mengerti apa dampak jangka panjangnya ketika air PDAM  mengaliri rumah-rumah warga. Semuanya tampak tak saling berhubungan.

Jauh pada bawah alam pikiran sadar, begitulah mimpi pembangunan: manusia yang berdiri sendiri, terbebas berdasarkan insan lainnya, terbebas dari alam sekitarnya. Hubungan-interaksi diganti menjadi transaksi rupiah. Tak butuh maksud yg terperinci-terangan, atau teori konspirasi. Semuanya akan terhubung dengan sendirinya mengikuti skenario bawah sadar itu. Dan cara pandang ini yg berubah menjadi pada proses perencanaan di waduk sepat: warga Kampung Sepat tak ada urusan lagi dengan Waduk Sepat.

Ini yang terjadi di Kampung Sepat selama empat dekade ke belakang. Namun, hubungan-hubungan itu tak sepenuhnya terputus. Waduk Sepat masih punya makna bagi warga Kampung Sepat. Warga kampung masih punya ikatan antar sesamanya yang membuat mereka melawan dengan gigih.  Bahkan salah seorang tokoh di kampung itu punya slogan: “Waduk Sepat, harga diri warga”

Kisah pelucutan makna ini adalah modus primer pembangunan konvensional sekarang. Ada yg kasar, misalnya kisah Warga Samin di Rembang dan berbagai kisah penggusuran warga kampung pada ibukota. Ada yang lemah lembut tidak terasa misalnya Waduk Sepat dan peminggiran Suku Betawi keluar dari ibukota. Di tempat lain, bentuknya bisa menggunakan dalih pariwisata, transmigrasi, pacuan kuda, & konservasi, yg dengan kasar mencekik ruang hidup penduduk aslinya, seperti kisah suku orisinil di pedalaman Arso, Papua, yg loka berburu-meramunya diambil alih buat lahan transmigrasi.

?Waduk Sepat harga diri rakyat? Tak dikenal dalam kosakata pembangunan konvensional. Semuanya mampu di-mekanisasi. Takut banjir? Normalisasi aliran sungai jawabannya. Siapa yang menolak? Iming-imingi kerja pada proyek perumahan glamor, jadi tenaga sekuriti, jadi energi kebersihan. Pekerjaan yang tidak terdapat hubungannya lagi dengan Waduk Sepat, seperti mengubah pembagian ikan menurut waduk yang pernah mereka dapatkan sebelumnya. Dengan asa mendapat rupiah yg (mungkin) jauh lebih besar , warga terpecah. Sebagian warga yang memandang masa depan terdapat pada proyek-proyek pembuatan perumahan, berbalik memusuhi sesamanya. Mengorbankan relasi-rekanan sosial di antara masyarakat.

-----

Memutus semua interaksi sosial yang kaya antara sesama manusia, & memutus interaksi insan menggunakan alam yg menopang hidupnya, & mengganti semua interaksi itu dengan hubungan transaksional, adalah akal dasar pembangunan konvensional. Dalam bahasa seorang mitra, beliau menyebutnya menggunakan akal krisis. Untuk melawan nalar krisis ini, kita perlu berangkat berdasarkan mengenali tujuan & cara mencapainya. Logika-akal ini perlu dibalik sehingga cara-caranya jadi sama sekali tidak wajar. Ini akan mempermudah kerja-kerja advokasi di lapangan, dan mencegah konflik sebelum beliau mengemuka.

Bagi saya, membalik logika krisis dicapai dengan memperkuat interaksi-interaksi sosial alih-alih menggerusnya dengan transaksi (uang) yg mensyaratkan keterpisahan antara satu sama lain. Memperkuat kebergantungan dengan alam alih-alih melepaskan diri darinya. Petani-petani yg berhadapan menggunakan perusahaan penguasa huma, mereka melawan dengan menanam. Saya sendiri melihat, ini bukan sekedar menanam, namun mempererat jalinan interaksi menggunakan alam. Di Kali Surabaya, contohnya, masyarakat stren kali mengadakan ritual sedekah sungai & membalik rumahnya. Mereka membangun pulang hubungan mereka dengan sungai.

Tembok-tembok pembatas & plang nama hanya bangunan imajiner yang bertutur tentang pemutusan interaksi. Penuturan tembok-tembok & plang itu hanya jadi punya makna bila beliau kita gugu dan turuti. Selama alamnya masih utuh, selama itu pula kita mampu melawan krisis & membangun relasi pulang dengan alam. Sambil berjuang mencegah kehancuran ruang-ruang hayati warga menggunakan satu-satunya bahasa yg sama-sama dipahami: Kami Menolak!

Cloud Hosting Indonesia