Banyak upaya telah dilakukan buat merampungkan dilema lingkungan. Seringkali upaya tadi nir berhasil dan bahkan menimbulkan permsalahan baru yang lebih kompleks. Di luar efektivitas pelaksanaan aksi/program, kenyataan ini juga seringkali terjadi akibat kesalahan cara pandang kita terhadap persoalan tadi. Akibatnya pemahaman akan permasalahan menjadi nir sempurna dan berujung pada pilihan aksi yang kurang tepat juga. Tulisan ini menceritakan bagaimana kesalahan memilih cara berpikir berpengaruh terhadap kesalahan pilihan aksi strategis. Tulisan ini akan dilanjutkan menggunakan goresan pena tentang Cara Berpikir Sistem sebagai galat satu pilihan cara buat menganalisis konflik sosial dan lingkungan dalam Pro: Aktif edisi 2 yang akan tiba.
Karakteristik Perseteruan Sosial dan Lingkungan
Permasalahan sosial dan lingkungan biasanya saling terkait satu sama lain membentuk satu jalinan permasalahan yang komples. Persoalan semacam ini disebut persoalan sistemik.
Permasalahan seperti ini biasanya tidak dapat diselesaikan dengan satu pendekatan saja. Tidak ada penyelesaian tunggal yang berlaku umum di semua tempat dan waktu. Penyelesaian masalah yang sama, bisa jadi membutuhkan pendekatan yang berbeda, tergantung penyebab masalah tersebut dan keterkaitannya dengan permasalahan yang lain di daerah dan waktu tertentu. Di daerah yang sama, suatu hal bisa menjadi masalah di satu saat, tetapi tidak pada saat yang lain. Pada saat yang sama, sebuah hal bisa menjadi masalah di satu daerah tetapi tidak untuk daerah lain.
Perseteruan pada menganalisis konflik sosial dan lingkungan
Masalah yang seringkali terjadi dalam proses menganalisis permasalahan sosial dan lingkungan adalah penyederhanaan permasalahan sistem kompleks menjadi masalah yang sangat sederhana dengan mengabaikan beberapa variabel atau yang disebut sebagai pendekatan reduksionis. Masalahnya variabel-variabel yang diabaikan pada pendekatan ini, seringkali justru paling berpengaruh terhadap perilaku sistem. Selain itu, variabel yang sangat berpengaruh di satu daerah dan kurun waktu tertentu bisa jadi tidak berarti pada tempat dan kurun waktu yang lain.
Masalah kedua adalah anggapan bahwa penyelesaian masalah yang sukses di satu tempat dapat direplikasi di mana saja tanpa melihat keterkaitan masalah tersebut dengan permasalahan lainnya di daerah tersebut. Contoh masalah jenis ini adalah proyek-proyek pembangunan dengan pendekatan top-down yang seragam untuk semua daerah. Proyek-proyek ini seringkali gagal menjawab persoalan-persoalan di tingkat lokal dan bahkan, di banyak kasus, proyek-proyek tersebut justru menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks daripada persoalan semula.
Cara Memandang Persoalan: salah pilih, keliru aksi!
Kedua kasus di atas terkait dengan cara pandang kita terhadap duduk perkara. Kita terbiasa menganalisis dilema menggunakan memecah-mecah bagiannya dan menilik bagian yg secara eksklusif terkait menggunakan persoalan yg kita nikmati. Ini tampak jelas di global kedokteran. Misalnya apabila kita demam, sering kita hanya minum obat penurun panas; tanpa melihat apakah ada penyebab lainnya, misalnya demam karena penyakit tipus atau penyakit lainnya. Penyelesaian perkara semacam ini hanya akan menyembuhkan gejalanya, namun tidak menyembuhkan penyakit yang sebenarnya.
Cara pandang di atas dikenal sebagai cara pandang mekanistik. Cara pandang ini melihat permasalahan seperti sebuah bangunan. Pondasi bangunan tersebut (fundamental building blocks) dianggap sebagai penyebab segala masalah yang bila diselesaikan akan menyelesaikan keseluruhan permasalahan. Analogi lainnya adalah menggambarkan permasalahan sebagai pohon dan penyebab utamanya disebut sebagai akarnya.
Persoalan sistemik tak jarang nir bisa diselesaikan menggunakan pendekatan semacam itu. Semua komponen pertarungan saling terkait membangun suatu hubungan sebab dampak yg kompleks (jaring-jaring pertarungan). Persoalan sistemik membutuhkan pendekatan lintas sektor/bidang buat melengkapi pemahaman akan permasalahan dan penyelesaian persoalannya.
Kesalahan memilih cara pandang dalam akhirnya akan menyebabkan kesalahan pemahaman persoalan. Begitu pentingnya pemahaman duduk perkara ini sampai-sampai terdapat pepatah mengungkapkan bahwa apabila kita tahu dilema menggunakan sahih maka kita telah setengah jalan pada proses penyelesaiannya. Kesalahan pemahaman persoalan akan berujung pada kesalahan analisis & pemilihan rekomendasi aksi; yang tentu saja akhirnya nir akan merampungkan permasalahan secara efektif atau bahkan menimbulkan dilema baru.
Jadi hati-hati dengan cara berpikir anda, jangan sampai salah pilih, salah aksi!
(David Sutasurya - YPBB)
HEADLINE TV (hdtv.co.id) terus berupaya meningkatkan wawasan dan
pengetahuan para pemirsa dan juga menjadi media yang memiliki
kredibilitas, kecepatan dan ketepatan dalam menyampaikan informasi di
Kalimantan
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
hdtv
Tampilkan postingan dengan label Pikir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pikir. Tampilkan semua postingan
Jumat, 07 Agustus 2020
Selasa, 04 Agustus 2020
[PIKIR] Beda Cara Belajar Beda Tindakan

Cara belajar setiap orang tidak sinkron satu sama lain. Selain dipengaruhi sang faktor genetis, cara belajar kita jua dibuat oleh faktor lingkungan yang turut membentuk norma kita diantaranya melalui anggaran-aturan sekolah, keluarga dan rakyat. Perbedaan cara belajar ini dalam akhirnya akan mempengaruhi cara kita bertindak & menanggapi sesuatu. Banyak perseteruan terjadi akibat perbedaan cara belajar ini, contohnya pertarungan antara anak & orang tua; antara suami-istri; antara pemerintah dengan masyarakat maupun antara aktivis pendamping lapang dengan masyarakat dampingannya. Karena respon anak nir sinkron dengan harapan orang tua maka orang tua berpikir bahwa anaknya nakal, susah dikendalikan dan susah diatur. Lantaran lebih senang menjawab soal menggunakan caranya sendiri, seorang anak didik lantas dipercaya udik sang gurunya dan lantaran tidak menciptakan tanggapan sinkron asa seseorang gadis menganggap kekasihnya telah tidak mencintainya lagi. Masih banyak lagi pertarungan & pertarungan yg timbul dampak perbedaan cara belajar ini.
Tulisan ini mengangkat model cara belajar kombinasi yg diteliti oleh Dr. Anthony F. Gregorg. Model ini merupakan salah satu contoh yg paling efektif buat tahu perbedaan cara belajar. Model ini dibangun dari kombinasi cara kita memandang persoalan (persepsi) dan cara kita menyusun kabar yg kita terima.
Cara Memandang Persoalan (Persepsi)
Kita memandang dunia menurut persepsi kita. Persepsi itu nir sama buat setiap orang. Persepsi ini akan mensugesti kita pada memahami sesuatu & merogoh tindakan atas sesuatu. Ada dua kualitas persepsi yang dimiliki sang setiap orang, yaitu persepsi konkret & persepsi tak berbentuk.
Kualitas persepsi nyata memungkinkan kita pribadi menyerap kabar yang diterima oleh panca indera. Kita melihat segala sesuatu misalnya apa adanya. Kita tidak mencari makna yg tersembunyi pada balik suatu insiden atau mencoba menggali penyebab-penyebab menurut suatu perseteruan.
Kualitas persepsi tak berbentuk memungkinkan kita menggali lebih jauh makna dari suatu insiden, menciptakan visualisasi maupun mencari pandangan baru-ilham baru pada luar hal-hal yang secara eksklusif ditangkap oleh panca indera. Bagi orang yang memakai persepsi tak berbentuk, segala sesuatu nir selalu tampak seperti kelihatannya.
Cara Penyusunan Informasi
Penyusunan kabar adalah cara kita menggunakan berita yang kita terima. Menurut Gregorc cara penyusunan liputan bisa dikelompokkan sebagai 2 yaitu sekuensial (urut, runtut, teratur) dan acak (secara acak).
Kemampuan sekuensial memungkinkan kita berpikir secara logis. Informasi akan disusun secara teratur & bertahap. Mereka yang lebih banyak didominasi kemampuan sekuensialnya, umumnya melakukan perencanaan sebelum melakukan tindakan.
Kemampuan rambang menyusun warta secara serabutan dan tidak teratur. Kemungkinan terdapat beberapa hal yg terlewati. Bagi mereka yg dominan kemampuan acaknya terkesan impulsif, tidak berpikir panjang dan yg penting bagi mereka adalah terselesaikan, sementara tahapan penyelesaian nir sebagai kasus.
Model Kombinasi Gregorc
Gregorc memodelkan cara belajar menjadi kombinasi cara memandang persoalan & cara menyusun kabar. Kombinasi tadi dikenal sebagai: Sekuensial Konkret (SK), Sekuensial Abstrak (SA), Acak Konkret (AK) & Acak Abstrak (AA).
Keempat kemampuan ini terdapat dalam setiap orang, hanya kadarnya buat setiap tipe berbeda-beda. Berikut ini adalah ciri secara umum dikuasai menurut keempat model cara belajar tersebut.
1. Sekuensial Konkret
Orang-orang yang secara umum dikuasai kemampuan sekuensial konkretnya umumnya ulet , tradisional, sangat cermat, stabil, dapat diandalkan, konsisten, berpegang dalam kabar dan teratur. Mereka sangat baik dalam menerapkan gagasan-gagasan menggunakan cara yang mudah, efisien dan irit. Mereka umumnya tepat waktu. Mereka juga memiliki kemampuan buat melahirkan gagasan konkret berdasarkan sesuatu yang abstrak. Biasanya mereka bekerja secara sistematis, sedikit demi sedikit mengikuti jadwal & detil. Mereka senang melakukan sesuatu secara rutin & teratur. Dengan kebiasaan ini, mereka akan kesulitan menghadapi lingkungan yg berantakan, obrolan yg nir jelas arahnya serta mengikuti perintah yg nir jelas.
2. Sekuensial Abstrak
Orang-orang yg dominan kemampuan sekuensial abstraknya umumnya analitis, obyektif, berpengetahuan luas, teliti, rapi, logis, damai & hati-hati serta sistematis. Mereka sangat baik dalam pekerjaan-pekerjaan penelitian, contohnya mendeskripsikan urutan insiden pada suatu urutan yg logis, memakai liputan buat menunjukan atau menyanggah teori & menganalisis gagasan. Mereka mengumpulkan data-data sebelum mengambil keputusan & menyelesaikan segala sesuatu hingga tuntas. Mereka akan frustasi bila ketika yang diberikan buat merampungkan pekerjaan tidak relatif, mengulang-ulang pekerjaan yg sama, berpikir sentimentil atau wajib menunda diri buat nir membicarakan gagasan dalam kurun waktu yg usang.
3. Acak Konkret
Orang-orang yang secara umum dikuasai kemampuan rambang konkretnya umumnya bertindak dengan cepat, mengikuti istilah hati, selalu ingin tahu, realistis, mempunyai daya cipta, inovatif, naluriah & sangat berani. Mereka mempunyai banyak gagasan kreatif & melihat poly alternatif solusi & cara-cara baru buat menuntaskan problem. Mereka sanggup mengilhami orang lain buat bertindak. Mereka mau mengambil resiko dan bisa merogoh keputusan menggunakan cepat. Keputusan ini sebagian akbar berdasarkan pada nalurinya dan bukan dari perhitungan yang cermat akan data dan fakta yang mendukungnya. Mereka akan putus harapan bila nir memiliki pilihan, harus membuat laporan formal, menghadapi hal-hal rutin, mengulang sesuatu yang pernah dilakukan maupun menyebutkan alasan dari keputusan/jawaban eksklusif.
4. Acak Abstrak
Orang-orang yg dominan kemampuan acak abstraknya umumnya peka, penuh belas kasih, cepat tahu, imajinatif, idealis, sentimentil, impulsif dan fleksibel. Mereka mempunyai karunia buat mendengarkan orang lain menggunakan benar-benar-sungguh & menciptakan suasana damai menggunakan orang lain. Mereka menyadari kebutuhan orang lain & gampang menjalin persahabatan. Mereka menduga krusial perasaan & emosi serta memberikan perhatian pada tema serta gagasan. Mereka mengusut sesuatu dengan caranya sendiri dan merogoh keputusan menurut perasaan. Mereka akan putus harapan apabila harus menjelaskan alasan mengapa mereka melakukan/menetapkan sesuatu, berkompetisi, mendapat kritikan & berfokus hanya pada satu hal setiap ketika.
Apa gunanya mengetahui perbedaan cara belajar?
Banyak pertarungan ditimbulkan oleh perbedaan cara belajar. Misalnya seseorang mak yg sekuensial konkret akan merasa anaknya yg rambang nyata menjadi anak yg semaunya sendiri & susah diatur. Bagi orang sekuensial konkret, hayati teratur dan rapi sangat menyenangkan, ad interim buat orang rambang konkret menjadi rapi dan teratur merupakan sesuatu yg menyebalkan dan membebani. Dengan tahu cara belajar sang anak, si bunda bisa lebih memahami bahwa buat memenuhi tuntutannya oleh anak membutuhkan usaha yg luar biasa keras. Dengan demikian beliau akan lebih toleran terhadap kesemrawutan-kesemrawutan mini yang sekali waktu dilakukan anaknya.
Perseteruan lain yg mungkin muncul adalah antar pasangan. Seseorang yang rambang tak berbentuk lebih menggunakan perasaannya pada melakukan sesuatu dan bagi mereka perhatian terhadap orang adalah sangat krusial. Jika orang ini mempunyai pasangan sekuensial abstrak, mungkin ia akan berulangkali merasa kecewa akan tingkah laris pasangannya yg kurang perhatian, kurang tanggap akan perasaannya dan selalu menuntut argumen yg rasional dari setiap keputusan yang diambil. Sementara itu pasangannya akan merasa dia terlalu menuntut, nir rasional & kurang mempercayai cintanya. Dengan tahu perbedaan cara belajar, pasangan ini akan lebih maklum dengan apa yg dilakukan oleh pasangannya & tidak selalu mengartikan perilaku-perilaku yg tidak sinkron dengan asa sebagai aktualisasi diri nir mengasihi juga sengaja menciptakan kesal/mengecewakan.
Contoh yang lain adalah antara guru menggunakan anak didik. Sistem pendidikan zaman sekarang cenderung memakai pendekatan disiplin dan cara berpikir yang runtut buat tahu pengetahuan. Pendekatan ini menguntungkan anak-anak yang memiliki kombinasi mayoritas sekuensial nyata dan sekuensial abstrak. Anak-anak yg sekuensial nyata akan dengan mudah mengikuti keteraturan aturan-aturan sekolah. Sementara anak-anak yang sekuensial abstrak bisa menggunakan mudah mengikuti pelajaran yang membutuhkan analisis. Sedikit sekali perhatian diberikan untuk seni & cara berpikir kreatif yg cocok buat anak-anak rambang tak berbentuk & aca konkret. Bagi anak-anak menggunakan cara berpikir rambang, sekolah formal merupakan belenggu yang membosankan. Beberapa mereka memperoleh cap menjadi anak nakal atau anak kolot. Padahal sebenarnya belum tentu demikian. Mereka sebagai demikian lantaran cara belajar yang diterapkan pada sekolah tidak cocok dengan cara belajar mereka. Sekolah menjadi siksaan. Guru-guru yg tahu perbedaan cara belajar ini akan lebih toleran terhadap perilaku anak-anak ini & berusaha mencari cara kreatif buat mengakomodasi disparitas cara belajar ini.
Contoh lain yg mungkin relevan buat kita menjadi aktivis, misalnya perbedaan cara belajar antara seseorang pendamping lapang menggunakan warga lokal dampingannya. Jika seseorang pendamping mempunyai cara belajar secara umum dikuasai sekuensial tak berbentuk, mungkin tidak cocok buat mendampingi rakyat yg nyata dan acak. Orang sekuensial abstrak cenderung banyak bicara buat menjelaskan hal-hal yg diketahui & acapkali menggunakan bahasa yg sulit dimengerti. Masyarakat yang nir terbiasa berpikir panjang akan kesulitan mengikuti apa yg diterangkan sang oleh pendamping dan akhirnya mengangguk-angguk tetapi kurang mengerti atau malah mengantuk. Akhirnya program yg direncanakan tidak berjalan lantaran warga tidak paham. Orang yang sekuensial tak berbentuk pula kurang mampu berempati dalam sesama, sebagai akibatnya acapkali kurang tanggap akan kebutuhan orang-orang pada sekelilingnya. Sehingga jika orang tipe ini sebagai pendamping kemungkinan beliau akan kesulitan memahami asa & perasaan yang berkembang pada warga dampingannya.
Bagaimana kita bersikap terhadap disparitas cara belajar?
Masih banyak lagi model masalah atau perseteruan yang ditimbulkan sang perbedaan cara belajar ini. Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan ini?
Pertama, kita perlu menyadari cara belajar kita sendiri. Dari sana kita dapat mengidentifikasi kekuatan & kelemahan kita. Setelah itu, kita perlu menyadari, mendapat fenomena dan menghargai disparitas cara belajar setiap orang. Dengan bekal itu, kita dapat mengikuti keadaan dan bahkan memanfaatkan perbedaan-disparitas itu.
Misalnya apabila kita dalam satu kerja tim, maka pembagian tugas bisa disesuaikan dengan cara belajar setiap anggota. Orang yg sekuansial abstrak mendapat tugas buat menciptakan analisis atau menciptakan konsep kegiatan. Orang yg sekuensial konkret diberi tugas buat melaksanakan program sebagai ketua . Orang-orang yang acak tak berbentuk bisa diminta bekerja pada bidang yang mengurus orang-orang ad interim mereka yg acak nyata bisa diminta masuk dalam tim kreatif. Harapannya mereka seluruh akan menikmati pekerjaannya. Dengan demikian tim bisa menghasilkan kinerja terbaiknya & perseteruan bisa dihindari.
Contoh lain adalah pada relasi antara pasangan hayati. Memahami cara belajar masing-masing menciptakan kita tahu hal-hal apa yg membuat pasangan kita bahagia atau stress. Dengan demikian kita dapat lebih mudah menentukan bantuan gratis yang cocok atau merancang program liburan beserta yang pas. Kita lebih mengetahui apa saja yang membuat pasangan kita bahagia & kebalikannya. Saling tahu dapat lebih mudah dilakukan & kompromi bisa lebih gampang tercapai.
Jadi, sudahkah anda mengenali cara belajar anda?
(Any Sulistyowati)
Referensi:
Tobias, Cynthia Ulrich. Cara Mereka Belajar. Jakarta: Fokus Pada Keluarga, 2000.
DePorter, Bobbi & Mike Hernacki. Quantum Learning. New York: Dell Publishing, 1992. (Edisi Indonesia diterbitkan oleh MIZAN).
Sabtu, 01 Agustus 2020
[PIKIR] PENDIDIKAN BAGI ORANG DEWASA: PELATIHAN PARTISIPATIF VS SEMINAR
Pelatihan partisipatif merupakan kata yg sedang marak digunakan waktu ini. Banyak orang menggunakan metode tadi buat kepentingan sosialisasi pendidikan secara partisipatif baik bagi mahasiswanya, bagi karyawannya, juga bagi rekanan kerjanya. Tetapi demikian, sering terjadi kesalahpahaman terhadap istilah yang sedang nge-ekspresi dominan ini, poly orang menyebut diri sedang melaksanakan pembinaan partisipatif, tetapi ternyata tidak lebih berdasarkan sekadar seminar. Tulisan ini ingin menaruh pemahaman baru tentang definisi & hal-hal fundamental yang kiranya perlu diperhatikan dalam sebuah pelatihan partisipatif.
PENDIDIKAN PARTISIPATIF
Pendidikan partisipatif merupakan sebuah metode pendidikan yang menitikberatkan dalam partisipasi aktif para peserta. Berangkat berdasarkan hal itulah maka penggunaan istilah-istilah terhadap kiprah-peran yang terdapat dalam sebuah pelatihan pun mengalami pergeseran. Dulu kita lebih mengenal istilah instruktur atau trainer dan pesertanya diklaim dengan trainee. Dalam training ala tempo dulu, para instruktur merupakan satu-satunya sumber pengetahuan & peserta tinggal menerima. Sejalan menggunakan perkembangan jaman, training-pelatihan nir lagi wajib menggunakan model top-down seperti pada atas, tetapi jua melibatkan partisipasi aktif peserta. Istilah buat kiprah-peran dalam pelatihan pun mengalami perubahan. Saat ini kita lebih mengenal istilah fasilitator & bukan trainer, serta istilah trainee berubah sebagai partisipan.
Pergeseran terhadap istilah kiprah tersebut semakin menerangkan bahwa dalam sebuah proses pendidikan yg dianggap menggunakan pembinaan partisipatif, fungsi fasilitator adalah memfasilitasi sebuah proses pendidikan, memfasilitasi para partisipan dalam menemukan sendiri makna-makna baru yg diperoleh dalam training tersebut. Sehingga dengan demikian, tampak jelas bahwa fungsi narasumber pada sebuah seminar sangat tidak sama menggunakan fungsi fasilitator dalam sebuah pembinaan. Apabila dalam sebuah seminar, solusi perkara harus dipecahkan oleh narasumber maka pada sebuah pembinaan, fasilitator hanya memfasilitasi proses sedemikian rupa sebagai akibatnya masalah ditemukan sendiri secara sadar oleh para partisipan dan solusi masalah pun terdapat pada para partisipan itu sendiri.
Dalam pelatihan partisipantif, nir terdapat metode satu orang di depan, dan yang lain duduk mendengarkan. Namun justru seluruh orang duduk dan berdiri pada posisi melingkar. Semua orang pada bulat mempunyai donasi dalam keberhasilan proses belajar memakai metode pendidikan partisipatif. Fokus primer terletak pada partisipan dan bukan pada fasilitator.
Metode permainan adalah metode yang acapkali dipakai pada pendidikan partisipatif. Lantaran melalui metode ini diharapkan partisipan bisa berangkat menurut pengalamannya sendiri-sendiri buat lebih lanjut merefleksikan pengalaman tadi menjadi makna-makna pembelajaran baru.
ATURAN DASAR MEMFASILITASI
Dalam pendidikan partisipatif, mutlak buat selalu melibatkan partisipasi para partisipan pada setiap prosesnya. Oleh karenanya, pada pendidikan partisipatif, pembuatan aturan main bukanlah dipengaruhi oleh fasilitator, namun dipengaruhi secara beserta-sama, yakni fasilitator & partisipan. Demikian jua dalam realisasinya, anggaran main dibentuk & dilakukan sang semua orang yang terlibat pada pembinaan, yakni seluruh tim fasilitator dan semua partisipan. Tidak berlaku dalam pendidikan partisipatif aturan main hanya bagi partisipan.
Dalam penentuan materi dan alur training pun, seseorang fasilitator pada pendidikan partisipatif hendaknya mempunyai kesiapan dan kreativitas yg relatif tinggi. Hal ini ditimbulkan, pendidikan partisipatif adalah pendidikan yg menitikberatkan pada kebutuhan partisipan. Sehingga bila pada proses training, alur materi yg disiapkan oleh tim fasilitator ternyata bukan sebagai kebutuhan partisipan, maka seorang fasilitator yg baik wajib rela buat mengganti seluruh skenario, baik modul, alur, juga permainan yg sudah disiapkan menggunakan skenario yg dibutuhkan sang partisipan. Dengan demikian proses pelatihan sahih-sahih menjadi milik partisipan secara penuh.
Selamat memfasilitasi!
(Patty)
PENDIDIKAN PARTISIPATIF
Pendidikan partisipatif merupakan sebuah metode pendidikan yang menitikberatkan dalam partisipasi aktif para peserta. Berangkat berdasarkan hal itulah maka penggunaan istilah-istilah terhadap kiprah-peran yang terdapat dalam sebuah pelatihan pun mengalami pergeseran. Dulu kita lebih mengenal istilah instruktur atau trainer dan pesertanya diklaim dengan trainee. Dalam training ala tempo dulu, para instruktur merupakan satu-satunya sumber pengetahuan & peserta tinggal menerima. Sejalan menggunakan perkembangan jaman, training-pelatihan nir lagi wajib menggunakan model top-down seperti pada atas, tetapi jua melibatkan partisipasi aktif peserta. Istilah buat kiprah-peran dalam pelatihan pun mengalami perubahan. Saat ini kita lebih mengenal istilah fasilitator & bukan trainer, serta istilah trainee berubah sebagai partisipan.
Pergeseran terhadap istilah kiprah tersebut semakin menerangkan bahwa dalam sebuah proses pendidikan yg dianggap menggunakan pembinaan partisipatif, fungsi fasilitator adalah memfasilitasi sebuah proses pendidikan, memfasilitasi para partisipan dalam menemukan sendiri makna-makna baru yg diperoleh dalam training tersebut. Sehingga dengan demikian, tampak jelas bahwa fungsi narasumber pada sebuah seminar sangat tidak sama menggunakan fungsi fasilitator dalam sebuah pembinaan. Apabila dalam sebuah seminar, solusi perkara harus dipecahkan oleh narasumber maka pada sebuah pembinaan, fasilitator hanya memfasilitasi proses sedemikian rupa sebagai akibatnya masalah ditemukan sendiri secara sadar oleh para partisipan dan solusi masalah pun terdapat pada para partisipan itu sendiri.
Dalam pelatihan partisipantif, nir terdapat metode satu orang di depan, dan yang lain duduk mendengarkan. Namun justru seluruh orang duduk dan berdiri pada posisi melingkar. Semua orang pada bulat mempunyai donasi dalam keberhasilan proses belajar memakai metode pendidikan partisipatif. Fokus primer terletak pada partisipan dan bukan pada fasilitator.
Metode permainan adalah metode yang acapkali dipakai pada pendidikan partisipatif. Lantaran melalui metode ini diharapkan partisipan bisa berangkat menurut pengalamannya sendiri-sendiri buat lebih lanjut merefleksikan pengalaman tadi menjadi makna-makna pembelajaran baru.
ATURAN DASAR MEMFASILITASI
Dalam pendidikan partisipatif, mutlak buat selalu melibatkan partisipasi para partisipan pada setiap prosesnya. Oleh karenanya, pada pendidikan partisipatif, pembuatan aturan main bukanlah dipengaruhi oleh fasilitator, namun dipengaruhi secara beserta-sama, yakni fasilitator & partisipan. Demikian jua dalam realisasinya, anggaran main dibentuk & dilakukan sang semua orang yang terlibat pada pembinaan, yakni seluruh tim fasilitator dan semua partisipan. Tidak berlaku dalam pendidikan partisipatif aturan main hanya bagi partisipan.
Dalam penentuan materi dan alur training pun, seseorang fasilitator pada pendidikan partisipatif hendaknya mempunyai kesiapan dan kreativitas yg relatif tinggi. Hal ini ditimbulkan, pendidikan partisipatif adalah pendidikan yg menitikberatkan pada kebutuhan partisipan. Sehingga bila pada proses training, alur materi yg disiapkan oleh tim fasilitator ternyata bukan sebagai kebutuhan partisipan, maka seorang fasilitator yg baik wajib rela buat mengganti seluruh skenario, baik modul, alur, juga permainan yg sudah disiapkan menggunakan skenario yg dibutuhkan sang partisipan. Dengan demikian proses pelatihan sahih-sahih menjadi milik partisipan secara penuh.
Selamat memfasilitasi!
(Patty)
Jumat, 31 Juli 2020
[PIKIR] Neoliberalisme Ketika uang makin digdaya …
“… neo-liberalisme tidaklah alamiah ... bisnis dan pasar memang punya tempat, tetapi tempat itu tidak bisa menjajah seluruh ruang hidup keberadaan manusia…”
—Susan George, dalam A Short History of Neoliberalism
pada Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Maret, 1999
A lkisah seorang perempuan karir bernama Yuni, asal Bandung, 29 tahun. Karena ingin selalu menjaga penampilannya, ia menuruti apapun kata iklan agar senantiasa tampil cantik, dengan membeli krim kulit yang mengandung vitamin E sebagai anti-ageing atau anti-penuaan karena sifatnya yang anti-oksidan sehingga kulit tetap halus dan shampoo yang juga diperkaya dengan vitamin E agar rambut makin subur. Sepanjang hari dan malam ia oleskan krim itu. Ia juga rajin keramas. Sebulan lebih, kulitnya tetap keriput di sini-sana, tak juga bertambah halus, dan rambutnya tetap kering serta tak subur. Ia pun ke dokter dan terpana mendengar jawaban jujur sang dokter itu: vitamin E, atau d-alfa tokoferol, hanya bisa diserap tubuh lewat pencernaan, bukan kulit, kulit kepala, apalagi rambut[1].
Kasihan Yuni. Demikian juga dengan ribuan atau jutaan Yuni yang lain di muka bumi ini.
Terlena oleh iklan sesat yang memancing basic instinctnya sebagai manusia lemah, mereka menjadi korban keserakahan penumpukan laba besar-besaran. Betapa tidak, majalah The Economist [2] yang dikutip oleh Noreena Hertz[3] memaparkan bahwa dalam periode 1975 hingga 1996 diklaim sudah ditemukan 1.223 jenis obat baru. Namun, hanya 13 di antaranya dibuat untuk menangani berbagai penyakit tropis yang merenggut jutaan jiwa seperti malaria, tipus-kolera-disentri, demam berdarah, dan lain-lain. Sisanya?, adalah obat anti gemuk, penghalus kulit wajah, penghilang kerut, dan berbagai obat kosmetik lainnya[4]. Lepas dari tingkat kemanjurannya, jelas pasar obat-obat seperti ini sebagian besar adalah mereka seperti Yuni, yang mudah terlena dan tergiur oleh iklan.
Bagaimana kita memahami gejala semacam ini?
Gejala Baru: Tata Ekonomi Politik Baru
Sebuah tata eknonomi politik baru sedang melaju. Ia bukan gejala alamiah, namun bukan pula gerak sejarah yang tak terelak. Gejala ini lahir dari revolusi ekonomi liberal. Jantungnya adalah dilepasnya hak istimewa atas modal d ari berbagai tata aturan teritorial maupun nasional . Gejala ini melahirkan sebuah monster baru dalam skala global, yaitu kekuatan bisnis internasional. Nama gejala ini adalah ‘neo-liberalisme’[5].
Apa neo-liberalisme itu?
Menurut seorang ekonom B-Herry Priyono, arti neo-liberalisme…
“ …dapat diringkas dalam dua lapis definisi. Pertama, neo-liberalisme adalah faham/agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo oeconomicus atas dimensi lain dalam diri manusia (homo culturalis, zoon politikon, homo socialis, dsb). Kedua, sebagai kelanjutan pokok pertama, neo-liberalisme kemudian juga bisa dipahami sebagai dominasi sektor finansial atas sektor riil dalam tata ekonomi-politik. Definisi yang pertama lebih menunjuk ‘kolonisasi eksternal’ homo oeconomicus atas berbagai dimensi antropologis lain dalam multi-dimensionalitas manusia, sedangkan definisi yang k
edua menunjuk ‘kolonisasi internal’ homo financialis atas aspek-aspek lain dalam multi-dimensionalitas tata homo oeconomicus itu sendiri.”[6]
J elasnya, jantung neo-liberalisme adalah pada dua gagasan berikut. Pertama, manusia dilihat hanya sebagai homo oeconomicus. Artinya,cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah salah satu dari berbagai corak hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya corak yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia. Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi kita maupun tindakan dan hubungan legal, sosial dan politis kita hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi dalam transaksi ekonomi.
Kedua, gagasan ekonomi politik neo-liberal adalah argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu lintas modal yang dimiliki oleh pribadi (orang-perorangan) dilepaskan dari kaitannya dengan proses survival sosial dan ditujukan semata untuk akumulasi laba. Bagi mereka yang pernah sedikit belajar ekonomi, mungkin jelas bedanya dua hal ini. Bila dalam liberalisme klasik (misalnya menurut Adam Smith) kepemilikan privat masih dianggap punya tugas sosial untuk menyejahterakan seluruh masyarakat, dalam neo-liberalisme kepemilikan privat tersebut sudah demikian absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat (misalnya gagasan Milton Friedman)[7].
Maka, ketika kita berbicara mengenai globalisasi ekonomi, kita sesungguhnya tengah bicara mengenai tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal. Di dalamnya, ada tiga hal. Pada (1) tataran tindakan, tata kekuasaan global ini bertumpu pada praktek bisnis raksasa lintas negara, (2) pelakuutamanya adalah perusahaan-perusahaan transnasionaldan (3) proses kultural idelologis yang dibawa adalah konsumerisme. Bagaimana ia bekerja?
Dalam globalisasi, praktik perdagangan bisnis transnasional didorong dan didukung oleh regulasi/kesepakatan internasional, yang kerap disebut sebagai aturan baru seperti GATT (General Agreements on Tariffs & Trade), GATS (General Agreements on Trade in Services), TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights), TRIMs (Trade Related Investment Measures), AoA (Agreement on Agriculture), dll. Pada saat yang sama ideologi konsumerisme juga didorong oleh kekuasaan luar biasa dari bisnis periklanan dalam bentuk logo, merk, dan label. Di bawah sadar ditanamkan prinsip kenikmatan, prestise, status, kemewahan pada banyak individu. Karenanya, akan lebih mudah dipahami bahwa ketika berbagai aturan baru tersebut mendesak berbagai negara untuk menerima mantra deregulasi, liberalisasi, privatisasi. Pada saat yang sama gaya hidup global, budaya, identitas yang diiklankan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Lihat diagram di bawah ini.

Sumber: Yanuar Nugroho, Reinventing Globalisation, The Jakarta Post, 30 December 2002)
Ketiga hal ini berakar pada makin keramatnya hak pribadi untuk menumpuk laba . Untuk itulah, maka modal terus bergerak memburu kawasan-kawasan yang mendatangkan laba paling besar. Dan kawasan itu tidak saja berarti teritorial, melainkan semua bidang gerak. Maka disinilah kita berada pada periode dimana berbagai kawasan itu dijarah: kultur, hukum, politik, ilmu, tradisi, dan berbagai aspek dari kehidupan bersama secara intensif mengalami proses komersialisasi.
Maka, jelas jika agenda peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, demokrasi, perlindungan anak-anak, perempuan dan hak-hak asasi tidak menjadi prioritas. Artinya, kalau proses akumulasi laba ini juga diikuti peningkatan kesejahteraan, ya syukurlah. Tetapi kalaupun tidak, memang hal itu tidak pernah menjadi tujuan dari logika akumulasi laba. Meningkatnya kesejahteraan hanyalah akibat dan bukan tujuan dari gejala neo-liberalisme ini. Begitu juga dengan demokrasi dan hak-hak asasi manusia[8]. Dalam arus gejala ini, presiden boleh ganti, pemerintahan dan kabinet boleh berubah-ubah, bahkan dengan cara-cara yang sangat demokratis. Namun, yang lolos dari proses demokratisasi ini adalah kinerja akumulasi laba yang bebas keluar masuk suatu negara tanpa melalui pemilu. Dan akibatnya sungguh dahsyat. Kekuasaan rakyat (democracy) yang diwujudkan dalam pemerintahan negara telah digilas oleh kekuatan uang dalam wajah kekuasaan korporasi (corpocracy), seperti digagas oleh Alvaro J. de Regil (2003)[9].
Dicatat oleh Medard Gabel dan Henry Bruner dalam bukunya Global Inc. (2004), corpocracy itu berekspansi secara drastis dari 3.077 (tahun 1914), ke 39.463 (1994), menjadi 63.312 perusahaan transnasional di tahun 2000. Sekitar 85% persediaan gandum di dunia dikuasai 6 perusahaan transnasional; lima perusahaan transnasional menguasai 90% dari industri musik; 7 perusahaan menguasai 95% industri film dunia dan 75% industri mobil dunia ada di tangan 6 perusahaan mobil[10].
Namun apa yang konstan dari target demokratisasi bukanlah sultan, raja, presiden, kaisar atau bahkan militer, melainkan setiap penggunaan kekuasaan yang punya konsekuensi pada hidup bersama. Bahwa pada saat itu sosok kekuasaan tersebut berupa raja, presiden atau perdana menteri, adalah kontingensi historis(historical contingency) dan bukan keniscayaan logis (logical necessity).Tuntutan logisdari gerakan demokrasi adalah kontrol terhadap bentuk-bentuk praktek kekuasaan yang punya konsekuensi pada hidup bersama.
Saat ini, dalam kontingensi historis yang bertumpu akumulasi modal, muncul berbagai kekuasaan baru yang praktiknya punya konsekuensi besar pada hidup masyarakat. Salah satu yang terpenting adalah corpocracy tadi. Maka, pembicaraan mengenai tata dunia global tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis yang kini menggurita adalah wacana tanpa substansi. Namun, sebaliknya juga konsekuensinya: setiap wacana demokrasi tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis adalah wacana yang kekurangan isi[11]. Mengapa? Dalam benang ruwet kekusaan bisnis itu ada tersembunyi soal akuntabilitas yang tak tersentuh.
Mari kita lihat fakta sederhana berikut. Berapa besar gaji yang layak diterima seorang pimpinan puncak perusahaan (Chief Executive Officer, CEO) di Indonesia? Sementara benar bahwa pertanyaan ini secara normatif sulit djawab karena rumit, tergantung besar kecilnya perusahaan, jenis industri yang digeluti, kinerja perusahaan, dan sebagainya—Wall Street Journal punya jawaban itu. Per 5 Maret 2003, umumnya seorang CEO perusahaan besar di Indonesia rata-rata bergaji pokok Rp1,78 miliar per tahun. Kisaran gajinya, terendah Rp1,39 miliar dan paling tinggi Rp 4,8 miliar. Itu per tahun. Khusus di Jakarta, rata-rata gaji yang diterima para CEO lebih besar lagi. Data tersebut menyatakan bahwa umumnya para CEO di Jakarta menerima gaji pokok Rp1,98 miliar per tahun. Kisarannya, paling rendah per tahun seorang CEO di Jakarta menerima gaji pokok Rp1,55 miliar dan paling tinggi Rp5,37 miliar[12].
Maka, jika untuk gaji saja perusahaan mampu membayar setinggi itu, mengapa tidak hukum dan aturan dibeli untuk memuluskan sebuah praktik bisnis? Mengapa tidak kebutuhan masyarakat direkayasa? Maka soal pembuangan limbah, upah buruh atau hak konsumen mendapat informasi yang layak tentang sebuah produk, tak lebih rumit dari sebuah urusan bisnis biasa sehari-hari: jual-beli.
Catatan Akhir
Tahun 2002, WHO mengeluarkan laporan mengerikan. Empat juta orang mati karena infeksi saluran pernapasan; 2,2 juta kehilangan nyawa karena tipus, kolera, disentri; 1,7 juta jiwa melayang karena TBC; 1 juta tewas karena malaria dan 900.000 meninggal karena demam berdarah, sementara 3 juta lainnya mati karena AIDS[13]. Kehendak Tuhan? Di ujung refleksi, nampaknya tidak demikian. Kecuali kita mengakui bahwa seluruh hidup bersama kita, termasuk kesehatan adalah sebuah arena pencarian untung, kita tidak akan bisa memahami fenomena semacam itu, fenomena yang kini makin nampak seperti takdir tak terelak.
Gejala neo-liberal adala fakta tak terbantah dimana uang secara praktis sudah menjadi adidaya. Kepentingan politik bisa dibeli, hukum bisa ditekuk, aturan bisa ditarik ulur. Bahkan, hidup bisa diperjualbelikan. Maka, jangankan seorang Yuni, negara sebagai badan publik pun sudah tidak berdaya, bertekuk lutut di bawah kekuasaan kapital di jaman ini. (Yanuar Nugroho*)
***
*Pegiat sosial di The Business Watch Indonesia dan Uni Sosial Demokrat Jakarta
Mahasiswa pascasarjana pada PREST (Policy Research in Engineering, Science & Technology), The University of Manchester, Inggeris Raya
[1] Vitamin E hanya larut dalam lemak dan diserap bersamaan dengan lemak untuk kemudian masuk ke dalam darah dengan lipoprotein tertentu. Sebagai pelengkap, lihat Republika:
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=2&id=162555&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=204
[2] Lihat The Economist, 10 Nopember 2001
[3] Lihat Noreena Hertz, The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy, London: William Heinemann, 2001.
[4] Porsi terbesar dana untuk riset obat-obatan dilakukan untuk riset kosmetik, anti gemuk dan kecantikan. Tahun 1998, dari 70 milyar dollar alokasi riset obat, hanya 300 juta dollar (0,43%) diperuntukkan riset obat AIDS dan 100 juta dollar (0,14%) untuk riset obat malaria. Lihat Noreena Hertz, op.cit.
[5] Lihat B. Herry Priyono dan Yanuar Nugroho dalam Selamat Datang Jaman Baru, Sinar Harapan, dimuat bersambung 5-6 September 2001
[6] Lihat B. Herry-Priyono, ‘Marginalisasi a la Neo Liberal’, Basis, Mei-Juni, 2004. Lihat juga B. Herry-Priyono ‘Dalam Pusaran Neoliberalisme’ dalam I. Wibowo & F. Wahono (eds), Neoliberalisme, Yogyakarta: CPS, 2003, hlm. 47-84.
[7] Lihat B. Herry-Priyono, 2003, op.cit.
[8] Lihat B. Herry-Priyono dan Yanuar Nugroho (2001), op.cit.
[9] Lihat Alvaro J. de Regil, Neoliberalism and Its Dogma: The Implications of its Philosophical Postulates, The Jus Semper Global Alliance, 2003. Di sana ia menggambarkan corpocracy sebagai munculnya secara dramatis sentralitas sosok kekuasaan perusahaan-perusahaan raksasa dalam tata ekonomi politik global yang menentukan semakin banyak aspek kehidupan kita, mulai dari makanan, minuman, pakaian, kendaraan sampai film dan musik yang kita dengar.
[10] Medard Gabel & Henry Bruner, Global Inc.: An Atlas of the Multinational Corporation, New York: The New Press, 2003, hlm. 31.
[11] Lihat B. Herry-Priyono dan Yanuar Nugroho (2001), op.cit.
[12] Sumber: The Wall Street Journal (Career Journal), 5 Maret 2003. Catatan : [1]. Kisaran kompensasi ini disusun berdasarkan angka terendah ( low salaries) dan tertinggi (high salaries) serta angka rata-rata ( average) untuk masing-masing posisi jabatan. [2]. Angka gaji terendah merupakan angka rata-rata dari 1/3 sampling frame populasi dan angka gaji tertinggi merupakan angka rata-rata dari 2/3 sampling frame populasi. Angka rata-rata (average) merupakan rata-rata keseluruhan sampling frame populasi. [3]. Bonus merupakan insentif dalam bentuk tunai yang diberikan dalam jangka waktu kerja tertentu. Bonus bisa berupa opsi saham, variable pay, bonus, penghargaan, dan komisi. [4]. Benefit merupakan kompensasi bukan tunai yang diterima berdasarkan angka estimasi rata-rata total sampling populasi.
[13] Lihat di www.who.int
—Susan George, dalam A Short History of Neoliberalism
pada Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Maret, 1999
Kasihan Yuni. Demikian juga dengan ribuan atau jutaan Yuni yang lain di muka bumi ini.
Terlena oleh iklan sesat yang memancing basic instinctnya sebagai manusia lemah, mereka menjadi korban keserakahan penumpukan laba besar-besaran. Betapa tidak, majalah The Economist [2] yang dikutip oleh Noreena Hertz[3] memaparkan bahwa dalam periode 1975 hingga 1996 diklaim sudah ditemukan 1.223 jenis obat baru. Namun, hanya 13 di antaranya dibuat untuk menangani berbagai penyakit tropis yang merenggut jutaan jiwa seperti malaria, tipus-kolera-disentri, demam berdarah, dan lain-lain. Sisanya?, adalah obat anti gemuk, penghalus kulit wajah, penghilang kerut, dan berbagai obat kosmetik lainnya[4]. Lepas dari tingkat kemanjurannya, jelas pasar obat-obat seperti ini sebagian besar adalah mereka seperti Yuni, yang mudah terlena dan tergiur oleh iklan.
Bagaimana kita memahami gejala semacam ini?
Gejala Baru: Tata Ekonomi Politik Baru
Sebuah tata eknonomi politik baru sedang melaju. Ia bukan gejala alamiah, namun bukan pula gerak sejarah yang tak terelak. Gejala ini lahir dari revolusi ekonomi liberal. Jantungnya adalah dilepasnya hak istimewa atas modal d ari berbagai tata aturan teritorial maupun nasional . Gejala ini melahirkan sebuah monster baru dalam skala global, yaitu kekuatan bisnis internasional. Nama gejala ini adalah ‘neo-liberalisme’[5].
Apa neo-liberalisme itu?
Menurut seorang ekonom B-Herry Priyono, arti neo-liberalisme…
“ …dapat diringkas dalam dua lapis definisi. Pertama, neo-liberalisme adalah faham/agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo oeconomicus atas dimensi lain dalam diri manusia (homo culturalis, zoon politikon, homo socialis, dsb). Kedua, sebagai kelanjutan pokok pertama, neo-liberalisme kemudian juga bisa dipahami sebagai dominasi sektor finansial atas sektor riil dalam tata ekonomi-politik. Definisi yang pertama lebih menunjuk ‘kolonisasi eksternal’ homo oeconomicus atas berbagai dimensi antropologis lain dalam multi-dimensionalitas manusia, sedangkan definisi yang k
edua menunjuk ‘kolonisasi internal’ homo financialis atas aspek-aspek lain dalam multi-dimensionalitas tata homo oeconomicus itu sendiri.”[6]
Kedua, gagasan ekonomi politik neo-liberal adalah argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu lintas modal yang dimiliki oleh pribadi (orang-perorangan) dilepaskan dari kaitannya dengan proses survival sosial dan ditujukan semata untuk akumulasi laba. Bagi mereka yang pernah sedikit belajar ekonomi, mungkin jelas bedanya dua hal ini. Bila dalam liberalisme klasik (misalnya menurut Adam Smith) kepemilikan privat masih dianggap punya tugas sosial untuk menyejahterakan seluruh masyarakat, dalam neo-liberalisme kepemilikan privat tersebut sudah demikian absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat (misalnya gagasan Milton Friedman)[7].
Maka, ketika kita berbicara mengenai globalisasi ekonomi, kita sesungguhnya tengah bicara mengenai tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal. Di dalamnya, ada tiga hal. Pada (1) tataran tindakan, tata kekuasaan global ini bertumpu pada praktek bisnis raksasa lintas negara, (2) pelakuutamanya adalah perusahaan-perusahaan transnasionaldan (3) proses kultural idelologis yang dibawa adalah konsumerisme. Bagaimana ia bekerja?
Dalam globalisasi, praktik perdagangan bisnis transnasional didorong dan didukung oleh regulasi/kesepakatan internasional, yang kerap disebut sebagai aturan baru seperti GATT (General Agreements on Tariffs & Trade), GATS (General Agreements on Trade in Services), TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights), TRIMs (Trade Related Investment Measures), AoA (Agreement on Agriculture), dll. Pada saat yang sama ideologi konsumerisme juga didorong oleh kekuasaan luar biasa dari bisnis periklanan dalam bentuk logo, merk, dan label. Di bawah sadar ditanamkan prinsip kenikmatan, prestise, status, kemewahan pada banyak individu. Karenanya, akan lebih mudah dipahami bahwa ketika berbagai aturan baru tersebut mendesak berbagai negara untuk menerima mantra deregulasi, liberalisasi, privatisasi. Pada saat yang sama gaya hidup global, budaya, identitas yang diiklankan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Lihat diagram di bawah ini.
Sumber: Yanuar Nugroho, Reinventing Globalisation, The Jakarta Post, 30 December 2002)
Ketiga hal ini berakar pada makin keramatnya hak pribadi untuk menumpuk laba . Untuk itulah, maka modal terus bergerak memburu kawasan-kawasan yang mendatangkan laba paling besar. Dan kawasan itu tidak saja berarti teritorial, melainkan semua bidang gerak. Maka disinilah kita berada pada periode dimana berbagai kawasan itu dijarah: kultur, hukum, politik, ilmu, tradisi, dan berbagai aspek dari kehidupan bersama secara intensif mengalami proses komersialisasi.
Maka, jelas jika agenda peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, demokrasi, perlindungan anak-anak, perempuan dan hak-hak asasi tidak menjadi prioritas. Artinya, kalau proses akumulasi laba ini juga diikuti peningkatan kesejahteraan, ya syukurlah. Tetapi kalaupun tidak, memang hal itu tidak pernah menjadi tujuan dari logika akumulasi laba. Meningkatnya kesejahteraan hanyalah akibat dan bukan tujuan dari gejala neo-liberalisme ini. Begitu juga dengan demokrasi dan hak-hak asasi manusia[8]. Dalam arus gejala ini, presiden boleh ganti, pemerintahan dan kabinet boleh berubah-ubah, bahkan dengan cara-cara yang sangat demokratis. Namun, yang lolos dari proses demokratisasi ini adalah kinerja akumulasi laba yang bebas keluar masuk suatu negara tanpa melalui pemilu. Dan akibatnya sungguh dahsyat. Kekuasaan rakyat (democracy) yang diwujudkan dalam pemerintahan negara telah digilas oleh kekuatan uang dalam wajah kekuasaan korporasi (corpocracy), seperti digagas oleh Alvaro J. de Regil (2003)[9].
Dicatat oleh Medard Gabel dan Henry Bruner dalam bukunya Global Inc. (2004), corpocracy itu berekspansi secara drastis dari 3.077 (tahun 1914), ke 39.463 (1994), menjadi 63.312 perusahaan transnasional di tahun 2000. Sekitar 85% persediaan gandum di dunia dikuasai 6 perusahaan transnasional; lima perusahaan transnasional menguasai 90% dari industri musik; 7 perusahaan menguasai 95% industri film dunia dan 75% industri mobil dunia ada di tangan 6 perusahaan mobil[10].
Gejala Baru – Refleksi Baru
Selama ini, pembicaraan mengenai demokrasi dilakukan dengan pengandaian bahwa negara (dalam rupa pemerintah) adalah pemegang kekuasaan tertinggi masyarakat. Namun ingat, bahwa gagasan ini muncul dari sejarah melawan monarki pada abad 17-18. Dalam tata kekuasaan waktu itu, demokrasi merupakan gerakan untuk mengontrol kekuasaan monarki, karena kekuasaan merekalah yang punya konsekuensi paling besar terhadap hidup bersama.Namun apa yang konstan dari target demokratisasi bukanlah sultan, raja, presiden, kaisar atau bahkan militer, melainkan setiap penggunaan kekuasaan yang punya konsekuensi pada hidup bersama. Bahwa pada saat itu sosok kekuasaan tersebut berupa raja, presiden atau perdana menteri, adalah kontingensi historis(historical contingency) dan bukan keniscayaan logis (logical necessity).Tuntutan logisdari gerakan demokrasi adalah kontrol terhadap bentuk-bentuk praktek kekuasaan yang punya konsekuensi pada hidup bersama.
Saat ini, dalam kontingensi historis yang bertumpu akumulasi modal, muncul berbagai kekuasaan baru yang praktiknya punya konsekuensi besar pada hidup masyarakat. Salah satu yang terpenting adalah corpocracy tadi. Maka, pembicaraan mengenai tata dunia global tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis yang kini menggurita adalah wacana tanpa substansi. Namun, sebaliknya juga konsekuensinya: setiap wacana demokrasi tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis adalah wacana yang kekurangan isi[11]. Mengapa? Dalam benang ruwet kekusaan bisnis itu ada tersembunyi soal akuntabilitas yang tak tersentuh.
Mari kita lihat fakta sederhana berikut. Berapa besar gaji yang layak diterima seorang pimpinan puncak perusahaan (Chief Executive Officer, CEO) di Indonesia? Sementara benar bahwa pertanyaan ini secara normatif sulit djawab karena rumit, tergantung besar kecilnya perusahaan, jenis industri yang digeluti, kinerja perusahaan, dan sebagainya—Wall Street Journal punya jawaban itu. Per 5 Maret 2003, umumnya seorang CEO perusahaan besar di Indonesia rata-rata bergaji pokok Rp1,78 miliar per tahun. Kisaran gajinya, terendah Rp1,39 miliar dan paling tinggi Rp 4,8 miliar. Itu per tahun. Khusus di Jakarta, rata-rata gaji yang diterima para CEO lebih besar lagi. Data tersebut menyatakan bahwa umumnya para CEO di Jakarta menerima gaji pokok Rp1,98 miliar per tahun. Kisarannya, paling rendah per tahun seorang CEO di Jakarta menerima gaji pokok Rp1,55 miliar dan paling tinggi Rp5,37 miliar[12].
Maka, jika untuk gaji saja perusahaan mampu membayar setinggi itu, mengapa tidak hukum dan aturan dibeli untuk memuluskan sebuah praktik bisnis? Mengapa tidak kebutuhan masyarakat direkayasa? Maka soal pembuangan limbah, upah buruh atau hak konsumen mendapat informasi yang layak tentang sebuah produk, tak lebih rumit dari sebuah urusan bisnis biasa sehari-hari: jual-beli.
Catatan Akhir
Tahun 2002, WHO mengeluarkan laporan mengerikan. Empat juta orang mati karena infeksi saluran pernapasan; 2,2 juta kehilangan nyawa karena tipus, kolera, disentri; 1,7 juta jiwa melayang karena TBC; 1 juta tewas karena malaria dan 900.000 meninggal karena demam berdarah, sementara 3 juta lainnya mati karena AIDS[13]. Kehendak Tuhan? Di ujung refleksi, nampaknya tidak demikian. Kecuali kita mengakui bahwa seluruh hidup bersama kita, termasuk kesehatan adalah sebuah arena pencarian untung, kita tidak akan bisa memahami fenomena semacam itu, fenomena yang kini makin nampak seperti takdir tak terelak.
Gejala neo-liberal adala fakta tak terbantah dimana uang secara praktis sudah menjadi adidaya. Kepentingan politik bisa dibeli, hukum bisa ditekuk, aturan bisa ditarik ulur. Bahkan, hidup bisa diperjualbelikan. Maka, jangankan seorang Yuni, negara sebagai badan publik pun sudah tidak berdaya, bertekuk lutut di bawah kekuasaan kapital di jaman ini. (Yanuar Nugroho*)
***
*Pegiat sosial di The Business Watch Indonesia dan Uni Sosial Demokrat Jakarta
Mahasiswa pascasarjana pada PREST (Policy Research in Engineering, Science & Technology), The University of Manchester, Inggeris Raya
[1] Vitamin E hanya larut dalam lemak dan diserap bersamaan dengan lemak untuk kemudian masuk ke dalam darah dengan lipoprotein tertentu. Sebagai pelengkap, lihat Republika:
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=2&id=162555&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=204
[2] Lihat The Economist, 10 Nopember 2001
[3] Lihat Noreena Hertz, The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy, London: William Heinemann, 2001.
[4] Porsi terbesar dana untuk riset obat-obatan dilakukan untuk riset kosmetik, anti gemuk dan kecantikan. Tahun 1998, dari 70 milyar dollar alokasi riset obat, hanya 300 juta dollar (0,43%) diperuntukkan riset obat AIDS dan 100 juta dollar (0,14%) untuk riset obat malaria. Lihat Noreena Hertz, op.cit.
[5] Lihat B. Herry Priyono dan Yanuar Nugroho dalam Selamat Datang Jaman Baru, Sinar Harapan, dimuat bersambung 5-6 September 2001
[6] Lihat B. Herry-Priyono, ‘Marginalisasi a la Neo Liberal’, Basis, Mei-Juni, 2004. Lihat juga B. Herry-Priyono ‘Dalam Pusaran Neoliberalisme’ dalam I. Wibowo & F. Wahono (eds), Neoliberalisme, Yogyakarta: CPS, 2003, hlm. 47-84.
[7] Lihat B. Herry-Priyono, 2003, op.cit.
[8] Lihat B. Herry-Priyono dan Yanuar Nugroho (2001), op.cit.
[9] Lihat Alvaro J. de Regil, Neoliberalism and Its Dogma: The Implications of its Philosophical Postulates, The Jus Semper Global Alliance, 2003. Di sana ia menggambarkan corpocracy sebagai munculnya secara dramatis sentralitas sosok kekuasaan perusahaan-perusahaan raksasa dalam tata ekonomi politik global yang menentukan semakin banyak aspek kehidupan kita, mulai dari makanan, minuman, pakaian, kendaraan sampai film dan musik yang kita dengar.
[10] Medard Gabel & Henry Bruner, Global Inc.: An Atlas of the Multinational Corporation, New York: The New Press, 2003, hlm. 31.
[11] Lihat B. Herry-Priyono dan Yanuar Nugroho (2001), op.cit.
[12] Sumber: The Wall Street Journal (Career Journal), 5 Maret 2003. Catatan : [1]. Kisaran kompensasi ini disusun berdasarkan angka terendah ( low salaries) dan tertinggi (high salaries) serta angka rata-rata ( average) untuk masing-masing posisi jabatan. [2]. Angka gaji terendah merupakan angka rata-rata dari 1/3 sampling frame populasi dan angka gaji tertinggi merupakan angka rata-rata dari 2/3 sampling frame populasi. Angka rata-rata (average) merupakan rata-rata keseluruhan sampling frame populasi. [3]. Bonus merupakan insentif dalam bentuk tunai yang diberikan dalam jangka waktu kerja tertentu. Bonus bisa berupa opsi saham, variable pay, bonus, penghargaan, dan komisi. [4]. Benefit merupakan kompensasi bukan tunai yang diterima berdasarkan angka estimasi rata-rata total sampling populasi.
[13] Lihat di www.who.int
Senin, 27 Juli 2020
[Pikir] Menikah atau Melajang? Sebuah Refleksi Atas Pilihan Hidup Dalam Mengekspresikan CINTA
"?.Ternyata sepatu kaca itu sangat cocok menggunakan kaki Cinderella. Maka, dibawalah Cinderella ke Istana sang Pangeran. Akhirnya, Sang Pangeran & Cinderella menikah, & mereka hidup bahagia selama-lamanya."
Tentunya cerita di atas telah tidak asing lagi di indera pendengaran kita, apalagi para gadis & remaja putri. Ada poly cerita & dongeng lainnya yang seperti dengan dongeng Cinderella ini, pada mana seorang gadis manis tapi miskin dan malang, atau gadis menurut kalangan rakyat biasa, yang seumur hidupnya menderita (lantaran bunda tiri & saudara tiri perempuan yang dursila & kejam), akhirnya menikah dengan seorang Pangeran yang akan datang padanya. Pada akhir cerita selalu digambarkan sang gadis menikah menggunakan Pangeran & mereka hidup senang selamanya.
Dongeng yg dikenal semenjak kecil ini menjadi begitu melegenda dan menginternalisasi dalam diri anak-anak perempuan . Terutama mereka yg merasa menderita, miskin dan nir senang , selalu punya harapan bahwa suatu saat akan datang oleh Pangeran bagi mereka, & akan membawa mereka ke pernikahan yang membahagiakan, mengakhiri segala penantian dan penderitaan mereka.
Gejala atau sindrom seperti ini pada akhirnya tidak hanya melanda para perempuan yang miskin dan tertindas oleh ibu tiri dan saudara tirinya, tetapi telah melanda seluruh lapisan perempuan (dan seluruh sistem masyarakat yang bukan perempuan). Sindrom yang dikenal sebagai Cinderella Complex [1] ini secara tidak sadar telah melegitimasi konstruksi sosial yang terlanjur dianggap kodrat dan alamiah : bahwa panggilan dan kodrat setiap manusia adalah menikah. Di situlah puncak kebahagiaan bisa dicapai.
Lalu Mengapa Dengan Pernikahan?
Di luar makna persetubuhan itu sendiri, pernikahan sebenarnya bukan suatu yang semata-mata alamiah saja. Ia juga bukan merupakan sebuah kewajiban sosial yang menafikan kehendak bebas setiap individunya. Seringkali memang pernikahan hanya dipandang sebagai sebuah kontrak sosial yang harus dipatuhi, yang akan mendapatkan sanksi bila tidak dilaksanakan. Pernikahan dalam konteks sosio-kultural pada akhrinya hampir selalu berarti konstruksi. Telah terjadi proses rasionalisasi pelegitimasian dalam pernikahan, yang berarti pula institusionalisasi pernikahan. Dengan demikian ada berbagai kepentingan masuk dan mewarnai pernikahan. Termasuk dalam kepentingan itu adalah komersialisasi pernikahan, penghegemonian kuasa negara dan agama serta adat, dan di atas itu, ada kepentingan patriarkhisme di sana.
Di Indonesia, secara eksplisit & diakomodir oleh aturan, serta ditunjang oleh institusi agama, negara sudah ikut campur tangan pada pilihan perkawinan. Perkawinan antar kepercayaan tidak diperbolehkan, atau minimal dipersulit dengan mekanisme birokrasi & uang yang nir sedikit. Dalam perkara perkawinan antar bangsa, pihak wanita sanggup kehilangan hak kewarganegaraannya hanya lantaran pernikahan.
Selain demi pemurnian keturunan dan ras, rekayasa kultur telah menggiring pernikahan sebagai lembaga pewaris & pelindungan hak kepemilikan. Mulai berdasarkan pewaris tradisi, nilai-nilai hingga kekayaan material, yg ujung-ujungnya merupakan pewarisan kekuasan, dijaga terus dengan alasan pernikahan. Kelangsungan warisan dapat diukur menurut kentara-tidaknya perkawinan & dalam lingkup tradisi apa perkawinan itu disahkan.
Perkawinan atau pernikahan juga bisa menjadi lembaga penjamin stabilitas perekonomian dan tenaga kerja. Bagi kalangan marjinal, institusionalisasi perkawinan yang meriah, birokratis dan glamour sangat jauh dari realita mereka. Alasan material atau ekonomi dan penyediaan tenaga kerja seringkali menjadi faktor dominan bagi keberlangsungan sebuah perkawinan. Bagi keluarga menengah ke atas, perkawinan menjadi sebuah ajang prestise dan memamerkan kemampuan ekonomi serta kekuasaan mereka. Dalam masyarakat modern, pengesahan perkawinan bukan merupakan ritual yang murah dan mudah. Ada banyak sumber daya dan energi serta pengorbanan yang dibutuhkan bagi pengatualisasian hegemoni kekuasaan melalui lembaga perkawinan ini. Akhirnya, lembaga perkawinan sangat berpotensi jatuh menjadi lembaga borjuis dan menjadi ajang obyektifikasi manusia.
Lewat pernikahan yg dilembagakan inilah, negara (& pula agama dan budaya) mengontrol dan mengatur warganya. Kontrol lewat lembaga perkawinan yg menghasilkan keluarga ini terbukti cukup efektif pada Indonesia selama ini. Mulai dari pengenalan konsep Ibuisme[2], kontrol atas Pegawai Negeri & ABRI, sampai dalam kontrol atas reproduksi perempuan lewat program KB. Lewat Undang-Undang Perkawinan dan PP 10, negara mendapat legitimasi buat mengatur kehidupan perkawinan dan seksual warganya.
Dengan demikian, perkawinan menjadi sebuah institusi yg sarat menggunakan kekuasaan yg hegemonis, dan cenderung merepresi orang-orang yang terdapat di dalamnya, apalagi yg tidak termasuk pada dalamnya.
Lantas, Apakah Melajang Menjadi Sebuah Pilihan Alternatif?
Walaupun selama ini posisi pelajang berada di batas terdapat & tiada, namun justru menggunakan kehadiran para pelajang, pernikahan bisa dikembalikan pada posisi alamiahnya yg lebih adil dan setara. Karena pelajang mempunyai kiprah penting pada pendefinisian sebuah makna maupun pada pemaknaan sebuah bukti diri (baik pada lingkup langsung, sosio kultural, politis, juga ideologis).
Masing-masing manusia lengkap & utuh pada dirinya, bukan 1/2 manusia. Maka, tidak wajib melalui lembaga perkawinan, seorang manusia baru bisa menjadi sepenuhnya insan, & buat saling melengkapi. Dalam diri setiap manusia (wanita, laki-laki , & yg tidak dikategorikan keduanya) masing-masing mengandung unsur feminitas dan maskulinitas pada dirinya sendiri. Tidak dikotomis & dualistis, nir terpisah dan tidak rimpang. Pilihan untuk tidak menikah atau melajang justru ingin menguak kapasitas diri buat menyeimbangkan diri dan menuju dalam keutuhan diri, justru dengan menempatkan diri pada posisi ?Bebas buat?.
Melajang atau tidak menikah memang bukan pilihan satu-satunya dan mutlak. Ia adalah pengalaman konkret. Ia bukan pula karena “jomblo sepanjang hidup”, "tidak laku", atau "tidak normal". Ia merupakan pilihan karena pengalaman interseksualitas sendiri menyiratkan berbagai peluang berelasi.
Kesadaran buat memilih melajang bisa jadi merupakan suatu bentuk penghargaan terhadap tubuh dan seksualitas yang nir tunggal/seragam. Kesadaran akan reaksi-reaksi kimia yang menimbulkan berbagai gejolak emosi yg umumnya disebut CINTA itulah yg membawa orang semakin mendalami ekspresi-aktualisasi diri relasi interseksualitasnya.
Mengutip terminologi yg digunakan sang Victor Turner, para pelajang ini bisa sebagai komunitas liminal, di mana distingsi seksualitas sebagai nir nyata. Sebagai komunitas liminal, mereka punya potensi besar menjadi agen transformasi sosial, yang membawa pemaknaan baru bagi kebudayaan insan.
Pada Akhirnya?
Melajang, menikah atau hidup bersama menggunakan pasangannya adalah beragam bentuk pilihan hidup masing-masing orang. Pilihan bentuk rekanan ini nir akan pernah dilepaskan menurut relasi sosial yg lebih luas, antar masyarakat pada institusi-institusinya. Namun setidaknya, biarlah masing-masing eksklusif sanggup memperoleh ruangnya buat bertanggungjawab bagi hidupnya menggunakan memberi ruang bagi kehendak bebasnya buat menciptakan pilihan yg diyakininya membahagiakan! Kekuasaan dalam bentuknya yg paling romantis sekalipun tetaplah punya potensi buat menghegemoni & menimbulkan keterkungkungan, ketidakadilan, & pula ketidakbahagiaan.
Biarkan setiap manusia yg kebetulan terlahir sebagai wanita, pria ataupun yg nir dipercaya kedua-duanya?.
Memiliki kuas dan kanvasnya sendiri,
Menorehkan sapuan rona-warninya sendiri,
Di atas cakrawala, di antara bentangan langit, & pada atas bumi yg berputar & terus berputar?.
Karna setiap orang adalah pelukis,
Karna setiap orang merupakan penari,
Yang mungkin melakukannya tunggal,
Duet, trio, atau kuartet?
Biarkan setiap insan yang kebetulan terlahir sebagai wanita, laki-laki maupun yg tidak dianggap kedua-duanya?
Melukis & menari lukisan dan tariannya masing-masing?.
Melukis & menari bersama kosmis, mengikuti hati & insting, beserta kehendak bebas yg melayang?.
(Intan)
[1] Istilah ini diperkenalkan sang Collete Dowling buat mendefinisikan insiden psikologis wanita dalam perkawinan.
[2] Istilah ini diperkenalkan sang Julia I. Suryakusuma; yg mengacu pada konsep wanita yg dikonstruksi oleh pemerintah Orde Baru; dimana perempuan hanya dicermati sebagai istri yg keberadaannya tergantung pada suami, famili dan negara.
Tentunya cerita di atas telah tidak asing lagi di indera pendengaran kita, apalagi para gadis & remaja putri. Ada poly cerita & dongeng lainnya yang seperti dengan dongeng Cinderella ini, pada mana seorang gadis manis tapi miskin dan malang, atau gadis menurut kalangan rakyat biasa, yang seumur hidupnya menderita (lantaran bunda tiri & saudara tiri perempuan yang dursila & kejam), akhirnya menikah dengan seorang Pangeran yang akan datang padanya. Pada akhir cerita selalu digambarkan sang gadis menikah menggunakan Pangeran & mereka hidup senang selamanya.
Dongeng yg dikenal semenjak kecil ini menjadi begitu melegenda dan menginternalisasi dalam diri anak-anak perempuan . Terutama mereka yg merasa menderita, miskin dan nir senang , selalu punya harapan bahwa suatu saat akan datang oleh Pangeran bagi mereka, & akan membawa mereka ke pernikahan yang membahagiakan, mengakhiri segala penantian dan penderitaan mereka.
Gejala atau sindrom seperti ini pada akhirnya tidak hanya melanda para perempuan yang miskin dan tertindas oleh ibu tiri dan saudara tirinya, tetapi telah melanda seluruh lapisan perempuan (dan seluruh sistem masyarakat yang bukan perempuan). Sindrom yang dikenal sebagai Cinderella Complex [1] ini secara tidak sadar telah melegitimasi konstruksi sosial yang terlanjur dianggap kodrat dan alamiah : bahwa panggilan dan kodrat setiap manusia adalah menikah. Di situlah puncak kebahagiaan bisa dicapai.
Lalu Mengapa Dengan Pernikahan?
Di luar makna persetubuhan itu sendiri, pernikahan sebenarnya bukan suatu yang semata-mata alamiah saja. Ia juga bukan merupakan sebuah kewajiban sosial yang menafikan kehendak bebas setiap individunya. Seringkali memang pernikahan hanya dipandang sebagai sebuah kontrak sosial yang harus dipatuhi, yang akan mendapatkan sanksi bila tidak dilaksanakan. Pernikahan dalam konteks sosio-kultural pada akhrinya hampir selalu berarti konstruksi. Telah terjadi proses rasionalisasi pelegitimasian dalam pernikahan, yang berarti pula institusionalisasi pernikahan. Dengan demikian ada berbagai kepentingan masuk dan mewarnai pernikahan. Termasuk dalam kepentingan itu adalah komersialisasi pernikahan, penghegemonian kuasa negara dan agama serta adat, dan di atas itu, ada kepentingan patriarkhisme di sana.
Di Indonesia, secara eksplisit & diakomodir oleh aturan, serta ditunjang oleh institusi agama, negara sudah ikut campur tangan pada pilihan perkawinan. Perkawinan antar kepercayaan tidak diperbolehkan, atau minimal dipersulit dengan mekanisme birokrasi & uang yang nir sedikit. Dalam perkara perkawinan antar bangsa, pihak wanita sanggup kehilangan hak kewarganegaraannya hanya lantaran pernikahan.
Selain demi pemurnian keturunan dan ras, rekayasa kultur telah menggiring pernikahan sebagai lembaga pewaris & pelindungan hak kepemilikan. Mulai berdasarkan pewaris tradisi, nilai-nilai hingga kekayaan material, yg ujung-ujungnya merupakan pewarisan kekuasan, dijaga terus dengan alasan pernikahan. Kelangsungan warisan dapat diukur menurut kentara-tidaknya perkawinan & dalam lingkup tradisi apa perkawinan itu disahkan.
Perkawinan atau pernikahan juga bisa menjadi lembaga penjamin stabilitas perekonomian dan tenaga kerja. Bagi kalangan marjinal, institusionalisasi perkawinan yang meriah, birokratis dan glamour sangat jauh dari realita mereka. Alasan material atau ekonomi dan penyediaan tenaga kerja seringkali menjadi faktor dominan bagi keberlangsungan sebuah perkawinan. Bagi keluarga menengah ke atas, perkawinan menjadi sebuah ajang prestise dan memamerkan kemampuan ekonomi serta kekuasaan mereka. Dalam masyarakat modern, pengesahan perkawinan bukan merupakan ritual yang murah dan mudah. Ada banyak sumber daya dan energi serta pengorbanan yang dibutuhkan bagi pengatualisasian hegemoni kekuasaan melalui lembaga perkawinan ini. Akhirnya, lembaga perkawinan sangat berpotensi jatuh menjadi lembaga borjuis dan menjadi ajang obyektifikasi manusia.
Lewat pernikahan yg dilembagakan inilah, negara (& pula agama dan budaya) mengontrol dan mengatur warganya. Kontrol lewat lembaga perkawinan yg menghasilkan keluarga ini terbukti cukup efektif pada Indonesia selama ini. Mulai dari pengenalan konsep Ibuisme[2], kontrol atas Pegawai Negeri & ABRI, sampai dalam kontrol atas reproduksi perempuan lewat program KB. Lewat Undang-Undang Perkawinan dan PP 10, negara mendapat legitimasi buat mengatur kehidupan perkawinan dan seksual warganya.
Dengan demikian, perkawinan menjadi sebuah institusi yg sarat menggunakan kekuasaan yg hegemonis, dan cenderung merepresi orang-orang yang terdapat di dalamnya, apalagi yg tidak termasuk pada dalamnya.
Lantas, Apakah Melajang Menjadi Sebuah Pilihan Alternatif?
Walaupun selama ini posisi pelajang berada di batas terdapat & tiada, namun justru menggunakan kehadiran para pelajang, pernikahan bisa dikembalikan pada posisi alamiahnya yg lebih adil dan setara. Karena pelajang mempunyai kiprah penting pada pendefinisian sebuah makna maupun pada pemaknaan sebuah bukti diri (baik pada lingkup langsung, sosio kultural, politis, juga ideologis).
Masing-masing manusia lengkap & utuh pada dirinya, bukan 1/2 manusia. Maka, tidak wajib melalui lembaga perkawinan, seorang manusia baru bisa menjadi sepenuhnya insan, & buat saling melengkapi. Dalam diri setiap manusia (wanita, laki-laki , & yg tidak dikategorikan keduanya) masing-masing mengandung unsur feminitas dan maskulinitas pada dirinya sendiri. Tidak dikotomis & dualistis, nir terpisah dan tidak rimpang. Pilihan untuk tidak menikah atau melajang justru ingin menguak kapasitas diri buat menyeimbangkan diri dan menuju dalam keutuhan diri, justru dengan menempatkan diri pada posisi ?Bebas buat?.
Melajang atau tidak menikah memang bukan pilihan satu-satunya dan mutlak. Ia adalah pengalaman konkret. Ia bukan pula karena “jomblo sepanjang hidup”, "tidak laku", atau "tidak normal". Ia merupakan pilihan karena pengalaman interseksualitas sendiri menyiratkan berbagai peluang berelasi.
Kesadaran buat memilih melajang bisa jadi merupakan suatu bentuk penghargaan terhadap tubuh dan seksualitas yang nir tunggal/seragam. Kesadaran akan reaksi-reaksi kimia yang menimbulkan berbagai gejolak emosi yg umumnya disebut CINTA itulah yg membawa orang semakin mendalami ekspresi-aktualisasi diri relasi interseksualitasnya.
Mengutip terminologi yg digunakan sang Victor Turner, para pelajang ini bisa sebagai komunitas liminal, di mana distingsi seksualitas sebagai nir nyata. Sebagai komunitas liminal, mereka punya potensi besar menjadi agen transformasi sosial, yang membawa pemaknaan baru bagi kebudayaan insan.
Pada Akhirnya?
Melajang, menikah atau hidup bersama menggunakan pasangannya adalah beragam bentuk pilihan hidup masing-masing orang. Pilihan bentuk rekanan ini nir akan pernah dilepaskan menurut relasi sosial yg lebih luas, antar masyarakat pada institusi-institusinya. Namun setidaknya, biarlah masing-masing eksklusif sanggup memperoleh ruangnya buat bertanggungjawab bagi hidupnya menggunakan memberi ruang bagi kehendak bebasnya buat menciptakan pilihan yg diyakininya membahagiakan! Kekuasaan dalam bentuknya yg paling romantis sekalipun tetaplah punya potensi buat menghegemoni & menimbulkan keterkungkungan, ketidakadilan, & pula ketidakbahagiaan.
Biarkan setiap manusia yg kebetulan terlahir sebagai wanita, pria ataupun yg nir dipercaya kedua-duanya?.
Memiliki kuas dan kanvasnya sendiri,
Menorehkan sapuan rona-warninya sendiri,
Di atas cakrawala, di antara bentangan langit, & pada atas bumi yg berputar & terus berputar?.
Karna setiap orang adalah pelukis,
Karna setiap orang merupakan penari,
Yang mungkin melakukannya tunggal,
Duet, trio, atau kuartet?
Biarkan setiap insan yang kebetulan terlahir sebagai wanita, laki-laki maupun yg tidak dianggap kedua-duanya?
Melukis & menari lukisan dan tariannya masing-masing?.
Melukis & menari bersama kosmis, mengikuti hati & insting, beserta kehendak bebas yg melayang?.
(Intan)
[1] Istilah ini diperkenalkan sang Collete Dowling buat mendefinisikan insiden psikologis wanita dalam perkawinan.
[2] Istilah ini diperkenalkan sang Julia I. Suryakusuma; yg mengacu pada konsep wanita yg dikonstruksi oleh pemerintah Orde Baru; dimana perempuan hanya dicermati sebagai istri yg keberadaannya tergantung pada suami, famili dan negara.
Sabtu, 25 Juli 2020
[Pikir] Pluralisme, Sekarang dan Esok
Dalam rubrik catatan pinggir Tempo edisi 6 Maret 1982, Goenawan Mohamad mengulas kisah Nathan karya Gotthold Lessing yg terbit tahun 1779 berjudul Nathan der Weise, yg setidaknya telah menaruh citra bahwa memiliki pandangan yang tidak sinkron & penghargaan dalam keanekaragaman, merupakan perilaku yg penuh resiko.
Latar belakang pada karya tadi merupakan masa perang salib yg sudah memasuki gelombang keempat, di mana konflik antara mereka yg Nasrani dan Islam, bahkan Yahudi masih terus berkobar.
Ada dialog yg menarik pada karya itu ketika Saladin, Gubernur Yerusalem yg Islam dan populer berbudi, bertanya kepada Nathan yg Yahudi dan populer bijak. Saladin menanyakan apa kepercayaan yg terbaik bagi Nathan. Pertanyaan itu tidak dijawab eksklusif oleh Nathan, tapi melalui ibarat. Ia mengisahkan seseorang ayah yg menyayangi ketiga puteranya & menaruh mereka masing-masing cincin yang sebentuk dan sebangun. Masalah ada waktu oleh ayah mangkat , karena ketiga putra tersebut berdebat & berselisih tentang cincin mana yg sejati. Itulah ibarat, terdapat cincin Yudaisme, ada cincin Nasrani, terdapat cincin Islam. Setiap cincin adalah sejati, kata Nathan, sepanjang ia membuat orang yang memakainya punya kemuliaan hati. Dan Saladin puas dengan amsal yg disampaikan Nathan tersebut.
Ceritanya memang tidak berakhir di situ, tapi dari kisah tadi Lessing sudah menyampaikan pesan bahwa yang bijak merupakan yang tidak mengukuhi bahwa pihaknya saja yg paling benar. Lessing setidaknya sudah mewakili mereka yg percaya pada pluralisme, walaupun beliau ditentang keras oleh publik Jerman yg Protestan.
Pluralisme dewasa ini
Pandangan dan penafsiran tentang pluralisme memang sangat beragam, ada yang memandangnya secara positif tapi nir sedikit yg memahaminya secara negatif. Pandangan negatif terhadap pluralisme, khususnya di Indonesia, acapkali disebabkan ketidakmampuan mengelola antara idealitas yg mereka miliki menggunakan empiris yang terdapat. Pluralisme mengandaikan pemahaman dan kesadaran terhadap adanya keragaman kelas sosial, genre politik, budaya, kepercayaan , ras, dan sebagainya menjadi sesuatu yang pasti dan alami. Dengan demikian, perjumpaan antara nilai-nilai yang berbeda dilihat menjadi sesuatu yg positif karena setiap nilai mempunyai kelebihan masing-masing.
Tetapi realitas yang plural & nilai-nilai yang berbeda tersebut selama ini malah menjadi dilema & dijadikan alasan banyak grup atau negara buat berkonflik. Permasalahan ?Kekal? Antara Israel & Palestina, India menggunakan Pakistan, Barat dengan Timur, konflik pada bekas Uni Soviet, tak jarang dilatarbelakangi dan diperuncing sang disparitas nilai-nilai yg dianut. Yang mencoba menjembatani malah diteror dan dibunuh, misalnya yang dialami Gandhi & Yasser Arafat.
Indonesia sebenarnya mampu sebagai medan percontohan bagaimana pluralisme itu tumbuh & hayati. Telah sebagai realitas historis, adanya keragaman budaya, agama, ras, bahasa, aliran politik, dan juga kelas sosial di Indonesia. Tetapi keragaman itu selama ini malah menjadi bahan bakar permasalahan sosial dan politik. Apa yg terjadi di Aceh, Papua, Maluku, dan Poso, menandakan bahwa pluralitas yang ada tidak dipahami menjadi sesuatu yg positif. Untuk hal-hal yg lingkupnya lebih mini sebenarnya perseteruan juga banyak terjadi karena tidak adanya pemahaman dan jua pencerahan terhadap pluralitas, seperti pertarungan pada keluarga, masyarakat kampung, organisasi politik atau organisasi massa, & sebagainya
Pandangan negatif terhadap pluralisme tumbuh subur lantaran mereka mengukuhi bahwa nilai-nilai atau pihaknya saja yg paling sahih & seluruh yg tidak sama dengan mereka merupakan lawan dan harus dikalahkan. Mereka menganggap pluralisme menyembunyikan kedok atas ketidakadilan selama ini & cenderung membenarkan seluruh hal.
Harapan ke depan
Realitas yang plural, nilai-nilai yg hayati yg menghargai terhadap keragaman & sejarah perjumpaan nilai-nilai yg majemuk akan menjadi bekal yang relatif bagi perkembangan pluralisme pada global, khususnya pada negeri ini. Nilai-nilai yg menekankan penghargaan terhadap gerombolan lain yg bersumber berdasarkan ajaran kepercayaan wajib lebih dimunculkan dan dikembangkan daripada nilai-nilai yg bertentangan menggunakan itu. Misalnya pada ajaran Islam, dapat kita jumpai Firman Allah juga sabda Nabi yg menekankan bahwa perbedaan merupakan Rahmat & dengan perbedaan itu seharusnya berakibat manusia saling belajar dan saling kenal.
Sejarah pembentukan Republik ini pula bisa menjadi contoh sekaligus bekal bahwa perbedaan suku, ras, agama, bahasa, genre politik, & kelas sosial nir menjadi penghalang bagi kehidupan beserta sebuah negara. Pendiri Republik ini telah memiliki kesadaran, pemahaman, & perilaku pluralis menggunakan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan yg prosesnya dilalui menggunakan dialog.
Apabila pencerahan akan realitas yg plural tumbuh & pula nilai-nilai yg mengedepankan keragaman dipegang, maka sikap yg pluralis akan ada. Dengan begitu, setidaknya harapan terhadap kehidupan global yang lebih baik, lebih toleran, nir ada lagi luka dan sedih terus-menerus, akan terwujud. (AU)
Latar belakang pada karya tadi merupakan masa perang salib yg sudah memasuki gelombang keempat, di mana konflik antara mereka yg Nasrani dan Islam, bahkan Yahudi masih terus berkobar.
Ada dialog yg menarik pada karya itu ketika Saladin, Gubernur Yerusalem yg Islam dan populer berbudi, bertanya kepada Nathan yg Yahudi dan populer bijak. Saladin menanyakan apa kepercayaan yg terbaik bagi Nathan. Pertanyaan itu tidak dijawab eksklusif oleh Nathan, tapi melalui ibarat. Ia mengisahkan seseorang ayah yg menyayangi ketiga puteranya & menaruh mereka masing-masing cincin yang sebentuk dan sebangun. Masalah ada waktu oleh ayah mangkat , karena ketiga putra tersebut berdebat & berselisih tentang cincin mana yg sejati. Itulah ibarat, terdapat cincin Yudaisme, ada cincin Nasrani, terdapat cincin Islam. Setiap cincin adalah sejati, kata Nathan, sepanjang ia membuat orang yang memakainya punya kemuliaan hati. Dan Saladin puas dengan amsal yg disampaikan Nathan tersebut.
Ceritanya memang tidak berakhir di situ, tapi dari kisah tadi Lessing sudah menyampaikan pesan bahwa yang bijak merupakan yang tidak mengukuhi bahwa pihaknya saja yg paling benar. Lessing setidaknya sudah mewakili mereka yg percaya pada pluralisme, walaupun beliau ditentang keras oleh publik Jerman yg Protestan.
Pluralisme dewasa ini
Pandangan dan penafsiran tentang pluralisme memang sangat beragam, ada yang memandangnya secara positif tapi nir sedikit yg memahaminya secara negatif. Pandangan negatif terhadap pluralisme, khususnya di Indonesia, acapkali disebabkan ketidakmampuan mengelola antara idealitas yg mereka miliki menggunakan empiris yang terdapat. Pluralisme mengandaikan pemahaman dan kesadaran terhadap adanya keragaman kelas sosial, genre politik, budaya, kepercayaan , ras, dan sebagainya menjadi sesuatu yang pasti dan alami. Dengan demikian, perjumpaan antara nilai-nilai yang berbeda dilihat menjadi sesuatu yg positif karena setiap nilai mempunyai kelebihan masing-masing.
Tetapi realitas yang plural & nilai-nilai yang berbeda tersebut selama ini malah menjadi dilema & dijadikan alasan banyak grup atau negara buat berkonflik. Permasalahan ?Kekal? Antara Israel & Palestina, India menggunakan Pakistan, Barat dengan Timur, konflik pada bekas Uni Soviet, tak jarang dilatarbelakangi dan diperuncing sang disparitas nilai-nilai yg dianut. Yang mencoba menjembatani malah diteror dan dibunuh, misalnya yang dialami Gandhi & Yasser Arafat.
Indonesia sebenarnya mampu sebagai medan percontohan bagaimana pluralisme itu tumbuh & hayati. Telah sebagai realitas historis, adanya keragaman budaya, agama, ras, bahasa, aliran politik, dan juga kelas sosial di Indonesia. Tetapi keragaman itu selama ini malah menjadi bahan bakar permasalahan sosial dan politik. Apa yg terjadi di Aceh, Papua, Maluku, dan Poso, menandakan bahwa pluralitas yang ada tidak dipahami menjadi sesuatu yg positif. Untuk hal-hal yg lingkupnya lebih mini sebenarnya perseteruan juga banyak terjadi karena tidak adanya pemahaman dan jua pencerahan terhadap pluralitas, seperti pertarungan pada keluarga, masyarakat kampung, organisasi politik atau organisasi massa, & sebagainya
Pandangan negatif terhadap pluralisme tumbuh subur lantaran mereka mengukuhi bahwa nilai-nilai atau pihaknya saja yg paling sahih & seluruh yg tidak sama dengan mereka merupakan lawan dan harus dikalahkan. Mereka menganggap pluralisme menyembunyikan kedok atas ketidakadilan selama ini & cenderung membenarkan seluruh hal.
Harapan ke depan
Realitas yang plural, nilai-nilai yg hayati yg menghargai terhadap keragaman & sejarah perjumpaan nilai-nilai yg majemuk akan menjadi bekal yang relatif bagi perkembangan pluralisme pada global, khususnya pada negeri ini. Nilai-nilai yg menekankan penghargaan terhadap gerombolan lain yg bersumber berdasarkan ajaran kepercayaan wajib lebih dimunculkan dan dikembangkan daripada nilai-nilai yg bertentangan menggunakan itu. Misalnya pada ajaran Islam, dapat kita jumpai Firman Allah juga sabda Nabi yg menekankan bahwa perbedaan merupakan Rahmat & dengan perbedaan itu seharusnya berakibat manusia saling belajar dan saling kenal.
Sejarah pembentukan Republik ini pula bisa menjadi contoh sekaligus bekal bahwa perbedaan suku, ras, agama, bahasa, genre politik, & kelas sosial nir menjadi penghalang bagi kehidupan beserta sebuah negara. Pendiri Republik ini telah memiliki kesadaran, pemahaman, & perilaku pluralis menggunakan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan yg prosesnya dilalui menggunakan dialog.
Apabila pencerahan akan realitas yg plural tumbuh & pula nilai-nilai yg mengedepankan keragaman dipegang, maka sikap yg pluralis akan ada. Dengan begitu, setidaknya harapan terhadap kehidupan global yang lebih baik, lebih toleran, nir ada lagi luka dan sedih terus-menerus, akan terwujud. (AU)
Kamis, 23 Juli 2020
[Pikir] Dari Kedaulatan Pangan Menuju Keberdayaan Pangan
David Sutasurya [2] & Any Sulistyowati [3]
Kedaulatan pangan adalah suatu pengertian yang didasarkan pada paradigma imperialisme, di mana suatu kekuatan secara paksa mengambil kebebasan negera lain. Pengertian kedaulatan muncul sebagai pengakuan atas hak suatu negara untuk mengendalikan negaranya sendiri. Oleh karena itu dalam "Food Sovereignty: A Righ for All", Pernyataan Politik NGO/CSO pada Forum Kedaulatan Pangan di Roma, 8-13 Juni 2002 yang lalu kedaulatan pangan didefinisikan sebagai,
"HAK setiap orang, kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan-kebijakan pertanian, ketenagakerjaan, perikanan, pangan dan tanah, sesuai dengan kondisi ekologi, sosial ekonomi dan budaya mereka".
Konsep imperialisme ini kemudian diperluas namun masih menyiratkan konflik vertikal antara negara utara dan selatan atau dalam suatu negera antara pemerintah dan rakyat. Hal ini dapat kita lihat antara lain dalam turunan konsep tersebut menjadi aksi. Misalnya La Via Campesina menyatakan bahwa persoalan bukanlah masalah kekurangan pangan tetapi masalah hak atas pangan. Hak atas pangan ini dapat dicapai antara lain dengan mereformasi perdagangan global, memberikan petani kontrol akan alat-alat produksi dan pertanian berkelanjutan.
Pengaruh MNC bisa muncul di mana saja dengan banyak alternatif instrumen. Selain melalui jalur ekonomi konvensional (sebagai sebuah perusahaan), mereka memiliki lobby kuat di tingkat negera, perundingan-perundingan internasional (walaupun mereka secara resmi tidak ada wakilnya). Semua itu dapat mereka jalankan dengan basis anggaran yang kuat.
Mereka juga layaknya sebuah negara dengan basis 'rakyat' yang cukup besar dan bersifat lintas negera. Para rakyat ini terlibat, baik sebagai tenaga kerja, konsumen, pemodal, mitra bisnis atau mitra politik. Di tingkat lokal situasinya sering tampak sebagai konflik yang tidak jelas maka kawan dan mana lawan, karena tidak mudah lagi mengidentifikasi keterkaitan antara seseorang dengan suatu perusahaan multinasional, tidak seperti pada konflik antar negera atau ras.
Yang paling mutakhir adalah: Keterkaitan seseorang pada suatu perusahaan multinasional seringkali terjadi secara sukarela, karena yang bersangkutan memperoleh keuntungan dari perusahaan itu. Secara global situasinya mirip dengan yang disebutkan dalam teori imperialisme, di mana kaum buruh ‘non pemilik modal’ disogok oleh kaum pemilik modal. Dengan kenyamanan hidup yang diperolehnya ini, kaum buruh yang disogok ini menjadi apatis dan tidak peduli atau tidak sadar bahwa mereka sebenarnya adalah para budak di bawah hegemoni perusahaan multinasional dan bahwa sogokan hidup yang diperolehnya itu sebenarnya diperoleh melalui penindasan/pemerasan terhadap kelompok non pemodal lainnya. Sogokan ini seringkali muncul sebagai semacam insentif bagi seseorang untuk masuk di bawah hegemoni.
Konflik seringkali tidak terjadi melalui penindasan langsung tetapi melalui insentif agar pihak yang ditindas menyerahkan diri ke dalam hegemoni mereka. Prosesnya dilakukan melalui berbagai cara halus seperti 'penyogokan' dengan gaji besar kaum non pemodal yang berstatus sebagai staff/karyawan. Walaupun tentu saja keuntungan jauh lebih besar akan tetap diperoleh pemodal dan uang yang digunakan oleh penyogok sering diperoleh melalui penindasan/pemerasan kelompok lain (buruh atau petani) ataupun dengan menciptakan kebergantungan (yang seringkali tidak perlu) kepada produk mereka.
Dengan menggunakan sistem insentif bagi para pekerja dan penciptaan kebergantungan konsumen sebagai senjata utama, tidak sulit bagi MNC untuk mengakui kedaulatan pangan tanpa sedikitpun merubah intensitas hegemoni mereka. Dalam hal ini situasinya adalah mereka tidak 'merebut' kedaulatan tetapi masyarakatlah yang secara sukarela meyerahkan kedaulatannya di bawah hegemoni MNC.
Lalu apakah perjuangan menegakkan kedaulatan pangan menjadi efektif dalam situasi demikian ?
Tercipta sekelompok masyarakat yang hidup mewah dan apatis. Mereka merasa hidup mereka berkecukupan sehingga tidak merasa ada sesuatu yang salah. Misalnya,masalah pemerasan kelompok masyarakat yang lain untuk menghidupi kemewahan ini tanpa mengurangi keuntungan yang diperoleh pemodal tidak disadari atau terlalu dipikirkan. Mereka bahkan merasa hidup mereka bergantung pada pemodal dan tak dapat hidup tanpa mereka. Menjadi karyawan (baca: setengah budak) menjadi cita-cita kebanyakan golongan muda di Indonesia.
Kebergantungan juga tercipta antara masyarakat dan pemerintah. Hal ini dilakukan semula melalui pengambilan paksa kedaulatan di berbagai tempat melalui berbagai kebijakan[4]. Akibatnya masyarakat terbuai untuk bergantung pada pemerintah, tanpa bersikap kritis tentang siapa yang mendapatkan keuntungan terbesar pada situasi ini. Setiap ada masalah mereka bergantung pada pemerintah. Sementara itu sikap apatis yang semakin meluas ini membuat kotnrol terhadap berbagai elemen pemerintahan semakin lemah dan yang mengambil keuntungan adalah (sekali lagi) para pemodal. Akibatnya timbullah berbagai kebijakan yang sangat aspiratif kepada pemodal karena merekalah yang melakukan proses sistematis kepada berbagai elemen pemerintah. Sementara itu perkembangan sentralisasi kebijakan membuat proses mengakses kebijakan menjadi semakin mahal sehingga akhirnya para pemodallah yang paling memiliki sumberdaya untuk itu.
Contoh pada sektor pangan : kebergantungan pada BULOG untuk distribusi dan penyimpanan pangan, kebergantungan pada pemerintah untuk manajemen air.
Orang kota khususnya kalangan menengah ke atas dapat diklasifikasi sebagai masyarakat sipil manja yang disogok. Sebagian besar dari mereka adalah masyarakat apatis yang hidup dalam hedonisme. Bagaimana sumberdaya untuk menyogok kelompok masyarakat ini diperoleh?
Revolusi hijau adalah teknologi yang muncul untuk melayani masyarakat kota. Intensifikasi produksi pangan sebenarnya dibutuhkan untuk memasok makanan untuk masyarakat kota yang tidak menanam makanannya sendiri. Masyarakat desa, apalagi petani kecil dan buruh tani, tidak mendapat keuntungan dari produksi makanan ini, malah kualitas hidupnya terus menurun. Pestisida, pupuk kimia dan sistem irigasi dll semakin menurunkan kualitas lingkungan pedesaan. Melalui kebijakan makanan murah, orang desa 'dipaksa' untuk mensubsidi orang kota secara finansial. Sementara itu para pemilik hegemoni justru dapat meningkatkan akumulasi modalnya.
Revolusi hijau adalah juga proses sentralisasi produksi. Input pertanian diperoleh secara tersentralisasi pada beberapa pabrik pupuk dan pestisida. Saat ini bahkan benih diproduksi secara tersentralisasi dengan dipromosikannya bioteknologi modern (rekayasa genetik dan kultur jaringan). Air diperoleh secara tersentralisasi pada bendungan-bendungan besar. Siapakah yang mendapatkan keuntungan pada proses produksi padat modal ini? Tentu saja para pemodal yang didukung oleh para semi-budak. Sentralisasi ini sekarang semakin mengkristal menjadi sentralisasi global di tangan MNC.
Para semi budak ini tidak sadar bahwa mereka hanya mendapatkan keuntungan untuk sementara. Kualitas lingkungan yang terus menurun pada akhirnya akan menurunkan produksi pangan itu sendiri dan setelah itu harga makanan akan semakin mahal. Dalam kondisi ini para semi budak akan menjadi miskin (daya belinya menurun karena makanan semakin mahal), sementara itu para pemodal masih akan mampu membayar, atau dengan cara tertentu mengambil keuntungan dari situasi ini.
Sebaliknya masyarakat desapun mulai terpengaruh dengan gaya hidup kota ini, apalagi dengan gencarnya propaganda di media yang mengiklankan gaya hidup ini. Masyarakat desa dan orang-orang miskin, yang miskin informasi dan pengetahuan adalah korban paling besar dari iklan produk pangan yang kurang berkualitas. Sementara sistem produksi pertanian desa diubah untuk menghasilkan pangan bagi masyarakat perkotaan; masyarakat desa ingin mengkonsumsi produk makanan orang kota, misalnya aneka produk makanan instan yang kualitasnya diragukan.
Dalam kasus pangan, misalnya, paradigma ini menggeser paradigma swasembada pangan di tingkat negara menjadi di tingkat regional/global. Misalnya untuk menjamin kecukupan pangan, Indonesia tidak perlu memproduksi sendiri seluruh beras yang dibutuhkan, tetapi melihat di pasar internasional. Apabila harga beras lebih murah di pasar internasional, maka lebih baik Indonesia memproduksi produk-produk hasil industri yang lebih mahal dan membeli beras. Dengan demikian Indonesia akan memperoleh surplus dari perdagangan tersebut.
Kenyataannya kebijakan liberalisasi perdagangan ini tidak menyelesaikan masalah pangan dan kelaparan, tetapi justru menimbulkan masalah baru. Pertama, terbukanya pasar domestik pada produk pangan impor yang biasanya murah karena seringkali di negara asalnya disubsidi besar-besaran justru menyebabkan petani lokal (yang sudah terjebak pada mekanisme pasar modern) kehilangan daya saing. Akibatnya, ia tidak dapat bertahan dalam profesinya sebagai produsen pangan dalam jangka panjang karena tidak dapat bertahan hidup dengan profesinya sebagai petani. Dalam jangka panjang, kemampuan seluruh negara untuk memproduksi pangan di dalam negeri terancam. Kedua, begitu masuk dalam sistem ekonomi pasar, maka diperlukan sebagai alat tukar. Padahal saat ini uang pun menjadi komoditi yang diperdagangkan; yang nilainya berfluktuasi. Konsekuensinya harga panganpun akan berfluktuasi sesuai dengan nilai mata uang serta hukum permintaan dan penawaran. Akan ada saat-saat di mana harga makanan begitu murah dan sebaliknya di saat lain sangat mahal. Hal ini mungkin tidak masalah untuk kalangan atas, yang hanya menggunakan sebagian kecil penghasilannya untuk pangan; tetapi ini akan bermasalah sangat besar untuk kalangan bawah (mayoritas penduduk) yang sebagian besar penghasilannya digunakan untuk membeli pangan.
Ketergantungan pada sistem uang
Ekonomi modern menggunakan uang sebagai alat tukar yang praktis. Implikasinya, sistem ekonomi ini menghitung segala sesuatu dalam satuan uang. Misalnya GNP/GDP untuk menghitung tingkat keberhasilan pembangunan suatu negara dan ukuran penghasilan dalam bentuk sejumlah uang tertentu untuk mengukur tingkat kemiskinan sebuah keluarga/komunitas. Sistem ini seringkali bias dan salah mengartikan realita. Petani-petani subsisten di komunitas-komunitas asli seperti Baduy mungkin memiliki sedikit sekali uang; tetapi kualitas hidupnya bisa jadi jauh lebih baik dari buruh di kota yang digaji di atas UMR. Dari segi pangan, petani-petani subsisten akan lebih aman posisinya dibandingkan dengan kaum buruh di kota yang sangat tergantung dari pangan murah hasil subsidi pemerintah dan penindasan kaum tani. Mereka ini sangat rentan pada kenaikan harga pangan, misalnya jika subsidi pangan dihapus atau harga BBM naik.
Masyarakat kota tidak memiliki mekanisme keamanan pangannya dalam jangka panjang dan menyimpan tabungannya dalam bentuk uang. Demikian juga pola revolusi hijau telah mengubah kebiasaan para petani modern dari budaya menabung dalam bentuk ternak, pohon buah-buahan dan hasil panennya menjadi dalam bentuk uang.
Padahal sistem uang ini telah terhubung secara global. Akibatnya, apa yang terjadi pada Bursa Saham di Tokyo atau New York akan mempengaruhi petani kopi di Timor. Dalam sistem yang sekarang, uang tidak sekedar menjadi alat tukar, tetapi juga komoditi. Artinya membeli uang untuk dijual lagi untuk memperoleh keuntungan berupa uang. Saat ini ekonomi uang mencakup 2/3 dari seluruh total ekonomi global dan nilainya berkembang jauh melebihi sektor riil yang menopangnya.
Sebagai komoditi, nilai uang juga berfluktuasi. Jika kita mendasarkan sistem tabungan kita pada uang, konsekuensinya nilai tabungan kita akan berfluktuasi pula sesuai dengan nilai uang. Celakanya, yang paling diuntungkan dengan sistem uang ini adalah para pemilik modal dan masyarakat banyak yang menanggung akibatnya. Contoh yang paling dekat adalah krisis moneter tahun 1999, di mana George Soros disebut-sebut sebagai salah satu kambing hitamnya. Dalam krisis tersebut, dalam waktu singkat penghasilan riil sebagian besar masyarakat Indonesia menurun hanya menjadi sekitar sepertiga sampai seperempat kali penghasilan semula, meskipun secara nominal angkanya naik.
Padahal gaji itu diperoleh sebagai hasil penghisapan kalangan marginal (biasanya buruh dan petani) dan penciptaan produk yang memanjakan orang kota, antara lain dengan pemanjaan lidah dan kemudahan hidup, yang produksi dan penggunaannya biasanya juga merusak lingkungan dan mengandalkan kebergantungan konsumen dan produsen. Sementara untuk para petani; sejarah telah membuktikan bahwa peningkatan produksi dalam sistem pasar kapitalisme tidak akan menguntungkan petani dalam jangka panjang. Hal ini sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan, yang menyebutkan bahwa jika produksi meningkat maka harga akan turun. Mengikuti hukum ini, jika produksi berlebih dengan sendirinya harga akan turun yang artinya keuntungan petani akan ikut turun. Jika terjadi kelebihan produksi, maka petani akan merugi.
Sementara itu para pemegang hegemoni terus memperkuat diri dengan :
1. produk/teknologi yang semakin tersentralisasi secara global; yang paling canggih sentralisasi produksi benih dengan teknik rekayasa genetika dan kultur jaringan.
2. mengembangkan lobi-lobi politik untuk menciptakan iklim kebijakan yang kondusif seperti : hak paten, pendagangan bebas dan berbagai aspek ekonomi neoliberal lainnya yang menguntungkan mereka.
Dalam kondisi seperti ini, tidak ada proses perebutan kedaulatan secara kasat mata. Yang terjadi adalah penciptaan situasi yang mendorong penyerahan kedaulatan secara sukarela dan penciptaan pagar-pagar yang merupakan 'pemaksaan' penyerahan kedaulatan secara sangat halus dan canggih.
Dan pada akhirnya sekarang para pemegang hegemoni dalam keadaan yang cukup siap untuk mengakui secara formal kedaulatan tanpa kehilangan sedikitpun hegemoni de facto mereka. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat telah kehilangan kemampuan mereka untuk merealisasikan kedaulatan mereka.
Di sinilah letak pertempuran yang sebenarnya, selain mengembangkan strategi defensif[5] untuk menjaga kedaulatan pangan, saat ini sudah mendesak untuk melakukan proses pengembangan keberdayaan pangan. Yaitu: kemampuan masyarakat untuk menyediakan sendiri pangannya.
Masyarakat di sini adalah masyarakat tingkat akar rumput sampai tingkat yang paling kecil (sampai tingkat keluarga atau individu). Hal ini penting mengingat bahwa perang kedaulatan sekarang sudah tidak lagi pada tingkat negara tetapi di tingkat lokal menjadi konflik horisontal antar anggota masyarakat.
Pengembangan keberdayaan pangan ini akan membuat MNC kehilangan senjatanya. Ia akan kehilangan pasar karena masyarakat tidak lagi membutuhkan produknya. Ia akan kehilangan tenaga kerja karena masyarakat tidak lagi membutuhkan sogokan dari dirinya.
1. Situasi eksploitasi kota desa dihilangkan sehingga hilang kebutuhan untuk mengembangkan pertanian intensif yang merupakan lahan bisnis para pemegang hegemoni. Pestisida kimia dan bibit unggul yang hanya dapat dikembangkan oleh produksi intensif modal tidak dibutuhkan lagi.
2. Sebanyak mungkin memproduksi pangan untuk kebutuhan sendiri. Jika perlu pangan dari luar; maka dipilih yang diproduksi selokal mungkin. Dengan demikian yang memperoleh keuntungan dari proses produksi pangan adalah kita sendiri dan masyarakat di sekitar kita.
3. Mengurangi kebergantungan akan ekonomi uang dengan:
§ Meminimalkan kegiatan perdagangan yang selanjutnya akan mengerutkan ekonomi uang. Hal ini akan membuat para pemegang hegemoni semakin kehilangan kesempatan untuk meningkatkan akumulasi modal dalam bentuk uang.
§ Mengembangkan sistem pertukaran produk tanpa menggunakan uang, antara lain dengan sistem barter dalam komunitas-komunitas di tingkat lokal.
Membuat orang kota menghasilkan makanan sendiri dianggap mengurangi kesejahteraan orang desa. Hal ini tampaknya benar dalam kerangka ekonomi pertanian kapitalis. Padahal meskipun penghasilan orang desa dari segi uang meningkat, kualitas hidupnya justru menurun. Makanan bahkan perlu dianggap sebagai common resources sehingga tercipta kestabilan ketersediaan pangan dalam jangka panjang. Dalam sistem ini, makanan tidak akan terpengaruh oleh ketidakstabilan ekonomi. Uang akan semakin sedikit tetapi kualitas hidup semakin meningkat.
Pertanian bukan lagi menjadi kegiatan produksi dengan tenaga spesialis petani tetapi lebih merupakan kegiatan domestik semua orang. Petani bukan lagi menjadi profesi. Dengan ekoteknologi dapat dibuat sistem pertanian yang menghemat waktu dan tenaga sehingga waktu masyarakat dapat dialokasikan untuk berbagai kegiatan kebudayaan, pengetahuan dan spiritual yang akan meningkatkan kualitas masyarakat. Hal ini ditopang dengan sistem pendidikan yang merata yang akan meningkatkan kualitasi intelektual masyarakat.
Dalam percaturan ekonomi-politik saat ini ada berbagai peluang yang dapat kita ambil untuk mengembangan keberdayaan pangan :
1. Kembangkan ekonomi berbasis common knowledge yang tidak bisa dijangkau oleh IPR.
2. Setiap pengetahuan baru cepat-cepat didesimenasi sehingga cepat menjadi common knowledge. Hal ini dapat dengan mudah didukung oleh sistem komunikasi elektronik yang sudah berkembang pesat saat ini[6].
3. Kembangkan ekonomi berbasis sumberdaya dan lingkungan lokal. Pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia sangat kaya akan berbagai alternatif teknologi untuk mengembangkan ekonomi seperti ini. Teknologi seperti ini tidak terjangkau oleh IPR.
Untuk lebih memuluskan strategi di atas, kita juga dapat melakukan sejumlah perubahan kebijakan makro. Dari segi kebijakan, kondisi makro apa yang mendukung terjadinya keberdayaan pangan ini?
1. Harga pangan harus merefleksikan biaya produksi yang sebenarnya. Saat ini harga pangan murah karena subsidi dari pemerintah atau melalui eksploitasi terselubung terhadap kaum tani. Dengan harga pangan yang baik, minimal mencerminkan biaya produksi, akan mendorong semakin banyak orang untuk meproduksi pangan. Ini akan mengurangi urbanisasi dan membuat sektor ekonomi di desa-desa bergerak. Untuk kota sendiri akan menguntungkan karena mengurangi kepadatan penduduk yang membebani sumber daya kota.
2. Alokasikan luasan lahan yang cukup untuk petani, terutama untuk produksi pangan. Banyak petani kecil, terutama di Jawa tidak dapat hidup dari sektor pertanian karena lahannya terlalu kecil, sementara itu banyak lahan-lahan kosong dalam bentuk villa tanpa penghuni, padang rumput liar maupun alang-alang dimiliki oleh orang-orang kaya. Banyak lahan pertanian kelas satu yang semula untuk memproduksi pangan diubah untuk industri, perkebunan atau pertanian cash crop berorientasi ekspor karena dianggap lebih menguntungkan. Ini adalah bentuk-bentuk pemborosan penggunaan sumberdaya.
3. Desentralisasi produksi pangan. Desentralisasi produksi pangan akan meminimalisir biaya penyediaan dan distribusi pangan di tingkat nasional. Biaya tersebut antara lain biaya transportasi dan pergudangan dan penyediaan input-input pertanian. Daerah dapat menentukan sendiri kebijakan pangannya dan sedapat mungkin memproduksi kebutuhannya sendiri sampai di tingkat keluarga atau komunitas. Dengan demikian, misalnya beban daerah-daerah penghasil beras untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional dapat berkurang. Ini menuntut cara baru pengelolaan Negara Kesatuan Republik Indonesia di bidang ekonomi; terutama pangan.
4. Pertanian yang didukung oleh teknologi lokal yang terdesentralisasi; misalnya pertanian organis. Pertanian organis tidak membutuhkan pupuk dan pestisida kimia; apalagi membeli benih transgenik buatan pabrik. Petani dapat membuat sendiri asupan pertaniannya; alat produksinya. Pertanian organis juga mensyaraktkan petani memiliki luasan lahan tertentu agar optimal. Dari karakteristiknya pertanian organis akan mendobrak hegemoni perusahaan multinasional penjual pupuk dan pestisida kimia. Hanya saja, yang perlu dicermati dalam pengembangan pertanian organis ini adalah jangan sampai terjebak pada paradigma lama; yang mengakibatkan perusahaan multinasional menjual pupuk dan pestisida alami dan menjadi pedagang utama produk pertanian organis untuk pasar ekspor. Jika ini yang terjadi pertanian organis akan kehilangan esensinya.
***
[1] Disiapkan untuk Seminar dan Lokakarya Membangun Kedaulatan Pangan Berbasis Gerakan Rakyat, Jakarta, 7-8 Mei 2003.
[2] Direktur Eksekutif Yayasan Biosains dan Bioteknologi.
[3] Peneliti ELSPPAT.
[4] Misalnya kebijakan pangan murah semasa orde baru.
[5] Sekalipun tidak menjadi satu-satunya yang esensial perjuangan ini tetap penting mengingat para pemegang hegemoni secara formal tetap akan berusaha tidak mengakui kedaulatan untuk mengangkat posisi tawar mereka.
[6] Teknologi yang fitrahnya bersifat nontersentralisasi ini sangat ideal karena tidak dapat dikuasai oleh siapapun. Namun di tingkat internasioal tetapi perlu diwaspadai setiap usaha penguasaan teknologi ini.
Kedaulatan pangan adalah suatu pengertian yang didasarkan pada paradigma imperialisme, di mana suatu kekuatan secara paksa mengambil kebebasan negera lain. Pengertian kedaulatan muncul sebagai pengakuan atas hak suatu negara untuk mengendalikan negaranya sendiri. Oleh karena itu dalam "Food Sovereignty: A Righ for All", Pernyataan Politik NGO/CSO pada Forum Kedaulatan Pangan di Roma, 8-13 Juni 2002 yang lalu kedaulatan pangan didefinisikan sebagai,
"HAK setiap orang, kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan-kebijakan pertanian, ketenagakerjaan, perikanan, pangan dan tanah, sesuai dengan kondisi ekologi, sosial ekonomi dan budaya mereka".
Konsep imperialisme ini kemudian diperluas namun masih menyiratkan konflik vertikal antara negara utara dan selatan atau dalam suatu negera antara pemerintah dan rakyat. Hal ini dapat kita lihat antara lain dalam turunan konsep tersebut menjadi aksi. Misalnya La Via Campesina menyatakan bahwa persoalan bukanlah masalah kekurangan pangan tetapi masalah hak atas pangan. Hak atas pangan ini dapat dicapai antara lain dengan mereformasi perdagangan global, memberikan petani kontrol akan alat-alat produksi dan pertanian berkelanjutan.
Peta Konflik ke Depan
Salah satu ciri dominan peta konflik ke depan, dalam kaitan dengan pangan dapat dijelaskan dari peran perusahaan multinasional. Suatu jaringan lintas negara yang menguasai uang dan produk. MNC membuat konflik antar negara tidak lagi menjadi penting tetapi lebih sebagai salah satu bentuk metoda yang digunakan MNC untuk mencapai tujuannya.Pengaruh MNC bisa muncul di mana saja dengan banyak alternatif instrumen. Selain melalui jalur ekonomi konvensional (sebagai sebuah perusahaan), mereka memiliki lobby kuat di tingkat negera, perundingan-perundingan internasional (walaupun mereka secara resmi tidak ada wakilnya). Semua itu dapat mereka jalankan dengan basis anggaran yang kuat.
Mereka juga layaknya sebuah negara dengan basis 'rakyat' yang cukup besar dan bersifat lintas negera. Para rakyat ini terlibat, baik sebagai tenaga kerja, konsumen, pemodal, mitra bisnis atau mitra politik. Di tingkat lokal situasinya sering tampak sebagai konflik yang tidak jelas maka kawan dan mana lawan, karena tidak mudah lagi mengidentifikasi keterkaitan antara seseorang dengan suatu perusahaan multinasional, tidak seperti pada konflik antar negera atau ras.
Yang paling mutakhir adalah: Keterkaitan seseorang pada suatu perusahaan multinasional seringkali terjadi secara sukarela, karena yang bersangkutan memperoleh keuntungan dari perusahaan itu. Secara global situasinya mirip dengan yang disebutkan dalam teori imperialisme, di mana kaum buruh ‘non pemilik modal’ disogok oleh kaum pemilik modal. Dengan kenyamanan hidup yang diperolehnya ini, kaum buruh yang disogok ini menjadi apatis dan tidak peduli atau tidak sadar bahwa mereka sebenarnya adalah para budak di bawah hegemoni perusahaan multinasional dan bahwa sogokan hidup yang diperolehnya itu sebenarnya diperoleh melalui penindasan/pemerasan terhadap kelompok non pemodal lainnya. Sogokan ini seringkali muncul sebagai semacam insentif bagi seseorang untuk masuk di bawah hegemoni.
Penyerahan Kedaulatan secara sukarela
Saat ini semakin disadari peran MNC dan kebijakan neoliberal yang dipromosikannya melalui berbagai jalur dalam berbagai produk pangan (salah satu yang mutakhir adalah makanan rekayasa genetik). MNC membuat berbagai pabrik di berbagai tempat, memperkerjakan banyak tenaga kerja (biasanya dipilih di tempat yang paling murah). Ini kemudian menjadi basis pengaruhnya di tingkat lokal.Konflik seringkali tidak terjadi melalui penindasan langsung tetapi melalui insentif agar pihak yang ditindas menyerahkan diri ke dalam hegemoni mereka. Prosesnya dilakukan melalui berbagai cara halus seperti 'penyogokan' dengan gaji besar kaum non pemodal yang berstatus sebagai staff/karyawan. Walaupun tentu saja keuntungan jauh lebih besar akan tetap diperoleh pemodal dan uang yang digunakan oleh penyogok sering diperoleh melalui penindasan/pemerasan kelompok lain (buruh atau petani) ataupun dengan menciptakan kebergantungan (yang seringkali tidak perlu) kepada produk mereka.
Dengan menggunakan sistem insentif bagi para pekerja dan penciptaan kebergantungan konsumen sebagai senjata utama, tidak sulit bagi MNC untuk mengakui kedaulatan pangan tanpa sedikitpun merubah intensitas hegemoni mereka. Dalam hal ini situasinya adalah mereka tidak 'merebut' kedaulatan tetapi masyarakatlah yang secara sukarela meyerahkan kedaulatannya di bawah hegemoni MNC.
Lalu apakah perjuangan menegakkan kedaulatan pangan menjadi efektif dalam situasi demikian ?
Masyarakat sipil yang manja
Taktik memanjakan sekelompok masyarakat (dengan menguras sumberdaya masyarakat yang lain sehingga tidak terlalu mengurangi keuntungan yang diperoleh pemilik modal) adalah metoda baru yang perlu diwaspadai. Kelompok masyarakat yang dimanjakan inilah yang diharapkan memiliki daya beli yang cukup tinggi untuk produk-produk 'mewah' produksi MNC.Tercipta sekelompok masyarakat yang hidup mewah dan apatis. Mereka merasa hidup mereka berkecukupan sehingga tidak merasa ada sesuatu yang salah. Misalnya,masalah pemerasan kelompok masyarakat yang lain untuk menghidupi kemewahan ini tanpa mengurangi keuntungan yang diperoleh pemodal tidak disadari atau terlalu dipikirkan. Mereka bahkan merasa hidup mereka bergantung pada pemodal dan tak dapat hidup tanpa mereka. Menjadi karyawan (baca: setengah budak) menjadi cita-cita kebanyakan golongan muda di Indonesia.
Kebergantungan juga tercipta antara masyarakat dan pemerintah. Hal ini dilakukan semula melalui pengambilan paksa kedaulatan di berbagai tempat melalui berbagai kebijakan[4]. Akibatnya masyarakat terbuai untuk bergantung pada pemerintah, tanpa bersikap kritis tentang siapa yang mendapatkan keuntungan terbesar pada situasi ini. Setiap ada masalah mereka bergantung pada pemerintah. Sementara itu sikap apatis yang semakin meluas ini membuat kotnrol terhadap berbagai elemen pemerintahan semakin lemah dan yang mengambil keuntungan adalah (sekali lagi) para pemodal. Akibatnya timbullah berbagai kebijakan yang sangat aspiratif kepada pemodal karena merekalah yang melakukan proses sistematis kepada berbagai elemen pemerintah. Sementara itu perkembangan sentralisasi kebijakan membuat proses mengakses kebijakan menjadi semakin mahal sehingga akhirnya para pemodallah yang paling memiliki sumberdaya untuk itu.
Contoh pada sektor pangan : kebergantungan pada BULOG untuk distribusi dan penyimpanan pangan, kebergantungan pada pemerintah untuk manajemen air.
Konflik kota-desa, penghisapan oleh kota, kehancuran bagi semua
Fenomena masyarakat sipil yang manja melalui proses penyogokan yang dananya diperoleh melalui eksploitasi kelompok masyarakat lain (yang menjadi korban), saat ini terkristalisasi menjadi kelompok masyarakat kota dan masyarakat desa. Urbanisasi adalah salah satu ciri masyarakat industri, meningkat pesat sejak pusat-pusat industri terbentuk pada awal revolusi industri dan sekarang semakin meningkat.Orang kota khususnya kalangan menengah ke atas dapat diklasifikasi sebagai masyarakat sipil manja yang disogok. Sebagian besar dari mereka adalah masyarakat apatis yang hidup dalam hedonisme. Bagaimana sumberdaya untuk menyogok kelompok masyarakat ini diperoleh?
Revolusi hijau adalah teknologi yang muncul untuk melayani masyarakat kota. Intensifikasi produksi pangan sebenarnya dibutuhkan untuk memasok makanan untuk masyarakat kota yang tidak menanam makanannya sendiri. Masyarakat desa, apalagi petani kecil dan buruh tani, tidak mendapat keuntungan dari produksi makanan ini, malah kualitas hidupnya terus menurun. Pestisida, pupuk kimia dan sistem irigasi dll semakin menurunkan kualitas lingkungan pedesaan. Melalui kebijakan makanan murah, orang desa 'dipaksa' untuk mensubsidi orang kota secara finansial. Sementara itu para pemilik hegemoni justru dapat meningkatkan akumulasi modalnya.
Revolusi hijau adalah juga proses sentralisasi produksi. Input pertanian diperoleh secara tersentralisasi pada beberapa pabrik pupuk dan pestisida. Saat ini bahkan benih diproduksi secara tersentralisasi dengan dipromosikannya bioteknologi modern (rekayasa genetik dan kultur jaringan). Air diperoleh secara tersentralisasi pada bendungan-bendungan besar. Siapakah yang mendapatkan keuntungan pada proses produksi padat modal ini? Tentu saja para pemodal yang didukung oleh para semi-budak. Sentralisasi ini sekarang semakin mengkristal menjadi sentralisasi global di tangan MNC.
Para semi budak ini tidak sadar bahwa mereka hanya mendapatkan keuntungan untuk sementara. Kualitas lingkungan yang terus menurun pada akhirnya akan menurunkan produksi pangan itu sendiri dan setelah itu harga makanan akan semakin mahal. Dalam kondisi ini para semi budak akan menjadi miskin (daya belinya menurun karena makanan semakin mahal), sementara itu para pemodal masih akan mampu membayar, atau dengan cara tertentu mengambil keuntungan dari situasi ini.
Sebaliknya masyarakat desapun mulai terpengaruh dengan gaya hidup kota ini, apalagi dengan gencarnya propaganda di media yang mengiklankan gaya hidup ini. Masyarakat desa dan orang-orang miskin, yang miskin informasi dan pengetahuan adalah korban paling besar dari iklan produk pangan yang kurang berkualitas. Sementara sistem produksi pertanian desa diubah untuk menghasilkan pangan bagi masyarakat perkotaan; masyarakat desa ingin mengkonsumsi produk makanan orang kota, misalnya aneka produk makanan instan yang kualitasnya diragukan.
Peran kegiatan perdagangan
Agenda liberalisasi perdagangan yang dilancarkan atas dukungan para perusahaan multinasional sebagai pemilik modal dan pemerintah yang mengadopsinya dalam bentuk berbagai kebijakan pembangunan ikut memperparah kesenjangan antara kota-desa dan negara kaya -miskin. Liberalisasi perdagangan mengandaikan bahwa setiap negara memiliki kesempatan dan kekuatan yang sama dalam sistem perdagangan (lapangan permainan yang seimbang/even playing field). Persaingan akan didasarkan pada siapa yang paling kompetitif, dialah yang akan menang. Setiap negara memiliki keunggulan komparatif yang berbeda dengan negara yang lain. Agar efisien, negara-negara dituntut menjadi spesialis menurut keunggulan komparatif masing-masing. Sebagai hasil akhirnya, total output secara global akan maksimal.Dalam kasus pangan, misalnya, paradigma ini menggeser paradigma swasembada pangan di tingkat negara menjadi di tingkat regional/global. Misalnya untuk menjamin kecukupan pangan, Indonesia tidak perlu memproduksi sendiri seluruh beras yang dibutuhkan, tetapi melihat di pasar internasional. Apabila harga beras lebih murah di pasar internasional, maka lebih baik Indonesia memproduksi produk-produk hasil industri yang lebih mahal dan membeli beras. Dengan demikian Indonesia akan memperoleh surplus dari perdagangan tersebut.
Kenyataannya kebijakan liberalisasi perdagangan ini tidak menyelesaikan masalah pangan dan kelaparan, tetapi justru menimbulkan masalah baru. Pertama, terbukanya pasar domestik pada produk pangan impor yang biasanya murah karena seringkali di negara asalnya disubsidi besar-besaran justru menyebabkan petani lokal (yang sudah terjebak pada mekanisme pasar modern) kehilangan daya saing. Akibatnya, ia tidak dapat bertahan dalam profesinya sebagai produsen pangan dalam jangka panjang karena tidak dapat bertahan hidup dengan profesinya sebagai petani. Dalam jangka panjang, kemampuan seluruh negara untuk memproduksi pangan di dalam negeri terancam. Kedua, begitu masuk dalam sistem ekonomi pasar, maka diperlukan sebagai alat tukar. Padahal saat ini uang pun menjadi komoditi yang diperdagangkan; yang nilainya berfluktuasi. Konsekuensinya harga panganpun akan berfluktuasi sesuai dengan nilai mata uang serta hukum permintaan dan penawaran. Akan ada saat-saat di mana harga makanan begitu murah dan sebaliknya di saat lain sangat mahal. Hal ini mungkin tidak masalah untuk kalangan atas, yang hanya menggunakan sebagian kecil penghasilannya untuk pangan; tetapi ini akan bermasalah sangat besar untuk kalangan bawah (mayoritas penduduk) yang sebagian besar penghasilannya digunakan untuk membeli pangan.
Ketergantungan pada sistem uang
Ekonomi modern menggunakan uang sebagai alat tukar yang praktis. Implikasinya, sistem ekonomi ini menghitung segala sesuatu dalam satuan uang. Misalnya GNP/GDP untuk menghitung tingkat keberhasilan pembangunan suatu negara dan ukuran penghasilan dalam bentuk sejumlah uang tertentu untuk mengukur tingkat kemiskinan sebuah keluarga/komunitas. Sistem ini seringkali bias dan salah mengartikan realita. Petani-petani subsisten di komunitas-komunitas asli seperti Baduy mungkin memiliki sedikit sekali uang; tetapi kualitas hidupnya bisa jadi jauh lebih baik dari buruh di kota yang digaji di atas UMR. Dari segi pangan, petani-petani subsisten akan lebih aman posisinya dibandingkan dengan kaum buruh di kota yang sangat tergantung dari pangan murah hasil subsidi pemerintah dan penindasan kaum tani. Mereka ini sangat rentan pada kenaikan harga pangan, misalnya jika subsidi pangan dihapus atau harga BBM naik.
Masyarakat kota tidak memiliki mekanisme keamanan pangannya dalam jangka panjang dan menyimpan tabungannya dalam bentuk uang. Demikian juga pola revolusi hijau telah mengubah kebiasaan para petani modern dari budaya menabung dalam bentuk ternak, pohon buah-buahan dan hasil panennya menjadi dalam bentuk uang.
Padahal sistem uang ini telah terhubung secara global. Akibatnya, apa yang terjadi pada Bursa Saham di Tokyo atau New York akan mempengaruhi petani kopi di Timor. Dalam sistem yang sekarang, uang tidak sekedar menjadi alat tukar, tetapi juga komoditi. Artinya membeli uang untuk dijual lagi untuk memperoleh keuntungan berupa uang. Saat ini ekonomi uang mencakup 2/3 dari seluruh total ekonomi global dan nilainya berkembang jauh melebihi sektor riil yang menopangnya.
Sebagai komoditi, nilai uang juga berfluktuasi. Jika kita mendasarkan sistem tabungan kita pada uang, konsekuensinya nilai tabungan kita akan berfluktuasi pula sesuai dengan nilai uang. Celakanya, yang paling diuntungkan dengan sistem uang ini adalah para pemilik modal dan masyarakat banyak yang menanggung akibatnya. Contoh yang paling dekat adalah krisis moneter tahun 1999, di mana George Soros disebut-sebut sebagai salah satu kambing hitamnya. Dalam krisis tersebut, dalam waktu singkat penghasilan riil sebagian besar masyarakat Indonesia menurun hanya menjadi sekitar sepertiga sampai seperempat kali penghasilan semula, meskipun secara nominal angkanya naik.
Keberdayaan Pangan
Telah dijelaskan di atas bahwa taktik utama yang digunakan oleh para pemegang hegemoni saat ini adalah menciptakan insentif bagi kebergantungan masyarakat pada mereka. Insentif ini dijalankan melalui penyogokan melalui gaji besar untuk para karyawan atau iming-iming hasil produksi masksimal untuk para petani. Pemerintahpun menjadi pendukung mereka dengan janji perolehan pajak yang besar dan terbukanya lapangan kerja yang besar.Padahal gaji itu diperoleh sebagai hasil penghisapan kalangan marginal (biasanya buruh dan petani) dan penciptaan produk yang memanjakan orang kota, antara lain dengan pemanjaan lidah dan kemudahan hidup, yang produksi dan penggunaannya biasanya juga merusak lingkungan dan mengandalkan kebergantungan konsumen dan produsen. Sementara untuk para petani; sejarah telah membuktikan bahwa peningkatan produksi dalam sistem pasar kapitalisme tidak akan menguntungkan petani dalam jangka panjang. Hal ini sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan, yang menyebutkan bahwa jika produksi meningkat maka harga akan turun. Mengikuti hukum ini, jika produksi berlebih dengan sendirinya harga akan turun yang artinya keuntungan petani akan ikut turun. Jika terjadi kelebihan produksi, maka petani akan merugi.
Sementara itu para pemegang hegemoni terus memperkuat diri dengan :
1. produk/teknologi yang semakin tersentralisasi secara global; yang paling canggih sentralisasi produksi benih dengan teknik rekayasa genetika dan kultur jaringan.
2. mengembangkan lobi-lobi politik untuk menciptakan iklim kebijakan yang kondusif seperti : hak paten, pendagangan bebas dan berbagai aspek ekonomi neoliberal lainnya yang menguntungkan mereka.
Dalam kondisi seperti ini, tidak ada proses perebutan kedaulatan secara kasat mata. Yang terjadi adalah penciptaan situasi yang mendorong penyerahan kedaulatan secara sukarela dan penciptaan pagar-pagar yang merupakan 'pemaksaan' penyerahan kedaulatan secara sangat halus dan canggih.
Dan pada akhirnya sekarang para pemegang hegemoni dalam keadaan yang cukup siap untuk mengakui secara formal kedaulatan tanpa kehilangan sedikitpun hegemoni de facto mereka. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat telah kehilangan kemampuan mereka untuk merealisasikan kedaulatan mereka.
Di sinilah letak pertempuran yang sebenarnya, selain mengembangkan strategi defensif[5] untuk menjaga kedaulatan pangan, saat ini sudah mendesak untuk melakukan proses pengembangan keberdayaan pangan. Yaitu: kemampuan masyarakat untuk menyediakan sendiri pangannya.
Masyarakat di sini adalah masyarakat tingkat akar rumput sampai tingkat yang paling kecil (sampai tingkat keluarga atau individu). Hal ini penting mengingat bahwa perang kedaulatan sekarang sudah tidak lagi pada tingkat negara tetapi di tingkat lokal menjadi konflik horisontal antar anggota masyarakat.
Pengembangan keberdayaan pangan ini akan membuat MNC kehilangan senjatanya. Ia akan kehilangan pasar karena masyarakat tidak lagi membutuhkan produknya. Ia akan kehilangan tenaga kerja karena masyarakat tidak lagi membutuhkan sogokan dari dirinya.
Bagaimana Mengembangkan Keberdayaan Pangan?
Kedaulatan pangan pada dasarnya dikembangkan dengan membuat masyarakat di tingkat akar rumput (termasuk di kota) dapat memproduksi makanan untuk dirinya sendiri, dengan demikian :1. Situasi eksploitasi kota desa dihilangkan sehingga hilang kebutuhan untuk mengembangkan pertanian intensif yang merupakan lahan bisnis para pemegang hegemoni. Pestisida kimia dan bibit unggul yang hanya dapat dikembangkan oleh produksi intensif modal tidak dibutuhkan lagi.
2. Sebanyak mungkin memproduksi pangan untuk kebutuhan sendiri. Jika perlu pangan dari luar; maka dipilih yang diproduksi selokal mungkin. Dengan demikian yang memperoleh keuntungan dari proses produksi pangan adalah kita sendiri dan masyarakat di sekitar kita.
3. Mengurangi kebergantungan akan ekonomi uang dengan:
§ Meminimalkan kegiatan perdagangan yang selanjutnya akan mengerutkan ekonomi uang. Hal ini akan membuat para pemegang hegemoni semakin kehilangan kesempatan untuk meningkatkan akumulasi modal dalam bentuk uang.
§ Mengembangkan sistem pertukaran produk tanpa menggunakan uang, antara lain dengan sistem barter dalam komunitas-komunitas di tingkat lokal.
Membuat orang kota menghasilkan makanan sendiri dianggap mengurangi kesejahteraan orang desa. Hal ini tampaknya benar dalam kerangka ekonomi pertanian kapitalis. Padahal meskipun penghasilan orang desa dari segi uang meningkat, kualitas hidupnya justru menurun. Makanan bahkan perlu dianggap sebagai common resources sehingga tercipta kestabilan ketersediaan pangan dalam jangka panjang. Dalam sistem ini, makanan tidak akan terpengaruh oleh ketidakstabilan ekonomi. Uang akan semakin sedikit tetapi kualitas hidup semakin meningkat.
Pertanian bukan lagi menjadi kegiatan produksi dengan tenaga spesialis petani tetapi lebih merupakan kegiatan domestik semua orang. Petani bukan lagi menjadi profesi. Dengan ekoteknologi dapat dibuat sistem pertanian yang menghemat waktu dan tenaga sehingga waktu masyarakat dapat dialokasikan untuk berbagai kegiatan kebudayaan, pengetahuan dan spiritual yang akan meningkatkan kualitas masyarakat. Hal ini ditopang dengan sistem pendidikan yang merata yang akan meningkatkan kualitasi intelektual masyarakat.
Dalam percaturan ekonomi-politik saat ini ada berbagai peluang yang dapat kita ambil untuk mengembangan keberdayaan pangan :
1. Kembangkan ekonomi berbasis common knowledge yang tidak bisa dijangkau oleh IPR.
2. Setiap pengetahuan baru cepat-cepat didesimenasi sehingga cepat menjadi common knowledge. Hal ini dapat dengan mudah didukung oleh sistem komunikasi elektronik yang sudah berkembang pesat saat ini[6].
3. Kembangkan ekonomi berbasis sumberdaya dan lingkungan lokal. Pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia sangat kaya akan berbagai alternatif teknologi untuk mengembangkan ekonomi seperti ini. Teknologi seperti ini tidak terjangkau oleh IPR.
Untuk lebih memuluskan strategi di atas, kita juga dapat melakukan sejumlah perubahan kebijakan makro. Dari segi kebijakan, kondisi makro apa yang mendukung terjadinya keberdayaan pangan ini?
1. Harga pangan harus merefleksikan biaya produksi yang sebenarnya. Saat ini harga pangan murah karena subsidi dari pemerintah atau melalui eksploitasi terselubung terhadap kaum tani. Dengan harga pangan yang baik, minimal mencerminkan biaya produksi, akan mendorong semakin banyak orang untuk meproduksi pangan. Ini akan mengurangi urbanisasi dan membuat sektor ekonomi di desa-desa bergerak. Untuk kota sendiri akan menguntungkan karena mengurangi kepadatan penduduk yang membebani sumber daya kota.
2. Alokasikan luasan lahan yang cukup untuk petani, terutama untuk produksi pangan. Banyak petani kecil, terutama di Jawa tidak dapat hidup dari sektor pertanian karena lahannya terlalu kecil, sementara itu banyak lahan-lahan kosong dalam bentuk villa tanpa penghuni, padang rumput liar maupun alang-alang dimiliki oleh orang-orang kaya. Banyak lahan pertanian kelas satu yang semula untuk memproduksi pangan diubah untuk industri, perkebunan atau pertanian cash crop berorientasi ekspor karena dianggap lebih menguntungkan. Ini adalah bentuk-bentuk pemborosan penggunaan sumberdaya.
3. Desentralisasi produksi pangan. Desentralisasi produksi pangan akan meminimalisir biaya penyediaan dan distribusi pangan di tingkat nasional. Biaya tersebut antara lain biaya transportasi dan pergudangan dan penyediaan input-input pertanian. Daerah dapat menentukan sendiri kebijakan pangannya dan sedapat mungkin memproduksi kebutuhannya sendiri sampai di tingkat keluarga atau komunitas. Dengan demikian, misalnya beban daerah-daerah penghasil beras untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional dapat berkurang. Ini menuntut cara baru pengelolaan Negara Kesatuan Republik Indonesia di bidang ekonomi; terutama pangan.
4. Pertanian yang didukung oleh teknologi lokal yang terdesentralisasi; misalnya pertanian organis. Pertanian organis tidak membutuhkan pupuk dan pestisida kimia; apalagi membeli benih transgenik buatan pabrik. Petani dapat membuat sendiri asupan pertaniannya; alat produksinya. Pertanian organis juga mensyaraktkan petani memiliki luasan lahan tertentu agar optimal. Dari karakteristiknya pertanian organis akan mendobrak hegemoni perusahaan multinasional penjual pupuk dan pestisida kimia. Hanya saja, yang perlu dicermati dalam pengembangan pertanian organis ini adalah jangan sampai terjebak pada paradigma lama; yang mengakibatkan perusahaan multinasional menjual pupuk dan pestisida alami dan menjadi pedagang utama produk pertanian organis untuk pasar ekspor. Jika ini yang terjadi pertanian organis akan kehilangan esensinya.
***
[1] Disiapkan untuk Seminar dan Lokakarya Membangun Kedaulatan Pangan Berbasis Gerakan Rakyat, Jakarta, 7-8 Mei 2003.
[2] Direktur Eksekutif Yayasan Biosains dan Bioteknologi.
[3] Peneliti ELSPPAT.
[4] Misalnya kebijakan pangan murah semasa orde baru.
[5] Sekalipun tidak menjadi satu-satunya yang esensial perjuangan ini tetap penting mengingat para pemegang hegemoni secara formal tetap akan berusaha tidak mengakui kedaulatan untuk mengangkat posisi tawar mereka.
[6] Teknologi yang fitrahnya bersifat nontersentralisasi ini sangat ideal karena tidak dapat dikuasai oleh siapapun. Namun di tingkat internasioal tetapi perlu diwaspadai setiap usaha penguasaan teknologi ini.
Selasa, 21 Juli 2020
[Pikir] Dari Alat Tukar menjadi Alat Kekuasaan Menelusuri evolusi makna dan peran uang dalam kehidupan
Apakah anda kenal menggunakan gurauan mengenai mengapa orang Jawa tidak mampu kaya seperti orang Cina Perantauan ?[1]
Katanya, itu karena kalau orang Jawa ke luar tempat tinggal dengan maksud mencari penghidupan, mereka bilang, "Mau cari kerjadanquot; sedangkan orang Cina Perantauan bilang, "Mau cari uangdanquot;. Jadilah orang Jawa memang mendapatkan pekerjaan misalnya yang diinginkan, bukannya uang, sehingga mereka selalu miskin.
Gurauan ini sebenarnya mencerminkan paradoksal antara budaya agraris yg bergantung/berorientasi pada alam dan budaya yang bergantung/berorientasi dalam uang. Seberapa dalamkah makna perbedaan ini bagi kehidupan kita, bahkan bagi masa depan umat insan ke depan ?
Di dunia terbaru sekarang ini, sadar atau nir sadar, banyak berdasarkan kita yang mencicipi kontradiksi berdasarkan 2 model pemaknaan akan uang.
Di sekolah kita diajarkan bahwa uang merupakan indera yang membantu kita mempertukarkan barang atau jasa. Jadi uang adalah indera. Kalau indera tentu ia hanya digunakan sesuai menggunakan kebutuhan. Namun kehidupan sehari-hari justru mengajarkan bahwa uang merupakan 'hampir' segalanya bagi hidup kita. Banyak orang menduga bahwa tanpa uang ia nir mampu hidup. Di sini uang bukan lagi sekedar indera, namun sebagai tujuan hayati kita.
Kita diajarkan bahwa pendidikan bertujuan buat membuatkan manusia seutuhnya dan bermanfaat bagi nusa & bangsa. Tapi pada kenyataannya, poly sarjana merasa bahwa sekolah mereka nir ada keuntungannya (rugi kapital), bila mereka nir berhasil memperoleh banyak uang darinya.
Uang telah memasuki relung-relung terdalam hayati kita. Ia sudah sebagai sebuah sumberdaya yg mendasar yg memilih, apakah kita bisa sembuh menurut suatu penyakit, apakah anak-anak kita sanggup sekolah ataupun rumah misalnya apa yg kita tinggali. Bahkan, ketika ini perceraian lantaran perkara ekonomi (uang) ataupun konflik orang tua & anak karena masalah uang jajan, semakin meningkat. Juga, tidak lagi terlalu mengherankan, jika seseorang diketahui bunuh diri atau membunuh orang lain lantaran urusan uang.
Saya ingin mengajak anda buat sejenak memandang uang menurut perspektif sejarah ini dia. Semoga bisa menaruh sedikit ide buat membantu kita memilih perilaku terhadap uang.
Sistem barter memang memiliki beberapa persoalan mudah. Misalnya, suatu hari Pak Ujang ingin makan Ayam goreng. Ia memahami Bu Ratmi memiliki beberapa ekor Ayam. Untuk itu Pak Ujang mengajak Bu Ratmi menukar anak kambingnya menggunakan ayam Bu Ratmi.
Untuk melakukan pertukaran, Pak Ujang dan Bu Ratmi wajib menyepakati nilai barang masing-masing dibandingkan barang yg lain. Setelah berdiskusi keduanya sebenarnya sepaham bahwa anak kambing Pak Ujang, nilainya lima kali Ayam Bu Ratmi. Masalahnya Bu Ratmi hanya punya tiga ekor ayam. Nah lho ? Bingunglah keduanya.
Kemudian Pak Ujang mendapat gagasan baru : ?Bagaimana jika ayam Bu Ratmi ditukar dengan Itik aku ??. Setelah diskusi Bu Ratmi bersikukuh bahwa itik Pak Ujang adalah dua/3 nilai ayammya. Nah lho, gundah lagi mereka. Bagaimana pertukaran dilakukan ?
Ini baru beberapa dilema. Ada problem lagi, misalnya jika Bu Ratmi tidak menginginkan Itik ataupun Kambing. Kasihan benar Pak Ujang. Mau makan ayam goreng saja susahnya minta ampun?
Nah, hidup Bu Ratmi dan Pak Ujang akan lebih gampang dengan menggunakan indera tukar. Alat tukar itu sendiri nir perlu mempunyai nilai dan sanggup berupa apa saja. Bisa saja dipakai batu, rabat kayu, lembaran kertas, kain atau apapun. Yang krusial sekelompok orang yg tak jarang bertukar barang satu sama lain menyepakati penggunaannya.
Dengan menggunakan alat tukar, batu misalnya, Pak Ujang bisa dan Bu Ratmi mampu menyepakati bahwa Ayam bernilai 9 batu & Itik bernilai 6 batu, contohnya. Jadi Pak Ujang bisa mendapatkan seekor Ayam, menggunakan menaruh seekor itik ke Bu Ratmi ditambah 3 butir batu. Atau jika Bu Ratmi tidak menginginkan itik, Pak Ujang mampu saja memberikan 9 butir batu buat menerima Ayam. Bu Ratmi mampu menyimpan batu itu buat nantinya ditukar menggunakan baju yg dijual Pak Amir atau Tomat yang ditanam Bu Encih. Tentu selama semua orang itu juga setuju bahwa batu itu adalah alat tukar yg dapat diterima.
Alat tukar dalam bentuk apapun inilah yg kemudian kita namakan menjadi uang.
Meluasnya penggunaan alat tukar memberikan kebebasan lebih besar bagi para pedagang buat memainkan nilai tukar. Berbeda menggunakan barter, transaksi melalui uang nir melibatkan suatu barang secara fisik. Nilai suatu barang tidak ditinjau lagi nisbi terhadap benda lain (yg dipertukarkan), namun dalam dasarnya berdasarkan kesepakatan antara penjual & pembeli. Artinya si pembeli atau penjual dapat memanfaatkan permainan psikologis atau permainan apapun buat merekayasa nilai suatu barang. Emas sudah mulai membuka jalan kebebasan bertransaksi (baca : rekayasa nilai), secara luar biasa.
Selain itu menggunakan semakin meluasnya penggunaan emas menjadi alat tukar, para pedagang menemukan bahwa, menggunakan emas/perak mereka dapat memperoleh hampir apa saja yg mereka mau, berdagang menggunakan siapa saja, kapan saja dan pada mana saja. Kesempatan bagi mereka buat menaikkan kekayaan semakin terbuka. Ini tentu terkait pula menggunakan kemampuan mereka pada tawar menawar.
Tahun 1600-1700 merupakan puncak kejayaan kaum saudagar di Eropa. Kaum saudagar menemukan bahwa melalui emas-perak mereka dapat menumpuk kekayaan material & kekuasaan dengan jauh lebih cepat dan efisien daripada para tuan tanah. Ini membuat kelas pedagang mendapatkan posisi politik & ekonomi yg sangat bertenaga.
Inilah yang kemudian ini memicu diadopsinya budaya perdagangan oleh para penguasa politik waktu itu (raja-raja). Muncullah ajaran bullionisme, bahwa kemakmuran suatu negara ditentukan oleh jumlah emas dan perak yang dimilikinya. Inilah pandangan sentral dari Merkantilisme, yang didefinisikan sebagai "suatu sistem intervensi pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran nasional dan menambah kekuasaan negara ... Untuk mendatangkan lebih banyak uang ke dalam pundi-pundi raja, yang memungkinkannya membangun armada laut, mempersenjatai tentara dan menjadikan pemerintahannya ditakuti dan dihormati di seluruh dunia."
Munculnya kesepakatan yg semakin meluas akan logam-logam mulia menjadi alat tukar, memang sangat memungkinkan penumpukan uang menjadi sarana buat memperluas kekuasaan. Dengan memiliki banyak emas, anda bisa memperoleh apapun, berdasarkan manapun. Tentu saja termasuk buat membeli senjata.
Berdasarkan pandangan materlialistik dan mekanistik, Hobbes menyatakan bahwa insan adalah mesin yang digerakkan rasa suka dan rasa tidak senang individual. Dan itu seluruh adalah empiris objektif yg netral, buruk dan tidak buruk, sebagaimana pergerakan bintang-bintang pada langit atau benda yang jatuh ke bawah. Lantaran itu, adalah absah-absah saja & alami jika seorang mengejar kesenangan pribadi. Inilah dasar berdasarkan padangan hedonisme Hobbes.
Pandangan Hedonisme Materialistik ini membuka jalan pembenaran bagi bisnis penumpukan kekayaan. Menumpuk kekayaan merupakan absah lantaran tujuannya adalah mencari kesenangan langsung. Tanggung jawab moral menjadi tidak relevan lagi, karena tidak memiliki dasar objektif konkret. Tindakan mencari kesenangan itu sinkron menggunakan gerak alam, yg buruk dan tidak tidak baik. Rasa bersalah itu tidak konkret & hanya delusi.
Selanjutnya, alat tukar, misalnya emas & bentuk uang lainnya, membuka jalan bagi penumpukan kekayaan yang paling efisien. Selain mempermudah proses rekayasa nilai, emas jua membebaskan upaya penumpukan kekayaan menurut batas-batas fisik. Kekayaan tidak lagi terlihat sebagai tanah berhektar-hektar, yang semakin luas semakin, sulit jua dikontrol. Namun cukup dengan mempunyai gudang-gudang yg lebih gampang diawasi karena memakan loka jauh lebih mini . Jadi, daripada menumpuk kekayaan yg riil, kenapa kita tidak menumpuk indera tukarnya saja ?
Ini secara revolusioner membuka perspektif baru pada nafsu penumpukan kekayaan yang tidak terhingga. Semakin akbar uang yang dimiliki, semakin akbar juga kebebasan buat mendapatkan apapun pada dunia ini. Terciptalah jalan yang lebar dan tak berujung bagi pelampiasan nafsu hura-hura materialistik. Sebagian pakar beranggapan bahwa dalam prakteknya filsafat Hedonisme Hobbes lah yang berpengaruh paling akbar pada ekonomi terbaru daripada teori Adam Smith atau Marx.
Materalisme, prosedur & Hedonisme
Pandangan materialisme adalah salah satu pandangan penting yang mendorong terjadinya jaman pencerahan, di dunia barat. Yaitu jaman yang ditandai dengan bebasnya masyarakat dari dominasi agama dalam kehidupan[2].
Padangan materialisme ini dimulai dengan revolusi pada dunia ilmiah, sang para filsuf terkenal misalnya Copernicus dan Newton. Mereka menyusun teori, yang lalu mendapatkan bukti empiris, bahwa gerakan benda langit dan poly kenyataan lain pada bumi bisa diramalkan melalui perhitungan matematis. Ini lalu memunculkan pandangan bahwa seluruh kenyataan alam pada bumi ini diatur oleh hukum-hukum alam & bukannya sang ?Kehendak Allah?. Kalaupun ada Allah, dia hanya berperan dalam membentuk hukum-hukum alam itu saja. Inilah dasar dari pandangan mekanisme.
Pandangan ini kemudian diambil oleh para filsuf lainnya misalnya John Locke, yg keliru satunya menyatakan bahwa hanya rasio manusialah asal kebenaran. Kebenaran wajib dapat dicermati langsung secara fisik, yg lain merupakan delusi, tidak nyata. Inilah dasar menurut materialisme.
Pandangan ini secara revolusioner melucuti kiprah wahyu Allah sebagai acuan kebenaran. Ungkapan pada kitab kudus yg menyatakan bahwa Allah membentuk bumi ini seluruh itu baik adanya, diganti sebagai pandangan bahwa alam diatur sang aturan-hukum abadi yg netral, tidak baik & tidak jelek.
Lalu, kalau begitu bagaimana menggunakan insan ? Manusiapun dipercaya menjadi mesin yang diatur oleh hukum-aturan alam, yg terjadi begitu saja dan buruk atau nir jelek.
Lalu pada mana posisi kehendak, kesadaran atau moralitas ? Jawabannya merupakan semua itu nir terdapat lagi. Yang ada merupakan gerakan otak yg berjalan secara spontan. Hukum alam yang dianggap mengatur jalannya mesin manusia ini, sebagaimana diungkapkan Thomas Hobbes[3], merupakan rasa senang & tidak senang langsung. Tidak ada ukuran tentang baik dan tidak baik. Yang baik hanyalah apa yang menaruh kesenangan dan yg jelek adalah yg mengakibatkan penderitaan. Inilah dasar berdasarkan filsafat hedonisme yang menerima pembenaran baru dari materialisme dan prosedur[4].
Mereka tidak terlalu pusing menggunakan memperluas wilayah kekuasaan. Kepentingan primer para pedagang merupakan mencari barang dagangan baru, yang bisa diperdagangkan. Atau, tepatnya barang yg dapat dikonversi menjadi uang (emas) buat terus mengisi pundi-pundinya. Dan, semakin langka atau sukar diperoleh suatu barang semakin mahal harganya.
Tetapi, kemudian muncul kesulitan teknis. Bagaimana mendapatkan barang-barang di daerah-daerah yg sudah dikuasai oleh penduduk asli itu ?
Mula-mula, mereka mencoba melakukan barter menggunakan membawa barang-barang menurut Eropa. Tetapi, nir poly barang berdasarkan Eropa yg diperlukan penduduk asli. Misalnya, mereka nir membutuhkan perhiasan & mempunyai persepsi nilai yang tidak sinkron pula. Lagipula, karena ekonomi penduduk asli lebih mementingkan nilai kesukuan dan korelasi, mereka tidak punya motivasi besar buat bertransaksi menggunakan orang asing.
Singkat cerita, setelah menerapkan poly taktik, termasuk menjual minuman keras, para pedagang mulai bermain ?Kasar?. Mereka berkolaborasi menggunakan negara untuk memanfaatkan kekuatan militernya. Ini merupakan salah satu awal permainan politik para pedagang, yang masih berlaku sampai kini .
Sekali lagi, memperluas wilayah kekuasaan, bukanlah hal yang penting bagi para pedagang. Tujuan mereka sebenarnya adalah : Dengan membuat suatu daerah menjadi wilayah jajahan suatu negara, maka mereka bisa memaksakan penduduk asli buat memakai alat tukar mereka. Caranya, menggunakan mewajibkan penduduk asli membayar pajak pada bentuk mata uang yg mereka keluarkan dan kendalikan.
Ini merupakan cara yg sangat jitu. Posisi ketua desa sebagai turun tingkatannya menurut menjadi pemimpin warga , sebagai sekedar pengumpul pajak warga . Orang desa harus melakukan aneka macam cara untuk mendapatkan uang. Mereka keluar kampung bekerja pada perkebunan-perkebunan penjajah. Dengan demikian, hubungan relasi hancur & perlahan diganti menggunakan interaksi pasar & kebergantungan pada pemilik uang.
Inilah kisah yg jarang terungkap tentang kolonialisme. Namun sangat penting peranannya bagi berkembangnya penggunaan uang & kebergantungan pada uang, yg kita rasakan pada dunia sekarang ini.
Yang terjadi selanjutnya adalah semakin intensifnya proses integrasi uang dalam berbagai aspek kehidupan. Dan tentu saja, posisi politik para pedagang semakin kuat & permainan politik mereka semakin intensif & canggih. Pandangan neoliberal adalah pandangan politik ekonomi yang dikembangkan untuk semakin menginternalisasikan uang & aktivitas perdagangan dalam kehidupan politik. Yang tentu saja, akan semakin memperkuat posisi para pedagang.
Berkembangnya revolusi Industri menaruh peluang kegiatan ekonomi baru. Tetapi sebenarnya para pedagang tidak mempunyai minat tinggi buat membuat & mengelola suatu pabrik. Kegiatan ini terlalu dikotori sang oli mesin & para buruh yg bau & jorok.
Nah, jikalau tuan tanah dulu menyewakan tanah mereka, kemudian tinggal ongkang-ongkang kaki hayati glamor dari hasil bumi, kenapa kita tidak sanggup menyewakan uang & selanjutnya tinggal ongkang-ongkang kaki jua?
Mulailah para pemilik uang meminjamkan uang pada para wirausaha, suatu aktivitas yg lalu kita sebut menggunakan investasi. Meminjam & membungakan uang bukanlah aktivitas yg baru dalam sejarah insan. Namun, investasi melalui industri menjanjikan laba yg lebih besar tanpa kegiatan berdagang yang melelahkan. Cukup menggunakan memanfaatkan kekuatan uang yg mereka miliki, mereka dapat menguasai dalam pengusaha, yg selanjutnya akan membentuk uang poly bagi mereka, tanpa harus berpeluh & berkonflik dengan para buruh.
Dengan demikian, muncullah kelas baru pada warga yaitu para investor, yg mampu saja kita sebut sebagai Tuan Uang karena mereka hayati berdasarkan menyewakan uang.
Pemerintah, perlahan-perlahan bertransformasi menjadi lembaga pengelola uang. Persoalan moneter semakin sebagai pekerjaan yang menghabiskan saat pemerintah. Sampai-sampai ketika ini posisi menteri keuangan dan Bank Sentral sanggup sebagai lebih bertenaga dibandingkan presiden. Apalagi jika dibandingkan menggunakan menteri-menteri lain seperti menteri kesehatan, lingkungan, pendidikan, kebudayaan. Lihat saja pengaruh Alan Greenspan, Gubernur Bank Sentral Amerika.
Aktivitas investasi memunculkan Bank sebagai lembaga yg spesifik mengurus peminjaman uang buat investasi. Lembaga ini membuka jalan petualangan yang baru bagi para pedagang, yaitu menumpuk lebih banyak uang menggunakan memperjualbelikan uang yg sudah mereka miliki.
Di atas seluruh itu, ada pula lembaga baru yang membuat ekonomi berbasis uang menjadi semakin secara umum dikuasai dan semakin militan, yaitu perusahaan terbuka. Perusahaan terbuka dimiliki sang para investor yang menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Ini adalah perkembangan lebih lanjut berdasarkan apa yg telah terjadi dari masa revolusi industri.
Saat ini semua perusahaan memiliki struktur dasar yang sama, yaitu terdiri menurut pemilik dan manajemen. Namun, tidak sinkron dengan perusahaan perorangan maupun famili, hubungan antara manajemen menggunakan menggunakan investor hanyalah terkait menggunakan penumpukan modal. Tidak ada keterkaitan personal.
Nihilnya keterkaitan personal antara pemilik & perusahaan semakin diperkuat dengan berkembangnya pasar modal. Melalui pasar modal, kepemilikan seseorang terhadap perusahaan bersifat ad interim. Tepatnya, selama penanam modal masih menerima laba. Bila sebuah perusahaan tidak lagi menguntungkan, modal akan ditarik segera.
Bangkrutnya sebuah perusahaan tidak dipedulikan investor, yang penting uangnya selamat. Investor juga biasanya tidak peduli bagaimana cara perusahaan mencari uang, yang penting untung. Sekali lagi, ini merupakan perwujudan dari filsafat materialisme Hobbes. Don’t take it personally man ! Welcome to the money world !
Terciptalah sebuah lembaga dengan satu tujuan, menghasilkan laba. Manajemen perusahaan selalu menghadapi tekanan buat tidak saja mencegah kerugian, tetapi menaikkan keuntungan dari tahun ke tahun. Kalau tidak, mereka akan kehilangan pekerjaan. Begitulah, para pengusaha & manajer perusahaan, orang-orang yg harus berpeluh mengoperasikan & mengelola kegiatan produksi, dipaksa semakin tunduk dalam kekuatan uang para investor.
Diabaikannya moralitas sekarang bukan saja ditopang sang filsafat hedonisme materialistik-mekanistik, tetapi jua sang keterpaksaan struktural. Bila sebuah perusahaan merusak lingkungan atau menyogok birokrat, pengelolanya akan berkata, ?Harus bagaimana lagi, kita dituntut buat mencari laba?. Sedangkan, para penanam kapital menyatakan bahwa mereka nir bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan perusahaan. Dan, memang secara hukumpun demikian, para investor nir mempunyai tanggung jawab terhadap kemana modal ditanamkan.
Perusahaan terbuka (Korporasi) bisa dikatakan sebagai the institution of the century. Pengaruhnya lebih besar dari institusi apapun, termasuk negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semua tunduk pada hukum korporasi. Kenyataannya, sehari-hari kita semakin terbiasa mendengar bahwa tugas utama pemerintah adalah menarik investor dan mencegah investor melarikan modalnya. Dan untuk itu, buruh, petani dan alam telah dikorbankan.
Filsafat hedonisme kembali dimanfaatkan oleh para pedagang. Kesenangan seseorang tidak ada batasnya. Bila semangat mencari kesenangan membara, peluang memperdagangkan barang terbuka lebar. Barang-barang yang tidak terlalu bermanfaat seperti, perhiasan, kosmetik, junk food dan segala bentuk barang mewah, menjadi barang dagangan dengan nilai tinggi. Inilah dasar dari berkembangnya semangat konsumerisme. Konsumerisme sangat dibutuhkan untuk memungkinkan terjadinya perdagangan[5]. Terlebih lagi di jaman modern ini, di mana kolonialisme fisik sudah diharamkan.
Karena itulah, para pedagang bekerja keras membuatkan gaya hayati hedonis ke seluruh pelosok dunia. Melalui iklan, model-model manis dan gambaran hayati gemerlap, dipromosikan secara gencar. Dengan demikian pedagang telah memperluas kegiatannya menurut merekayasa nilai barang pada merekayasa kebutuhan hidup insan. Tentu, ini demi memperluas kegiatan perdagangan itu sendiri. Saat ini pengeluaran global buat iklan semakin mendekati pengeluaran buat militer.
[1] yang dimaksud di sini secara khusus memang yang diklaim dengan kaum Cina Perantauan, yaitu gerombolan orang Cina yang mengadopsi budaya perdagangan, yg paradoksal menggunakan orang Cina pedalaman yang mengadopsi budaya agraris feodal, sehingga lebih seperti dengan budaya Jawa.
[2] Masa-masa di mana orang Eropa berada dalam kekuasaan agama biasa disebut abad pertengahan atau abad kegelapan (Dark Age)
[3] seorang filsuf (1588-1679)
[4] Dengan demikian, pandangan Kristiani buat ?Menderita bagi orang lain dan kebenaran?, atau pandangan Jihad buat ?Mengorbakan jiwa bagi keyakinan?, sebagai absurd pada pandangan Hedonisme.
[5] Dan pada dalam perdagangan ada peluang besar buat memainkan nilai barang, yang sebagai wahana utama buat memanfaatkan uang untuk menumpuk kekayaan.
Katanya, itu karena kalau orang Jawa ke luar tempat tinggal dengan maksud mencari penghidupan, mereka bilang, "Mau cari kerjadanquot; sedangkan orang Cina Perantauan bilang, "Mau cari uangdanquot;. Jadilah orang Jawa memang mendapatkan pekerjaan misalnya yang diinginkan, bukannya uang, sehingga mereka selalu miskin.
Gurauan ini sebenarnya mencerminkan paradoksal antara budaya agraris yg bergantung/berorientasi pada alam dan budaya yang bergantung/berorientasi dalam uang. Seberapa dalamkah makna perbedaan ini bagi kehidupan kita, bahkan bagi masa depan umat insan ke depan ?
Di dunia terbaru sekarang ini, sadar atau nir sadar, banyak berdasarkan kita yang mencicipi kontradiksi berdasarkan 2 model pemaknaan akan uang.
Di sekolah kita diajarkan bahwa uang merupakan indera yang membantu kita mempertukarkan barang atau jasa. Jadi uang adalah indera. Kalau indera tentu ia hanya digunakan sesuai menggunakan kebutuhan. Namun kehidupan sehari-hari justru mengajarkan bahwa uang merupakan 'hampir' segalanya bagi hidup kita. Banyak orang menduga bahwa tanpa uang ia nir mampu hidup. Di sini uang bukan lagi sekedar indera, namun sebagai tujuan hayati kita.
Kita diajarkan bahwa pendidikan bertujuan buat membuatkan manusia seutuhnya dan bermanfaat bagi nusa & bangsa. Tapi pada kenyataannya, poly sarjana merasa bahwa sekolah mereka nir ada keuntungannya (rugi kapital), bila mereka nir berhasil memperoleh banyak uang darinya.
Uang telah memasuki relung-relung terdalam hayati kita. Ia sudah sebagai sebuah sumberdaya yg mendasar yg memilih, apakah kita bisa sembuh menurut suatu penyakit, apakah anak-anak kita sanggup sekolah ataupun rumah misalnya apa yg kita tinggali. Bahkan, ketika ini perceraian lantaran perkara ekonomi (uang) ataupun konflik orang tua & anak karena masalah uang jajan, semakin meningkat. Juga, tidak lagi terlalu mengherankan, jika seseorang diketahui bunuh diri atau membunuh orang lain lantaran urusan uang.
Saya ingin mengajak anda buat sejenak memandang uang menurut perspektif sejarah ini dia. Semoga bisa menaruh sedikit ide buat membantu kita memilih perilaku terhadap uang.
Alat tukar yang mempermudah hayati kita
Pada awalnya uang memang benar-benar sebuah alat untuk mempermudah & mengefisienkan proses tukar menukar. Dan nir seluruh proses tukar menukar memakai uang, cukup sering jua dilakukan proses barter.Sistem barter memang memiliki beberapa persoalan mudah. Misalnya, suatu hari Pak Ujang ingin makan Ayam goreng. Ia memahami Bu Ratmi memiliki beberapa ekor Ayam. Untuk itu Pak Ujang mengajak Bu Ratmi menukar anak kambingnya menggunakan ayam Bu Ratmi.
Untuk melakukan pertukaran, Pak Ujang dan Bu Ratmi wajib menyepakati nilai barang masing-masing dibandingkan barang yg lain. Setelah berdiskusi keduanya sebenarnya sepaham bahwa anak kambing Pak Ujang, nilainya lima kali Ayam Bu Ratmi. Masalahnya Bu Ratmi hanya punya tiga ekor ayam. Nah lho ? Bingunglah keduanya.
Kemudian Pak Ujang mendapat gagasan baru : ?Bagaimana jika ayam Bu Ratmi ditukar dengan Itik aku ??. Setelah diskusi Bu Ratmi bersikukuh bahwa itik Pak Ujang adalah dua/3 nilai ayammya. Nah lho, gundah lagi mereka. Bagaimana pertukaran dilakukan ?
Ini baru beberapa dilema. Ada problem lagi, misalnya jika Bu Ratmi tidak menginginkan Itik ataupun Kambing. Kasihan benar Pak Ujang. Mau makan ayam goreng saja susahnya minta ampun?
Nah, hidup Bu Ratmi dan Pak Ujang akan lebih gampang dengan menggunakan indera tukar. Alat tukar itu sendiri nir perlu mempunyai nilai dan sanggup berupa apa saja. Bisa saja dipakai batu, rabat kayu, lembaran kertas, kain atau apapun. Yang krusial sekelompok orang yg tak jarang bertukar barang satu sama lain menyepakati penggunaannya.
Dengan menggunakan alat tukar, batu misalnya, Pak Ujang bisa dan Bu Ratmi mampu menyepakati bahwa Ayam bernilai 9 batu & Itik bernilai 6 batu, contohnya. Jadi Pak Ujang bisa mendapatkan seekor Ayam, menggunakan menaruh seekor itik ke Bu Ratmi ditambah 3 butir batu. Atau jika Bu Ratmi tidak menginginkan itik, Pak Ujang mampu saja memberikan 9 butir batu buat menerima Ayam. Bu Ratmi mampu menyimpan batu itu buat nantinya ditukar menggunakan baju yg dijual Pak Amir atau Tomat yang ditanam Bu Encih. Tentu selama semua orang itu juga setuju bahwa batu itu adalah alat tukar yg dapat diterima.
Alat tukar dalam bentuk apapun inilah yg kemudian kita namakan menjadi uang.
Berubahnya Makna Alat Tukar
Berkembangnya pemaknaan terhadap uang dapat kita telusuri dari sejarah kebudayaan di Eropa. Memang, konsep uang seperti yang kita pahami kini , mula-mula berkembang di Eropa, & kemudian menyebar ke semua dunia melalui kolonialisme.Berkembangnya Perdagangan dan kaum bangsawan
Titik balik krusial pertama dalam pemaknaan akan uang adalah berkembangnya perdagangan dan kaum pedagang, terutama setelah emas dan logam mulia lainnya semakin luas diterima sebagai alat tukar. Kaum pedagang menemukan bahwa mereka dapat menumpuk banyak emas dengan kemampuan mereka mempermainkan nilai tukar barang (bahasa awamnya --> tawar menawar).Meluasnya penggunaan alat tukar memberikan kebebasan lebih besar bagi para pedagang buat memainkan nilai tukar. Berbeda menggunakan barter, transaksi melalui uang nir melibatkan suatu barang secara fisik. Nilai suatu barang tidak ditinjau lagi nisbi terhadap benda lain (yg dipertukarkan), namun dalam dasarnya berdasarkan kesepakatan antara penjual & pembeli. Artinya si pembeli atau penjual dapat memanfaatkan permainan psikologis atau permainan apapun buat merekayasa nilai suatu barang. Emas sudah mulai membuka jalan kebebasan bertransaksi (baca : rekayasa nilai), secara luar biasa.
Selain itu menggunakan semakin meluasnya penggunaan emas menjadi alat tukar, para pedagang menemukan bahwa, menggunakan emas/perak mereka dapat memperoleh hampir apa saja yg mereka mau, berdagang menggunakan siapa saja, kapan saja dan pada mana saja. Kesempatan bagi mereka buat menaikkan kekayaan semakin terbuka. Ini tentu terkait pula menggunakan kemampuan mereka pada tawar menawar.
Tahun 1600-1700 merupakan puncak kejayaan kaum saudagar di Eropa. Kaum saudagar menemukan bahwa melalui emas-perak mereka dapat menumpuk kekayaan material & kekuasaan dengan jauh lebih cepat dan efisien daripada para tuan tanah. Ini membuat kelas pedagang mendapatkan posisi politik & ekonomi yg sangat bertenaga.
Inilah yang kemudian ini memicu diadopsinya budaya perdagangan oleh para penguasa politik waktu itu (raja-raja). Muncullah ajaran bullionisme, bahwa kemakmuran suatu negara ditentukan oleh jumlah emas dan perak yang dimilikinya. Inilah pandangan sentral dari Merkantilisme, yang didefinisikan sebagai "suatu sistem intervensi pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran nasional dan menambah kekuasaan negara ... Untuk mendatangkan lebih banyak uang ke dalam pundi-pundi raja, yang memungkinkannya membangun armada laut, mempersenjatai tentara dan menjadikan pemerintahannya ditakuti dan dihormati di seluruh dunia."
Munculnya kesepakatan yg semakin meluas akan logam-logam mulia menjadi alat tukar, memang sangat memungkinkan penumpukan uang menjadi sarana buat memperluas kekuasaan. Dengan memiliki banyak emas, anda bisa memperoleh apapun, berdasarkan manapun. Tentu saja termasuk buat membeli senjata.
Sinergi filsafat materialisme hedonis dan uang
Berkembang pesatnya kegiatan perdagangan & kaum bangsawan, didorong sang berkembangnya pandangan materialisme, mekanisme dan hedonisme yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes. Di mana Hobbes memperoleh argumentasinya berdasarkan pandangan materialistik dan mekanistik menurut revolusi ilmu pengetahuan yg terkait menggunakan nama-nama terkenal misalnya Copernicus & Newton.Berdasarkan pandangan materlialistik dan mekanistik, Hobbes menyatakan bahwa insan adalah mesin yang digerakkan rasa suka dan rasa tidak senang individual. Dan itu seluruh adalah empiris objektif yg netral, buruk dan tidak buruk, sebagaimana pergerakan bintang-bintang pada langit atau benda yang jatuh ke bawah. Lantaran itu, adalah absah-absah saja & alami jika seorang mengejar kesenangan pribadi. Inilah dasar berdasarkan padangan hedonisme Hobbes.
Pandangan Hedonisme Materialistik ini membuka jalan pembenaran bagi bisnis penumpukan kekayaan. Menumpuk kekayaan merupakan absah lantaran tujuannya adalah mencari kesenangan langsung. Tanggung jawab moral menjadi tidak relevan lagi, karena tidak memiliki dasar objektif konkret. Tindakan mencari kesenangan itu sinkron menggunakan gerak alam, yg buruk dan tidak tidak baik. Rasa bersalah itu tidak konkret & hanya delusi.
Selanjutnya, alat tukar, misalnya emas & bentuk uang lainnya, membuka jalan bagi penumpukan kekayaan yang paling efisien. Selain mempermudah proses rekayasa nilai, emas jua membebaskan upaya penumpukan kekayaan menurut batas-batas fisik. Kekayaan tidak lagi terlihat sebagai tanah berhektar-hektar, yang semakin luas semakin, sulit jua dikontrol. Namun cukup dengan mempunyai gudang-gudang yg lebih gampang diawasi karena memakan loka jauh lebih mini . Jadi, daripada menumpuk kekayaan yg riil, kenapa kita tidak menumpuk indera tukarnya saja ?
Ini secara revolusioner membuka perspektif baru pada nafsu penumpukan kekayaan yang tidak terhingga. Semakin akbar uang yang dimiliki, semakin akbar juga kebebasan buat mendapatkan apapun pada dunia ini. Terciptalah jalan yang lebar dan tak berujung bagi pelampiasan nafsu hura-hura materialistik. Sebagian pakar beranggapan bahwa dalam prakteknya filsafat Hedonisme Hobbes lah yang berpengaruh paling akbar pada ekonomi terbaru daripada teori Adam Smith atau Marx.
Materalisme, prosedur & Hedonisme
Pandangan materialisme adalah salah satu pandangan penting yang mendorong terjadinya jaman pencerahan, di dunia barat. Yaitu jaman yang ditandai dengan bebasnya masyarakat dari dominasi agama dalam kehidupan[2].
Padangan materialisme ini dimulai dengan revolusi pada dunia ilmiah, sang para filsuf terkenal misalnya Copernicus dan Newton. Mereka menyusun teori, yang lalu mendapatkan bukti empiris, bahwa gerakan benda langit dan poly kenyataan lain pada bumi bisa diramalkan melalui perhitungan matematis. Ini lalu memunculkan pandangan bahwa seluruh kenyataan alam pada bumi ini diatur oleh hukum-hukum alam & bukannya sang ?Kehendak Allah?. Kalaupun ada Allah, dia hanya berperan dalam membentuk hukum-hukum alam itu saja. Inilah dasar dari pandangan mekanisme.
Pandangan ini kemudian diambil oleh para filsuf lainnya misalnya John Locke, yg keliru satunya menyatakan bahwa hanya rasio manusialah asal kebenaran. Kebenaran wajib dapat dicermati langsung secara fisik, yg lain merupakan delusi, tidak nyata. Inilah dasar menurut materialisme.
Pandangan ini secara revolusioner melucuti kiprah wahyu Allah sebagai acuan kebenaran. Ungkapan pada kitab kudus yg menyatakan bahwa Allah membentuk bumi ini seluruh itu baik adanya, diganti sebagai pandangan bahwa alam diatur sang aturan-hukum abadi yg netral, tidak baik & tidak jelek.
Lalu, kalau begitu bagaimana menggunakan insan ? Manusiapun dipercaya menjadi mesin yang diatur oleh hukum-aturan alam, yg terjadi begitu saja dan buruk atau nir jelek.
Lalu pada mana posisi kehendak, kesadaran atau moralitas ? Jawabannya merupakan semua itu nir terdapat lagi. Yang ada merupakan gerakan otak yg berjalan secara spontan. Hukum alam yang dianggap mengatur jalannya mesin manusia ini, sebagaimana diungkapkan Thomas Hobbes[3], merupakan rasa senang & tidak senang langsung. Tidak ada ukuran tentang baik dan tidak baik. Yang baik hanyalah apa yang menaruh kesenangan dan yg jelek adalah yg mengakibatkan penderitaan. Inilah dasar berdasarkan filsafat hedonisme yang menerima pembenaran baru dari materialisme dan prosedur[4].
Kolonialisme & Ekspansi Penggunaan Uang
Lepasnya batas-batas fisik terhadap nafsu menumpuk kekayaan yg bertransformasi menjadi nafsu menumpuk uang, mendorong terjadinya kolonialisme. Mula-mula sekali, para pedaganglah yg bertualang ke aneka macam penjuru global mencari barang yg mampu diperdagangkan. Misalnya, yg datang pertama kali ke Indonesia, bukanlah pemerintah Belanda tetapi VOC.Mereka tidak terlalu pusing menggunakan memperluas wilayah kekuasaan. Kepentingan primer para pedagang merupakan mencari barang dagangan baru, yang bisa diperdagangkan. Atau, tepatnya barang yg dapat dikonversi menjadi uang (emas) buat terus mengisi pundi-pundinya. Dan, semakin langka atau sukar diperoleh suatu barang semakin mahal harganya.
Tetapi, kemudian muncul kesulitan teknis. Bagaimana mendapatkan barang-barang di daerah-daerah yg sudah dikuasai oleh penduduk asli itu ?
Mula-mula, mereka mencoba melakukan barter menggunakan membawa barang-barang menurut Eropa. Tetapi, nir poly barang berdasarkan Eropa yg diperlukan penduduk asli. Misalnya, mereka nir membutuhkan perhiasan & mempunyai persepsi nilai yang tidak sinkron pula. Lagipula, karena ekonomi penduduk asli lebih mementingkan nilai kesukuan dan korelasi, mereka tidak punya motivasi besar buat bertransaksi menggunakan orang asing.
Singkat cerita, setelah menerapkan poly taktik, termasuk menjual minuman keras, para pedagang mulai bermain ?Kasar?. Mereka berkolaborasi menggunakan negara untuk memanfaatkan kekuatan militernya. Ini merupakan salah satu awal permainan politik para pedagang, yang masih berlaku sampai kini .
Sekali lagi, memperluas wilayah kekuasaan, bukanlah hal yang penting bagi para pedagang. Tujuan mereka sebenarnya adalah : Dengan membuat suatu daerah menjadi wilayah jajahan suatu negara, maka mereka bisa memaksakan penduduk asli buat memakai alat tukar mereka. Caranya, menggunakan mewajibkan penduduk asli membayar pajak pada bentuk mata uang yg mereka keluarkan dan kendalikan.
Ini merupakan cara yg sangat jitu. Posisi ketua desa sebagai turun tingkatannya menurut menjadi pemimpin warga , sebagai sekedar pengumpul pajak warga . Orang desa harus melakukan aneka macam cara untuk mendapatkan uang. Mereka keluar kampung bekerja pada perkebunan-perkebunan penjajah. Dengan demikian, hubungan relasi hancur & perlahan diganti menggunakan interaksi pasar & kebergantungan pada pemilik uang.
Inilah kisah yg jarang terungkap tentang kolonialisme. Namun sangat penting peranannya bagi berkembangnya penggunaan uang & kebergantungan pada uang, yg kita rasakan pada dunia sekarang ini.
Ekonomi uang di jaman modern
Kolonialisme dan meluasnya penggunaan uang telah membentuk dunia yang sekarang kita hidupi. Kebergantungan kita pada uang bukanlah hasil dari proses alami, tetapi hasil dari move politik kaum pedagang yang mengeksploitasi sifat uang demi kepentingan mereka. Dan, sejak jaman kolonialisme negara sudah di dalam genggaman mereka, baik itu negara penjajah maupun negera yang terjajah.Yang terjadi selanjutnya adalah semakin intensifnya proses integrasi uang dalam berbagai aspek kehidupan. Dan tentu saja, posisi politik para pedagang semakin kuat & permainan politik mereka semakin intensif & canggih. Pandangan neoliberal adalah pandangan politik ekonomi yang dikembangkan untuk semakin menginternalisasikan uang & aktivitas perdagangan dalam kehidupan politik. Yang tentu saja, akan semakin memperkuat posisi para pedagang.
Revolusi Industri & Munculnya kelas investor : Tuan Uang
Keberhasilan kaum pedagang pada memanfaatkan meluasnya penggunaan uang & kemampuan khusus mereka dalam merekayasa nilai barang, memungkinkan mereka mengakumulasi uang dalam jumlah melimpah. Menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana cara yg paling efektif buat meningkatkan kekayaan dengan memanfaatkan aset uang mereka yang melimpah itu. Adakah cara lain yg lebih ?Menyenangkan? Selain berdasarkan sebagai pedagang ?Berkembangnya revolusi Industri menaruh peluang kegiatan ekonomi baru. Tetapi sebenarnya para pedagang tidak mempunyai minat tinggi buat membuat & mengelola suatu pabrik. Kegiatan ini terlalu dikotori sang oli mesin & para buruh yg bau & jorok.
Nah, jikalau tuan tanah dulu menyewakan tanah mereka, kemudian tinggal ongkang-ongkang kaki hayati glamor dari hasil bumi, kenapa kita tidak sanggup menyewakan uang & selanjutnya tinggal ongkang-ongkang kaki jua?
Mulailah para pemilik uang meminjamkan uang pada para wirausaha, suatu aktivitas yg lalu kita sebut menggunakan investasi. Meminjam & membungakan uang bukanlah aktivitas yg baru dalam sejarah insan. Namun, investasi melalui industri menjanjikan laba yg lebih besar tanpa kegiatan berdagang yang melelahkan. Cukup menggunakan memanfaatkan kekuatan uang yg mereka miliki, mereka dapat menguasai dalam pengusaha, yg selanjutnya akan membentuk uang poly bagi mereka, tanpa harus berpeluh & berkonflik dengan para buruh.
Dengan demikian, muncullah kelas baru pada warga yaitu para investor, yg mampu saja kita sebut sebagai Tuan Uang karena mereka hayati berdasarkan menyewakan uang.
Lembaga-forum uang : Money Inc.
Akhir abad 19 & abad 20, ditandai menggunakan berkembangnya banyak sekali bentuk lembaga keuangan.Pemerintah, perlahan-perlahan bertransformasi menjadi lembaga pengelola uang. Persoalan moneter semakin sebagai pekerjaan yang menghabiskan saat pemerintah. Sampai-sampai ketika ini posisi menteri keuangan dan Bank Sentral sanggup sebagai lebih bertenaga dibandingkan presiden. Apalagi jika dibandingkan menggunakan menteri-menteri lain seperti menteri kesehatan, lingkungan, pendidikan, kebudayaan. Lihat saja pengaruh Alan Greenspan, Gubernur Bank Sentral Amerika.
Aktivitas investasi memunculkan Bank sebagai lembaga yg spesifik mengurus peminjaman uang buat investasi. Lembaga ini membuka jalan petualangan yang baru bagi para pedagang, yaitu menumpuk lebih banyak uang menggunakan memperjualbelikan uang yg sudah mereka miliki.
Di atas seluruh itu, ada pula lembaga baru yang membuat ekonomi berbasis uang menjadi semakin secara umum dikuasai dan semakin militan, yaitu perusahaan terbuka. Perusahaan terbuka dimiliki sang para investor yang menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Ini adalah perkembangan lebih lanjut berdasarkan apa yg telah terjadi dari masa revolusi industri.
Saat ini semua perusahaan memiliki struktur dasar yang sama, yaitu terdiri menurut pemilik dan manajemen. Namun, tidak sinkron dengan perusahaan perorangan maupun famili, hubungan antara manajemen menggunakan menggunakan investor hanyalah terkait menggunakan penumpukan modal. Tidak ada keterkaitan personal.
Nihilnya keterkaitan personal antara pemilik & perusahaan semakin diperkuat dengan berkembangnya pasar modal. Melalui pasar modal, kepemilikan seseorang terhadap perusahaan bersifat ad interim. Tepatnya, selama penanam modal masih menerima laba. Bila sebuah perusahaan tidak lagi menguntungkan, modal akan ditarik segera.
Bangkrutnya sebuah perusahaan tidak dipedulikan investor, yang penting uangnya selamat. Investor juga biasanya tidak peduli bagaimana cara perusahaan mencari uang, yang penting untung. Sekali lagi, ini merupakan perwujudan dari filsafat materialisme Hobbes. Don’t take it personally man ! Welcome to the money world !
Terciptalah sebuah lembaga dengan satu tujuan, menghasilkan laba. Manajemen perusahaan selalu menghadapi tekanan buat tidak saja mencegah kerugian, tetapi menaikkan keuntungan dari tahun ke tahun. Kalau tidak, mereka akan kehilangan pekerjaan. Begitulah, para pengusaha & manajer perusahaan, orang-orang yg harus berpeluh mengoperasikan & mengelola kegiatan produksi, dipaksa semakin tunduk dalam kekuatan uang para investor.
Diabaikannya moralitas sekarang bukan saja ditopang sang filsafat hedonisme materialistik-mekanistik, tetapi jua sang keterpaksaan struktural. Bila sebuah perusahaan merusak lingkungan atau menyogok birokrat, pengelolanya akan berkata, ?Harus bagaimana lagi, kita dituntut buat mencari laba?. Sedangkan, para penanam kapital menyatakan bahwa mereka nir bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan perusahaan. Dan, memang secara hukumpun demikian, para investor nir mempunyai tanggung jawab terhadap kemana modal ditanamkan.
Perusahaan terbuka (Korporasi) bisa dikatakan sebagai the institution of the century. Pengaruhnya lebih besar dari institusi apapun, termasuk negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semua tunduk pada hukum korporasi. Kenyataannya, sehari-hari kita semakin terbiasa mendengar bahwa tugas utama pemerintah adalah menarik investor dan mencegah investor melarikan modalnya. Dan untuk itu, buruh, petani dan alam telah dikorbankan.
Konsumerisme : hedonisme pada masa ini
Pandangan hura-hura materialistik mekanistik membuka area baru pada cara menumpuk kekayaan. Keterbatasan aktivitas perdagangan adalah kebutuhan seseorang. Bila kebutuhan seseorang terpenuhi kegiatan perdagangan terhenti. Akibatnya, terhambatlah peluang pedagang menaikkan aset uangnya.Filsafat hedonisme kembali dimanfaatkan oleh para pedagang. Kesenangan seseorang tidak ada batasnya. Bila semangat mencari kesenangan membara, peluang memperdagangkan barang terbuka lebar. Barang-barang yang tidak terlalu bermanfaat seperti, perhiasan, kosmetik, junk food dan segala bentuk barang mewah, menjadi barang dagangan dengan nilai tinggi. Inilah dasar dari berkembangnya semangat konsumerisme. Konsumerisme sangat dibutuhkan untuk memungkinkan terjadinya perdagangan[5]. Terlebih lagi di jaman modern ini, di mana kolonialisme fisik sudah diharamkan.
Karena itulah, para pedagang bekerja keras membuatkan gaya hayati hedonis ke seluruh pelosok dunia. Melalui iklan, model-model manis dan gambaran hayati gemerlap, dipromosikan secara gencar. Dengan demikian pedagang telah memperluas kegiatannya menurut merekayasa nilai barang pada merekayasa kebutuhan hidup insan. Tentu, ini demi memperluas kegiatan perdagangan itu sendiri. Saat ini pengeluaran global buat iklan semakin mendekati pengeluaran buat militer.
[1] yang dimaksud di sini secara khusus memang yang diklaim dengan kaum Cina Perantauan, yaitu gerombolan orang Cina yang mengadopsi budaya perdagangan, yg paradoksal menggunakan orang Cina pedalaman yang mengadopsi budaya agraris feodal, sehingga lebih seperti dengan budaya Jawa.
[2] Masa-masa di mana orang Eropa berada dalam kekuasaan agama biasa disebut abad pertengahan atau abad kegelapan (Dark Age)
[3] seorang filsuf (1588-1679)
[4] Dengan demikian, pandangan Kristiani buat ?Menderita bagi orang lain dan kebenaran?, atau pandangan Jihad buat ?Mengorbakan jiwa bagi keyakinan?, sebagai absurd pada pandangan Hedonisme.
[5] Dan pada dalam perdagangan ada peluang besar buat memainkan nilai barang, yang sebagai wahana utama buat memanfaatkan uang untuk menumpuk kekayaan.
Langganan:
Postingan (Atom)