Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Agustus 2016. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Agustus 2016. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Juni 2020

[MEDIA] 71 Tahun Indonesia Merdeka: Narasi dalam Buku

Oleh: Kukuh Samudra

Kemerdekaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para pahlawan terdahulu. Mereka berjuang tidak hanya dengan senjata di tangan. Senjata mereka bukanlah tipe yang sekali tusuk musuh mati seketika, atau sekali tembak puluhan peluru berdesir. Waktu tidak membuat senjata ini berkarat. Senjata tersebut tidak lain adalah buku.

Indonesia Menggugat

Seorang insinyur lulusan anyar yang mendapatkan kemewahan pendidikan tinggi diliputi kegelisahan atas nasib bangsanya. Setelah menamatkan studinya di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB), dia bersama kawan-kawannya mendirikan kelompok diskusi yang dinamakan Algamenee Studieklub. Pemuda tersebut tidak lain adalah Sukarno.

Diskusi rutin mereka adakan dengan tema-tema seputar politik dan kebangsaan. Belanda tidak senang, lantas menangkap mereka dengan dalih mengancam ketertiban dan ketentraman.

Sukarno, yang kelak dikenal sebagai Proklamator kemerdekaan Indonesia bersama tiga orang kawannya yang lain: Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata ditangkap Belanda pada tanggal 29 Desember 1929. Dalam rentang dua bulan, Sukarno harus menulis sendiri pembelaannya. Sang istri, Inggit Ganarsih, berperan besar dalam upaya pembuatan pembelaan tersebut dengan menyuplai bahan bacaan dan alat tulis. Buku dan alat tulis disembunyikan oleh Inggit di balik kebayanya. Sukarno paham betul, latar belakang mereka ditangkap adalah alasan politik. Dasar penangkapan mereka adalah UU pasal 169 tentang penyebaran kebencian terhadap penguasa. Pasal yang sering dijuluki sebagai “pasal karet” karena memiliki ruang penafsiran yang begitu luas sehingga sering digunakan penguasa untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sukarno menuliskan dalam pleidoinya : Tak usah kami uraikan lagi, bahwa proses ini adalah proses politik; iya, oleh karenanya di dalam pemeriksaannya, tidak boleh dipisahkan dari soal-soal politik yang menjadi sifat dan azas pergerakan kami, dan jang menjadi nyawanya fikiran-fikiran dan tindakan-tindakan kami . Sukarno ditangkap pihak Belanda karena ditengarai hendak merencanakan kudeta bersenjata. Selain Sukarno terdapat 40 aktivis lain yang ditangkap oleh Belanda. Padahal saat terjadi penangkapan, jelas mereka tidak memiliki senjata barang golok maupun pistol.

Amboi! Golok, bom dan dinamit! Kami dituduh golok-golokan, bom-boman dan dinamit-dinamitan! Seperti tidak ada senjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom dan dinamit! Seperti tidak ada senjata yang lebih kuasa lagi daripada puluhan kapal perang, ratusan kapal udara, ribuan, ketian, milyunan serdadu darat! Seperti tidak ada senjata semangat lagi, yang, jikalau sudah sadar dan bangkit dan berkobar-kobar di dalam kalbu rakyat, lebih hebat kekuasaannya dari seribu bedil dan seribu meriam

Dalam pembelaannya, Sukarno menyampaikan argumen yang berkaitan dengan politik ekonomi pemerintah Belanda di Indonesia. Pada dasarnya politik ekonomi yang dilakukan oleh Belanda dan negara-negara Eropa lainnya berupa imperialisme. Sukarno secara garis besar membagi imperialisme menjadi dua, yaitu imperialisme kuno dan imperialisme modern. Berdasarkan rentang waktu, imperialisme kuno adalah praktek imperialisme yang berkembang sebelum abad 19, sementara imperialisme modern adalah yang berkembang setelah itu.

Perbedaan antara imperialisme kuno dengan modern tidak lain adalah teknik pemerluasan kapital. Praktek imperialisme tua dicontohkan dengan Kongsi Dagang Belanda, VOC. Mula-mula mereka memperkenalkan diri ingin berdagang, hingga berujung pada pengerukan besar-besaran hasil bumi untuk dijual ke luar negeri. Bumiputera diminta untuk bekerja keras dengan upah serendah-rendahnya, sementara semua keuntungan masuk ke dalam kantong para Meneer.

Praktek imperialisme modern tidak lain adalah anak dari kapitalisme modern. Sementara kapitalisme modern sendiri tidak dapat dilepaskan oleh hadirnya revolusi industri di Eropa.

Revolusi industri telah memungkinkan manusia untuk memproduksi barang secara masal. Dalam rentang waktu tersebut ekonomi Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat. Namun, masalah timbul ketika pertumbuhan ekonomi mulai melambat. Eropa membutuhkan 'pasar' baru. Sasarannya adalah negara-negara dengan perekonomian yang lemah. Buruh dibayar dengan biaya murah agar mendapatkan keuntungan maksimal. Kapital pada akhirnya bergerak, menjalar, mencengkeram negara-negara berkembang.

Lantas apa perbedaan dari imperialisme tua dengan imperialisme modern? Bagi Sukarno sendiri keduanya tidak banyak berbeda.

Imperialisme-tua, sebagai yang kita alami dalam abad-abad sebelum bagian kedua abad ke 19, imperialisme tua dalam hakekatnya adalah sama dengan imperialisme modern: nafsu, keinginan, cita-usaha, kecenderungan, sistem untuk menguasai atau memengaruhi rumah tangga negeri lain atau angsa lain, nafsu untuk melancarkan tangan keluar pagar negeri sendiri. Sifatnya lain. Azas-azasnya lain, penglahirannya lain, tapi hakekatnya sama!

Pembelaan Sukarno lantas dibukukan dan dikenal dengan judul "Indonesia Menggugat". Aksi Massa dan Bebas dari Pembangunan: Ide yang Mengupas Kapitalisme dan Imperialisme dalam Dua Zaman.

Aksi Massa

Empat tahun sebelum Sukarno melayangkan gugatannya di Landraad te Bandung (Pengadilan Negeri Bandung, sekarang dikenal sebagai Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5), seorang Indonesia lain menulis ihwal yang sama tentang imperialisme. Orang yang dimaksud adalah Tan Malaka, seorang bapak bangsa yang namanya kerap terlupakan akibat praktek rekayasa sejarah oleh rezim penguasa.

Menurut Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Aksi Massa (1926), imperialisme dibedakan menjadi 4 yaitu : a) Imperialisme biadab, yakni menghancurkan sekalian kekuasaan politik bumiputra dan menjalankan pemerintahan yang sewenang-wenang, misalnya adalah Spanyol di Filipina. b) Imperialisme autokratis, yakni yang hampir tak berbeda dengan yang tersebut pasal a seperti Belanda. c) Imperialisme setengah liberal, yakni imperialisme yang memberikan kekuasaan yang sangat terbatas kepada bumiputra yang berkuasa (raja-raja atau kepala negara yang turun-temurun seperti Inggris di India). d) Imperialisme liberal, yakni imperialisme yang memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada tuan tanah yang besar serta kepada borjuasi bumiputra yang mulai naik, misalnya adalah imperialisme Amerika di Filipina.

Sementara dari segi pemerasan ekonomi, modelnya dibedakan juga menjadi 4 :

a) Perampokan terang-terangan, dahulu dilakukan oleh Portugis dan Spanyol.

b) Monopoli, yang dalam praktiknya sama dengan perampokan, masih terus dilakukan oleh Belanda di Indonesia sampai sekarang (± tahun 1926, peny.)

c) Setengah monopoli, mulai dilakukan oleh Inggris di India

d) Persaingan bebas, mulai dilakukan oleh Amerika di Filipina.

Sosok Tan Malaka barangkali tidak terlalu terkenal. Dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia sosok ini disebut mirip legenda. Nama Tan Malaka begitu terkenal di kalangan para pejuang kemerdekaan. Dia telah menulis banyak brosur yang berisi ide-ide perjuangan. Namun, sosok fisiknya tidak pernah tampak. Dua puluh tahun dia berkelana, puluhan nama samaran digunakan sampai-sampai dia merasa aneh ketika suatu saat perlu memperkenalkan diri dengan namanya sendiri.

Dalam Aksi Massa, Tan Malaka mengkaji pergerakan di berbagai negara, terutama di Asia Selatan dan Tenggara, yang kala itu berjuang melawan kekejian struktural para imperialis. Salah satu negara adalah India. Lain Indonesia, India adalah korban dari imperial Inggris. Seperti yang telah dijelaskan, bentuk penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan Inggris pun berbeda. Penjajahan yang dilakukan oleh Belanda pada dasarnya adalah pemerasan keringat sekering-keringnya. Inggris pun bukannya tidak memeras kekayaan alam India, tapi mereka menggunakan cara yang lebih halus.

Akibat Revolusi Industri, perekonomian Inggris maju pesat. Namun, pasar mereka lama-kelamaan mengalami keterbatasan. Lantas mereka menjajah India dan memberlakukan sistem monopoli di mana setiap warga India wajib membeli produk-produk Inggris dengan harga yang setinggi-tingginya. Perekonomian yang mandiri dikendalikan, produk dalam negeri India justru diekspor, sedangkan pribumi dilarang untuk membelinya.

Bebas dari Pembangunan (Staying Alive)

Enam puluh tahun setelah Aksi Massa dituliskan dan Indonesia Menggugat dibacakan, seorang intelektual India bernama Vandana Shiva menuliskan buku berjudul Staying Alive (terjemahan oleh Yayasan Obor Indonesia menjadi Bebas dari Pembangunan). Pemikirannya tampak memiliki benang merah baik dengan Sukarno maupun Tan Malaka. Hal ini dapat dipahami mengingat mereka berasal dari negara yang sepanjang usianya berhadapan dengan upaya-upaya imperialisme.

Vandana Shiva dapat dikatakan menjalani era 'yang berbeda'. Konteks dan nuansa yang dialami berbeda. Dia lahir dan besar ketika bangsanya telah lepas dari penjajahan. Namun sisa-sisa imperialisme pun tetap tampak. Dia menjalar semakin luas, namun lebih halus, lebih tidak kentara.

Akar masalah sosial dan ekonomi, bagi Shiva, merupakan akibat dari kapitalisme. Namun dengan menarik lebih jauh ke belakang, Shiva menyatakan bahwa kapitalisme tidak bisa dipisahkan dengan masalah gender. Kapitalisme telah memisahkan perempuan dari bagian kerjanya. Pengelolaan air, hutan, dan sumber daya alam coba dipisahkan dari perempuan. Pada akhirnya, kekayaan alam dipandang sebatas sebagai sumber daya yang dapat dikuasai sepenuhnya. Kapitalisme tidak pernah mengakui sebagai contoh kasih sayang pada alam, penanaman kembali hutan, atau sifat 'pasif' perempuan. Hal-hal semacam itu dianggap tidak penting karena tidak menghasilkan keuntungan kapital. Mentok kapitalisme menganggap itu penting, tapi tidak pernah memberikan penghargaan sepantasnya Sekali lagi jika tidak menguntungkan, mengapa perlu dihargai?

Rentang masa yang panjang, melalui berbagai sumber penulisan kita bisa melihat bahwa setiap masa memiliki bentuk penindasan yang berbeda-beda, tidak dapat lepas dari semangat zaman. Di masa yang berbeda, di tanah yang terpisah beribu-ribu mil, perlawanan terus didengungkan keadilan terus diperjuangkan.

Sebuah Refleksi Terhadap Fiksi

Gugatan Sukarno pada sidang yang berlangsung di Landraad te Bandoeng tahun 1930 pada akhirnya tetap ditolak. Keputusan hakim tetap menyatakan Sukarno bersalah. Berangkat dari fiksi, kita bisa membandingkan kisah Sukarno dengan pembelaan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan terbaik Indonesia yang namanya berulang kali masuk dalam nominasi nobel, menulis sebuah roman legendaris. Roman tersebut sering dikenal sebagai "Tetralogi Buru". Latar belakang julukan roman tidak lepas dari fakta bahwa roman tersebut ditulis di Pulau Buru saat Pramoedya menjadi tahanan politik sejak tahun 1973. Jilid pertama tetralogi tersebut berjudul Bumi Manusia.

Tetralogi buru berlatar belakang abad 20 awal. Tokoh utama roman adalah Minke , seorang anak bangsawan Jawa yang memberontak dengan sistem feodal Jawa yang menurutnya penuh kemunafikan.

Minke yang hidup di Surabaya untuk studi di Hogere Burgerschool (HBS, sekolah menengah jaman penjajahan Belanda) jatuh cinta terhadap Annelies, seorang Indo. Ayah Annelies bernama Herman Mellema adalah orang Belanda totok, sementara ibunya yang dikenal orang sebagai Nyai Ontosoroh adalah pribumi. Ayah Annelies meninggal dengan mewariskan sebuah perusahaan pertanian yang sangat besar.

Perusahaan tersebut dikelola dengan cara-cara modern yang hebatnya dilakukan oleh dua orang perempuan: Nyai Ontosoroh dibantu oleh Annelies sendiri. Sesuatu yang begitu luar biasa, mengingat perempuan waktu itu dianggap hanya pantas untuk mengurusi urusan dapur. Nyai Ontosoroh sendiri diceritakan belajar itu semua secara otodidak.

Diceritakan bahwa Herman Mallema sebetulnya telah memiliki anak di Belanda. Hal yang lumrah pada zaman itu seorang Belanda yang datang ke Indonesia meminang seorang gundik meskipun dia di negeri asalnya telah memiliki istri.

Suatu waktu anak Herman Mallema dari istrinya yang sah datang ke Indonesia atas dasar sebuah tugas kerajaan Belanda. Anak itu bernama Maurist Mellema.

Ketika sampai di Indonesia dia bukan tidak tahu bahwa sang Ayah memilki perusahaan perkebunan di Hindia-Belanda. Maurist Mallema suatu hari datang ke kediaman Nyai Ontosoroh. Menglaim perusahan milik sang ayah, meskipun selama ini perusahaan dibesarkan selayaknya ‘anak sendiri’ oleh Nyai Ontosoroh. Polemik terjadi. Nyai Nyontosoh tidak rela perusahaannya lepas begitu saja. Pertarungan akhirnya mencapai meja hijau..

Berbicara soal hukum, status Maurist sebagai warga Belanda totok menempatkan posisinya sangat kuat dalam perebutan warisan. Apalagi mengingat Nyai Ontosoroh hanya gundik, bukan istri yang sah.

Persidangan berjalan alot. Beritanya tersebar di mana-mana, mengingat perusahaan perkebunan yang dipolemikkan bukan perusahaan kecil. Apalagi isu yang diangkap cukup seksi, menyangkut ras dan kasta sosial. Sebuah pertarungan antara pribumi dengan seorang Belanda totok. Persidangan diikuti dengan taat oleh Nyai Ontosoroh. Dia rela membayar pengacara mahal. Setiap pertanyaan hakim dijawab dengan lantang. Pada akhirnya hakim tetap memutuskan perusahaan jatuh ke tangan Maurist Mellema. Namun, menurut Nyai Ontosoroh, masalah utama bukan sekedar menang-kalah. Hukum di Belanda saat itu tidak bisa disebut adil. Hukum tidak berlaku sama di hadapan manusia. Ia masih memiliki tendensi yang tajam berkaitan dengan ras.

Apa yang dikatakan Nyai Ontosoroh setelah dia kalah dan perusahaannya dirampok dengan begitu keji? Dalam dialog antara dirinya dengan Minke, dia berujar, "Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

Kisah perlawanan Nyai Ontosoroh sekiranya mirip dengan kisah Sukarno. Sebuah perlawanan yang dilakukan oleh pribumi atas hak-hak yang dirampas. Perlawanan yang dilakukan atas dasar kehormatan dan harga diri meskipun tidak membuahkan kemenangan di pengadilan.

Tetralogi Buru adalah fiksi, sementara Indonesia Menggugat adalah fakta. Apa relevansi sebuah fiksi dengan fakta? Di mana posisi karya fiksi atau sastra? Seno Gumira Ajidarma, seorang sastrawan cum jurnalisme, berujar dalam bukunya yang berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena jika jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan.”

Kenyataan berkata: peredaran Tetralogi Buru dilarang oleh rezim orde baru karena dianggap menyebarkan paham Marxisme-Leninisme secara tersirat. Novel tersebut dianggap membahayakan stabilitas nasional, meskipun secara garis besar kisah yang disampaikan adalah perjuangan seorang bumiputra dalam melawan penjajah Belanda.

Tetralogi Buru baru beredar lagi setelah orde baru tumbang. Namun, selama pemberedelan terjadi suatu fenomena yang menarik. Buku-buku tersebut kenyataannya masih bisa dibaca meskipun harus sembunyi-sembunyi. Para penjual buku menjual di bawah tangan secara hati-hati, para aktivis penentang orde baru ramai-ramai memfotokopi. Membaca diiringi rasa was-was.

Refleksi 71 Tahun Indonesia melalui Aksara

"Menulis adalah bekerja untuk keabadian," Pramoedya Ananta Toer

Secara etimologi, aksara dalam bahasa sansekerta terbentuk dari dua kata, yaitu A yang berarti tidak, dan Ksara yang berarti mati. Aksara berarti sesuatu yang tidak mati. Aksara membuat abadi, entah itu ide, atau pribadi.

Ide bisa tumbuh dari mana saja, dari siapa saja. Dia akan bergerak bagaikan udara. Beberapa ide muncul lantas tenggelam. Beberapa yang lain tetap hidup abadi. Aksara yang membuat hidup tetap bertahan. Dia yang menjaga ide padu meski arah angin berubah.

Sebuah buku juga bisa menjadi dokumen. Sebuah arsip yang memperlihatkan perjalanan lahir-tumbuh sebuah bangsa. Atau bisa jadi, buku adalah yang membuat bangsa tetap bertahan. Dia yang membuatnya abadi.

Aksi Massa, Indonesia Menggugat, Tetralogi Buru, dan yang paling anyar Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara adalah segelintir jejak pejalanan bangsa Indonesia. Bangsa yang memiliki sejarah akan perlawanan terhadap ketidakadilan. Bangsa yang lahir, tumbuh, dan berkembang untuk mencapai cita-cita yang didambakan.

Selamat ulang tahun Indonesiaku.

Referensi:

  1. Hartono, Rudi. 2014. Soekarno Dan ‘Indonesia Menggugat’. [Online]. Tersedia: http://www.berdikarionline.com/soekarno-dan-indonesia-menggugat/ [4 Agustus 2016]
  2. Malaka, Tan. 2014. Aksi Massa. Yogyakarta: Narasi.
  3. Poeze, Harry. 2009. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946. Trans. Hersri Setiawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  4. Shiva, Vandana. 1988. Bebas dari Pembangunan. Trans. Hira Jhamtani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  5. Sukarno. (tanpa tahun). Indonesia Menggugat. Jakarta: Departemen Penerangan RI

[RUMAH KAIL] Merdeka dari Uang di Rumah KAIL

Oleh: Melly Amalia- Koordinator Rumah KAIL

Sejak berdiri hingga sekarang, KAIL poly berinteraksi menggunakan para aktivis. Banyak berdasarkan para aktivis ini mempunyai aneka macam tujuan hayati yg mulia, yaitu membuat perubahan dunia ke arah yg lebih baik di berbagai bidang. Masalahnya, kerja-kerja yang mereka lakukan tak jarang nir membuat banyak uang. Jangankan poly, batas cukup pun seringkali nir terpenuhi. Kerja-kerja buat menciptakan perubahan yang diperlukan seringkali merupakan kerja-kerja inisiatif baru yang belum dikenal orang, belum dianggap krusial & bahkan belum diketahui keberadaannya menjadi profesi. Jangankan menerima dukungan finansial, kerja-kerja buat menciptakan pencerahan akan pentingnya yang dilakukan itupun sudah membutuhkan tenaga tersendiri. Uang sering menjadi batu sandungan terbesar berdasarkan para aktivis buat mempertahankan idealismenya.

Permakultur
Sebagai kelompok pendukung para aktivis, KAIL mencoba menerapkan berbagai inisiatif untuk melepaskan diri sebanyak mungkin dari ketergantungan akan uang. Meskipun belum banyak hasil yang bisa dilihat, setidak-tidaknya ada beberapa prinsip yang sudah diterapkan di berbagai aspek organisasi KAIL. Berikut ini adalah beberapa di antaranya.

Sistem Barter buat Mengikuti Kegiatan-kegiatan KAIL

Di dunia terkini ini, buat mengikuti berbagai aktivitas, khususnya aneka macam kegiatan pengembangan diri, kita perlu membayar menggunakan uang. Dengan demikian akses ke ilmu pengetahuan pun berbanding lurus menggunakan kemampuan membayar. Sebaliknya, kepemilikan ilmu pengetahuan akan menaikkan peluang untuk menghasilkan uang. Di dalam sistem semacam ini, terjadilah bulat yg terus memperkuat, yang punya uang tambah pandai , yg pintar tambah kaya, yang kaya bisa membayar buat sebagai lebih pintar dan seterusnya. Terjadilah jurang yang makin akbar antara mereka yang kaya dan yg miskin.

Hari Belajar Anak
Di KAIL, kesenjangan itu berusaha dikurangi. Pelatihan-pelatihan dan kegiatan-kegiatan KAIL tidak harus diakses dengan menggunakan uang. Tetapi pelatihan-pelatihan dan kegiatan-kegiatan itu tidak ada yang gratis. Semua yang terlibat berkontribusi. Uang digunakan sebagai salah satu cara untuk mempermudah pemberian kontribusi. Jika uang tidak dimiliki, maka ada seribu satu cara lain yang bisa digunakan untuk memberikan kontribusi dan bisa berkegiatan di KAIL.

Salah satu cara hadiah kontribusi merupakan dengan menggunakan barter menggunakan jam relawan. Pelatihan-pembinaan dan aktivitas-aktivitas pada KAIL dapat diakses menggunakan memberikan kontribusi sejumlah jam kerja buat melakukan aneka macam kegiatan yg ada di KAIL. Kegiatan-kegiatan itu beraneka macam, mulai berdasarkan mengurus tanaman di kebun KAIL, sebagai panitia (EO/petugas dokumentasi) di aneka macam kegiatan KAIL, menerjemahkan berbagai media pembelajaran KAIL, menjadi pembicara/mentor/fasilitator, mengurus perpustakaan, hingga mengurus Rumah KAIL. Barter ini juga sangat fleksibel dilakukan dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan ketersediaan waktu, keahlian & minat masing-masing. Cara lain buat memberikan donasi merupakan menggunakan memberikan barang. Barang yang diberikan sanggup berupa aneka macam bahan makanan buat keperluan konsumsi kegiatan KAIL, baik kuliner jadi maupun bahan mentah. Untuk sumbangan dalam bentuk ini, syaratnya cuma satu, yaitu tidak membentuk sampah.

Jenis barang lain yg sanggup disumbangkan adalah pohon, benih & bibit buat ditanam pada kebun KAIL, aneka macam perlengkapan tempat tinggal tangga buat melengkapi perlengkapan Rumah KAIL, berbagai alat-alat pendidikan buat digunakan pada kegiatan-aktivitas KAIL, kitab buat melengkapi perpustakaan KAIL & banyak lagi. Semua barang tadi tidak melulu harus baru, barang bekas yang masih mampu dimanfaatkan pun, akan diterima.

Bentuk donasi lain yg juga mampu diberikan adalah akses. Misalnya menggunakan menaruh KAIL akses gratis ke aneka macam sumber pengetahuan yg akan memperkaya layanan KAIL, akses gratis ke berbagai kebutuhan KAIL, akses buat memperluas dampak kegiatan-aktivitas KAIL & sebagainya.

Skema Subsidi Silang antar Program KAIL, antar Individu, antar Komunitas.

Dalam kondisi eksklusif, buat melaksanakan program KAIL supaya permanen berjalan, ada jua yang memakai skema subsidi silang antar acara. Salah satu tujuannya merupakan supaya lebih banyak orang sanggup mendapatkan akses layanan KAIL & dapat menaruh manfaat lebih poly. Bentuk subsidi silang sanggup dilakukan dengan sesama acara KAIL, antara KAIL & individu yang mempunyai ketertarikan dengan layanan KAIL, atau pun KAIL dengan komunitas atau forum yang berdasarkan sisi pendanaan tidak punya tapi apabila komunitas atau lembaga tersebut menerima layanan KAIL akan berpengaruh besar terhadap perubahan positif yang dibutuhkan.

Pelatihan Cara Berpikir Sistem
Contohnya adalah, ada satu kelompok yang minta difasilitasi oleh KAIL dan KAIL merasa banyak kesesuaian visi misi dengan kelompok tersebut. Sehingga KAIL perlu mendukung program-program yang dilakukan oleh kelompok itu, salah satunya dalam bentuk dukungan layanan pelatihan. Selain itu, setiap orang yang hadir diharapkan dapat berkontribusi dalam bentuk apapun. Ada yang membawa bahan mentah makanan seperti beras, telur, dll, ada yang memberikan waktunya untuk memasak dan mengolah bahan mentah menjadi masakan, ada yang mencuci piring dan bersih-bersih, juga ada yang mengelola kebun KAIL.

KAIL ingin menciptakan itu semua sebagai mudah & akan banyak orang bisa mencicipi manfaat layanan yang KAIL berikan. Semua bentuk donasi akan kami terima. KAIL ingin mengajak seluruh orang buat agresif supaya bisa menerima akses segala aspek pembelajaran dengan adil dan setara. Terutama me-merdeka-kan diri berdasarkan uang!

Senin, 08 Juni 2020

[JALAN-JALAN] HOMESCHOOLING DAY Bandung di Gedung Indonesia Menggugat

Oleh: Agustein Okamita

Pada tanggal 13 Agustus 2016 yang lalu, di Gedung Indonesia Menggugat diadakan acara Homeschooling Day. Event ini diselenggarakan secara swadaya oleh keluarga-keluarga homeschooler di Bandung.

Homeschooling atau yang juga dikenal dengan pendidikan anak berbasis keluarga adalah pendidikan anak-anak di dalam keluarga. Home education/ homeschooling adalah salah satu gerakan yang muncul ketika para orang tua mulai memikirkan bahwa tanggung jawab untuk mendidik anak-anak ada di pundak orang tua. Dengan berbagai alasan dan resiko yang dipertimbangkan dengan matang, akhirnya mereka memutuskan untuk mendidik anak-anak mereka sendiri di dalam keluarga, ketimbang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah formal, sampai anak dapat memutuskan sendiri apakah mereka akan bersekolah secara formal atau tetap homeschooling. Keputusan ini merupakan salah satu pilihan merdeka bagi orang tua, maupun bagi anak ketika mereka sudah bisa memutuskan sendiri mengenai pendidikan mereka.

Pemilihan tempat untuk acara Homeschooling Day di Gedung Indonesia Menggugat juga bukan merupakan kebetulan. Gedung Indonesia Menggugat dipilih karena sesuai dengan tema Homeschooling Day kali ini, yaitu: Lejitkan Potensi dengan Berkarya dan Berekspresi untuk Mengisi Kemerdekaan. Gedung ini merupakan tempat di mana Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, pernah ditahan. Di gedung ini juga beliau membacakan pledoi yang diberi judul “Indonesia Menggugat”, di hadapan Pengadilan Landraad Bandung. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada tahun 1930, kurang lebih 86 tahun yang silam. Hingga saat ini Gedung Indonesia Menggugat ini tetap menjadi pusat kegiatan berkebangsaan bagi semua lapisan masyarakat. Selain sesuai dengan tema Homeschooling Day, semangat kebangsaan dan kemerdekaan yang didengungkan oleh Bapak Proklamator ini selaras dengan semangat keluarga pelaku homeschooling, yang meyakini dan mengamini bahwa kemerdekaan memperoleh pendidikan adalah hak dari seluruh rakyat Indonesia.

Panitia anak di stand penjualan makanan dan minuman
Homeschooling Day kali ini menitikberatkan acara pada Pameran dan Bincang para pelaku Homeschooling. Panitia penyelenggara acara Pameran dan Bincang Homeschooling ini terdiri atas para orang tua dan anak-anak homeschooler di Bandung. Mereka bekerja sama mempersiapkan acara mulai dari perencanaan hari terselenggaranya Homeschooling Day. Panitia orang tua merancang konsep acara yang akan diadakan, dan anak-anak membantu dalam berbagai hal teknis, seperti penyiapan ruangan, dekorasi, mengatur peralatan, konsumsi, stand penjualan makanan, dan acara untuk anak-anak kecil (kids corner). Panitia anak-anak dapat bekerja sama dengan baik di antara mereka dan dengan para orang tua, hal ini membuktikan bahwa anak-anak homeschooler adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan emosi dan kemampuan berorganisasi yang cukup baik. Hal ni menepis anggapan bahwa anak-anak homeschooling dikuatirkan tidak mampu berkomunikasi dan bersosialisasi, lebih soliter, dan lain-lain. Melalui kepanitiaan di acara ini mereka justru menunjukkan kedewasaan dalam bekerja sama, mengambil keputusan, dan mengatasi persoalan-persoalan yang nyata di lapangan. Anak-anak juga mendesain kaos yang akan dipakai oleh panitia, membuat gambar untuk banner dan brosur, mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk stand berjualan makanan dan minuman dan lain-lain. Mereka juga membuat booklet yang diberi judul “The World is My School” yang ditulis oleh beberapa anak dan dicetak oleh mereka sendiri. Booklet tersebut dijual dengan harga sepuluh ribu rupiah per buku. Booklet yang dicetak sebanyak 50 eksemplar tersebut habis terjual dalam event itu.

Pameran dan Konser Anak-anak HS
Dalam Homeschooling Day yang diadakan sehari penuh ini terdapat beberapa kegiatan yang berlangsung secara bersamaan, yaitu pameran hasil karya anak-anak homeschooler dan pertunjukan kemampuan anak-anak homeschooler dan seminar mengenai legalitas dan sesi berbagi / bincang keluarga-keluarga pelaku homeschooling. Selain itu, di beberapa lokasi juga ada stand-stand bisnis yang menjual berbagai makanan, minuman, dan buku-buku, yang dikelola oleh orang tua dan anak-anak homeschooler.

Di stand pameran hasil karya anak-anak homeschooler, anak-anak menampilkan hasil karya di antaranya buku-buku hasil tulisan, tas dan rajutan handmade, game dan animasi, lego, gambar, foto, seni melipat kertas sonobe, desain kaos, dekorasi layangan, ayam hasil ternak, dan lain-lain. Selain itu, di panggung anak-anak juga mempertunjukkan kepiawaian mereka dalam berpidato baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggeris, bermain alat musik, seni tari, peragaan P3K dan parade tongkat dari Pramuka Homeschooler, dan pertunjukan-pertunjukan lainnya. Melalui pameran dan pertunjukan bakat ini, para homeschooler ingin menyampaikan bahwa anak-anak homeschooler adalah anak-anak yang juga memiliki segudang prestasi dan kemampuan.

Seminar Legalitas
Acara seminar dan bincang dengan pelaku homeschooler, yang dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama adalah seminar mengenai legalitas homeschooling, yang disampaikan oleh Ibu Dra. Eem Sukaemah, M.Pd., Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat dan Kebudayaan, yang mewakili Dinas Pendidikan Kota Bandung. Di sesi seminar yang dihadiri oleh lebih dari seratus orang peserta ini, Ibu Eem menjelaskan mengenai persyaratan dan proses agar anak homeschooler dapat memperoleh legalitas yang diakui oleh negara Republik Indonesia. Dimoderasi oleh Ibu Yanti Herawati, salah satu orang tua homeschooler, para peserta yang hadir mengajukan banyak pertanyaan dengan antusias. Sesi ini diselingi dengan beberapa pertunjukan anak-anak, baik pertunjukan seni maupun kemampuan berpidato.

Sesi sharing dan bincang dengan keluarga pelaku homeschooling dimulai setelah istirahat makan siang. Pada sesi ini, ada beberapa orang tua yang berbagi mengenai latar belakang dan alasan mereka memilih homeschooling untuk anak-anak mereka, dan bagaimana mereka melakukannya setiap hari. Banyak alasan mengapa orang tua memilih untuk menjadi pelaku homeschooling. Ada keluarga yang memilih menyekolahkan anak-anaknya di rumah karena anak-anaknya adalah anak berkebutuhan khusus, ada juga yang memilih homeschooling demi perkembangan psikologis anaknya, dan ada lagi yang karena alasan pekerjaan orang tua. Dalam sesi ini, salah seorang orang tua homeschooler membagikan pengalaman bagaimana mereka mempersiapkan anaknya hingga diterima perguruan tinggi di luar negeri.

Sharing dan bincang Homeschooler

Di sesi ini juga beberapa orang tua homeschooling berbagi mengenai gaya keluarga mereka melakukan homeschooling. Setiap keluarga homeschooler memang memiliki gaya yang berbeda-beda dalam melaksanakan keseharian mereka, dan tidak ada satupun yang salah, selama hal itu merupakan hal yang terbaik yang dapat mereka lakukan bagi anak-anak mereka. Anak-anak yang dididik dalam keluarga homeschooler mungkin menjadi anak-anak yang unik dan berbeda dengan anak-anak yang bersekolah formal, tapi mereka bukanlah makhluk asing. Mereka juga memiliki kemampuan dan kecerdasan yang istimewa, selayaknya anak-anak lainnya. Dan yang terpenting, kemampuan tersebut dapat berkembang dengan optimal, dengan usaha dan dukungan dari keluarga dan lingkungan, pada waktu yang tepat.

Peserta Seminar
Secara keseluruhan, acara Pameran dan Bincang Homeschooling ini memberikan dampak yang cukup besar. Hal ini dibuktikan ketika Pramuka Homeschooler Bandung mengadakan latihan pada hari Rabu setelah berlangsungnya event tersebut, banyak sekali peserta baru yang datang dan bergabung. Ternyata ada banyak keluarga homeschooler yang selama ini mencari-cari komunitas dan wadah kegiatan untuk anak-anak mereka, dan akhirnya menemukannya ketika mereka mengikuti acara itu. Dan hal ini juga membuktikan bahwa semakin banyak keluarga yang tertarik dengan homeschooling.

[TIPS] Merdeka Dari Waktu

Oleh: Navita Kristi Astuti

Setiap orang mendambakan kemerdekaan atau kebebasan. Bebas dari segala hal yang mengekang tingkah laku, pendapat, maupun ekspresi diri sebagai manusia. Namun, ada beberapa hal dalam kehidupan sehari-hari yang seringkali dianggap sepele, namun tanpa disadari, ia mampu mengekang kebebasan manusia. Salah satu faktor yang mampu mengekang kebebasan manusia tanpa disadari tersebut adalah : waktu.

Bagaimana mungkin manusia bisa terjajah oleh waktu? Mari kita simak cuplikan cerita berikut ini :

Suatu hari, Wendy mendapat tugas dari dosen untuk mengerjakan sebuah karya tulis sebanyak 50 halaman. Waktu pengerjaan karya tulis tersebut selama satu bulan. Dalam satu bulan itu, dosen mengizinkan setiap mahasiswa untuk menggali ide penulisan dengan cara wawancara lapangan maupun studi literatur untuk memperkaya isi karya tulis tersebut. Minggu pertama, Wendy berpikir, “Ah, baru juga minggu pertama, santai dulu saja, ah. Kan, tugasnya baru bulan depan dikumpul!”

Minggu kedua pun sama. Wendy belum bergeming memulai karya tulisnya.

Minggu ketiga, Wendy baru mulai bergerak mencari literatur maupun narasumber untuk diwawancara. Ternyata, literatur untuk karya tulisnya susah didapat. Narasumber yang ia hubungi juga sulit dihubungi.

Memasuki minggu keempat, Wendy mulai panik. Karya tulis yang dia garap baru mencapai seperempat dari target. Ia mulai gencar mengejar narasumber yang akhirnya berhasil ia temui. Ia bergadang selama satu minggu, dari pagi hingga larut malam mengerjakan karya tulis tersebut. Sampai akhirnya karya tulis tersebut dikumpulkan, Wendy merasa kurang puas, karena ia belum maksimal melakukan riset maupun wawancara terhadap narasumber.

Sesungguhnya, waktu adalah modal setiap orang. Waktu adalah kekayaan yang dapat menjadi anugerah bagi semua orang. Namun demikian, ketika manusia tidak menggunakan waktu yang ia miliki sebagaimana mestinya, maka waktu yang akan mengejar-ngejar manusia. Cerita di atas adalah contoh seseorang yang dikejar-kejar oleh waktu. Wendy dikejar waktu, yang disebabkan oleh penundaan yang ia lakukan sendiri.

Masalah yang sering terjadi adalah kebanyakan orang diperbudak oleh waktu. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, ia terseret oleh pergerakan waktu. Semua hal yang dilakukannya menjadi sangat tergantung kepada waktu. Itu disebabkan karena sebagian besar orang menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang kurang bermanfaat, dibandingkan mengerjakan apa yang menjadi kewajiban mereka.

Beberapa orang tidak menempatkan prioritas kegiatan dalam skala waktu, sehingga seringkali waktu terbuang untuk kegiatan yang non-prioritas. Pada saat tiba mengerjakan kewajiban utama, mereka menjadi terburu-buru mengerjakannya.

Untuk melepaskan diri dari penjajahan waktu, maka berikut ini tips-tips yang dapat Anda ikuti.

Tips 1 : Kuasai waktu

Jangan biarkan waktu yang mengatur Anda. Sebaliknya, kuasailah waktu, dengan cara mengelolanya. Dengan mengelola waktu, Anda menempatkan rencana-rencana Anda ke dalam skala waktu pelaksanaan. Jadi, rencana tidak hanya sebatas rencana, tetapi juga sampai kepada target waktu pelaksanaan atau penyelesaian dari rencana tersebut. Ketika waktu pelaksanaan rencana itu tiba, lakukan rencana-rencana Anda dengan sungguh-sungguh. Setelah rencana itu selesai dilakukan, lakukan evaluasi atau refleksi atas kegiatan tersebut. Anda dapat melihat kembali, bagaimana perasaan Anda setelah rencana tersebut terlaksana, apakah yang harus diperbaiki dari kegiatan tersebut, apakah rencana tersebut telah terselesaikan seluruhnya atau memerlukan waktu tambahan. Dengan demikian, Anda menguasai waktu dan memaksimalkan rencana Anda hingga selesai. Jika Anda tidak menempatkan rencana Anda ke dalam skala waktu, Anda membiarkan diri Anda sendiri terhanyut oleh waktu.

Ada bermacam-macam cara setiap orang dalam mengelola waktunya setiap hari, seperti misalnya : menuliskan to-do lists setiap hari, membuat perencanaan dengan cara penentuan prioritas. Ada bermacam-macam pula alat (tools) yang digunakan untuk mengelola waktu. Ada yang menulis di buku agenda, ada yang membuat jadwal kegiatannya di papan atau kertas yang ditempelkan di dinding, ada pula yang menyimpan jadwal di gadget mereka.

Tips 2 : Memanfaatkan waktu

Waktu bersifat irreversible, tidak dapat diputar kembali. Waktu adalah sesuatu yang bergerak maju, tak pernah mundur. Oleh karena itu, manfaatkan waktu yang Anda miliki sebaik mungkin, untuk meraih setiap peluang yang ada, yang kemungkinan di masa depan tidak akan datang untuk kedua kalinya. Jangan buang waktu Anda dengan kegiatan yang tidak bermanfaat bagi perkembangan diri maupun orang lain. Orang yang memanfaatkan waktunya dengan hal-hal bermanfaat akan menjadi lebih ‘kaya’ dibanding mereka yang membuang waktu. Hal-hal yang dapat menambah manfaat pada Anda antara lain : membaca buku, berolahraga, menjalin waktu berkualitas dengan keluarga, menjalin kerjasama saling menguntungkan dengan orang lain. Ketika seseorang memanfaatkan waktunya untuk hal-hal berguna, maka ia lebih siap menghadapi tantangan atau persoalan yang menghadang dibandingkan orang yang tidak memanfaatkan waktu dengan hal-hal bermanfaat.

Tips 3 : Fokus pada proses yang berjalan

Waktu telah disediakan bagi kita untuk berproses bersama hal-hal yang kita kerjakan atau rencanakan. Namun, adakalanya orang tidak sabar pada proses yang berjalan, ingin serba instan. Maka ia tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaannya tanpa melihat kembali apakah hasil pekerjaannya sudah cukup layak dipertanggungjawabkan atau tidak. Pada kasus lain, ada orang yang justru membandingkan proses yang dijalaninya dengan proses yang dijalani oleh orang lain. Ia menyandarkan parameter keberhasilan dirinya pada keberhasilan orang lain. Padahal, setiap orang memiliki bakat unik yang tidak dapat dibandingkan antara satu orang dengan yang lainnya. Jika diri Anda masih terpaku pada sikap-sikap tersebut, maka sikap-sikap tersebut justru akan semakin membuang waktu Anda. Anda menjadi tidak fokus pada kebaikan diri sendiri dan pada hal-hal yang Anda lakukan. Pada akhirnya, hasil pekerjaan Anda menjadi tidak maksimal.

Tips 4 : Percaya pada orang lain

Dalam setiap penyelesaian pekerjaan atau kegiatan yang Anda lakukan, Anda perlu mempercayai orang lain untuk membantu Anda. Anda tidak dapat melakukan semua hal sendirian. Hasil terbaik didapatkan dari kerjasama yang baik dan saling melengkapi, bukan dari kerja satu orang sendiri saja. Oleh karena itu, fokuslah pada bagian kegiatan di mana Anda bisa mengerjakan paling baik, sementara itu, delegasikanlah bagian lain dari kegiatan yang harus diselesaikan itu kepada orang lain yang memiliki kompetensi di bagian tersebut. Dengan bekerja bersama orang lain, Anda dapat menyelesaikan target-target Anda tanpa harus dikejar oleh waktu.

Tips 5 : Memaknai waktu

Ketika Anda telah berusaha sebaik mungkin menggunakan waktu untuk melaksanakan rencana maupun pekerjaan Anda, tetapi bila sesuatu terjadi, yang menyebabkan waktu penyelesaian pekerjaan menjadi mundur atau diperpanjang, Anda tidak perlu cemas atau gelisah. Jangan anggap diri Anda telah gagal mengelola waktu atau tidak becus melakukan pekerjaan tersebut. Anda perlu melihat peristiwa ini dengan sudut pandang yang berbeda. Bisa jadi, Anda diberi kesempatan tambahan untuk mengasah keterampilan atau pengalaman Anda dengan lebih baik lagi, melalui perpanjangan waktu tersebut. Bisa jadi, saatnya memang belum tepat untuk menyelesaikan tugas-tugas Anda. Anda hanya perlu memaknai waktu yang telah Anda gunakan sebagai momen pembelajaran yang berharga untuk hidup Anda.

Waktu bisa menjadi teman atau lawan, tergantung pada bagaimana Anda memperlakukannya. Oleh karena itu, ariflah berproses bersama waktu. Atur dan manfaatkan waktu sebaik mungkin, dengan demikian, waktu akan menjadi sarana yang mendukung perkembangan diri Anda menjadi lebih baik!

Sumber: www.albashiroh.net.jpg

[TIPS] Merdeka dari Belenggu Gadget

Oleh: Agustein Okamita

Gadget sering didefinisikan sebagai sebuah perangkat elektronik berukuran kecil yang memiliki kepintaran/kecanggihan tertentu. Saat ini, kata Gadget diasosiasikan dengan smartphone, tablet, ipod, atau komputer berukuran kecil yang dapat dibawa ke mana-mana (mobile).

Abad ini dinamakan abad teknologi informasi dan komunikasi, karena semua teknologi yang berhubungan dengan informasi dan komunikasi sedang berkembang dengan sangat pesat. Setiap detik bisa saja muncul Gadget baru dengan fitur yang lebih tinggi dari pada sebelumnya. Di abad ini, pemanfaatan Gadget juga semakin luas. Jika dulu Gadget berupa telepon genggam hanya digunakan untuk komunikasi dan permainan sederhana, sekarang kegunaan Gadget sudah sangat bervariasi. Selain sebagai alat komunikasi, Gadget juga berguna untuk membantu dalam pekerjaan, mencari informasi, hiburan, dan permainan. Jika sepuluh tahun yang lalu penggunanya terbatas pada orang-orang di perkantoran dan kota besar, dengan perkembangan teknologi penyedia jasa jaringan, saat ini semua kalangan di seluruh dunia dapat menggunakannya. Rentang usia pengguna juga semakin lebar, mulai dari anak-anak hingga orang tua.

Bagi para aktivis, Gadget sangat bermanfaat, baik dalam menghubungkan mereka dengan orang-orang yang berada di tempat lain, maupun membantu menyelesaikan pekerjaan sehari-hari. Dengan ukuran dan berat yang membuatnya mudah dibawa ke mana-mana, aktivis dapat mengerjakan berbagai pekerjaan meskipun tidak sedang berada di kantor atau di rumah. Ketika sedang berada di luar rumah/kantor, aktivis tetap dapat berkomunikasi atau melakukan rapat dengan rekan-rekan dengan memanfaatkan berbagai aplikasi teleconference. Komunikasi via aplikasi teleconference dapat dilakukan dengan orang-orang atau kolega yang sedang berada di luar kota atau luar negeri, tanpa harus terlebih dulu menyalakan laptop. Ketika di perjalanan dengan kendaraan umum, kita bisa membalas email, membuka spreadsheet, ataupun aplikasi-aplikasi lain yang membantu kita untuk menyelesaikan tugas-tugas kita. Dengan demikian, waktu-waktu tersebut dapat digunakan untuk melakukan hal-hal yang berguna. Dengan kata lain, Gadget adalah pelayan kita yang sangat berguna.

Sebaliknya, jika kita tidak berhati-hati, Gadget dapat berbalik menjadi penguasa kita. Ada kalanya orang-orang yang tadinya memanfaatkan Gadget untuk membantunya bekerja, menjadi sangat bergantung pada Gadget. Mereka menjadi tidak bisa hidup tanpa Gadget. Beberapa ciri orang-orang yang ketergantungan pada Gadget adalah: mereka lebih suka mengirim pesan lewat Gadget/texting daripada berbicara langsung; tidak pernah meninggalkan rumah tanpa membawa Gadget; lebih suka menghabiskan waktu bersama Gadget daripada berkumpul bersama keluarga dan teman-teman atau melakukan kegiatan fisik yang disukai; meninggalkan momen-momen penting demi Gadget; dan tidak bisa berhenti sekalipun sudah mengalami persoalan akibat Gadget.

Pernahkah kita merasa seolah-olah mengetahui yang dikatakan oleh teman yang sedang berbicara, tapi ternyata kita tidak mengerti apa yang ditanyakan atau disampaikannya? Hal itu bisa saja terjadi karena pikiran kita sedang fokus pada hal lain daripada kepada teman kita. Demikian juga dengan fokus yang berlebihan kepada Gadget. Ketergantungan pada Gadget dapat mengakibatkan berbagai hal buruk, misalnya: pekerjaan utama terbengkalai, tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya karena terlalu berfokus pada Gadget-nya, bahkan ada yang mengalami kecelakaan karena menggunakan Gadget sambil berkendara. Penggunaan Gadget yang berlebihan juga dapat mengakibatkan penyakit-penyakit fisik dan psikis, seperti kurangnya konsentrasi, perhatian, atau fokus; persoalan dalam mengingat atau mengambil keputusan; sakit kepala, punggung, dan masalah dalam penglihatan; masalah kesuburan akibat radiasi Gadget yang berlebihan; dan lain-lain[1]

Pada satu titik tertentu - ketika kita menjadi sangat bergantung pada Gadget -, tanpa kita sadari kita telah dijajah olehnya. Kita terbelenggu dan menjadi seperti boneka yang dikendalikan oleh Gadget. Kita menghabiskan terlalu banyak waktu bersamanya dan tidak lagi peduli pada hal yang lain. Kebergantungan pada semua manfaat yang diberikannya, justru membuat kita tidak lagi menjadi orang yang merdeka. Gadget yang sebelumnya kita manfaatkan sebagai pelayan, telah berbalik menjadi penjajah kita.

Tentu saja situasi ini bukanlah tujuan kita ketika ingin memiliki Gadget. Keinginan utama kita adalah memanfaatkan Gadget untuk mempermudah pekerjaan dan komunikasi. Kita perlu kembali kepada tujuan kita semula.

Lalu bagaimana caranya agar kita menjadi orang-orang merdeka dari belenggu Gadget? Berikut beberapa tips yang bisa dilakukan agar kita dapat hidup merdeka dari ‘jajahan’ Gadget:

1. Menetapkan tujuan kita menggunakanGadget

Apa yang menjadi tujuan kita membeli dan menggunakan Gadget? Apakah untuk komunikasi, mencari informasi, alat untuk membantu pekerjaan, hiburan, atau permainan? Setelah tahu tujuan kita, kita lihat aplikasi apa saja yang ada di Gadget. Apakah aplikasi itu sudah mendukung tujuan kita? Adakah aplikasi yang keluar dari tujuan kita? Jika ada, sebaiknya aplikasi tersebut di-uninstall. Menghapus aplikasi selain mengurangi waktu yang terbuang untuk melakukan hal yang tidak menjadi tujuan, juga membantu meringankan beban Gadget kita.

2. Membuat aturan penggunaan Gadget

Kapan saja kita mengaktifkan Gadget? Apakah pagi hari, siang, sore, atau malam? Berapa lama kita akan menggunakannya pada waktu-waktu tersebut? Selanjutnya, tentukan prioritas kita selama waktu tersebut. Contoh: jika saya akan mengaktifkan Gadget dua jam di pagi hari, maka dalam dua jam tersebut saya akan memprioritaskan untuk menjawab email-email yang masuk, membalas chat yang penting, atau mengerjakan tugas yang urgent. Di luar jam-jam tersebut, smartphone dapat di-setting agar hanya bisa digunakan untuk menerima telepon.

3. Prioritaskan aktivitas dengan insan/global nyata

Aktivis adalah orang-orang yg poly berhubungan dengan insan atau global konkret. Kita sanggup menerima poly kabar menurut global maya, namun tujuan kita adalah membawa perubahan bagi dunia konkret. Untuk itu kita perlu memperbanyak interaksi menggunakan global nyata & orang-orang yang terdapat pada kurang lebih kita.

Keluarga dan orang-orang yang dekat dengan kita, mereka adalah orang-orang yang penting. Tentu kita lebih menyayangi mereka daripada Gadget. Oleh karena itu, kita perlu menyediakan waktu untuk berkomunikasi secara fisik dengan mereka.

4. Menguasai diri

Penguasaan diri adalah keliru salah satu tindakan yg sangat penting dalam banyak hal. Menguasai diri merupakan menunda hasrat buat melakukan atau nir melakukan sesuatu yg berdampak tidak baik bagi diri kita maupun orang lain. Penguasaan diri pada taraf yg tertinggi adalah dominasi diri yg tidak bergantung pada situasi, kondisi, maupun pada orang lain, namun berasal dari cita-cita yang kuat pada pada diri kita.

Bagi sebagian orang menguasai diri dalam satu hal lebih mudah daripada dalam hal yang lain. Bagi beberapa orang, menguasai diri untuk tidak bergantung pada Gadget mudah untuk dilakukan, tetapi bagi orang lain hal itu mungkin sangat sulit, demikian pula dalam hal Gadget. Kita bisa mulai dengan komitmen untuk “puasa Gadget” dengan tidak memegang Gadget ketika berkumpul bersama keluarga atau pada akhir pekan. Jika hal itu sudah berhasil dilakukan, kita bisa mencoba lagi dengan memberikan waktu puasa Gadget yang lebih panjang. Jika kita berhasil menguasai diri untuk hal-hal sederhana, kita bisa naik level ke tingkat yang lebih tinggi lagi untuk hal-hal yang lebih rumit.

Kemerdekaan dimulai dari kesadaran akan keterbelengguan diri dan keinginan untuk bebas dari belenggu tersebut. Jika kita sadar bahwa kita sedang terbelenggu atau terjajah, dan ingin menjadi seorang yang merdeka, kita akan bertindak untuk memerdekakannya. Kemerdekaan bukan hanya berkenaan dengan hal fisik, tetapi juga dengan pola pikir atau pola hidup. Kita bisa awali dengan hal-hal yang sederhana, misalnya dengan penggunaan Gadget ini. Gadget bisa menjadi pelayan yang sangat efektif, tetapi juga dapat berubah menjadi penjajah yang sangat berkuasa atas diri dan hidup kita. Bagaimana kita memanfaatkannya, akan mempengaruhi kehidupan kita saat ini dan pada masa yang akan datang.

[1] https://www.online-therapy.com/blog/Gadget-addiction-smartphone-tablet/ .

Minggu, 07 Juni 2020

[OPINI] Kegiatan-kegiatan Pengisi Kemerdekaan

Oleh: Any Sulistyowati

Pada tanggal 17 Agustus tahun 2016 ini, Indonesia akan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke 71. Jika melihat realitas Indonesia saat ini, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan oleh bangsa ini untuk mengisi kemerdekaan. Banyak hal yang masih perlu dibenahi agar kemerdekaan sejati dapat sungguh-sungguh dirasakan oleh setiap warga negara Indonesia. Berikut ini adalah beberapa pilihan kegiatan yang dilakukan oleh para responden Pro:aktif Online, mengapa kegiatan-kegiatan tersebut mereka pilih untuk mengisi kemerdekaan serta tantangan-tantangan yang mereka hadapi dalam mengisi kemerdekaan tersebut.

Kegiatan-kegiatan untuk Mengisi Kemerdekaan

Fransiska Damarratri (Siska) dari ASF-ID, arsitek lulusan UGM memilih mengambil jalan yang mungkin berbeda dari arus utama kebanyakan arsitek. Ketimbang bekerja di Biro Arsitek yang melayani kepentingan pemilik modal, ia memilih bekerja dan merintis sebuah NGO di bidang Arsitektur. Ia merasa ada yang tidak pas/baik di pendidikan dan praktek profesi arsitektur, yang terkait dengan semua sistem. Ia berpendapat bahwa perubahan bisa dimulai dari aksi dan pendidikan.

Kukuh Samudra (Kukuh) dari Unit Tenis ITB merasa bahwa sejauh ini belum ada yang dapat ia banggakan dalam mengisi kemerdekaan. Tetapi kalau secara subyektif mungkin satu hal yang dapat ia banggakan sebagai mahasiswa adalah bahwa ia sudah mulai berusaha sendiri dalam bentuk menjual buku, meskipun modal masih dari orang tua.

Baginya ini merupakan sebuah langkah untuk menjadi mandiri. Sebuah awal untuk melakukan hal-hal yang lebih besar ketika ia pulang kembali ke kampung halamannya, Karang Anyar. Ia ingin membangun lapangan tenis, usaha pertanian, tempat pertunjukan di sana. Tiga hal yang menurutnya merupakan potensi besar Karang Anyar, tetapi selama ini seakan diabaikan, terutama oleh pemerintah. Menurut Kukuh, tidak banyak orang mau pulang ke Karang Anyar lagi. Ia merasa yang dicari dari jalur usaha dan perdagangan ini adalah kunci untuk mewujudkan impiannya. Tujuannya bukanlah sekedar uang tetapi sumberdaya, semacam pengetahuan, relasi dan mental, tiga hal yang sangat ia butuhkan. Ia juga merasa menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) bukanlah jalan yang ingin ia pilih. Selain terhalang kebebasan berpikir, hidup terkekang dan tidak bisa menjadi kaya, ia melihat tidak banyak juga yang bisa dilakukan oleh PNS. Menurut Kukuh, ide-idenya seringkali dianggap aneh. Untuk sebuah ide yang 'liar', masyarakat cenderung lebih memilih untuk cari aman. Kecuali, ide liar tersebut dapat terlaksana baik dalam waktu yang singkat. Sebuah ide liar (meskipun mungkin benar) susah untuk tetap menyala tanpa diasah. Dalam mengasah yang dibutuhkan adalah kawan yang sepaham, yang bisa diajak untuk berdialog dan diskusi. Secara garis besar mungkin ide sudah 'benar'. Tapi, sekali lagi, lingkungan pun butuh yang praktis.

Melly Amalia (Melly) dari KAIL dan YPBB ingin mengisi kemerdekaan dengan berbagai kegiatan yang terkait dengan isu sosial, lingkungan, dan anak. Misalnya dampingan masyarakat, berkebun di lahan sendiri, pengelolaan sampah skala kecil, menemani anak bermain, dll. Ia merasa senang bila apa yang ia lakukan bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Ia juga menikmati apa yang ia lakukan dan menemukan kedamaian.

Navita K. Astuti (Vita) mengisi masa mudanya dengan mendampingi para pengungsi di Timor untuk mengambil keputusan bagi diri mereka sendiri. Ia ingin melihat orang lain berdaya. Saat ini Vita bekerja di KAIL di Bandung.

Shelly Asmauliyah dari WALHI Jawa Barat melakukan sesuatu dari hal terkecil yang bisa dilakukan, contohnya membangun dari komunitas terkecil, yaitu keluarga. Menurut Shelly, keluarga yang ideal adalah keluarga yang tetap pada ajaran agama dan selaras dengan alam. Ia meyakini bahwa semua perubahan berawal dari yang kecil.

Shintia Arwida (Shintia), peneliti dari CIFOR, sebuah lembaga penelitian internasional yang berkantor di Bogor, ingin menyumbangkan hasil penelitian kepada pengambil kebijakan. Ia tidak ingin hasil penelitian hanya tinggal sebagai tumpukan kertas tidak berguna. Hal ini terjadi karena organisasi tempat Shintia bekerja adalah organisasi internasional. Rasa nasionalisme mungkin tidak menjadi perhatian dari organisasi tersebut. Ia merasakan kurangnya dukungan dari supervisor dan tidak adanya penghargaan yang proper terhadap upaya advokasi yang sudah dilaksanakan kadang membuat semangat kerja menurun.

Krisna mengisi kemerdekaan dengan berkegiatan di Palang Merah. Ia menjadi relawan ke tempat bencana dan relawan di tempat asal. Ia juga melakukan Pendidikan Korps Palang Merah dan adventure education kepada adik angkatan. Ia melakukan semua itu karena ingin bersama teman-teman. Dhika Pranastyasih dari Yasintara dan Yayasan Sadagori Indonesia mengisi kemerdekaan dengan berbagi ilmu, ide, tenaga dan tawa. Bagi Dhika melakukan hal-hal tersebut menyenangkan. Ia juga meyakini bahwa kegiatannya bisa jadi sederhana, tapi jika dilakukan dengan hati dan secara konsisten bisa memberi dampak tidak terduga.

Ivan Sumantri Bonang dari Komunitas Dongeng Dakocan, Bandar Lampung, mengisi kemerdekaan dengan belajar bersama guru-guru PAUD tentang teknik bercerita/mendongeng. Ia meyakini bahwa kegiatan tersebut penting untuk kemajuan pendidikan pada level usia dini.

Bukik Setiawan dari Kampus Guru CIKAL, Serpong, ingin memberikan kado merdeka buat Indonesia. Ia suka saja melakukannya.

Abrori dari Turun Tangan, Bandung, mengisi kemerdekaan dengan cara turun tangan dalam pelestarian budaya. Ia merasa bahwa dalam budaya, bersingungan dengan aspek-aspek seperti pendidikan, sosial, nilai seni, sejarah, dan tinjauan moralitas bangsa. Menurut Abrori, melalui budaya, kita bisa secara bertahap sedikit-sedikit ikut mensosialisasikan apa yang bisa kita lakukan dalam pembangunan bangsa ini.

Ajat Sutarja (Mang Ayut) ingin mengisi kemerdekaan dengan berperan dalam pelestarian lingkungan terutama satwa liar melalui lembaga nir laba maupun penelitian. Ia melakukannya karena sesuai dengan bidang pendidikan. Ketika melakukan hal tersebut, ia merasa bahwa lembaga pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan dan lembaga penegak hukum kurang memberikan dukungan dalam upaya pelestarian satwa liar dan menindak para pelanggar.

Bagi Raden Rhea ber-Islam dan ber-Sunda merupakan suatu kemerdekaan karena ia dapat dengan bebas mempelajari akar budaya dan agama dan mengekspresikannya. Untuk membalas hak yang didapatkan tersebut, ia senang ikut kegiatan volunteer untuk membantu orang lain dan negara. Secara konkret ia mengikuti ekspedisi NKRI, berlatih tari tradisional, menjadi wartawan lokal, dan mempraktekkan menjadi islam bukan sekedar KTP.

Wisnu dari Bandung berpendapat bahwa apabila Indonesia sudah benar-benar merdeka, maka kita akan bebas dari masalah-masalah pelik yang terjadi saat ini. Seharusnya kemerdekaan bisa dirasakan setiap hari, bukan hanya sekali setahun. Apabila itu sudah terjadi, maka tidak ada lagi yang perlu dilakukan.

Dewi Amelia dari Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI) ingin mengisi kemerdekaan dengan melakukan pengorganisasian perempuan. Ia ingin membangkitkan kesadaran perempuan agar berdaya mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya.

Willy Hanafi dari LBH Bandung mengisi kemerdekaan dengan melakukan penguatan masyarakat dalam pemahaman atas hak warga negara dan hukum serta hak asasi manusia. Hal ini ia lakukan karena keprihatinannya akan kurangnya pengetahuan masyarakat atas hak sebagai warga negara. Ia mengatakan tantangan terbesar untuk kegiatan yang ia lakukan adalah kurangnya keterlibatan pemerintah dalam peningkatan pengetahuan masyarakat akan haknya sebagai warga negara Dari Front Api, Bandung, Pesa Pecong mengisi kemerdekaan dengan berusaha memerdekakan orang lain, membuat orang berdaya sehingga mampu merebut haknya kembali dan membangun ekonomi mandiri. Hal ini ia lakukan untuk masa depan anak cucu saya yang lebih baik. Untuk dapat melakukan hal tersebut seringkali ia harus tetap pada jalan yang sudah dipilih, dengan tidak menghiraukan apa kata orang lain.

Rezza Estily dari AJI Bandung mengisi kemerdekaan dengan membuat multimedia story foto dan video mengenai kehidupan kaum urban.

Anilawati Nurwakhidin dari YPBB gemar melakukan kegiatan yang menyenangkan berbonus menyebar semangat perubahan ke teman-teman lainnya (semangat perubahan dalam kegiatan pengelolaan sampah, berbagi lewat menulis dan lain-lain). Semua itu dilakukannya karena aneka kegiatan itu menyenangkan pada banyak sisi.

Debby Josephine mengisi kemerdekaan dengan berkegiatan membuat dongeng di Rumput Kecil. Ia ingin semua orang dapat mengakses dongeng anak secara bebas. Ia juga berkegiatan di Rumah Kail, pusat pembelajarannya sebagai aktivis. Di situ ia dapat merefleksikan bagaimana semesta terkoneksi dengannya. Tidak semua orang dapat merasakan kemewahan ini. Ia merasa bangga karena ia dapat belajar dari orang-orang hebat. Ia juga berkegiatan di CreativeNet. Ia bangga karena dapat menyentuh langsung berbagai komunitas dan melihat perjuangan mereka untuk sebuah perubahan. Alasannya, ketika mengerjakan semua itu, ia merasa damai dan tenteram.

Di Bogor, Ismail Agung dari Inisiasi Alam Rehabilitasi, mengisi kemerdekaan dengan memberikan edukasi kepada generasi muda untuk menjaga satwa liar dan habitatnya. Hal ini sangat sesuai dengan latar belakang pendidikan yang digelutinya.

Huyogo dari AJI Bandung bersedia melakukan apa aja, asalkan tidak merugikan negara untuk mengisi kemerdekaan. Menurutnya, bekerja akan mengurangi beban negara. Menurutnya, mungkin sekarang bukan saatnya mengisi kemerdekaan dengan melakukan perlawanan dengan bambu runcing. Lebih dibutuhkan untuk melakukan hal yang positif. Meskipun menghadapi banyak tantangan ia tetap berusaha untuk rileks saja. Tetap ikhlas walau pendapatannya pas pasan. Yang lebih penting baginya adalah kebahagiaan.

Tantangan dalam mengisi kemerdekaan

Dalam mengisi kemerdekaan, ada banyak tantangan yang dihadapi oleh para responden. Tantangan itu dapat berasal dari dalam dan luar diri mereka sendiri. Berikut ini adalah ringkasan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para responden dalam mengisi kemerdekaan. Kurangnya sumberdaya dan konsekuensi melawan mainstream adalah tantangan-tantangan yang paling banyak dipilih oleh para responden (12 orang), disusul dengan keterbatasan ketrampilan dan pengetahuan (11 orang).

Delapan orang memilih bahwa perjuangan yang mereka lakukan juga seringkali melelahkan dari sisi emosi merupakan tantangan besar dalam mengisi kemerdekaan. Tujuh orang menyebutkan penghasilan yang tidak mencukupi sebagai tantangan. Sementara enam orang menyebutkan kepercayaan diri dan kekompakan tim sebagai tantangan terbesar dalam mengisi kemerdekaan.

Kekurangan waktu juga disebutkan sebagai tantangan oleh lima orang responden, disusul dengan tidak disetujui oleh keluarga dekat, kepercayaan dari kelompok sasaran dan tidak adanya perubahan yang berarti padahal sudah bekerja keras disebut-sebut sebagai tantangan oleh masing-masing empat orang responden.

Tiga orang responden menyebutkan ancaman terhadap keselamatan pribadi dan tekanan dari penguasa sebagai tantangan terbesar dalam mengisi kemerdekaan. Sementara dua orang responden menulis dilema-dilema dalam menentukan pilihan terbaik sebagai tantangan terbesar.

Begitulah beberapa contoh kegiatan yang dilakukan oleh para responden untuk mengisi kemerdekaan dan tantangan-tantangan yang mereka hadapi. Semoga membawa manfaat bagi perbaikan situasi bangsa ini menuju kemerdekaan sejati. Selamat HUT RI ke 71. Selamat menghasilkan karya-karya untuk membangun negeri.

***

[OPINI] Aktivis Sebagai Pelaku Gerakan Sosial

Oleh: Dadan Ramdan

Merdeka atau mati adalah jargon bersama yang menyemangati, disuarakan, ditulis di tembok-tembok rumah, kantor pemerintahan, pagar dan kain bekas yang usang oleh kaum muda yang belum mengenal istilah aktivis atau aktivisme. Mereka bergerak dan berjuang atas kesadaran pada keadaan penindasan penjajahan pemerintah Hindia Belanda di tanah Nusantara.

Kaum muda tanpa membedakan status sosial terus berjuang tanpa pamrih dengan visi, keterampilan, tenaga, keringat, darah, penjara hingga nyawa demi sebuah kehormatan “terbebas” dari penindasan sistem sosial, ekonomi dan politik kolonial Belanda masa itu. Hingga akhirnya, kemerdekaan politik dapat diraih dengan pembacaan naskah proklamasi oleh Sukarno-Hatta tahun 1945.

Kemerdekaan politik memang diraih, terbebas dari kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, negara dan bangsa Indonesia terbentuk, sistem pemerintahan dibangun dengan fondasi konstitusi negara Republik Indonesia. Namun, hingga usia kemerdekaan Indonesia menginjak 71 tahun, kemerdekaan sejati sebenarnya belum diperoleh sepenuhnya. Bangsa Indonesia sejatinya belum merdeka sejak kemerdekaan itu sendiri diproklamasikan.

Belum Merdeka

Merekam sejarah dan fakta yang ada, dari tahun 1945 hingga sekarang, bangsa ini masih terjajah, bangsa ini tetap menjadi budak di tanahnya sendiri, menjadi boneka dari kekuasaan modal dan sistem sosial dan politik pemerintahan yang tidak adil. Sistem modern yang tidak memerdekaan bangsanya. Sistem ekonomi politik yang menghamba pada kekuasaan modal global dari imperialis modern yang melestarikan sistem oligarki kekuasaan yang menguntungkan segelintir orang.

Merdeka yang sejati adalah terbangunnya sistem sosial, ekonomi dan politik yang memastikan keadilan bersama dalam kehidupan bersama baik di komunitas dan sistem masyarakat dalam organisasi negara dicapai. Merdeka ketika setiap individu tidak berpikir dan bertindak untuk dirinya sendiri, tapi mau berbagi dan berkontribusi untuk orang lain komunitas dan masyarakat luas tanpa paksaan dan tekanan siapapun, sehingga terbangun sistem dan tatanan kehidupan bersama yang adil dan makmur dalam berbagai skala kehidupan.

Dalam kehidupan sosial yang berada dalam cengkeraman sistem sosial, ekonomi dan politik negara yang melanggengkan oligarki kekuasaan era modern saat ini, peran dan posisi individu aktivis (istilah ini baru muncul tahun 80-an) menjadi penting, karena tidak semua orang kemudian mau memposisikan dan memerankan sebagai aktivis. Individu aktivis adalah pelaku gerakan sosial, bukan hanya sekedar pengrajin sosial. Inilah yang bisa kita pelajari, dari aktivis era kolonial.

Peran aktivis dalam perubahan sosial Belajar dari sejarah bangsa ini, dalam konteks merawat visi perubahan sosial untuk kehidupan bersama, setiap individu aktivis sebagai pelaku perubahan atau gerakan sosial bisa memerankan peran diantaranya:

a. Organizer

Sebagai organizer, individu aktivis bisa melakukan kerja perubahan sosial seperti mengorganisir rakyat, bersama rakyat membangun basis produksi (kekuatan ekonomi) sebagai alternative sekaligus antitesa dari sistem sosial dan ekonomi saat ini serta membangun agen dan kader-kader perubahan sosial ke depan untuk melestarikan gerakan sosial itu sendiri.

b. Media Maker

Seorang aktivis harus memerankan kerja media maker seperti menyuarakan kepentingan-kepentingan kaum marjinal/tersisihkan, mempromosikan praktik-praktik baik komunitas, mengembangkan dan menyebarluaskannya kepada individu, komunitas di wilayah lain. Seorang aktivis mampu menyampaikan gagasan-gagasan /ide dan karya-karya kepada fungsionaris negara seperti kepala desa, bupati/walikota, gubernur dan presiden serta parlemen.

c. Leader

Seorang aktivis bisa memerankan sebagai leader, sebagai pemimpin yang memiliki kemampuan dan keterampilan mengerakkan massa dan membawa ide serta gagasan perbaikan dalam ruang-ruang politik. Sebagai leader, seorang aktivis memang dituntut menjadi tauladan bagi komunitas/massa. Dalam konteks sosial politik kekinian, aktivis yang matang secara ekonomi dan memiliki keterampilan politik berani merebut ruang-ruang politik yang ada.

Perubahan yang terjadi

Belajar dari sejarah dan pengalaman yang ada, memang ada dampak dari kerja-kerja sosial yang dilakukan oleh aktivis. Ada kencenderungan, saat ini komunitas-komunitas dan organisasi rakyat tumbuh subur terutama di isu lingkungan baik di perkotaan dan perdesaan. Namun, keberadaan komunitas dan organsisasi rakyat yang ada belum sepenuhnya bisa membawa perubahan tatanan sistem sosial yang lebih luas dan perbaikan kebijakan negara.

Dari kondisi objektif, dalam situasi sekarang yang semakin kompleks, memang tidak mudah kita mengubah keadaan sosial yang terjadi. Apalagi sistem politik pemerintahan di negara ini juga belum memberikan ruang yang luas bagi terakomodasinya ide-ide perbaikan kehidupan sosial dalam tatanan politik yang menjamin keadilan dan kehidupan bersama.

Kemudian dari kondisi subjektif, khususnya kapasitas aktivis. Walaupun saat ini, aktivis masih ada yang terus bekerja untuk perubahan sosial, bekerja di akar rumput/basis massa dan komunitas dan mampu beradaptasi dengan perkembangan keadaan yang ada, namun, belajar dari pengalaman masih terdapat kelemahan aktivis saat ini. Kelemahan ini menunjukan bahwa aktivis sejatinya belum merdeka. Kelemahan aktivis bisa dijelaskan sebagai berikut :

Tantangan saat ini

Tentu situasi kekinian sangat berbeda dengan situasi dulu, masa kolonial, masa orde baru walaupun sistem ekonomi politiknya tidak berubah. Keadaan sosial yang dihadapi pelaku gerakan sosial saat ini dengan di masa lalu jauh berbeda. Perkembangan pengetahuan, teknologi dan media informasi sangat mempengaruhi kehidupan kita, dalam komunitas, masyarakat, pengusaha dan fungsionaris negara.

Perkembangan teknologi dan media telah mampu mengubah sikap, perilaku dan tindakan individu, komunitas dan masyarakat, apalagi di masyarakat perkotaan. Pilihan-pilihan hidup bukan lagi pilihan bersama atas dasar kebutuhan bersama. Namun sudah ditentukan oleh iklan di media massa baik cetak dan elektronik, Saat ini, kita berhadapan dengan situasi masyarakat yang individualis, konsumtif, Ini menjadi tantangan bagi aktivis yang harus dihadapi tanpa harus segera menyerah. Para aktivis pada akhirnya harus memiliki kemampuan lebih untuk menjawab tantangan kehidupan sosial saat ini.

Aktivis ke depan

Berefleksi dari sejarah, kenyataan objektif, subjektif dan tantangan yang terjadi, pertama harus terbangun kesadaran bahwa aktivis adalah pelaku perubahan/gerakan sosial transformatif. Kedua, sebagai subjek perubahan transformatif maka harus ada perbaikan kualitas aktivis. Minimalnya, ada tiga kualitas kemampuan aktivis merdeka yang perlu dibenahi yaitu kemampuan sosial dan ekonomi, kemampuan teknologi dan kemampuan memproduksi karya secara merdeka, mandiri, kreatif dan inovatif.

Pada akhirnya memang kita perlu menjawab dan berani menjawab dan meminimalkan kekurangan-kekurangan aktivis itu sendiri. Aktivis ke depan harus terus belajar dari keberhasilan aktivis lain, mengasah kemampuan dan pengalaman dengan telaten. Jika kita mampu menjawab kekurangan-kekurangan tersebut maka kapasitas aktivispun akan semakin meningkat dan teruji. Sebangun perubahan kapasitas, aktivis pun secara transpormatif mampu mengubah dirinnya dan keadaan sosial sehingga tatanan kehidupan bersama yang merdeka dapat diraih.

Sumber: indocropcircles.wordpress.com

[MASALAH KITA] Refleksi 71 tahun HUT RI : Sudahkah Indonesia Merdeka?

Oleh: Any Sulistyowati

Latar Belakang

Untuk menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-71, Proaktif Online melakukan survey online untuk menggali Refleksi mengenai Kemerdekaan Indonesia. Dua puluh lima orang mengisi survey tersebut. Mereka adalah para aktivis dari berbagai bidang dengan komposisi sebagai berikut: Alam dan Lingkungan (13 orang), Pendidikan (sembilan orang), Seni, Sastra dan Budaya (delapan orang), Teknologi (empat orang), Pertanian dan Pangan (tiga orang), Hukum dan HAM (dua orang), Ekonomi (dua orang), dan bidang lainnya (empat orang). Satu orang responden dapat mengisi lebih dari satu bidang garap.

Pertanyaan-pertanyaan refleksi pada kuesioner ini terdiri atas beberapa bagian primer, yaitu: sejauh mana Indonesia telah merdeka di aneka macam bidang, ancaman yang dihadapi dan bagaimana cara mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Survey ditutup menggunakan pertanyaan apa yang ingin disampaikan para aktivis seputar kemerdekaan Indonesia.

Rangkuman Persepsi Responden mengenai Tingkat Kemerdekaan Indonesia

Menurut para responden, secara umum hingga ketika ini Indonesia belum sepenuhnya merdeka di aneka macam bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Ringkasan pendapat mereka dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Secara holistik hanya 2 orang mengganggap Indonesia telah merdeka 100%, yaitu satu orang buat bidang Agama dan satu orang buat bidang seni & budaya. Sebaliknya selalu ada responden yg menjawab Indonesia sama sekali belum merdeka (0% merdeka) di berbagai bidang, kecuali di bidang Seni & Budaya tidak terdapat responden yg memilih Indonesia baru 0% merdeka. Di bidang-bidang lain, yang menjawab Indonesia masih 0% merdeka adalah di bidang Agama (tiga orang), Ekonomi (tiga orang), Kesehatan (dua orang), Lingkungan (2 orang), Pangan (satu orang), Pendidikan (2 orang), Perumahan (2 orang), Politik (satu orang), Sandang (dua orang), Sosial (satu orang) dan Teknologi (2 orang).

Jika pada lihat di masing-masing bidang, maka di bidang Agama, hanya satu dari 25 orang yang menduga Indonesia sudah merdeka 100%. Sebaliknya 3 menurut 25 orang menganggap belum merdeka sama sekali (0%). Sisanya tersebar 2 orang menganggap telah merdeka 80%, delapan orang menganggap sudah merdeka 60%, lima orang mengganggap telah merdeka 40% dan enam orang mengganggap sudah merdeka 20%.

Di bidang Ekonomi, satu orang menganggap Indonesia sudah merdeka 80%, tiga orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, sembilan orang menganggap Indonesia sudah merdeka 40%, sembilan orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 20% dan tiga orang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Kesehatan, satu orang menganggap Indonesia sudah merdeka 80%, tujuh orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, delapan orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, tujuh orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 20% & 2 orang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Lingkungan, nir ada responden yg menjawab Indonesia telah merdeka lebih menurut 60%. Mereka menjawab menggunakan komposisi sebagai berikut: empat orang menjawab Indonesia sudah 60% merdeka pada bidang lingkungan, sembilan orang menjawab 40% merdeka, sepuluh orang menjawab 20% merdeka & dua orang menjawab belum merdeka sama sekali. Seperti pada bidang Lingkungan, di bidang Pangan pula nir ada responden yg menjawab Indonesia telah merdeka lebih dari 60%. Di bidang ini enam orang menjawab Indonesia telah 60% merdeka pada bidang lingkungan, sepuluh orang menjawab 40% merdeka, delapan orang menjawab 20% merdeka dan satu orang menjawab belum merdeka sama sekali.

Di bidang Pendidikan, dua orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, empat orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 60%, sebelas orang menganggap Indonesia sudah merdeka 40%, enam orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% & dua orang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Perumahan, tiga orang menduga Indonesia telah merdeka 80%, empat orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 60%, 3 belas orang menduga Indonesia telah merdeka 40%, tiga orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan 2 orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Politik, dua orang menduga Indonesia sudah merdeka 80%, satu orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 60%, dua belas orang menduga Indonesia telah merdeka 40%, sembilan orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 20% dan satu orang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Sandang, empat orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, enam orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, sebelas orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, dua orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan dua orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Seni & Budaya, satu orang menduga Indonesia sudah sepenuhnya merdeka, lima orang menganggap Indonesia sudah merdeka 80%, enam orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 60%, sepuluh orang menduga Indonesia sudah merdeka 40% & tiga orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20%. Tidak ada yang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka pada bidang Seni dan Budaya.

Di bidang Sosial, tiga orang menduga Indonesia telah merdeka 80%, sembilan orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 60%, delapan orang menduga Indonesia telah merdeka 40%, empat orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 20% dan satu orang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka.

Di bidang Teknologi, dua orang menganggap Indonesia sudah merdeka 80%, enam orang mengganggap Indonesia sudah merdeka 60%, tujuh orang menduga Indonesia telah merdeka 40%, delapan orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan 2 orang menduga Indonesia sama sekali belum merdeka.

Persoalan-persoalan Seputar Kemerdekaan IndonesiaMeskipun sudah secara resmi 71 tahun merdeka, Indonesia belum sepenuhnya dianggap merdeka oleh para responden. Ada banyak persoalan, tantangan dan ancaman yang dihadapi negeri ini untuk memperjuangkan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Anilawati Nurwakhidin dari YPBB menyatakan bahwa sebenarnya secara status Indonesia memang merdeka, akan tetapi ancaman datang berdasarkan aneka macam sisi dan menurut aneka macam bidang. Masalahnya ancaman-ancaman ini acapkali tidak disadari. Sementara itu, Huyogo beropini bahwa merdeka sepenuhnya memang mungkin nir terdapat. Masih banyak pengaruh berdasarkan luar. Kukuh Samudra berdasarkan Unit Tenis ITB berpendapat bahwa dalam hampir seluruh bidang, Indonesia masih dikendalikan oleh orang lain. Barangkali secara deklaratif, secara aturan Indonesia telah merdeka. Hal yang sama pula dinyatakan oleh Melly Amalia menurut KAIL & YPBB bahwa persentase kemerdekaan Indonesia di segala bidang masih pada bawah 80%. Indonesia masih poly disetir atau diarahkan oleh pihak ketiga. Ivan Sumantri Bonang menurut Komunitas Dongeng Dakocan, Bandar Lampung menyatakan masih diharapkan banyak waktu buat merdeka pada banyak sekali bidang tadi.

Fransiska Damarratri (Siska) berdasarkan ASF ID beropini bahwa seluruh hal tersebut terkait, terutama budaya & sistem, mensugesti kemerdekaan. Merdeka selayaknya dimulai semenjak berdasarkan pikiran. Namun terkadang sistem yg langgeng membatasi hal tsb dan aksi-aksi insan.

Pesa Pecong dari Front Api, Bandung, menganggap bahwa merdeka, atau yg dianggap sebagai sebuah negara sendiri nir merubah keadaan menurut bentuk negara sebelumnya yaitu Hindia Belanda. Menumpuknya harta dalam segelintir orang, institusi pendidikan hanya mencetak calon buruh buat perusahaan, poly rakyat yang tidak memiliki tanah, bahkan tanahnya dirampas negara, warga dibuat tak berdaya dan poly terjadi perampasan-perampasan hak kemanusiaan yg dilakukan oleh negara dan aparatnya merupakan bukti-bukti bahwa kemerdekaan belum dirasakan sang masyarakat Indonesia. Kukuh pula menekankan bahwa bentuk penjajahan senantiasa berkembang dari saat ke waktu. Indonesia waktu ini tidak memiliki kepercayaan -diri (mental negara terjajah). Semua yg baik seolah-olah dari bukan menurut diri sendiri. Mental yang seperti ini dalam akhirnya mensugesti sistem produksi yg pada akhirnya mensugesti kembali ke mental. Mulai berdasarkan pangan. Indonesia mempunyai bahan pangan pokok beraneka macam. Tapi mengapa harus nasi & kentang? Toh, keripik singkong pun bila diolah dengan benar tidak kalah cita rasanya. Sementara sandang, mengapa pakaian menurut Bandung atau kota sentra garmen perlu melewati benua biru sekedar buat mendapatkan label garis-3 atau centrang?

Seperti Kukuh, Navita K.Astuti dari KAIL pula menyampaikan keliru satu bentuk ketidakmerdekaan menurut aspek pangan yaitu tidak merdeka berdasarkan jenis pangan sehat & bergizi. Orang-orang tergoda (terjajah) oleh ekspresi dominan masa kini , seperti kuliner instan maupun makanan cepat saji. Sementara buat pakaian, tampak pola konsumtif orang ketika berbelanja baju. Mereka masih terjajah oleh pandangan, contohnya, wajib membeli baju baru ketika lebaran.

Menurut Ajat Sutarja (Mang Ayut), pemerintah masih berpihak dalam korporasi-korporasi dibanding dalam kepentingan hajat hidup masyarakat yg sejati, kurang mendukung sektor produksi ekonomi lemah dan menengah terbukti menggunakan lebih banyaknya import barang-barang jadi.

Abrori berdasarkan Turun Tangan, Bandung, jua memberi catatan mengenai produk pangan impor. Sebetulnya bukan kita nir bisa menghasilkan produk-produk pangan yang baik, sampai pemerintah merogoh langkah impor. Dalam beberapa hal, tentu memang baik impor sesuatu. Tapi apa betul output produksi terbaik kita memang mandul sebagai akibatnya harus impor ataukah hasil produksi terbaik kita belum terjaga menggunakan baik? Sehingga podusen pangan kita lebih memilih mendistribusikannya ke luar daripada mengutamakannya buat distribusi dalam negeri? Sejauh apa evalusi yg dilakukan pemerintah? Kita bahkan tidak pernah memahami sejauh apa daya kita pada memberi makan bangsa sendiri. Kita tidak mampu merdeka sepenuhnya sebelum upaya pada memproduksi pangan buat bangsa sendiri dilakukan menggunakan semaksimal mungkin. Melakukan riset-riset dan membangun kualitas-kualitas unggulan buat diutamakan dikonsumsi oleh warga Indonesia.

Selain pangan dan sandang, ketidak merdekaan jua terjadi pada pelayanan kesehatan & berbagai bidang sosial. Abrori menyatakan bahwa semua sangat terpengaruh oleh politik. 'Parapelaku' politik kepentingan selalu berbicara mengatasnamakan masyarakat. Korupsi ketika mengurusi banyak sekali 'proyek buat masyarakat', dampaknya artinya pandangan sini warga terhadap segala pemugaran yg dilakukan oleh pemerintah. Baik infrastruktur, atau apa pun. Masyarakat seolah diutamakan, padahal nyatanya 'sinisitas' mereka semakin beranggapan bahwa mereka semakin ditinggalkan sang keputusan-keputusan yg mengutamakan rakyat.

Wisnu berdasarkan Bandung menyatakan bahwa kasus terbesar adalah perkara pendidikan. Abrori menyoroti layanan pendidikan yg semakin komersil. Sektor pendidikan yang semula sebagai andalan buat membebaskan masyarakat dari kebodohan & kemiskinan ternyata menjadi asal kesenjangan sosial. Yang kaya bisa mengakses pendidikan yang rupawan & mahal, ad interim si miskin relatif puas menggunakan pendidikan ala kadarnya. Pendidikan sebagai sumber pengelompokkan rakyat menurut kelas ekonomi. Belum lagi pendidikan menjadi ajang adu gengsi antar orang tua atau sebagai tempat bagi para pengajar buat mendapatkan penghasilan tambahan. Sekolah menjadi bentuk penjajahan baru, pada mana orang tua & anak didik terjajah sang harga pendidikan yang ditetapkan oleh sekolah. Abrori jua menyoroti soal teknologi. Ia mempertanyakan, sejauh apa pemerintah berani mengambil risiko memberi modal pada developer-developer pada negeri, memberikan keleluasaan dan memfasilitasi para pakar dengan fasilitas yg nir setengah-1/2, serta mewadahi paraahli buat mencurahkan ide dan ciptaan mereka. Ia melihat bahwa sejauh ini teknologi kita didominasi oleh pembuat asing. Produksi dalam negeri sepertinya sulit sekali menghasilkan sesuatu. Proses birokrasi, tes uji kelayakan, surat izin edar, & langkah-langkah lain nampaknya dirasa menyusahkan. Apalagi kadang terdengar selintingan yg melibatkan perut-perut profesi lain yg terancam terambil pangsa pasarnya.

Ancaman-ancaman terhadap Kemerdekaan Indonesia

Ancaman yang dirasa paling akbar saat ini merupakan kesenjangan antara yg kaya dan miskin (dipilih oleh 17 orang) dan Perubahan Hutan menjadi Perkebunan Sawit (dipilih oleh 15 orang). Ancaman yg dirasa relatif besar , yaitu dipilih sang 12 orang merupakan Putus Sekolah & Buta Huruf serta Polusi Udara dan Air. Diikuti dengan rawan Pangan yang dipilih sang sebelas responden. Sembilan orang memilih Permasalahan antar Suku, Etnis & Agama dan Bencana Alam terkait Perubahan Iklim menjadi ancaman utama. Sementara Kekisruhan Politik pada negeri dipilih oleh delapan orang. Ketergantungan dalam Gadget dan Intrusi Budaya barat pada kalangan kaum muda dipilih oleh tujuh orang sebagai ancaman utama terhadap kemerdekaan Indonesia.

Lima orang menduga Menumpuknya Sampah di TPA sebagai ancaman terhadap kemerdekaan, disusul ancaman-ancaman yang dipilih sang empat orang adalah Penjarahan hasil Laut Indonesia sang kapal asing, Naiknya nilai tukar dolar terhadap rupiah dan Meningkatnya Jumlah rakyat Miskin di Perkotaan. Sisanya beragam ancaman dipilih sang satu hingga tiga orang menggunakan total 12 pilihan.

Bagaimana Cara Mengatasi Ancaman-Ancaman terhadap Kemerdekaan? Debby Josephine berdasarkan Rumput Kecil menyatakan bahwa mengatasi ancaman terhadap kemerdekaan bagaikan mencari cara buat membangunkan orang yang pretensi tidur. Anilawati menurut YPBB berpendapat bahwa buat menghadapi ancaman-ancaman tadi, kita perlu mengusut dan menyadari masalah-masalahnya dan mulai memecahkannya sedikit-sedikit. Sementara Pesa Pecong menurut Front API berpendapat bahwa Rakyat harus beranjak buat melawan; Abrori menambahkan pentingnya gotong-royong buat mengatasi ancaman-ancaman tersebut.

Navita Kristi Astuti dari KAIL menyatakan bahwa buat membentuk Indonesia diperlukan niat baik & saling percaya satu sama lain baik dalam komunitas mini RT/RW juga dalam lingkup besar kabupaten, provinsi hingga lingkup negara. Bukik Setiawan dari Kampus Guru CIKAL, Serpong menyatakan pengakuan terhadap keragaman dan penghargaan terhadap potensi lokal sangat penting buat mengatasi ancaman-ancaman di atas.

Menurut Fransiska Damarratri dari ASF-ID, cara mengatasi ancaman-ancaman terhadap kemerdekaan perlu dimulai menurut pendidikan. Aksi-aksi tersebut perlu digerakkan secara merata, pada desa dan pada perkotaan. Aksi & pendidikan wajib diorganisasi, dicatat, dikombinasikan. Literasi bangsa sangatlah rendah saat ini. Bangsa yg tidak membaca bisa jadi nir berpikir - secara merdeka. Senada dengan Siska, Melly Amalia berdasarkan KAIL & YPBB menyatakan perlunya upaya terus menerus buat melakukan edukasi lewat penyuluhan & pelatihan. Juga kampanye ke berbagai lini rakyat menggunakan perubahan kerangka berpikir yg tepat. Ia berharap rakyat Indonesia sanggup berdikari, kreatif, berkarya & berafiliasi (kerja sama) lewat komunitas-komunitas terkecil.

Masih pada bidang pendidikan, Wisnu menyatakan pentingnya perubahan sistem pendidikan dasar. Dhika Pranastyasih dari Yahintara dan Yayasan Sadagori Indonesia menekankan pentingnya edukasi sejak dini pada famili. Ivan Sumantri Bonang dari Komunitas Dongeng Dakocan, Bandar Lampung menyatakan bahwa untuk mengatasi ancaman-ancaman pada atas pendidikan harus diperbaiki secara mendasar. Ia menyatakan bahwa selama ini pendidikan yg berkembang di Indonesia nir membebaskan. Krisna berpendapat bahwa pendidikan yang perlu dikembangkan merupakan mengedepankan pemakaian akal. Tien Widyaningrum menurut WSDK, Bandung menganggap perlunya pendidikan & berbagai media buat menguatkan konsep tentang Indonesia dalam diri masing-masing.

Shintia Arwida dari CIFOR menyatakan perlunya investasi & perombakan besar -besaran di bidang pendidikan & penegakan hukum. Ia menyatakan bahwa selama ini penegakan aturan di Indonesia masih sangat lemah. Hal yg sama ditekankan oleh Abrori berdasarkan Turun Tangan Bandung. Ia menyatakan perlunya penegakkan hukum yang sangat tegas buat mengatasi ancaman-ancaman terhadap kemerdekaan. Ajat Sutarja (Mang Ayut) berdasarkan Bandung menyatakan vahwa buat mengatasi lemahnya penegakkan hukum di segala sektor, maka sangat krusial pencerahan warga & pemerintah terutama penegak hukum untuk berbuat yg terbaik menurut lingkup terkecil

Selain penegakan aturan, Willy Hanafi menekankan perlunya peningkatan pemahaman warga akan haknya sebagai warga negara buat mendapatkan akses keadilan & kesejahteraan. Mang Ayut menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan antara kota dan desa serta Jawa & luar Jawa masih menjadi perkara yg sangat penting di era kemerdekaan ini. Willy merasa prihatin akan banyaknya investasi kapital akbar yang datang ke Indonesia yg nir di imbangi sang niat baik pemerintah buat mendapatkan akses keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Raden Rhea menurut LISES UNPAD mengatakan bahwa hal yang paling mengancam kemerdekaan Indonesia merupakan yg terkait ketersediaan bahan pokok. Ia meyakini bahwa apabila kasus pakaian pangan papan & pendidikan sudah terpenuhi, perkara lain mampu teratasi. Seandainya rakyat sudah berpendidikan dan kebutuhan pokok mereka sudah terpenuhi, maka mereka tidak mempunyai emosi negatif yang umumnya disalurkan dgn pergaulan bebas, atau mabok-mabokan yg berujung dalam bentrok antar gerombolan . Untuk menjawab hal tersebut Abrori berdasarkan Turun Tangan Bandung menyatakan bahwa Indonesia wajib berdikari. Hal ini akan memunculkan kepercayaan diri bangsa. Ia beropini bahwa selama ini Indonesia sudah dijajah sang Neo-kolonialisme. Hanya kita yang tidak sadar dan sudah terlanjur nyaman dengan kondisi yang terlalaikan ini. Untuk keluar berdasarkan situasi ini, dibutuhkan kiprah yg serius dari 2 belah pihak; pemerintah dan pergerakan masyarakat. Tidak bisa jalan hanya keliru satunya saja. Kita perlu mengembalikan integritas bangsa, barulah sanggup merdeka. Indonesia harus berupaya semaksimal mungkin supaya sanggup mandiri dan berkedaulatan warga . Tentunya dengan mengesampingkan perut sendiri & mengutamakan kemaslahatan umat.

Mendukung hal tersebut, Huyogo menurut AJI Bandung menyatakan perlunya Indonesia sebagai bangsa yg mandiri, bukan pemalas supaya dapat mengatasi ancaman-ancaman tadi. Raden Rhea berdasarkan LISES UNPAD, Bandung, menekankan berdikari pangan, jaga lingkungan & bijak pengelolaan sumberdaya manusia menjadi hal-hal krusial buat mengatasi ancaman terhadap kemerdekaan.

Selain itu Shintia Arwida dari CIFOR menyatakan perlunya perubahan sistem ekonomi dan pertanian yg lebih berdaya ke pada. Untuk itu, Daniel Mangoting dari Koperasi Lestari menekankan pentingnya pembangunan gerakan pada tingkat komunitas. Ia menyatakan bahwa Indonesia ini masih setengah merdeka karena masih jauh menurut maju dan berdaulat.

Dewi Amelia melihat bahwa telah terjadi pelaksanaan kebijakan neoliberal di dalam negeri & semakin berkembangnya monopoli & perampasan tanah masyarakat. Ia menekankan pentingnya pelaksanaan reforma agraria sejati dan pembangunan industri dasar nasional.

Ismail Agung menekankan pentingnya pemimpin yang baik & warga yg baik pada dalam upaya mengatasi ancaman-ancaman tadi. Muhammad Habibullah berdasarkan ITB menyatakan bahwa keliru satu bentuk nyata yg perlu dilakukan adalah menghapus budaya korupsi di pemerintahan. Hal senada disampaikan oleh Abrori menurut Turun Tangan Bandung yg menekankan pentingnya Pembasmian hama-hama koruptor & mafia peradilan. Krisna berpendapat contoh konkretnya merupakan penghapusan Departemen Agama.

Dari aspek Bahasa & Budaya, Ismail Agung menekankan minimnya pencerahan generasi belia terhadap integritas bangsa. Selain itu, Huyogo & Dhika jua mencatat bahwa agama diri dalam identitas bangsa mulai hilang, khususnya di kalangan generasi belia. Seperti yg diungkapkan sang Muhammad Habibullah bahwa bangsa kita belum punya rasa memiliki bangsanya sendiri. Untuk itu, Abrori menyatakan perlunya mengembalikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa pergaulan tanpa ada embel-embel Bahasa Inggris lantaran dinilai lebih modern & kekinian sang anak belia. Kontrol berdasarkan pemerintah terhadap media pemberitaan & hiburan terutama televisi pula dibutuhkan. Selain itu perlu dihidupkan pulang aktivitas-kegiatan pesta warga .

Selain bidang-bidang di atas, Kukuh Samudra berdasarkan unit Tenis ITB menyatakan bahwa Indonesia juga perlu membuatkan olah raga. Melalui olah raga, Indonesia bisa mengembangkan kesehatan fisik rakyatnya. Selain untuk mencari sehat atau mencari kesejukan tubuh & jiwa. Lebih jauh lagi, olahraga merupakan juga dapat menjadi kebanggaan. Misalnya pada masa kemudian, konon, Indonesia terkenal lantaran 3 hal, yaitu: Sukarno, Bali dan Bulutangkis. Indonesia pula pernah begitu perkasa di level Asia Tenggara bahkan taraf Asia. Sayangnya hal tersebut nir lagi terjadi pada masa kini . Padahal hal-hal tadi sanggup sebagai asal kebanggaan menjadi orang Indonesia.

Lepas dari berbagai ancaman yang dihadapi kemerdekaan Indonesia, Krisna menekankan bahwa Indonesia masih perlu bersyukur melihat peluang hayati di Indonesia. Potensi Indonesia sangat luar biasa, yang belum tentu dimiliki sang negara lain. Untuk itu, marilah kita peringati hari ulang tahun RI ke 71 ini dengan penuh rasa syukur, sembari tak lupa menyiapkan diri buat memperjuangkan kemerdekaan sejati !

***

Sabtu, 06 Juni 2020

[PIKIR] Terus Memaknai Kemerdekaan

Oleh: P. Krismastono Soediro

Mahatma Gandi - Menginspirasi

gerakan tanpa kekerasanProklamasi Kemerdekaan Indonesia dalam tahun 1945 adalah bagian dari arus sejarah besar dunia abad ke-20 seiring dengan kehendak bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia buat melepaskan diri dari kolonialisme. Waktu itu habislah sudah kesabaran bangsa-bangsa itu setelah hayati menjadi koloni dalam belenggu kekuasaan bangsa lain yang melakukan kontrol politik-ekonomi-sosial-budaya.

Kolonisasi dan Dekolonisasi

Praktik kolonisasi sudah terjadi sejak zaman kuno, seperti oleh bangsa Mesir, bangsa Funisia, bangsa Yunani, dan bangsa Romawi. Kolonialisme modern dimulai setelah orang-orang Portugis dan Spanyol menjelajahi wilayah-wilayah di lepas pantai mereka. Berbagai penemuan dan revolusi perdagangan mendorong bangsa-bangsa lain Eropa mengikuti jejak Portugis dan Spanyol, menguasai wilayah-wilayah lain, dan saling berebut kekuasaan atas wilayah-wilayah tertentu.

Marxisme memandang kolonialisme sebagai bagian dari kapitalisme. Melalui kolonialisme, dilakukan pemaksaan dan ekploitasi demi keuntungan kaum kapitalis yang mencari bahan mentah secara murah dan/atau mencari kesempatan berinvestasi dengan imbal hasil yang sangat tinggi. Akibatnya, terjadilah ketidaksetaraan, bahkan kebergantungan. Kaul liberal pun mengkritik kolonialisme; mereka tidak menyukai pandangan para pedagang yang picik dan curang; mereka memiliki filosofi perdagangan bebas (free trade) di antara para pelaku pasar, dan menginginkan fair play bagi semua pemain (a level playing field). Ide dekolonisasi bermula sejak Revolusi Amerika (1776) ketika 13 koloni Inggris memerdekakan diri. Proses dekolonisasi kemudian terjadi di Amerika Latin sejak abad ke-19. Dekolonisasi juga berlangsung di sejumlah wilayah di Eropa Tenggara pada abad ke-19. Gagasan dan gerakan dekolonisasi terus menyebar hingga Asia dan Afrika. Gerakan tentang Indonesia yang lebih sejahtera mulai bertumbuh pada awal abad ke-20.

Perang Dunia I (1914-1918) dan Great Depression (1930-an) melemahkan kaum kolonial, sekaligus menguatkan gerakan dekolonisasi. Kaum sosialis maupun liberal di negeri-negeri maju terus mengkritik praktik-praktik kolonialisme.

Perang Dunia II di Eropa antara lain didorong oleh motif kolonialisme Nazisme-Adolf Hitler dan Fascisme-Benito Mussolini buat meguasai daerah-wilayah yg bisa menyediakan bahan-bahan buat kepentingan industri. Di Asia Pasifik, militerisme-Jepang ingin membangun ?Asia Raya? Menggunakan berusaha menguasai koloni-koloni Inggris, Prancis, Belanda, dan Amerika Serikat pada Asia Pasifik.Akhir Perang Dunia II memperbesar arus dekolonisasi, terutama di Asia dan Afrika. Satu demi satu bangsa-bangsa menyatakan kemerdekaan mereka: Indonesia (1945), Vietnam (1945), Filipina (1946), India (1947), Burma (1948), Srilanka (1948), dan seterusnya. Kerajaan Belanda nir mendapat begitu saja Kemerdekaan Indonesia hingga Konferensi Meja Bundar pada Den Haag (1949). Di berbagai belahan dunia proses dekolonisasi hanya diterima dengan terpaksa, dengan berat hati, sang para kolonialis yg kehilangan laba mereka atas koloni-koloni.

Indonesia Pascakolonial

Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
Revolusi Kemerdekaan Indonesia berakhir dengan Konferensi Meja Bundar pada ujung tahun 1949. Mulailah babak baru sebuah bangsa yang masih begitu muda, dengan wilayah yang begitu luas, yang menjadi sebuah bangsa karena merasa senasib-sepenanggungan dalam ketidakadilan sistem kolonial. Sepanjang dasawarsa 1950-an bangsa Indonesia melakukan eksperimen-eksperimen kehidupan berbangsa dan bernegara. Eksperimen pertama berlangsung dalam periode yang dijuluki sebagai periode demokrasi liberal (1950-1959). Kemerdekaan diisi dengan menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Aspirasi-aspirasi bertaburan, saling bergesekan, bertabrakan, menimbulkan perbedaan, perselisihan, bahkan pemberontakan. Presiden Soekarno tidak tahan dengan situasi yang dinilai membahayakan persatuan nasional. Pada tahun 1959 ditetapkanlah Dekrit Presiden, yang membawa Indonesia pada periode demokrasi terpimpin, dalam panduan “Pemimpin Besar Revolusi”, “Penyambung Lidah Rakyat”. Kemerdekaan diisi dengan memompa semangat nasionalisme dan kebanggaan nasional. Politik menjadi panglima, yang berorientasi kekiri-kirian, tetapi ekonomi kurang mendapat perhatian, inflasi membubung tinggi.

Tragedi Nasional 1965 & rentetannya membalikkan situasi nasional, dengan memakan begitu poly korban jiwa, tahanan politik, dan trauma yg begitu mendalam. ?Orde Baru? Pada kepemimpinan Presiden Soeharto mengusung pembangunanisme ekonomi yang cenderung otoriter. Kemajuan dalam bidang makroekonomi & fisik kurang disertai dengan ? Bahkan mengorbankan -- kemajuan pada bidang sosial-politik dan bidang sosial-budaya. Pembangunan disertai menggunakan peningkatan luar biasa utang nasional, & ad interim itu korupsi merebak pada lingkungan kroni-kroni penguasa.

Reformasi Nasional pada tahun 1998 bermaksud mengisi kemerdekaan dengan melakukan perubahan-perubahan struktur & proses kehidupan nasional sebelumnya. Krisis multidimensional yg bermula dalam tahun 1997/1998 sedikit demi sedikit dapat diatasi. Setiap presiden ? Semenjak Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnopoetri, Presiden Susilo Bambang Yudoyono, & kini Presiden Joko Widodo ? Berupaya menjaga kemajuan bidang sosial-ekonomi sambil juga memperbaiki bidang sosial-politik dan sosial-budaya.

Terus Memaknai Kemerdekaan

Apakah Indonesia – dan kita masing-masing – benar-benar sudah merdeka? Inilah pertanyaan reflektif yang sering dilontarkan. Para pemikir membedakan dua macam kemerdekaan (kebebasan, freedom, liberty), yaitu “kemerdekaan dari (freedom from) hal-hal negatif” dan “kemerdekaan untuk (freedom to) melakukan hal-hal positif”. Freedom from bersifat dari luar ke dalam (outside in), sedangkan freedom to bersifat inside out (dari dalam ke luar).

Kemerdekaan dari (freedom from) hal-hal negatif-lah yang sering disorot pada tataran publik. Sebagai contoh, apakah kita sudah merdeka dari kemiskinan? Jawabannya barangkali tidak hitam-putih. Lebih baik bila kita antara lain melihat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI) Indonesia dari waktu ke waktu. Memang terjadi trend peningkatan HDI dari tahun ke tahun sejak tahun 1990 hingga kini walaupun masih di bawah rata-rata dunia maupun rata-rata Asia Pasifik. Tentu saja HDI perlu dilihat secara lebih rinci, dan ini pun perlu dilengkapi dengan indikator-indikator lain. Contoh lain, apakah kita sudah merdeka dari korupsi? Jawabannya barangkali lebih baik bila kita antara lain melihat Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index, CPI) Indonesia dari waktu ke waktu. Memang terjadi persepsi yang lebih baik terhadap upaya pemeberantasan korupsi di Indonesia. Tentu saja jalan menuju kemerdekaan dari korupsi masih sangat terjal.

Kemerdekan untuk (freedom to) melakukan hal-hal positif lebih bersifat privat/individual. Terutama anak-anak memang hendaknya memperoleh freedom from hal-hal negatif dengan derajat yang tinggi. Seiring dengan usia seseorang, hendaknya dia mampu mengembangkan freedom to melakukan hal-hal positif. Semakin dewasa seseorang, hendaknya semakin mampu pula dia proaktif dalam menentukan arah hidupnya dan berkontribusi kepada orang-orang di sekitarnya. Inilah pentingnya budaya dan edukasi. Budaya dan edukasi yang bagus akan mendorong seseorang mengembangkan freedom to.

Adakah manusia yg benar-sahih merdeka? Apa pun situasinya, tanpa perlu menuntut syarat apa pun, batin insan semacam itu selalu merdeka buat bersikap proaktif, buat menentukan pilihan. Manusia semacam itu nir menuntut syarat ini-itu buat melakukan sesuatu yang dianggapnya baik, buat berkontribusi demi kebaikan beserta. Barangkali itulah manusia yang telah mengalami kesadaran.

Selamat terus memaknai kemerdekaan. ?

Cloud Hosting Indonesia