Penulis: Sofie Dewayani
![]() |
sumber-teorikomputer.Com |
Selamat datang di dunia Gen Z, dunianya generasi muda yang melek teknologi. Survei Nielsen di Indonesia pada Oktober 2016 memperkuat ungkapan ini. Survey ini menemukan bahwa anak (usia 10-14 tahun) dan remaja Indonesia (umur 15-19) lebih gemar mengakses internet ketimbang membaca buku. Survey ini lebih jauh menyebutkan bahwa persentase anak yang membaca buku hanya 11 %, dan remaja hanya 10 %. Sementara itu, hanya 4 % orang dewasa membaca buku. Anak-anak dan remaja mengakses internet untuk mencari informasi (8 % untuk anak-anak dan 17 % untuk remaja) ketimbang bermain (hanya sekitar 6 % pada kedua kelompok ini. Fakta bahwa media teknologi lebih banyak diakses ketimbang media cetak tak dapat dielakkan lagi.
Perkembangan teknologi digital acapkali dipercaya menjadi kambing hitam bagi kegemaran membaca. Orang khawatir bahwa waktu internet semakin mudah diakses, kitab cetak nir lagi menarik minat pembaca. Di Indonesia terutama, kekhawatiran ini ada lantaran minat membaca belum tumbuh. Kekhawatiran yg sama mengemuka pada dunia Barat pada awal kemunculan teknologi visual, yaitu televisi & film. Namun kekhawatiran ini tidak terbukti. Buku-kitab cetak permanen digemari saat itu, lantaran diproduksi dengan memenuhi tantangan teknologi visual. Buku-buku dibentuk menggunakan kaya warna, ilustrasi & desain yang menarik. Inovasi terjadi pada global komik, novel grafis, & buku bergambar, yang digarap menggunakan kualitas konten, warna, dan desain yg lebih baik. Televisi sempat mencuri perhatian sesaat, namun orang permanen kembali kepada buku cetak. Hal ini menunjukan bahwa teknologi visual bahkan memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia membaca. Budaya membaca buat kesenangan (reading for pleasure) semakin tumbuh karena dipupuk & dimanjakan oleh buku-buku yang baik. Perkembangan budaya membaca buat kesenangan tumbuh seiring menggunakan inovasi dalam teknologi visual.
![]() |
Asal-wawanindrairawan.Wordpress.Com |
Inovasi dalam produksi buku telah tampak di Indonesia menggunakan kemunculan buku-kitab bergambar yg memperhatikan aspek desain, penataan, dan ilustrasi secara lebih berfokus. Penulis-penulis kitab anak, misalnya, berpartisipasi dalam ajang kompetisi taraf Asia & internasional dan perhatian konsumen kitab mulai diarahkan kepada kitab -kitab yang mendapatkan pernghargaan dalam kompetisi ini. Sayangnya, kitab -kitab berkualitas hanya bisa diakses oleh kelas atas dan menengah pada daerah perkotaan di Pulau Jawa. Rendahnya daya beli & mahalnya ongkos ekspedisi serta distribusi mengakibatkan buku-kitab berkualitas ini tidak bisa diakses oleh sebagian akbar pembaca, terutama mereka yang tinggal pada pedesaan, luar Jawa, & daerah-daerah terluar pada Indonesia. Karenanya kita memaklumi, bila perpustakaan-perpustakaan SD masih menyimpan buku-buku Inpres atau DAK (Dana Alokasi Khusus) yg miskin kualitas serta cerita warga yg tak sesuai menggunakan daya nalar & pemahaman mereka. Inovasi dalam peningkatan kualitas dan distribusi kitab anak terbukti kalah cepat menggunakan perkembangan teknologi internet & gawai elektronika yang sudah menyebar ke segala penjuru Indonesia. Informasi digital ketika ini sudah menjadi materi bacaan yg diakses secara masif. Kegiatan membaca digital menghipnotis cara seorang mencerna kabar, perilaku membaca, & cara tahu bacaan. Karena itu, upaya menumbuhkan minat baca membutuhkan strategi khusus & perlu memperhatikan perilaku dan preferensi membaca pada era digital ini.
Perilaku Membaca Gen Z
Apabila kepada seorang anak balita diberikan perangkat gawai berlayar, umumnya beliau akan mendapat gawai itu menggunakan antusias, lalu menggeser-geserkan telunjuk dan mak jarinya pada layar tersebut, meskipun perangkat tersebut tidak menggunakan teknologi ?Touch sreen;. Salah satu ciri Gen Z merupakan mereka terlahir dengan kepiawaian memakai gawai karena mereka tumbuh menyaksikan, dikelilingi, dan terhibur sang perangkat tadi. Anak-anak Gen Z dibesarkan sang apa yang tersaji pada layar kaca & layar digital sehingga mereka berpikir & membaca dengan akal & cara yg tidak sinkron menggunakan generasi pendahulunya. Salah satu konduite membaca masa kini yg diamini sang banyak peneliti merupakan norma membaca teks-teks pendek & kemampuan multitasking saat membaca. Pembaca pada era digital jarang berfokus pada satu bacaan dalam jangka saat yg lama . Mereka beralih perhatian menurut bacaan satu pada bacaan lain, kepada surel, pada kegiatan berselancar pada global maya, atau berkomunikasi pada media sosial. Jenis teks & cara membaca ini membuktikan berkurangnya rentang konsentrasi dan daya tahan membaca dalam satu bacaan. Tujuan membaca sebagai semakin pragmatis; orang membaca hanya buat mencari fakta eksklusif yang spesifik.
![]() |
Sumber-cityanalysts.Blogspot.Com |
Banyak peneliti menempatkan kegiatan membaca kitab cetak & elektronik pada sisi yg antagonis. Ziming Liu (2005) berkata bahwa waktu membaca keterangan digital, pembaca cenderung mencari informasi yg spesifik menggunakan teknik memindai (scanning), memakai istilah kunci eksklusif, membaca dengan alur yang nonlinear, & membaca penggalan keterangan secara selektif. Ketika melakukan ini, pembaca mengabaikan poly keterangan detail. Hal ini tentunya tidak selaras dengan pembacaan terhadap buku cetak yg biasanya dilakukan menggunakan perhatian penuh, lebih terfokus, sehingga menerima kabar secara lebih sistematis. Praktik menuliskan komentar dalam marjin buku & menggarisbawahi kalimat (teknik anotasi) yg tak jarang dilakukan pembaca waktu membaca buku cetak pun nir dilakukan sang pembaca konten digital, meskipun fitur ini tersedia pada perangkat digital.
Aktivitas memindai pun dilakukan oleh pembaca cetak & digital dengan cara yang tidak sinkron (Olsen, 1994). Saat membaca buku cetak, pembaca memindai bacaan untuk menemukan kabar tertentu sambil berusaha tahu keseluruhan teks. Pembaca pun bisa mengingat warta yg dipindai tadi menggunakan lebih baik karena beliau dapat menandai letaknya pada buku. Menurut Olsen (1994), ingatan visual ini tidak terjadi pada kegiatan menelusuri bacaan digital (scrolling up, scrolling down). Teks digital biasanya dibaca secara parsial, sebagai akibatnya pembaca nir membacanya sebagai satu kesatuan inspirasi secara utuh. Dalam hal ingatan terhadap konten bacaan, Penelitian Anne Mangen menurut Universitas Norwegia menemukan bahwa pembaca buku cetak untuk mengingat informasi dari materi bacaan menggunakan lebih baik ketimbang buku elektronik. Studinya pertanda bahwa pembaca buku cetak mampu menceritakan ulang isi bacaan menggunakan lebih baik & lebih detil ketimbang pembaca buku elektro.
Meskipun demikian, kita tak mengelak kabar bahwa konten digital mempunyai beberapa fitur unggul. Pertama, teks digital menawarkan cara yg instan buat mengakses liputan. Kedua, bacaan digital bersifat multimodal. Teks, gambar/elemen visual, bunyi, bahkan fitur-fitur interaktif sebagai elemen pemikat bacaan digital. Paket komplet ini memampukan teks digital buat mengakomodasi kekhususan belajar; sesuai bagi pembaca berkebutuhan khusus atau pembaca dengan ragam gaya belajar: visual, auditori, dan kinestetik. Ketiga, membaca digital memungkinkan pembaca buat mengakses banyak materi dalam ketika yang singkat sehingga mempertinggi kemampuan sintesis mereka. Tentunya, kecakapan literasi informasi ? Yaitu kemampuan untuk memilah fakta menurut akurasi dan kemanfaatannya ? Perlu ditingkatkan secara sistematis. Dengan seluruh potensi menarik ini, kemampuan membaca materi digital dapat ditumbuhkan seiring menggunakan minat & budaya membaca materi cetak. Keduanya saling melengkapi. Membaca digital lebih sesuai buat penelusuran keterangan secara instan, sedangkan membaca materi cetak membantu buat tahu informasi secara menyeluruh.
Preferensi Bacaan
Materi bacaan dalam bentuk digital dan cetak perlu dipahami sebagai alternatif yang tersedia untuk dipilih pembaca di era modern ini. Pembaca memiliki preferensi yang luas; yang menentukan pilihan material bacaan adalah keterikatan emosional terhadap material tersebut dan kebiasaan individu. Sebagian pembaca mungkin lebih nyaman membaca pada layar gawai. Sebagian yang lain tetap setia pada materi cetak. Preferensi terhadap materi cetak atau digital ini ternyata tak dipengaruhi oleh usia. Survei Ramirez (2003) membuktikan bahwa kebanyakan (68 %) remaja di Amerika lebih menyukai membaca bacaan cetak karena mereka mendapatkan dan mampu mengingat lebih banyak informasi. Penelitian lain oleh Hartzell (2002) menyebutkan bahwa remaja mengakui membaca lebih lambat pada layar monitor komputer dibandingkan apabila mereka membaca buku cetak. Preferensi ini menunjukkan bahwa invasi teknologi sesungguhnya bukanlah ancaman terhadap minat membaca, melainkan tantangan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam meningkatkan kualitas buku dan kegiatan penumbuhan minat baca.Dengan mengetahui konduite dan preferensi Gen Z, kita dapat menyikapi mereka dengan lebih bijak. Preferensi mereka terhadap teknologi tidak perlu disikapi dengan paranoid bila kita nir memperlakukan teknologi menjadi ancaman; melainkan, tantangan yg mengharuskan orang dewasa buat semakin kreatif lagi.
![]() |
Asal-animalpolitico.Com |
Daftar Referensi
- Hartzell, G. (2002). Capitalizing on the school library’s potential to positively affect the students’ achievements. Diunduh dari http://eduscapes.com/sms/overview/hartzell.html
- Liu, Z. (2005). Reading behavior in the digital environment: Changes in reading behavior over the past ten years. Journal of Documentation, 61 (6), pp. 700-712.
- Olson, D. Z. (1994). The world on paper. New York: Cambridge University Press. Ramirez, E. (2003). The impact of the Internet on the reading practices of a university community: the case of UNAM. World Library and Information Congress: 69th IFLA General Conference and Council, August 1-9, 2003, Berlin, pp.1-13. Diunduh dari http://www.ifla.org/IV/ifla69/papers/019e-Ramirez.pdf