Tampilkan postingan dengan label Sally Anom Sari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sally Anom Sari. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Mei 2020

[JALAN-JALAN] PIKNIK SEMALAM KE BADUY DALAM

Oleh: Sally Anom Sari

Saya merupakan galat satu orang yg tidak tahu bagaimana caranya hayati tanpa uang. Sehari-hari aku bekerja mencari uang, lalu menghabiskannya buat memenuhi semua kebutuhan hidup saya. Di luar kebutuhan utama, aku juga perlu uang buat aneka macam hiburan yang mampu menciptakan saya bahagia, seperti makan pada luar, belanja, jalan-jalan, dan banyak lagi. Semakin banyak hiburan yang aku perlukan, tentu semakin poly uang yg perlu aku cari. Untuk menerima uang itu, tentu saya harus bekerja lebih keras lagi. Masalahnya, bekerja lebih keras ternyata menciptakan saya kurang senang & perlu mencari hiburan lebih poly lagi. Artinya saya perlu uang lebih poly lagi. Begitu terus berputar-putar.

Beberapa tahun yang lalu setelah suntuk bekerja demi uang, saya merasa perlu hiburan dan memutuskan untuk jalan-jalan. Kali ini saya memilih jalan-jalan ke desa Kanekes yang lebih saya kenal dengan nama Baduy. Kenapa Baduy? Ya sebenarnya karena kebetulan di internet saya menemukan ada open trip [1]ke Baduy Dalam. Maka pergilah saya jalan-jalan ke Baduy Dalam.

Setelah melalui perjalanan dengan kereta dan kendaraan beroda empat elf, rombongan wisata hingga di desa Ciboleger, galat satu pintu masuk menuju desa Baduy. Dari sana kami akan berjalan menuju desa Cibeo, desa terluar Baduy Dalam, melewati beberapa desa Baduy Luar. Di Cibeo kami rencananya akan menginap semalam, sebelum pulang lagi keesokan harinya.

Begitu kendaraan beroda empat elf sampai pada depan gerbang, beberapa rakyat Baduy Dalam pribadi menyambut kami. Merekalah yang akan menemani bepergian kami kali itu. Sekilas saya pribadi melihat penampilan orang Baduy Dalam yang tidak selaras menggunakan orang Baduy Luar & rakyat desa lain. Selain rona sandang dan ikat ketua mereka yg hitam-putih, mereka jua nir mengenakan alas kaki dan hanya membawa tas berupa gembolan kain. Sederhana sekali.

Perjalanan menuju desa Baduy Luar dan Baduy Dalam. Foto oleh: Bimasakti Aryo Bandung

Setelah tanya sana-sini aku mengetahui bahwa orang Baduy Dalam sangat patuh pada anggaran norma yang mengutamakan kesederhanaan. Mereka tidak menggunakan alas kaki, tidak memakai indera elektronika, nir boleh menaiki kendaraan bermotor, tidak mampu menggunakan sabun, pasta gigi atau detergen apapun, & hanya memakai pakaian yang ditenun & dijahit sendiri menggunakan rona hitam & putih. Sementara orang Baduy Luar punya aturan yg lebih longgar: mereka mampu memakai sandang warna lain, sanggup memakai alas kaki, indera elektro, & sanggup menaiki tunggangan bermotor. Meskipun begitu, cara hayati orang Baduy Luar pun masih permanen sederhana.

Setelah berjalan cukup jauh barulah aku melewati beberapa desa Baduy Luar. Rumah pada sana berbahan secara umum dikuasai kayu dan bambu. Pondasinya batu, atapnya daun. Di dalam tempat tinggal pun nir banyak diisi perabotan dan mebel, semua orang duduk & tidur beralaskan tikar. Sederhana sekali.

Beristirahat sejenak setelah bepergian yg melelahkan. Foto sang: Bimasakti Aryo Bandung.

Melewati galat satu desa pada Baduy Luar. Foto sang: Bimasakti Aryo Bandung.

Pemandangan salah satu desa pada Baduy Luar. Foto sang: Bimasakti Aryo Bandung

Meskipun hidup sederhana, orang Baduy ternyata nir merasa kekurangan. Sebagian akbar kebutuhan utama mampu mereka dapatkan pada kampung sendiri termasuk hutannya. Kalau di kota, untuk makan saja saya perlu uang, namun orang Baduy tinggal memasak simpanan output ladang atau mencari pada hutan. Saya baru tahu jikalau hutan dan output ladang pun ternyata mampu menjadi harta yang sangat berharga.

Lantaran dipercaya menjadi harta berharga, tentu saja orang Baduy memperlakukan hutan dan ladang dengan sangat baik. Mereka memiliki poly upacara dan tata anggaran yg berkaitan menggunakan kelestarian alam & pengelolaan huma. Mereka merogoh menurut alam, namun permanen berusaha selaras dengannya. Hal ini galat satunya bisa dicermati dari bagaimana cara orang Baduy berladang buat memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Sebagian besar kebutuhan pangan Orang Baduy termasuk beras didapatkan dari ladang yang dalam bahasa setempat biasa disebut huma. Seluruh huma dijaga kesuburannya sesuai dengan ketentuan adat. Kemiringan humadibiarkan apa adanya sesuai bentuk tanah aslinya, tidak dipapas menjadi rata. Waktu tanam dan panen dilakukan secara bersamaan untuk mencegah hama tanaman. Pestisida dan pupuk kimia dilarang untuk digunakan. Selain itu hewan berkaki empat selain anjing tidak boleh masuk ke area Kanekes karena dikhawatirkan bisa merusak lahan. Orang Baduy Dalam dan Baduy Luar memiliki cara berladang yang mirip, meskipun Baduy Dalam memiliki aturan yang sedikit lebih ketat, seperti tidak boleh memperjualbelikan lahan dan tidak bisa menanam tanaman tertentu seperti singkong, kelapa, kopi dan cengkeh karena dipercaya bisa mengurangi kualitas tanah. Cara berladang yang sudah dilakukan selama puluhan tahun ini terbukti bisa menghasilkan bahan pangan yang berlimpah, dengan tetap menjaga kualitas tanah.

Seluruh hasil panen dari huma nantinya disimpan di dalam lumbung yang biasa disebut leuit. Bentuknya dibuat panggung untuk menghindari hama tikus dan serangga. Tiangnya menggunakan kayu keras yang sebelumnya sudah direndam dalam air dan lumpur untuk mencegah rayap. Dindingnya terbuat dari bilik bambu yang rapat. Atapnya menggunakan ijuk dan beberapa jenis daun seperti daun Patat, Nipah dan Teureup. Pencahayaan dan sirkulasi udara di dalam leuit cukup stabil dalam musim apapun karena leuitdibuat dengan teknik khusus yang ilmunya diajarkan secara turun temurun. Untuk menjaga leuit, orang Baduy menyiramkan ramuan tradisional dan membakar daun tertentu yang bisa mengusir hama. Hal itulah yang membuat bahan pangan tetap awet meskipun disimpan selama bertahun-tahun.

Salah satu leuit tempat menyimpan hasil pangan dari huma. Sumber foto: https://su.wikipedia.org/wiki/Huma#/media/File:Leuit_080814_2162_srna.JPG

Sepanjang perjalanan naik turun bukit saya sesekali melihat humadan hutan yang berisi tanaman yang sangat beragam. Saya berpikir apakah hutan bagi masyarakat Baduy tidak beda dengan toko atau supermarket bagi saya? Bukan hanya bahan pangan, namun banyak bahan lain seperti obat-obatan, kayu bakar, sampai bahan pembuat rumah pun bisa didapatkan di hutan. Tidak perlu membeli. Kalau ada bahan yang tidak ada di hutan, barulah orang Baduy mencari alternatif lain seperti melakukan barter. Kalau tidak bisa barter, baru mereka membeli. Transaksi dengan uang memang masih ada, namun tidak banyak. Tidak perlu pusing mencari banyak uang. Mungkin karena itulah orang Baduy tidak terlihat hidup susah. Andaikan saya bisa seperti itu.

Setelah melalui bepergian melelahkan selama lima jam, akhirnya rombongan sampai pada desa Cibeo, Baduy Dalam. Rumah di desa Cibeo bentuknya lebih sederhana daripada tempat tinggal pada Baduy Luar lantaran orang Baduy Dalam tidak boleh menggunakan alat bantu gergaji, palu & paku dalam membentuk tempat tinggal mereka. Suasana desanya terlihat lebih antik. Ketika malam tiba suasana begitu sunyi & gelap tanpa penerangan, tidak terdapat kemewahan, namun cita rasanya relatif.

Keesokan harinya saya dan beberapa teman menyempatkan berkeliling desa, lalu menjelang siang seluruh rombongan bersiap untuk kembali. Kami berjalan pulang menyusuri jalur yang berbeda, namun sama-sama melelahkan bagi saya yang jarang olah raga. Sambil berjalan ngos-ngosan saya berpikir kalau hidup saya ternyata hanya berputar-putar antara mencari uang dan buang-buang uang. Niatnya ingin bahagia, tapi sejujurnya saya malah merasa kurang bahagia. Selama ini fokus saya adalah terus bekerja supaya dapat banyak uang, namun kenyataannya saya malah banyak buang uang karena perlu hiburan untuk mengimbangi stress pekerjaan. Saya harus belajar mengurangi ketergantungan saya terhadap uang. Mungkin saya bisa mengurangi membeli barang yang tidak benar-benar saya perlukan; menanam sendiri beberapa tanaman yang saya perlukan di pot; barter barang dengan teman; atau mungkin menawarkan keahlian saya ketika ada hal yang saya perlukan, seperti menulis rubrik di majalah untuk mendapatkan buku yang saya idamkan. Mungkin.

Beberapa jam lalu rombongan sampai pada lokasi penjemputan. Saya sudah sampai di akhir bepergian ini. Pada perjalanan pergi saya berpikir jikalau hidup orang Baduy yg sederhana meninggalkan kesan mendalam di diri saya. Saya sadar bila hidup nir melulu soal uang, apalagi kebahagiaan. Tiba-datang saya merasa pilihan hidup saya semakin luas.

Rujukan:

Informasi mengenai leuit didapatkan dari Jurnal Biodjati Vol 2, no. 1 (2017) http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/biodjati/issue/view/188 dengan judul Kearifan Ekologi Orang Baduy pada Konservasi Padi dengan ?Sistem Leuit" oleh Johan Iskandar dan Budiawati Supangkat Iskandar.

[1] Open trip adalah adalah wisata gabungan yang diikuti oleh beberapa orang yang sanggup jadi tidak saling kenal. Penyelenggara open trip akan menentukan saat dan lokasi wisata yg akan dikunjungi, lalu siapapun mampu mengikutinya secara individu juga grup.

Kamis, 07 Mei 2020

[MEDIA] BELAJAR HIDUP MANDIRI DARI FILM

Oleh: Sally Anom Sari

Pada tahun 1998, Indonesia mengalami zenit krisis moneter yang pertanda-tandanya telah mulai dirasakan dari tahun 1997. Hanya pada beberapa bulan saja nilai tukar dolar naik tajam berdasarkan hanya 2000-an rupiah per dollar menjadi 17.000 rupiah per dollar. Inflasi sangat tinggi. Banyak usaha rol tikar. Nasabah bank menguras simpanan dananya secara besar -besaran. Dalam suasana penuh ketidakpastian, salah satu hal yang dilakukan masyarakat merupakan pulang ke toko-toko & pasar swalayan, lalu memborong bahan makanan sebesar mungkin. Dalam saat singkat etalase supermarket mulai kosong. Apa yg terjadi jikalau krisis terus berlanjut dan tidak terdapat lagi bahan makanan di sana?

Kejadian di tahun 1998 itu membuat aku berpikir betapa rentannya hayati kita selama ini. Sebagian warga pada Indonesia, terutama yg hidup di perkotaan, hanya bisa mengandalkan toko, pasar atau supermarket buat mendapatkan bahan makanan. Hidup kita sama sekali nir mandiri. Kehidupan modern yg kita jalani selama ini menjauhkan koneksi kita menggunakan alam. Kita tidak tahu lagi bagaimana cara menumbuhkan kuliner sendiri atau bertahan hayati pada keterbatasan.

Padahal sebenarnya saya percaya kalau manusia punya kemampuan yang tinggi buat sanggup bertahan hidup secara berdikari. Mungkin kita hanya perlu belajar lagi untuk mengasahnya. Siapa tahu kita bisa memulai dengan belajar berdasarkan film.

Cukup banyak film yang karakternya harus berada dalam situasi sulit dan penuh keterbatasan. Mereka harus mencukupi diri sendiri untuk bertahan hidup. Ada film The Blue Lagoon (1980) dan Cast Away (2000) yang karakternya terdampar dalam sebuah pulau kecil. Ada lagi film Life of Pi (2012) yang lebih ekstrim lagi karena karakternya harus hidup terkatung-katung di atas perahu bersama seekor macan.

Karakter pada ketiga film tadi awalnya hanya orang biasa. Mereka semua belajar poly hal buat memenuhi kebutuhan mereka pada situasi sulit. Mereka membentuk sendiri loka mereka berteduh menggunakan bahan yg ada pada kurang lebih mereka. Lalu mereka belajar memancing atau menombak ikan pada samudera buat mencukupi kebutuhan makan mereka.

Banyak hal yg mampu dipelajari berdasarkan ketiga film tadi, tetapi ketiganya masih memenuhi kebutuhan makan dengan merogoh sumber daya yg ada pada sekitar mereka. Alangkah menariknya kalau kita mampu menemukan film menggunakan karakter yg bukan hanya merogoh asal daya yang terdapat, tetapi juga sanggup sanggup bercocok tanam menumbuhkan makanan sendiri.

Salah satu film yang bisa kita pelajari adalah The Martian (2015), yang bercerita tentang Mark Watney (Matt Damon) seorang astronot yang terpaksa tinggal sendirian di Planet Mars. Mark terdampar di Mars akibat sebuah kecelakaan yang membuatnya diasumsikan meninggal dunia. Seluruh rekannya pergi, tidak sengaja meninggalkan Mark sendirian. Mark pun harus bertahan hidup di Mars, sebuah planet tanpa kehidupan.

Di Planet Mars, Mark tinggal di tempat yang diklaim Hab (kependekan dari Habitat), sebuah dome yg dilengkapi dengan peralatan relatif sophisticated dan penuh oksigen, cukup buat melindungi Mark berdasarkan kerasnya lingkungan pada Mars. Tetapi Mark masih wajib mencari jalan keluar buat menerima makanan & air.

Mark Watney di depan Hab, loka tinggalnya di Planet Mars, dalam film The Martian

Di hari-hari awal Mark hayati menurut persediaan kuliner yg terdapat di Hab, tetapi jumlahnya terbatas. Mark wajib mencari asal kuliner lain. Ia pun memutuskan untuk menanam dari sisa persediaan kentang yg dia miliki. Mark langsung membenahi galat satu ruangan Hab buat dijadikan huma bercocok tanam. Seluruh ruangan ia isi dengan tanah dari Planet Mars, lalu diberi pupuk berdasarkan sampah kotoran. Setelah itu Mark mulai menanam. Setelah menunggu beberapa minggu, usaha Mark memperlihatkan hasil, kentangnya mulai tumbuh dengan subur. Mark sukses menanam makanannya sendiri.

Mark Watney pada tengah ladang kentang dalam Hab di Planet Mars

Sementara buat mendapatkan air, Mark memisahkan nitrogen dan hidrogen pada hydrazine menurut bahan bakar roket. Setelah itu ia membakar hidrogen menggunakan oksigen, dan terciptalah air. Tersedianya asal kuliner & minuman ini membuat Mark berhasil bertahan hayati selama berbulan-bulan.

Upaya menanam sumber kuliner di luar bumi seperti yang dilakukan Mark Watney dalam film The Martian sebenarnya hal yang juga dilakukan pada dunia konkret. Para ilmuwan semenjak usang melakukan riset ini menggunakan asa mampu memenuhi kebutuhan pangan para astronot di luar angkasa. Pada Agustus 2015,riset ini membuahkan hasil. Untuk pertama kalinya para astronot mencicipi selada yg ditanam di stasiun ruang angkasa internasional. Riset ini terus berlanjut sampai ketika ini dengan upaya menanam flora yg lebih majemuk sebagai akibatnya misi ruang angkasa mampu lebih berkelanjutan.

Ilustrasi menanam tanaman pangan di Planet Mars. Kredit Gambar: NASA

Apa yang dilakukan di Mars dalam hal menanam tanaman pangan saat ini masih dalam tahapan riset. Hal itu mungkin akan bermanfaat di masa depan ketika kita harus bertahan hidup dalam lingkungan yang sulit. Namun ketika harus menjadi mandiri dalam situasi nyata saat ini juga, kita perlu belajar dari tempat lain. Misalnya seperti dalam film Captain Fantastic (2016).

Captain Fantastic bercerita tentang Ben Cash (Viggo Mortensen) dan enam anaknya yang hidup di tengah hutan, menjauh dari kehidupan modern. Ben Cash dan istrinya tidak tahan dengan kehidupan modern yang kapitalis, sehingga mereka membangun “surga” mereka di tengah hutan. Mereka mengagumi Noam Chomsky dan mengadaptasi pemikiran Noam Chomsky dalam kehidupan sehari-hari.

Ben Cash dan enam anaknya pada film Captain Fantastic

Untuk membentuk rumah berdikari di tengah hutan, penulis sekaligus pengarah adegan film ini, Matt Ross, berusaha melakukannya senyata mungkin. Ia bersama kru desain produksi melakukan riset dengan mewawancarai banyak ahli & orang-orang yg hayati secara mandiri. Mereka memikirkan baik-baik bagaimana loka tinggal, sanitasi, asal kuliner, air & cara hayati yg wajib dijalani keluarga Cash untuk bertahan hayati. Semuanya harus masuk akal.

Persediaan kuliner pada rumah keluarga Cash

Keluarga Cash berburu, tetapi juga menanam tumbuhan. Untuk mengawetkan makanan mereka melakukan pengasapan dan fermentasi. Untuk memenuhi kebutuhan air higienis, mereka mempunyai filtrasi air buat penyaringan dan bak penampungan besar buat penyimpanan. Rumah famili Cash bisa dibilang cukup terkini meskipun tidak dilengkapi teknologi komputer atau sejenisnya. Hidup mereka sepertinya baik-baik saja.

Masalah terjadi saat famili Cash wajib pergi ke kota buat menghadiri pemakaman istri menurut Ben Cash pada kota. Terjadi kontradiksi menggunakan keluarga sang istri. Ayah oleh istri menilai anak-anak Ben Cash dididik dengan tidak semestinya. Ben memang melatih anak-anaknya buat kuat seperti atlet, & cerdas misalnya filsuf. Sejak mini mereka telah biasa berkutat menggunakan pisau dan alat berbahaya lain lantaran harus bertahan hayati pada tengah hutan belantara. Ayah oleh istri percaya bahwa Ben Cash membahayakan hayati anak-anaknya.

Pada akhirnya Ben Cash sadar jikalau beberapa hal memang ada benarnya, beberapa hal terlalu bahaya buat anak-anaknya. Ben Cash lalu berkompromi dengan menciptakan tempat tinggal baru pada pinggiran kota, nir di tengah hutan, tetapi tetap hidup berdikari. Rumah itu terasa indah & penuh kehangatan.

Keluarga Cash pada tempat tinggal baru mereka.

Meskipun hanya diperlihatkan sekilas dalam film, tetapi rumah famili Cash memberi harapan bahwa hal tadi sangat mungkin untuk dilakukan. Saya jadi percaya bila ada jalan tengah antara hidup ketika ini yg sangat konsumtif, menggunakan hidup berdikari yg penuh kesederhanaan.

Kemandirian adalah kebebasan, dan setiap orang punya asa buat mencapainya. Seperti apa yang dikatakan Rellian, galat satu anak Ben Cash, mengutip tokoh idola keluarga mereka, Noam Chomsky:

?If you assume that there is no hope, you guarantee that there will be no hope. If you assume that there is an instinct for freedom, that there are opportunities to change things, then there is a possibility that you can contribute to making a better world.?

Cloud Hosting Indonesia