Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Desember 2018. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Desember 2018. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Mei 2020

[PROFIL] KAIT NUSANTARA DAN SANDANG LESTARI

Oleh: Nita Roshita

Pakaian adalah kebutuhan sehari-hari dan bagi banyak orang menjadi wujud dari ekspresi pribadi. Tetapi pakaian dan industri fesyen memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan juga hilangnya nilai ekonomi dari sampah tekstil yang terbuang. Ellen MacArthur Foundation dalam rilis laporannya A New Textile Economy: Redesigning Fashion’s Future, di London November 2017 menyebutkan, setiap detik di seluruh dunia, ada satu truk besar membuang sampah tekstil atau yang dibakar. Nilai ekonomis yang hilang setiap tahun dari pakaian yang jarang dipakai dan tidak didaur ulang adalah 500 milyar dollar Amerika atau setara dengan 700 trilyun rupiah. Jika kondisi ini tidak berubah, maka di tahun 2050 Ellen MacArthur Foundation memperkirakan industri fesyen akan menggunakan seperempat dari batas jumlah maksimum emisi karbon yang boleh dilepas manusia ke lapisan atmosfer atau carbon budget. Industri ini juga menyumbang polusi karena pakaian melepas setengah juta ton mikrofiber ke samudera setiap tahun, atau setara dengan 50 milyar botol plastik. Mikrofiber ini sulit untuk dibersihkan dan sangat mudah masuk dalam rantai makanan.

Di Indonesia, sektor fesyen menempati urutan kedua dalam kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) pada sektor ekonomi kreatif yg pada 2014-2015 pertumbuhannya tercatat 7.12 persen. Ekonomi kreatif dari catatan Kementerian Perindustrian menyumbang tujuh persen terhadap PDB, atau lebih kurang 600 trilyun rupiah. Industri batik Indonesia selanjutnya dari Kementerian Perdagangan menyerap 1.3 juta orang, menurut sisi konsumsi penjualan di pada negeri mencapai lima,9 trilyun rupiah dengan jumlah konsumen 110 juta orang.

Saat membuka Fashion Show “Beginning Ethical Fashion” pada Jakarta Fashion Week 2016, Menteri Perindustrian Saleh Husin mendorong diterapkannya konsep ramah lingkungan dalam industri fesyen di Indonesia. Saleh Husin bahkan mengatakan ethical fashion atau fashion beretika bukan lagi barang baru, karena secara budaya, fesyen tradisional sudah menggunakan bahan-bahan alami dan ini bisa menjadi keunggulan Indonesia. Produk fesyen yang memperhatikan dampak lingkungan lazimnya dibuat dengan ketelitian sejak pembuatan bahan baku, pemilihan motif, dan pewarnaan. Secara sosial, hubungan perancang dan pengrajin juga terjalin lebih personal dan bernuansa kekeluargaan. Secara ekonomis nilainya pun lebih tinggi karena memiliki unsur eksklusif. Para pembeli yang sadar akan lebih menghargai produk ini karena merasa memiliki dan ikut mendukung proses pelestarian budaya Indonesia.

Namun dalam praktiknya, fesyen beretika, atau fesyen hijau, masih jauh berdasarkan harapan. Secara produksi maupun konsumsi masih kalah besar dengan produk fesyen massal atau diklaim pula fast fashion. Pewarna alami tergantikan dengan pewarna sintesis, batik tulis berganti menggunakan batik cetak yang diproduksi grosiran bahkan yg datang menurut Tiongkok. Pada periode Januari-April 2015, Kementerian Perdagangan mencatat impor produk impor batik mencapai 24,1 % atau senilai 34 juta dollar Amerika Serikat. Selanjutnya pemerintah memperketat impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Batik & motif batik yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 53/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil & Produk Tekstil (TPT) Batik dan Motif Batik.

Fesyen Hijau Dalam Keseharian

Tetapi restriksi import tekstil bermotif batik saja tidak relatif tanpa dibarengi oleh kampanye fesyen hijau yang masif baik sang organisasi rakyat, individu, dan tentu saja pemerintah. Karena fesyen beretika atau fesyen hijau memang tidak murah lantaran proses produksinya yg alami & memakan ketika lama .

Saya bertemu dengan Ibu Zara dari Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur di acara Meet the Maker ke 13 yang diselenggarakan oleh NTFP-EP Indonesia di Jakarta, 20 Oktober 2018. Sambil mencontohkan proses pembuatan kain tenun dari Sabu, dia bercerita bahwa untuk membuat kain sarung berukuran kurang lebih tiga meter yang sedang dipakainya, dibutuhkan waktu satu tahun pengerjaan.  Proses pembuatannya mulai dari pemintalan kapas menjadi benang, pewarnaan alami menggunakan akar pohon atau dedaunan dan proses menenunnya. Maka tidak heran jika kemudian kain hasil tenunan para perempuan pengrajin dari Pulau Sabu ini dihargai rata-rata lebih mulai dari harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung pada ukuran, motif, kualitas bahan, dan lama pengerjaan.

Ibu Zara

Bagi aku sangat krusial untuk menyelidiki bagaimana sebuah produk kain yg saya pakai didapatkan dan darimana dia berasal. Kisah bagaimana tangan-tangan wanita penenun bekerja sambil mengabadikan budaya dan alam sekitarnya ke dalam motif itu sangat krusial, terbayar lunas pada harga kain. Ketika saya membeli selembar kain, itu bukan sekedar helaian kapas yg saling mengikat, akan tetapi saya membeli sebuah cerita budaya dan akan sangat berarti jika nilai rupiah itu ternyata bermanfaat bagi kehidupan mereka terutama untuk penyelamatan budaya dan alamnya. Seperti ketika acara pengumpulan dana buat Yayasan Mama Aleta ? Aleta Fund Agustus lalu, yg diselenggarakan buat melestarikan Kain Tenun Adat di Molo & sekitarnya. Selembar kain berdasarkan Desa Nunkolo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, yang ditenun menurut kapas & bermotif buaya, berhasil aku dapatkan dalam lelang di acara tadi. Bangga benar rasanya menyelempangkan kain ini ketika menghadiri program-program resmi.

Nita dan Tenun

Sementara dalam pemilihan pakaian sehari-hari, aku membeli berdasarkan produsen lokal. Lemari Lila menurut Yogyakarta merupakan penyedia hampir setengah menurut koleksi batik buat bekerja di lemari saya, sedangkan kaos saya utamakan membeli menurut penghasil lokal. Memang tidak ada jaminan kalau produk sandang harian ini diproduksi melalui proses alami dan nir mencemari alam. Tapi setidaknya saya berusaha menghargai produk & mengenal si perancang lokal ini.

Kepedulian terhadap lingkungan melalui produk yg kita kenakan sehari-hari sebagai perhatian kami pada Kait Nusantara. Perkumpulan yang digawangi sang lima wanita aktif ini berusaha semaksimal mungkin buat memperkenalkan produk pakaian lokal lewat penampilan & konduite kami sehari-hari. Pemilihan pakaian dan aksesoris yang memegang prinsip kelestarian merupakan bagian yg secara melekat menyatu pada kami baik secara individual juga organisasi. Kami percaya kampanye mengajak orang peduli pada lingkungan harus dimulai & tercermin pada penampilan kami sehari-hari. Sulit buat mengajak orang berubah dan peduli dalam pelestarian lingkungan tanpa menaruh model yg konkret.

Kait Nusantara & Pelestarian Lingkungan

KAIT Nusantara

Kait Nusantara adalah perkumpulan yang secara sah didirikan sang 5 perempuan padaAgustus 2018. Sebelumnya empat anggota Kait Nusantara dipertemukan dalam sebuah proyek pembangunan pembangkit listrik menggunakan energi terbarukan berbasis rakyat di tiga desa di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Keempat anggota Kait Nusantara berperan sebagai fasilitator buat pengembangan ekonomi rakyat menggunakan memanfaatkan tenaga terbarukan tersebut. Salah satu yg kemudian berpotensi untuk berkembang lebih baik adalah anyaman rotan untuk tas pada Desa Teluk Sumbang yg memiliki kekhasan menggunakan lapisan dalam berdasarkan rotan yang membuatnya sebagai lebih bertenaga. Anyaman rotan ini yg pulang mempersatukan keempat fasilitator desa dalam Kait Nusantara buat meneruskan program sesudah proyek pembangkit listrik itu terselesaikan. Satu perempuan terakhir bergabung dan melengkapi gerombolan buat menciptakan rekanan dengan media & riset.

Kait Nusantara dengan para pengrajin tas rotan.

Kami mempunyai latar belakang yang berbeda tetapi justru saling melengkapi. Nita Roshita adalah spesialis gender & pengembangan warga menggunakan latar pendidikan komunikasi politik. Sarie Wahyuni merupakan penggerak pendidikan lingkungan dengan latar pendidikan keuangan. Theophilia Aris Praptami fokus dalam pengembangan dan pengelolaan usaha sosial. Devita Triwibawa adalah penggiat seni & terakhir, Dewi Ryanti merupakan jurnalis dan produsen film dokumenter. Kait Nusantara berdiri buat mewujudkan ambisi kami berlima menyebarkan tas anyaman rotan berdasarkan Teluk Sumbang sebagai bentuk usaha sosial yg sekaligus sebagai pintu masuk penyelamatan alam & budaya di desa tadi.

Tas Rotan & paduan kain tenun nusantara.

Rotan hanya mampu tumbuh bersanding dengan pohon akbar di sekitarnya, lantaran itulah keberadaan hutan sangat perlu dijaga. Tak hanya buat memastikan bahan baku tersedia, lebih dari itu, hutan pula menjaga kehidupan pada desa yg selalu sebagai incaran perusahaan sawit & semen . Didukung pemerintahan desa & serikat remaja pada Teluk Sumbang, Kait bekerja untuk menerangkan bahwa desa bisa mandiri menggunakan potensinya sendiri yang tak hanya rotan, akan tetapi jua produk kelapa, pisang dan wisata alamnya yang kaya.

Salah satu yang sedang kami kembangkan merupakan memadupadankan tas rotan menggunakan kain tradisional dari banyak sekali wilayah di Indonesia. Sedikit kreasi menyatukan selendang tenun menggunakan pewarna alami berdasarkan Lombok Utara menjadi tali tas rotan, menciptakan tas rotan yang tadinya polos ini mempunyai tampilan lebih manis dan bernilai tinggi. Beragam model sedang kami kembangkan pada Kait Nusantara menggunakan memastikan bahan yang kami pakai sanggup dilacak penghasil dan cerita pada dalamnya. Kami ingin sebagai bagian besar dari gerakan fesyen hijau yang perlu terus dikampanyekan buat menyelamatkan bumi & seisinya.

Tas Rotan & paduan kain tenun nusantara.

Pustaka:

Ellen MacArthur Foundation, A New Textiles Economy. Redesigning fashion?S future, November, 2017,https://www.Ellenmacarthurfoundation.Org/publications/a-new-textiles-economy-redesigning-fashions-future

Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Industri Fesyen Ramah Lingkungan, 26 Oktober 2016, http://www.Kemenperin.Go.Id/artikel/13395/Industri-Fesyen-Ramah-Lingkungan-Jadi-Unggulan

Mengantisipasi meningkatnya import tekstil motif batik, Antara Yogya, Senin, tiga Agustus 2015, https://jogja.Antaranews.Com/informasi/333464/mengantisipasi-meningkatnya-impor-tekstil-motif-batik

[RUMAH KAIL] PEMANFAATAN SANDANG DI RUMAH KAIL

Oleh: Didit Indriati

Sandang merupakan kebutuhan utama insan buat melindungi tubuh berdasarkan cuaca panas atau dingin & buat menampilkan diri menjadi mahluk yang berbudaya.

Sandang lebih dari sekedar pakaian; sandang juga menunjukkan semangat, atau paham dari si pemakainya. Sandang pun menjadi cara seseorang atau sekelompok orang menyatakan identitas mereka. Misalnya dokter berpakaian khusus, tentara berseragam khusus, anak sekolah berseragam, ulama memakai jubah atau peci, perempuan muslim memakai jilbab,  tukang masak menggunakan celemek dan tutup rambut, semua memiliki ciri sandang yang khas. Sandang juga berbeda sesuai fungsi seperti untuk olah raga, renang, mendaki gunung, menyelam, balap motor, menjelajah angkasa sebagai astronot, dan semua memiliki standar yang sesuai dengan peruntukannya.

Sandang sebagai bukti diri diri?

Namun,dalam proses produksinya, sandang berpotensi menurunkan kualitas alam karena penggunaan bahan-bahan kimia yang dapat mencemari tanah dan udara. Ditemukannya bahan-bahan sandang sintetis yang tak dapat diurai di alam,  berpotensi membahayakan alam di masa mendatang, jika pemakaiannya tidak diiringi dengan pemikiran yang arif terkait alam.

Seringkali seorang membeli produk sandang lantaran dipercaya sedang tren pada jaman tadi, namun segera dibuang saat tren tadi sudah lewat. Padahal, buat membentuk satu bahan sandang tersebut sekian banyak bahan yg berpotensi menghambat alam sudah terbuang, mulai menurut proses pembuatan hingga dengan pemasaran.

Visi Perkumpulan Kail terhadap Sandang

Rumah Kail mengedepankan visi keberlanjutan pada setiap aspek kehidupan. Selain pangan dan papan, sandang yang berkelanjutan adalah harapan utama menurut Rumah Kail.

Kail membangun jaringan sosial menggunakan para teman melalui relawan Kail maupun mitra-mitranya pada mewujudkan visi Kail dalam sandang yang berkelanjutan.

Berdasarkan pengalaman Kail dalam mendorong sandang yg berkelanjutan, maka ide-pandangan baru aktivitas berikut ini akan terus dipraktekkan pada Rumah Kail:

  • Jika ada sandang yang bahannya masih bagus tetapi nir bisa dipakai lagi, bisa didaur ulang buat dijadikan lap tangan, cempal, keset, dan lain sebagainya
  • Kain sisa proses menjahit yg tak terpakai namun masih mengagumkan mampu diubah menggunakan sedikit kreativitas menjadi perca hias, kain epilog meja (taplak), gorden, boneka kain, sampul kitab , hiasan kaleng ,arpillera, dan sebagainya.
  • Apabila terdapat relawan yg mempunyai kecintaan di bidang produksi sandang berkelanjutan maupun pemanfaatan produk pakaian ramah lingkungan yg bisa membuatkan ilmu atau keterampilan, akan diundang buat mengenalkan minat mereka, misalnya proses membatik, proses menenun, proses kerajinan perca, & lain-lainnya.

Salah satu upaya mempromosikan pakaian berkelanjutan merupakan menyelenggarakan bazaar pakaian bekas layak pakai. Upaya ini telah berjalan selama lima tahun, dan selalu dikemas pada perayaan Hari Ulang Tahun KAIL dan Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia pada bulan Agustus. Melalui para relawan juga kawan-mitranya, Kail mengumpulkan sebesar-banyaknya sumbangan pakaian bekas yang masih layak pakai, lalu dijual secara murah kepada warga sekitar Rumah Kail maupun para relawan yg hadir buat menyukseskan kegiatan tadi. Tujuan menurut aktivitas ini tentunya adalah buat meneruskan umur pakai dari sandang.

Suasana persiapan bazaar Rumah Kail

Kegiatan bazaar sandang bekas layak gunakan di Rumah Kail

Selain bazaar murah, Kail menyimpan kain perca yang bisa dipakai buat membentuk produk-produk terkait sandang yang diperlukan di Rumah Kail, antara lain buat dijadikan keset, lap, cempal, taplak juga hiasan ruangan.

Kegiatan yang pernah dilaksanakan oleh Kail dalam pemanfaatan residu-residu perca antara lain mengadakan aktivitas keterampilan bersama bunda-bunda menurut Kampung Cigarugak yaitu menciptakan taplak, cempal dan keset menurut kain perca. Melalui aktivitas ini, masyarakat lebih kurang mendapatkan keterampilan baru, dan pula mengusut prinsip pakaian berkelanjutan melalui aktivitas daur ulang bahan, yaitu kain perca.

Selain itu, Kail mengadakan kegiatan memasak perca yang dianggap dengan seni arpillera. Seni arpillera ini, selain mengusung prinsip sandang berkelanjutan, pula merupakan media penyembuhan batin menurut stress berat. Bila ditengok ke belakang, dalam awal mulanya, arpillera adalah bentuk protes para mak terhadap kediktatoran Jendral Auguste Pinochet menurut Chile yg mengakibatkan puluhan ribu orang terbunuh atau hilang lantaran penculikan. Para mak di Chile berkumpul buat menyatakan duka & perlawanan mereka dengan menciptakan arpillera. Gambar-gambar yang ada dari arpillera tersebut merupakan perwujudan perlawanan mereka terhadap kediktatoran pemerintah di masa itu.

Contoh karya arpillera pada Rumah Kail

Arpillera menjadi penyemarak dinding Rumah Kail

Artikel mengenai seni arpillera ini jua bisa dibaca pada link ini dia (https://proaktif-online.Blogspot.Com/search?Q=arpillera). Selain menjadi bentuk protes damai, seni arpillera adalah wahana penyaluran perasaan, penenangan batin dan proses pengabadian sebuah peristiwa.

Demikian seluk beluk pemanfaatan pakaian berkelanjutan di KAIL. Kami berharap agar manfaat & pandangan baru berdasarkan aktivitas yang kami laksanakan dapat juga menginspirasi rakyat kurang lebih juga para agen perubahan pada luar sana.

Rabu, 13 Mei 2020

[JALAN-JALAN] DARI MANA BAJU KITA

Oleh: Yosepin Sri

Pernahkah kita mengetahui dari manakah asal baju yang kita kenakan? Atau pernahkah kita menanyakan bagaimana baju yang kita pakai dihasilkan dan bisa dijual dengan harga yang sangat murah ketika sedang ada diskon besar-besaran di pusat perbelanjaan, pameran, atau toko-toko baju pinggir jalan.

Baju yang kita kenakan terbentuk menurut banyak sekali macam tekstil, yakni tekstil yg terbuat dari jalinan benang/serat dan terdapat juga tekstil yang dicetak misalnya bahan plastik & karet yang dibuat buat baju-baju tahan air, tahan angin atau keperluan khusus lainnya. Berdasarkan tampilannya, jenis tekstil dapat terbagi menjadi tiga yakni reka latar, reka rakit, dan adonan keduanya. Reka latar merupakan cara menampilkan corak pada tekstil sesudah bahan tekstil telah tersedia seperti batik, lukis kain, celup ikat, sablon dan printing mesin. Reka rakit adalah cara menampilkan corak pada kain bersamaan menggunakan proses pembentukan kainnya seperti tenun, rajut, anyam, macram?, dan tapestri. Berdasarkan material penyusunnya tekstil bisa terbagi menjadi tekstil organik & anorganik. Tekstil organik yakni tekstil yang terbuat dari serat alami seperti sutera, katun, linen, rami, kulit, dan serat alami lainnya. Sedangkan tekstil anorganik merupakan tekstil yang terbentuk dari material protesis seperti polyester, lycra, plastik, karbon, dan material rekayasa lainnya. Selanjutnya tekstil tersebut diolah oleh para penjahit buat dijadikan sebagai busana dan didistribusikan ke para penjual.

Sebelum ditemukannya mesin pintal pada era revolusi industri di Inggris abad ke 17 oleh Richard Arkwright (mesin pintal dengan tenaga air), James Hargreaves (spinning jenny), dan Samuel Crompton (spinning mule), pembuatan busana masih membutuhkan waktu lama dan mahal karena pembuatannya masih manual. Setelah ditemukannya mesin pemintal maka bahan-bahan tekstil dapat dipintal dalam jumlah yang lebih besar dan kecepatan produksi busana meningkat. Semenjak era revolusi Industri mesin-mesin berperan dalam menggantikan tenaga manusia dan produksi menjadi semakin murah.

Perkembangan di dunia fashion dari abad ke abad terus meningkat dengan penemuan mesin jahit dan pola kertas pada abad ke-19. Dengan penemuan ini produk busana dapat dibuat dalam skala besar dengan tampilan yang persis sama. Hal tersebut menjadi pendorong munculnya industri busana dengan produksi massal. Salah satu produk massal pertama untuk jenis busana perempuan adalah shirtwaist yang diproduksi oleh lebih dari 450 pabrik yang mempekerjakan 40.000 orang. Namun dengan adanya produk massal, tidak semua perempuan membeli busananya, masih terdapat perempuan-perempuan yang menjahit sendiri dengan membeli mesin jahit rumahan. Skill menjahit menjadi skill rumahan yang diturunkan dari generasi ke generasi, disinilah tradisi membuat busana berubah yang tadinya manual dengan metode pintalan dan jahit tangan menjadi membeli kain di toko dan menjahitnya dengan mesin di rumah. Kemunculan industri busana juga membawa perubahan seperti tersedianya lapangan kerja baru bagi perempuan dan juga disiplin ilmu yakni ilmu tata busana. Salah satu sekolah yang mengajarkan tata busana yakni Iowa State College berdiri pada tahun 1871 yang mengajarkan para perempuan tentang Kurikulum Ekonomi Rumah yang mengajarkan memasak dan menjahit bagi para perempuan.

Desain Shirtwaist yg terkenal abad ke-19 (Fashioning Yourself: A Story of Home Sewing, National Women?S History Museum)

Penemuan teknologi dan sistem kerja industri busana massal tersebut berkembang di Eropa dan Amerika dan kemudian menyebar ke negara-negara jajahan sebagai lokasi produksi dengan upah tenaga kerja yang lebih murah. Perkembangan tersebut  memunculkan Tiongkok sebagai negara dengan potensi ekonomi terbesar saat ini karena mereka mampu memproduksi dalam skala yang lebih banyak dan upah yang paling rendah. Situasi ini dikenal dengan istilah fast fashion, situasi di mana busana dihasilkan dalam waktu cepat dan harga busana menjadi sangat murah agar bisa terjual dengan mudah. Ini merupakan jawaban dari pertanyaan di awal, busana bisa dijual dengan harga kurang dari Rp 50.000,- dengan corak batik di pasar-pasar grosir di Indonesia. Selama lebih dari satu abad, konsumen dididik untuk menjadi konsumtif tanpa melihat bagaimana produk yang mereka kenakan bisa sampai ke tubuh mereka sementara pusat-pusat perbelanjaan terus gencar memberikan promo-promo diskon banting harga tanpa memberikan informasi lebih akan produknya selain harga dan merk busana.

Gambar (kanan) diskon kostum pada keliru satu sentra perbelanjaan dalam artikel berjudul ?Cari Diskon Pakaian Anak di Bogor, disini Tempatnya? Oleh Lingga Arvian Nugroho dalam 11 Desember 2015;(kiri) diskon kostum corak batik dalam artikel berjudul ?8 hal menarik pada INACRAFT 2015? Sang Johana Purba dalam 9 April 2015.

Sumber kiri ke kanan:

http://bogor.Tribunnews.Com/2015/12/11/cari-bonus-pakaian-anak-pada-bogor-pada-sini-tempatnya

https://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/89434-8-hal-menarik-di-inacraft-2015

Bagaimana dengan dampak dari fast fashiontersebut? Industri busana adalah industri kedua dengan dampak polusi terbesar di dunia. Sisa pewarnaan busana yang dibuang ke tanah dan air menjadi racun bagi ekosistem di dalamnya dan selanjutnya berdampak ke manusia yang mengkonsumsi air serta tanaman yang tumbuh di area tersebut. Kebutuhan akan kain secara cepat memaksa lahan untuk dapat menumbuhkan pohon kapas sebagai bahan utama katun. Hewan seperti domba, sapi dan kambing menjadi hewan industri yang digunakan kulit dan bulunya untuk produksi berbagai produk seperti wool dan kulit. Hasil industri minyak dalam skala besar digunakan untuk menciptakan alternatif tekstil non-organik yakni polyester, meskipun hemat air, namun material ini membutuhkan minyak bumi dan ketika dibuang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk dapat terurai oleh bumi. Selain produk, industri fashion juga menimbulkan permasalahan lain seperti kemasan yang tidak ramah lingkungan serta isu-isu sosial seperti mempekerjakan anak di bawah umur untuk menekan biaya produksi dan juga memunculkan fenomena anoreksia yakni keadaan tubuh para model yang kurang gizi sebagai akibat tuntutan pola tubuh ideal menurut industri mode dalam menampilkan koleksi busana mereka.

Gambar (kiri) situasi ruang pemintalan kapas pada galat satu pabrik tekstil di India, (kanan) foto gambaran satelit danau Aral dalam tahun 1989 & 2014. Kedua gambar diperoleh menurut artikel berjudul ?Crisis in our closets: The Environmental Impact of Fast Fashion? Sang prospectjournalucsd pada 24 Mei 2017.

Sumber:

https://prospectjournal.Org/2017/05/24/crisis-in-our-closets-the-environmental-impact-of-fast-fashion/

Sebagai respon terhadap situasi ketidakberlanjutan ini, muncullah orang-orang dari berbagai background mencoba mengangkat isu ini ke permukaan dan mengembangkan disiplin ilmu dalam dunia fashion dikaitkan dengan isu lingkungan yakni Sustainable Fashion. Dalam keilmuan ini para ilmuwan mencari berbagai alternatif tekstil pengganti katun, seperti hemp, kain dari selulosa, kain dari endapan teh dan berbagai material lainnya. Pewarnaan dilakukan dengan cara eco-print yakni memanfaatkan warna-warna yang berasal dari alam seperti warna biru dari indigofera/ pohon tarum, warna merah dari akar mengkudu, warna kuning dari kunyit, warna hijau dari daun mangga, dan masih banyak pewarna alami lainnya yang ternyata sudah ada sejak lama namun tidak diketahui oleh masyarakat saat ini karena informasi tersebut tenggelam oleh industrialisasi selama berabad-abad. Bentuk respon terhadap isu negatif dunia busana terbagi menjadi dua yakni upaya penelitian dengan teknologi-teknologi dari negara maju dan pola hidup kembali ke alam bagi negara-negara yang masih memiliki tradisi pembuatan tekstil dan busana secara manual.

Sebagai bentuk kelanjutan dari respon tersebut, dalam beberapa dekade terakhir berkembanglah industri busana yang menyertakan informasi sebagai bagian dari penjualan produk mereka akan pembuatan produk yang lebih ramah lingkungan dan sosial, dimana para pekerja dipekerjakan dengan sistem yang sangat berbeda yakni memberdayakan masyarakat sekitar, pola produksi sesuai dengan ritme alam, serta menggunakan model seperti normalnya ukuran tubuh manusia. Industri busana ini tentunya tidak dapat menghasilkan busana secara massal dan bahkan tidak bisa sama persis tingkat kepekatan warna antar produk tekstilnya. Harga dari produknya dapat dihitung berdasarkan harga produksi normal satuan busana sebagai akibat dari pembayaran upah yang sesuai bagi para pekerjanya. Industri-industri ini muncul dengan skala rumahan dengan jumlah pekerja yang sedikit dan produk yang lebih eksklusif. Beberapa brand pelopor dari industri ini di Indonesia adalah Kana Goods dan Bixa Batik.

KANA  Goods muncul pada tahun 2007 dengan label awal bernama Kanawida dengan latar belakang mengisi waktu luang anak muda dengan kegiatan yang lebih berguna sekaligus dapat melestarikan warisan budaya. Dari inisiator Sancaya Rini yang biasa dipanggil Ibu Rini, mencoba mengajak anak muda di sekitaran rumahnya untuk mengisi waktu luang mereka dengan kegiatan membatik dengan gambar-gambar yang sederhana agar dapat dikerjakan lebih mudah oleh anak muda namun menggunakan pewarna alam indigo/ daun tarum. Pada tahun 2009, brand ini mendapatkan penghargaan KEHATI Awardkarena  hanya menggunakan warna-warna alam, kemudian label ini banyak hadir dalam berbagai pameran dan mendapatkan respon yang sangat positif dari masyarakat.

Pada tahun 2011, Kana Goods mengikuti ajang Indonesia Fashion Week dan menambah jenis produk mereka yang tadinya hanya menjual kain-kain saja menjadi label dengan produk ready-to-wear/ busana siap pakai. Inspirasi produknya berasal dari hal-hal yang sederhana seperti daun jatuh di halaman lalu dijiplak dan dikembangkan oleh anak-anak muda menjadi corak yang lebih variatif. Kana Goods semakin berkembang karena dapat melihat peluang bahwa Indonesia kaya akan potensi budaya dalam corak dan warna alamnya. Dengan target market lebih ke anak muda dengan tujuan mengedukasi anak muda dari sisi budaya dan lingkungan, label ini menawarkan produk dengan ciri khas corak sederhana yang dapat dengan mudah diterima oleh anak muda dan label Kanawida kemudian merubah namanya menjadi Kana Goods pada tahun 2013. Kana sendiri bila diartikan dalam berbagai macam bahasa sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu cantik. Keunggulan dari label ini selain ramah budaya dan lingkungan, label ini dibangun dengan berbagai keterbatasan yang dapat diolah sebagai keunggulan. Keterbatasan produksi dalam slow fashiondiolah kedalam desain-desain yang eksklusif dan bisa memberikan keunikan di setiap produknya hingga menambah nilai jual dari produk-produk Kana.

Contoh produk Kana Goods(https://www.Instagram.Com/kanagoods/?Hl=en)

Label lainnya merupakan Bixa Batik, yg diinisiasi oleh Hendri Suprapto menggunakan latar belakang peneliti pewarna alam pada Balai Besar Batik. Dengan profesi tersebut Hendri Suprapto berkesempatan buat mengunjungi banyak daerah di Indonesia dan melakukan riset terhadap tumbuhan-tumbuhan lokal yg berpotensi sebagai pewarna alam tekstil. Setelah melakukan penelitian, Ia bertugas jua dalam melatih para pengrajin lokal supaya dapat balik menggunakan pewarna alam seperti kain-kain yang terdahulu sebelum ditemukannya pewarna kimia. Dalam riset-risetnya Hendri Suprapto melakukan aneka macam eksperimen menggunakan penggolongan tipe pewarna alam buat menemukan zat mordan/ zat yg berfungsi untuk mengikat warna dengan tekstil agar rona mampu tahan usang selayaknya tekstil dengan pewarna kimia. Sesuai menggunakan latar belakang tersebut, Hendri Suprapto yg awalnya menciptakan tempat pelatihan bagi anak muda di Yogyakarta yang tergabung pada karang taruna buat belajar membatik dengan proses pewarnaan dari bahan alami, kemudian berkembang menjadi industri yang menghasilkan kain-kain batik dan tenun dengan pewarna alam menurut banyak sekali tumbuhan pada Indonesia. Di dalam tempat tinggal yg berlokasi pada wilayah Bantul, Yogyakarta tersebut siapapun sanggup tiba dan belajar mengenai pewarna alam yang berasal berdasarkan tumbuh-flora. Hingga waktu ini tamu-tamu yang tertarik buat belajar nir hanya berdasarkan Indonesia tetapi juga dari banyak sekali negara seperti Inggris, Polandia, Jepang, & banyak sekali negara lainnya. Nama Bixa pada label Bixa Batik sendiri berasal menurut nama tumbuhan Bixa orellana yang bisa membuat rona merah pada tekstil & dulunya poly tumbuh di wilayah Pulau Jawa.

Gambar pelatihan yg dilakukan sang Bixa Batik buat para pengrajin songket di Sentra Industri Tenun Nagari Tigo Jangko, Lintau Buo, Tanah Datar, Sumatera Barat (https://www.Instagram.Com/bixabatik/?Hl=en)

Berkat adanya label-label yang tidak hanya sekedar menjual produk namun juga mengedukasi pasar memunculkan semangat baru dalam industri busana di Indonesia. Label serupa sebenarnya tidak hanya muncul di Indonesia, namun juga muncul di negara-negara lainnya karena latar belakang yang sama, yakni kekhawatiran terhadap dampak dari industri fast fashion. Label-label ini selain menjual produk juga berbagi keterampilan dalam menghasilkan produknya lewat pelatihan yang diadakan baik di tempat produksinya maupun di tempat-tempat lain seperti pusat-pusat pelatihan yang sekarang marak disebut dengan maker’s space. Keuntungan dari adanya maker’s space adalah masyarakat bisa mendapatkan akses untuk belajar membuat berbagai hal dari masing-masing ahlinya. Para ahli diundang dan memberikan workshop sesuai waktu yang dibutuhkan dalam menghasilkan produk/ mempelajari suatu teknik dan disiplin ilmu. Dengan mengetahui cerita dibalik proses pembuatan produk apapun tidak hanya fashion, masyarakat menjadi lebih menghargai keberadaan suatu produk serta dampak yang ditimbulkannya bagi bumi.

Sumber:

Fashioning Yourself: A Story of Home Sewing, National Women?S History Museum

https://artsandculture.Google.Com/exhibit/8wLy0a87fbE9LA

CRISIS IN OUR CLOSETS: THE ENVIRONMENTAL IMPACT OF FAST FASHION

https://prospectjournal.Org/2017/05/24/crisis-in-our-closets-the-environmental-impact-of-fast-fashion/

Fast fashion: Inside the fight to end the silence on waste

https://www.Bbc.Com/news/world-44968561

Sancaya Rini: Lestarikan Budaya Lewat Personal Branding

https://titikdua.Co/2017/08/07/sancaya-rini-lestari-budaya-lewat-personal-branding/

http://www.batik-bixa.com/

[MEDIA] BELAJAR DARI FILM TRUE COST

Oleh: Jeremia

Tidak mampu dipungkiri bahwa sandang bukan lagi sekedar penutup aurat tapi telah jadi cara kita mengomunikasikan siapa diri kita kepada masyarakat. Pakaian adalah mengenai seperti apa kita ingin dipersepsikan orang lain. Persepsi ini sangat majemuk spektrumnya. Mulai dari ingin dipandang paling berkelas, paling mengikuti tren, atau sekedar aktualisasi diri misalnya kaus menggunakan tulisan atau logo bermakna eksklusif.

Ada hal yang menarik terjadi di industri pakaian belakangan ini. Dalam 15 tahun terakhir harga jual pakaian terus menurun namun profit perusahaan besar seperti Zara, H&M, atau Forever21 terus meroket. Puncaknya industri ini mencatatkan rekor profit tertinggi dalam sejarah pada tahun 2016. Bukan hanya itu, industri pakaian (khususnya fast fashion) menempatkan salah satu pentolannya yaitu pemilik merek pakaian Zara menjadi orang terkaya ke 3 di dunia pada tahun 2017.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana bisa sebuah industri terus mencatatkan peningkatan keuntungan sementara harga jual barang mereka terus mengalami penurunan. Untuk menjawabnya saya ingin berbagi informasi-informasi dari sebuah film berjudul TRUE COST. Film ini disutradarai oleh Andrew Morgan dan kawan-kawan. Melalui TRUE COST, mereka berusaha mencari jawaban tentang berapa harga sebenarnya baju dan celana yang kita pakai. Mereka juga mencari informasi bagaimana industri sandang global beroperasi.

TRUE COST

Berapa harga baju yang biasa anda beli? Jawabannya akan sangat tergantung merk dan lokasi kita membeli. Bila membeli baju tanpa merk di pasar, harganya mungkin hanya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Namun bila anda membeli merk pakaian mewah di mal berkelas, harga satu potongnya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Salah satu gudang di pabrik pakaian di China.

 Sebagaimana produk lainnya di pasaran, harga akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran serta harga bahan baku dan biaya operasional pembuatannya. Berdasarkan pengakuan salah satu produsen baju asal China di film TRUE COST terungkap bahwa sebenarnya harga produksi sepotong pakaian terus meningkat dalam 15 tahun terakhir. Lalu bagaimana Zara dan kawan-kawan bisa meraih peningkatan keuntungan yang gila-gilaan sementara biaya produksi terus meningkat?

HARGA MANUSIA

Sebagai bagian akhir di rantai pasok sebelum ke konsumen, Zara dan kawan-kawan ternyata mengontrakkan pekerjaan awal pembuatan baju pada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, biasa dikenal dengan sebutan perusahaan vendor, di Bangladesh, Kamboja, India, dan Cina.  Zara dan kawan-kawan tahu bahwa banyak perusahaan vendor akan mengemis pekerjaan pada mereka. Ini mereka manfaatkan betul dengan meminta perusahaan tersebut menurunkan harga jual pakaian. Mereka berlomba-lomba  menekan perusahaan agar terus memberikan harga yang lebih murah. Alasan yang mereka gunakan adalah kompetisi. Bila mereka tidak bisa memberikan harga lebih murah, maka Zara dkk tidak akan menggunakan jasa mereka dan mencari perusahaan lain yang bisa di-outsources sesuai kemauan mereka. “No squeezing the price, no job

Pemilik perusahaan tentu harus memutar otak untuk bisa memenuhi keinginan Zara dkk. Kain, bensin, listrik, dan tanah tidak bisa dinegosiasikan untuk berproduksi. Satu-satunya yang bisa dinegosiasikan adalah bagian paling lemah di rantai produksi yaitu manusia.

Manusia yang tidak berdaya dan tidak punya banyak pilihan untuk menghidupi dirinya mau tak mau menurut saja dengan apa yang perusahaan mau daripada mereka dan anak mereka harus mati kelaparan. Pekerja bukan hanya harus menerima gaji yang kecil, mereka juga harus mau dipaksa kerja dalam kondisi yang menyesakkan. Mereka harus bekerja di gedung yang rapuh, kondisi yang penuh racun, dan tidak ada hari libur.

Puncaknya pekerja bahkan harus rela kehilangan nyawa. Kejadian runtuhnya bangunan 9 lantai di Bangladesh yang menewaskan 1.134 orang membuka mata dunia. Ya, anda tidak salah baca. Sebanyak 1.134 orang yang sehari-hari bekerja di Rana Plaza, Dhaka, Bangladesh harus meregang nyawa karena kondisi bangunan tempat mereka bekerja sudah keropos, tidak terawat, dan akhirnya ambruk.  Mereka sudah protes pada pemilik perusahaan, namun apa daya, pemilik hanya peduli pada pemenuhan tenggat dari Zara dkk. Akhirnya, pekerja pun dipaksa masuk untuk bekerja bahkan dengan cara-cara penuh kekerasan.

Rana Plaza yang runtuh pada tahun 2013 di Dhaka, Bangladesh

Di dunia ketiga dimana orang menganggur jauh lebih banyak dibanding pekerjaan yang tersedia, menempatkan manusia sebagai komoditas bukanlah hal baru. Harga tenaga manusia bisa sangat relatif tergantung berapa banyak “pasokan manusia” yang ada. Jika protes karena digaji rendah dan kondisi tempat kerja yang memprihatinkan, anda hanya punya dua pilihan. Silahkan keluar atau belajar menerima kesengsaraan ini.

HARGA LINGKUNGAN

Selain manusia, harga yang tidak diperhitungkan ketika membuat baju adalah lingkungan. Coba bayangkan sejenak jika tiap sumber air yang tercemar oleh bahan kimia untuk memproduksi pakaian, tanah yang menampung akumulasi residu pestisida tanaman kapas, dan udara yang terkontaminasi banyak racun pabrik, dikuantifikasi dalam nilai uang lalu dibebankan ke harga jual baju. Masih mungkinkah harga pakaian kita seperti sekarang?

Keadaan tanah, air, dan udara adalah hal lain yang tidak dihiraukan oleh perusahaan selain manusia pekerja. Semua ini dianggap komoditas semata. Peduli setan dengan keadilan, kesejahteraan pekerja, serta kondisi alam. Selama menghasilkan profit yang pertumbuhannya eksponensial, semuanya bisa dikompromikan.

Terbukti, dalam 15 tahun terakhir polusi yang ditimbulkan fashion industry dari hulu sampai hilir mengalami peningkatan signifikan. Bahkan saat film TRUE COST diluncurkan (tahun 2015), fashion industry menempati posisi ke-2 sebagai industri paling kotor di dunia hanya kalah dari industri minyak dan gas.

Sungai Gangga di India tercemar industri garmen

DIWAJARKAN SISTEM

Menurut Prof. Richard Wolff dari New School University, New York, penyebab kejadian ini bukan lagi tentang produksi dan seterusnya. Ini adalah tentang sistem yang tidak baik. Sistem yang hanya menguntungkan segelintir jajaran direksi dan pemegang saham. Kekuasaan yang hanya ditempatkan di segelintir orang tersebut hanya akan melayani kepentingan orang-orang tersebut di atas segalanya. Bagi mereka, perusahaan hanyalah alat pengeruk keuntungan. Profitlah yang akan jadi parameter utama kesehatan perusahaan. Selama profit terus lancar dan tumbuh, terlepas dari banyak hal yang dirusak dan banyak pekerja yang sengsara, perusahaan akan jalan terus.

Prof. Richard Wolff.

Mereka bukan hanya berdaya sebagai puncak kekuasaan pada rantai produksi, namun mereka juga bisa mengatur perilaku konsumen. Dengan kekuasaan menentukan arah perusahaan dan modal yang melimpah, mereka bisa melancarkan propaganda sedemikian rupa sehingga memastikan akan selalu ada aliran konsumen yang membeli semua barang mereka.

                Pandangan ekonomi klasik mengenai pertumbuhan dan profit membuat praktik-praktik ini diwajarkan. Tapi kita tahu bahwa sumber daya alam kita begitu terbatas. Apakah mungkin sumber daya alam yang terbatas ini bisa memenuhi nafsu mengejar pertumbuhan yang tak berbatas?

YANG BISA KITA LAKUKAN

Tentu penyiksaan pekerja dan perusakan alam yang dilakukan pelaku fashion industry dari hulu sampai hilir tidak bisa dibiarkan. Keadaan tersebut harus segera dihentikan atau paling tidak dikurangi.

Dalam film TRUE COST, seorang jurnalis isu lingkungan yang bernama Lucy Siegel berkata,” You turn all consumer into activist, all consumer asking how their clothes are made, where that come from, and all consumer then consciously saying, “It is not right that someone must die making those clothes”.

 Kita mungkin tak punya kekuatan langsung untuk mengubah aturan, memaksa aparat menindak perusahaan nakal, atau meminta para pekerja jangan lagi kerja di perusahaan tersebut. Tapi kita punya kekuatan yang sebenarnya masih sangat besar. Kita bisa menolak membeli pakaian buatan perusak lingkungan dan kemanusiaan.

Dengan memilih membeli pakaian dari perusahaan yang lebih peduli lingkungan dan pekerjanya kita membuat para perusak lingkungan dan kemanusiaan itu tidak berdaya karena tidak lagi memiliki aliran uang ke dalam kas mereka. Saat ini, uang adalah kekuasaan. Kita tidak bisa menolak kenyataan itu. Membuat penjahat kemanusiaan dan lingkungan tidak punya uang sama dengan membuat mereka tidak punya kuasa untuk melanjutkan operasi perusakan mereka.

Dalam memilih perusahaan mana yang memproduksi pakaian secara baik juga sudah tidak terlalu sulit. Ada banyak gerakan yang mengarahkan perusahaan untuk lebih sadar terhadap lingkungan. Fair trade, ecoage, dan conscious capitalism adalah segelintir contoh. Perusahan-perusahaan yang mengikuti aturan main gerakan tersebut juga tidak sedikit. Salah satu contoh terkenal di bidang fashion adalah People Tree.

Kegiatan fair trade di Jepang.

Kita harus sadar bahwa konsumen punya daya ubah dan konsumen yang memiliki kesadaran tinggi akan barang yang mereka beli punya daya ubah yang lebih dahsyat lagi. Sambil berharap ada pemerintah yang lebih berani menegakkan aturan, kita bisa meningkatkan kesadaran akan asal usul barang yang kita beli. Kesadaran sederhana ini akan membantu kita lebih bijak dalam membeli banyak hal, bukan lagi sekadar pakaian, dan ujungnya bisa mengubah keadaan dunia lebih baik.

[OPINI] MENYOROTI SISI GELAP RANTAI NILAI GLOBAL INDUSTRI SANDANG

Oleh: Angga Dwiartama

Sandang, Pangan, & Peradaban

Di awal tulisan ini saya ingin menegaskan bahwa saya bukan pakar di bidang fashiondan industri pertekstilan. Tulisan-tulisan saya, termasuk di Pro:Aktif Online, banyak berkutat di bidang pertanian dan pangan. Satu hal yang awalnya saya pikir sama antara pangan dan sandang adalah bahwa keduanya berangkat dari hasil bumi, sehingga saya bisa sedikit banyak bercerita tentang sejauh mana peradaban manusia telah mendorong pertanian dunia untuk menghasilkan kedua hal ini. Meskipun demikian, saat saya mencoba menelusuri lebih dalam tentang bagaimana dunia saat ini menghasilkan pakaian, perbedaan antara pangan global dan sandang global makin lama makin saru. Bahwa di tengah keglamoran dunia fashion ataupun industri makanan, tersembunyi sisi gelap yang melibatkan berbagai bentuk pengerukan, perusakan dan pencerabutan lingkungan hidup dan masyarakat dari akarnya. Kalau para pemerhati masalah pangan melihat film dokumenter Food, Inc.(2008) sebagai ikon kritik terhadap industri pangan modern, saya menyarankan teman-teman menonton The True Cost (2015) yang menjadi ikon kritik terhadap industri sandang modern.

Poster The True Cost

Di dalam beberapa paragraf ke depan, saya akan mencoba merefleksikan hasil bacaan saya tentang industri sandang global, sambil sesekali mengunjungi beberapa temuan saya di industri pangan global. Seperti di tulisan saya yang lain tentang pangan (misal: link ke Pangan dalam Cengkeraman Kapitalisme dan Pangan sebagai Politik yang Menubuh), semoga akhir tulisan ini bisa sedikit mencerahkan.

Saya mulai cerita ini dari zaman dahulu kala. Sandang maupun pangan berperan akbar di pada pembangunan peradaban masyarakat. Di ketika manusia prasejarah berburu dan meramu untuk memperoleh pangan, mereka jua membuatkan sandang buat menghangatkan badan mereka. Kulit hewan dan serat flora dipintal secara sederhana sebagai kain pelindung tubuh. Saat produksi pangan ditopang oleh pertanian fase awal, demikian halnya dengan pakaian. Serat dari flora-flora misalnya kapas, kapuk, rami, dan linen mulai diolah menjadi lbr-lembar pakaian sederhana. Pakaian pula didapatkan menurut bahan standar yg asal berdasarkan fauna seperti wol & sutera[1].

Di sisi lain, pertanian yang lebih kompleks & rumit menghasilkan sandang yang lebih mahal & berkelas. Pakaian para tuhan & raja-raja, sebagai contoh, dipintal menurut sutera alam yang halus, yg proses produksinya membutuhkan keahlian & ketekunan tingkat tinggi. Tidak poly pengrajin yang sanggup membentuk kain sekelas sutera. Di titik ini, produksi yg terkonsentrasi pada wilayah yang peradabannya maju seperti China (sutera), India (katun) & Eropa (linen)serta permintaan yg kian tinggi dari penjuru dunia sebagai pondasi dibangunnya industri sandang pada skala global. Jalur sutera, orang-orang bilang, merupakan jejak konkret sandang pada dalam peradaban manusia. Hal ini sejalan menggunakan perdagangan komoditas pangan mewah misalnya rempah-rempah, kopi, teh, kakao & gula dari pengrajin pada Asia, Afrika dan Amerika Latin buat raja-raja di Eropa dan Timur Tengah. Sandang, misalnya pangan, mempunyai fungsi pelengkap, tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar insan, namun pula sebagai simbol identitas kelas.

Fase ini di dalam cerita peradaban manusia tentunya belum seberapa gelap ketimbang saat revolusi industri mulai menggeliat di abad ke-18. Kolonialisme yang dibangun di atas pengerukan sumberdaya pertanian diperparah dengan upaya untuk mentransformasi sumberdaya ini secara massal dan cepat. Apabila pemintal benang dan perajut kain dulu dikenal sebagai artisan berketerampilan tinggi, mesin-mesin industri saat itu mampu menggantikan produksi kain secara lebih cepat, lebih seragam dan lebih efisien. Peran manusia direduksi menjadi sekedar tenaga kerja. Hal ini berlaku baik untuk pangan maupun sandang. Kolonialisme dan revolusi industri (yang nantinya juga diikuti dengan revolusi hijau) meninggalkan petani dan pekerja tercerabut dari identitas unik mereka. Petani gurem, buruh murah, mereka adalah kolateral dari efisiensi produksi. Mereka menjadi tergantikan, dispensable.

Industri Sandang Global dan Fast-Fashion

Maka sampailah kita ke wajah industri sandang di dunia modern ini. Di depan mata, nama-nama seperti GAP, CJ Penney, Marks & Spencer jamak dilihat sebagai brand-brand besar yang menjual pakaian dengan harga premium. Apa yang menyebabkan mereka bisa menguasai industri fashion global? Apakah teknologi yang mumpuni? Ataukah asset produksi yang besar dengan mesin-mesin yang efisien? Sebelum menjawab ini, kita perlu melihat dua bentuk rantai nilai global di dalam industri modern kita. Gary Gereffi[i], seorang sosiolog dari Amerika Serikat, menjelaskan bahwa ada industri yang didorong oleh produsen, dan industri yang didorong oleh pembeli. Industri yang didorong oleh produsen mengandalkan kehandalan teknologi dan asset produksi yang pada akhirnya membangun pasar. Di sisi lain, industri seperti pakaian tidak membutuhkan inovasi teknologi yang tinggi. Perusahaan-perusahaan ternama yang saya sebutkan di atas bahkan tidak memiliki asset produksi. Mereka mengedepankan aspek marketing, jalur ritel, ide desain fashion dan nilai jual branduntuk menjamin penangkapan rantai nilai sebesar mungkin di rantai industri globalnya. Laiknya industri pangan global yang dicirikan oleh makanan siap saji (fast food), industri sandang global dicirikan oleh pakaian siap saji (fast fashion) -- industri yang mengedepankan pergantian mode yang cepat dan, konsekuensinya, alur produksi yang cepat pula.

Wajar kiranya apabila dibalik hingar bingar industri pakaian siap saji ini, di saat dunia fashion dan retailer mengambil porsi nilai terbesar, para petani, buruh pabrik dan pengusaha tekstil berebut nilai tambah dari sisa-sisa yang ada -- aktivitas yang tidak jarang mengorbankan lingkungan hidup dan masyarakat lokal. Dalam banyak tulisan[ii], industri tekstil digadang sebagai penyumbang pencemaran lingkungan kedua terbesar di dunia setelah industri minyak bumi. Ini yang disebut dengan perlombaan menuju dasar (race to the bottom) di dunia bisnis. Hal ini mengawali bagaimana kita membongkar sisi gelap dari industri apparel (pakaian) dunia[iii], sambil kita coba runut mata rantai demi mata rantai.

Rantai nilai industry apparel

Jeratan Hutang di Sektor Pertanian Kapas

Cerita gelap industri sandang dimulai dari hulu, di bentangan lahan pertanian di pusat-pusat produksi bahan baku tekstil dunia. Saya ingin mengangkat satu komoditas pertanian yang menjadi bahan baku utama kain dunia: katun, yang terbuat dari tumbuhan bernama kapas (Gossypium spp.). China adalah penghasil kapas terbesar, disusul oleh India dan Amerika serikat. Ketika China diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat dan produksi pertanian massal, India memiliki cerita yang berbeda. Pertanian kapas di India memiliki sejarah  panjang dari 5000 tahun yang lalu di lembah sungai Indus, dan dari sana industri katun berkembang di dunia. Semua berjalan baik hingga masa kolonialisme di mana kerajaan Inggris menerapkan politik dagang yang ketat terhadap katun di India. Sejak saat itu, sekalipun industri katun di India berkembang baik, kesejahteraan petani semakin menurun. Buku A Frayed History: The Journey of Cotton in India tulisan Meena Menon dan Uzramma menceritakan secara gamblang tentang perjalanan getir ini.

Untuk mengilustrasikan ini lebih jauh, coba teman-teman cari di Google menggunakan kata kunci ‘farmer’s suicide’, dan berita pertama yang keluar adalah kisah tentang para petani kapas di India. Sejak tahun 1995, telah ada lebih dari 200.000 kasus bunuh diri petani. Menurut artikel yang ditulis di kantor berita CNN[iv], ada 2-3 orang petani di India yang bunuh diri setiap harinya! Keterjeratan para petani dengan hutang adalah penyebab utamanya. Iklim muson sangat berpengaruh terhadap produksi kapas, disertai rentannya kapas akan hama yang menuntut penggunaan pestisida besar-besaran. Saat cuaca tidak bersahabat, produksi kapas bisa hancur seketika. Di sisi lain, saat produksi membaik, harga kapas seringkali anjlok di bawah harga dasar bagi petani. Pengenalan kapas transgenik, yang semula diharapkan memberi solusi, justru memperburuk keadaan karena petani semakin terikat oleh harga bibit kapas transgenik dan hama ulat buah yang mulai menunjukkan resistensi, sebagaimana dilansir kantor berita The Guardian [v].

Merefleksikan fenomena ini pada produksi pangan dunia, cerita petani India dan kapas adalah kisah klasik petani yang bergantung pada komoditas global. Di Indonesia, cerita ini jamak didengar untuk komoditas seperti kopi, kakao, karet, pala atau cengkeh, yang harganya mengikuti harga internasional, sehingga para petani bergantung pada pasar yang berada di luar jangkauan mereka, dan  mereka tidak bisa mengkonsumsi produk itu sendiri. Hasil akhirnya adalah keadaan di mana para petani menjadi price-taker dan sangat rentan terhadap berbagai faktor di luar kuasa mereka. Hal yang sama juga bisa kita lihat pada para buruh di pabrik-pabrik tekstil.

Perlombaan ke Dasar di Industri Tekstil dan Konveksi

Kini kita bergeser ke bagian tengah dari rantai industri sandang. Industri tekstil menerima kapas, wol, linen atau kepompong sutera dari para petani, memintalnya menjadi benang, menenun dan mewarnainya menjadi kain siap olah. Industri konveksi kemudian memola, memotong, menjahit dan menyablon kain ini menjadi pakaian siap pakai. Di sepanjang proses ini, industri menekan biaya produksi hingga serendah-rendahnya atas dasar efisiensi. Bahan baku ditarik dari pusat-pusat produksi yang paling efisien (atau yang mau menawarkan harga paling murah), dan oleh karena itu menyebabkan banyak petani menjadi korban. Semi-mekanisasi produksi membutuhkan tenaga kerja tanpa keterampilan khusus (buruh pabrik) yang dapat dibayar semurah mungkin. Studi Gereffi tentang industri sandang global menunjukkan bahwa manufaktur tekstil dan konveksi akan cenderung mengarah pada negara-negara yang dapat menawarkan harga tenaga kerja termurah. Alhasil, industri pakaian di Jepang, China dan Korea meng-outsource-kan produksinya ke India, Bangladesh, dan negara-negara Asia tenggara (termasuk Indonesia), industri Eropa ke Afrika, dan  Amerika Serikat dan Kanada ke Amerika Latin. Saat undang-undang ketenagakerjaan di negara-negara tersebut diperketat, perusahaan akan bereaksi dengan memindahkan pabriknya ke negara lain.

Banyak tulisan telah menunjukkan bahwa race to the bottom untuk tenaga kerja di industri tekstil dan konveksi telah banyak memakan korban. Kebakaran besar di pabrik garmen di Amerika Serikat sekira satu abad yang lalu yang menewaskan lebih dari 100 pekerja menjadi catatan sejarah kelam. Satu abad kemudian, kejadian serupa terjadi di Rana Plaza di Bangladesh di mana runtuhnya bangunan pabrik menewaskan lebih dari 1000 pekerja (10 kali lipat dari kejadian di AS). Polanya serupa. Pengusaha tidak memerhatikan kondisi bangunan dan keselamatan pekerja demi mengejar keuntungan. Kejadian di Rana Plaza tahun 2013 lampau membukakan mata banyak orang tentang kondisi kerja dan kesejahteraan para buruh pabrik di banyak negara-negara berkembang di mana industri tekstil dan konveksi bertahan. Belum lagi apabila kita hitung segala dampak dari limbah bahan-bahan kimia yang digunakan sebagai pemutih, pewarna, dan enzim untuk tekstil atau pewarna sablon yang dibuang ke badan sungai di banyak tempat, termasuk di sekitar Bandung.

Tanggung Jawab Konsumen di Ujung Rantai

Baik pertanian serat maupun industri garmen mungkin bisa disalahkan di balik segala kerusakan lingkungan dan eksploitasi buruh di negara-negara berkembang di dunia. Akan tetapi, kita sebagai konsumen memiliki andil yang sama besarnya. Perlombaan menuju dasar di dalam industri sandang bersumber dari pola hidup masyarakat yang serba cepat dan murah. Ada harga yang mahal di balik pakaian murah yang kita beli di pasar. Meskipun demikian, pakaian mahal juga tidak menjamin bahwa produk yang kita beli lebih berkelanjutan. Retailer dan industri fashion mengambil nilai sangat banyak dari tren dan mode tanpa mengindahkan para pelaku usaha di bagian hulu mereka. Jadi, harga mahal yang kita bayarkan mungkin tidak pernah kembali kepada para petani dan buruh pabrik. Lebih parah lagi, fashionyang cepat berganti berimplikasi pada perputaran barang yang semakin cepat pula. Ujung dari rantai industri ini adalah tempat pembuangan sampah akhir yang dipenuhi oleh bergulung-gulung pakaian-pakaian bekas yang bisa jadi masih layak pakai. Semua mungkin hanya karena tren mode tahun ini sudah berbeda dengan apa yang in tahun lalu.

Menjadi konsumen pakaian yang bertanggung jawab di Indonesia, di masa sekarang, memang lebih sulit ketimbang menjadi konsumen pangan yang bertanggung jawab. Dalam hal pangan, kita selalu bisa mulai dari tanaman di pekarangan kita sendiri, atau membeli produk-produk dari petani lokal. Tapi bagaimana dengan pakaian? Apakah membeli baju dari toko di sebelah rumah berarti bahwa kita telah membantu memutus mata rantai industri sandang global? Atau apakah kita perlu memintal benang dan menenun kain sendiri agar bisa lebih berkelanjutan? Tentunya tidak semudah itu pula.

Menjadi konsumen pakaian yang bertanggung jawab membutuhkan beberapa pengorbanan kecil. Hal ini dimulai dengan menyadari bahwa kita tidak membutuhkan pakaian sebanyak itu. Selain itu, berbeda dengan pangan yang bersifat perishable, kita bisa memilih pakaian yang lebih tahan lama bagi kita. Memilih pakaian yang sedikit lebih mahal karena daya tahannya jelas lebih baik daripada memilih pakaian yang murah tetapi cepat sekali rusak -- tidak hanya karena kita menghasilkan lebih sedikit limbah, tetapi juga karena kita mungkin membayar lebih besar bagi para pelaku di tingkat hulu. Ini juga jelas lebih baik ketimbang memilih pakaian mahal karena mode, penjahit atau brand-nya.  Apabila kita mau dan mampu, mulai banyak pakaian-pakaian berlabel hijau (eco-fashion)yang dijual di pasaran. Tetapi seandainya pun harganya tidak terjangkau, kita bisa lebih bertanggung jawab dengan apa yang kita punya -- kurangi konsumsi kita, dan perlama pemakaian pakaian kita.

[1]Minyak bumi datang belakangan, menghasilkan produk serat sintetik seperti polyester, nilon, dan spandex.

Rujukan

[i]Gereffi, G. (1999). International trade and industrial upgrading in the apparel commodity chain.Journal of international economics,48(1), 37-70.

[ii] Salah satu tulisan tentang kontribusi industri tekstil terhadap pencemaran lingkungan dapat dilihat di https://www.alternet.org/environment/its-second-dirtiest-thing-world-and-youre-wearing-it

[iii]Gereffi, G., & Memedovic, O. (2003).The global apparel value chain: What prospects for upgrading by developing countries(pp. 5-6). Vienna: United Nations Industrial Development Organization.

[iv] https://edition.cnn.com/2015/04/19/asia/india-cotton-farmers-suicide/index.html

[v] https://www.theguardian.com/global-development/gallery/2014/may/05/india-cotton-suicides-farmer-deaths-gm-seeds

Selasa, 12 Mei 2020

[TIPS] POPOK PAKAI ULANG – SEHAT, HEMAT BIAYA, DAN RAMAH LINGKUNGAN

Oleh: Any Sulistyowati

Memiliki bayi pada zaman sekarang ini membutuhkan upaya yang tidak kecil. Semua itu ditujukan agar segala kebutuhan bayi terpenuhi dan bayi dapat tumbuh sehat dan bahagia. Salah satu kebutuhan pokok bayi adalah pakaian. Dan jenis pakaian yang paling banyak dibutuhkan adalah popok. Pada zaman saya kecil, ibu saya menggunakan popok kain. Popok ini terbuat dari kain katun segiempat dengan tali di kedua ujungnya. Ketika dipakai tinggal diikatkan di perut bayi. Popok ini sangat fleksibel karena bisa digunakan dari bayi lahir sampai agar besar, sampai dapat digunakan celana.

Menggunakan popok seperti itu ada suka dukanya. Sukanya, popok tersebut cukup nyaman untuk bayi, mudah diurus dan bisa digunakan untuk adik atau saudara yang lebih kecil. Dukanya adalah, saat setiap pipis maka baju bayi, celana, kain gendongan, alas tidur, selimut, baju yang mengasuh pun ikut basah. Belum lagi ketika buang air besar (BAB). Selain perlu waktu dan tenaga untuk mencucinya, kita perlu perlu juga mengamati kondisi matahari. Jika sedang mendung, maka jemuran akan menumpuk dan menjadi lembab.

Popok kain bagian luar

Pada zaman sekarang ini muncul popok sekali pakai. Dari sisi kepraktisannya, popok ini memang unggul dibandingkan dengan popok biasa. Di dalam popok sekali pakai terkandung zat yang menyerap cairan, sehingga meskipun bayi pipis, bagian luar popoknya tetap kering. Dengan popok ini, tentu saja jumlah cucian akan berkurang. Persoalannya, penggunaannya telah menimbulkan beberapa persoalan yaitu penumpukan sampah. Bahan popok ini tidak mudah terurai, mencemari tanah dan air. Tidak heran, jika salah satu jejak ekologis terbesar dari seorang bayi adalah penggunaan popok sekali pakai.

Keprihatinan akan kerusakan alam telah memunculkan berbagai inisiatif hidup ramah lingkungan. Salah satunya adalah pokok pakai ulang. Bedanya dengan popok saat saya kecil, popok ini lebih nyaman digunakan. Popok ini dibuat dengan bahan yang menyerap cairan di sebelah dalam, tetapi tidak bisa menembus ke luar. Jadi basah pipisnya tidak ke mana-mana. Bedanya dengan popok sekali pakai, popok ini bisa dicuci, dijemur dan digunakan lagi. Bedanya dengan popok zaman dahulu yang menggunakan tali, popok pakai ulang jaman sekarang menggunakan kancing-kancing yang kita bisa atur di sebelah mana yang digunakan tergantung ukuran bayi. Selain itu digunakan karet untuk membuatnya fleksibel ukurannya dan tidak mudah melorot. Bahan kainnya pun beraneka ragam, dari yang sangat lembut dengan motif yang bermacam-macam tergantung selera kita.

Popok Kain Bagian Dalam

Jika dibandingkan dengan harga popok biasa dan popok sekali pakai, harga popok pakai ulang ini tampaknya cukup mahal. Bayangkan, satu pokok pakai ulang harganya bisa sama dengan popok sekali pakai sekantong besar isi 20, atau mungkin setengah lusin popok zaman dulu. Tetapi kita baru bisa mengetahui harga yang sebenarnya setelah menghitung kebutuhan biaya selama minimal setahun. Berikut ini adalah contoh perhitungan kasarnya:

Kebutuhan popok pakai ulang selama setahun:

20 buah popok pakai ulang X Rp. 50 ribu = Rp. 1.000.000,-

Kebutuhan popok sekali pakai selama setahun:

6 popok sekali pakai X Rp. 2.000,- X 365 hari = Rp. 4.380.000,-

Kebutuhan popok zaman dulu selama setahun:

15 popok per hari X 3 hari stok X Rp. 10.000,- = Rp. 450.000,-

Perhitungan di atas belum memasukkan biaya lainnya seperti biaya mencuci (termasuk mencuci baju dan peralatan bayi lainnya yang terkena ompol), biaya pengolahan limbah dan lain-lain. Jika biaya-biaya di atas dimasukkan maka biayanya akan semakin besar.

Keunggulan lain dari popok pakai ulang adalah dapat digunakan kembali untuk bayi yang lain. Kita bisa membuat kelompok yang memakai ulang popok popok dan perlengkapan bayi lainnya. Keberadaan kelompok semacam ini sangat menguntungkan, karena kita tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk barang perlengkapan bayi, khususnya untuk barang-barang yang waktu penggunaannya singkat.

Untuk memaksimalkan manfaat, kelompok ini juga bisa diperluas tidak hanya untuk popok pakai ulang, tetapi juga berbagai perlengkapan anak lainnya. Anak-anak saya dan anak-anak teman-teman saya saling mewariskan dan diwarisi pakaian-pakaian, popok, celana, sepatu, mainan dll. Dengan menggunakan barang-barang bekas, pengeluaran kita menjadi lebih sedikit. Setelah pakaian kekecilan pun, selama kondisinya masih bagus, kita bisa wariskan kembali kepada anak-anak yang lain. Dengan demikian rantai penggunaan barang pun bisa diperpanjang. Umur pakai barang menjadi lebih panjang dan bermanfaat untuk lebih banyak orang. Secara total, kita akan menghemat sumberdaya untuk menghasilkan barang baru. Barang yang menjadi limbahpun lebih sedikit. Semoga dengan pola hidup seperti ini, kerusakan lingkunganpun dapat berkurang.

Tips 1

Tips memilih popok pakai ulang:

-          Pertimbangkan masa pakai bayi dan ukuran bayi selama memakainya. Pilih popok pakai ulang yang dapat mengakomodasi ukuran tersebut.

-          Perhatikan kualitas kancingnya, pilih yang kuat, mudah dipasang dan dilepas, tetapi tidak mudah terlepas. Selain kancing, kadang-kadang digunakan perekat (prepet). Pilihlah perekat yang kuat dan tidak mudah terlepas, tetapi mudah dipasang.

-          Perhatikan bahan yang digunakan, bagian dalam pilih yang lembut dan menyerap air. Bagian yang luar, pilih yang lembut tetapi kedap air. Bagian tengah, pilih yang bisa dikeluarkan dan ditambahkan sesuai kebutuhan. Biasanya semakin besar usia anak, volume pipisnya akan bertambah. Pastikan bahwa bagian tengah ini dapat menyerap air dengan baik.

-          Perhatikan bahannya, pilihlah yang terbuat dari bahan yang mudah kering ketika dijemur.

-          Perhatikan bahannya, pilihlah yang terbuat dari bahan yang nyaman digunakan.

-          Perhatikan berat bahannya, semakin ringan semakin baik.

-          Perhatikan bahannya, pilih yang jika terkena kotoran bayi, mudah dibersihkan dengan sikat.

-          Perhatikan karet pinggang dan pahanya. Pilihlah yang terbuat dari bahan yang tidak mudah melar.

-          Perhatian corak dan warnanya, pilihlah warna yang tidak mudah kotor.

Tips 2

Tips mencuci popok kain hemat waktu, hemat air dan hemat sabun.

-          Siapkan 3 wadah tertutup: (1) untuk pakaian bayi yang sudah dipakai tertapi relatif masih bersih, (2) untuk pakaian yang terkena pipis, dan (3) untuk pakaian yang terkena tinja. Pemisahan ini bertujuan agar kotoran pada salah satu pakaian tidak menempel di pakaian yang lain. Proses pencucian akan dilakukan secara terpisah untuk masing-masing jenis pakaian.

-          Membersihkan pakaian bayi yang tidak terlalu kotor.

o   Masukkan pakaian bayi yang sudah dipakai tetapi masih bersih ke dalam baskom berisi air dengan sedikit sabun.

o   Kucek-kucek sampai bersih.

o   Jika ada noda kotoran, bersihkan noda itu dengan sabun mandi.

o   Bilas dengan air sampai bersih.

-          Membersihkan pakaian bayi yang terkena pipis.

o   Masukkan pakaian bayi yang terkena pipis ke dalam baskom berisi air bersih.

o   Kucek-kucek pakaian tersebut sampai pipisnya larut ke dalam air.

o   Jika jumlah pakaiannya banyak sementara airnya sedikit, ada kemungkinan dibutuhkan dua kali pembilasan.

o   Pembilasan dilakukan sampai bau pipisnya hilang.

o   Air bilasan pipis ini dapat digunakan untuk menyiram tanaman.

o   Rendam pakaian bayi yang sudah hilang bau pipisnya dengan air sabun.

o   Kucek-kucek sampai bersih.

o   Bilas kembali sampai sabunnya hilang.

-          Membersihkan pakaian bayi yang terkena tinja:

o   Bersihkan kotoran bayi dengan sikat.

o   Setelah itu masukkan dalam baskom untuk dibilas dengan air bersih sambil terus disikat sampai semua kotorannya hilang.

o   Buang air yang bertinja ke dalam wc.

o   Isi baskom dengan air, masukkan popok ke dalamnya dan gosok bekas noda tinja yang masih tersisa dengan sabun mandi. Kucek-kucek perlahan atau gunakan sikat sampai nodanya hilang.

o   Bilas dengan air bersih sampai sabunnya hilang.

Untuk menghemat air dan sabun, dapat dilakukan hal berikut:

Air sabun dan air bilas bekas cucian tipe 1, dapat digunakan untuk cucian tipe 2 dan kemudian tipe 3.

[MASALAH KITA] MASALAH SEPUTAR KONSUMSI PAKAIAN ZAMAN SEKARANG DAN KIAT-KIAT PENYELESAIANNYA

Oleh: Any Sulistyowati

Kita beruntung hayati pada zaman yang memperlihatkan begitu banyak kemudahan pada dalam hidup kita. Kurang menurut seratus tahun yg kemudian, generasi kakek nenek kita mungkin masih mengganggap bahwa sandang merupakan harta yang sangat berharga. Pada saat itu pakaian yg mereka miliki mungkin tidak lebih menurut hitungan jari. Beberapa menurut mereka bahkan menggunakan bahan yg pada masa sekarang ini dipercaya tidak layak disebut sebagai sandang.

Saat ini, hampir semua orang sudah memiliki pakaian. Kebanyakan orang kemungkinan memiliki pakaian sejumlah yang lebih dari yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.  Sebagian lagi mungkin memiliki sejumlah pakaian baru setiap hari raya, setiap musim atau setiap model baru keluar. Sebagian lagi membeli pakaian yang mengisi lemari mereka, tetapi kemudian tidak pernah mereka gunakan.

Pakaian zaman sekarang: begitu majemuk corak, rona, tekstur & modelnya.

Hal ini bisa terjadi menggunakan kemajuan teknologi. Teknologi memungkinkan kita merogoh asal-sumber bahan baku sandang secara massif, baik langsung dari alam maupun melalui proses budidaya. Teknologi jua memungkinkan percampuran serat alam & serat sintetis sehingga lebih poly pakaian dapat dihasilkan pada ketika yg sama. Lebih banyak pakaian dihasilkan berarti ketersediaan pakaian makin melimpah. Sayangnya, kelimpahan sandang ini pula membawa sejumlah konsekuensi.

Di satu sisi, ketersediaan sandang yang melimpah adalah sesuatu yang indah dan patut disyukuri. Di sisi lain, terdapat duduk perkara distribusi. Penggunaan sandang tadi belum merata dinikmati seluruh orang pada semua global. Saat ini, terdapat sekelompok kecil orang mungkin memiliki pakaian jauh lebih menurut relatif berdasarkan yang dia butuhkan. Sementara sisanya terdapat yang belum mempunyai pakaian yang layak. Sementara sebagian berdasarkan kita bisa membeli sandang menggunakan harga yang nisbi murah, sebagian lainnya wajib membelinya menggunakan harga yang jauh lebih mahal.

Koleksi pakaian: hasrat atau kebutuhan?

Implikasi lain berdasarkan produksi pakaian yang melimpah merupakan pendayagunaan sumber daya yg semakin massif buat mencari dan atau membudidayakan bahan sandang tersebut. Untuk beberapa jenis sumberdaya yg bisa diperbarui, keberlanjutan eksploitasi sumberdaya dibatasi sang batas daya dukungnya. Eksploitasi sumberdaya yg hiperbola menyebabkan ambang batas daya dukung semakin usang semakin menurun. Ini berarti ketersediaan sumber daya bahan standar pakaian semakin berkurang dari hari ke hari. Kemampuan alam buat menyediakan bahan baku produsen pakaian pun semakin menurun.

Konsekuensi lain berdasarkan konsumsi pakaian yang berlebih adalah adanya limbah sandang. Limbah pakaian yg terdapat perlu diolah sedemikian rupa sebagai akibatnya tidak mencemari bumi. Sayangnya hal ini belum terjadi secara maksimal . Banyak sekali limbah sandang yg belum bisa terolah di loka sampah. Bahkan sebagian limbah sandang yg dibuang sebetulnya adalah sandang yang masih layak gunakan. Belum lagi limbah bungkus yang dipakai buat membungkus sandang-sandang tersebut. Berapa poly kantong plastik, kertas, perekat yg akhirnya dibuang selesainya produk yang kita beli kita buka kemasannya.

KAIL mengadakan bazaar barang bekas setiap tahunnya. Salah satu barangnya adalah pakaian bekas layak gunakan yang kami peroleh berdasarkan sumbangan dari banyak sekali pihak. Selama empat kali menyelenggarakan bazaar, kami kerap menemukan bahwa pemiliknya pun belum sempat menggunakannya. Jadi labelnya masih tergantung misalnya baru, meskipun statusnya barang bekas.

Suasana stand pakaian bekas di bazaar Kail: kesempatan menerima pakaian layak pakai menggunakan harga super murah.

Saat ini, kecukupan sandang ternyata baru bisa dinikmati sang segelintir orang. Lalu bagaimana menggunakan mereka yang biasa saja? Yang penghasilannya pas-pasan. Yang hanya bisa membeli sandang baru hanya bila baju yang telah terdapat sebelumnya telah rusak/sobek? Atau kalaupun telah sobek masih diupayakan buat ditambal-tambal juga. Adakah hal-hal yang Mengganggu kita mengambil keputusan yg lebih berkelanjutan terkait sandang? Apabila ada, apa sajakah itu?

Berikut ini adalah sejumlah kasus yg mungkin menghambat kita buat memilih konsumsi pakaian lebih berkelanjutan:

1. Pengaruh iklan

2. Terdorong membeli baju baru lantaran diskon .

3. Memperbanyak kombinasi sandang.

4. Hadiah berdasarkan sahabat atau saudara.

Lima. Sayang jikalau nir dibeli karena modelnya cantik.

6. Memperbanyak koleksi.

7. Adanya asumsi bahwa hayati yang lebih keren adalah yg acapkali gonta ganti rona & model sandang.

Keseluruhannya menyebabkan jumlah produksi dan konsumsi sandang meningkat menurut waktu ke saat. Persoalan-masalah tersebut sulit diselesaikan lantaran kultur yang ada waktu ini mendorong semakin banyak konsumsi sumberdaya. Nilai yang diajarkan merupakan: semakin banyak konsumsi sumberdaya berarti semakin keren. Padahal sebaliknyalah yg terjadi, semakin boros sumberdaya, semakin banyak duduk perkara misalnya yg dijabarkan pada atas.

Bagaimana caranya mengubah situasi tersebut?

  1. Menghidupi nilai “keren” adalah hidup yang berkecukupan, bukan berlebihan.
  2. Tidak mudah terpengaruh dengan tawaran-tawaran dari luar untuk mengkonsumsi pakaian yang tidak dibutuhkan.
  3. Memiliki kemampuan untuk secara tajam melihat apakah hal itu merupakan kebutuhan atau keinginan.
  4. Mengabaikan konsumsi yang didasarkan pada keinginan semata, dan bukan kebutuhan.
  5. Mengajak kawan menyadari persoalan-persoalan di atas dan menyelesaikannya mulai dari diri sendiri.
Baju diskon : peluang atau godaan?

Untuk bisa melakukan keempat hal di atas, kita perlu dapat bertahan hidup & merasa oke meskipun menggunakan jumlah sandang yg lebih sedikit. Berikut ini adalah beberapa tips agar permanen ?Keren? Meskipun dengan sandang yang lebih sedikit.

  1. Mampu memilih jenis, corak dan tekstur pakaian yang dapat digunakan dalam waktu lama.
  2. Mampu membuat kombinasi baru dari beberapa komponen pakaian yang ada (kemampuan untuk memadupadankan pakaian-pakaian yang ada).
  3. Menguasai teknik pemeliharaan pakaian sehingga awet digunakan dalam waktu yang lama.
  4. Mampu mengolah limbah pakaian menjadi sesuatu yang berguna.
  5. Mampu memperbaiki pakaian yang rusak sedikit sehingga tetap masih dapat digunakan.
  6. Menggunakan pakaian bekas yang layak pakai, ketimbang membeli baju yang baru.
  7. Tetap percaya diri meskipun menggunakan baju yang itu-itu saja atau pun menggunakan baju bekas.
Bagaimana kalau kita sudah terlanjur punya pakaian super banyak tetapi sebetulnya tidak pernah kita gunakan secara maksimal?

1. Menyumbangkan sebagian sandang yg kita miliki, terutama buat sandang-sandang yg sebetulnya sporadis atau bahkan tidak pernah kita pakai.

Dua. Buat batasan buat mengurangi & bahkan berhenti membeli pakaian baru. Misalnya menggunakan memutuskan kondisi pembelian pakaian baru. Misalnya, tidak membeli pakaian baru sebelum ada sandang usang yg rusak.

3. Memberitahukan mitra & teman yg tak jarang memberi hibah agar tidak memberikan bantuan gratis dalam bentuk pakaian. Apalagi sandang baru yg berkemasan, yg akhirnya menyebabkan sampah.

4. Mengorganisir penggunaan pakaian beserta supaya pemanfaatan & umur pakainya lebih lama . Misalnya buat jenis sandang yang durasi pemakaiannya pendek, misalnya pakaian bayi atau anak-anak balita. Setelah digunakan sang anak yang satu, pakaian tadi bisa diwariskan kepada anak yang lain & seterusnya. Jadi sandang tersebar secara bergantian buat mereka yang membutuhkan.

Misalnya buat jenis pakaian yg durasi pemakaiannya pendek, misalnya sandang bayi atau anak-anak balita. Setelah dipakai oleh anak yang satu, sandang tadi bisa diwariskan kepada anak yg lain & seterusnya. Jadi pakaian beredar secara bergantian buat mereka yg membutuhkan.

Demikianlah beberapa persoalan seputar konsumsi pakaian zaman kini & beberapa alternatif solusinya. Semoga bermanfaat!

***

[PIKIR] SANDANG YANG MENELANJANGI

Oleh: Umbu Justin

Duhsasana had to subdue Draupadi by force. He dragged her out of the women?S quarters and into the assembly hall by her hair. And there, in front of all the kings and the defeated Pandavas, he mocked her, called her whore for having five husbands, and vowed to have his way with her. Then, as Draupadi stood helpless, clad only in a nightgown, weeping with shame and rage, Duhsasana ripped her gown from her to expose her nakedness.

But she was not naked. She was still clad in her simple shift. Cursing, Duhsasana reached out again and ripped it off.

And Draupadi was still not naked.

Again and again Duhsasana ripped Draupadi?S clothes away, until the floor of the assembly hall was littered in a rainbow of gowns. And she was still not naked.

Absolute silence descended on the assembly hall. There were only two people in the whole world. There was Draupadi, clothed in the lawfulness of her rage. There was Duhsasana, exhausted and suddenly afraid.

Sabha Parva LXVII, Mahabharata

Di antara aneka macam atribut yg menaruh kita predikat menjadi mahluk berkebudayaan, pakaian-lah yang paling mudah ditanggalkan. Berbagai atribut lain yang memberi kita karakteristik kebudayaan seperti celoteh bahasa, dialek, rapikan cara makan, ritual tata cara, hubungan korelasi, pemahaman akan nilai-nilai, jauh lebih melekat erat pada kita dibanding pakaian. Kita dengan gampang berganti sandang dan mengubah peran atau identitas, misalnya seseorang anak didik yang mencopot seragamnya begitu hingga ke rumah; tetapi betapa sulitnya murid tersebut membarui dialeknya, apalagi mengganti interaksi kekerabatannya.

Terhadap identitas kita sandang itu memang rapuh, tetapi di situ juga terletak kekuatannya. Sandang menyandang daya terpenting dalam kemanusiaan kita, yakni  kecenderungan beradaptasi. Dengan sandang manusia dapat mengatasi keterbatasannya, memasuki laut dalam, menjelajah antariksa, atau pun melindungi diri pada kondisi ekstrim. Sandang itu membungkus tubuh untuk memperluas horizon keberadaannya, mendukung manusia untuk bereksplorasi dan melakukan kolonisasi atas dunia.

Sandang berdaya mengubah manusia karena itu dia kemudian dikapitalisasi menjadi sarana pembagian terstruktur mengenai insan baik berdasarkan segi strata kultural mau pun sosial, penanda kiprah pada sistem kemasyarakatan, atau pun menjadi tanda pengkhususan kultural mau pun religi. Pakaian yang disandang menentukan derajad dan kasta, mengenalkan kiprah pada sistem fungsional kemasyarakatan seperti dokter, tentara, polisi, pengajar atau anak sekolah. Para penganut agama menandai kaumnya lewat pakaian yg khas,misalnya pada biarawan, kiai, pandita, dan seterusnya. Bahkan pakaian pun bisa menaruh karakteristik dalam momentum tertentu seperti gaun pengantin, pakaian upacara kepercayaan atau pun sandang norma pada banyak sekali ritual.

Sandang menggunakan demikian secara paradoksal melampaui manusia penyandangnya. Tanpa pakaian, insan sebagai telanjang & terbatas. Ia kehilangan atributnya, ketiadaan predikat & lumpuh pada sistem sosialnya. Sandang menggunakan demikian menelanjangi manusia. Nilai-nilai sosial kemasyarakatan insan jadi melekat dalam pakaian yg dikenakan, bukan tertanam dalam manusia itu sendiri.

Di satu pihak manusia itu takut dalam ketelanjangannya. Maka ia berusaha menegaskan keberadaannya secara spesifik di tengah global menggunakan menyandang sandang yang mampu mengusung bukti diri kiprah yang beliau anggap sinkron. Tetapi tak jarang ketelanjangan itu sebagai paranoia yang mengubah insan menjadi konsumen terus menerus. Sandang menjanjikan pemenuhan identitas yang tidak pernah tuntas. Manusia berusaha memperkaya atribut, mempertahankan dan menaikkan predikatnya, mengejar pakaian yang semakin menaikkan nilainya pada warga .

Di lain pihak, lantaran pakaian sebagai penyandang martabat, nafsu kolonisasi, kecenderungan menguasai & menindas insan menyasar pada penelanjangan insan lain. Dalam epos Mahabharata, Kurawa berusaha mempermalukan Pandawa yang kalah bermain dadu menggunakan merenggut sandang Drupadi. Dalam aula raja-raja di Hastinapura keserakahan akan kekuasaan politik mengarahkan kekuatannya dalam kain sari seseorang perempuan .

Epos Mahabharata menjanjikan optimisme yang mendasar bagi kemanusiaan yang tidak dapat ditelanjangi. Sandang itu memang bernilai, meskipun ia tipis dan bersahaja seperti selembar sari atau kain batik, ia memuat keyakinan manusia bahwa dirinya bermartabat. Sandang bukanlah pemilik nilai tersebut, ia adalah penanda citra kultural manusia, pembawa pesan tentang harkat manusia, dan bukan harkat itu sendiri.  Seperti keajaiban dalam cerita Mahabharata di ruang permainan dadu, martabat manusia tak bisa digerus meski keserakahan berusaha menanggalkan semua atribut kemanusiaan.

Drupadi yang bersimpuh pada lantai aula para raja, tetap terjaga dalam keutuhan kemanusiaannya dan pada gilirannya keserakahan & nafsu menguasai politik Sengkuni & Kurawa akan tergerus oleh ketakutannya sendiri karena humanisme tak bisa ditelanjangi.

Senin, 11 Mei 2020

[EDITORIAL] PRO:AKTIF ONLINE NO 21/ DESEMBER 2018

Salam Transformasi!

Di penghujung tahun ini, Pro:aktif Online pulang hadir di tengah-tengah Anda. Setelah dalam dua edisi sebelumnya kita merefleksikan kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan & papan, sekarang kami mengajak pembaca sekalian buat merefleksikan ?Sandangdanquot; menjadi kebutuhan dasar manusia.

Manusia mengenakan sandang atau pakaian untuk berbagai hal antara lain: melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun panas, kesopanan, mendukung tubuh untuk melakukan berbagai aktivitas tertentu (misalnya: perenang, penyelam, koki (chef), tukang las, pegawai pabrik, dan sebagainya) atau sebagai penunjuk identitas budaya atau kelompok tertentu. Namun demikian, dalam proses produksi sandang terdapat beberapa masalah terkait lingkungan maupun manusia yang mendukung pengadaan sandang tersebut.

Maka, dibalut pada tema ?Tantangan Pemenuhan Kebutuhan Sandang pada Masa Kini? Kami sajikan artikel-artikel yg diharapkan dapat membuka wawasan para pembaca sekalian buat tahu lika-liku proses penyediaan kebutuhan sandang dikaitkan dengan gosip lingkungan yg berkelanjutan juga kesetaraan bagi insan yang terlibat di dalam setiap termin prosesnya. Mari kita simak citra artikel edisi kali ini.

Rubrik PIKIR yg dibawakan oleh Umbu Justin menggelitik kita menggunakan pemikiran mengenai sandang menjadi indera pendukung pencitraan manusia, tetapi di saat yang bersamaan, ia begitu cepat & gampang dilucuti, sehingga citra insan seolah-olah cepat jua berganti. Hal yg paling menggelitik dari artikel ini, adalah hubungan antara prestise manusia dengan sandang yg dikenakannya. Apakah martabat manusia bisa berubah-ubah secepat atau semudah bergantinya pakaian di tubuh kita?

Rubrik MASALAH KITA dibawakan oleh Any Sulistyowati, yg menuturkan tentang pertarungan seputar produksi hingga konsumsi pakaian dikaitkan menggunakan dampaknya terhadap lingkungan dan peradaban manusia. Ia menghadirkan sejumlah faktor penghambat insan pada mengonsumsi pakaian ramah lingkungan & berkelanjutan. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, penulis memberikan saran buat menyikapi hambatan-kendala tersebut supaya tercapai pemenuhan kebutuhan sandang yang lebih ramah bagi lingkungan maupun rakyat.

Rubrik OPINI menghadirkan artikel menurut Angga Dwiartama yang menelisik rantai produksi pakaian di masa sekarang. Ia mengajak pembaca buat kilas kembali bepergian industri pakaian global semenjak sebelum revolusi industri hingga diciptakannya prosedur yang memungkinkan sandang disajikan menggunakan cepat di hadapan konsumen. Dalam proses penyajian secara cepat itu, Angga memotret banyak sekali ketimpangan yang rupanya merugikan lingkungan maupun insan-manusia yg terlibat pada dalamnya. Di akhir artikel, Angga menekankan pentingnya kiprah pada ujung rantai produksi-konsumsi pakaian, yaitu konsumen itu sendiri.

Rubrik TIPS menghadirkan artikel yang ditulis sang Any Sulistyowati. Artikel ini membahas mengenai penggunaan popok bayi. Ia menuliskan mengenai kelebihan & kekurangan dua jenis popok, yaitu popok sekali gunakan & popok kain. Titik berat primer dari artikel ini adalah pada langkah-langkah praktis penggunaan popok kain yang diyakini meminimalkan potensi kerusakan lingkungan dibandingkan penggunaan popok sekali gunakan.

Rubrik MEDIA dibawakan sang Jeremia yang menulis ulasannya mengenai sebuah film berjudul True Cost. Di pada film tadi digambarkan tentang biaya produksi sandang yang semakin tinggi pesat dalam 15 tahun terakhir, namun produk pakaian yang dihasilkan dijual menggunakan harga murah & perusahaan pakaian masih menerima laba yg cukup besar . Pembuat film ini, Andrew Morgan dan para pendukungnya, melakukan penelitian dan pendokumentasian tentang porto-biaya ?Lainnya? Yg ditekan secara luar biasa demi meraup keuntungan yg demikian akbar.

Rubrik JALAN-JALAN dibawakan oleh Yosepin Sri Ningsih. Dari carut marut industri sandang yang membawa kita semua pada keprihatinan isu lingkungan maupun keadilan dan kesetaraan manusia, Yosepin membawa kita pada geliat aktor-aktor yang membawa harapan baru terwujudnya proses produksi ramah lingkungan, serta memberdayakan manusia yang terlibat di dalamnya. Dua aktor yang digambarkan dari artikel ini, yaitu Kana Goods dan Bixa Batik, telah mewakili sekian banyak pelaku produksi sandang yang keluar dari mainstream produksi sandang masa kini.

Kait Nusantara, yang dibawakan oleh Nita Roshita dalam Rubrik PROFIL, juga merupakan aktor pembaharu pada gerakan produksi pakaian ramah lingkungan. Didukung oleh 5 wanita dengan latar belakang pendidikan yang tidak sinkron, Kait Nusantara bergerak memberdayakan masyarakat pada pedesaan untuk secara arif menyelamatkan asal daya alam yg ada pada desa, sekaligus manfaatkan asal daya alam menjadi produk yang bernilai gunakan.

Sebagai pendukung gerakan pakaian ramah lingkungan dan setara bagi manusia yg terlibat pada dalamnya, Kail tentu mempraktekkan prinsip-prinsip keberlanjutan pada pengelolaan produk sandang pada Rumah Kail. Oleh karena itu, Rubrik RUMAH KAIL yang dibawakan oleh Didit Indriati memberikan pengalaman Kail dalam pemanfaatan produk pakaian. Pengalaman ini tertuang dalam aktivitas-aktivitas bersama rakyat sekitar, aktivis juga pada praktek keseharian di Rumah Kail itu sendiri.

Akhir kata, holistik artikel pada edisi ini diperlukan menginspirasi kita semua,yaitu: (1) dimulai dari penelusuran sejarah produksi pakaian global, sampai perubahan yang terjadi di masa sekarang yang sudah berperan dalam penurunan kualitas alam dan manusia. (2) berlanjut dalam tawaran solusi yg perlu segera dipraktekkan, yaitu penyadaran bagi tiap individu, yang dalam hal ini adalah konsumen sandang. Sebagai konsumen, kita sadar, bahwa pada setiap pilihan & tindakan kita telah turut berkontribusi kepada kualitas alam maupun sesama insan, dan (3) penyadaran tadi telah mengakibatkan beberapa aksi konkret berdasarkan beberapa pihak yg mengupayakan produksi sandang ramah lingkungan, kita perlu mendukung & sebisa mungkin menularkan aksi positif tadi kepada semakin poly orang.

Akhir istilah, seiring menggunakan semangat pergantian tahun, ayo mulai upayakan agar kita semua semakin merogoh tanggung jawab terhadap pilihan & tindakan yang herbi pemenuhan kebutuhan pakaian buat mendorong tercapainya kualitas hayati insan yang lebih baik serta selaras dengan alam.

Navita K. Astuti

Cloud Hosting Indonesia