Tampilkan postingan dengan label Masalah Kita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masalah Kita. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Agustus 2020

[Masalah Kita] Benarkah aktivis selalu bermasalah dengan keluarga?

MASALAH-MASALAH AKTIVIS
Gerakan mahasiswa berkembang sangat pesat dalam saat bergulirnya berita reformasi. Salah satu titik klimaks gerakan mahasiwa terjadi pada bulan Mei 1998, yakni dalam waktu mahasiswa melakukan pendudukan gedung DPR/MPR, menuntut mundurnya Soeharto. Hingga sekarang gerakan mahasiswa masih terus bergulir, dan bahkan demonstrasi sebagai wahana komunikasi yg dirasa relatif efektif oleh sebagian akbar orang, terutama saat mengalami kebuntuan komunikasi.

Berbagai sinyalemen dan komentar dari tokoh pun timbul terhadap gerakan mahasiswa tadi, misalnya Eep Saefulloh Fattah. Dalam sebuah goresan pena surat berita dikatakan sang beliau bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan yg sebetulnya wajar namun sayang sering dilakukan secara tergopoh-gopoh. Hal ini ditegaskan jua oleh seorang pengamat gerakan mahasiswa dari kalangan mahasiswa sendiri, yang mengungkapkan bahwa sering gerakan mahasiswa terjebak pada kerangka ?Ketidaksabaran?.


Ketergopoh-gopohan & ketidaksabaran tersebut bukanlah merupakan kenyataan sosial semata. Tetapi apabila diamati lebih jauh, syarat tersebut bisa menyiratkan adanya ekspresi ketidakmatangan yg secara kolektif melanda para aktivis gerakan mahasiswa.


Berbagai pengalaman perjumpaan secara personal kiranya bisa semakin menguatkan hal tadi pada atas. Seringkali dijumpai seorang aktivis mahasiswa yang di depan podium bisa bersuara dengan lantang, menyuarakan suara warga , tetapi menjadi pribadi yang begitu pemalu, ragu-ragu, pesimis, & begitu tertutup ketika wajib berhadapan seorang diri menggunakan sekelompok orang-orang baru.


Mantan seorang koordinator gerakan mahasiswa pada Surabaya, mengatakan bahwa rata-homogen aktivis gerakan mahasiswa kurang memiliki kemampuan buat mengkomunikasikan aktivitasnya, terutama menggunakan pihak famili. Hal ini ditimbulkan adanya perbedaan cara pandang akan makna tugas dan kewajiban mahasiswa, perbedaan kepentingan antara orang tua menggunakan si anak, serta perbedaan orientasi.


Hal-hal tersebut di atas semakin meruncing sebagai sebuah permasalahan, waktu akhirnya aktivis lebih menentukan melakukan menggunakan pilihannya sendiri daripada mengkomunikasikan tetapi ujung-ujungnya berkonflik. Aktivis menjadi orang muda tentu mempunyai kebutuhan buat memperlihatkan keberadaan diri, buat mengaktualisasikan kemampuan dan cita-cita eksklusif. Pertanyaannya adalah sejalankah kebutuhan aktivis sebagai orang belia ini dengan famili?


Terkomunikasikan secara terbukakah harapan-impian aktivis menjadi langsung yang sedang berkembang ini?


TUNTUTAN KELUARGA
Keluarga, khususnya orang tua adalah figur yang kiranya paling bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anaknya. Masa depan seseorang anak adalah nir terlepas berdasarkan proses pendidikan yang ditempuhnya dan pola pergaulan yg melingkupinya. Hal ini karena pola pendidikan dan pola pergaulan merupakan adalah faktor yg memberikan donasi relatif besar bagi terbentuknya pola pikir seseorang akan masa depan, bahkan lebih jauh akan makna kehidupan seseorang.


Oleh karenanya, wajar kiranya jika proses pendidikan formal menjadi tolok ukur bagi para orang tua akan keberhasilan seseorang anak. Orang tua akan merasa lega, merasa berhasil, dan merasa telah menuntaskan tugas & tanggung jawabnya adalah ketika melihat si anak bisa menyelesaikan pendidikan formalnya dan memperoleh pekerjaan yg sesuai dengan bidang keilmuan dengan kompensasi yg layak. Ringkasnya paradigma keberhasilan para orang tua merupakan saat si anak sanggup hidup seperti orang lain, hayati misalnya rakyat pada umumnya.


Sehingga, buat mendukung keberhasilan tersebut, seringkali kita jumpai para orang tua yg rela bekerja keras, bahkan mungkin rela buat berpisah menggunakan famili dalam kurun saat yang relatif usang, demi merogoh tanggung jawab menjadi orang tua.


Paradigma keberhasilan tersebut semakin dikuatkan jua sang harapan dan penilaian dari warga . Bagi orang tua keberhasilan dan kegagalan dalam mendidik anak sebagai hal yang sangat krusial, karena kerangka berpikir keberhasilannya dalam mendidik dan membesarkan anak, akan sangat mensugesti bagaimana warga memandang dan memberikan evaluasi terhadap suatu keluarga tertentu.


Wajar kiranya, apabila lalu para orang tua menuntut si anak buat ?Membalas?Segala jerih payah tadi. Tuntutan yg sebenarnya tidak begitu tinggi. Tetapi permasalahannya merupakan terletak dalam kerangka berpikir keberhasilan, bahkan lebih jauh adalah kerangka berpikir ?Balasan? Atas budi jasa para orang tua.


FAKTA AKTIVIS DI INDONESIA
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Patricia Siswandi terhadap 10 orang responden yg dari menurut aneka macam wilayah yg tersebar pada daerah Jawa Timur, menyampaikan bahwa 9 orang responden mempunyai kasus dalam hubungannya dengan keluarga. Area perseteruan yang terungkap pada penelitian ini jumlah terbesar adalah area pertarungan menggunakan famili, daripada dengan teman atau menggunakan pihak atasan atau pimpinan kerja.


Sementara itu penelitian tersebut pula melihat lebih jauh kebutuhan-kebutuhan fundamental yang terpendam pada diri 10 orang responden tadi. Ditemukan bahwa sebagian akbar responden mempunyai kebutuhan yang rendah buat beprestasi, tetapi justru kebutuhan untuk memperlihatkan keberadaan diri yang relatif tinggi.


Artinya, aktivis-aktivis mahasiswa di Indonesia adalah adalah deretan orang-orang muda, yg mempunyai impian yg cukup besar untuk mendapat pengakuan baik dalam lingkungan pergaulan, lingkungan famili, juga lebih jauh lingkungan sosial. Komunikasi yang tidak pernah tuntas dalam lingkup famili, mengakibatkan aktivis lebih menentukan mencari media-media lain pada luar lingkungan keluarga, yg lebih mampu menaruh ketenangan baik secara batin juga fisik pada para aktivis.


Hal ini sebagai ironis, manakala kebutuhan eksistensi diri tadi nir diimbangi sang adanya kebutuhan berprestasi. Sehingga, kebutuhan akan pengetahuan bukan sebagai hal yang krusial. Ketika yg terjadi demikian, maka semakin kuatlah konklusi bahwa kebutuhan keberadaan diri yg sangat tinggi pada kalangan para aktivis pada Indonesia, adalah dikarenakan tidak terpenuhinya kebutuhan keberadaan ini pada lingkup terkecil, yakni keluarga, dan bukan berangkat dari pemaham utuh akan kepedulian ataupun keberpihakan pada dilema masyarakat luas.


Sehingga tidaklah mengherankan, bila sebagian akbar aktivis mahasiswa kurang memiliki kesadaran yg tinggi terhadap motivasi yang melatarbelakanginya buat terjun ke dalam dunia gerakan. Pertanyaan-pertanyaan senada, biasanya lebih tak jarang kita dengar dengan jawaban: karena hobby, karena diajak teman, karena senang, dan sebagainya.


Oleh karena itu, masuk akal kiranya waktu rona berdasarkan gerakan mahasiswa pada Indonesia, dievaluasi oleh beberapa pengamat menjadi gerakan yg tergopoh-gopoh, gerakan yang kurang diikuti oleh sebuah pemikiran jernih, yg berfokus pada kepentingan jangka panjang.


JALAN KELUAR
Suatu ungkapan sederhana yang kiranya perlu direnungkan beserta,?Orang tua pernah menjadi anak-anak di jamannya, tetapi anak-anak belum pernah menjadi orang tua?. Pokok permasalahan, kesenjangan komunikasi yang terjadi pada kalangan keluarga para aktivis, sering disebabkan sang para orang tua memperoleh keterangan terbanyak dari pengamatan-pengamatan yang tampak dari luar, didukung pula sang pemberitaan-pemberitaan media massa.


Konfirmasi yang dilakukan para orang tua terhadap anak-anaknya yang terjun pada global gerakan mahasiswa, acapkali tidak menemukan jalan keluar, hal ini dikarenakan para aktivis seringkali mengalami kendala utnuk mengungkapkan alasan mengapa dunia gerakan mahasiswa sebagai krusial bagi dirinya.


Bagi orang tua yang tampak adalah pendidikan formal yang seharusnya krusial, justru ditinggalkan oleh anak-anaknya yang terjun dalam global gerakan mahasiswa. Dunia gerakan yg penuh dengan resiko, bahaya, justru sebagai pilihan anak-anaknya. Pertanyaan yg seringkali tidak terjawab bagi para orang tua merupakan mengapa demikian?


Komunikasi yg terputus, mengakibatkan orang tua mencari tahu menggunakan caranya sendiri, akhirnya yang diketahui adalah liputan dari luar diri si anak. Oleh karenanya komunikasi dalam lingkungan famili para aktivis bisa jalan manakala seorang anak mampu mengkomunikasikan motivasi dasar yang muncul pada dirinya, yang menggerakkan dirinya untuk terjun dan berbuat sesuatu yg lebih nyata dalam masyarakat.


Pilihan antara sekolah formal & global gerakan mahasiswa merupakan sesuatu yang sulit, satu sama lain saling menaruh donasi bagi perkembangan seseorang. Pendidikan formal sanggup menaruh pengetahuan secara tak berbentuk, dan global gerakan mahasiswa justru adalah media buat melakukan pengecekan akan semua data & teori abstrak yang kita peroleh.


Oleh karenanya, bukanlah melakukan pilihan atas dua hal tersebut yg penting, namun justru bagaimana seseorang aktivis bisa menyeimbangkan ke 2 pilihan tersebut menjadi sebuah pilihan yg saling mendukung. Orang tua kiranya nir mempersoalkan bagaimana si anak menjalani & mengisi masa-masa mudanya, akan tetapi yang terpenting merupakan anak mampu merampungkan tuntutan orang tua.
(Patricia Siswandi)




HEADLINE TV (hdtv.co.id) terus berupaya meningkatkan wawasan dan pengetahuan para pemirsa dan juga menjadi media yang memiliki kredibilitas, kecepatan dan ketepatan dalam menyampaikan informasi di Kalimantan


hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv hdtv

Rabu, 05 Agustus 2020

[MASALAH KITA] Pergulatan dan Dialektika Aktivis Perempuan

Dengan makin kuatnya tuntutan arus demokrasi, dibarengi krisis yg melanda negeri ini, yg makin diperparah dengan tanggapan pihak penguasa lewat rekayasa & teror kekerasan; kesadaran & gerakan masa warga yang selama ini mengalami ketidakadilan dan ketertindasan menjadi makin terlihat. Termasuk para bunda yg tergabung dalam SIP (Suara Ibu Peduli) mulai memasuki kancah publik menggunakan menggunakan gosip domestik buat memperjuangkan keprihatinan mereka. Isu SARA yg dipakai untuk menghidupkan kerusuhan di banyak sekali wilayah pada negeri ini, yg berpuncak pada bencana Mei 1998 makin memperkuat solidaritas para perempuan dan juga laki-laki buat beranjak. Aktivis-aktivis muda dan tua bangkit pulang, bersama-sama berkecimpung menantang teror, rekayasa & kekerasan ini. Realita ketidakadilan sosial yang dialami mulai dikaitkan & dimintakan pertanggungjawaban lewat ideologi negara dan kepercayaan serta budaya.

Kail berkesempatan mewawancarai 7 orang ibu yang aktif dalam JMP (Jaringan Mitra Perempuan) mengenai pergulatan dan tanggapan mereka pada menyiasati konstruksi sosial (melalui keluarga, budaya dan negara) tentang Kedanquot;ibu"an mereka, khususnya pada menjalankan peran mereka sebagai aktivis.


Konstruksi sosial mengenai ?Ibu?
Dari ketujuh responden, konstruksi sosial famili-lah yg pertama-tama mereka alami & paling berpengaruh bagi pembentukan gender mereka, yg tercerap pada ihwal, pikiran, pemahaman, perilaku dan tindakan mereka baik secara langsung maupun sosial. Dari keluargalah (terutama berdasarkan bunda & relasinya menggunakan ayah & kakek mereka), mereka belajar buat sebagai seorang wanita, dan kelak sebagai seseorang istri & ibu. Ajaran, larangan & nilai-nilai yg disosialisasikan kadangkala tidak eksplisit, tapi sebagai model hidup yang harus mereka teladani. Dari ke 7 responden ini kebetulan 5 dari mereka kebetulan dari menurut Jawa Tengah (orang Jawa), sebagai akibatnya budaya Jawa yang patriarkhis mendominasi skenario hayati mereka. Dua orang lainnya yg beretnis Tionghoa juga membicarakan bagaimana tradisi sebagai unsur yg mayoritas pada konstruksi sosial mereka.

Sumber gambar: Kompas, 1 Oktober 2003, laman 2.

Pada konteks Indonesia, negara mengambil alih pendefinisian makna masyarakat negara perempuannya. Pada masa Orba, perempuan diideologikan menggunakan bahasa yang mempesona & diberi peranan mendukung pada (proyek) pembangunan. Pengideologian ini berhasil menciptakan bukti diri wanita dalam berbagai bentuk pemuliaan semu dengan karakteristik utamanya adalah kepatuhan. Konstruksi keibuan ini adalah deretan konsep budaya Jawa dan Belanda (Sears, Laurie. Introduction: Fragile Identities, dalam Sears, L (Ed). Fantasizing The Feminine in Indonesia. London: Duke University Press. 1996. Hal 33). Selama ini negara cenderung memanipulasi konsep wanita sebagai "istri", " ibu", atau keduanya, tergantung kebutuhan. Misalnya melalui Dharma Wanita, peran perempuan jelas-jelas secara struktural dianggap menjadi pendukung karir suami, seolah-olah perempuan tidak mempunyai pekerjaan & karir sendiri. Demikian jua mobilisasi massa wanita buat mensukseskan acara pembangunan, baik secara sukarela juga paksaan, melalui program PKK, Posyandu dan Keluarga Berencana.
Konstruksi sosial tentang wanita, khususnya sebagai istri & bunda ini disadari benar oleh para aktivis ini, dan banyak dari mereka yang menginternalisasinya selama ini. Misalnya, Bu Pratiwi wajib siap menggunakan resiko dicerca atas pemberontakannya sebagai aktivis sebagai konsekuensi menurut menjadi bagian menurut famili yang termasuk birokrat.


Pergulatan & Dialektikanya
Konstruksi sosial yg ditanamkan ternyata membawa impak yang tidak sama dan ditanggapi secara tidak selaras dalam masing-masing individunya. Beberapa dari mereka bahkan tak jarang dihinggapi rasa bersalah dan merasa bukan perempuan , bahkan sebagai "sakit jiwadanquot; lantaran konsep ke-mak -an yang dikonstruksikan bagi mereka.


Bagi Bu Pratiwi contohnya, konstruksi ini menciptakan dia frustasi dan sempat merasa bukan perempuan (sempurna) karena tidak mampu mengurus rumah dan nir sanggup masak; lantaran konsep perempuan ideal yang selama ini diajarkan adalah bahwa perempuan mesti sanggup mengurus urusan tempat tinggal , mengolah, mencuci & menjahit. Perasaan ini makin bertenaga ketika belum kunjung punya anak. Tapi setelah terdapat perubahan pandangan, ternyata hayati menjadi perempuan dirasakan lebih nyaman, tidak terdapat keharusan yg ditentukan dari luar, sehingga tidak sebagai kaku. Proses perubahan kerangka berpikir itu membuat ia lebih mendapat orang apa adanya. Perubahan ini diperoleh berdasarkan kecintaannya pada buku, lewat pergaulan dengan teman-sahabat aktivis wanita, lewat pergaulan menggunakan JMP dan dengan mengobrol. Suami Bu Pratiwi yg orang Kalimantan, sedikit poly pula berperan dalam proses penerimaan diri dan perubahan paradigma ini. Budaya dan eksklusif oleh suami yg nir mengambil peran stereotipe dan kaku mengenai seseorang suami & bapak, walaupun dengan kekeraskepalaannya sendiri, sudah membangun sebuah dialektika tersendiri bagi kehidupan famili mereka sebagai sesama aktivis.
Bu Lim, kebalikannya, dengan suami yg sangat patriarkhis, mengalami pergulatan yang lebih berat buat berdialektika menggunakan pemahaman barunya mengenai relasi wanita & pria. Aktivitas & perjuangannya menjadi aktivis wanita tidak berarti beliau mampu membarui atau mempengaruhi suaminya semudah itu. Perlu ada taktik & perundingan eksklusif sehingga sedikit-sedikit mereka berproses bersama menuju rekanan yang lebih setara. Pengakuan akan eksistensi diri & perjuangannya hanya mampu dicapai menggunakan taktik yang nir frontal, nir dengan marah-marah, tapi justru menggunakan kepekaan & pengenalan diri pasangannya, fleksibilitas dan kelincahan berbahasa.
Strategi dan perundingan yg cerdik ini juga diterapkan sang Yani dalam menghadapi suaminya yg patriarkhis & cenderung nir setia. Hanya pada hal pendidikan anak, mereka bisa mencapai kesepakatan , & hal inilah yang sebagai titik berangkat bagi Yani buat mempertahankan keluarganya. Pengalamannya hayati dalam konstruksi famili Jawa yang patriarkhis & feodal, yang ia internalisasi pada paruh waktu kehidupan tempat tinggal tangganya, ternyata menciptakan ia merasa menjadi "sakit jiwa", terguncang dan capek sekali. Ia malah mengakibatkan dirinya orang lain, sebagai terasing dari dirinya sendiri. Kesempurnaan peran istri yg dia jalankan menurut idealisasi konsep istri dan mak yang dikonstruksikan budaya, keluarga & negara nir menciptakan ia terlepas menurut korban ketidakadilan menurut suaminya & keluarganya. Pengalaman menyakitkan ini untungnya tidak dia tanggapi dengan berputus harapan dan pasrah saja. Didukung sang rekan-rekan aktivisnya, ibunya dan terutama keyakinan dan kemauan dirinya, Yani mampu mengganti pengalaman ketertindasannya sebagai momen buat memberdayakan kembali dirinya. Proses jatuh bangun yang dia alami tidak menyurutkan langkahnya buat terus bertahan & membantu orang lain buat berjuang jua. Kunci menurut proses pendewasaannya merupakan kerelaan & kerendahan hati untuk memberi kesempatan bagi dirinya & orang lain buat menerima yg terbaik, kerendahan hati buat belajar dan permanen memiliki asa. Semuanya asal menurut kekuatan Iman dan Kasih.
Lain lagi menggunakan Bu Wati, dialektika relasinya dengan suami dan anak, serta menggunakan keluarga kedua belah pihak terjadi lewat percakapan yg ada lantaran kebutuhan simpel. Misalnya masalah pembagian peran pada rumah tangga serta tanggung jawab & pengambilan keputusan. Beruntung memang, suaminya relatif gampang diajak berkompromi dan berproses bersama, walaupun proses ini tidak terlepas menurut pertarungan dan tegangan. Masalah kegiatan pada luar rumahnya yg menuntut mobilitas tinggi sudah dinegosiasikan jauh sebelumnya dengan suaminya, sebagai akibatnya nir lagi menjadi potensi konflik di kemudian hari.
Perasaan bersalah tak jarang kali sebagai bagian berdasarkan diri Bu Ambar waktu konstruksi itu ia internalisasi. Otonomi diri dipercaya identitik dengan egoisme, & itu antagonis dengan kasih - yg seharusnya dimiliki oleh seseorang ibu. Tuntutan-tuntutan yg diberikan pada seseorang ibu dirasakan olehnya terlalu berat & membebani, merasa terbelenggu, stress dan merasa "diperbudak". Kesadaran akan ketidakadilan gender akibat konstruksi budaya khususnya, mulai dirasakan lewat bacaan dan cerita tentang wanita Jawa; terutama jua lewat pengalaman konkretnya. Selanjutnya pencerahan itu mulai disosialisasikan lewat tulisan-tulisan dan lewat aktivitasnya di JMP.
Perasaan bersalah pula hinggap di hati Bu Sri, lantaran ia nir mampu mengolah. Tapi ini wajib dia bayar dengan mengkompensasikan menggunakan kesempurnaan pekerjaan tempat tinggal tangga lainnya dan dengan menaruh pekerjaan memasak ini pada pembantunya. Ketakutan jika-jikalau dia tidak sanggup membahagiakan suaminya serta ketakutan buat memilih, serta keharusan buat berbasa-basi makin dirasakan melelahkan. Keterlibatannya di JMP telah membawa perubahan, termasuk cara berelasi dengan suaminya. Ia menjadi lebih berani untuk menentukan perilaku, lebih terbuka & mampu mengambil posisi sebagai pribadi. Perubahan ini dirasakan lebih membebaskan, nir lagi stress; bisa mendengarkan orang lain dan menghargai mereka. Selain itu juga belajar mendapat disparitas dan nir memaksakan kehendak, lebih inklusif dan tidak feodal. Yang penting bagaimana kegiatan di luar tempat tinggal nir membuat keadaan di tempat tinggal menjadi berkonflik.


Bagi para ibu yg aktivis ini, perjuangan visi mereka menjadi aktivis nir terlepas dari proses dialektika mereka pada tempat tinggal tangga mereka sendiri. Keberhasilan mensugesti dan membawa perubahan yang lebih baik dalam rekanan mereka sendiri, tidak berarti bahwa kini giliran mereka buat mendominasi atau sewenang-wenang, akan tetapi justru lebih dalam penghormatan, kesetaraan dan penerimaan serta keterbukaan akan orang lain.


Akhir Kata?.
Pilihan sebagai seseorang aktivis tidaklah mudah. Dilahirkan menjadi seseorang perempuan pada budaya & sistem yg patriarkhis jua tidak gampang. Maka, sebagai wanita sekaligus aktivis sebagai kesulitan dan tantangan tersendiri, apalagi bila beliau memperjuangan keadilan dan perubahan bagi ketertindasan kaumnya sendiri. Permasalahan dan pergulatan yang dihadapi membutuhkan proses panjang dan kerjasama berdasarkan pasangannya, menurut warga dan perlu dukungan menurut institusi negara, budaya dan pula kepercayaan . Siasat dan taktik yg tidak konfrontatif, kreatif & fleksibel diperlukan dalam usahanya buat mendekonstruksi simbol & pemaknaan konsep yang terlanjur dipercaya kodrat selama ini.


Upaya transformasi & perubahan paradigma ini hanya mungkin ditempuh dengan berjejaring dan membentuk solidaritas beserta pada gerakan beserta: wanita dan pria. Semuanya mungkin buat dilaksanakan & bertahan, karena terdapat roh yg menggerakkan mereka. Seperti yang dikemukakan Pratiwi, bahwa dia melakukan semuanya ini karena dorongan hati, serta kepedulian terhadap manusia. Kepedulian ini pula yang menggerakkan Wati, lantaran beliau ingin lebih banyak orang yang punya kepedulian terhadap masalah-perkara yg kita hadapi, sehingga tercipta dunia baru yg lebih adil. Visi ini diteguhkan sang semangat dan ajaran yang beliau yakini, yaitu mengenai Kasih & pengampunan.


Semoga saja semangat kasih yang demikian kuat didengungkan & dimaknai pada rekonstruksi konsep ke-bunda-an para aktivis ini pula bergema dan menyemangati kita & para aktivis lainnya, tidak hanya terbatas dalam rekanan antar perempuan dan laki-laki , akan tetapi jua rekanan kita menggunakan alam lingkungan kita!


(Intan Darmawati)






































Selasa, 04 Agustus 2020

[MASALAH KITA] Mengapa hanya sedikit perempuan yang menjadi aktivis?



David kuliah pada Jurusan Biologi, pada mana 70% mahasiswanya merupakan wanita, tetapi dari lebih kurang enam tahun masa studinya, hanya sekali wanita sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Biologi. Setelah itu ia membuat LSM yg memiliki acara relawan, yg secara umum dikuasai perempuan . Dari ratusan relawan yang lalu direkrut menjadi staff, yang lalu berkomitmen & bertahan lebih menurut lima tahun seluruh laki-laki . Ia juga berkawan dengan banyak aktivis yang pula wanita, dan sayangnya? Sesudah menikah, mereka berhenti. Fenomena apakah ini?


Fenomena serupa ternyata nir hanya terjadi pada dunia aktivis saja, namun pula terjadi pada panggung politik bangsa kita, pada mana dominan penduduknya juga wanita. Sampai-hingga pada pemilu tahun 2004, setiap partai wajib mempunyai calon perempuan minimal 30%.

Meskipun terdapat pesimisme apakah wanita-wanita itu sahih-benar mempunyai perspektif gender, menjadi langkah awal keputusan ini perlu disambut baik. Hal serupa terjadi di sektor ekonomi, pendidikan, agama & teknologi. Beberapa institusi internasional telah membuat aturan keseimbangan gender di organisasinya. Demikian juga beberapa perusahaan internasional yang selama ini dipercaya daerah kerja laki-laki , contohnya perusahaan-perusahaan tambang, mulai mengutamakan peluang kerja bagi wanita-perempuan . Meskipun demikian permanen saja, sektor-sektor tersebut didominasi oleh pria. Apakah tidak terdapat wanita yg relatif berkualitas buat mengisi posisi-posisi krusial pada sektor-sektor tersebut?

Gadis Arivia pada bukunya Filsafat berperspektif Feminis menuliskan hal serupa jua terjadi pada global filsafat. Filsafat yang tercatat dalam sejarah semenjak zaman Yunani, hampir seluruh pria. Dalam buku tersebut, ia menuliskan bahwa hal tersebut tidak berarti perempuan tidak berkualitas atau tidak bisa berfilsafat, melainkan sengaja dipinggirkan dari panggung filsafat melalui anggaran main yang terdapat.


Bagaimana dengan peluang yang terbuka luas, misalnya di sektor ekonomi & politik tadi? Jawabannya, hidup kita tidak hanya dipengaruhi sang faktor ekonomi dan politik. Demikian jua waktu seorang perempuan membuat keputusan buat terlibat/tidak terlibat dalam satu aktivitas, contohnya menentukan pekerjaan. Keputusannya nir akan semata-mata dipengaruhi sang faktor ekonomi & peluang yg ada. Dalam melakukan pilihan aksi, seseorang aktivis perempuan ditentukan sang banyak hal. Sedikitnya terdapat tiga faktor yang memiliki efek cukup besar bagi pengambilan keputusan seseorang aktivis perempuan , yaitu: keluarga, budaya & agama.


Keluarga
Entah itu nasib, takdir atau pilihan bebas, banyak wanita yg mengutamakan keluarga di atas karirnya. Banyak sekali perempuan yg berhenti berkarir sehabis menikah, sibuk menggunakan pekerjaan domestik dan melupakan kiprahnya dalam kehidupan sosial. Karir mereka identik dengan sukses suami & anak-anak mereka. Seringkali apabila oleh suami dan anak-anak gagal, wanita yang disalahkan lantaran dianggap nir becus sebagai istri & bunda.


Nilai inilah yg poly menghantui poly wanita, waktu mereka wajib mengambil pilihan-pilihan hidup, contohnya pekerjaan. Yang paling sebagai pertimbangan acapkali adalah apakah pekerjaan ini cocok untuk kehidupan anak-anak & suami mereka, dan bukannya apakah pekerjaan ini cocok buat mereka. Hidup mereka berpusat pada suami dan anak-anak, dan bukannya dalam panggilan mereka sendiri.


Sangat mengagumkan, apabila ada perempuan yg akhirnya dapat mengkombinasikan pilihan hidupnya dengan kepentingan suami dan anak-anaknya. Membagi hidup secara seimbang antara karir menggunakan keluarganya. Sayangnya, sangat sedikit wanita yg dapat hayati menggunakan cara ini.


Budaya
Budaya merupakan faktor kedua yg menghipnotis keputusan seorang wanita. Kalaupun famili intinya (suami & anak-anak) mendukung pilihannya, belum tentu beliau berani menghadapi cermin sosial yg asal dari rakyat yang lebih luas. Pertama, mungkin akan terdapat tekanan dari famili besar , ayah, mak , mertua, nenek, kakek, paman, bibi dkk. Kedua, kalaupun keluarga akbar sudah ok, masih ada tekanan menurut tetangga/rakyat tempat tinggal/kerja nya.
Tekanan ini dapat dilancarkan menggunakan berbagai alasan, misalnya care, peduli atau sayang sampai takut tersaingi alias sirik. Meskipun sepertinya tidak sama, sayangnya keduanya berujung sama, peminggiran perempuan berdasarkan pilihan hayati dan karyanya.


Agama
Agama merupakan faktor yang paling sulit dilawan dalam konstruksi sosial yg meminggirkan perempuan . Misalnya, ketika Megawati akan menjadi presiden, beliau dihadapkan dalam fenomena bahwa yang diangkat ke bagian atas bukannya apakah ia sungguh-benar-benar mempunyai kapasitas menjadi presiden, tetapi jenis kelaminnya. Lantaran pada kepercayaan Islam yg wajib menjadi pemimpin adalah pria.


Dalam banyak agama akbar, hak buat menjadi pemimpin & mendalami kepercayaan masih didominasi oleh laki-laki . Gereja Katolik masih melarang perempuan menjadi imam. Demikian jua dengan kepercayaan Islam. Agama Budha di banyak negara juga menerapkan pola yg sama, yg menjadi biku adalah laki-laki .


Lalu apa yg wajib dilakukan?
Lepas dari segala analisis yang rumit-rumit mengenai penyebab segala hal tadi, perempuan tetap harus merogoh perilaku. Sebagaimana pula pria & seluruh orang, wanita paling berhak atas pilihan hidupnya, atas masa depannya, atas pilihan karirnya. Pilihan-pilihan itu hendaknya didasarkan pada potensi maksimal kiprahnya sebagai bagian menurut umat insan, panggilan/perutusan uniknya buat berkarya pada global ini. Bukannya, dipengaruhi oleh keluarga, warga atau bahkan kepercayaan .


Pertama-tama, beliau harus menjernihkan dan mendengarkan suara hatinya, menemukan arah hidupnya, apa kiprahnya menjadi insan. Kedua, ia butuh keberanian buat menghadapi cermin sosial. Berani menyampaikan nir, buat sesuatu yg merusak pelaksanaan visi & misi hidupnya. Tentu saja ini sulit, apalagi pada termin awal. Lantaran itu langkah ketiga menjadi krusial, yaitu menemukan komunitas sevisi. Dalam komunitas sevisi, wanita akan menemukan dukungan dalam bentuk persahabatan, sharing pengalaman, pengetahuan atau bahkan sekedar tempat curhat. Ini akan menguatkan bepergian beratnya melaksanakan misi hidup. Yang terakhir dan terpenting adalah hayati dengan komitmen. Lantaran tanpa komitmen yg kuat segala asa akan sia-sia. Komitmen jua berarti kesediaan menanggung resiko akibat pilihan-pilihan yg diambilnya, contohnya stereotipe dari masyarakat, perseteruan menggunakan keluarga & bahkan mengorbankan hidupnya sendiri untuk impian yang lebih besar .
(Any Sulistyowati)









































Minggu, 02 Agustus 2020

[MASALAH KITA] BEKERJA DENGAN KEYAKINAN

Motivasi orang buat bekerja tentu majemuk. Ada yg bekerja buat sesuap nasi, terdapat yg buat segenggam berlian, ada yg untuk idealisme ('panggilan' entah kemanusiaan entah religius). Kita sendiri mungkin bekerja buat & dengan alasan yg merupakan kombinasi berdasarkan berbagai faktor. Semua sungguh absah-absah saja.

Siang tersebut beberapa sahabat ngobrol-ngobrol mengenai kerja, profesionalisme, idealisme dan realita. Perdebatannya, jika kita bekerja profesional buat tujuan sosial (baca: buat NGO) apa oke saja kalau nir dihargai & tidak dibayar (diberi thank you pun nir!)? Atas nama sosial dan 'panggilan', apakah oke sebuah LSM akbar nir menggaji layak (jauh dibawah UMR) staf atau volunteernya? Apalagi banyak LSM yg berteriak-teriak soal HAM, hak buruh, hak sosial ekonomi pada luar akan tetapi terhadap staf atau orang-orang yg membantu mangkat -matian malah memberi janji bukan bukti. (Contoh konkret poly! Ini sdh pendapat generik di publik non LSM).


Ada teman yg mencoba membela image LSM dengan menjatuhkan perusahaan (corporate). Seraya mengkerutkan kening, beliau mencela sebuah konsultan public relation yang, 'mau-maunya kerja menciptakan publikasi buat konglomerat & pejabat?!' saat perdebatan memanas, saya hanya bisa amanah dengan apa yang saya pikir dan rasakan, 'Lu boleh makan itu idealisme, tapi kalo kepepet nggak bisa bayar uang sekolah anak, gue nggak akan membuat malu jadi standguide lagi, pake rok mini senyum sana-sini dapat 200-300ribu rupiah satu shift! Masa bodo LSM, sama kaya VOC: kerja paksa tanpa bayar!'


Kami pulang dengan tertawa-tawa (maklum, baru kumpul-kumpul menggunakan sahabat usang). Tetapi ada penasaran tersisa untuk aku . Tak adakah pekerjaan yg mendamaikan keduanya: idealisme dan kebutuhan kesejahteraan keluarga? Masa kita harus memaksakan anggaran tidak boleh berkeluarga agar sanggup melayani sesama 24 jam tanpa bayaran?


Pikir punya pikir, apa pun pilihan kita, yang krusial sinkron hati (atau sinkron tujuan kita diciptakan ha..Ha..Ha..). Yang juga penting, kita yakin akan apa yg kita kerjakan. Kalau honor tinggi akan tetapi kita gak yakin 'produk jualan' kita...? Atau sebaliknya kita percaya kecap kita nomor satu akan tetapi disuruh kerja rodi, kerja seberat direktur akan tetapi gaji dibawah office boy? Beratlah...


Tiba-tiba saya teringat Eddie Rickenbacker, mantan penerbang Perang Dunia I, pendiri dan CEO Eastern Airlines (Amerika). Selain karena 135 kali luput dari maut, ia terkenal karena prinsip-prinsip manajemen bisnis dan personal. Dalam paper berjudul "My constitution", Rickenbacker menulis,
"I will always keep in mind that I am in the greatest business in the world, as well as working for the greatest company in the world, and I can serve humanity more completely in my line of endeavor than in any other."


Nah.... Apakah kita telah seyakin itu menggunakan pekerjaan atau pilihan kita.....?


(Dikutip berdasarkan e-mail yang dikirimkan oleh Adeline MT, 15 Maret 2004)




















Jumat, 31 Juli 2020

[MASALAH KITA] Tulang rusuk yang hilang? Refleksi hidup bersama seorang aktivis

Kami, tidak pernah bercita-cita jadi aktivis, tapi melihat kondisi yang ada di sini, kami terpanggil untuk itu. Pada akhirnya, teman-teman jugalah yang menyandangkan gelar aktivis itu ke bahu kami”.
(Seorang aktivis mahasiswa, Bandung, 1999)
Kami baru menikah bulan Februari yang lalu, pada saat dunia merayakan hari kasih sayang. Sebuah perhelatan sederhana namun meriah di halaman rumah orangtua saya menandai mulainya status saya sebagai seorang istri. Namun tak hanya itu. Istri dari seorang aktivis. Usai hingar-bingar perhelatan, mulailah kami menapaki hidup. Kami tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota Solo yang uang mukanya saja (bukan kreditnya) dicicil 13 kali oleh suami saya. Maklum, namanya juga aktivis, walau sudah lulus S1 sejak 1994, mana bisa membayar uang muka sekian belas juta sekaligus. Rumah ini, ketika Bapak saya berkunjung, diberi sebutan mewah-mabur, artinya, mepet sawah, madhep kuburan (dekat sawah dan menghadap kuburan). Geli juga, tapi itu sebutan yang tepat.

Rumah kecil ini tak jarang penuh dengan teman-sahabat yg seringkali berdiskusi dan bahkan bermalam disana. Wah, kadang aku senang berandai-andai buat membangun tempat tinggal ini jadi 2 lantai sehingga terdapat privasi bagi kami. Setidaknya agar begitu anak kami lahir, tidak perlu saling mengganggu antara asap rokok dengan tangis bayi. Tapi, mengingat pekerjaan suami, rasanya jua butuh waktu lama buat mewujudkan virtual itu. Lantaran buat makan sehari-hari saja, tak jarang aku harus lebih sering memutar otak kiri (buat belanja) daripada otak kanan (buat meracik hidangan) agar kebutuhan itu tercukupi. Sementara buat menghentikan kegiatan diskusi mereka, cita rasanya pula tak mungkin. Karena itulah jadwal malam hari kalau suami saya ada pada rumah selama 10 hari dalam sebulan. Yang 20 hari beliau bagikan buat teman-teman pada kota-kota lain dalam seminar-seminar, ceramah, lokakarya atau lainnya.
Itulah pengalaman saya menikah dengan seorang aktivis. Mungkin delapan bulan terlalu cepat untuk mengatakan bahwa saya tidak terlalu mempermasalahkan aktivitasnya. Atau, siapa tahu memang persoalan yang lebih pelik belum datang menimpa kami. Tapi melihat diri saya yang juga ‘sempat’ menjadi aktivis sebelum menikah (dan masih ingin tetap menggeluti aktivitas sosial setelah menikah), saya melihat setidaknya ada pengalaman berbeda yang dialami oleh kawan saya, yang notabene bukan aktivis, menikah dengan seorang aktivis. Dia seorang wanita karir yang cukup mapan secara ekonomi, namun pada akhirnya dia kesulitan mengikuti gaya hidup suaminya yang kelewat sederhana (sementara dia sangat trendy dan modis!). Untuk membeli barang baru pun ia harus berdiskusi panjang atau mendapat ceramah dari suaminya itu.
Lalu, apakah lalu menikah menggunakan aktivis (baik itu akhirnya menjadi sepasang aktivis juga satu aktivis dan satu bukan) menjadi penuh konsekuensi pada banyak sisi?
Apakah aktivis sosial itu? Apakah yg sebenarnya beliau lakukan? Apakah sebagai aktivis merupakan ?Panggilan?? Atau sekedar gengsi-gengsian? Saya pribadi mencatat, menurut pergumulan aku menggunakan aneka macam kegiatan sosial, aktivis dipandang menjadi sebuah ?Simbol kepahlawanan? Pada jaman ini. Ia timbul pada bentuk perlawanan, mulai dari sekedar merogoh loka sebagai oposisi sampai yang sangat radikal sekalipun, terhadap ketidakadilan. Tetapi ironisnya, juga pada catatan aku , aktivis yg selalu sebagai tumpuan semua pekerjaan melawan ketidakadilan itu nir pernah menerima apa-apa. Apakah ini kodrat sejatinya para aktivis sosial?
Aktivis Indonesia masih berkabung atas meninggalnya Munir, seorang pejuang HAM. Tetapi kematiannya masih menyisakan banyak pertanyaan saat orang mulai mengkaitkan peristiwa kematian ini dengan sejumlah aktivitas yg beliau jalani sebelumnya sebagai pilihan hidup. Sampai saat ini pun berbagai media seringkali diwarnai menggunakan berbagai tulisan mengenai hilangnya aktivis buruh, penculikan & penyiksaaan aktivis, teror & ancaman yang sedikit poly mengungkapkan situasi yang dihadapi oleh para aktivis tadi.
Namun sebagaimana kutipan pada awal tulisan ini, seingkali menjadi aktivis itu bukanlah impian sejak awal. Menjadi aktivis, acapkali dimulai berdasarkan sebuah ?Keterjebakan?, atau ?Kesadaran? Yg melahirkan ?Panggilan?. Suami aku bercita-cita menjadi masinis (saat masih mini ), insinyur teknik nuklir (sebelum kuliah) & bahkan seniman musik (saat kuliah). Saya sendiri juga bercita-cita sebagai insinyur yang bekerja di pertambangan minyak dan punya poly duit. Kini, tidak satupun berdasarkan ?Harapan? Kami itu tercapai.
Suami aku ?Tersadar? Pada bepergian hidupnya bahwa terdapat nilai yang lebih tinggi daripada sekedar menjadi insinyur teknik industri. Dia pun mengolah ?Panggilan? Itu (dan wajib rela berjarak menggunakan hobi musiknya) buat kemudian memilih jalan hayati sebagai aktivis sosial dan seorang pengajar hingga sekarang. Saya sendiri ?Terjebak? Waktu ingin mengenal dunia LSM lebih jauh. Bekerja menjadi peneliti pada LSM, mau tak mau aku dihadapkan pada segunung berita akan ketidakadilan dunia ini. Menutup mata? Tak mungkin. Itu hanya akan menipu hati nurani aku sendiri, yg sebenarnya sudah tergerak semenjak kuliah. Maka, ya sudah, aku terima ?Keterjebakan? Itu, & sekarang malah menghidupinya.
Secara generik saya temukan, baik ?Pencerahan? Juga ?Keterjebakan? Yg sekarang diolah menjadi ?Panggilan hayati? Aktivis itu bersumber lantaran melihat kondisi ketidakadilan tersebut merambat ke segala bidang. Dalam penelusuran data-data waktu saya sebagai peneliti, ketidakadilan itu melanda bidang politik, ekonomi, kepercayaan , pendidikan, kesehatan, & masih pada poly bidang hidup lain yang berkembang pada negara kita. Berikut ini hanya model berdasarkan apa yg mampu aku cerna secara terbatas: agama dijadikan institusi konfliktual, pendidikan hanya dimiliki anak-anak berduit, kesehatan hanya menjadi hak mereka yang beruang (betapa tidak, hanya orang kaya yg bsia membayar dokter-dokter terbaik dan mendapatkan perawatan kesehatan karena harga obat acapkali mencekik!). Itu baru sebagian. Belum lagi soal harga beras yg merugikan petani atau upah buruh yg demikian rendah.
Keprihatinan semacam ini baik secara intelektual, emosional dan bahkan dalam keseharian hidup, ditunjukkan dengan jelas oleh banyak aktivis. Menjadi aktivis tak bisa tidak harus ditunjukkan dalam sikap egaliter, demokratis dan partisipatoris, yang harus mereka hidupi. Karenanya tak heran jika sebutan aktivis itu dibarengi dengan gelar idealis. Kata idealis sendiri seharusnya berkonotasi baik. Cuma, pada tahap berikutnya, idealis diidentikkan dengan ‘mengambil pilihan untuk memperjuangkan cita-cita atau keyakinan, meski ganjarannya adalah kemiskinan, setumpuk masalah, penolakan, teror, dan ancaman’. Bahkan banyak aktivis kemudian melakukan ‘bunuh diri kelas’ untuk lebih dalam ‘mengalami’ penderitaan bagi yang didampingi dan meningkatkan solidaritas dalam perjuangannya.
Dari pengalaman aku & suami saya, perdebatan panjang & terkadang melelahkan pada membangun proyek-proyek perubahan sosial, seringkali melanda poly aktivis termasuk kami. Apalagi, saat teori yang dibicarakan dalam satu diskusi ke diskusi lainnya kadang tidak relevan atau nir secara konkret mengurangi jutaan orang yang sekarang semakin mengalami keterpurukan hidup. Perjuangan ini tentu tidaklah mudah untuk dijalani. Dan secara langsung, banyak aktivis mendapat penolakan baik berdasarkan orang terdekat juga famili. Tidak banyak orang bisa mengerti mengapa pilihan ini diambil dan bukan pilihan yang lebih baik, lebih mapan atau setidaknya lebih nir beresiko.
Keluarga atau pasangan aktivis, dalam banyak hal, tentu saja akan sangat merasa keberatan untuk ‘terlibat’ di dalam aktivitas yang dirasakan menjadi demikian menuntut. Menjadi sebuah dilema tersendiri bagi banyak aktivis ketika mengalami hal seperti ini. Bahkan saya sendiri, yang cukup merasa dekat dengan pesoalan-persoalan sosial, terkadang masih merasa sulit untuk juga untuk ‘merestui’nya. Karena konsekuensinya adalah hilangnya waktu bersama, atau hilangnya kenyamanan-kenyamanan yang sepantasnya saya dapatkan kalau saja saya tidak lebih jauh mengingat bahwa hidup kami juga satu dari bagian yang sedang diperjuangkannya. Namun dalam renungan saya, mungkin ini adalah sesuatu yang ‘menyatukan’ saya dengan apa yang diperjuangkan oleh suami saya, sehingga apa yang kami alami dalam suka-duka hidup perkawinan tidak menjadi meaningless dan sia-sia.
Belajar menurut pengalaman eksklusif, berelasi menggunakan seorang aktivis memang tidak selalu mudah & menyenangkan. Relasi selalu akan menuju pada proses melahirkan pemahaman yg terus menerus & integral tentang konflik dunia kerja masing-masing selain, tentu saja, duduk perkara relasi karakter interpersonal. Upaya buat menjadi pendorong perkembangan integritas & mendukung setiap pengembangan kompetensi pasangan pula seharusnya menjadi sebuah keseimbangan menggunakan pengembangan hayati famili itu sendiri. Menjadi aktivis atau pasangan aktivis, saya konfiden, bukanlah sesuatu yang gampang jikalau kita ingin, nilai usaha itu nir menjadi surut. Sekali ini menjadi pilihan hayati, siaplah buat menyanding tongkat konsekuensinya sampai akhir.
Melihat bepergian aku bersama suami dalam berkeluarga yg sebenarnya masih sangat pendek ini, saya telah sering bertanya: inikah jalan hidup saya seterusnya nanti? Benarkah aku ini ?Tulang rusuk yg hilang? Menurut suami saya yang merupakan seorang aktivis? Benarkah beliau orang yang sempurna bagi aku ? Benarkah ini hayati berkeluarga yg aku mau? Mungkin hanya saat yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, menyadari rumitnya ini semua, aku kini malah terdorong memberanikan diri punya keinginan baru: menulis novel. Ya, novel tentang hayati seorang aktivis. Ide yang bagus, bukan?
***
Dominika Oktavira Arumdati
Program Koordinator (2002-2004) dan Mitra Peneliti (sejak 2004) pada The Business Watch Indonesia dan calon ibu.


















Selasa, 28 Juli 2020

[Masalah Kita] Sebuah Cinta Kasih: Ikatan Suci Etnis Tionghoa dan Etnis Jawa

Saya tidak pernah merencanakan buat jatuh cinta pada orang menurut etnis lain
Saya tidak pernah punya impian buat sebagai anak nir berbakti, hanya karena aku mencintai orang berdasarkan etnis lain.

Saya seorang anak Tionghoa berusia 27 tahun, yang sudah hampir 7 tahun ini berpacaran dengan seorang anak dari etnis Jawa. Kami satu almamater, tetapi uniknya kami baru berkenalan menggunakan relatif dekat justru di waktu-waktu di mana galat satu dari kami sudah hampir lulus kuliah S1nya.


Seperti mungkin Anda para pembaca telah menduganya, hubungan kami menerima tentangan yg cukup keras yakni dari famili saya, keluarga Tionghoa. Lewat beberapa kesempatan, saya (& kami terkadang) mencoba buat membuka ruang dialog. Namun hanya penolakan, penolakan, & penolakan yg kami terima. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang tua aku , dari aku mengalami titik buntu buat diperdebatkan -Seperti apa nanti istilah orang jika anakku menikah menggunakan orang Jawa? Apa nanti kata teman-teman dan kolegaku apabila melihat diriku punya menantu orang Jawa? & poly lagi alasan-alasan homogen-.


Sungguh pertanyaan-pertanyaan yg sangat ironis bagi aku , yg masih terucap di jaman modern misalnya ini. Bahkan predikat menjadi anak yang nir berbakti itupun saya peroleh. Yang lebih menyedihkan lagi merupakan kerelaan orang tua untuk kehilangan anaknya yang berpacaran dengan orang Jawa ini, demi mempertahankan gengsi, evaluasi atau pun omongan orang lain. Singkatnya mempertahankan status sosial, yg tentunya nir abadi sifatnya dibandingkan dengan hubungan darah yg sudah mengalir pada diri anak & orang tua.


Pada satu sisi tertentu aku bisa memahami mengapa orang tua aku berperilaku demikian? Latar belakang pendidikan orang tua aku adalah pendidikan Belanda. Saya sendiri nir begitu memahami apa yang terjadi pada zaman Belanda tadi. Tetapi yg pasti saya ketahui merupakan rata-rata para orang tua yang mengenyam pendidikan Belanda, memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok menggunakan etnisnya dan cenderung mengeklusifkan diri. Orang tua yang pernah mengalami zaman itu cenderung menilai etnis Tionghoa adalah etnis yg paling baik, paling berderajat, dan paling-paling yg lain. Sementara etnis Jawa merupakan tidak lebih berdasarkan sekumpulan orang yang mempunyai derajat pada bawah etnis Tionghoa & hanya bisa meminta-minta tanpa mau berusaha keras layaknya orang-orang etnis Tionghoa.


Ditambah lagi susunan keluarga, pada mana aku anak paling mini & wanita satu-satunya. Itu semua tentunya berakibat hal yang wajar bila orang tua saya berperilaku demikian. Namun perkara lebih lanjut merupakan aku hidup pada zaman ini (dan bukan di jaman Belanda), di mana pada masa ini setiap manusia dewasa baik laki-laki juga wanita memiliki hak bunyi yang sama besarnya buat mengkomunikasikan apapun (termasuk perasaan cintanya) secara terbuka, dewasa, dan logis.


Mungkin memang cinta itu bukan sesuatu yg perlu diperdebatkan, lantaran ini menyangkut hati. Mungkin ini juga yg diklaim bahwa cinta itu butuh pengorbanan. Namun pertanyaan reflektif berikutnya adalah apabila cinta pada antara dua etnis yang berbeda ini menjadi sebuah bentuk pelanggaran seorang anak pada orang tua, dapatkah lalu rakyat sebagai gerombolan yang lebih akbar daripada keluarga mewujudkan cinta dalam negara yang dipenuhi sang manusia berdasarkan majemuk etnis ini? Apabila tidak sampai kapankah topeng keharmonisan, keguyuban, kerukunan antar etnis akan terus digunakan oleh orang-orang Indonesia yg pungkasnya negara beragam??

















Sabtu, 25 Juli 2020

[Masalah Kita] KENANGAN DARI BORNEO

Bagi para petani sendiri, disparitas etnis itu tidak terlalu sebagai kasus....
Seorang mitra mengisahkan kembali peristiwa pedih yg terjadi di Pulau Borneo beberapa tahun yang silam. Tinggal & aktif mendampingi para petani dari banyak sekali etnis di tanah kelahirannya itu, menciptakan Lorens turut merasakan & menyaksikan bagaimana kejamnya permainan beberapa kelompok kepentingan eksklusif yang ?Memanfaatkan? Keberagaman etnis pada wilayah itu. Bagi para petani sendiri, disparitas etnis itu nir terlalu menjadi kasus lantaran toh nasib mereka permanen sama.

Permasalahan yang diangkat menjadi permasalahan antar suku itu sesungguhnya merupakan bagian dari rekayasa politik.

Keinginan sejumlah oknum untuk meraih kedudukan tertentu mendorong mereka untuk mencari simpati dari warga . Dalam kondisi yg damai & adem, para oknum itu sulit buat mengumpulkan simpati dan dukungan berdasarkan banyak orang. Ketika permasalahan itu terjadi, maka mereka mampu datang menjadi ?Dewa Penolong? Sebagai akibatnya popularitas mereka pun semakin tinggi di mata rakyat.

Tidak hanya itu saja, kepentingan ekonomi pula sebagai aktor yg merogoh manfaat menurut pertarungan tadi. Ada persaingan antar pengusaha pada urusan pengelolaan kayu & mereka diuntungkan dengan kekisruhan yang terjadi. Saat orang-orang sibuk & panik karena konflik yg terjadi, mereka mampu leluasa untuk menciptakan wilayah kekuasaan yang baru.


Konflik perebutan sumberdaya alam yang dahulu terjadi antara masyarakat norma dengan pemerintah, menjadi semakin rumit menggunakan masuknya perusahaan-perusahaan misalnya perusahaan kelapa sawit, yg berusaha mengadu domba rakyat. Masyarakat pun terpecah menjadi gerombolan yg pro dan grup yg kontra terhadap kepentingan perusahaan. Saat terjadi konflik, grup masyarakat yg pro terhadap perusahaanlah yang dihadapkan kepada gerombolan rakyat yang kontra. Sehingga perseteruan yg terjadi adalah konflik antar kelompok rakyat, bukan lagi permasalahan antara masyarakat menggunakan perusahaan atau pemerintah.


Pasca konflik itu terjadi, mulai ada stigma-stigma yang melekat dalam masing-masing grup etnis misalkan kelompok A itu orang-orangnya keras, kelompok B itu orang-orangnya nir mau diajak kompromi, kelompok C itu nir mau diajak rekonsiliasi sesudah konflik. Stigma itu pulalah yang membuat masyarakat menjadi tersekat-sekat dan komunikasi yang tadinya berjalan dengan baik menjadi rusak. Stereotipe tersebut makin berkembang karena nir adanya pendekatan budaya & pembauran antar etnis.


Secara sosial, sangat kelihatan bahwa masyarakat menjadi terkotak-kotak. Kini orang Madura lebih terkonsentrasi pada kota-kota. Hal ini jua menimbulkan perseteruan baru dalam hal lapangan kerja di kota. Sebelumnya mereka terbiasa menjadi petani dan kini mereka kesulitan lantaran harus menyesuaikan diri lagi dengan lapangan kerja baru yg tersedia pada kota, contohnya sebagai tukang becak. Orang Melayu yang tinggal pada Kabupaten Sambas pun masih sulit mendapat kedatangan orang Madura di wilayah itu.


Dari sisi ekonomi, pertarungan tadi menyebabkan poly infrastruktur di daerah tersebut yg rusak dan poly harta benda yang hilang. Kegiatan ekonomi jua terhambat lantaran orang-orang berdasarkan masing-masing etnis nir mampu melakukan aktivitas ekonomi seperti umumnya.
Rasa takut & risi menciptakan mereka nir berani melakukan pekerjaan yang lokasinya berdekatan dengan kelompok etnis lain.


Secara mental, pertarungan yang pula merenggut banyak nyawa tersebut meninggalkan trauma yang mendalam bagi warga . Mereka hayati dalam ketegangan dan rasa was-was, terlebih lagi bila herbi orang atau grup menurut etnis lain. Anak-anak pun kini tidak bisa leluasa bermain menggunakan anak berdasarkan etnis lain.


Selama terjadi beberapa kali konflik, upaya yg dilakukan buat mereduksi, manajemen konflik dan lain-lainnya pun nir mengakomodir problem yang fundamental. Upaya yang dilakukan hanya sekedar upaya buat meredam situasi saja. Sehingga tidak mengherankan jika kondisi yang terbangun adalah rekonsiliasi semu. Ditambah lagi problem tidak adanya penegakan hukum dan nir tertatanya manajemen perseteruan ditingkat basis, telah menebar peluang & situasi laten permasalahan.


Sedemikian kuat & besarnya efek yang diakibatkan sang permainan kepentingan segelintir orang yang mampu merenggut kedamaian dari kehidupan yg plural. Keberagaman yg seharusnya indah dan harmonis itu telah dibalikkan menjadi senjata yang menghancurkan keindahan & keharmonisan itu sendiri. Luka yang diakibatkan pun, tidak kurun sembuh dalam hitungan tahun. Sungguh pelajaran nyata yg berharga bagi kita.




























Kamis, 23 Juli 2020

[Masalah Kita] Seputar Pangan Kita

Kebanyakan berdasarkan kita yang tinggal pada kota akbar tentu tidak pernah kesulitan memperoleh pangan. Tinggal jalan sedikit ke warung, atau jauh sedikit ke pasar, atau mau yang lebih keren mentereng tanpa becek, di mall-mall, pada situ menumpuk makanan berlimpah. Berbagai jenis dan ukuran. Semua tersedia. Padahal bila kita melihat kota kita, apa yg kita lihat pada sekeliling kita. Bangunan, mobil, jalan raya! Mungkin ada satu dua pohon, tetapi bukan pohon yg menghasilkan makanan yang kita lihat pada pasar atau supermarket itu.

Bagaimana semua kuliner itu bisa ada pada kota, padahal kota sama sekali bukan produsen pangan?

Kekuatan uanglah yg membuat itu terjadi. Kekuatan uang yang dimiliki warga kota, membuat semua kuliner terbaik pada desa pergi ke kota. Para petani menjual produk terbaiknya ke kota dan memakan residu-sisanya. Demikian jua halnya di strata internasional, Indonesia mengekspor seluruh produk pangan terbaiknya ke negara maju & mengirim produk kualitas duanya ke pasar swalayan di kota-kota besar dan menyisakan yang tidak terjual buat di makan oleh petani, yang menanamnya.

Pernahkah kita terbayang, bila suatu waktu para petani di desa serentak berubah pikiran. Daripada kujual produk terbaikku, lebih baik kumakan sendiri. Apa jadinya kalau nir ada yg menyediakan makanan ke kota kita? Bisakah kita hayati tanpa kuliner? Pasti kita yg di kota ini yg kelaparan, bukan? Pastilah ada kerusuhan!


Mengapa terdapat pemikiran bahwa petani akan berubah pikiran?
Pertama, penggunaan pupuk kimia & pestisida selama puluhan tahun telah membuat tanah-tanah petani makin rusak. Jadi produktivitasnya makin menurun. Kalau petani membuat begitu sedikit, tentulah ia mementingkan buat menyimpannya sendiri buat pada makan daripada pada jual. Lalu kita yang pada kota akan makan apa?


Kedua, pertanian yang menggunakan bahan kimia itu mampu berjalan menggunakan adanya minyak bumi yg disubsidi. Saat ini kita telah melihat bagaimana pemerintah sedikit-sedikit mengurangi subsidi minyak bumi dan kita telah melihat bagaimana itu berpengaruh terhadap harga pangan dan produk lain. Kenaikan yang sekarang sebetulnya tidak terlalu menguntungkan petani, karena sebagian besar buat kenaikan BBM yang mengangkut makanan itu menurut desa ke kota. Dan banyak ahli telah menghitung bahwa sebetulnya harga yg diterima petani itu sangat murah, adalah sebetulnya nir cukup buat mendukung kehidupannya secara layak. Jadi, bila kita mau adil pada para petani yang telah mendukung hayati kita melalui produksi pangannya, maka sebetulnya kita harus membayar pangan kita lebih mahal dari yang kita bayar sekarang.


Bagi mereka yg tinggal di kota & kebetulan kaya, mungkin pengeluaran pangan nir terlalu perkara. Apalagi bagi mereka yg terbiasa keluar masuk kafe. Yang pengeluaran sekali makannya mungkin sama dengan pengeluaran buat makan satu famili di batas garis kemiskinan sebulan! Yang sengara tentu mereka yang rata-homogen, apalagi yang miskin, yang pengeluaran buat makannya lebih berdasarkan 50% berdasarkan semua penghasilannya. Kerasa deh, pengetatan ikat pinggang jika harga pangan naik.


Sebetulnya, mungkin nggak sih kota menyediakan pangannya sendiri? Jawabannya mampu. Berikut ini ceritanya.


Mungkin cerita ini seperti mimpi, tetapi itu beneran terjadi di satu negara bernama Kuba & terutama pada ibu kotanya yang bernama Havana.


Tahun 90-an, Kuba menghadapi krisis pangan besar -besaran. Pasalnya, pada tahun itu Soviet runtuh dan nir bisa mendukung lagi perdagangan dengan Kuba seperti sebelumnya. Sebelumnya, pertanian Kuba sangat berorientasi ekspor dengan produk unggulan primer tebu. Jadi seluruh lahan pertanian ang fertile-fertile ditanami tebu. Tebu ini dibeli sang Soviet, sebagai sekutunya sesama negara komunis menjadi dukungan politik. Soviet juga menjual minyak ke Kuba menggunakan harga 1/2 harga pasar internasional & menyediakan bahan pangan bagi Kuba. Dengan dukungan Soviet ini, Kuba hayati berkelimpahan & bila dicermati dari indeks pembangunan insan, Kuba termasuk galat satu yang tertinggi pada dunia, bisa disejajarkan dengan negara-negara maju & apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Minyak impor menurut Soviet inilah salah satu sumber enerji yang menghidupi pertanian terbaru Kuba yg bisa disetarakan dengan pertanian pada Eropa atau Amerika.


Tanpa dukungan Soviet, Kuba nir punya minyak, nir ada pupuk kimia, nir ada pestisida, tidak terdapat impor pangan lagi. Singkatnya, Kuba kelaparan. Satu-satunya produk yg masih ada merupakan tebu lantaran memang semua lahan terbaik diperuntukkan buat tebu. Pedesaan Kuba memang masih membuat kuliner, tetapi kuliner itu nir bisa diangkut ke kota lantaran tidak ada BBM. Rakyat Kuba terdapat dalam perkara akbar.


Krisis memang membuat orang menjadi kreatif. Dengan dorongan buat bertahan hidup, orang-orang pada perkotaan mulai menanami laman rumahnya dengan tanaman pangan. Padahal sebelumnya menanam tanaman pangan pada page depan rumah adalah terlarang hukumnya pada kota Havana lantaran dipercaya identik dengan potret kemiskinan. Setelah krisis ini, pemerintah mencabut larangan itu dan justru menaruh dukungan penuh kepada warga yang ingin memproduksi pangannya sendiri. Pertanian perkotaan mulai merebak pada Havana.


Saat ini, jikalau kita berjalan-jalan di Havana, kita akan dengan gampang menemukan lahan-lahan pertanian di sela-sela gedung bertingkat. Pohon butir-buahan di taman-taman kota & sayur-sayuran sebagai pengganti flora hias pada depan tempat tinggal . Havana yang dulu menjadi penerima pangan berdasarkan desa-desa pada seluruh Kuba, sekarang bisa menghasilkan setidaknya 60% berdasarkan semua kebutuhan pangannya. Semua di produksi menggunakan cara organis. Bukan buat ?Gaya? Ataupun alasan ramah lingkungan, namun memang lantaran bahan-bahan yg diharapkan untuk bertani ala kimia telah nir tersedia lagi.


Dalam setiap lahan di perkotaan, kita akan menemukan bahwa pada setiap petakannya ditanam aneka macam jenis tanaman pangan. Kombinasinya dipilih sebagai akibatnya semuanya mampu hidup berdampingan saling mengembangkan dan mendukung kehidupan satu sama lain. Demikian juga antara petani dan konsumen. Di Kuba nir dikenal pajak. Pajak para petani ini diberikan sebagai apa yang disebut ?Community service?, layanan pada masyarakat. Bentuknya, merupakan menyediakan bahan makanan yang diambilkan berdasarkan sebagian hasil produksinya buat anak-anak sekolah atau rumah-tempat tinggal jompo pada daerah tersebut. Siswa-siswa tersebut sesekali mereka berkunjung ke kebun buat belajar Biologi dan Pertanian dan buat mengenal lebih dekat kehidupan petani yang menyediakan pangan mereka. Para siswa tadi merasa mempunyai kebun & lebih menghargai kerja para petani.


Setiap lahan kosong yang tidak ditanami dibagikan pada warga yang mau bertani. Siapa pun yg ingin menghasilkan pangan berhak mendapatkan lahan. Lahan-lahan tebu terbaik diubah sebagai huma tumbuhan pangan. Satu lagi yg menarik, Kuba nir lagi menggantungkan pangannya pada satu jenis kuliner utama, seperti beras buat Indonesia. Rakyat Kuba nir lagi hanya makan roti yang gandumnya diimpor dari negara-negara subtropis, tetapi pula kembali ke kuliner-kuliner asli misalnya talas & umbi-umbian lainnya. Mereka nir lagi tergantung dalam daging, namun mulai lebih poly makan sayur-sayuran & butir-buahan.


Dengan kebijakan baru ini Kuba sanggup pulang bangkit berdasarkan keterpurukannya. Tingkat konsumsi pangan meningkat setelah sempat terpuruk pada tahun 90-an. Kuba sebagai makin mandiri dalam penyediaan produksi pangannya, tidak tergantung dalam sedikit jenis pangan, balik ke beragaman pangan yang diperoleh berdasarkan flora asli dan pertaniannya dilakukan selaras alam. Kota Havana menghijau menggunakan kebun butir dan sayuran. Tidak sekedar koleksi dinding beton semata.


Bayangkan jikalau ini terjadi di Indonesia. Jakarta, katakanlah. Bayangkan jika pada lapangan Monas, rumput-rumputnya diganti sebagai kebun aneka butir-buahan dan di bawahnya kebun aneka talas & umbi-umbian. Mungkin pemda kota Jakarta tidak perlu mengeluarkan biaya operasional sekian poly buat menjaga supaya rumputnya permanen pendek ad interim dalam waktu yg sama dapat menyediakan pangan & penghasilan bagi poly orang. Bayangkan jika halaman-halaman rumah glamor ditanami makanan atau tanah-tanah kosong ditanami tanaman pangan. Mungkin hasilnya sanggup relatif buat membantu orang yg busung lapar. Apalagi jika lapangan golf, apartemen glamor dan real estate yg tidak berpenghuni digusur sebagai huma buat pangan. Indonesia dijamin nir akan kelaparan. Jadi tidak terdapat lagi satu gedung glamor taraf sepuluh yang hanya dihuni satu atau dua hari per bulan sementara rongga di bawah rumah jembatan penuh sesak orang-orang mencari penghidupan.


Di banding Kuba, Indonesia sebetulnya punya lebih poly pilihan. Dari sisi asal daya alam sebetulnya kita jauh sekali pada atas Kuba. Minyak ada, kenaekaragaman biologi hanya bersaing dengan Brazil yg punya Hutan Amazone. Sangat aneh, jikalau kita mendengar ada orang yang hingga kelaparan. Ada begitu poly anak yg kurang gizi. Apalagi mereka itu merupakan anak-anak petani yg di atas kertas adalah penghasil pangan. Jelas-jelas ini kasus negara keliru urus. Yang akhirnya jadi masalah kita semua. Entah bagaimana penyelesaian akhirnya. Yang niscaya, setidaknya, kita bisa menanam tumbuhan pangan mulai dari halaman rumah sendiri. Jadi, bila nanti terdapat krisis seperti di Kuba atau setidaknya pemerintah menaikan lagi harga BBM yg berimbas pada kenaikan harga pangan, sebagian pangan telah kita produksi sendiri.


Jadi, tunggu apa lagi?Yuk kita mulai!



















































Selasa, 21 Juli 2020

[Masalah Kita] PENGHARGAAN UNTUK PEKERJA LEMBAGA NIRLABA (AKTIVIS)

Ketika pengasuh buletin ini meminta aku buat menulis pendapat mengenai honor atau gaji yg layak untuk pekerja forum nirlaba atau para aktivis, saya kontan teringat beberapa pengalaman. Baik pengalaman aku sendiri maupun sahabat-sahabat, terkait dengan tema ini yg kadang-kadang jadi ?Sensitif?. Berikut aku bagikan pengalaman tadi yang mungkin bisa menjadi gambaran pendapat aku tentang gaji aktivis atau pekerja forum nirlaba.

Bekerja demi idealisme
Beberapa tahun yang silam, saya bekerja pada sebuah forum yg bergerak di berita HAM. Buat saya yang masih nebeng orang tua & tempat kerja yang tidak terlalu jauh menurut rumah, gaji yang saya terima relatif buat memenuhi kebutuhan aku selama sebulan. Saya pula masih dapat mengangsur premi jiwa menggunakan iuran pertanggungan yang paling rendah.

Namun buat teman-teman lain yang sama posisi dan gajinya dengan saya, namun telah berkeluarga atau hidup berdikari, honor itu sudah tentu nir bisa memenuhi kebutuhan hayati mereka. Meski yang paling sederhana sekalipun. Mereka harus membayar kontrakan, kost, atau mencicil rumah. Ke-terpepet-an itu akan tambah terasa saat dirinya atau anggota keluarga sakit. Mudah ditebak, staf bagian keuangan lembaga tidak hanya mengelola keuangan dari donor, namun juga berfungsi sebagai ?Forum kredit? Terhadap pekerja yg meminjam uang. Ketika tahun berikutnya para pekerja mengajukan kebijakan kenaikan honor ?Mengingat harga-harga juga mulai naik - dan adanya fasilitas seperti asuransi kesehatan. Para pimpinan menjawab bahwa, lembaga loka kami bekerja merupakan forum nirlaba yang bekerja untuk humanisme. Dengan karakter forum seperti itu, nir pantas kami mengajukan permintaan-permintaan tadi. Para pimpinan selanjutnya mengungkapkan, kami terlalu membandingkan situasi kerja kami menggunakan lembaga profit yg menaruh honor akbar & fasilitas yang poly.

Jawaban mereka membuat kami kecewa. Sudah tentu kami tidak meminta kenaikan honor yang besar , namun setidaknya disesuaikan menggunakan kondisi ekonomi saat itu. Perkara fasilitas seperti asuransi kesehatan, kami anggap jua masuk akal. Jangan hingga kami yang bekerja buat informasi kemanusiaan, akan namun kami sendiri mengalami dehumanisasi lantaran nir bisa menjaga kesehatan atau berobat ketika sakit. Tidak seluruh pekerja berasal menurut keluarga sanggup yang sanggup meminta tolong pada orang tua atau saudaranya waktu mereka mengalami kesulitan keuangan. Bukan lantaran kami nir dapat atau tidak sanggup mencari pekerjaan lain maka kami tetap bertahan di lembaga tadi, namun justru lantaran kami memiliki idealisme atau setidak-tidaknya bahagia dengan pekerjaan itu. Akan namun, idealisme & komitmen itu tidak lantas dijadikan bahan kesewenang-wenangan atau pengabaian hukum energi kerja sang pimpinan buat mengabaikan hak-hak kami sebagai pekerja yang ingin mensejahterakan dirinya & keluarganya.


Lembaga tempat dulu aku bekerja nir sendirian. Di forum lain, poly curhat pekerja yang saya dapati tentang info honor ini. Dari gaji yang dibawah UMR (terutama buat pekerja administratif atau yg di bagian umum), nir ada kenaikan honor ? Padahal beban kerja terus bertambah dan harga-harga pasar terus melambung, hingga pada curhat minta dicarikan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan.


Kesejahteraan Pekerja
apabila menyampaikan cukup tidaknya honor , maka nyaris seluruh pekerja akan mengatakan tidak cukup. Standar dan kebutuhan kehidupan setiap orang tentu akan berubah atau meningkat. Namun waktu patokannya buat kelayakan dan kesejahteraan pekerja, maka beberapa komponen harus diperhatikan. Setidak-tidaknya menggunakan honor yang diterimanya pekerja bisa memenuhi kebutuhan dasarnya menggunakan layak. Misalnya, pekerja dapat memenuhi kebutuhan pangannya menggunakan memenuhi baku asupan gizi yang sesuai. Sehingga pekerja tadi dapat bekerja dengan optimal atau minimal tidak mudah sakit sebagai akibatnya bisa menuntaskan pekerjaannya. Bukankah itu suatu laba juga bagi lembaga? Kebutuhan akan tempat tinggal, jua harus diperhatikan. Hal ini bukan berarti forum wajib menyediakan fasilitas kredit cicilan tempat tinggal . Namun perlu diperhatikan honor diperlukan bukan sekedar orang dapat makan buat hayati. Hidup juga perlu tempat bernaung. Jangan sampai pekerja mondok pada kantor dengan alasan berhemat pengeluaran atau lebih parah lagi lantaran gajinya tidak cukup buat menyewa kamar atau tempat tinggal .


Mengulang pengalaman yg telah aku tuturkan di atas, hendaknya gaji juga relatif untuk memenuhi kebutuhan keluarga bagi pekerja & keluarganya, atau minimal terdapat residu gaji yang bisa ditabung. Sehingga tidak perlu pekerja membolos atau merogoh perlop buat mencari tambahan uang pada luar tempat kerja karena pusing memikirkan porto sekolah anak. Bukan suatu tindakan yg bijaksana buat berasumsi bahwa seluruh pekerja mempunyai pasangan yg jua bekerja menggunakan pendapatan yang memadai buat menyokong famili atau mempunyai latar belakang famili menurut syarat ekonomi yg mapan.


Fasilitas asuransi kesehatan atau tempat tinggal sakit bagi pekerja mungkin terdengar glamor bagi beberapa lembaga. Namun kenyamanan seperti itu bisa menaikkan kinerja pekerja yg merasa damai karena tahu apabila beliau sakit, biaya itu bisa ditanggung beserta kantor. Tidak lucu juga kan, setiap kali terdapat pekerja yang dirawat di tempat tinggal sakit lantas semua staf pada kantor itu disodori edaran amplop sumbangan? Daripada repot-repot misalnya itu, persiapkan saja fasilitas iuran pertanggungan.


Semua yg aku tulis di atas mungkin tepat buat pekerja permanen suatu forum. Bagaimana menggunakan volunteer atau pekerja paruh saat? Sama saja. Honor mereka hendaknya layak & sepadan dengan pekerjaan yang mereka lakukan, diubahsuaikan menggunakan tingkat kesulitan pekerjaan dan tantangan yg dihadapi. Seorang teman yg sebagai volunteer di suatu organisasi pernah berseloroh: ?Kita pada sini bekerja sebagai relawan. Artinya, kita bekerja menggunakan rela. Tapi apabila sudah tidak rela, kita melawan!?


Menghargai Pekerja
Di atas itu seluruh, memberikan honor yg layak merupakan keliru satu bentuk penghargaan terhadap pekerja. Jangan hingga kerelaan pekerja diartikan menjadi diperlakukan semau gue oleh pimpinan. Atau ya itu tersebut, bekerja buat isu humanisme akan tetapi malah di-dehumanisasi.


























Rabu, 15 Juli 2020

[Masalah Kita] Satu Episode Sedih Romantisme Aktivis Perempuan

Oleh: Yusmadaniar Hanum - Manager Program LSM PERAK-Pidie
Mungkin semua orang pernah mengalami murung , namun sedih yg kurasa agak tidak selaras. Pada saat seseorang gadis berkiprah dewasa banyak cerita yang ingin beliau banggakan: cerita manisnya beserta teman juga oleh kekasih. Persoalan-problem pada rakyat mungkin akan mampu segera terpecahkan (warga evakuasi), terdapat berbagai jalan keluar yang bisa ditempuh. Tetapi, berbeda menggunakan dilema yg kuhadapi. Pada saat Aceh ini dinyatakan menjadi wilayah konflik, aku menjadi galat satu aktivis perempuan yg siap menggunakan konsekwensi apapun. Ketika itu, aku tidak pernah resah menggunakan keamananku, makan, sandang & penampilan. Aku hanya resah terhadap keadaan warga / orang-orang yg terjebak diantara dua pilihan; dukung GAM mangkat , nir dukung GAM jua tewas. Lokasi rumah mereka menjadi ajang pertempuran & akhirnya mereka mengungsi buat mencari tempat aman bagi anak & istri mereka ke sebuah jalan, yang pula merupakan jalan pintas tujuan kampusku. Aku kuliah pada galat satu kampus swasta yg ada di Aceh.

Pada syarat misalnya itu, kebanyakan perempuan hanya berdiam pada tempat tinggal , tanpa bisa melakukan apapun. Mereka hanya akan keluar jika diharapkan saja. Sebagai seorang anak perempuan , tentulah pada biasanya susah menerima ijin buat mampu terjun dalam aktivitas sosial, ditambah lagi saya dititipkan di tempat saudara termuda ibuku di sini. Selain bekerja sebagai relawan di pos mahasiswa, aku pula aktif pada organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) walaupun pada waktu itu masih sebagai anggota biasa.


Boleh dikatakan, langkah yg kutapaki berjalan dengan baik & mulus. Tapi buat seluruh itu, saya membutuhkan ketika buat meyakinkan orang tua, famili & sekelilingku. Bahwa saya menjadi aktivis bukan berarti menjadi wanita yg ngak benar. Keluargaku risi bila Aku nantinya akan diperkosalah, diculik GAM, atau dibuang mayatnya.


Itu hanya garis akbar ketakutan famili akbar ibuku saja. Tetapi langkahku tidak pernah surut selangkahpun. Karena komunikasi yang terus kubangun menggunakan ibuku, akhirnya beliau mengizinkan dan mengikhlaskanku buat membantu masyarakat lemah dan melawan penindasan. Ibuku nir pernah menyangka kalau Aceh misalnya yang kuceritakan. Ijinnya di seberang kota yg tidak berakses perseteruan, membuatku konfiden terus buat melangkah, berjuang melawan penindasan.


Terbukti sekarang, saya dikatakan orang sukses menurut teman-sahabat seangkatanku yang dulu menjadi mahasiswa patuh terhadap orang tua. Tentu dibalik semua itu poly persoalan yang kuhadapi. Disamping menurut duduk perkara-duduk perkara yg terdapat pada lapangan dan organisasi yaitu masalah hati / perasaan. Kondisi ini usang kelamaan membuatku terbiasa dan telah kebal.


Ada beberapa kali interaksi yang terjalin, namun akhirnya putus di tengah jalan. Ini disebabkan beberapa hal, yaitu dilema ketika, pandangan (genre), penampilan / style dan juga pekerjaan. Namun yg sebagai problem utama menurut retaknya interaksi itu diantaranya dikarenakan pandangan & pekerjaan. Sebagai seseorang aktivis ternyata aneka macam dilema, apakah itu persoalan famili, lingkungan jua langsung, harus siap kuhadapi. Ini sangat berat, lantaran keluarga calon pasanganku menolak apabila berhubungan dengan seorang aktivis. Dari oleh pujaan, juga agak berat atau sangat berat merelakan kekasih atau calonnya bekerja sebagai seorang aktivis / pekerja sosial di masyarakat. Hal ini, sempat membuatku hampir putus asa buat meyakinkan tentang pekerjaanku.


Rasa percaya diriku tidak luntur, meskipun Aku harus kehilangan sang pujaan hati, lantaran prinsipku, hidup hanya sekali dan apa yang bisa kulakukan selama kuhidup? Kalau kita nir bisa bermanfaat bagi orang lebih kurang/ lain, maka insan itu akan rugi. Inilah yg membuatku terus mantap melangkah buat terus berjuang membela masyarakat mini , lemah tuk melawan ketertinggalan. Aku yakin suatu ketika Aku akan menemukan orang yang pantas dan sesuai denganku. Insya Allah.

















Senin, 13 Juli 2020

[Masalah Kita] Arti Kebahagiaan Untuk Aktivis



Kebahagiaan adalah makna dan tujuan hidup, tujuan keseluruhan dan akhir dari eksistensi manusia.” – Aristoteles (Filsuf Yunani, 384 – 322 SM)


Begitu pentingnyakebahagiaan sehingga gerak hidup manusia didasari oleh upaya mencari kebahagiaan sebagai suatu tujuan, seperti yang diungkapkan  Aristoteles di atas. Kebahagiaan tidak sekedar tujuan yang kita tentukan, akan tetapi juga bagaimana kita memaknainya sebagai langkah awal sebelum kita sampai kepadanya.


Kita lihat misalnya dihari Kasih Sayang atau biasa juga disebut Valentine Day yang dimana-mana dirayakan dengan pelbagaicara. Mulai dari  memberikan coklat pada seseorang, sampai dengan kencan spesial dengan orang tersayang. Tindakan-tindakan kita dalam mengekspresikan kasih sayang pada hari itu apakah memiliki suatu arti? Rasanya iya.Kita melakukan kesemua itu demi membahagiakan orang-orang tertentu dalam hidup ini. Harapannya dengan melihat orang tersebut berbahagia, kita pun ikut bahagia.


Setiap orang mempunyai makna kebahagiaannya masing-masing dan hal-hal yg membantu mereka mencapai kebahagiaan dalam hayati. Beberapa waktu ini KAIL mencoba buat melihat arti kebahagiaan di antara para aktivis dengan cara menanyakan beberapa pertanyaan terkait kebahagiaan ini. Kami melakukan wawancara tertulis kepada 9 narasumber dari aneka macam komunitas.Hasil dari wawancara ini dimaksudkan untuk melihat gambaran sekilas bukan citra besar , yg diharapkan mampu menaruh ilham bagi rekan-rekan aktivis yang lain dalam meraih kebahagiaan.


Kami menciptakan 5 item pertanyaan buat dijawab oleh responden :
  1. Dalam hidupmu, kapankah saat-saat paling membahagiakan dalam hidup kamu?
  2. Mengapa kamu menganggap jawaban no.1 adalah momen paling membahagiakan dalam hidup?
  3. Menurut kamu, berbahagia itu seperti apa?
  4. Apakah menurutmu masyarakat di dunia ini berbahagia atau tidak? Mengapa?
  5. Menurutmu, bagaimana cara lebih baik, cepat dan mudah untuk berbahagia?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan bisa menggambarkan pemaknaan seseorang mengenai kebahagiaan dan faktor-faktor apa sajakah yg menciptakan mereka berbahagia. Pandangan mereka terhadap kebahagiaan yang ada berdasarkan pada diri tergambar dari tiga pertanyaan pertama mengenai momen kebahagiaan beserta karena dan deskripsi berbahagia seperti apa. Sedangkan faktor berdasarkan luar akan tergambar pada jawaban terhadap pertanyaan nomor 4 yg adalah proyeksi kebahagiaannya yg masih ada pada lingkungannya. Kemudian, kita akan berbagi ide berdasarkan rekan-rekan aktivis ini tentang tips yg cepat & gampang buat berbahagia.


Dari tiga pertanyaan pertama, kebanyakan narasumber menerima kebahagiaan terkait menggunakan keberadaan orang lain. Kebahagiaan yang terkait dengan orang lain bisa dikatakan menjadi kepuasan di mana apa yg kita kerjakan terkait menggunakan orang lain & reaksi orang lain atas apa yg kita kerjakan itulah yang memberikan perasaan senang . Atau kebahagiaan itu terkait dengan sebuah momentum pada mana kebersamaan dengan orang lain menghadirkan rasa nyaman.


Kita coba bandingkan jawaban dari dua narasumber berikut :
  1. “Saat paling membahagiakan adalah saat bisa berkumpul dengan suami, anak, mama dan keluarga” – Dydie Prameswari.
  2. “Apabila dikaitkan dengan aktivitas saya sebagai trainer, maka saat yang paling membahagiakan adalah ketika saya menemukan ada partisipan training yang saya berikan bisa membuktikan dalam hidupnya bahwa materi yang saya berikan berguna untuk kehidupannya” – Elisabeth Dewi.
Kedua jawaban di atas menggambarkan soal kebahagiaan yang didapat karena faktor keberadaan orang lain, tetapi tidak berarti kebahagiaan kita menjadi bergantung kepada orang lain. Kehadiran orang lain bisa membantu menguatkan perasaan bahagia kita seperti yang tertuang dalam jawaban narasumber yang bernama Monica Anggen : “Saya merasa hidup saya menjadi lebih berguna baik bagi diri saya sendiri dan yang paling utama saya berguna bagi orang lain.” Merasakan bahwa diri kita memiliki fungsi bagi orang lain menjadi kunci pembuka menuju kepada kebahagiaan, ketika kita membuat sesuatu dan bukan hanya diri kita yang menikmati, namun orang lain juga turut merasakannya.


Mungkin bukan kebetulan apabila para narasumber yang adalah aktivis pada bidangnya masing-masing, merasa senang saat sanggup berbuat bagi orang lain. Apakah ini mengartikan bahwa para aktivis merupakan orang-orang yg berbahagia dengan berbuat bagi orang lain? Rasanya bukan hanya para aktivis, akan namun sifat alami setiap manusia buat hidup saling menyebarkan. Pernahkah mendengar istilah-istilah ?Makanan sepiring untuk empat orang mungkin nir relatif mengenyangkan perut, namun lebih menurut relatif buat memuaskan batin? Atau ?Makan tidak makan berasal ngumpul? Perkataan itu hendak membicarakan bahwa bukan kebutuhan fisik yang bisa memberikan kebahagiaan sejati, melainkan berkumpul bersama menggunakan orang-orang yang kita sayangi.


Kebahagiaan memang tidak tergantung dari luar diri kita. Para narasumber menyadari hal tersebut, bahwa menjadi bahagia itu dimulai dari dalam. Semua itu dapat dilakukan dari hal-hal yang sederhana, misalnya tidur cukup, makan cukup. Seperti yang diungkapkan oleh Anilawati : “Sederhana aja, bisa makan cukup, tidur tenang, bisa kumpul-kumpul dan bisa “memberi” kepada orang lain. (“memberi” = tidak selalu berupa materi)”.  Dari pernyataan itu, bisa dilihat bahwa terdapat unsur orang lain yang menambah lengkap kebahagiaan.


Namun terdapat pula narasumber yg memaknai kebahagiaan lantaran hadirnya orang yang dicintai. Rahmi Fajri merasa bahwa senang merupakan waktu orang yg dicintai beserta dengan kita, menggunakan adanya mereka kita sanggup meminta apa yang kita inginkan. Yang menarik pada sini adalah apakah yg sebenarnya kita perlukan berdasarkan orang lain buat senang ? Mungkin ini jawabannya nir tunggal.


Bagaimanakah kita melihat global pada sekitar waktu ini? Apakah dunia sedang berbahagia atau sedang dirundung sedih? Pertanyaan ini mungkin akan mengarahkan kita pada apa yang bisa kita lakukan atas hidup ini atau mungkin hanya sekedar bertanya buat mengamankan kebahagiaan kita sendiri, tapi apakah kebahagiaan merupakan tentang diri sendiri? Narasumber merasakan bahwa sepertinya global ini sedang tidak berbahagia, berbagai media di tanah air lebih banyak diisi menggunakan keterangan-informasi jelek yang tidak mengangkat syarat negeri ini sebagai lebih baik. Mereka jua melihat bahwa kebanyakan orang terjebak melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak berkenan pada di hati mereka, terpaksa melakukannya karena keterbatasan. Oleh karena yang sama, manusia mengejar materi sebesar-banyaknya sehingga ada yang tega mengorbankan orang lain demi kepentingan sendiri.


Di sisi lain, terdapat yang tetap optimis terhadap global saat ini, seberat apa pun bala yang menimpa global ini, akan selalu terdapat orang yang mampu melihat sisi positif dari peristiwa-peristiwa jelek itu dan mengupayakan suatu tindakan buat membuat situasi menjadi lebih baik. Memang tidak mudah buat melihat yg positif berdasarkan suatu bencana, sebagai akibatnya terdapat yg sanggup mengoptimalkannya sebagai kebahagiaan & terdapat yg nir. Semuanya tergantung pada kapasitas masing-masing langsung.


Persepsi seorang terhadap global pada sekitarnya, mungkin nir bisa sepenuhnya objektif, apalagi terkait dengan menyimpulkan apakah mereka berbahagia atau tidak. Tetapi setiap orang diberkahi pemberian yg sama buat mengetahui apakah suatu keadaan sedang melenceng berdasarkan yg seharusnya, yg memberikan peringatan buat berbuat sesuatu demi perubahan. Para narasumber mencoba mendengar menggunakan baik perasaan global ini dan berbuat seturut panggilan nurani sebagai aktivis. Merengkuh kebahagiaan menggunakan pilihan-pilihan yang dibentuk, menemukan bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yg terdapat di setiap diri pribadi. Bertemu menggunakan orang-orang, membantu mereka dalam proses pembelajaran, mendapati bahwa mereka akhirnya berhasil & menciptakan perubahan, sebagai nilai kebahagiaan tersendiri bagi rekan-rekan aktivis yang menjadi narasumber kali ini. Bagaimana menggunakan Anda?
(David Ardes Setiady)








































Cloud Hosting Indonesia