Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Desember 2016. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proaktif-Online Desember 2016. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Juni 2020

[JALAN-JALAN] Membangun Mimpi lewat Membaca

Penulis: Yosepin Sri

Indonesia dan membaca, adalah tema dasar dari tulisan ini. Indonesia terdiri dari gugusan kepulauan yang membentang di garis khatulistiwa diapit oleh dua benua dan samudra luas, menjadikan negara ini begitu cantik dan menarik akan bentang alam serta keanekaragaman sukunya. Lalu bagaimana dengan masyarakatnya yang tinggal tersebar di pulau-pulau tersebut? Apakah mereka semua suka membaca?

Buku merupakan sumber informasi dari hasil pemikiran penulisnya, baik itu buku yang berisi kumpulan cerita pendek, dongeng-dongeng, maupun buku yang berisi pengalaman langsung sang penulis, semuanya sama-sama membutuhkan usaha yang tidak mudah untuk menerbitkannya sebagai sebuah buku. Melalui buku, pembaca dapat mengembangkan imajinasinya serta membuka pintu-pintu di kepalanya akan pengetahuan baru yang telah ada di belahan dunia lain. Melalui buku, kita juga dapat mengetahui bagaimana cerita Indonesia bisa merdeka, usaha dari para tokoh di daerah yang bersatu melawan penjajah, hingga usaha dari berbagai ilmuwan untuk menciptakan peralatan yang ada sekarang ini seperti pesawat terbang, lampu, jam tangan, kamera, televisi hingga teknologi informasi seperti internet. Sehingga melalui buku, seorang anak akan bisa membangun mimpinya.

Lahir dan tumbuh di kota besar seperti Jakarta, membuat penulis hidup dalam kemudahan mengakses buku. Toko-toko buku, baik itu bekas maupun baru, banyak terdapat di kota, perpustakaan keliling, perpustakaan di sekolah, hingga café-café cantik yang menyediakan buku menarik sekaligus akses internet tersedia di berbagai sisi jalan Ibu Kota. Namun bagaimana dengan kondisi daerah-daerah lainnya di Indonesia, khususnya daerah-daerah yang terletak di luar pulau Jawa, apakah masyarakat di sana juga mendapatkan fasilitas yang sama?

Pengetahuan penulis akan kegiatan membaca di Indonesia banyak diberikan oleh tokoh-tokoh pustaka yang berkegiatan di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tokoh tersebut adalah Nirwan Arsuka yang melakukan ekspedisi dengan berkuda membawa berbagai buku menarik ke daerah-daerah di Pulau Sumba hingga Papua, tidak terbayang sang kuda bisa berjalan menempuh ratusan kilometer dan menyeberang lautan dengan kapal sambil membawa buku-buku di sisi punggungnya. Aldo, kuda jantan Sumbawa bersama Asep sang pemilik, berkeliling 3 kali dalam seminggu membawa buku-buku di daerah Lebak, Banten. Juga Ontel Pustaka yang terdapat di Majene, Sulawesi Barat dan Sidoarjo, Jawa Timur, bersepeda sembari membawa buku-buku dan berhenti di desa-desa hingga dikerumuni anak-anak yang penasaran ingin melihat buku. Serta perahu pustaka yang berlayar ke pulau-pulau terpencil, membawa berbagai macam buku menarik penuh warna menghadirkan senyuman bagi anak-anak yang tinggal di pesisir pantai Sulawesi.

Meskipun jenis kendaraan yang digunakan bervariasi namun tetap memiliki kesamaan tujuan, yakni memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses berbagai buku menarik. Di balik tujuan tersebut, terdapat keunikan akan setiap jenis kendaraan yang digunakan. Dengan menunggang kuda pergerakan akan lebih perlahan melalui daerah pegunungan dan lembah, dengan bersepeda dapat melewati jalan kecil di kampung-kampung, dan dengan perahu layar akan dapat menjangkau pesisir-pesisir di pulau-pulau kecil di Indonesia.

https://www.facebook.com/pg/Onthel-Pustaka-Majene-1368463523171103/photos/?ref=page_internal
https://www.facebook.com/pg/Onthel-Pustaka-Sidoarjo-RIM-605558259594452/photos/?ref=page_internal

https://www.facebook.com/aldo.tea.3511

http://www.bbc.com/travel/story/20161013-a-library-that-brings-books-by-sailboat
Pada artikel ini, karena sifatnya online, maka para pembacanya mungkin akan lebih banyak berada di kota-kota besar sehingga kurang mendapat bayangan akan kegiatan filantropi di daerah yang seringkali jauh dari akses baik itu listrik apalagi internet. Dengan alasan ini maka penulis akan lebih menceritakan tentang perahu pustaka yang digagas oleh salah satu tokoh literasi Indonesia yakni Nirwan Arsuka dan pergerakannya dalam memanfaatkan wilayah laut sebagai pemersatu pulau-pulau di Indonesia, karena sering kali ‘orang kota’ memandang laut sebagai pemisah pulau-pulau ini.

Perahu Pustaka bernama Pattingalloang ini sering disingkat dengan P3, dikelola oleh Muhammad Ridwan Alimuddin, yang memutuskan untuk berpindah dari pekerjaan tetapnya sebagai jurnalis berita lokal menjadi pekerja ‘fulltime’ berlayar membawa buku dengan perahu jenis ba’go khas Mandar. Muhammad Ridwan Alimuddin yang kerap disapa dengan Ridwan dalam berbagai tulisan yang mengulas pelayarannya, telah lama aktif melakukan penelitian terkait dengan topik maritim dan menulis 10 buku mengenainya. Ridwan memilih jenis perahu ba’go dengan pertimbangan bentuk dan ukurannya, “Jenis perahu ba’go, kalau masuk sungai lebih aman, bentuk lambung perahu lebar, sehingga tidak khawatir kandas” ungkap Ridwan dalam artikel berjudul ‘Perahu Pustaka Menyediakan Buku ke Pulau-Pulau’ oleh BBC Indonesia. Perahu berukuran panjang 10 m dan lebar 3 m ini pun dibuat dengan menggunakan jenis kayu Tipuluh yang ditebang di hutan, ditunggu kering, lalu dilanjutkan dengan upacara membuat perahu tradisi Mandar. Upacara ini berisikan harapan dan doa, agar proses pembuatan perahu berjalan dengan baik dan juga perahu dapat berlayar dengan selamat bersama nahkodanya sesuai dengan kegunaannya yakni sebagai perahu pustaka.

Sumber: artikel berjudul ‘Nahkodai Perahu Pustaka bawa 4000 Buku’ pada https://perahupustaka.com/page/2/
Setelah melalui proses pembuatan dengan menjaga tradisi Mandar, Perahu Pustaka Pattingalloang mulai berlayar pada Juni 2015. Perahu yang dapat mengangkut sekitar lima ribu buku ini, selain berfungsi sebagai perpustakaan perairan, juga dapat berfungsi sebagai sarana edukasi maritim, khususnya bagi wilayah Sulawesi yang sebagian besar terdiri dari wilayah perairan. Dengan melihat perahu yang membawa buku-buku bacaan berkualitas, anak-anak semakin tertarik, sebab perahu yang mungkin biasanya membawa ikan ataupun sebagai alat angkutan, ternyata juga bisa membawa sumber pengetahuan, dengan laut sebagai jalur transportasinya. Mengelola perpustakaan berwujud perahu tentunyamembutuhkan skill yang tidak gampang , pengelola perlu memiliki pengetahuan akan perahu sebagai alat transportasi sekaligus tempat tinggalnya ketika di perairan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah jam terbang dalam pelayarannya. Seorang nelayan Mandar sudah sangat awam dengan arah mata angin, arah angin berhembus sesuai waktu dan tempatnya, hingga pengetahuan akan rasi bintang. Walaupun telah melakukan penelitian selama 17 tahun akan kemaritiman, dan dapat mengoperasikan GPS serta kompas, Ridwan masih terus mempelajari cara berlayar lewat bertambahnya jam palayaran dengan Perahu Pustaka Pattingalloang.

Perahu Pustaka yang telah lama digagas dan mulai dibangun semenjak awal 2015, telah menjadi isu menarik sedari acara MIWF (Makassar International Writers Festival) yang diadakan setahun sekali di Makassar. Pada tahun 2015 tersebut, MIWF mengangkat tema ‘Karaeng Pattingalloang: Knowledge and Universe’ yang juga sesuai dengan nama perahu pustaka yakni Perahu Pustaka Pattingalloang. Nama Pattingalloang sendiri dipilih dengan alasan bahwa beliau adalah salah satu pahlawan ilmu pengetahuan yang berasal dari Sulawesi. Kecintaan akan ilmu pengetahuan mendorong Pattingalloang untuk dapat terus mengakses pengetahuan terbaru yang saat itu masih terpusat di Eropa. Bernama lengkap I Mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang yang disebut sebagai ‘The Galilleo of Macassar’, mampu berbicara dalam delapan bahasa asing : Latin, Yunani, Italia, Prancis, Belanda, Portugis, Denmark, Arab, serta memiliki perpustakaan pribadi yang menyimpan hampir semua buku pengetahuan pada zaman itu yang terbit di Eropa. Beliau juga merupakan orang yang memesan teleskop pertama setelah ditemukan oleh Galileo, serta globe terbesar dengan diameter 4 m, sehingga jarak dan waktu tidak menjadi penghalang bagi kekuatan niat Pattingalloang untuk dapat membaca serta memiliki berbagai buku dan peralatan.

https://www.facebook.com/pg/Perahupustaka-Pattingalloang-369475573245045/photos
http://www.bbc.com/travel/story/20161013-a-library-that-brings-books-by-sailboat

Berbagai tantangan ke depan, terutama pendanaan akan pelayaran P3 terus dihadapi oleh Ridwan dengan sikap optimistik. Buku-buku yang ia bawa sebagian merupakan hasil koleksi pribadi, sebagian berasal dari donasi. Begitupun dengan dana operasional pelayaran P3, donasi berdatangan dari pengusaha, teman-teman, serta dari orang-orang yang telah melihat kegiatan P3, baik secara langsung maupun via sosial media. “Dengan melihat wajah anak-anak tersenyum lalu membuka buku, semua perasaan akan kekhawatiran mendadak lenyap”, tutur Ridwan dalam artikel BBC berjudul Library that Brings Books by A Sail Boat.

Upaya yang dilakukan oleh Ridwan merupakan salah satu dari sekian filantropi lainnya. Menyebarkan budaya literasi, semangat membaca, dan membuka berbagai jalan baru akan akses terhadap dunia pengetahuan adalah ikhtiar dari Muhammad Ridwan Alimuddin sebagai pengelola perahu pustaka. Selagi mewujudkan mimpi, di lain pihak, kegiatan ini juga memunculkan mimpi-mimpi baru dalam diri anak-anak yang mendapatkan kesempatan melihat buku-buku dari perahu pustaka. Sangat mungkin, setelah melihat berbagai buku yang ada, cita-cita mereka menjadi lebih beragam akan profesi yang belum mereka ketahui sebelumnya.

Tulisan merupakan hasil olahan dari berbagai sumber:

https://perahupustaka.com/

http://www.bbc.com/travel/story/20161013-a-library-that-brings-books-by-sailboat

[TIPS] Membangun Kebiasaan Membaca Aktivis

Penulis: Any Sulistyowati

Adakah waktu yang rutin anda luangkan untuk membaca? Apakah bacaan tersebut berkontribusi pada peningkatan efektivitas kerja-kerja yang anda lakukan? Jika anda menjawab ya untuk kedua pertanyaan di atas, maka saya mengucapkan “SELAMAT” karena berarti anda telah memiliki kebiasaan membaca yang bermanfaat untuk peningkatan efektivitas kerja-kerja aktivis anda. Jika anda menjawab belum, maka tulisan ini mungkin bermanfaat untuk anda dalam membangun kebiasaan membaca.

Hambatan-hambatan pada membangun norma membaca

Ada banyak hambatan yang dihadapi banyak orang dalam membangun kebiasaan membaca. Hambatan-hambatan tersebut di antaranya adalah: kemauan , waktu, ketersediaan bacaan, ketersediaan sumberdaya untuk mengakses bacaan, berbagai hambatan teknis terkait ketrampilan membaca, masalah fisik dan tidak ada teman. Dalam tulisan ini, akan diulas masing-masing hambatan dan beberapa alternatif penyelesaiannya satu per satu.

Kemauan

Hal pertama yg diperlukan untuk menciptakan kebiasaan membaca merupakan kemauan. Sebagaimana istilah pepatah, ?Bila terdapat kemauan, pada situ ada jalan?; hal yang sama berlaku dalam kemauan menciptakan norma membaca. Masalahnya, bagaimana membentuk kemauan?

Untuk menciptakan kemauan, pertama-tama dibutuhkan kesadaran. Kesadaran yg kemungkinan akan menumbuhkan kemauan diantaranya pencerahan akan manfaat apa yang akan diperoleh melalui kebiasaan tersebut. Hal yg sama berlaku buat kebiasaan membaca.

Coba anda bayangkan manfaat apa yg anda akan dapatkan apabila anda meluangkan saat secara rutin buat membaca. Tuliskan semua manfaat itu di dalam sehelai kertas & renungkanlah sejauh mana anda menginginkan manfaat tadi anda peroleh.

Jika Anda merasa manfaat-manfaat tersebut sangat penting buat keberhasilan kerja-kerja aktivis anda, buatlah strategi mengenai bagaimana Anda dapat mewujudkan niat Anda tadi. Strategi yg Anda pilih perlu dibuat realistis. Artinya, strategi tersebut perlu mempertimbangkan kebiasaan Anda yang lain. Sebagai contoh, mungkin anda perlu mempertimbangkan langkah-langkah sedikit demi sedikit buat membangun norma membaca. Misalnya, pertama-tama Anda dapat menargetkan membaca satu artikel per bulan. Kemudian secara bertahap, jumlah tadi bertambah menjadi satu artikel per minggu & hingga akhirnya mungkin sebagai satu artikel perhari.

Ketika taktik telah ditetapkan, Anda perlu memperhitungkan bagaimana Anda dapat menerapkan taktik tadi secara konsisten. Untuk itu Anda mungkin perlu mempertimbangkan ketersediaan ketika dan sumberdaya-sumberdaya lainnya misalnya yang akan di bahas pada bagian selanjutnya menurut artikel ini.

Waktu

Setiap orang memiliki akses terhadap jumlah waktu yang sama setiap hari. Dua puluh empat jam sehari. Tidak lebih. Tidak kurang. Yang berbeda adalah bagaimana masing-masing memanfaatkan waktu yang dimilikinya. Jika Anda merasa kesulitan memperoleh waktu untuk membaca, maka yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama-tama, Anda perlu memahami dulu pola penggunaan waktu Anda. Setelah itu barulah Anda mencari kemungkinan-kemungkinan di waktu mana Anda memiliki peluang melaksanakan kegiatan membaca sebagai kebiasaan baru Anda.

Untuk memahami pola penggunaan waktu Anda, Anda mungkin bisa terbantu menggunakan memakai kerangka dari Stephen Covey, penulis kitab best seller, Seven Habits of Highly Effective People. Menurut Covey, penggunaan saat bisa dikategorikan ke pada empat kuadran. Yang termasuk kategori kuadran pertama adalah kegiatan-aktivitas yang penting & mendesak. Contoh aktivitas-aktivitas kuadran satu di antaranya: mengejar batas akhir pengumpulan tugas. Termasuk dalam kategori kuadran 2 adalah aktivitas-aktivitas yang penting namun nir mendesak, contohnya berolah raga setiap hari buat menjaga kesehatan tubuh. Kuadran tiga berisi kegiatan-aktivitas yang tidak penting tetapi mendesak, contohnya mengangkat telepon yang ternyata berisi iklan atau tawaran produk-produk yg nir berguna untuk hayati kita. Sementara yang termasuk dalam kuadran keempat merupakan kegiatan-aktivitas yg tidak krusial dan tidak mendesak. Contoh aktivitas-aktivitas kuadran empat adalah menghabiskan saat buat menonton film-film nir bermutu dan banyak sekali aktivitas tidak berguna lainnya. Stephen Covey menyarankan bahwa apabila kita ingin hayati kita efektif, maka kita perlu mengatur supaya aktivitas-kegiatan kita sebesar mungkin terdapat di kuadran dua. Untuk memperoleh waktu buat kegiatan-kegiatan kuadran dua maka kita perlu mengurangi kegiatan-kegiatan yang berada pada kuadran lainnya, khususnya kuadran empat & kuadran tiga.

Kuadaran Waktu - Stephen Covey

Kebiasaan membaca yang dimaksud dalam artikel ini merupakan kegiatan yg termasuk di dalam kuadran dua. Agar dapat memperoleh ketika buat norma membaca ini, maka kita perlu mendata kegiatan-kegiatan apa saja yang kita lakukan yg termasuk pada kuadran empat dan 3. Setelah kegiatan-kegiatan tadi terkumpul, kita pilih kegiatan-aktivitas mana saja yg usahakan kita tinggalkan dan kita gantikan menggunakan norma membaca ini.

Terutama bagi orang-orang yg sangat sibuk, sebagai akibatnya tidak mempunyai waktu lagi buat aktivitas-kegiatan kuadran tiga dan empat, maka yg perlu dikurangi adalah kegiatan-kegiatan kuadran satu. Perlu dipahami, waktu untuk membaca tidak harus berupa blok ketika yg panjang. Jika Anda hanya memiliki ketika seperempat jam setiap hari sebagai waktu yg mungkin, maka pakai itu. Seperempat jam sehari, berarti satu jam dalam empat hari, satu 3 perempat jam dalam seminggu, tujuh 1/2 jam dalam sebulan, sembilan puluh satu 1/4 jam dalam setahun. Dalam seperempat jam, mungkin Anda hanya dapat membaca setengah halaman. Tetapi pada sembilan puluh satu 1/4 jam, mungkin Anda dapat menyelesaikan satu kitab hampir 2 ratus halaman. Intinya manfaatkan sumberdaya saat yang anda miliki sebaik mungkin. Anda dapat memulai kebiasaan membaca menurut ketika yang terdapat.

Ketersediaan bacaan

Di zaman modern ini, bahan bacaan tersedia dari berbagai sumber. Anda dapat pergi ke toko buku dan membeli buku kesukaan Anda. Anda juga dapat pergi ke perpustakaan. Anda bahkan dapat menjelajahi dunia maya untuk memperoleh berbagai artikel dan buku elektronik yang dapat diunduh secara gratis. Anda juga dapat masuk ke klub membaca dan saling bertukar bahan bacaan.

Ketersediaan sumberdaya buat mengakses bacaan

Masalahnya, untuk mengakses bahan bacaan tersebut Anda memerlukan sejumlah sumberdaya lainnya. Misalnya untuk mendapatkan buku kesayangan di toko buku, Anda membutuhkan sejumlah uang. Untuk pergi ke perpustakaan Anda memerlukan transportasi. Anda mungkin juga memperlukan uang untuk membayar iuran anggota atau biaya peminjaman buku di perpustakaan tersebut. Untuk mengunduh artikel atau buku elektronik Anda membutuhkan akses internet. Bagaimana jika kepemilikan Anda akan sumberdaya-sumberdaya tersebut sangat terbatas?

Langkah pertama, Anda perlu mencari kabar bacaan yg Anda inginkan tadi dapat diperoleh dari mana saja. Langkah kedua, pilihlah sumber yg paling sedikit membutuhkan sumberdaya. Misalnya buat menerima akses internet, Anda bisa pergi membawa laptop atau android Anda ke tempat-tempat generik yang menaruh layanan wifi perdeo. Jika ada tidak mempunyai laptop atau android Anda bisa pulang ke warnet. Jika Anda sedang nir mempunyai uang buat membeli buku, anda dapat pergi ke perpustakaan atau permanen ke toko buku dan membaca di sana. Anda juga bisa pulang ke kios kitab bekas buat mendapatkan harga buku yang lebih murah. Atau mencari sahabat yang rela meminjamkan bukunya atau menjual kitab yang telah selesai mereka baca menggunakan harga lebih murah.

Berbagai hambatan teknis terkait ketrampilan membaca

Berbagai hambatan teknis di sini antara lain adalah kecepatan membaca, kemampuan konsentrasi ketika membaca, durasi rasa nyaman dalam membaca, serta kemampuan berbahasa. Sebagaimana berbagai ketrampilan lainnya, ketrampilan membaca dapat dibangun dengan latihan sehingga menjadi kebiasaan. Ketrampilan ini dapat meningkat seiring dengan frekuensi latihan, tetapi juga dapat menurun apabila tidak digunakan setelah kurun waktu tertentu.

Jika Anda mengalami kendala-kendala teknis semacam ini, jangan putus harapan. Langkah pertama, pilihlah bacaan-bacaan yang Anda sukai, sebagai akibatnya anda termotivasi bertenaga buat permanen membaca di tengah segala kendala teknis tadi. Setelah Anda relatif nyaman dalam membaca barulah memilih bahan bacaan yg lebih sulit dipahami dan membutuhkan konsentrasi dan upaya lebih tinggi buat mencernanya.

Apabila masih ada kendala bahasa atau kata-istilah sulit, kamus mungkin dapat membantu. Sekarang bahkan tersedia kamus elektronik dan layanan penelusuran liputan yang berbasis internet. Anda tinggal mengetikkan istilah-istilah yg sulit tersebut pada layar personal komputer , kemudian Anda akan terhubung menggunakan situs berisi fakta mengenai kata-kata sulit tadi. Dengan menggunakan fasilitas internet, poly saat bisa dihemat & liputan dapat dicari secara simultan & ketika yang relatif singkat.

Masalah fisik

Yang termasuk dalam masalah fisik di sini antara lain: kondisi mata, daya konsentrasi, kondisi punggung dan berbagai persoalan fisik lainnya. Masalah fisik kebanyakan terkait dengan usia. Dengan bertambahnya usia seseorang, apalagi setelah melampaui umur 40, biasanya ada kemunduran fisik di sana sini. Kemunduran ini bisa dicegah dengan cara membangun kebiasaan hidup sehat, baik dari aspek konsumsi makanan, kecukupan istirahat dan olah raga. Sikap duduk juga berpengaruh terhadap kondisi punggung dan kenyamanan membaca.

Selain pola hidup sehat, ketenangan membaca pula bisa didukung menggunakan banyak sekali fasilitas misalnya kacamata bagi mereka yang bermasalah menggunakan mata, kursi atau sofa nyaman untuk membaca, lampu yg relatif terang dan berukuran huruf yang nyaman dipandang mata.

Dengan norma hidup sehat & fasilitas pendukung membaca yang memadai dibutuhkan aktivitas membaca sebagai aktivitas yang menyenangkan dan menyehatkan.

Tidak terdapat teman

Untuk mencari teman Anda dapat pergi ke klub membaca atau Anda membuat sendiri perkumpulan membaca tersebut. Dengan berada di dalam kelompok, Anda dapat memperoleh dukungan dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah bertambahnya akses buku melalui proses pertukaran dan peminjaman. Dengan peminjaman dan pertukaran, Anda dapat menghemat uang. Dengan uang yang ada, Anda dapat membeli buku yang lain, khususnya yang tidak dimiliki oleh teman-teman Anda. Jadi dengan jumlah uang yang sama, Anda dapat membaca lebih banyak buku.

Keberadaan sahabat jua memotivasi kita buat terus membaca. Ketika kita & sahabat menyukai kitab yg sama, kita mempunyai sahabat berdiskusi tentang kitab tadi. Kita punya sahabat yang memotivasi kita buat terus membaca. Atau teman buat membaca beserta.

Penutup

Berbagai hambatan dalam membangun kebiasaan membaca, yaitu kemauan , waktu, ketersediaan bacaan, ketersediaan sumberdaya untuk mengakses bacaan, berbagai hambatan teknis terkait ketrampilan membaca, masalah fisik dan tidak ada teman telah dibahas di atas. Sekarang Anda sudah mengetahui berbagai hambatan dalam membangun kebiasaan membaca dan cara-cara mengatasinya. Semoga informasi tersebut dapat membantu Anda membangun kebiasaan membaca yang dapat meningkatkan efektivitas kerja-kerja perubahan yang Anda lakukan. Dengan berjalannya waktu, mungkin Anda akan menemui berbagai hambatan lainnya yang masih perlu Anda atasi. Semoga dengan terbiasa mengatasi hambatan-hambatan yang dibahas di atas, Anda tetap bertahan dalam membangun kebiasaan membaca. Keberhasilan Anda membangun kebiasaan membaca akan tergantung dari sejauh mana anda dapat mengatasi hambatan-hambatan tersebut dan tetap konsisten melaksanakan kebiasaan membaca di tengah segala hambatan yang anda hadapi. Selamat menikmati membaca.

***

Kamis, 04 Juni 2020

[MEDIA] POTRET, 14 Tahun Membangun Budaya Baca Di Kalangan Perempuan

Oleh Tabrani Yunis

Pemimpin Redaksi Majalah POTRET, Media Perempuan Kritis dan Cerdas

Alhamdulilah, pada tanggal 11 Januari 2017 ini, majalah POTRET, Media perempuan kritis dan cerdas ini genap berusia 14 tahun. Sebuah usia yang sudah lumayan lama untuk sebuah media, namun bila dianalogikan dengan usia manusia, ini adalah usia yang masih belia, bahkan masih di bawah umur. Namun, bila menelusuri lorong-lorong sejarah lahirnya, orientasinya dan bahkan cita-citanya, serta secara geografis, usia 14 tahun bagi majalah POTRET, termasuk usia yang lumayan lama. Ini menjadi masa yang seharusnya berada pada masa yang matang. Dikatakan demikian, karena latar belakang ( background) lahirnya majalah POTRET tidak sama dengan majalah-majalah yang terbit di ibu kota, dengan template dan patron yang bisa dikatakan business oriented. Ya, berbeda orientasinya dengan majalah-majalah yang terbit di pusat kota Jakarta. Majalah POTRET lahir dari sebuah keprihatinan terhadap nasib kaum perempuan yang menderita, terutama perempuan akar rumput yang ada di wilayah perdesaan.

Majalah POTRET yang mulai terbit pada tanggal 11 Januari 2003, sebelum bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh itu, terbit dilatarbelakangi dari keprihatinan akan nasib kaum perempuan di Aceh yang hidup terbelenggu kemiskinan. Secara kasat mata, kemiskinan yang dialami perempuan adalah kemiskinan harta benda atau kemiskinan material. Namun, bila kita telusuri lebih dalam, kemiskinan yang menghimpit perempuan adalah kemiskinan intelektual dan spiritual, yang wujudnya, miskin ilmu pengetahuan, miskin keterampilan dan miskin sikap atau spirit untuk maju. Kemiskinan ini semakin memperkecil akses dan kontrol kaum perempuan, terutama perempuan akar rumput (grassroots) yang hidup di perdesaan di Aceh, terhadap pembangunan, akses terhadap pendidikan. Kondisi ini membuat perempuan tidak punya kemampuan membaca, tidak punya minat membaca dan bahkan sama sekali kehilangan semangat untuk maju dan keluar dari belenggu kemiskinan tersebut.

Nah, berangkat dari keprihatinan tersebut, maka Center for Community Development and Education (CCDE), Banda Aceh, sebagai sebuah organisasi nirlaba (nonprofit), atau LSM yang peduli dan bekerja untuk perempuan, melakukan berbagai kegiatan pendidikan alternatif bagi kaum perempuan di Aceh. Kegiatan-kegiatan itu mulai dari kegiatan pertemuan membangun konsolidasi, membangun kesadaran dan hingga pada kegiatan pelatihan dan lain sebagainya yang bisa membuka mata perempuan, serta mendorong perempuan untuk secara aktif berkarya di tengah-tengah masyarakat, agar bisa keluar dari belenggu kemiskinan dalam berbagai bentuk dan jenisnya.

Akhirnya, lantaran niat & komitmen buat berbuat, membarui kondisi kemiskinan & kebodohan wanita yang parah itu menjadi lebih baik, maka selain memberikan pelayanan pendidikan alternatif, CCDE pada tahun 1998 menggagas lahirnya media belajar bagi kaum perempuan di Aceh. Lalu, selesainya melalui proses yg panjang, mempersiapkan penulis-penulis perempuan , dengan melatih 25 perempuan menurut 6 kabupaten pada Aceh menggunakan membentuk pencerahan membaca & membuat karya tulis, penggalangan dana buat penerbitan, maka buat pertama kali majalah POTRET diterbitkan dalam lepas 11 Januari 2003 kemudian. POTRET lahir pada bentuk media yg sangat minim, lantaran bentuknya masih newsletter. Tetapi demikian, menggunakan semangat membaca, POTRET ketika pertama kali terbit menggunakan tagline ? Media perempuan Aceh?. Artinya, masih terbatas pada kalangan perempuan pada Aceh saja. Sayangnya, baru 3 edisi terbit, bala tsunami meluluhlantakkan Aceh dan POTRET berhenti terbit. Sementara impian membentuk budaya & kebiasaan membaca masih belum beranjak. Tetapi, virtual itu nir meninggal, walau seluruh yg dimiliki CCDE dan POTRET habis disapu tsunami.

Nah, ketika trauma masih belum pulih, impian membantu perempuan keluar dari kemiskinan intelektual masih belum selesai, maka pada pertengahan 2006, tepatnya bulan Juli, POTRET kembali terbit dalam bentuk buletin setelah mendapat bantuan dari Hivos. Hadirnya POTRET saat itu menjadi amunisi baru untuk menyemangati kerja-kerja pencerdasan kaum perempuan lewat kegiatan membangun budaya baca di Aceh, pasca bencana tsunami tersebut. Sejak itu, upaya untuk menumbuhkan semangat membaca kaum perempuan, terutama yang menjadi penerima manfaat (beneficiaries) program CCDE semakin menggeliat. CCDE dengan terbitan POTRET mengadakan sejumlah pelatihan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan baca kaum perempuan Aceh dari 18 kabupaten di Aceh. Sejak saat itu, hingga tahun 2011, lebih dari 1000 perempuan di Aceh dilatih dengan kemampuan membaca dan menulis, sebagai bagian dari upaya membangun gerakan menulis di kalangan perempuan di Aceh saat itu. CCDE dan POTRET membangun kemampuan membaca dan menulis kaum perempuan dengan memposisikan perempuan sebagai pelaku atau subjek media, bukan sebagai objek, sebagaimana layaknya dan banyaknya media yang terbit lainnya.

Dengan cara ini, perempuan bukan hanya sanggup membuka mata menaikkan kemampuan atau daya baca, tetapi dibantu dan dibimbing buat sebagai lebih produktif dalam mengekspresikan pikiran, perseteruan, menganalisis dan jua mencari jalan keluar menurut sejumlah dilema yg dialami atau dihadapi sang kaum wanita di Aceh khususnya dan masyarakat global dalam umumnya. POTRET, di samping menjadi media buat membaca, sekaligus menjadi media belajar menulis, menuangkan wangsit atau pikiran secara tertulis.

Metodologi yang dipakai oleh majalah ini, jauh berbeda menggunakan media-media mainstream lainnya di tanah air. Jika majalah-majalah yg terbit di kota Jakarta, menerima naskah yg diketik menggunakan rapi dengan kriteria yg tinggi, maka majalah POTRET menerima kiriman karya tulis kaum wanita yang ditulis tangan & kemudian diketik & dilakukan penyuntingan yg tidak mengganggu pesan yang ingin disampaikan oleh para penulis wanita tadi. Kemudian POTRET terus bermetamorfosis, berdasarkan majalah komunitas sebagai majalah generik yg tidak hanya diterima gratis oleh para wanita yg menjadi beneficiaries menurut program CCDE, akan tetapi lalu masuk ke pasaran dan sebagai bacaan serta referensi bagi wanita-perempuan pada luar wanita akar rumput. POTRET menjadi satu-satunya majalah perempuan yg sangat peduli terhadap perkara perempuan . Satu-satunya majalah wanita yang terbit di Aceh & masuk menembus ke level nasional, bahkan sebagai media bagi perempuan pada taraf dunia. Buktinya, semakin banyak penulis & pembaca yang asal berdasarkan mancanegara yang mengirimkan goresan pena, baik pada Bahasa Indonesia, maupun Bahasa Inggris. Untuk memenuhi kebutuhan para wanita yg berada pada luar Aceh, majalah POTRET lalu menyediakan versi online, yg kini sanggup diakses pada www.Potretonline.Com

Episode yang membahagiakan Sejalan dengan semakin meluasnya jangkauan atau capaian pembaca dan penulis POTRET, maka tagline “POTRET, Media Perempuan Aceh” menjadi tidak relevan lagi. Sehingga kemudian tagline itu disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi, bahwa POTRET bukan lagi hanya menjadi media perempuan Aceh, akan tetapi menjadi media perempuan kritis dan cerdas, di mana saja berada. Jadi, walaupun terbit di Aceh, namun bukan hanya Aceh, akan tetapi juga semua perempuan di nusantara dan mancanegara. Ternyata dengan perubahan tersebut, kemudian semakin banyak perempuan di nusantara dan mancanegara yang terlibat aktif mengisi majalah ini untuk saling berbagi informasi, menyediakan bacaan yang menarik bagi para pembaca yang umumnya adalah perempuan.

Meluasnya jangkauan majalah POTRET terkait dengan semakin banyaknya goresan pena yg masuk berdasarkan para perempuan dari luar komunitas & menurut luar Aceh hingga ke mancanegara, membuat majalah POTRET menjadi semakin strategis bagi upaya menciptakan budaya baca di kalangan wanita, baik di Aceh, maupun pada luar Aceh. Bahkan dalam perjalanan selama 14 tahun, peran majalah POTRET membentuk budaya baca dan budaya literasi di kalangan perempuan , kemudian meluas masuk ke ranah pendidikan formal, dimana majalah POTRET sebagai bahan bacaan bagi para pelajar di sejumlah sekolah, pesantren dan perpustakaan. Dengan demikian, fungsi majalah POTRET merupakan menjadi media baca atau jua sumber bacaan perempuan dan warga generik.

Tentu saja, waktu majalah POTRET menjadi satu-satunya majalah wanita yang terbit pada Aceh untuk Indonesia ini, wajib sebagai media bersama yg bersinergi buat membangun budaya membaca, budaya berkarya atau budaya literasi, bukan hanya di kalangan wanita, tetapi pula pada kalangan rakyat generik pada Aceh & pada tanah air. Oleh karena itu, eksistensi majalah POTRET sebagai media perempuan kritis & cerdas, wajib selayaknya menerima dukungan positif menurut seluruh pihak yang peduli dan merasa krusial menciptakan budaya baca pada kalangan wanita, sampai semua wanita idealnya terbebas berdasarkan belenggu kebodohan & kemiskinan, sebagaimana hasrat atau impian awal majalah POTRET. Mari kita bangun sinergi menciptakan budaya baca pada masyarakat kita. Ini merupakan hal yg menggembirakan menurut bepergian panjang hadirnya majalah POTRET selama 14 tahun membentuk gerakan literasi di kalangan perempuan pada Aceh & nusantara.

Memilukan

Banyak hal yang membahagiakan dan melegakan hati dari sejarah perjalanan terbitnya POTRET dan kerja-kerja membangun budaya baca selama 14 tahun tersebut. Bisa bertahannya majalah ini selama kurun waktu 14 tahun adalah sebuah fakta yang menakjubkan, karena banyak media yang terbit di Aceh bertumbangan karena banyak faktor. Sementara POTRET, walau seperti kerakap tumbuh di batu, hingga kini masih eksis, ya masih terbit. Namun, di balik cerita suka cita tersebut, tidak sedikit pula cerita duka yang menyelimuti majalah POTRET.

Sebagaimana kita ketahui bahwa keberlanjutan sebuah media cetak, baik surat kabar maupun majalah ada pada ketersediaan pendanaan (sustainability of fund) dan ketersediaan tema dan artikel yang akan dipublikasikan. Ketersediaan dana, bisa dalam bentuk dukungan iklan dari berbagai pihak dan ketersediaan bahan untuk isi media yang dijadikan sebagai modal yang akan dijual kepada pembaca. Lalu, duka apa yang dialami oleh majalah POTRET?

Salah satu duka nestapa yang dialami sang majalah ini merupakan hilangnya kekuatan kapital keuangan buat seluruh proses produksi & distribusi. Ketiadaan dana membuahkan kegiatan penerbitan terseok-seok. Majalah POTRET terbit tanpa didukung oleh sponsor iklan atau asal pernapasan bagi sebuah media. Hal ini membuat majalah POTRET kesulitan dalam hal pembiayaan. Sehingga, majalah POTRET bagai kerakap tumbuh di batu; hayati enggan, tewas tidak mau. Kondisi ini semakin tidak baik ketika nir ada lagi donatur yang ikut membantu. POTRET harus terbit secara mandiri. Jadi, ini memang memilukan & semakin memilukan lagi, ketika Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yg mendengung-dengungkan kata sinergi, dalam kenyataannya itu hanya ilusi. Begitu jua pada kalangan LSM yg bekerja buat perempuan . Mereka nir melihat eksistensi majalah POTRET sebagai sebuah potensi atau kekuatan yg sebagai bagian berdasarkan gerakan wanita. Jadi memang memilukan. Karena ketika ini, majalah POTRET masih belum dianggap sebagai sebuah media yg mencerdaskan & diperlukan sang semua orang. Padahal, impian majalah ini adalah terbangunnya budaya baca dan berkarya di kalangan perempuan .

[MASALAH KITA] Aktivis Membaca

Oleh: Kukuh Samudra

Menurut data yang dilansir oleh UNESCO, sesungguhnya angka buta huruf di Indonesia tergolong rendah. Di tahun 2015, 92.6 persen warga Indonesia berusia di atas 15 tahun telah mampu membaca aksara[2]. Namun, sayang kemampuan dasar membaca di sini tidak diimbangi dengan minat membaca masyarakat. Survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2012 menunjukkan hanya 17,3 persen penduduk Indonesia yang membaca (baik buku, majalah, maupun koran) dalam rentang waktu satu minggu[3].

Hal ini bukan sebuah tren yang baik. Saat ini memang informasi dapat diperoleh dari mana saja. Namun, kedalaman informasi adalah sesuatu yang berbeda. Saat menonton televisi, kita akan memperoleh informasi dan gambar bergerak. Otak kita cenderung reseptif. Sementara jika kita membaca buku, otak kita dituntut mengolah informasi secara lebih aktif.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Jepang, menunjukkan bahwa aktivitas otak kita memiliki perilaku seperti otot tubuh. Semakin sering kita gunakan/latih, semakin besar dan kuat bagian tertentu yang berhubungan. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan semakin banyak orang menonton TV, semakin besar bagian lobus frontal yang biasa digunakan sebagai indikasi bahwa seseorang memiliki kercerdasan verbal yang rendah. Sementara membiasakan membaca buku sejak kecil menurut penelitian tersebut dapat meningkatkan keterampilan berbahasa[4].

Aktivis dan Membaca

Namun, di sisi lain, seperti orang-orang yang memiliki fokus di arsitektur komunitas, mereka mau tidak mau harus dapat menyesuaikan diri dengan warga yang mereka temui.

Husein adalah alumni ITB yang baru saja lulus, sementara Okie saat ini sedang berjuang menyelesaikan kuliah tahun terakhirnya di ITB.  Keduanya sewaktu masih kuliah dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang tidak hanya sibuk dengan kegiatan akademik, tetapi juga aktif berorganisasi. Mereka sama-sama pernah menjabat sebagai menteri/setingkat menteri dalam Kabinet Seru Keluarga Mahasiswa ITB. Okie pernah menjabat sebagai Menteri Kajian Strategis, sedangkan Husein Pernah menjadi Direktur Penelitian dan Pengembangan.

Okie mengaku memiliki ketertarikan terhadap isu sosial-humaniora. Untuk menjawab pertanyaan seputar fenomena sosial yang berkembang dia tidak ragu untuk membaca buku-buku bertema sosial, ekonomi, hingga filsafat. Selain karena kegemaran, posisi yang diemban oleh Okie juga mendorong ia untuk lebih rajin membaca buku. "Membaca buku berguna untuk dapat memproblematisasi suatu masalah secara lebih mendalam", tutur Okie.

Husein sendiri mengaku sebetulnya kurang senang membaca, meskipun setiap hari dia menyempatkan waktu 3 jam untuk membaca. Waktu 3 jam tersebut dia habiskan untuk membaca buku, koran, atau artikel di internet. Hanya buku dengan topik tertentu yang Husein gemari, misal sejarah dan legenda lokal.

Ketika menjabat sebagai menteri, Husein mengaku justru lebih jarang meluangkan waktu untuk membaca topik yang dia gemari. Dia lebih banyak membaca makalah-makalah yang berhubungan dengan isu aktual yang sedang berkembang di kampus. "Misalnya saat isu larangan merokok berkembang di kampus, saya lebih banyak baca makalah yang berhubungan dengan isu tersebut.", kata Husein.

Lain hal dengan Okie, saat ini Usie beraktivitas di ASF, yaitu sebuah LSM dengan basis kegiatan arsitektur komunitas. Menurutnya membaca buku tetap dibutuhkan karena menurutnya ilmu yang didapatkan di bangku kuliah tidaklah cukup. ”Mahasiswa lebih senang mendesain daripada melakukan kajian desain dan teori-teori. .. Kaya semiotika di arsitektur itu gak diajarin. Padahal ada implementasinya di desain. Kita harus baca sendiri” kata Usie.

Usie mengaku banyak mendapatkan inspirasi setelah membaca buku. Namun menurutnya temuan itu harus tetap dikritisi dengan konteks lapangan. Hanya berpegang pada teori tanpa mau membenturkan dengan realita hanya akan berujung pada sikap anti-kritik. Dalam berkegiatan, Usie berpegang pada pola baca-penemuan-implementasi-refleksi.

”Teori kan gak semuanya kontekstual ya, contohnya kitab sucinya urbanis-kiri kan David Harvey yang Right to The City. Itu kalau ditabrak dengan realita Indonesia ya sulit untuk diimplementasikan. Harus kritis buat modifikasi. Harusnya orang bisa bikin buku dari proses itu. Buku ala konteks Indonesia”, Usie menerangkan.

Alasan lain dikemukakan oleh Siska yang juga aktif di ASF. Dia menjelaskan manfaat membaca adalah mengetahui apa yang belum diketahui, atau memahami suatu konsep yang sudah kita ketahui; tapi belum pernah kita wujudkan dalam kata-kata.

Inspirasi tersebut didapatkan oleh Siska setelah membaca buku berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas” karangan Paulo Freire. Dia memberikan contoh kata ‘bangkrut’ yang berkorelasi dengan kata hancur, pailit, kemunduran, kehancuran, dan sebagainya. Dari kata yang berkorelasi tersebut, akan muncul korelasi yang lain, dan seterusnya.

Perdana Putri adalah seorang yang memiliki perhatian terhadap isu hak asasi manusia. Perempuan yang mengaku sangat cinta dengan ilmu pengetahuan ini menolak disebut sebagai aktivis. Menurutnya apa yang dia lakukan belum seberapa dibandingkan banyak seniornya yang telah mencurahkan konsentrasi serta tenaganya bagi isu HAM. Bagi perempuan yang akrab dipanggil Pepe ini membaca buku maupun jurnal dibutuhkan untuk memahami konteks wacana. Kurang pengetahuan dan informasi, menurut Pepe hanya akan membuat kita lupa mengenai akar permasalahan dan gagap dalam menanggapi banyak hal.

Namun, ternyata tidak semua ‘aktivis’ ini sinkron antara yang dia baca dengan kesibukan dia sebagai aktivis. Anggika mengalami hal  ini ketika dia diharuskan kantornya, sebuah organisasi non-profit di Jakarta, untuk membaca buku yang sesungguhnya tidak dia suka. Menurut pengakuan Anggika, awalnya dia kontra dengan ide besar buku-buku yang direkomendasikan atasannya. Meski demikian, Anggika tetap mau membaca sebagai bahan pembanding dan refleksi.

Membaca berkaitan dengan Proses Memperoleh Informasi dan Pengetahuan

Medium yang beraneka ragam tersebut kenyataannya tidak selalu menghasilkan dialog yang sama. Interaksi antara informasi dan pembaca, dengan kata lain, tergantung dari medium yang digunakan.

Revolusi teknologi informasi yang terjadi sejak abad 20 akhir telah mengubah dunia secara signifikan. Teknologi informasi, dengan karakteristik multi-media seolah meluruhkan batas ruang-dan waktu. Sebagai contoh, kita bisa dengan lekas memperoleh gambaran realtime fenomena yang terjadi di belahan dunia meski beribu kilometer jauhnya.

Sebaran informasi yang semakin cepat ternyata berimplikasi juga pada perilaku. Manusia akan merasa sangat terlambat jika tidak membaca koran di pagi hari. Manusia akan merasa rugi tanpa peka terhadap tren terbaru, dan sebagainya.

Untuk memenuhi kebutuhan akan informasi, banyak hal yang dilakukan oleh manusia. Terutama dengan beragam media yang ditawarkan saat ini. Melalui siaran radio, tayangan televisi, kicauan di media sosial, atau yang paling klasik, membaca buku.

Saat ini kita bisa dengan mudah mengakses video atau film dengan akses yang hampir tak terbatas. Cukup membuka situs pencarian, berita (news) atau kuliah dari orang-orang terkenal dapat kita nikmati di mana saja, kapan saja, bahkan berulang-ulang.

Namun menurut Pepe, membaca buku tetap tidak tergantikan meskipun berbagai kemudahan pencarian informasi dengan internet, terutama video mudah kita dapatkan. Pepe memberikan penjelasan, “Kalau via video, informasi cenderung tidak terkendali, dalam artian, ada proses penundaan yang hilang/lebih lambat untuk si pembaca/penerima teks untuk mencerna. Hal ini tentu berbeda dengan membaca buku yang prosesnya lebih lama, dan memberikan waktu bagi yang menyerap untuk mengevaluasi apa yang dia baca.”

Alasan lain untuk tetap membaca buku dikemukakan oleh Siska, “Literatur dan catatan adalah repositori yang menyimpan begitu banyak dimensi dan material, sehingga dengan membaca kita seperti melintasi jaman dan pemikiran.”

Meski beragam media informasi menawarkan informasi yang lebih cepat dan menarik (secara citra visual), membaca buku bagi para aktivis tetap merupakan sebuah kebutuhan yang tidak tergantikan.

Akses Memperoleh Bahan Bacaaan

Jumlah pembaca buku di Indonesia yang rendah berimbas pada industri buku. Melihat pasar yang minim membuat penerbit tidak berani menerbitkan banyak judul buku. Menurut data yang dirilis oleh International Publisher Associaton, rasio buku baru/cetak ulang per sejuta jumlah penduduk Indonesia per tahun berada pada angka 119. Angka ini termasuk rendah dibandingkan negara lain. Ambil contoh Norwegia yang memiliki angka rasio 1275 atau Prancis dengan angka 1008. Bahkan untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih kalah oleh Thailand (215), Vietnam (273), atau Malaysia (679)[5].

Jumlah buku yang diterbitkan menunjukkan seberapa besar pilihan buku yang ada di pasar. Semakin sedikit buku yang diterbitkan, semakin sedikit pilihan buku untuk dibaca. Semakin nestapa, jumlah buku yang dicetak per judul di Indonesia tergolong kecil.

Ronny Agustinus adalah pendiri penerbit Marjin Kiri. Penerbit yang identik dengan penerbitan buku-buku kajian sosial humaniora dan sastra. Dalam wawancara dengan Indoprogress, Ronny menceritakan pengalamannya ketika harus mengurus hak cipta dan royalti terjemahan dengan penerbit luar negeri. Penerbit luar negeri terkejut ketika dia menyampaikan kondisi pasar buku di Indonesia. Mereka mulanya tidak percaya dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa, di sisi lain sebuah penerbit hanya mampu mencetak 1.000 eksemplar per judul buku.

Sedikit pilihan buku di pasar tidak jarang membuat pembaca kesulitan mencari buku yang dia cari. Usie menceritakan kesulitannya memperoleh buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang tergabung dalam Trilogi Nusantara. Sesuai namanya, Trilogi Nusantara memuat tiga judul buku yaitu: Arok Dedes, Mata Pusaran, dan Arus Balik. Dari ketiga judul tersebut, hanya judul pertama yang saat ini mengalami cetak ulang dan tersedia di pasaran. Novel Arus Balik terakhir dicetak pada tahun 1995 dan belum pernah mengalami cetak ulang. Sementara judul kedua, Mata Pusaran, nasibnya lebih naas lagi. Dia telah lenyap  dihancurkan oleh pihak militer Orde Baru dan hanya menyisakan halaman 232-362. Itu pun didapatkan oleh pihak keluarga pengarang atas bantuan seorang Belanda yang menemukannya di penjual buku bekas di Kwitang.

Usie mengaku pernah kontak dengan seseorang di media sosial yang menjual beberapa buku karangan Pram, termasuk Mata Pusaran dan Arus Balik. Namun, belum sampai harga awal dibuka, si penawar tiba-tiba membatalkan niatnya.

Dari riset yang kami lakukan di beberapa penjual buku daring yang saat ini menjamur, harga novel Arus Balik yang asli/legal mencapai 1,5 juta. Itu pun peredarannya terbatas. Sementara untuk Mata Pusaran, hanya keluarga Pram yang dipastikan masih memiliki naskahnya. Itu pun dalam keadaan yang cacat.

Untuk dapat mengakses novel Arus Balik, Usie akhirnya tidak jadi membeli bukunya. Dia telah menemukan novel tersebut sebagai salah satu koleksi dari Kineruku, sebuah perpustakaan swasta di Kota Bandung.

Kesulitan mencari buku juga pernah dialami oleh Pepe. Sekian lama dia mencari novel berjudul Semua Untuk Hindia karya Iksaka Banu dan Anti-Politics Machinekarya James Ferguson. Meski novel Semua Untuk Hindia relatif baru diterbitkan (terbit tahun 2014), stok di pasaran ternyata sudah langka. Padahal, novel tersebut merupakan pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2014, salah satu penghargaan sastra paling bergengsi di negeri ini.

Pepe mencoba untuk mencari kedua buku tersebut di perpustakaan. Dua perpustakaan yang terkenal memiliki koleksi lengkap dia kunjungi : perpustakaan kampus UI dan perpustakaan milik Freedom Institute. Dua perpustakaan yang dia andalkan tersebut ternyata tidak mengoleksi buku yang Pepe cari.

Semua untuk Hindia akhirnya Pepe dapatkan dari penjual buku daring. Sementara Anti-Politics Machine berhasil didapatkan Pepe setelah fotokopi buku milik ayah seorang temannya.

Copyright atau Right-to-Copy? - Dilema Aktivis memperoleh Bahan Bacaan

Pendidikan tanpa ilmu pengetahuan tidak ada bedanya dengan pabrik pencipta manusia siap pakai (sesuai kebutuhan industri). Barangkali itu fakta yang terjadi saat ini. Pendidikan kita diatur sedemikian rupa, sehingga hanya orang-orang terbatas yang bisa mengakses ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan direkayasa menjadi sebuah komoditas baru.

Salah satu kedok komodifikasi ilmu pengetahuan adalah melalui hak cipta. Ada unsur yang dilematis sebetulnya: di satu sisi hak cipta adalah bentuk apresiasi terhadap kerja dan waktu yang dicurahkan oleh penulis, di satu sisi dia dimanfaatkan oleh industri untuk membatasi akses khalayak terhadap ilmu pengetahuan. Siapa yang mampu untuk mengakses ilmu pengetahuan jika harga sebuah buku atau akses terhadap jurnal berkali-kali lipat harga kebutuhan pokok mereka?

Internet menawarkan sebuah akses terhadap informasi dan pengetahuan yang relatif tidak terbatas-dan tidak sedikit yang ‘ilegal’. Melalui beberapa situs, kita bahkan bisa mendapatkan softcopy buku-buku laris dan terkenal secara gratis. Situs lain bahkan menawarkan unduh jurnal ilmiah teraktual secara gratis tanpa harus mendaftar atau berlangganan yang jika kita ingin mengakses secara legal bisa jadi harganya 10 kali lipat biaya sekali makan.

Aaron Swartz adalah seorang hackersekaligus aktivis. Dia mendukung penuh kebebasan manusia untuk memperoleh informasi dan akses terhadap pengetahuan. Dalam usia 26 tahun, meminjam istilah Goenawan Mohamad, dia adalah pemuda sekaligus sesepuh. Aaron telah meninggal pada tahun 2013 yang lalu. Motif kematian diduga adalah bunuh diri akibat ketakutan atas tuntutan kejaksaan yang menuntut hukuman berat atas ‘kejahatan’ pelanggaran hak cipta yang dia lakukan.

Goenawan Mohamad menulis Catatan Pinggir majalah Tempo edisI 27 Januari 2013[7] sebagai berikut:

… Empat tahun yang lalu Aaron menyusun sebuah manifesto yang menegaskan pandangannya: informasi, terutama informasi ilmu pengetahuan, tak boleh dikungkungi buat segelintir orang, khususnya di perpustakaan kalangan akademia di negeri-negeri kaya. Menyediakan karya ilmiah bagi universitas-universitas elite di Dunia Pertama, tapi tidak untuk anak-anak di Dunia Selatan? Itu sama sekali tak pantas dan tak dapat diterima.

.

Di minggu pertama Januari 2011, Aaron ditangkap karena ketahuan mengunduh 4 juta dokumen dari khazanah karya ilmiah yang disimpan JSTOR, perpustakaan digital terkenal itu. Ia menggunakan jaringan Massachusetts Institute of Technology melalui sebuah laptop yang disembunyikannya di lantai dasar Gedung 16. Ia bermaksud membagikan karya-karya ilmiah itu ke siapa saja yang butuh tapi tak punya akses. Ia menentang kebijakan JSTOR yang membayar penerbit dan bukan si penulis atau si pembuat karya bila karya itu diunduh.

Masalah hak cipta bukan sekadar masalah legal hukum. Dia tidak mungkin bisa lepas dari relasi kekuasaan. Di satu sisi, frasa-frasa dalam Bahasa Inggris seringkali membingungkan. Apa maksud dari free-sugar? Gratis gula? Apa pula arti dari copyright? Apakah copyright = right to copy?

Salah satu teman aktivis mencoba menyikapi hal ini dengan bijak. Dia mengaku bukan anti copyright, tapi di satu sisi tidak terlalu peduli dengan copyright. Dengan beberapa trik ‘umum’ yang tersebar di internet, aktivis satu ini mengaku cukup terbantu untuk mendapatkan akses jurnal ilmiah maupun buku-buku berkualitas terbaik. Meski demikian, jika memungkinkan untuk membeli karya asli, teman saya tidak ragu untuk menyisihkan uang bulanan yang terbatas.

Banyak buku bagus dan sebetulnya menjadi rujukan utama yang sayang hampir tidak mungkin bisa  didapatkan di pasar buku Indonesia. Bahkan, beberapa perpustakaan tidak memiliki koleksi buku tersebut. Dengan akses internet yang menembus batas ruang dan waktu, buku-buku berkualitas dapat kita nikmati secara bebas.

Situasi ini dilematis baik dari sisi pembaca, penulis, maupun penerbit. Meskipun tingkat literasi secara umum masyarakat Indonesia rendah, bukan berarti tidak ada pembaca yang serius di dalamnya. Beberapa kawan aktivis yang saya kenal dapat menamatkan 3-5 buku tiap bulan. Dia rela untuk membeli sebuah buku meski harganya 5 kali harga makan siang. Namun, masalahnya bagaimana jika meski dia telah mau menyisihkan uang tetapi barang tidak ada?

Dari sisi penerbit, penerbitan buku berkualitas atau kajian kritis tidak bisa lepas dari hitung-hitungan bisnis. Penerbitan buku kajian kritis, bisa jadi sama sekali tidak menguntungkan dibandingkan jika menerbitkan buku-buku selfhelp, motivasi, atau manajemen.

Marjin Kiri mungkin adalah salah satu penerbit yang cukup nekat. Meski tahu betapa memprihatinkan pasar buku kajian kritis di Indonesia, penerbit ini tetap menerbitkan buku-buku yang mungkin tidak pernah kita dengar judul buku maupun pengarangnya tetapi mereka yakini sebagai buku baik.

Mungkin banyak juga penerbit dengan idealisme seperti ini. Namun, banyak juga di antara mereka - untuk mengakali dan menekan biaya produksi - mengelak dari pembayaran royalti baik kepada penulis maupun penerbit asalnya (kebanyakan berkualitas ini masuk dalam kategori buku terjemahan).

Eka Kurniawan adalah novelis Indonesia yang paling diperhitungkan saat ini. Novelnya yang berjudul “Lelaki Harimau” masuk dalam nominasi penghargaan international: Man Booker Prize 2016. Tahun ini Eka Kurniawan baru saja menerbitkan sebuah novel baru berjudul “O”. Baru beberapa bulan setelah peluncuran resmi, versi bajakan sudah tersebar luas di pasar. Segera setelah itu Eka Kurniawan mengemukakan kekecewaannya di blog pribadinya[8]:

Ya ampun pembajak, bahkan motong bukunya sembarangan, dan sisa scan masih keliatan. Mbok nunggu sampe terjual sejuta kopi gitu lho, mben penulise ngerasani sugih sek *sambil ngayal beli truk*.

Belilah yang aseli, biar pengarang hepi.”

Pendapat lain dikemukakan oleh Seno Gumira Ajidharma. Penulis produktif yang telah menghasilkan setidaknya 6 buku kumpulan cerpen ini mengaku, siapa pun bebas untuk membajak buku hasil karyanya. Menurutnya, dia tidak mau terlalu pusing dengan urusan industri buku. Dia hanya ingin fokus menulis, karena baginya masih banyak hal di dunia ini yang belum dia tuliskan.

Seorang kawan aktivis yang lain pernah mengalami posisi dilematis soal kepemilikan buku. Dia adalah remaja yang tumbuh bersama buku. Ketika dia pertama kali masuk kuliah dan memutuskan untuk indekos, yang menarik barang bawaan terbesarnya justru buku-buku yang selalu setia menemani.

Suatu ketika dia mengalami kesulitan finansial. Harta yang dia miliki satu-satunya adalah buku. Dia harus mengambil keputusan sulit: menjual buku-buku yang selalu setia menemani. Setelah menjual buku-buku tersebut, rasa sedih tidak bisa lepas darinya. Pertama, buku-buku tersebut memiliki kesan pribadi. Kedua, kekhawatiran kehilangan akses informasi dari buku tersebut di masa depan. Untuk alasan kedua, teman saya cukup bisa merelakan. Internet telah menjamin dia untuk mengakses informasi kapanpun dia butuhkan. Meski ilegal.

Kumpulan Buku

Beberapa buku populer mungkin bisa kita dapatkan (secara ‘ilegal’) di dunia maya.  Namun, kebanyakan buku tersebut ditulis dalam Bahasa Inggris. Untuk beberapa buku karangan penulis Indonesia, terdapat beberapa kemungkinan untuk mengakses : beli di toko buku atau meminjam di perpustakaan.

Membeli dan memiliki buku memiliki kesan sendiri. Selain akses terhadap buku yang lebih bebas, memiliki buku di sisi lain juga dilandasi oleh alasan yang lebih personal. Pepe dalam blognya menulis:

... “Hal lain yang menyadarkan saya adalah buku tidak melulu sebuah simbol rasionalitas (bukan karena ada buku semacamUdah Putusin, Aja! dan kompilasi fakta boleh-sadur dari blogspot tentang selebriti Korea) betapapun isinya. Melainkan, yang paling penting juga dari artefak itu adalah perjalanan yang kita sadari penuh untuk ikut, dalam rangka menguak ketidaktahuan di dunia antah barantah di dalamnya.”

Beberapa perpustakaan saat ini banyak yang menarik.  Jauh dari kesan perpustakaan yang usang: terbatas, (wajib) hening, kaku, dan penuh debu (juga berhantu), perpustakaan yang baru ini menawarkan sebuah konsep yang lebih segar, santai, penuh interaksi, dan homy. Uniknya, perpustakaan seperti ini justru banyak dikembangkan oleh pihak swasta.

Salah satu contoh adalah Kineruku. Perpustakaan yang dikelola oleh sepasang suami istri ini tersohor di kalangan anak muda hipster Bandung yang haus akan bahan bacaan bermutu. Berawal dari rumah peninggalan kakek salah satu pemilik, lantas disulap menjadi sebuah perpustakaan swasta yang menyediakan buku-buku bermutu.

Akses terhadap ilmu pengetahuan di masa sekarang semakin mudah. Para aktivis mengaku tidak mengalami kesulitan berarti dalam mencari bahan bacaan. Mungkin yang justru menjadi tantangan saat ini adalah, meningkatkan kegemaran para aktivis untuk membaca dan menularkan budaya membaca tersebut sehingga akses yang terbuka lebar tidak sia-sia.

***

[1]http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia

[2] UNESCO, UNESCO Institute for Statistics (2012).  ADULT AND YOUTH LITERACY, 1990-2015 Analysis of data for 41 selected countries [Data File]. Diambil dari: http://www.uis.unesco.org/literacy/Documents/fs32-2015-literacy.pdf

[3] Badan Pusat Statistik (2012). Proporsi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Membaca Selama Seminggu Terakhir menurut Provinsi, Jenis Bacaan, dan Tipe Daerah, 2012 [Data File]. Diambil dari: https://www.bps.go.id/website/tabelExcelIndo/indo_27_4.xls

[4] http://www.medicaldaily.com/neural-pathways-watching-tv-human-brain-reading-book-389744. Diakses tanggal 12 November 2016 pukul 22.00.

[5] International Publishers Association. Annual Report October 2013-October 2014, 2014 [Data File]. Diambil dari: http://www.internationalpublishers.org/images/reports/2014/IPA-annual-report-2014.pdf

[6] http://www.tempo.co/read/caping/2013/01/27/128692/Prometheus. Diakses tanggal 12 November 2016 pukul 20.00.

[PIKIR] Membaca di Era Digital

Penulis: Sofie Dewayani

sumber-teorikomputer.Com

Selamat datang di dunia Gen Z, dunianya generasi muda yang melek teknologi. Survei Nielsen di Indonesia pada Oktober 2016 memperkuat ungkapan ini. Survey ini menemukan bahwa anak (usia 10-14 tahun) dan remaja Indonesia (umur 15-19) lebih gemar mengakses internet ketimbang membaca buku. Survey ini lebih jauh menyebutkan bahwa persentase anak yang membaca buku hanya 11 %, dan remaja hanya 10 %. Sementara itu, hanya 4 % orang dewasa membaca buku. Anak-anak dan remaja mengakses internet untuk mencari informasi (8 % untuk anak-anak dan 17 % untuk remaja) ketimbang bermain (hanya sekitar 6 % pada kedua kelompok ini. Fakta bahwa media teknologi lebih banyak diakses ketimbang media cetak tak dapat dielakkan lagi.

Perkembangan teknologi digital acapkali dipercaya menjadi kambing hitam bagi kegemaran membaca. Orang khawatir bahwa waktu internet semakin mudah diakses, kitab cetak nir lagi menarik minat pembaca. Di Indonesia terutama, kekhawatiran ini ada lantaran minat membaca belum tumbuh. Kekhawatiran yg sama mengemuka pada dunia Barat pada awal kemunculan teknologi visual, yaitu televisi & film. Namun kekhawatiran ini tidak terbukti. Buku-kitab cetak permanen digemari saat itu, lantaran diproduksi dengan memenuhi tantangan teknologi visual. Buku-buku dibentuk menggunakan kaya warna, ilustrasi & desain yang menarik. Inovasi terjadi pada global komik, novel grafis, & buku bergambar, yang digarap menggunakan kualitas konten, warna, dan desain yg lebih baik. Televisi sempat mencuri perhatian sesaat, namun orang permanen kembali kepada buku cetak. Hal ini menunjukan bahwa teknologi visual bahkan memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia membaca. Budaya membaca buat kesenangan (reading for pleasure) semakin tumbuh karena dipupuk & dimanjakan oleh buku-buku yang baik. Perkembangan budaya membaca buat kesenangan tumbuh seiring menggunakan inovasi dalam teknologi visual.

Asal-wawanindrairawan.Wordpress.Com

Inovasi dalam produksi buku telah tampak di Indonesia menggunakan kemunculan buku-kitab bergambar yg memperhatikan aspek desain, penataan, dan ilustrasi secara lebih berfokus. Penulis-penulis kitab anak, misalnya, berpartisipasi dalam ajang kompetisi taraf Asia & internasional dan perhatian konsumen kitab mulai diarahkan kepada kitab -kitab yang mendapatkan pernghargaan dalam kompetisi ini. Sayangnya, kitab -kitab berkualitas hanya bisa diakses oleh kelas atas dan menengah pada daerah perkotaan di Pulau Jawa. Rendahnya daya beli & mahalnya ongkos ekspedisi serta distribusi mengakibatkan buku-kitab berkualitas ini tidak bisa diakses oleh sebagian akbar pembaca, terutama mereka yang tinggal pada pedesaan, luar Jawa, & daerah-daerah terluar pada Indonesia. Karenanya kita memaklumi, bila perpustakaan-perpustakaan SD masih menyimpan buku-buku Inpres atau DAK (Dana Alokasi Khusus) yg miskin kualitas serta cerita warga yg tak sesuai menggunakan daya nalar & pemahaman mereka. Inovasi dalam peningkatan kualitas dan distribusi kitab anak terbukti kalah cepat menggunakan perkembangan teknologi internet & gawai elektronika yang sudah menyebar ke segala penjuru Indonesia. Informasi digital ketika ini sudah menjadi materi bacaan yg diakses secara masif. Kegiatan membaca digital menghipnotis cara seorang mencerna kabar, perilaku membaca, & cara tahu bacaan. Karena itu, upaya menumbuhkan minat baca membutuhkan strategi khusus & perlu memperhatikan perilaku dan preferensi membaca pada era digital ini.

Perilaku Membaca Gen Z

Apabila kepada seorang anak balita diberikan perangkat gawai berlayar, umumnya beliau akan mendapat gawai itu menggunakan antusias, lalu menggeser-geserkan telunjuk dan mak jarinya pada layar tersebut, meskipun perangkat tersebut tidak menggunakan teknologi ?Touch sreen;. Salah satu ciri Gen Z merupakan mereka terlahir dengan kepiawaian memakai gawai karena mereka tumbuh menyaksikan, dikelilingi, dan terhibur sang perangkat tadi. Anak-anak Gen Z dibesarkan sang apa yang tersaji pada layar kaca & layar digital sehingga mereka berpikir & membaca dengan akal & cara yg tidak sinkron menggunakan generasi pendahulunya. Salah satu konduite membaca masa kini yg diamini sang banyak peneliti merupakan norma membaca teks-teks pendek & kemampuan multitasking saat membaca. Pembaca pada era digital jarang berfokus pada satu bacaan dalam jangka saat yg lama . Mereka beralih perhatian menurut bacaan satu pada bacaan lain, kepada surel, pada kegiatan berselancar pada global maya, atau berkomunikasi pada media sosial. Jenis teks & cara membaca ini membuktikan berkurangnya rentang konsentrasi dan daya tahan membaca dalam satu bacaan. Tujuan membaca sebagai semakin pragmatis; orang membaca hanya buat mencari fakta eksklusif yang spesifik.

Sumber-cityanalysts.Blogspot.Com

Banyak peneliti menempatkan kegiatan membaca kitab cetak & elektronik pada sisi yg antagonis. Ziming Liu (2005) berkata bahwa waktu membaca keterangan digital, pembaca cenderung mencari informasi yg spesifik menggunakan teknik memindai (scanning), memakai istilah kunci eksklusif, membaca dengan alur yang nonlinear, & membaca penggalan keterangan secara selektif. Ketika melakukan ini, pembaca mengabaikan poly keterangan detail. Hal ini tentunya tidak selaras dengan pembacaan terhadap buku cetak yg biasanya dilakukan menggunakan perhatian penuh, lebih terfokus, sehingga menerima kabar secara lebih sistematis. Praktik menuliskan komentar dalam marjin buku & menggarisbawahi kalimat (teknik anotasi) yg tak jarang dilakukan pembaca waktu membaca buku cetak pun nir dilakukan sang pembaca konten digital, meskipun fitur ini tersedia pada perangkat digital.

Aktivitas memindai pun dilakukan oleh pembaca cetak & digital dengan cara yang tidak sinkron (Olsen, 1994). Saat membaca buku cetak, pembaca memindai bacaan untuk menemukan kabar tertentu sambil berusaha tahu keseluruhan teks. Pembaca pun bisa mengingat warta yg dipindai tadi menggunakan lebih baik karena beliau dapat menandai letaknya pada buku. Menurut Olsen (1994), ingatan visual ini tidak terjadi pada kegiatan menelusuri bacaan digital (scrolling up, scrolling down). Teks digital biasanya dibaca secara parsial, sebagai akibatnya pembaca nir membacanya sebagai satu kesatuan inspirasi secara utuh. Dalam hal ingatan terhadap konten bacaan, Penelitian Anne Mangen menurut Universitas Norwegia menemukan bahwa pembaca buku cetak untuk mengingat informasi dari materi bacaan menggunakan lebih baik ketimbang buku elektronik. Studinya pertanda bahwa pembaca buku cetak mampu menceritakan ulang isi bacaan menggunakan lebih baik & lebih detil ketimbang pembaca buku elektro.

Meskipun demikian, kita tak mengelak kabar bahwa konten digital mempunyai beberapa fitur unggul. Pertama, teks digital menawarkan cara yg instan buat mengakses liputan. Kedua, bacaan digital bersifat multimodal. Teks, gambar/elemen visual, bunyi, bahkan fitur-fitur interaktif sebagai elemen pemikat bacaan digital. Paket komplet ini memampukan teks digital buat mengakomodasi kekhususan belajar; sesuai bagi pembaca berkebutuhan khusus atau pembaca dengan ragam gaya belajar: visual, auditori, dan kinestetik. Ketiga, membaca digital memungkinkan pembaca buat mengakses banyak materi dalam ketika yang singkat sehingga mempertinggi kemampuan sintesis mereka. Tentunya, kecakapan literasi informasi ? Yaitu kemampuan untuk memilah fakta menurut akurasi dan kemanfaatannya ? Perlu ditingkatkan secara sistematis. Dengan seluruh potensi menarik ini, kemampuan membaca materi digital dapat ditumbuhkan seiring menggunakan minat & budaya membaca materi cetak. Keduanya saling melengkapi. Membaca digital lebih sesuai buat penelusuran keterangan secara instan, sedangkan membaca materi cetak membantu buat tahu informasi secara menyeluruh.

Preferensi Bacaan

Materi bacaan dalam bentuk digital dan cetak perlu dipahami sebagai alternatif yang tersedia untuk dipilih pembaca di era modern ini. Pembaca memiliki preferensi yang luas; yang menentukan pilihan material bacaan adalah keterikatan emosional terhadap material tersebut dan kebiasaan individu. Sebagian pembaca mungkin lebih nyaman membaca pada layar gawai. Sebagian yang lain tetap setia pada materi cetak. Preferensi terhadap materi cetak atau digital ini ternyata tak dipengaruhi oleh usia. Survei Ramirez (2003) membuktikan bahwa kebanyakan (68 %) remaja di Amerika lebih menyukai membaca bacaan cetak karena mereka mendapatkan dan mampu mengingat lebih banyak informasi. Penelitian lain oleh Hartzell (2002) menyebutkan bahwa remaja mengakui membaca lebih lambat pada layar monitor komputer dibandingkan apabila mereka membaca buku cetak. Preferensi ini menunjukkan bahwa invasi teknologi sesungguhnya bukanlah ancaman terhadap minat membaca, melainkan tantangan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam meningkatkan kualitas buku dan kegiatan penumbuhan minat baca.

Dengan mengetahui konduite dan preferensi Gen Z, kita dapat menyikapi mereka dengan lebih bijak. Preferensi mereka terhadap teknologi tidak perlu disikapi dengan paranoid bila kita nir memperlakukan teknologi menjadi ancaman; melainkan, tantangan yg mengharuskan orang dewasa buat semakin kreatif lagi.

Asal-animalpolitico.Com

Daftar Referensi

  1. Hartzell, G. (2002). Capitalizing on the school library’s potential to positively affect the students’ achievements. Diunduh dari http://eduscapes.com/sms/overview/hartzell.html
  2. Liu, Z. (2005). Reading behavior in the digital environment: Changes in reading behavior over the past ten years. Journal of Documentation, 61 (6), pp. 700-712.
  3. Olson, D. Z. (1994). The world on paper. New York: Cambridge University Press. Ramirez, E. (2003). The impact of the Internet on the reading practices of a university community: the case of UNAM. World Library and Information Congress: 69th IFLA General Conference and Council, August 1-9, 2003, Berlin, pp.1-13. Diunduh dari http://www.ifla.org/IV/ifla69/papers/019e-Ramirez.pdf

Rabu, 03 Juni 2020

[PROFIL] Menjadi Penulis Buku Anak? Senangnya!

Oleh : Eugenia Rakhma

Sekarang ini, buku bacaan untuk anak-anak sangat mudah ditemukan. Jenisnya pun beragam. Dari mulai buku bergambar (pictorial book), buku berilustrasi (illustrated book), sampai novel anak.

Menulis buku anak, terutama bagi pembaca usia dini (dua-5 tahun) merupakan hal yg mudah sekaligus sulit. Mudah lantaran alur ceritanya sederhana, teksnya tidak terlalu panjang, & tokohnya pun hanya sedikit. Anda cukup terlibat dengan global anak-anak, mengetahui ketertarikan mereka, lalu menuangkannya ke dalam sebuah cerita.

Sebelum fokus terjun ke dunia menulis, aku adalah pengajar taman kanak-kanak. Maka relatif gampang bagi saya buat menuliskan buku seri pertama saya yang berjudul Benji. Berpegang dalam pengalaman sehari-hari bersama anak-anak, mengetahui jangkauan tema tiap usia, & sasaran belajar mereka, saya pun menyusun kitab pertama aku .

Gambar kitab Benji

Misalnya, buku Benji dan Teman-Teman menceritakan keseharian Benji, bocah pria berusia 4 tahun beserta teman-temannya saat di sekolah. Melalui cerita ini, pembaca usia dini diajak untuk mengamati disparitas fisik antara Benji & teman-temannya. Ada yg bertubuh tinggi, bermata sipit, berambut lurus, hingga berkulit gelap. Namun, rupanya disparitas itu nir sebagai kasus. Di sekolah, mereka mau bermain bersama, saling menyebarkan mainan - bahkan jua bekal , serta menyapa menggunakan bahasa yg sopan.

Contoh halaman dalam seri Benji dan Teman-Teman
Meski alur cerita dan bahasa yang digunakan sederhana, seringkali justru di sanalah letak kesulitannya - bagaimana menyederhanakan cerita agar sesuai untuk para pembaca usia dini. Ya, saya memang telah mengetahui keseharian mereka. Saya pun telah memegang target belajar agar isi cerita sesuai dengan perkembangan mereka, namun seringkali sebagai penulis dewasa saya terlalu asyik menulis. Saya melupakan bahwa pembaca saya masih memiliki keterbatasan bahasa dan pemahaman. Maka, saya harus selalu mengingatkan diri agar memakai kacamata seorang anak. Memposisikan diri sebagai anak-anak saat menulis agar cerita dapat dipahami pembaca.

Tentu saja kitab Benji pada akhirnya bukan output kerja aku sendiri. Selesai menulis naskah dan mengirimkannya dalam salah satu penerbit, aku menunggu keputusan buat diterbitkan hampir dua tahun lamanya. Setelah warta baik itu tiba, saya beserta tim menurut Penerbit Bhuana Ilmu Populer-Gramedia bekerja keras mewujudkan Benji. Mulai dari merevisi naskah, membuat ilustrasi, merevisi pulang, lalu re-design rapikan letak hingga kitab Benji siap naik cetak. Meski prosesnya terhitung lama , hampir satu tahun, aku menikmatinya. Pak Yogi dan Mbak Vidya selaku editor dengan bahagia hati memberi masukan supaya naskah Benji lebih sesuai menggunakan sasaran pembaca. Sama halnya menggunakan ilustrator Benji, Mbak Nita, yg selalu memberi pandangan dari sisi gambaran supaya tercipta keseimbangan antara teks & gambar. Terakhir, Pak Sul Nugroho & Mbak Amygo Febry yang memperbaiki tata letak dan mengecek kesesuaian gambar dengan target usia pembaca.

Saat ini saya nir lagi mengajar, tetapi saya terus menulis, khususnya buat pembaca anak-anak. Di pertengahan jalan, aku menemui kesulitan untuk permanen terlibat dalam global anak-anak. Beruntung, saya dipertemukan dengan teman-teman yg memiliki passion pada dunia anak-anak. Maka kini , selain menulis, kegiatan primer aku merupakan sebagai relawan beserta mereka.

Setiap kali orang-orang bertanya, ?Susah nir sih jadi penulis buku anak-anak?? Saya selalu menggeleng. Menulis buat anak-anak itu menyenangkan. Seperti kekhasan global anak-anak yg selalu mengajak kita buat bermain sembari belajar di dalamnya, maka sambil menulis sebuah buku, saya permanen mempunyai ketika untuk bermain. Kalaupun dibilang kesulitan, itu lebih pada faktor internal. Semangat diri buat terus belajar, terus peka terhadap kebutuhan anak-anak, dan terus membuatkan cara-cara menuliskan cerita supaya menarik & mudah dipahami, sesulit apapun tema yg ingin disampaikan. Saya pikir, global anak-anak merupakan dunia yg jujur & sederhana. Dunia yg penuh rasa ingin tahu dan asa untuk belajar. Dunia yg menuntut orang dewasa yg terlibat pada dalamnya buat ikut memahami dan membantu memfasilitasi rasa ingin memahami mereka. Dan saya bersyukur bisa membagikan pengalaman-pengalaman belajar beserta mereka ke pada sebuah kitab .

[PROFIL] Perpustakaan Jalanan

Penulis: Senartogok

Masa mudaku berkisar pada perpindahan kata jalanan. Selepas dari Rumah Belajar Sahabat Anak Jalanan, aku terdampar di sepetak omong kosong lain bernama Perpustakaan Jalanan. Enam tahun silam, tak ada yang bisa diharapkan dari sekelompok orang menongkrong yang mengatasnamakan literasi dalam kegiatannya ini. Lagipula keikutsertaanku pada mereka berawal dari bergabungnya aku sebagai vokalis dalam band mereka yang juga angin-anginan. Ya, kelompok ini hanyalah personil dari grup punk rock setengah hati yang namanya juga buruk: Masturbasi Distorsi. Band yang lebih banyak menebar bualan dalam setiap terbitan tak berkalanya ketimbang membuat musik, mengisi panggung, atau promosi rilisan fisik yang sampai saat ini belum ada albumnya, kecuali demo versi lagu berkualitas murahan yang banyak disebar.

Sial? Tak sepenuhnya kurasa, sebab dari sekawanan mini pemuda, jauh lebih banyak faedah saat hal tersebut merupakan representasi sebuah upaya & daya atas kemarahan, pujian, kegenitan, kegelisahan, yg menjadi kehendak mereka. Saat itu, kami terpukau menggunakan gerombolan Baader Meinhoff alias RAF yang bututnya pula kami telan mentah-mentah dari tayangan layar lebar. Meskipun tidak radikal, kami menduga diri kami bisa mengubah keadaan; sesuatu yg banyak beredar pada dada kaum muda waktu menginjak usia 23 tahunan mereka. Tak poly yang kami lakukan. Hanya gerilya kecil, kekanak-kanakan, & bersifat sesaat, & paling lembutnya sekedar menghamparkan kitab pada pinggiran kota.

Aku bukan orang pertama, akan tetapi keempat lain kawanku kala itu pastinya sepakat bahwasanya Perpustakaan Jalanan di awal sejarahnya hanyalah hasrat mendayu ketika buku dan semangat Iqra mengudara ke dalam keseharian. Ilustrasinya begini : apabila di perpustakaan umumnya, kita mesti diam dan tertib, tak bisa merokok, tak diperbolehkan membuat gaduh, tak bisa sebebas-enak-jidat-nya meminjam buku, hingga tak bisa pula menyeduh kopi sambil guling-guling di lantai seraya menikmati Kejahatan Dan Hukuman-nya Fyodor Dostoyevski, kami ingin menggantikan penertiban itu di jalanan bersama buku-buku.

Buku tidak lagi ventilasi global, melainkan istana tak megah tanpa gapura, sebagai akibatnya siapapun bisa masuk, menjelajah, menempatkan ego jua harapannya, pada sebaris kalimat, majas, metafor, & bongkahan kisah pada sebuah bacaan. Maka tak sanggup disangkal lagi, Perpustakaan Jalanan hanyalah sebuah episode usang menurut jutaan narasi yg menciptakan kokohnya kota Bandung. Kami berlima, kadang berempat, kadang berdua, meski tidak selalu sendiri, selalu ada tukang cuanki, pejalan kaki, mungkin pencuri, mungkin juga peri. Singgah, bertandang dan menikmati apa yg kami sajikan. Seperti gorengan yg terlalu dini matang, kami terlalu bangga menyampaikan ini arena juang. Setidaknya kami tak ingin terlalu usang menatap jurang.

Tidaklah sulit, sebab kami semua merupakan dekaden yang hampir membusuk, mengoleksi buku bukannya batu akik. Ratusan buku kala itu tidaklah sukar mengumpulkannya. Dengan kain putih calon kafan pembungkus salah satu dari kami yang lebih dulu mati nanti, dengan spidol tegas, perlak sederhana, kantong plastik besar penggenap pepatah Sedia Payung Sebelum Hujan, kami menuju Taman Cikapayang. Menjejerkan buku, barisan novel cinta dan tak cinta, majalah Sabili hingga 100 Teknik Menjadi Orang Kaya”, atau zine-zine yang dicetak mandiri, kusam warna, font teramat kecil, hingga komik bergambar yang jauh lebih menarik hati ketimbang epos panjang filsafat Madilog karya Tan Malaka.

Siapa bilang poly yg bertandang, orang-orang berlalu lalang, banyaknya melenggang dengan alis mata melintang. Terlalu seringkali jua, hanya kami berempat pada sana, ditemani sosok dewa yg entah di mana. Lambat laun, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun menerima giliran, umur Perpustakaan Jalanan ditambal jumlah mitra yg datang. Dari bundar kami, jejaring, yang sempat patah hati pada berbagai komunitas dan klub budaya berserak, kami kian ramai. Kami belajar bahwa Perpustakaan ternyata bukan urusan membaca buku dan menggali ilmu saja, namun memperluas arena perkawanan, saluran curahan hati, hingga mulainya perdebatan, ketika-waktu kami mulai terpukau dengan yg mereka sebut sastra, walaupun kami lebih acapkali bersitegang urat mempersoalkan janggut siapa yang lebih panjang, Karl Marx atau Mikhail Bakunin.

Rupanya perjalanan ditandai dengan ratapan. Buku yg dipinjamkan poly yg hilang, kawan yang tiba poly yg tak tahu jalan pulang, dan kami mulai sok tahu, bahwa ini semacam gerakan literasi. Sebuah riak kecil buat menghegemoni, mengutip Gramsci, sebuah tandingan yang seringnya mendapat tendangan, dari kekerdilan, uang saku nan sulit disiasati, atau mimpi-mimpi melebarkan sayap walau menggunakan keterangan kami tinggal tulang dan kentut saja. Sekelompok bajingan dari banyak sekali wilayah, mantan petinju, jurnalis angin-anginan, musisi tak laris, seniman gagal, pula nabi palsu, bergabung. Seperti diserang wabah, kami seluruh mulai dirundung sakit, homogen rindu, sejenis kebersamaan & menginjak kudapan manis ulang tahun tak berlilin, angka tiga tahun menandai, & ketika itu, kami memecah sel-sel Perpustakaan Jalanan menjadi kegiatan yang tidak lagi membaca. Kadangkala ada pameran karya, ekshibisi seni, pajang lukisan, jualan murah, lapakan tak rutin, sebagai akibatnya kami menemui aroma-aroma baru yg memberi wangi sekaligus bau dalam sepak terjang kami.

Perpustakaan Jalanan adalah inisiatif majemuk pemuda yang berniat memindahkan kitab -kitab ke jalanan supaya sanggup dinikmati makhluk-makhluk yg berkeliaran di sana. Tak menutup kemungkinan ini semacam modus yg mengatasnamakan kolektif dan bersembunyi di balik jubah membaca buat mencapai tujuannya: membuat dunia terpingkal-pingkal adanya.

Sepanjang perjalanannya, yang akan menginjak angka 7 tahun tidak berapa usang lagi, Perpustakaan Jalanan tak ubahnya sebuah rutinitas mingguan. Dikarenakan keyakinan kami tentang ke-jomblo-an teman-sahabat kami sudah sebagai endemi, dipilihlah Sabtu malam kurang lebih pukul 7 menggunakan catatan telah makan & shalat maghrib, sebagai ketika berkumpul, dan mestilah di Taman Cikapayang tepat di depan huruf ?D? Yg mengindikasikan kami merupakan Dinamit, lokasi dimana harus bersua. Terkadang kami berpikir, momen setiap malam minggu yg wajib berebut loka menggunakan klub motor atau nak-kanak sepeda/skateboard, merupakan muara pelepas lelah. Kebanyakan berdasarkan kami, mungkin juga tamu, mungkin pula pengunjung yang intens datang menemui kami, datang berdasarkan kelas pekerja, buruh upahan, atau pegawai berpenghasilan pas-pas-an, yang lebih banyak waktunya dikuras deadline kantor daripada berisitirahat. Saat bertemu inilah kami melepaskan semuanya, ada yang membawa kuliner, terdapat yang membawa judul-judul buku baru, ada yg memamerkan zine buatannya sendiri, ada juga yg menghiasi kami dengan formasi nasihat atau kelakarnya. Dengan begini Perpustakaan Jalanan sanggup jadi sebuah camp kecil tanpa tenda dimana rekreasi sebagai hidangan utamanya.

Selama bertumbuhnya, Perpustakaan Jalanan sudah poly berubah, wajahnya sekarang tidak melulu dipulas kosmetik literasi, meskipun dengan sekuat tenaga kami akan terus bernaung di bawah panji tersebut, tetapi jua bertransformasi sebagai sepetak ruang bertukar keterangan, tentang, warta, jua lahan loka solidaritas, inisiatif, agenda; atau imajinasi digarap, dengan cangkul kegembiraan, atau dengan pupuk semangat yang bersumber menurut bacaan kami, musik-musik yg kami dengarkan, film yang kami tonton, liputan usaha sosial yg kami serap, sampai berita-informasi receh yg mampu menelan petang sampai tak bersisa. Maka, kami menganggap, Perpustakaan Jalanan telah berkiprah menurut fungsi perdana sebagai interaksi aksara dengan pembaca, sebagai interaksi manusia dan kesehariannya. Kami terhubung, lebih tepatnya masing-masing kehidupan kami terkorelasikan, sebagai akibatnya sangat menarik buat tetap berkumpul, menuangkan aspirasi & tragisnya hari sesama kawan-mitra & pengunjung kami.

Akhirnya kami mulai memberanikan diri mencetak pamflet, menggurat pena buat edisi zine kami, mengorganisasir pentas-pentas musik kecil, mulai berani ikut solidaritas, sebagai partner & lingkar pada diskusi hingga sebagai pengisi acara ulang tahun kawan-kawan kami. Entahlah, rasanya kami mempunyai global baru, dunia kerdil yg pantas dihidupi. Seakan takdir ini berkisar nikotin, bungkusan Kapal Api, dan sederet puisi-puisi Widji Thukul yang kami rengkuh sebelum kelam malam muncul. Sederhana dan berlangsung terus hingga angka 6 tahun, dimana perayaan ulang tahun yg kami agendakan relatif memadati Taman Cikapayang. Semua itu kedap di ingatanku, dan tidak terasa 2016 tiba menghampiri, dengan segudang kecewa, sepeti harapan, aku mulai hanyut pada keheningan, waktu banyak badai & topan yg melanda pada pada & pada luar diri sang Perpustakaan Jalanan.

Di titik ini, aku mengusap dada, meneriakkan sekali lagi sepenggal lirik Minor Threat .

I was early to finish, I was late to start

I might be an adult, but I'm a minor at heart

Go to college, be a man, what's the f***ing deal?

It's not how old I am, it's how old I feel

***

Senin, 01 Juni 2020

Editorial Pro:aktif Online - edisi Desember 2016

Tak terasa putaran saat kini beranjak ke penghujung tahun 2016.

Pada akhir tahun ini, Pro:aktif Online balik hadir dengan tema ?Budaya Membaca Buku?

Membaca merupakan sebuah aktivitas penting & utama pada pada kehidupan manusia. Dengan membaca, seorang mendapatkan ilmu & pengetahuan. Membaca adalah ventilasi menuju dunia dan wawasan yang luas. Demikian pentingnya membaca sebagai akibatnya mampu mendongkrak kualitas hidup manusia & kesejahteraan suatu rakyat.

Dalam edisi kali ini, budaya membaca sudah dipotret berdasarkan berbagai sudut pandang sang para kontributor penulis Pro:aktif Online, dimulai dari rubrik Pikir yg dibawakan sang Sofie Dewayani. Artikel yg dibawakannya mengajak pembaca buat menyelami & memahami perilaku dan pilihan-pilihan generasi masa kini yang melek teknologi digital. Dengan pemahaman baru tersebut, pembaca diajak buat menyikapi secara bijak perkembangan teknologi yang ada, serta mencari cara yang strategis agar norma membaca nir tergerus oleh perkembangan teknologi tersebut.

Rubrik Opini disajikan oleh Umbu, yang menggunakan indahnya memaparkan global yg membaca. Alam semesta terdiri dari insiden membaca yang tidak pernah usai, dimulai dari pembacaan semesta terhadap awal mula dunia pada naluri ?Membaca? Pada manusia purba sampai terciptanya simbol-simbol yang sekarang dipakai oleh rakyat terkini pada membaca. Secara menarik, Umbu mengajak pembaca buat meninjau pulang budaya membaca pada hubungannya menggunakan pola berpikir kritis. Ia menyandingkan membaca yang dilakukan Alice dalam kisah ?Alice in Wonderland? Dengan membaca yg dilakukan Pinocchio, sang boneka kayu yang akhirnya sebagai manusia.

Rubrik Masalah Kita dibawakan sang Kukuh Samudera. Ia memaparkan mengenai kebiasaan membaca kitab pada kalangan aktivis. Kukuh mengantarkan pembaca pada pengalaman para aktivis pada mengakses buku, yg dikaitkan menggunakan peran mereka pada loka karya masing-masing.

Rubrik Jalan-Jalan dibawakan oleh Yosepin Sri Ningsih, mengisahkan tentang Perahu Pustaka Pattingaloang, sebuah perpustakaan yg dibangun pada atas sebuah bahtera layar dengan misi menjangkau daerah-wilayah terpencil buat menaikkan minat membaca rakyat, terutama masyarakat di Indonesia bagian timur.

Rubrik Media ditulis sang Tabrani Yunis, direktur Center for Community Development and Education (CCDE) di Aceh, menuturkan tentang majalah POTRET yg adalah majalah bagi aktivis & kaum wanita di Aceh.

Rubrik Profil diisi menggunakan dua artikel, pertama, mengenai Perpustakaan Jalanan yang ditulis sendiri oleh pendirinya, Senartogok, yg mengisahkan jatuh bangun usaha mereka menyuarakan gema literasi di jalanan. Artikel ke 2 merupakan profil mengenai seorang penulis bacaan anak, Eugenia Rakhma, yg mengisahkan pengalaman pada menulis bacaan yang mampu memikat hati anak-anak yg membacanya.

Rubrik Tips dibawakan oleh Any Sulistyowati yang menuliskan kiat-kiat menaikkan budaya membaca kitab pada kalangan aktivis dan tips buat mengakses kitab yang sinkron dengan bidang minat masing-masing.

Akhir istilah, semoga menggunakan penerbitan edisi ?Budaya Membaca Buku? Ini dapat berguna bagi peningkatan minat baca pada kalangan aktivis. Mari kita refleksikan balik makna membaca bagi diri kita masing-masing.

Selamat membaca dengan penuh makna!

Cloud Hosting Indonesia