Tampilkan postingan dengan label Kukuh Samudra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kukuh Samudra. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Juni 2020

[MEDIA] 71 Tahun Indonesia Merdeka: Narasi dalam Buku

Oleh: Kukuh Samudra

Kemerdekaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para pahlawan terdahulu. Mereka berjuang tidak hanya dengan senjata di tangan. Senjata mereka bukanlah tipe yang sekali tusuk musuh mati seketika, atau sekali tembak puluhan peluru berdesir. Waktu tidak membuat senjata ini berkarat. Senjata tersebut tidak lain adalah buku.

Indonesia Menggugat

Seorang insinyur lulusan anyar yang mendapatkan kemewahan pendidikan tinggi diliputi kegelisahan atas nasib bangsanya. Setelah menamatkan studinya di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB), dia bersama kawan-kawannya mendirikan kelompok diskusi yang dinamakan Algamenee Studieklub. Pemuda tersebut tidak lain adalah Sukarno.

Diskusi rutin mereka adakan dengan tema-tema seputar politik dan kebangsaan. Belanda tidak senang, lantas menangkap mereka dengan dalih mengancam ketertiban dan ketentraman.

Sukarno, yang kelak dikenal sebagai Proklamator kemerdekaan Indonesia bersama tiga orang kawannya yang lain: Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata ditangkap Belanda pada tanggal 29 Desember 1929. Dalam rentang dua bulan, Sukarno harus menulis sendiri pembelaannya. Sang istri, Inggit Ganarsih, berperan besar dalam upaya pembuatan pembelaan tersebut dengan menyuplai bahan bacaan dan alat tulis. Buku dan alat tulis disembunyikan oleh Inggit di balik kebayanya. Sukarno paham betul, latar belakang mereka ditangkap adalah alasan politik. Dasar penangkapan mereka adalah UU pasal 169 tentang penyebaran kebencian terhadap penguasa. Pasal yang sering dijuluki sebagai “pasal karet” karena memiliki ruang penafsiran yang begitu luas sehingga sering digunakan penguasa untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sukarno menuliskan dalam pleidoinya : Tak usah kami uraikan lagi, bahwa proses ini adalah proses politik; iya, oleh karenanya di dalam pemeriksaannya, tidak boleh dipisahkan dari soal-soal politik yang menjadi sifat dan azas pergerakan kami, dan jang menjadi nyawanya fikiran-fikiran dan tindakan-tindakan kami . Sukarno ditangkap pihak Belanda karena ditengarai hendak merencanakan kudeta bersenjata. Selain Sukarno terdapat 40 aktivis lain yang ditangkap oleh Belanda. Padahal saat terjadi penangkapan, jelas mereka tidak memiliki senjata barang golok maupun pistol.

Amboi! Golok, bom dan dinamit! Kami dituduh golok-golokan, bom-boman dan dinamit-dinamitan! Seperti tidak ada senjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom dan dinamit! Seperti tidak ada senjata yang lebih kuasa lagi daripada puluhan kapal perang, ratusan kapal udara, ribuan, ketian, milyunan serdadu darat! Seperti tidak ada senjata semangat lagi, yang, jikalau sudah sadar dan bangkit dan berkobar-kobar di dalam kalbu rakyat, lebih hebat kekuasaannya dari seribu bedil dan seribu meriam

Dalam pembelaannya, Sukarno menyampaikan argumen yang berkaitan dengan politik ekonomi pemerintah Belanda di Indonesia. Pada dasarnya politik ekonomi yang dilakukan oleh Belanda dan negara-negara Eropa lainnya berupa imperialisme. Sukarno secara garis besar membagi imperialisme menjadi dua, yaitu imperialisme kuno dan imperialisme modern. Berdasarkan rentang waktu, imperialisme kuno adalah praktek imperialisme yang berkembang sebelum abad 19, sementara imperialisme modern adalah yang berkembang setelah itu.

Perbedaan antara imperialisme kuno dengan modern tidak lain adalah teknik pemerluasan kapital. Praktek imperialisme tua dicontohkan dengan Kongsi Dagang Belanda, VOC. Mula-mula mereka memperkenalkan diri ingin berdagang, hingga berujung pada pengerukan besar-besaran hasil bumi untuk dijual ke luar negeri. Bumiputera diminta untuk bekerja keras dengan upah serendah-rendahnya, sementara semua keuntungan masuk ke dalam kantong para Meneer.

Praktek imperialisme modern tidak lain adalah anak dari kapitalisme modern. Sementara kapitalisme modern sendiri tidak dapat dilepaskan oleh hadirnya revolusi industri di Eropa.

Revolusi industri telah memungkinkan manusia untuk memproduksi barang secara masal. Dalam rentang waktu tersebut ekonomi Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat. Namun, masalah timbul ketika pertumbuhan ekonomi mulai melambat. Eropa membutuhkan 'pasar' baru. Sasarannya adalah negara-negara dengan perekonomian yang lemah. Buruh dibayar dengan biaya murah agar mendapatkan keuntungan maksimal. Kapital pada akhirnya bergerak, menjalar, mencengkeram negara-negara berkembang.

Lantas apa perbedaan dari imperialisme tua dengan imperialisme modern? Bagi Sukarno sendiri keduanya tidak banyak berbeda.

Imperialisme-tua, sebagai yang kita alami dalam abad-abad sebelum bagian kedua abad ke 19, imperialisme tua dalam hakekatnya adalah sama dengan imperialisme modern: nafsu, keinginan, cita-usaha, kecenderungan, sistem untuk menguasai atau memengaruhi rumah tangga negeri lain atau angsa lain, nafsu untuk melancarkan tangan keluar pagar negeri sendiri. Sifatnya lain. Azas-azasnya lain, penglahirannya lain, tapi hakekatnya sama!

Pembelaan Sukarno lantas dibukukan dan dikenal dengan judul "Indonesia Menggugat". Aksi Massa dan Bebas dari Pembangunan: Ide yang Mengupas Kapitalisme dan Imperialisme dalam Dua Zaman.

Aksi Massa

Empat tahun sebelum Sukarno melayangkan gugatannya di Landraad te Bandung (Pengadilan Negeri Bandung, sekarang dikenal sebagai Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5), seorang Indonesia lain menulis ihwal yang sama tentang imperialisme. Orang yang dimaksud adalah Tan Malaka, seorang bapak bangsa yang namanya kerap terlupakan akibat praktek rekayasa sejarah oleh rezim penguasa.

Menurut Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Aksi Massa (1926), imperialisme dibedakan menjadi 4 yaitu : a) Imperialisme biadab, yakni menghancurkan sekalian kekuasaan politik bumiputra dan menjalankan pemerintahan yang sewenang-wenang, misalnya adalah Spanyol di Filipina. b) Imperialisme autokratis, yakni yang hampir tak berbeda dengan yang tersebut pasal a seperti Belanda. c) Imperialisme setengah liberal, yakni imperialisme yang memberikan kekuasaan yang sangat terbatas kepada bumiputra yang berkuasa (raja-raja atau kepala negara yang turun-temurun seperti Inggris di India). d) Imperialisme liberal, yakni imperialisme yang memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada tuan tanah yang besar serta kepada borjuasi bumiputra yang mulai naik, misalnya adalah imperialisme Amerika di Filipina.

Sementara dari segi pemerasan ekonomi, modelnya dibedakan juga menjadi 4 :

a) Perampokan terang-terangan, dahulu dilakukan oleh Portugis dan Spanyol.

b) Monopoli, yang dalam praktiknya sama dengan perampokan, masih terus dilakukan oleh Belanda di Indonesia sampai sekarang (± tahun 1926, peny.)

c) Setengah monopoli, mulai dilakukan oleh Inggris di India

d) Persaingan bebas, mulai dilakukan oleh Amerika di Filipina.

Sosok Tan Malaka barangkali tidak terlalu terkenal. Dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia sosok ini disebut mirip legenda. Nama Tan Malaka begitu terkenal di kalangan para pejuang kemerdekaan. Dia telah menulis banyak brosur yang berisi ide-ide perjuangan. Namun, sosok fisiknya tidak pernah tampak. Dua puluh tahun dia berkelana, puluhan nama samaran digunakan sampai-sampai dia merasa aneh ketika suatu saat perlu memperkenalkan diri dengan namanya sendiri.

Dalam Aksi Massa, Tan Malaka mengkaji pergerakan di berbagai negara, terutama di Asia Selatan dan Tenggara, yang kala itu berjuang melawan kekejian struktural para imperialis. Salah satu negara adalah India. Lain Indonesia, India adalah korban dari imperial Inggris. Seperti yang telah dijelaskan, bentuk penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan Inggris pun berbeda. Penjajahan yang dilakukan oleh Belanda pada dasarnya adalah pemerasan keringat sekering-keringnya. Inggris pun bukannya tidak memeras kekayaan alam India, tapi mereka menggunakan cara yang lebih halus.

Akibat Revolusi Industri, perekonomian Inggris maju pesat. Namun, pasar mereka lama-kelamaan mengalami keterbatasan. Lantas mereka menjajah India dan memberlakukan sistem monopoli di mana setiap warga India wajib membeli produk-produk Inggris dengan harga yang setinggi-tingginya. Perekonomian yang mandiri dikendalikan, produk dalam negeri India justru diekspor, sedangkan pribumi dilarang untuk membelinya.

Bebas dari Pembangunan (Staying Alive)

Enam puluh tahun setelah Aksi Massa dituliskan dan Indonesia Menggugat dibacakan, seorang intelektual India bernama Vandana Shiva menuliskan buku berjudul Staying Alive (terjemahan oleh Yayasan Obor Indonesia menjadi Bebas dari Pembangunan). Pemikirannya tampak memiliki benang merah baik dengan Sukarno maupun Tan Malaka. Hal ini dapat dipahami mengingat mereka berasal dari negara yang sepanjang usianya berhadapan dengan upaya-upaya imperialisme.

Vandana Shiva dapat dikatakan menjalani era 'yang berbeda'. Konteks dan nuansa yang dialami berbeda. Dia lahir dan besar ketika bangsanya telah lepas dari penjajahan. Namun sisa-sisa imperialisme pun tetap tampak. Dia menjalar semakin luas, namun lebih halus, lebih tidak kentara.

Akar masalah sosial dan ekonomi, bagi Shiva, merupakan akibat dari kapitalisme. Namun dengan menarik lebih jauh ke belakang, Shiva menyatakan bahwa kapitalisme tidak bisa dipisahkan dengan masalah gender. Kapitalisme telah memisahkan perempuan dari bagian kerjanya. Pengelolaan air, hutan, dan sumber daya alam coba dipisahkan dari perempuan. Pada akhirnya, kekayaan alam dipandang sebatas sebagai sumber daya yang dapat dikuasai sepenuhnya. Kapitalisme tidak pernah mengakui sebagai contoh kasih sayang pada alam, penanaman kembali hutan, atau sifat 'pasif' perempuan. Hal-hal semacam itu dianggap tidak penting karena tidak menghasilkan keuntungan kapital. Mentok kapitalisme menganggap itu penting, tapi tidak pernah memberikan penghargaan sepantasnya Sekali lagi jika tidak menguntungkan, mengapa perlu dihargai?

Rentang masa yang panjang, melalui berbagai sumber penulisan kita bisa melihat bahwa setiap masa memiliki bentuk penindasan yang berbeda-beda, tidak dapat lepas dari semangat zaman. Di masa yang berbeda, di tanah yang terpisah beribu-ribu mil, perlawanan terus didengungkan keadilan terus diperjuangkan.

Sebuah Refleksi Terhadap Fiksi

Gugatan Sukarno pada sidang yang berlangsung di Landraad te Bandoeng tahun 1930 pada akhirnya tetap ditolak. Keputusan hakim tetap menyatakan Sukarno bersalah. Berangkat dari fiksi, kita bisa membandingkan kisah Sukarno dengan pembelaan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan terbaik Indonesia yang namanya berulang kali masuk dalam nominasi nobel, menulis sebuah roman legendaris. Roman tersebut sering dikenal sebagai "Tetralogi Buru". Latar belakang julukan roman tidak lepas dari fakta bahwa roman tersebut ditulis di Pulau Buru saat Pramoedya menjadi tahanan politik sejak tahun 1973. Jilid pertama tetralogi tersebut berjudul Bumi Manusia.

Tetralogi buru berlatar belakang abad 20 awal. Tokoh utama roman adalah Minke , seorang anak bangsawan Jawa yang memberontak dengan sistem feodal Jawa yang menurutnya penuh kemunafikan.

Minke yang hidup di Surabaya untuk studi di Hogere Burgerschool (HBS, sekolah menengah jaman penjajahan Belanda) jatuh cinta terhadap Annelies, seorang Indo. Ayah Annelies bernama Herman Mellema adalah orang Belanda totok, sementara ibunya yang dikenal orang sebagai Nyai Ontosoroh adalah pribumi. Ayah Annelies meninggal dengan mewariskan sebuah perusahaan pertanian yang sangat besar.

Perusahaan tersebut dikelola dengan cara-cara modern yang hebatnya dilakukan oleh dua orang perempuan: Nyai Ontosoroh dibantu oleh Annelies sendiri. Sesuatu yang begitu luar biasa, mengingat perempuan waktu itu dianggap hanya pantas untuk mengurusi urusan dapur. Nyai Ontosoroh sendiri diceritakan belajar itu semua secara otodidak.

Diceritakan bahwa Herman Mallema sebetulnya telah memiliki anak di Belanda. Hal yang lumrah pada zaman itu seorang Belanda yang datang ke Indonesia meminang seorang gundik meskipun dia di negeri asalnya telah memiliki istri.

Suatu waktu anak Herman Mallema dari istrinya yang sah datang ke Indonesia atas dasar sebuah tugas kerajaan Belanda. Anak itu bernama Maurist Mellema.

Ketika sampai di Indonesia dia bukan tidak tahu bahwa sang Ayah memilki perusahaan perkebunan di Hindia-Belanda. Maurist Mallema suatu hari datang ke kediaman Nyai Ontosoroh. Menglaim perusahan milik sang ayah, meskipun selama ini perusahaan dibesarkan selayaknya ‘anak sendiri’ oleh Nyai Ontosoroh. Polemik terjadi. Nyai Nyontosoh tidak rela perusahaannya lepas begitu saja. Pertarungan akhirnya mencapai meja hijau..

Berbicara soal hukum, status Maurist sebagai warga Belanda totok menempatkan posisinya sangat kuat dalam perebutan warisan. Apalagi mengingat Nyai Ontosoroh hanya gundik, bukan istri yang sah.

Persidangan berjalan alot. Beritanya tersebar di mana-mana, mengingat perusahaan perkebunan yang dipolemikkan bukan perusahaan kecil. Apalagi isu yang diangkap cukup seksi, menyangkut ras dan kasta sosial. Sebuah pertarungan antara pribumi dengan seorang Belanda totok. Persidangan diikuti dengan taat oleh Nyai Ontosoroh. Dia rela membayar pengacara mahal. Setiap pertanyaan hakim dijawab dengan lantang. Pada akhirnya hakim tetap memutuskan perusahaan jatuh ke tangan Maurist Mellema. Namun, menurut Nyai Ontosoroh, masalah utama bukan sekedar menang-kalah. Hukum di Belanda saat itu tidak bisa disebut adil. Hukum tidak berlaku sama di hadapan manusia. Ia masih memiliki tendensi yang tajam berkaitan dengan ras.

Apa yang dikatakan Nyai Ontosoroh setelah dia kalah dan perusahaannya dirampok dengan begitu keji? Dalam dialog antara dirinya dengan Minke, dia berujar, "Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

Kisah perlawanan Nyai Ontosoroh sekiranya mirip dengan kisah Sukarno. Sebuah perlawanan yang dilakukan oleh pribumi atas hak-hak yang dirampas. Perlawanan yang dilakukan atas dasar kehormatan dan harga diri meskipun tidak membuahkan kemenangan di pengadilan.

Tetralogi Buru adalah fiksi, sementara Indonesia Menggugat adalah fakta. Apa relevansi sebuah fiksi dengan fakta? Di mana posisi karya fiksi atau sastra? Seno Gumira Ajidarma, seorang sastrawan cum jurnalisme, berujar dalam bukunya yang berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena jika jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan.”

Kenyataan berkata: peredaran Tetralogi Buru dilarang oleh rezim orde baru karena dianggap menyebarkan paham Marxisme-Leninisme secara tersirat. Novel tersebut dianggap membahayakan stabilitas nasional, meskipun secara garis besar kisah yang disampaikan adalah perjuangan seorang bumiputra dalam melawan penjajah Belanda.

Tetralogi Buru baru beredar lagi setelah orde baru tumbang. Namun, selama pemberedelan terjadi suatu fenomena yang menarik. Buku-buku tersebut kenyataannya masih bisa dibaca meskipun harus sembunyi-sembunyi. Para penjual buku menjual di bawah tangan secara hati-hati, para aktivis penentang orde baru ramai-ramai memfotokopi. Membaca diiringi rasa was-was.

Refleksi 71 Tahun Indonesia melalui Aksara

"Menulis adalah bekerja untuk keabadian," Pramoedya Ananta Toer

Secara etimologi, aksara dalam bahasa sansekerta terbentuk dari dua kata, yaitu A yang berarti tidak, dan Ksara yang berarti mati. Aksara berarti sesuatu yang tidak mati. Aksara membuat abadi, entah itu ide, atau pribadi.

Ide bisa tumbuh dari mana saja, dari siapa saja. Dia akan bergerak bagaikan udara. Beberapa ide muncul lantas tenggelam. Beberapa yang lain tetap hidup abadi. Aksara yang membuat hidup tetap bertahan. Dia yang menjaga ide padu meski arah angin berubah.

Sebuah buku juga bisa menjadi dokumen. Sebuah arsip yang memperlihatkan perjalanan lahir-tumbuh sebuah bangsa. Atau bisa jadi, buku adalah yang membuat bangsa tetap bertahan. Dia yang membuatnya abadi.

Aksi Massa, Indonesia Menggugat, Tetralogi Buru, dan yang paling anyar Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara adalah segelintir jejak pejalanan bangsa Indonesia. Bangsa yang memiliki sejarah akan perlawanan terhadap ketidakadilan. Bangsa yang lahir, tumbuh, dan berkembang untuk mencapai cita-cita yang didambakan.

Selamat ulang tahun Indonesiaku.

Referensi:

  1. Hartono, Rudi. 2014. Soekarno Dan ‘Indonesia Menggugat’. [Online]. Tersedia: http://www.berdikarionline.com/soekarno-dan-indonesia-menggugat/ [4 Agustus 2016]
  2. Malaka, Tan. 2014. Aksi Massa. Yogyakarta: Narasi.
  3. Poeze, Harry. 2009. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946. Trans. Hersri Setiawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  4. Shiva, Vandana. 1988. Bebas dari Pembangunan. Trans. Hira Jhamtani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  5. Sukarno. (tanpa tahun). Indonesia Menggugat. Jakarta: Departemen Penerangan RI

Kamis, 04 Juni 2020

[MASALAH KITA] Aktivis Membaca

Oleh: Kukuh Samudra

Menurut data yang dilansir oleh UNESCO, sesungguhnya angka buta huruf di Indonesia tergolong rendah. Di tahun 2015, 92.6 persen warga Indonesia berusia di atas 15 tahun telah mampu membaca aksara[2]. Namun, sayang kemampuan dasar membaca di sini tidak diimbangi dengan minat membaca masyarakat. Survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2012 menunjukkan hanya 17,3 persen penduduk Indonesia yang membaca (baik buku, majalah, maupun koran) dalam rentang waktu satu minggu[3].

Hal ini bukan sebuah tren yang baik. Saat ini memang informasi dapat diperoleh dari mana saja. Namun, kedalaman informasi adalah sesuatu yang berbeda. Saat menonton televisi, kita akan memperoleh informasi dan gambar bergerak. Otak kita cenderung reseptif. Sementara jika kita membaca buku, otak kita dituntut mengolah informasi secara lebih aktif.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Jepang, menunjukkan bahwa aktivitas otak kita memiliki perilaku seperti otot tubuh. Semakin sering kita gunakan/latih, semakin besar dan kuat bagian tertentu yang berhubungan. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan semakin banyak orang menonton TV, semakin besar bagian lobus frontal yang biasa digunakan sebagai indikasi bahwa seseorang memiliki kercerdasan verbal yang rendah. Sementara membiasakan membaca buku sejak kecil menurut penelitian tersebut dapat meningkatkan keterampilan berbahasa[4].

Aktivis dan Membaca

Namun, di sisi lain, seperti orang-orang yang memiliki fokus di arsitektur komunitas, mereka mau tidak mau harus dapat menyesuaikan diri dengan warga yang mereka temui.

Husein adalah alumni ITB yang baru saja lulus, sementara Okie saat ini sedang berjuang menyelesaikan kuliah tahun terakhirnya di ITB.  Keduanya sewaktu masih kuliah dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang tidak hanya sibuk dengan kegiatan akademik, tetapi juga aktif berorganisasi. Mereka sama-sama pernah menjabat sebagai menteri/setingkat menteri dalam Kabinet Seru Keluarga Mahasiswa ITB. Okie pernah menjabat sebagai Menteri Kajian Strategis, sedangkan Husein Pernah menjadi Direktur Penelitian dan Pengembangan.

Okie mengaku memiliki ketertarikan terhadap isu sosial-humaniora. Untuk menjawab pertanyaan seputar fenomena sosial yang berkembang dia tidak ragu untuk membaca buku-buku bertema sosial, ekonomi, hingga filsafat. Selain karena kegemaran, posisi yang diemban oleh Okie juga mendorong ia untuk lebih rajin membaca buku. "Membaca buku berguna untuk dapat memproblematisasi suatu masalah secara lebih mendalam", tutur Okie.

Husein sendiri mengaku sebetulnya kurang senang membaca, meskipun setiap hari dia menyempatkan waktu 3 jam untuk membaca. Waktu 3 jam tersebut dia habiskan untuk membaca buku, koran, atau artikel di internet. Hanya buku dengan topik tertentu yang Husein gemari, misal sejarah dan legenda lokal.

Ketika menjabat sebagai menteri, Husein mengaku justru lebih jarang meluangkan waktu untuk membaca topik yang dia gemari. Dia lebih banyak membaca makalah-makalah yang berhubungan dengan isu aktual yang sedang berkembang di kampus. "Misalnya saat isu larangan merokok berkembang di kampus, saya lebih banyak baca makalah yang berhubungan dengan isu tersebut.", kata Husein.

Lain hal dengan Okie, saat ini Usie beraktivitas di ASF, yaitu sebuah LSM dengan basis kegiatan arsitektur komunitas. Menurutnya membaca buku tetap dibutuhkan karena menurutnya ilmu yang didapatkan di bangku kuliah tidaklah cukup. ”Mahasiswa lebih senang mendesain daripada melakukan kajian desain dan teori-teori. .. Kaya semiotika di arsitektur itu gak diajarin. Padahal ada implementasinya di desain. Kita harus baca sendiri” kata Usie.

Usie mengaku banyak mendapatkan inspirasi setelah membaca buku. Namun menurutnya temuan itu harus tetap dikritisi dengan konteks lapangan. Hanya berpegang pada teori tanpa mau membenturkan dengan realita hanya akan berujung pada sikap anti-kritik. Dalam berkegiatan, Usie berpegang pada pola baca-penemuan-implementasi-refleksi.

”Teori kan gak semuanya kontekstual ya, contohnya kitab sucinya urbanis-kiri kan David Harvey yang Right to The City. Itu kalau ditabrak dengan realita Indonesia ya sulit untuk diimplementasikan. Harus kritis buat modifikasi. Harusnya orang bisa bikin buku dari proses itu. Buku ala konteks Indonesia”, Usie menerangkan.

Alasan lain dikemukakan oleh Siska yang juga aktif di ASF. Dia menjelaskan manfaat membaca adalah mengetahui apa yang belum diketahui, atau memahami suatu konsep yang sudah kita ketahui; tapi belum pernah kita wujudkan dalam kata-kata.

Inspirasi tersebut didapatkan oleh Siska setelah membaca buku berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas” karangan Paulo Freire. Dia memberikan contoh kata ‘bangkrut’ yang berkorelasi dengan kata hancur, pailit, kemunduran, kehancuran, dan sebagainya. Dari kata yang berkorelasi tersebut, akan muncul korelasi yang lain, dan seterusnya.

Perdana Putri adalah seorang yang memiliki perhatian terhadap isu hak asasi manusia. Perempuan yang mengaku sangat cinta dengan ilmu pengetahuan ini menolak disebut sebagai aktivis. Menurutnya apa yang dia lakukan belum seberapa dibandingkan banyak seniornya yang telah mencurahkan konsentrasi serta tenaganya bagi isu HAM. Bagi perempuan yang akrab dipanggil Pepe ini membaca buku maupun jurnal dibutuhkan untuk memahami konteks wacana. Kurang pengetahuan dan informasi, menurut Pepe hanya akan membuat kita lupa mengenai akar permasalahan dan gagap dalam menanggapi banyak hal.

Namun, ternyata tidak semua ‘aktivis’ ini sinkron antara yang dia baca dengan kesibukan dia sebagai aktivis. Anggika mengalami hal  ini ketika dia diharuskan kantornya, sebuah organisasi non-profit di Jakarta, untuk membaca buku yang sesungguhnya tidak dia suka. Menurut pengakuan Anggika, awalnya dia kontra dengan ide besar buku-buku yang direkomendasikan atasannya. Meski demikian, Anggika tetap mau membaca sebagai bahan pembanding dan refleksi.

Membaca berkaitan dengan Proses Memperoleh Informasi dan Pengetahuan

Medium yang beraneka ragam tersebut kenyataannya tidak selalu menghasilkan dialog yang sama. Interaksi antara informasi dan pembaca, dengan kata lain, tergantung dari medium yang digunakan.

Revolusi teknologi informasi yang terjadi sejak abad 20 akhir telah mengubah dunia secara signifikan. Teknologi informasi, dengan karakteristik multi-media seolah meluruhkan batas ruang-dan waktu. Sebagai contoh, kita bisa dengan lekas memperoleh gambaran realtime fenomena yang terjadi di belahan dunia meski beribu kilometer jauhnya.

Sebaran informasi yang semakin cepat ternyata berimplikasi juga pada perilaku. Manusia akan merasa sangat terlambat jika tidak membaca koran di pagi hari. Manusia akan merasa rugi tanpa peka terhadap tren terbaru, dan sebagainya.

Untuk memenuhi kebutuhan akan informasi, banyak hal yang dilakukan oleh manusia. Terutama dengan beragam media yang ditawarkan saat ini. Melalui siaran radio, tayangan televisi, kicauan di media sosial, atau yang paling klasik, membaca buku.

Saat ini kita bisa dengan mudah mengakses video atau film dengan akses yang hampir tak terbatas. Cukup membuka situs pencarian, berita (news) atau kuliah dari orang-orang terkenal dapat kita nikmati di mana saja, kapan saja, bahkan berulang-ulang.

Namun menurut Pepe, membaca buku tetap tidak tergantikan meskipun berbagai kemudahan pencarian informasi dengan internet, terutama video mudah kita dapatkan. Pepe memberikan penjelasan, “Kalau via video, informasi cenderung tidak terkendali, dalam artian, ada proses penundaan yang hilang/lebih lambat untuk si pembaca/penerima teks untuk mencerna. Hal ini tentu berbeda dengan membaca buku yang prosesnya lebih lama, dan memberikan waktu bagi yang menyerap untuk mengevaluasi apa yang dia baca.”

Alasan lain untuk tetap membaca buku dikemukakan oleh Siska, “Literatur dan catatan adalah repositori yang menyimpan begitu banyak dimensi dan material, sehingga dengan membaca kita seperti melintasi jaman dan pemikiran.”

Meski beragam media informasi menawarkan informasi yang lebih cepat dan menarik (secara citra visual), membaca buku bagi para aktivis tetap merupakan sebuah kebutuhan yang tidak tergantikan.

Akses Memperoleh Bahan Bacaaan

Jumlah pembaca buku di Indonesia yang rendah berimbas pada industri buku. Melihat pasar yang minim membuat penerbit tidak berani menerbitkan banyak judul buku. Menurut data yang dirilis oleh International Publisher Associaton, rasio buku baru/cetak ulang per sejuta jumlah penduduk Indonesia per tahun berada pada angka 119. Angka ini termasuk rendah dibandingkan negara lain. Ambil contoh Norwegia yang memiliki angka rasio 1275 atau Prancis dengan angka 1008. Bahkan untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih kalah oleh Thailand (215), Vietnam (273), atau Malaysia (679)[5].

Jumlah buku yang diterbitkan menunjukkan seberapa besar pilihan buku yang ada di pasar. Semakin sedikit buku yang diterbitkan, semakin sedikit pilihan buku untuk dibaca. Semakin nestapa, jumlah buku yang dicetak per judul di Indonesia tergolong kecil.

Ronny Agustinus adalah pendiri penerbit Marjin Kiri. Penerbit yang identik dengan penerbitan buku-buku kajian sosial humaniora dan sastra. Dalam wawancara dengan Indoprogress, Ronny menceritakan pengalamannya ketika harus mengurus hak cipta dan royalti terjemahan dengan penerbit luar negeri. Penerbit luar negeri terkejut ketika dia menyampaikan kondisi pasar buku di Indonesia. Mereka mulanya tidak percaya dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa, di sisi lain sebuah penerbit hanya mampu mencetak 1.000 eksemplar per judul buku.

Sedikit pilihan buku di pasar tidak jarang membuat pembaca kesulitan mencari buku yang dia cari. Usie menceritakan kesulitannya memperoleh buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang tergabung dalam Trilogi Nusantara. Sesuai namanya, Trilogi Nusantara memuat tiga judul buku yaitu: Arok Dedes, Mata Pusaran, dan Arus Balik. Dari ketiga judul tersebut, hanya judul pertama yang saat ini mengalami cetak ulang dan tersedia di pasaran. Novel Arus Balik terakhir dicetak pada tahun 1995 dan belum pernah mengalami cetak ulang. Sementara judul kedua, Mata Pusaran, nasibnya lebih naas lagi. Dia telah lenyap  dihancurkan oleh pihak militer Orde Baru dan hanya menyisakan halaman 232-362. Itu pun didapatkan oleh pihak keluarga pengarang atas bantuan seorang Belanda yang menemukannya di penjual buku bekas di Kwitang.

Usie mengaku pernah kontak dengan seseorang di media sosial yang menjual beberapa buku karangan Pram, termasuk Mata Pusaran dan Arus Balik. Namun, belum sampai harga awal dibuka, si penawar tiba-tiba membatalkan niatnya.

Dari riset yang kami lakukan di beberapa penjual buku daring yang saat ini menjamur, harga novel Arus Balik yang asli/legal mencapai 1,5 juta. Itu pun peredarannya terbatas. Sementara untuk Mata Pusaran, hanya keluarga Pram yang dipastikan masih memiliki naskahnya. Itu pun dalam keadaan yang cacat.

Untuk dapat mengakses novel Arus Balik, Usie akhirnya tidak jadi membeli bukunya. Dia telah menemukan novel tersebut sebagai salah satu koleksi dari Kineruku, sebuah perpustakaan swasta di Kota Bandung.

Kesulitan mencari buku juga pernah dialami oleh Pepe. Sekian lama dia mencari novel berjudul Semua Untuk Hindia karya Iksaka Banu dan Anti-Politics Machinekarya James Ferguson. Meski novel Semua Untuk Hindia relatif baru diterbitkan (terbit tahun 2014), stok di pasaran ternyata sudah langka. Padahal, novel tersebut merupakan pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2014, salah satu penghargaan sastra paling bergengsi di negeri ini.

Pepe mencoba untuk mencari kedua buku tersebut di perpustakaan. Dua perpustakaan yang terkenal memiliki koleksi lengkap dia kunjungi : perpustakaan kampus UI dan perpustakaan milik Freedom Institute. Dua perpustakaan yang dia andalkan tersebut ternyata tidak mengoleksi buku yang Pepe cari.

Semua untuk Hindia akhirnya Pepe dapatkan dari penjual buku daring. Sementara Anti-Politics Machine berhasil didapatkan Pepe setelah fotokopi buku milik ayah seorang temannya.

Copyright atau Right-to-Copy? - Dilema Aktivis memperoleh Bahan Bacaan

Pendidikan tanpa ilmu pengetahuan tidak ada bedanya dengan pabrik pencipta manusia siap pakai (sesuai kebutuhan industri). Barangkali itu fakta yang terjadi saat ini. Pendidikan kita diatur sedemikian rupa, sehingga hanya orang-orang terbatas yang bisa mengakses ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan direkayasa menjadi sebuah komoditas baru.

Salah satu kedok komodifikasi ilmu pengetahuan adalah melalui hak cipta. Ada unsur yang dilematis sebetulnya: di satu sisi hak cipta adalah bentuk apresiasi terhadap kerja dan waktu yang dicurahkan oleh penulis, di satu sisi dia dimanfaatkan oleh industri untuk membatasi akses khalayak terhadap ilmu pengetahuan. Siapa yang mampu untuk mengakses ilmu pengetahuan jika harga sebuah buku atau akses terhadap jurnal berkali-kali lipat harga kebutuhan pokok mereka?

Internet menawarkan sebuah akses terhadap informasi dan pengetahuan yang relatif tidak terbatas-dan tidak sedikit yang ‘ilegal’. Melalui beberapa situs, kita bahkan bisa mendapatkan softcopy buku-buku laris dan terkenal secara gratis. Situs lain bahkan menawarkan unduh jurnal ilmiah teraktual secara gratis tanpa harus mendaftar atau berlangganan yang jika kita ingin mengakses secara legal bisa jadi harganya 10 kali lipat biaya sekali makan.

Aaron Swartz adalah seorang hackersekaligus aktivis. Dia mendukung penuh kebebasan manusia untuk memperoleh informasi dan akses terhadap pengetahuan. Dalam usia 26 tahun, meminjam istilah Goenawan Mohamad, dia adalah pemuda sekaligus sesepuh. Aaron telah meninggal pada tahun 2013 yang lalu. Motif kematian diduga adalah bunuh diri akibat ketakutan atas tuntutan kejaksaan yang menuntut hukuman berat atas ‘kejahatan’ pelanggaran hak cipta yang dia lakukan.

Goenawan Mohamad menulis Catatan Pinggir majalah Tempo edisI 27 Januari 2013[7] sebagai berikut:

… Empat tahun yang lalu Aaron menyusun sebuah manifesto yang menegaskan pandangannya: informasi, terutama informasi ilmu pengetahuan, tak boleh dikungkungi buat segelintir orang, khususnya di perpustakaan kalangan akademia di negeri-negeri kaya. Menyediakan karya ilmiah bagi universitas-universitas elite di Dunia Pertama, tapi tidak untuk anak-anak di Dunia Selatan? Itu sama sekali tak pantas dan tak dapat diterima.

.

Di minggu pertama Januari 2011, Aaron ditangkap karena ketahuan mengunduh 4 juta dokumen dari khazanah karya ilmiah yang disimpan JSTOR, perpustakaan digital terkenal itu. Ia menggunakan jaringan Massachusetts Institute of Technology melalui sebuah laptop yang disembunyikannya di lantai dasar Gedung 16. Ia bermaksud membagikan karya-karya ilmiah itu ke siapa saja yang butuh tapi tak punya akses. Ia menentang kebijakan JSTOR yang membayar penerbit dan bukan si penulis atau si pembuat karya bila karya itu diunduh.

Masalah hak cipta bukan sekadar masalah legal hukum. Dia tidak mungkin bisa lepas dari relasi kekuasaan. Di satu sisi, frasa-frasa dalam Bahasa Inggris seringkali membingungkan. Apa maksud dari free-sugar? Gratis gula? Apa pula arti dari copyright? Apakah copyright = right to copy?

Salah satu teman aktivis mencoba menyikapi hal ini dengan bijak. Dia mengaku bukan anti copyright, tapi di satu sisi tidak terlalu peduli dengan copyright. Dengan beberapa trik ‘umum’ yang tersebar di internet, aktivis satu ini mengaku cukup terbantu untuk mendapatkan akses jurnal ilmiah maupun buku-buku berkualitas terbaik. Meski demikian, jika memungkinkan untuk membeli karya asli, teman saya tidak ragu untuk menyisihkan uang bulanan yang terbatas.

Banyak buku bagus dan sebetulnya menjadi rujukan utama yang sayang hampir tidak mungkin bisa  didapatkan di pasar buku Indonesia. Bahkan, beberapa perpustakaan tidak memiliki koleksi buku tersebut. Dengan akses internet yang menembus batas ruang dan waktu, buku-buku berkualitas dapat kita nikmati secara bebas.

Situasi ini dilematis baik dari sisi pembaca, penulis, maupun penerbit. Meskipun tingkat literasi secara umum masyarakat Indonesia rendah, bukan berarti tidak ada pembaca yang serius di dalamnya. Beberapa kawan aktivis yang saya kenal dapat menamatkan 3-5 buku tiap bulan. Dia rela untuk membeli sebuah buku meski harganya 5 kali harga makan siang. Namun, masalahnya bagaimana jika meski dia telah mau menyisihkan uang tetapi barang tidak ada?

Dari sisi penerbit, penerbitan buku berkualitas atau kajian kritis tidak bisa lepas dari hitung-hitungan bisnis. Penerbitan buku kajian kritis, bisa jadi sama sekali tidak menguntungkan dibandingkan jika menerbitkan buku-buku selfhelp, motivasi, atau manajemen.

Marjin Kiri mungkin adalah salah satu penerbit yang cukup nekat. Meski tahu betapa memprihatinkan pasar buku kajian kritis di Indonesia, penerbit ini tetap menerbitkan buku-buku yang mungkin tidak pernah kita dengar judul buku maupun pengarangnya tetapi mereka yakini sebagai buku baik.

Mungkin banyak juga penerbit dengan idealisme seperti ini. Namun, banyak juga di antara mereka - untuk mengakali dan menekan biaya produksi - mengelak dari pembayaran royalti baik kepada penulis maupun penerbit asalnya (kebanyakan berkualitas ini masuk dalam kategori buku terjemahan).

Eka Kurniawan adalah novelis Indonesia yang paling diperhitungkan saat ini. Novelnya yang berjudul “Lelaki Harimau” masuk dalam nominasi penghargaan international: Man Booker Prize 2016. Tahun ini Eka Kurniawan baru saja menerbitkan sebuah novel baru berjudul “O”. Baru beberapa bulan setelah peluncuran resmi, versi bajakan sudah tersebar luas di pasar. Segera setelah itu Eka Kurniawan mengemukakan kekecewaannya di blog pribadinya[8]:

Ya ampun pembajak, bahkan motong bukunya sembarangan, dan sisa scan masih keliatan. Mbok nunggu sampe terjual sejuta kopi gitu lho, mben penulise ngerasani sugih sek *sambil ngayal beli truk*.

Belilah yang aseli, biar pengarang hepi.”

Pendapat lain dikemukakan oleh Seno Gumira Ajidharma. Penulis produktif yang telah menghasilkan setidaknya 6 buku kumpulan cerpen ini mengaku, siapa pun bebas untuk membajak buku hasil karyanya. Menurutnya, dia tidak mau terlalu pusing dengan urusan industri buku. Dia hanya ingin fokus menulis, karena baginya masih banyak hal di dunia ini yang belum dia tuliskan.

Seorang kawan aktivis yang lain pernah mengalami posisi dilematis soal kepemilikan buku. Dia adalah remaja yang tumbuh bersama buku. Ketika dia pertama kali masuk kuliah dan memutuskan untuk indekos, yang menarik barang bawaan terbesarnya justru buku-buku yang selalu setia menemani.

Suatu ketika dia mengalami kesulitan finansial. Harta yang dia miliki satu-satunya adalah buku. Dia harus mengambil keputusan sulit: menjual buku-buku yang selalu setia menemani. Setelah menjual buku-buku tersebut, rasa sedih tidak bisa lepas darinya. Pertama, buku-buku tersebut memiliki kesan pribadi. Kedua, kekhawatiran kehilangan akses informasi dari buku tersebut di masa depan. Untuk alasan kedua, teman saya cukup bisa merelakan. Internet telah menjamin dia untuk mengakses informasi kapanpun dia butuhkan. Meski ilegal.

Kumpulan Buku

Beberapa buku populer mungkin bisa kita dapatkan (secara ‘ilegal’) di dunia maya.  Namun, kebanyakan buku tersebut ditulis dalam Bahasa Inggris. Untuk beberapa buku karangan penulis Indonesia, terdapat beberapa kemungkinan untuk mengakses : beli di toko buku atau meminjam di perpustakaan.

Membeli dan memiliki buku memiliki kesan sendiri. Selain akses terhadap buku yang lebih bebas, memiliki buku di sisi lain juga dilandasi oleh alasan yang lebih personal. Pepe dalam blognya menulis:

... “Hal lain yang menyadarkan saya adalah buku tidak melulu sebuah simbol rasionalitas (bukan karena ada buku semacamUdah Putusin, Aja! dan kompilasi fakta boleh-sadur dari blogspot tentang selebriti Korea) betapapun isinya. Melainkan, yang paling penting juga dari artefak itu adalah perjalanan yang kita sadari penuh untuk ikut, dalam rangka menguak ketidaktahuan di dunia antah barantah di dalamnya.”

Beberapa perpustakaan saat ini banyak yang menarik.  Jauh dari kesan perpustakaan yang usang: terbatas, (wajib) hening, kaku, dan penuh debu (juga berhantu), perpustakaan yang baru ini menawarkan sebuah konsep yang lebih segar, santai, penuh interaksi, dan homy. Uniknya, perpustakaan seperti ini justru banyak dikembangkan oleh pihak swasta.

Salah satu contoh adalah Kineruku. Perpustakaan yang dikelola oleh sepasang suami istri ini tersohor di kalangan anak muda hipster Bandung yang haus akan bahan bacaan bermutu. Berawal dari rumah peninggalan kakek salah satu pemilik, lantas disulap menjadi sebuah perpustakaan swasta yang menyediakan buku-buku bermutu.

Akses terhadap ilmu pengetahuan di masa sekarang semakin mudah. Para aktivis mengaku tidak mengalami kesulitan berarti dalam mencari bahan bacaan. Mungkin yang justru menjadi tantangan saat ini adalah, meningkatkan kegemaran para aktivis untuk membaca dan menularkan budaya membaca tersebut sehingga akses yang terbuka lebar tidak sia-sia.

***

[1]http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia

[2] UNESCO, UNESCO Institute for Statistics (2012).  ADULT AND YOUTH LITERACY, 1990-2015 Analysis of data for 41 selected countries [Data File]. Diambil dari: http://www.uis.unesco.org/literacy/Documents/fs32-2015-literacy.pdf

[3] Badan Pusat Statistik (2012). Proporsi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Membaca Selama Seminggu Terakhir menurut Provinsi, Jenis Bacaan, dan Tipe Daerah, 2012 [Data File]. Diambil dari: https://www.bps.go.id/website/tabelExcelIndo/indo_27_4.xls

[4] http://www.medicaldaily.com/neural-pathways-watching-tv-human-brain-reading-book-389744. Diakses tanggal 12 November 2016 pukul 22.00.

[5] International Publishers Association. Annual Report October 2013-October 2014, 2014 [Data File]. Diambil dari: http://www.internationalpublishers.org/images/reports/2014/IPA-annual-report-2014.pdf

[6] http://www.tempo.co/read/caping/2013/01/27/128692/Prometheus. Diakses tanggal 12 November 2016 pukul 20.00.

Kamis, 28 Mei 2020

[TIPS] BEROLAHRAGA : MENJAGA KEBUGARAN DAN MEMAHAMI KEBERAGAMAN

Oleh : Kukuh Samudra

Kita telah sepakat bahwa olahraga bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran. Dari tubuh yang sehat, lantas berpengaruh terhadap jiwa yang sehat. Seperti adagium Yunani yang terkenal, “Mens sana in corpore sano” yang artinya, “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”.

Manfaat lain menurut olahraga yg tidak banyak orang sadari adalah olahraga dapat memperluas pergaulan. Dengan semakin luas pergaulan, semakin poly orang yang kita temui & semakin besar peluang kita bertemu dengan bermacam jenis orang. Dari interaksi menggunakan beragam jenis manusia itulah yg mendorong kita buat memahami keberagaman. Bagi teman-sahabat yang hendak atau baru memulai berolahraga, pada bawah ini beberapa tips agar kita menerima manfaat optimal berdasarkan olahraga. Baik yang berkaitan dengan kebugaran jasmani, juga yg berkaitan dengan sosial.

1. Pilih olahraga yang sesuai menggunakan minatmu

Saat ini banyak sekali macam olahraga bersama fasilitas sudah tersedia. Olahraga tersebut ada yg bersifat individu, gerombolan , permainan, atau yang bersifat non-permainan. Beberapa orang lebih gemar olahraga grup seperti futsal, tetapi beberapa lebih enjoy melakukan olahraga individu seperti bersepeda atau lari. Olahraga permainan umumnya lebih asyik dilakukan, namun kita perlu mencari sahabat atau versus tanding yang terkadang susah-susah gampang. Contohnya merupakan tenis. Sementara terdapat jua olahraga yang sifatnya bukan permainan seperti lari atau yoga.

Foto 1 - Lari pagi di GOR Saparua, Bandung (dokumen pribadi)

Kegiatan lari (jogging) dapat dilakukan sendiri maupun berkelompok. Dengan berkelompok, kegiatan lari menjadi sarana mengenal keberagaman serta meningkatkan motivasi untuk menyehatkan raga.

Ada beberapa olahraga yg dapat dipelajari dengan mudah misalnya lari, ada yg perlu ketika usang buat bisa mahir melakukannya misalnya basket atau bulutangkis. Pertimbangkan ketersediaan ketika, budget, dan tujuan anda pada berolahraga. Apabila anda tidak mempunyai banyak saat & ingin segera menerima manfaat dari olahraga, pilihlah olahraga yang gampang & terjangkau. Apabila anda merasa cocok dan enjoy dengan sebuah olahraga eksklusif jangan ragu buat ikut komunitas & berlatih secara giat. Bahkan jika anda kebetulan memiliki rejeki berlebih, tidak terdapat salahnya ikut kursus atau membayar pelatih.

Dua. Bergabung pada komunitas olahraga

Olahraga misalnya lari atau bersepeda, yang sebetulnya lebih menekankan dalam ?Kompetisi? Melawan diri sendiri, umumnya membutuhkan determinasi diri yang lebih tinggi. Tidak jarang orang yg baru pertama mencoba olahraga akan semangat di awal, kendor di tengah, & bahkan berhenti sama sekali sehabis melakukannya tidak lebih berdasarkan hitungan jari. Salah satu cara buat mengatasi kendala ini adalah mencari komunitas atau sahabat dengan hobi yang sama.

Untuk olahraga permainan, hambatan umumnya merupakan dalam mencari sahabat. Beberapa olahraga membutuhkan minimum peserta supaya bisa bermain menggunakan enjoy.

Apapun jenis olahraganya, mencari teman atau komunitas dengan minat yang sama adalah menguntungkan. Anda mampu menemukannya di sekolah, kampus, lingkungan kerja, klub olahraga atau melalui media daring yang saat ini gampang diakses. Untuk 2 yg terakhir, umumnya anggota klub asal berdasarkan bermacam jenis latar belakang yang tentu saja lebih menarik.

Tiga. Berinteraksi menggunakan sesama anggota komunitas

Foto 2 - Olahraga sebagai sarana mencairkan suasana (dokumen KAIL)

Sebagai awal mula sebuah kegiatan, olahraga dapat menjadi sarana untuk mencairkan suasana, seperti yang dilakukan oleh kakak pendamping dan adik-adik di Hari Belajar KAIL di gambar ini.

Olahraga adalah momen ketika orang hendak santai dan ingin lepas sejenak berdasarkan rutinitas. Saat istirahat atau menunggu giliran, coba ajak anggota komunitas atau versus bermain buat berbincang-bincang. Olahraga juga membantu buat mencairkan suasana. Dosen killer atau atasan yang galak nir jarang menunjukkan sifat berlawanan sama sekali saat olahraga dibandingkan keseharian. Dengan berbincang, kita mampu lebih mengenal satu sama lain. Apalagi pada sebuah komunitas dengan latar belakang yang majemuk, kita sanggup memahami insan secara lebih luas. Apabila terdapat rejeki berlebih, nir terdapat salahnya buat sekadar membawa kudapan sehat supaya komunitas lebih akrab.

4. Mengadakan Latih Tanding atau Latihan Bersama

Sekadar latihan rutin terkadang membosankan. Perlu suasana supaya semangat latihan permanen terjaga. Kegiatan latih tanding sanggup sebagai pilihan. Selain itu dengan latih tanding, kita bisa memperluas pergaulan.

Yang perlu diingat waktu latih tanding merupakan:

a. Atur jadwal dan konvensi menggunakan mitra latihan. Bicarakan secara terbuka mengenai waktu, tempat, konsumsi, dan pembagian porsi finansial jika dibutuhkan.

B. Sebagai tuan tempat tinggal , kita harus buat melayani tamu menggunakan sebaik-baiknya. Beri liputan dan kemudahan kepada tamu kita semisal mereka baru pertama kali berkunjung. Mengacu dalam poin (a) pada hal finansial, tuan rumah lazimnya memberi jamuan pada tamu. Namun, sesuaikan menggunakan budget klub Anda. Seringkali masalah perjamuan bukan berarti harus glamor, namun setidaknya memenuhi kebutuhan dasar dalam berolahraga misalnya air mineral.

C. Sebagai tamu, kita harus bertanggung jawab & menghormati lawan tanding kita. Hadir lebih awal di lokasi adalah galat satu model. Selain itu, terkadang ada beberapa kesepakatan atau aturan yg tidak sama di lingkungan tuan rumah yang perlu kita jaga. D. Pergunakan latihan bersama atau latih tanding buat saling belajar, saling berkomunikasi, dan membina rekanan. Belajar pada hal ini bukan sekadar urusan teknis olahraga. Namun, sanggup pula mengenai manajamen latihan, tips-tips finansial, dll.

5. Mengikuti atau Mengadakan Turnamen

Latih tanding memiliki cakupan yg lebih terbatas pada dua klub. Apabila ingin mendapatkan jaringan yang lebih luas pada satu waktu, kita bisa mencoba mengikuti turnamen atau bahkan mengadakan turnamen sendiri. Atmosfer turnamen akan terasa lebih menantang dan bergelora dibandingkan sekadar latih tanding. Dengan atmosfer yg lebih menantang, akan menarik peserta yang lebih luas.

Yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan turnamen adalah:

a. Kita perlu mengukur sumber daya. Jangan hingga turnamen yg kita selanggarakan memiliki kualitas yg jelek & menciptakan kapok peserta.

B. Menjaga sportivitas merupakan hal yang absolut. Jika tidak, alih-alih mendapatkan teman baru dan membina keberagamaan, yg sanggup terjadi merupakan sebuah bibit permusuhan.

C. Esensi menurut turnamen merupakan kompetisi. Namun, kompetisi usahakan hanya terjadi pada lapangan atau saat pertandingan berlangsung. Manfaatkan ketika jarak sebagai ajang silaturahmi.

6. Sportif

Sportif mampu berarti amanah & bertanggung jawab. ?Bermainlah, tapi jangan pernah bermain-main menggunakan permainanmu,? Demikian kata seseorang bijak. Artinya, waktu kita bermain atau olahraga kita dituntut buat fokus & mengerahkan upaya aporisma. Bermain-main dengan permaian, bisa berarti tidak amanah, berlaku licik, atau tidak mengerahkan energi secara aporisma hanya akan menghambat tujuan yang hendak kita capai menurut olahraga.

Dari Tenis buat Menjadi Semakin Dinamis

Penulis sendiri pada olahraga memilih tenis menjadi hobi. Sejak mini penulis telah didorong berolahraga buat belajar dan menekuni paling tidak satu bentuk olahraga permainan. Hingga kini , penulis masih aktif bermain tenis & masih terus belajar buat berbagi permainan.

Foto 3 - Penulis dan Olahraga Tenis

Melalui tenis, penulis mendapatkan beragam manfaat, salah satunya adalah pengembangan karakter pantang menyerah serta kesempatan untuk mengenal sifat-sifat orang yang berbeda melalui kegiatan turnamen atau pertandingan persahabatan
Lebih dari 10 tahun penulis berlatih tenis, ada beberapa nilai dan manfaat yang penulis dapat petik:

1. Olahraga membantu dalam belajar Di saat suntuk & penat, olahraga dan berkeringat mengakibatkan tubuh dan pikiran lebih segar. Penulis yang rutin tenis 1-2 kali per pekan pernah mencoba nir tenis selama 1 bulan. Yang terjadi badan justru tak jarang pegal & lesu. Beberapa penelitian terkenal bahkan menyebutkan dengan berolahraga, kemampuan otak dalam memasak kabar akan semakin tinggi. Hal ini karena otak kita sebetulnya membutuhkan suplai oksigen yg lancar. Sementara olahraga bisa membantu melancarkan sirkulasi oksigen ke otak.

2. Olahraga mengajarkan untuk bekerja keras

Dosen pembina UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa)-Tenis penulis pernah bercerita bahwa beliau mengajarkan anaknya olahraga agar anaknya belajar kerja keras. Dalam global akademik, mencontek adalah jalan pintas seorang pelajar buat mendapatkan skor yg baik. Namun, dalam olahraga, mencontek menjadi nir relevan. Kemampuan atlet seratus persen adalah buah kerja keras beliau dalam berlatih. Anda sanggup ?Mencontek? Gaya pukulan Roger Federer, atlet tenis terbaik global, menggunakan melihat videonya berulang kali. Namun, buat sebagai juara dunia seperti Roger Federer tanpa kerja keras adalah tidak mungkin.

3. Olahraga memberikan kesempatan buat mengenal begitu poly orang

Tenis selalu mempunyai stereotip menjadi olahraga yg mahal. Saya tidak menampik pendapat demikian. Namun, penulis yang besar pada kota kecil seperti Karanganyar, menemui kenyataan bahwa hampir semua lapangan masih gratis. Oleh karena itu, dengan porto yg jauh lebih murah dibandingkan di kota, tenis di kota kecil masih terjangkau bagi kalangan kelas menengah bawah. Di kota mini , tidak jarang seorang pejabat tingkat kabupaten bermain menggunakan tukang becak yang secara strata sosial termasuk pada bawah. . Dalam kesempatan lain penulis mengikuti turnamen alumni perguruan tinggi tempat penulis kuliah. Dari situ penulis bisa berinteraksi dengan para alumni yang sudah bekerja dan jauh lebih mapan secara finansial daripada tukang becak yang penulis temui. Mereka rata-homogen mempunyai cerita yg unik dengan topik yg beragam. Meski demikian, topik yg mereka bincangkan kebanyakan tidak selaras dibandingkan menggunakan klub tukang becak berada. Kalaupun katakanlah kita ambil satu pijakan tema, yaitu ekonomi, sudut pandang antara para alumni perguruan tinggi sangat jauh tidak sinkron.

Dari berbagai klub tenis yang diikuti, kita jadi lebih paham mengenai cara berpikir orang yang beragam. Meski harus diakui, tidak semuanya baik. Tetapi, dengan demikian kita akan lebih cerdik & bijaksana pada melihat sebuah persoalan.

4. Latih tanding dan mengadakan turnamen menjadi sarana buat belajar berorganisasi

Penulis pernah bertanggung jawab mengadakan sebuah latin tanding dengan universitas lain saat masih mahasiswa. Dari situ kami saling berinteraksi & bertukar keterangan. Tiap organisasi atau klub, kasus yg dihadapi terdapat yg tidak sinkron terdapat pula yang mirip. Dari situ kita mampu saling berdiskusi dan bertukar pengalaman. Wawasan kita kita juga lebih terbuka, bahwa buat tiap organisasi buat kasus yang sama sanggup jadi penanganannya tidak sama.

Beda lagi pengalaman ketika didapuk menjadi kepala turnamen. Mengadakan turnamen ternyata nir semudah yang dipikir. Meski memiliki banyak rencana & pandangan baru di ketua, melakukan hukuman bagi penulis yang minim pengalaman organisasi ternyata cukup sulit. Saat itu penulis poly mengalami hambatan bahkan turnamen yg direncanakan terancam gagal. Tetapi, dari proses itu penulis belajar banyak terutama pada hal memecahkan perkara, berinterksi, dan berkomunikasi menggunakan orang lain.

Empat manfaat bermain tenis yg penulis sebutkan di atas tentu saja sangat subjektif. Pembaca pasti memiliki pengalaman & memperoleh manfaat yg berbeda-beda pada berolahraga. Selain bahwa olahraga berguna bagi kebugaran, olahraga sarana yang baik untuk memperluas pergaulan dan memperluas sudut pandang.

SALAM OLAHRAGA!

Minggu, 17 Mei 2020

[MEDIA] RESENSI BUKU: HALAMAN RUMAH/ YARD

RESENSI BUKU: Halaman Rumah/Yard

Oleh: Kukuh Samudra

Judul                     : Halaman Rumah

Penyunting         : Anwar Jimpe Rahman

Penerbit              : Tanahindie Press

Halaman              : x + 183

Lima puluh tahun kemudian di Karanganyar - sebuah kota kecil sebelah timur kota Solo - berukuran rumah lazimnya besar . Luas tanah bangunan 500 m2 belum mampu dikatakan luas, itu pun belum ditambah pekarangan atau kebun di belakang rumah.

Sekarang, menggunakan ukuran yang sama di loka yang sama, 500 m2 tanpa pekarangan telah mampu dipercaya luas. Tidak perlu pekarangan, yg penting ada garasi.

Di kota Bandung berbeda lagi. Di kampung-kampung kota, mulai sering dijumpai rumah dengan ukuran lebih sempit. Pemiliknya pun tidak menganggap garasi atau pekarangan sebagai hal penting; pagar rumah langsung mepet dengan jalan.

Sisi lain dunia mempunyai cerita yg tidak sama lagi. Hidup pada ruangan 5x4 meter buat sekeluarga, melakukan aktivitas apapun di ruangan yg sama.

Cerita mengenai ruang sanggup tidak selaras pada berbagai tempat dan kebudayaan. Seperti yang disampaikan sang Koentjaraningrat, apa yang material (artefak kebudayaan) sesungguhnya adalah sublimasi dari sistem sosial dan mental warga .

Dalam kitab ?Halaman? Ini, sebuah lokus bernama halaman coba ?Diperbesar? Buat mendapatkan penekanan yang lebih tajam.

Bermacam Narasi Mengenai Halaman

Terdapat 14 esai yg tertuang dalam buku ?Halaman Rumah?. Tidak semua goresan pena secara khusus membahas tentang halaman tempat tinggal , meski masih ada sebuah bisnis buat membidiknya.

Esai pertama berjudul ?Di Kota Kita Meraya, Di Halaman Kita Berjaya? Ditulis Anwar Jimpe Rahman. Seperti dimaksudkan menjadi esai pembukaan, Anwar memperkenalkan definisi awal tentang laman & pekarangan yg menurutnya ?Setara dan sedaya?; dipahami menjadi tanah di lebih kurang tempat tinggal . Tulisan ini mencoba mendedah halaman dan pekarangan terkait poly konteks: filsafat, proses berkesenian, sosial, hingga permenungan yg transenden.

Selanjutnya kita akan disuguhi langsung tiga narasi tentang tiga kampung pada Makassar: Kampung Paropo, Kampung Rama, & Permukiman Jalan Sukaria. Ketiga tulisan ini secara garis besar membahas 3 kampung menurut segi yg sama: sejarah dan proses perubahan sosial dampak modernisasi. Sesekali narasi tentang halaman coba diselipkan.

Esai-esai selanjutnya menghubungkan halaman dengan berbagai tema. Terdapat beberapa benang merah topik: tradisi, interaksi sosial, dan ruang hidup.

Kaitan antara tradisi dengan halaman atau pekarangan tertuang dalam esai ?Kesenian, Panggung, & Halaman yg Tersisa pada Paropo? Dan esai ?Nam?A & El?A bagi Orang Lewotala di Kepulauan Solor?.

Esai pertama berbicara mengenai kesenian tradisional yang berlangsung pada Paropo yang kerap berlangsung di lapangan. Sementara esai yg disebutkan ke 2 menjabarkan peran rumah tata cara menjadi ruang publik loka memperbincangkan dan menyelenggarakan urusan publik-istiadat.

Halaman atau pekarangan menjadi ruang hayati dijabarkan oleh dua esai berdasarkan Saleh Abdullah dan Fitriani A Dalay. Esai berdasarkan Saleh Abdullah dengan tegas memposisikan "pulang ke pekarangan sebagai upaya melawan budaya kota yg menurutnya sarat akan ketidakadilan & sudah ?Memutus solidaritas bersama menggunakan melahirkan manusia-insan kota yang impersonal?.

Melalui kegiatan menanam kuliner sendiri di pekarangan kita telah berupaya buat mengurangi ketergantungan kita terhadap budaya kota. Dia memberikan tekanan bahwa pekarangan tidak sekadar berkaitan menggunakan aktivitas tanam-menanam, namun pula terkait dengan wilayah kedaulatan politis. Sehingga, menggarap lahan ?Menggunakan begitu memiliki alasan eksistensial & politis sekaligus? (hal. 87).

Perincian yang baik ditulis oleh Fitriani A Dalay yang juga mengaitkan isu halaman/pekarangan dengan ruang hidup. Dengan pencatatan yang baik, diperoleh data dari seorang warga dari Desa Soga, Kabupaten Soppeng yang menghemat hingga 1,8 juta (dari total 2,7 juta) per bulan untuk kebutuhan pangan. Sayang pencatatan tersebut tidak mencantumkan luas lahan yang digunakan warga. Meski demikian, pemaparan rincian kebutuhan pokok dalam bentuk tabel sangat mengena dalam memberikan insight tentang pemenuhan kebutuhan secara mandiri.

Halaman tempat tinggal secara eksklusif juga menghipnotis hubungan & perilaku manusia. Halim HD & Askaria Putri memotret paradoksal perubahan hubungan dan perilaku ini menurut kenangan mereka akan masa lalu.

Halim membandingkan masa kecilnya waktu di Serang, Banten. Halaman rumah masyarakat pada kampung ketika itu, tak ubahnya anjung dan mimbar. Tempat interaksi banyak sekali budaya berlangsung. Dari page rumah, Halim mengaku sanggup mengetahui secara pribadi kesenian misalnya Gambang Kromong, Keroncong, Wayang Golek, & musik melayu. Sesuatu yang susah dijumpai waktu ini, waktu rumah sebagai arena terutup yg cenderung mengisolasi anak terhadap pergaulan menggunakan sekitar.

Kenangan kehidupan kampung dengan page juga dibeberkan sang Asri. Ketika hidup di Jogja, aneka macam kegiatan bermain biasa dilakukan di pekarangan/laman. Sementara nasib tidak sama wajib dialami anaknya yg bersama Asri tinggal di komplek perumahan tanpa ada tempat luas yg layak buat bermain.

Usaha Dokumentasi Ingatan Ruang

Tidak gampang memadukan empat belas esai dari orang-orang yang tidak sinkron tentang topik yang sama. Konsistensi terhadap sebuah wangsit awal dan teori dasar, menjadi kendala pada kitab ini. Meski pada judul kitab adalah ?Halaman Rumah?, esai pertama menjadi pembuka telah memperluas cakupan kitab menjadi ?Page? Dan ?Pekarangan?.

Esai-esai selanjutnya pun cenderung tidak konsisten terhadap tema ?Page? Rumah. Alih-alih sebuah pekarangan, ruang yg dimaksud pada esai ?Kesenian, Panggung, & Halaman yg tersisa di Paropo? Justru menggunakan gamblang menyebut kata ?Lapangan? Di awal.

Apabila esai pada awal menyebut wangsit bahwa ?Halaman? & ?Pekarangan menjadi setara & sedaya, esai paling akhir yang ditulis sang Yoshi Fajar Kresno Murti justru menyiratkan pemahaman yg antagonis.

Halaman rumah sebagai entitas ruang mungkin belum baku, atau memang percuma buat dibakukan. Sementara garis besar kitab ini terasa kental menggunakan nuansa romantisisme; ingatan akan kondisi rumah menggunakan halaman atau pekarangan luas yg leluasa.

Hal ini dibenturkan menggunakan perubahan sosial yang dialami warga . Lahan yg menyempit karena kepadatan penduduk semakin tinggi atau lantaran prosedur pasar membuat rakyat lokal nir berdaya buat mempertahankan tanahnya.

Tetapi, yang terbentuk oleh puluhan atau mungkin ratusan tahun, tidak ingin tinggal diam. Tradisi sosial yg sudah hayati di masyarakat, nir serta merta tewas. Buku ini mereka menggunakan baik hal tersebut. Ibu-ibu yang memanfaatkan ruang buat pengajian, pelaku kesenian yg berpentas di tanah lapang yg belum termanfaatkan, atau warga norma yg merampungkan masalahnya di depan rumah istiadat.

Memang ada beberapa kekurangan dari buku ini. Soal koherensi maupun landasan teori. Namun, dalam konteks masyarakat yang ‘memiliki ingatan pendek’, buku ini adalah mata air. Anda pasti juga setuju setelah membaca buku ini ,bahwa dengan kata kunci semangat,  buku “Halaman Rumah” mengatasi kendala-kendala teknis.

Jumat, 08 Mei 2020

[PROFIL] MBAH PAIMAN, KISAH SEORANG PETANI BANDEL

Oleh: Kukuh Samudra

Bumi kita ketika ini dihuni sang lebih dari 7 milyar insan. Sejumlah insan tersebut semua butuh makan. Kita sanggup permanen hayati tanpa membaca kitab , tanpa memegang ponsel, atau tanpa berkendaraan. Tapi tidak tanpa makan.

Maka tidak hiperbola sekiranya jika kita sebut petani sebagai profesi yg paling mendasar di bumi ini. Meski demikian kita acapkali kurang apresiatif terhadap profesi tersebut.

Saya 2 kali bertemu dengan Mbah Paiman. Lelaki sepuh yg memproklamirkan diri sebagai petani kolot. Pertama, pada sebuah aktivitas diskusi. Waktu itu aku kagum menggunakan perawakan Mbah Paiman yang meski sudah berumur 80 tahun tetapi tetap sehat & energik. Topik diskusi tentang pertanian organis hingga kasus penanganan sampah yg pada masa ini, dijawabnya secara fundamental.

Perjumpaan yang pertama mendorong saya buat kenal lebih pada pada Mbah Paiman. Saya putuskan buat sowan ke rumah Mbah Paiman pada Dusun Dhani, Desa Pereng, Mojogedang. Sekitar 45 mnt mengendarai kendaraan berdasarkan sentra Kabupaten Karanganyar.

Waktu itu kami rombongan berempat datang ke rumah Mbah Paiman pukul 21.00. Tidak janjian dahulu. Namun, sepertinya beliau cukup terbiasa menerima tamu malam-malam. Kami diterima dengan sangat ramah. “Biasa, Mas. Kalau ke sini ada yang kadang baru datang jam 11 malam. Saya layani sampai subuh.”

Nama Mbah Paiman di Karanganyar dikenal terkait perjuangannya di bidang pertanian organik. Namun, namanya tidak hanya terkenal pada kalangan penggiat pertanian, dia juga dikenal di kalangan pegiat kesenian dan kebudayaan maupun politisi. Pilihan hidup dan tutur mengenai latar belakang hidupnya, menarik bagi siapapun yang ingin menimba ilmu.

Terdapat cerita di balik pengakuan Mbah Paiman sebagai petani kolot. Kolot yang dimaksud di sini bukan berarti tua seperti dalam bahasa Sunda, tapi lebih dimaksudkan sebagai sifat ngeyel atau memberontak.

Hal yang membuat Mbah Paiman memberontak tepatnya merupakan rapikan cara pertanian yg nir ramah terhadap alam. Semua bermula dalam acara revolusi hijau yg diterapkan waktu pemerintahan Presiden Soeharto.

Program revolusi hijau dimaksudkan buat memacu produksi pangan sebagai langkah respon terhadap ledakan penduduk yang tidak terbendung. Isi program revolusi hijau antara lain akselerasi produksi menggunakan memakai pupuk kimia & racun sintetis.

Seketika Mbah Paiman resah. Ketika program itu dicanangkan, beliau sedang di penjara pada Nusakambangan dampak sebuah kesalahan yang hingga kini beliau tidak memahami dengan terperinci. ?Tidak ada pengadilan sampai waktu ini,? Begitu terangnya.

Dia menjelaskan, bagaimana saat itu, sambil sembunyi-sembunyi beserta tahanan yang lain membahas bahaya dari penerapan program revolusi hijau.Salah satu yg gasal dari program tersebut adalah waktu tahun 1955, buat mengatasi endemi malaria, pemerintah menggunakan racun DDT [1]. Namun, segera sesudah mengetahui impak bahaya yang ditimbulkan, pemerintah segere melarang. Mbah Paiman penasaran, ?Tahun 1955, penggunaan racun sintetis telah dihentikan, mengapa dalam tahun 1968 diterapkan pulang??

Mbah Paiman paham betul, meski mungkin dapat memacu produksi pangan dalam jangka pendek, terdapat dampak jangka panjang yg sangat berbahaya jika acara tersebut diterapkan. Ada empat simpulan Mbah Paiman jika program revolusi hijau permanen dijalankan:

a.                   Degradasi lahan, tanah yang subur akan jadi tandus dan ketat

b.                  Banyak macam penyakit yang menyerang manusia karena mengonsumsi tanaman yang terkena residu racun

c.                   Usia manusia akan makin pendek.

d.                  Rusaknya ekosistem keseluruhan.

Rezim orde baru ingin program revolusi hijau diterapkan oleh segenap petani yang ada pada Indonesia. Bagi yang tidak menjalankan program tadi, dianggap membangkang. Apalagi melayangkan protes. Dan galat satu orang yg berani menentang acara tadi dan permanen konsisten sampai sekarang galat satunya merupakan Mbah Paiman.

Pilihan hidup menjadi petani telah dijalani Mbah Paiman seumur hidupnya. Hal ini tidak lepas dari perintah orangtuanya yang ingin Mbah Paiman menjadi petani. “Saya tidak boleh sekolah karena saya harus jadi petani. Bapak saya khawatir saya menjadi pegawai negeri, karena pegawai negeri itu pemalas,  tidak mau mencangkul.” tutur Mbah Paiman.

Meskipun tidak boleh bersekolah oleh ayahnya, bukan berarti Mbah Paiman tidak belajar. Dia bertekad untuk menjadikan alam sebagai tempatnya belajar. “Ketika melihat teman saya bersekolah, saya merasa kepingin. Kepingin sekali. Sambil nyangkul sendirian, lama-kelamaan saya menemukan jalan keluar. ‘Sekolah itu tidak hanya di bangku sekolahan, masa alam ini tidak bisa digunakan untuk belajar? Sejak dahulu (leluhur) kita tidak ada sekolahan juga pintar-pintar. Maka saya menempatkan diri bahwa alam semesta harus menjadi guru besar saya. Tanah ini harus menjadi guruku!”

Semangat bertani Mbah Paiman adalah semangat seseorang masyarakat yang menyadari bahwa dia hayati pada negara agraris. Adalah sebuah ironi dari Mbah Paiman, negeri yg mendeklarasikan diri sebagai negara agraris, justru mengimpor bahan pangan menurut negara lain. Dan sebuah ironi jua bagi sebuah negeri agraris, petaninya tidak sejahtera.

Dalam ranah praktis, Mbah Paiman cukup prihatin dengan kondisi petani saat ini yang kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan sehingga sangat bergantung pada dunia industri.  Mulai dari benih hingga pupuk, petani sekarang harus membeli. Padahal, benih seharusnya dapat dikembangkan dan dihasilkan sendiri dari hasil panen. Sementara untuk mendapatkan pupuk, petani seharusnya dapat membuat sendiri dengan cara mengompos.

Sebagai seseorang petani bodoh, Mbah Paiman sedih & jengkel melihat syarat alam waktu ini rusak dampak praktek pertanian yang tidak memperhatikan ekosistem. Penyaluran kesedihan & kejengkelan Mbah Paiman adalah dengan menciptakan geguritan (puisi jawa) maupun menulis.

Salah satu tulisannya berjudul “Ratapan Tangis Burung dan Katak”. “Saat ini burung berkicau bukan menyanyi seperti dahulu. Tapi sekarang burung berkicau menangis. Kapan dia kena racun? Dulu kodok yang di sawah, ketika dulu menghibur petani yang mengurus air di sawah. Itu musik alami yang luar biasa. Tapi kalau sekarang dia berbunyi atau bernyanyi, itu sebetulnya menangis. Kapan mati kena racun?” tukasnya.

Mbah Paiman hingga saat ini masih terus bertani. Pagi hari dia ke sawah bersama rombongan petani yang lain. Kadang-kadang dia bertani menggarap ladang yang ada di belakang rumahnya. Dalam bertani dia konsisten menjalankan pertanian organik: tidak menggunakan pestisida kimia, pupuk sintetis, maupun benih GMO (genetically modified organism).

Bagi rekan-rekannya, laku tani yg dijalankan oleh Mbah Paiman itu aneh. Mbah Paiman yang membuat pupuk organis sendiri & menanam benih berdasarkan hasil panen dicermati sebelah mata karena mengikuti teknologi pertanian terbaru.

Sementara pada satu sisi Mbah Paiman prihatin menggunakan norma para kawannya, sesama petani yg nir paham pengaruh berdasarkan perilaku pertanian mereka terhadap ekosistem alam. Mbah Paiman ingin mengembangkan ilmu dan pemahamannya mengenai pertanian organis kepada kawan-kawannya. Tapi usaha tadi ternyata tidak gampang. Mula-mula, hanya satu 2 orang yang ikut & tertarik. Saat ini, meski nir poly jumlah orang yang ingin ikut belajar menurut Mbah Paiman terus bertambah lebih kurang lima-10 orang.

Bersama grup tani yang diikutinya, Mbah Paiman menjual hasil panen beras yg dihasilkan menggunakan label beras organis. Beras yg dijual ini telah lulus sertifikasi organis & dikemas tidak selaras buat membedakan menggunakan beras lain yang bukan organis.Sementara menurut ladang, Mbah Paiman memperoleh hasil panen misalnya pisang dan buah-buahan lain yg dia konsumsi sendiri.

Mbah Paiman sendiri membuka diri bagi siapapun yang ingin belajar bertani secara organis. Siapa saja dari mulai peneliti atau mahasiswa yang ingin bertanya sekilas mengenai pertanian organis, hingga yang ingin magang dan praktek. Mulai dari wawancara yang berdurasi satu jam, hingga yang live in untuk beberapa pekan.

Ada kala kita merasa jenuh, capai, atau bosan ketika sedang berusaha atau memperjuangkan sesuatu yang kita yakini. Di saat seperti itu, coba untuk pergi ke suatu tempat dan temukan orang yang membuat kita kembali bersemangat. Tidak selalu tempat yang jauh, tapi barangkali justru tempat yang dekat yang selama ini justru luput dari pengamatan. Mbah Paiman, 80 tahun, petani kolot.  Terus berjuang melakukan pertanian selaras alam.

[1] (diklorodifeniltrikloroetana/dichlorodiphenyltrichloroethane) merupakan senyawa yang digunakan untuk mengendalikan populasi serangga umumnya padaiklim panas. Bagaimanapun beberapa serangga mengembangkan sifat resistensi terhadap DDT dan dapat diwariskan pada keturunannya. (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/DDT).

Bahan racun DDT sangat persisten (tahan lama , berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin hingga 100 tahun atau lebih), bertahan pada lingkungan hidup sembari meracuni ekosistem tanpa bisa didegradasi secara fisik juga biologis (Sumber: http://www.Kelair.Bppt.Go.Id/sib3popv25/POPs/DDT/ddt.Htm)

Cloud Hosting Indonesia